You are on page 1of 13

ANALISIS PERWATAKAN DAN GAYA BAHASA DALAM NOVEL

“PERTEMUAN DUA HATI” KARYA Nh. DINI

Oleh
Prima Ramadhani1, Hamizi2, Neni Hermita3

Abstract
Novel "Pertemuan Dua Hati" by Nh. Dini literature embodies a very touching, intelligent, and has
a high intellectual in the world of education in Indonesia, which has the potential to expand the
science of patience and compassion. Formulation of the problem in this study how disposition and
style of language in the novel “Pertemuan Dua Hati" by Nh. Dini. The purpose of this study was to
describe the disposition and style of language in the novel “Pertemuan Dua Hati". This research
method is a method of non-interactive or literature that does not collect data from human sources.
Dispositive on the novel "Pertemuan Dua Hati" is divided into two analytically (direct) and
dramatically (indirectly). The main character in the novel "Pertemuan Dua Hati" by Nh. Dini
detection is the Mrs. Suci and Waskito. Dispositive on the novel "Pertemuan Dua Hati" diverse
because each character has some character. The diversity of the characters by each character
make the story more interesting because the novel is not all the characters get equal portions of
occurrence. They are the Mrs. Suci a teacher who has a sense of responsibility, Waskito a difficult
student, husband hardworking Mrs. Suci, Suci kids a sense of holy fathers and mothers Waskito
indifferent, grandmother Waskito patient and compassionate and Waskito grandfather were quiet
and friendly. The language contained in the novel "Pertemuan Dua Hatis" is a figure of speech
Hyperbole Nh.Dini work 18 sentences, Allegory 5 sentences, Antonomosia 2 sentences, 3
sentences Alusio, Antropomofisme 3 sentences, 3 sentences metonymy, synesthesia 6 sentences,
four sentences Simile, Symbolic 3 sentences, Hipokorisme 3 sentences, Personification 3
sentences, and Totum Pro Parte 1 sentence.

Keywords : characterization, style of language

I. PENDAHULUAN
Karya sastra merupakan kehidupan buatan atau rekaan sastrawan. Sesuatu
yang disampaikan oleh sastrawan dalam karyanya adalah tentang manusia dengan
segala macam perilakunya. Kehidupan manusia tersebut diungkapkan lengkap
dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Oleh karena itu, karya sastra
dapat menambah kekayaan batin setiap hidup dan kehidupan ini. Karya sastra
mampu menjadikan manusia memahami dirinya dengan kemanusiaannya. Setiap
peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini terkandung nilai atau hikmah yang
dapat kita petik manfaatnya. Untuk dapat menangkap nilai-nilai tersebut
diperlukan kepekaan dan kearifan. Bagi orang awam hal yang mungkin tidak
dapat menjadi semangat berarti bagi pengarang. Sesuatu yang dianggap tidak
berarti oleh masyarakat itu diolah oleh pengarang kemudian diwujudkan kembali
dalam bentuk karya sastra. Karya sastra memiliki fungsi ganda yaitu sebagai
hiburan sedangkan disisi lain berusaha memberikan nilai-nilai yang bermanfaat
bagi kehidupan.
1.
Mahasiswa PGSD FKIP Universitas Riau, Nim 0805135251, e-mail ima.nafie@rocketmail.com
2.
Dosen pembimbing I, Staf pengajar program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, No Hp
081365611107
3.
Dosen pembimbing II, Staf pengajar program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, e-mail
nenihermita@rocketmail.com
Sementara itu, Tarigan (1993:164) menyebutkan bahwa novel adalah suatu
cerita prosa yang fiktif dalam panjang yang melukiskan para tokoh, gerak serta
adegan nyata representatif dalam suatu alur atau suatu keadaan yang kacau atau
kusut.
Dalam novel “Pertemuan Dua Hati” kisahnya tersaji dengan sangat
memikat. Pembaca dibuat tercengang, sedih, dan tersentuh oleh ceritanya yang
sangat dramatis. Namun, tak hanya itu saja, novel ini juga sangat berpotensi untuk
memperluas ilmu kesabaran dan kasih sayang terhadap anak apa lagi di dalam
dunia pendidikan.
Berdasarkan hal tersebut penulis berkeinginan untuk menelaah atau
meneliti “Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini secara langsung. Analisis novel ini
dilihat dari segi perwatakan dan gaya bahasa yang digunakan dalam novel
tersebut. Karya sastra yang diciptakan oleh Nh. Dini tersebut sangat menyentuh,
cerdas, tegas, menarik dan memiliki intelektual yang tinggi dalam dunia
pendidikan di Indonesia. Novel ini sangat baik dibaca oleh orangtua, guru–guru
dan kalangan pendidik, sebab dalam novel ini menceritakan sesosok guru yang
sangat mempedulikan seorang muridnya yang sukar namun guru tersebut
profesional dalam bekerja sehingga dapat membedakan ruang kerja dan rumah
tangga.
Permasalahan di atas menuntut untuk mengetahui bagaimana perwatakan
dan gaya bahasa yang terdapat dalam novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh.
Dini. Sehingga penelitian ini memperoleh manfaat antara lain bagi:
a. Bagi penulis sebagai arahan untuk menjembatani pemahaman dan
penghayatan dalam menikmati karya sastra, khususnya novel.
b. Bagi siswa sebagai motivasi kepada siswa agar gemar membaca dan
mencintai karya sastra, serta siswa mengerti apa yang dimaksud dengan unsur
instrinsik dalam karya sastra berupa novel.
c. Bagi mahasiswa PGSD agar lebih cermat dalam memilih novel untuk dibaca.

II. METODE PENELITIAN


Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Agustus. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah noninteraktif. Sesuai dengan namanya
penelitian ini tidak menghimpun data secara interaktif atau melalui interaksi
dengan sumber data manusia. Metode noninteraktif dimaksudkan untuk membuat
gambaran mengenai tokoh dan penokohan, serta gaya bahasa dalam novel
“Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini, peneliti menghimpun, mengidentifikasi,
menganalisis, dan mengadakan sintesis data kemudian menginterprestasikan
informasi-informasi mengenai tokoh dan penokohan, serta gaya bahasa dalam
novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini.
Sumber data dalam penelitian ini adalah adalah novel “Pertemuan Dua
Hati” karya Nh. Dini yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Umum cetakan
kedua belas bulan Juli 2003. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tinjauan pustaka, yaitu memperoleh data yang dalam
penelitian tokoh dan penokohan, serta gaya bahasa dalam novel “Pertemuan Dua
Hati” karya Nh. Dini dengan menganalisis novel “Pertemuan Dua Hati” serta
mencari buku-buku yang menunjang dengan penelitian ini. Adapun teknik-teknik
yang akan dilakukan untuk menganalisis data tersebut dapat diuraikan dengan
langkah-langkah seperti berikut:
Untuk mengetahui penokohan tokoh-tokoh dalam novel “Pertemuan Dua
Hati” karya Nh. Dini dilakukan dengan teknik sebagai berikut:
a. membaca novel secara berulang-ulang,
b. menggarisbawahi hal-hal yang berhubungan dengan perwatakan dan gaya
bahasa yang terdapat dalam cerita novel tersebut.
c. semua data-data diseleksi agar dapat diperoleh bahan sesuai rumusan masalah.
d. mengelompokkan sesuai aspek yang diteliti.
e. menganalisis data dalam novel sesuai dengan teori yang menjadi rujukan dalam
penelitian ini.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Bu Suci adalah seorang guru di sebuah desa di Purwodadi. Ia adalah
seorang guru yang bijak serta sangat mencintai keluarganya. Namun, karena
pekerjaan suaminya, bu Suci dan keluarga terpaksa pindah ke kota Semarang.
Disana ia tinggal dengan suami dan ketiga anaknya serta dengan bibinya yang
menjaga anak-anak bu Suci.
Bu Suci mempunyai seorang suami yang sangat pengertian terhadap
keluarganya. Dia selalu mendukung apa saja yang bu Suci lakukan selama itu
benar. Ia pun berniat untuk mencari pekerjaan sebagai guru kembali, karena ia
sudah sangat rindu dengan pekerjaannya itu. Hingga suatu saat ia mengantarkan
anaknya ke sekolah dan ia pun mendapat pekerjaan sebagai seorang guru di
sekolah dasar dimana anaknya bersekolah.
Hari pertama mengajar dilalui bu Suci dengan baik. Namun, ia mulai
merasa ada suatu kejanggalan yang terjadi pada kelas tersebut. Sebisa mungkin bu
Suci tidak pernah mencampurkan persoalan pribadi dengan persoalan di dalam
pekerjaannya. Ia berusaha profesional dengan bisa membagi waktu, agar anak-
anaknya tidak pernah merasa kehilangan sosok ibu dalam dirinya.
Hari-hari berikutnya dilalui bu Suci dengan mulus pula, namun sekarang
ia mulai mengerti apa yang mengganjal didalam pikirannya. Seorang murid
bernama Waskito ternyata telah menarik perhatiannya. Setiap kali ditanya tentang
murid tersebut, semua anak seolah terdiam dan tidak ingin memberi jawaban pada
bu Suci.
Namun, akhirnya bu Suci pun mendapatkan jawaban atas semua yang
terjadi. Ternyata muridnya yang bernama Waskito tersebut salah satu murid yang
nakal, dan selalu membuat keonaran. Semua murid yang ada dikelas segan pada
dia, mereka takut jika bermasalah dengannya. Menurut cerita yang ada, Waskito
seringkali memukul dan menjahili temannya yang ada di kelas, tanpa sebab apa
pun atau mereka merasa tidak pernah berbuat sesuatu yang membuat Waskito
marah. Entah kenapa bu Suci merasa ada hal yang perlu ia selesaikan dan ia ingin
terlibat jauh pada masalah itu. Dorongan hati yang kuat membuat bu Suci semakin
ingin membantu Waskito menyelesaikan masalahnya.
Sementara itu, anak kedua bu Suci telah di vonis oleh dokter mengidap
penyakit ayan, sehingga kesehatannya perlu dijaga serta ia tidak boleh banyak
beraktivitas. Semua cobaan seolah tengah menghadang pada bu Suci. Disisi lain ia
ingin sekali berada di kelas serta mengetahui perkembangan muridnya yang nakal
tersebut, namun disisi lain ia harus bersusah payah mengantar anaknya ke rumah
sakit untuk berobat.
Akhirnya bu Suci pun mendatangi kediaman kakek dan Nenek Waskito
untuk mendapatkan informasi yang sebanyak mungkin. Ia pun mendapatkan
informasi bahwasanya Waskito sebenarnya merupakan anak yang baik, namun
karena perilaku orang tuanya yang memperlakukannya dengan tidak baik maka ia
pun menjadi murid yang nakal. Neneknya mengatakan bahwa ayahnya seringkali
memukul Waskito tanpa alasan yang jelas jika Waskito melakukan suatu
kesalahan tanpa memberikan pengarahan yang baik, yang seharusnya Waskito
perbuat, sementara ibunya selalu memanjakannya sehingga Waskito tidak pernah
tahu mana yang baik dan buruk. Selama tinggal bersama neneknya ia menjadi
anak yang tahu aturan dan menjadi disiplin, namun setelah orangtuanya
memintanya kembali, maka ia kembali menjadi anak yang nakal dan selalu
menjahili teman-temannya.
Bu suci mencoba membantu permasalahn yang dihadapi oleh Waskito.
Seringkali ia memperhatikan semua perilaku Waskito, dan ia perlahan mencoba
mendekati Waskito. Ia meminta Waskito untuk mengantar makanan pada anak
keduanya yang sakit tersebut. Bu suci mencoba menggambarkan pada Waskito
bahwa ia masih beruntung diberi kesehatan sehingga ia tidak perlu melakukan
sesuatu yang tidak berguna untuk hidupnya. Bu Suci juga memberi kepercayaan
pada Waskito untuk membuat sesuatu, hingga pekerjaan yang dilakukan Waskito
dan kelompoknya mendapat penghargaan dari teman-temannya. Waskito dibuat
ada keberadaannya oleh bu Suci. Selama ini semua murid yang ada di kelas
menganggap Waskito hanya sebagai biang onar dan keributan sehingga
keberadaanya tidak diinginkan dan dibutuhkan. Namun, sekarang bu Suci
mencoba membuat semua hal tersebut musnah.
Kini Waskito tinggal bersama bibinya, sehingga sedikit demi sedikit ia
mulai mendapatkan pelajaran tentang sebuah kasih sayang. Terutama dari
keluarga bibinya, yang selalu rukun meskipun keadaan ekonomi mereka sulit.
Bahkan mereka kadang kali harus berbagi makanan. Namun Waskito senang
tinggal di sana. Lantaran di sana ia mendapat pengajaran tentang sopan santun dan
kasih sayang. Ibu Suci merasa lega dengan semua perubahan yang mulai Waskito
tunjukkan.
Namun suatu hari ia kembali mengamuk lantaran ada seorang yang
menghina tanaman yang ia tanam, padahal maksud temannya tersebut hanya
sekedar gurauan belaka. Waskito sampai membawa Cutter yang di acuhkan
keudara, namun dengan berani bu Suci merampas Cutter tersebut dari tangan
tersebut saat Waskito lengah. Tanpa memikirkan sesuatu yang buruk akan terjadi
padanya. Entah kenapa ia yakin bahwa Wasktito tidak akan sanggup untuk
menggunakan senjata tajam tersebut. Semua guru di sekolah tersebut sepakat
untuk mengeluarkan Waskito dari sekolah karena sikap Waskito sudah
keterlaluan. Namun bu Suci dengan segenap hati meminta agar diberi waktu untuk
membimbing Waskito, jika ia gagal jabatannya sebagai guru rela jika harus di
cabut. Ia pun menekankan kepada Waskito bahwa Bu Suci percaya bahwa
Waskito akan merubah sikapnya karena selain ia yang harus pindah, jabatan bu
Suci sebagai guru juga dipertaruhkan untuknya.
Sejak saat itu bu Suci dan Waskito semakin dekat dan akhirnya sedikit
demi sedikit Waskito mau berbagi cerita dan mau untuk mnerima nasihat bu Suci.
Akhir semester Waskito naik kelas dan keluarganya sangat berterimakasih karena
mereka tidak menyangka bahwa Waskito dapat merubah sikapnya dan dapat pula
naik kelas. Waskito dan keluarga bu Suci pun berlibur ke desa mereka di
Purwodadi sesuai dengan janjinya kepada Waskito. Sejak bertemu dengan
Waskito bu Suci merasa hatinya telah dipertemukan dengan hati Waskito dan
sejak saat itu pula keprofesionalisme yang bu Suci gunakan dalam memisahkan
urusan pekerjaan dan rumah tangga tak beradu lagi semenjak kedatangan Waskito.
Novel pertemuan dua hati ini yang mengangkat kisah seorang guru yang
mempunyai prinsip untuk selalu menjunjung tinggi pekerjaan sebagai seorang
guru menjadi pekerjaan yang patut untuk di teladani. Bu Suci disini diceritakan
memberi kontribusi yang berarti bagi anak muridnya untuk selalu membimbing
mereka ke jalan yang semestinya.
Novel ini juga mempunyai pesan moral yang baik untuk diteladani, yakni
yang pertama bagaimana seorang guru yang begitu menghargai pendidikan di
negeri ini yang saat ini sudah jarang dituntut keprofesionalannya. Guru sekarang
seolah acuh terhadap permaslahan yang sedang muridnya hadapi dan cenderung
tidak perduli atas perilaku setiap muridnya. Mereka hanya bertugas mengajar
materi dan selesai sampai situ saja. Padahal tugas seorang guru sebenarnya untuk
membimbing muridnya agar menjadi seorang yang baik dan berguna. Yang kedua
pesan moral kepada orang tua yang seringkali lupa akan memberikan pengajaran
yang baik untuk anaknya. Memanjakan anak boleh saja namun harus diberitahu
dan dibekali norma dan aturan yang berlaku di masyarakat pula agar tidak tersesat
nantinya.
Tabel 1
Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

Tokoh Utama Tokoh Tambahan


Ibu Guru Suci (Tokoh aku) Anak-anak
Ibu Waskito
Waskito
Ayah Waskito

Nenek Waskito

Kakek Waskito
Tabel 2
Perwatakan dalam novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini
Tokoh Watak Keterangan
Bu Suci Patuh 1.1 Aku patuh, menuruti nasehat orang tua.
(Tokoh aku) (hlm :10)
Pintar 1.2 Meskipun kemampuan otakku memadai.
(hlm :10)
Pengalah 1.3 Tetapi dalam kehidupan aku sehari-hari,
aku lebih sering mengalah. (hlm :11)
1.4 Perintah itu ku beri tekanan lembut. (hlm
Lembut :26)
1.5 Ku ucapkan perlahan namun tegas. (hlm
Tegas :26)
1.6 Aku sabar menghadapi jawaban yang
Sabar diucapkan oleh anak-anak. (hlm :29)
Penolong 1.8 Apapun yang terjadi, aku merasa harus
mencoba mengerjakan sesuatu untuk
menolong anak itu. (hlm :33)
Penyayang 1.7 Akan kuberikan kasih sayang layaknya
seorang ibu kepada Waskito. (hlm :35)
Waskito Jahat 2.1 Waskito jahat atau nakal saya tidak tahu
bu ! Tapi dia mempunyai kelainan. (hlm
:28)
Pamer 2.2 Waskito selalu bangga memamer-kannya
kepada kawan-kawannya. (hlm :31)
Pemarah 2.3 Dia tumbuh menjadi anak yang pemarah
dan pemberontak. (hlm :32)
Bengis 2.4 Dititipkan! Apa itu! Persetan! Aku tidak
perlu kalian semua!
Bengis 2.5 Apalagi kalau berhadapan dengan
ibunya! Waskito menjadi anak yang
kurang ajar. (hlm :32)
Bengis 2.6 Dia tidak hanya pintar memutar lidah,
konon tangannya juga cepat memukul dan
merusak. (hlm :35)
Pemberontak 2.7 Oleh karena perlakuan yang dianggap
kejam itu, dia langsung menunjukkan
reaksi pemberontakan. (hlm : 44)
Anak- anak Bu Lembut 3.1 Perempuan yang lembut dan pengertian.
Suci (hlm :13)
Telaten 3.2 Semua kerajinan tangan yang
dikerjakannya rapi dan teratur. (hlm : 13)
Penyakitan 3.3 Anak kami yang ketiga mengalami sakit
epilepsi. (hlm :30)
Ayah Waskito Cerdas, kaku 4.1 Dia cerdas, pandai, tetapi kaku dan sukar
dan sukar bergaul. (hlm :38)
bergaul
Kasar 4.1 Konon Waskito dihajar habis-habisan,
mukanya dipukul, badannya dicambuk
dengan ikat pinggang. (hlm :37)
Ibu Waskito Tidak Baik 5.1 Ibu Waskito yang tidak menyukai
mertuanya berhasil membujuk suaminya,
dia meminta supaya anak mereka kembali
ke rumah. (hlm : 32)
Pengadu 5.2 Dia mengadu kepada suaminya bahwa
Waskito di rumah kakek dan neneknya
diperlakukan sebagai pembantu, anak itu
harus diambil kembali! (hlm :42)
Acuh 5.3 Didampingi oleh isteri yang tidak tahu -
menahu mengenai soal pendidikan!
Naluri wanita pun tidak ada! Kalau anak
rewel, dia mau menggendong, memberi
makanan atau barang permainan. (hlm
:38)
Nenek Dermawan 6.1 Kami yang menanggung pondokan dan
Waskito dokternya. (hlm :36)
Patuh 6.2 Nenek sepanjang hidup perkawinannya
adalah isteri yang patuh. ( hlm :39)
Baik 6.3 Nenek memang tokoh isteri yang baik.
(hlm :41)
Ramah 6.4 Suratku kepada nenek Waskito dijawab
dengan ramah. (hlm :35)
Ramah 6.5 Sebegitu orang masuk ke rumah itu,
terasa resapan keramahan dan
kesjahteraan. (hlm :36)
Lembut 6.6 Berhadapan dengan nenek yang serba
lembut dan bertubuh kecil ini. (hlm :39)
Penyayang 6.7 Bukan maksud kami menyiksa cucu,
Jeng! Betul-betul kami sangat
mencintainya. (hlm :43)
Kakek Ramah 7.1 Si suami hanya sebentar menyalami,
Waskito kemudian masuk kembali ke kamar
praktek. (hlm :35)
Pendiam, 7.1 Meskipun hanya sebentar aku berbicara
Ramah dan dengan dokter berumur itu, aku segera
Dermawan mengetahui bahwa dia pendiam,
meskipun ramah dan dermawan. (hlm
:36)
Egois 7.2 Semua keputusan mengenai ana, selalu
melalui suaminya! Seolah – olah anak itu
hendak dibentuknya menuruti satu model
tertentu. (hlm :38)
Pada tabel 2 dapat dijelaskan bahwa perwatakan dalam novel “Pertemuan
Dua Hati” dibedakan atas dua cara yaitu analitik dan dramatik. Analitik itu
penggambaran penokohan secara langsung oleh pengarang itu sendiri. Setiap
tokoh memiliki watak bermacam-macam. Pada tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa
bu Suci memiliki watak bijaksana, lembut, penyayang dan profesional. Waskito
memiliki watak jahat, pamer, pemarah, bengis, dan pemberontak. Anak-anak bu
Suci yang memiliki watak lembut, telaten dan penyakitan. Ayah Waskito yang
memiliki watak cerdas, kaku dan sukar bergaul serta ibu Waskito yang berwatak
tidak baik, pengadu dan acuh tak acuh. Nenek Waskito yang memiliki watak
dermawan, patuh, baik, ramah, lembut dan penyayang serta kakek Waskito yang
memiliki watak ramah, pendiam, dermawan dan egois. Perwatakan tokoh-tokoh di
dalam Tabel 2 secara analitik dapat dilihat contoh cuplikan kalimat tokoh bu Suci
sebagai berikut : “Akan kuberikan kasih sayang layaknya seorang ibu kepada
Waskito (hlm:35)”. Dari cuplikan kalimat halaman 35 tersebut dapat dijelaskan
bahwa tokoh bu Suci memiliki watak penyayang karena pengarang langsung
menggambarkan perwatakannya. Selanjutnya contoh penokohan secara dramatik
dalam novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini ini sebagai berikut: “Konon
Waskito dihajar habis-habisan, mukanya dipukul, badannya dicambuk dengan
ikat pinggang”. Pada contoh perwatakan dramatik itu dijelaskan bahwa tokoh
ayah Waskito memiliki perwatakan kasar terlihat dari Pola pikir saat menghadapi
masalah.
Tabel 3
Gaya Bahasa dalam novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini

Jenis Majas Kalimat Halaman


Hiperbola 1.1.1 Truk dan tangki yang berton-ton 7
beratnya itu menggegerkan tanah
sekitar jalan, kadang-kadang begitu
dahsyat hingga menyerupai gempa
bumi.
1.1.2 Aku tidak membiarkan dia 23
tenggelam dalam kenangan yang
terlalu berlarut-larut.
1.1.3 Aku melayangkan pandang ke 27
seluruh penjuru.
1.1.4 Ketegangan mengawang dan me- 27
nyesakkan nafas.
1.1.5 Tenang aku menahan nada dan isi 28
kalimatku.
1.1.6 Sekali itu terloncat isi hatiku yang 28
sebenarnya.
1.1.7 Murid -murid harus tetap merasa 29
leluasa mengeluarkan isi hati mereka.
1.1.8 Satu kali, dahi saya dipukul. Sorenya
bengkak sebesar telur. 30
1.1.9 Mataku mengedar ke seisi kelas.
1.1.10 Dia tidak hanya pintar memutar 35
lidah.
1.1.11 Itu semua disebabkan karena 42
pembantu, Jeng “kata Nenek sambil
matanya berkaca-kaca mengenang
kejadian yang mematahkan hati.
1.1.12 Seolah-olah men-dengar kata 43
hatiku, wanita tua itu tiba-tiba
bersuara lagi.
1.1.13 Leherku tercekik oleh keharuan. 43
1.1.14 Tanpa berkata satupun dia 55
meletakkan timbunan buku tugas
didepanku.
1.1.15 Kejadian ini membesarkan hatiku. 66
1.1.16 Sebentar ku lihat sinar matanya 78
bercahaya seperti lewatnya kilat.
1.1.17 Tetapi kembali ku tegakkan untuk 83
me-nahan sinar kelembutan yang
dengan seluruh ke kuatanku
pancarkan ke pintu hatinya.
1.1.18 Kataku membesar-kan hatinya. 84
Alegori 1.2.1 Kami calon guru yang memiliki cita 11
seder-hana.
1.2.2 Daerah kami disebut daerah minus. 16
1.2.3 Kedatangan hujan semakin tidak 23
menentu di zaman sekarang.
1.2.4 Kubayangkan nenek ini, sepanjang 39
hidup perkawinannya adalah isteri
yang patuh.
1.2.5 Watak dan kehidupan anak itu kini 43
menerawang ku ketahui.
Antonomosia 1.3.1 Kami berterimakasih kepada Tuhan 13
karena dikarunia anak pertama
perempuan yang lembut dan cepat
mengerti.
1.3.2 Agaknya bapak anak itu sudah tidak 37
tahu lagi cara apa yang harus
dipergunakan terhadap kenakalan
yang bertumpuk-tumpuk.
Alusio 1.4.1 Semarang sebagai kota pelabuhan 13
merupakan pintu gerbang berbagai
pengaruh.
1.4.2 Orangtua itu ku anggap sebagai mata 14
rantai yang menghubungkan anak-
anak ke masa yang hampir silam.
1.4.3. Apakah kamu akan hidup bersama- 83
sama orang lain kalau tetap tidak
mampu mengendalikan amarah mu?
Antropomorfisme 1.5.1.Setelah dua bulan tinggal di rumah 17
baru, pindahan kami yang terdiri dari
dua gelombang dapat dikatakan
beres.
1.5.2 Biasanya lelaki mempunyai 14
perasaan kurang rawan sehingga
dapat memasabodohkan kejadian-
kejadian kecil.
1.5.3 Di masa sekolah, daerah itu masih 17
merupakan pinggiran yang kosong,
meskipun mulai berkembang
perlahan menjadi perkampungan
liar.
Metonimia 1.6.1 Kendaraan itu beroda empat serta 15
berbentuk “sedan”.
1.6.2 Suamiku menyewa daihatsu.
1.6.3 Harus menengok setiap hari, naik bis 20
atau Daihatsu.
Sinestesia 1.7.1 Ketika sembahyang subuh, ku 30
rasakan kedinginan yang menunjam.
1.7.2 Buahnya bergantung-an hijau muda 34
menyedapkan mata.
1.7.3 Dia menjadi mata gelap. 36
1.7.4 Pelapukan mataku terasa panas. 37
1.7.5 Suara sedemikian kasar ku meng- 43
khawatirkan justru akan membikin
muridku mata gelap.
1.7.6 Nada suara ku buat benar-benar 68
rendah hati.
1.7.7 Si anak dapat dilibatkan langsung 69
melihat dengan mata dan kepala
sendiri bagaimana sekuntum bunga
dapat memberi dia jambu yang seger
menyembuhkan kehausan.
Simile 1.8.1 Seolah-olah terjadi percakapan bisu 37
antara keduanya.
1.8.2 Peluh dingin membasahi tengkuk dan 27
punggungku.
1.8.3 Semua itu terjadi cepat bagaikan 46
kejupan mata.
1.8.4 Mata gelap atau amok seperti 68
dipengaruhi setan.
1.9.1 Suratku kepada nenek Waskito 68
dijawab dengan ramah.
Simbolik 1.9.2 Dalam kejadian ini seakan-akan si 35
anak hanya sebuah benda.
1.9.3 Ini hanya salah satu dari sekian 45
banyak ramuan yang membumbui
kehidupan.
Hipokorisme 1.10.1 Asal hubungan dekat hati ke hati 59
terjalin secara kekeluargaan yang
wajar.
1.10.2 Antara kami berdua ku rasakan 44
telah ada pintu penghubung sejak
pekan-pekan terakhir itu.
Personifikasi 1.11.1 Benarkah pilihan ini didiktekan 84
oleh suara hatiku yang
sesungguhnya dan setulus-
tulusnya. 46
Totum Pro Parte 1.11.2 Benarlah aku merasa seolah-olah
hati kami berdua telah bertemu.

1.12.1 Peristiwa itu mengguncangkan 78


kepercayaan sekolah kepada
Waskito.

Pada tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa gaya bahasa yang terkandung dalam
novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini beraneka ragam dan menjadikan
kalimat perkalimat rangkaian kata-kata yang indah.

IV. SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian perwatakan dan gaya bahasa yang terdapat dalam
novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini dapat dikemukakan simpulan akhir
dari penelitian ini yaitu:
Perwatakan pada novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh.Dini memiliki
beberapa watak yang berbeda-beda. Keragaman karakter masing-masing tokoh
membuat alur cerita dalam novel ini semakin menarik dan mengharukan.
Penokohan yang terdapat dalam novel ini dibedakan menjadi dua yaitu tokoh
utama dan tokoh bawahan atau tambahan. Tokoh utama dalam novel ini adalah
Bu Guru Suci yang memiliki watak seorang guru bijaksana dan penyayang dan
Waskito seorang murid yang sukar. Sedangkan tokoh tambahan adalah tiga orang
anak bu Suci yang mempunyai watak penurut, Nenek Waskito yang penyayang,
kakek Waskito tegas, Ibu dan ayah Waskito yang tidak bisa mengerti arti sebuah
kasih sayang
Dalam novel “Pertemuan Dua Hati” karya Nh. Dini perwatakan yang
digunakan oleh pengarang dominan menggunakan perwatakan secara analitik
yaitu pengarang menceritakan tentang tokoh-tokoh yang ada secara
langsung.Gaya Bahasa yang terdapat dalam novel “Pertemuan Dua Hati” karya
Nh. Dini ada 52 kalimat. Gaya Bahasa tersebut diantaranya adalah gaya bahasa
hiperbola 18 kalimat, alegori 5 kalimat, Antonomosia 2 kalimat, Alusio 3 kalimat,
Antropomofisme 3 kalimat, Metonimia 3 kalimat, Sinestesia 6 kalimat, Simile 4
kalimat, Simbolik 3 kalimat, Hipokorisme 2 kalimat, Personifikasi 2 kalimat dan
Totum Pro parte 1 kalimat.
Saran
a. Dapat menjadi salah satu motivasi untuk kalangan semua masyarakat
terutama pendidik. Karena memiliki nilai-nilai yang sangat bermanfaat untuk
mengerti kebutuhan kasih sayang bagi anak-anak.
b. Moral yang di sampaikan sangat membangun kalangan pendidik dan gaya
bahasa yang terdapat di dalam novel ini dapat dijadikan guru sebagai contoh
kepada murid-muridnya.

V. UCAPAN TERIMAKASIH
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan
dan bantuan dari berbagai pihak , maka pada kesempatan ini penulis tidak lupa
mengucapkan terima kasih:
1. Dr. H.M Nur Mustafa, M.Pd Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Riau.
2. Drs. Zariul Antosa, M.Sn Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan.
3. Drs. H.Lazim. N.M.Pd Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah
Dasar.
4. Drs. Hamizi, S.Pd Dosen Pembimbing 1 dan Neni Hermita M.Pd Dosen
Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan bantuan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
5. Dosen Program Studi pendidikan Guru Sekolah Dasar FKIP UNRI
6. Ayah dan Ibu tercinta,
7. Rekan-rekan mahasiswa angkatan 2008 yang memberi motivasi dan
bantuan kepada penulis.

VI. DAFTAR PUSTAKA


Aminuddin. 2007. Pengantar Apresiasi Karya Satra. Bandung : Sinar Baru
Algensindo
Budianto, Melani. 1993. Teori Kesusteraan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Dini, Nh. 2003. Pertemuan Dua Hati. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Endraswara, Suwardi. 2011. Metedeologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : CAPS
Fenni, Sri. 2012. Analisis perwatakan dan gaya bahasa dalam novel laskar
pelangi karya Andrea Hirata. Tidak diterbitkan
HaHamizi, dan Otang Kurniaman. 2009. Bahan Ajari Teori dan Sejarah Sastra.
Pekanbaru : UNRI PRESS.
Hayati, A. 1990. Latihan Apresiasi Sastra. Malang: Y A3 Malang.
Katalog dalam Terbitan. 2000. Struktur Sastra Lisan Sentani. Jakarta : Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kurniaman, Otang. Dkk. 2009. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Pekanbaru:
Universitas Riau
Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa . Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama
Kosasih, E. 2008. Ensiklopedia Sastra Indonesia. Jakarta : Nobel Edumedia.
Laelasari, dan Nurlailah. 2008. Kamus Istilah Sastra. Bandung : Nuansa Aulia.
Rahmanto, B. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Kanisius
Sadikin, Mustofa. 2011. Kumpulan Sastra Indonesia Pantun dan Puisi Majas
Peribahasa Kata Mutiara. Jakarta : PT Grasindo
Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : PT Grasindo
Syamsuddin, dan Vismaia S. Damaianti. 2006. Metode Penelitian Pendidikan
Bahasa. Bandung : Rosda
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung : Angkasa
Widyatama, A. 2006. Seni Menggayakan Kalimat. Yogyakarta : Kanisius

You might also like