You are on page 1of 94

ISSN 1829 – 6564

Jurnal
ILMU KOMUNIKASI Volume 1, Nomor 2, Desember 2004
 Halaman 95 - 184

Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika (95-112)


André Hardjana (Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta)

Perkembangan Hubungan Perkawinan:


Kajian Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan
Antarpribadi pada Suami-Istri Katolik (113-130)
Anne Suryani (Universitas Indonesia)

Digitalisasi Masyarakat: Menilik Kekuatan


dan Kelemahan Dinamika Era Informasi Digital
dan Masyarakat Informasi (131-142)
AG. Eka Wenats Wuryanta
(Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta)

Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab


Sosial Organisasi (143-156)
G. Arum Yudarwati (Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Newspaper Language in Representing Ethnic Violence:


Textual Analysis of Kompas and Republika Newspapers (157-170)
Prayudi (Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta)

Media Literacy: Agenda “Pendidikan” Nasional


yang Terabaikan (171-184)
Rahayu (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta)
Teori Komunikasi:
Kisah Pengalaman Amerika1

André Hardjana2

Abstract: Being an interdisciplinary science, communication ows its key


concepts and theoreties to other scientific fields. The body of
communication knowledge grew out of research works undertaken by
those scholars who were actively involved in the various activities
related to the war information management, some of whom were then
pronounced ‘founding fathers’ of communication research. This article
briefly reviews the intensive interactions among those founding
fathers during the war whose ideas were then drown together to
constitute the communication field of study. Schramm was the
institutionalizer of this new field of communication study. The
development of communication theory now is largely depending on the
various research works undertaken by those researchers affiliated with
either the departments of communication or the schools of journalism
mass communication in the US and Canada.

Key Words: Communication, mass communication, communication


research, interdisci- plinary field of communication study.

Sebagai pangkal tolak dari pembicaraan tentang teori komunikasi di


Amerika Serikat dan pengaruhnya pada pemahaman tentang konsep dan teori
komunikasi dan komunikasi massa, akan dibuat kisah pengandaian seorang
dosen ilmu komunikasi dengan gelar sarjana lengkap—kini disebut Sarjana

1
Disunting dari makalah yang disampaikan pada Penataran Teori Komunikasi bagi
Dosen Ilmu Komunikasi se-Jawa dan Bali; yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu
Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 1 Oktober 2003 di Yogyakarta.
2
André Hardjana adalah Staf Pengajar di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Katolik Atma
Jaya Jakarta.

95
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI

Strata Satu (S1) lulusan awal tahun 1970-an. Sebagai sarjana tahun-tahun awal
1970-an, penulis berkesimpulan bahwa nama paling besar dalam ilmu
komunikasi adalah Wilbur Schramm. Nama itu dikenal berkat bukunya Mass
Communications (1960)—sebuah buku tebal yang mencapai 696 halaman—
yang menghimpun berbagai pembicaraan penting dan perspektif tentang media
komunikasi massa, dinamika pertumbuhan, dan fungsinya dalam
perkembangan masyarakat Amerika. Di mata penulis, nama Schramm makin
melambung berkat The Process and Effects of Mass Communication (asli 1954
dengan edisi revisi 1972). Untuk edisi pertama, Wilbur Schramm menulis
sebuah kata pengantar panjang berjudul “How Communication Works” yang
menjelaskan proses kelangsungan komunikasi. Kata pengantar itu kemudian
diubah menjadi “The Nature of Communication between Humans” dalam edisi
revisi yang merupakan sebuah buku raksasa setebal 998 halaman. Dalam kata
pengantar baru itu, Schramm memaparkan pemahaman yang mendalam tentang
hakikat komunikasi sebagai proses dan keempat fungsinya, yakni “informing,
instructing, persuasion, dan entertaining”. Separoh dari isi buku raksasa yang
menghimpun 36 makalah penting tersebut berkaitan dengan masalah-masalah
sosial makro. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan tujuh buah pengantar
untuk masing-masing seksi, yakni (1) Media as Communication Institution, (2)
The Nature of Audience, (3) Approaches to the Study of Mass Communication
Effects: Attitutes and Information, (4) Social Consequences of Mass
Communications, (5) Mass Communications, Public Opinion, and Politics, (6)
Communication, Innovation, and Change, dan (7) Implications of the New
Communication Technology.
Sebagai dosen muda ilmu komunikasi dekade 1970-an, penulis harus
melakukan “mind shift” dari “konsep publisistik” ke “konsep komunikasi”,
mengapa begitu? Penulis tidak mengetahui alasan konseptual yang menjadi
dasarnya. Dalam kegairahan pembangunan nasional dalam development era
dunia, konsep komunikasi diperkenalkan sebagai pengganti konsep publisistik.
Istilah “komunikasi pembangunan” sangat populer di kalangan akademisi dan
birokrasi pemerintahan sebagai alat untuk perubahan sikap mental (mental
attitude) di awal modernisasi bangsa Indonesia. Penulis tidak pernah mengerti
mengapa tidak digunakan istilah “publisistik pembangunan”. Nampaknya
istilah komunikasi pembangunan sengaja digunakan dalam artian sebagai
“komunikasi massa pembangunan”, sehingga penulis harus berkenalan dengan
buku Schramm lain—ini benar-benar buah karya Wilbur Schramm sendiri—
yang diberi judul Mass Communication and National Development: The Role of
Information in the Developing Countries (1964). Buku itu diterbitkan oleh
UNESCO dalam kerjasama dengan Stanford University. Dari buku itu penulis
belajar tentang fungsi kebijakan pemerintah dalam pengembangan komunikasi

96
 ,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

nasional untuk mendorong akselerasi pembangunan nasional. Bagi penulis,


Schramm tidak hanya memberikan pegangan teknis kebijakan, tetapi juga
pegangan teori komunikasi pembangunan. Sebagai buku pegangan teori, buku
ini mendapat sokongan empiris dari dua tingkatan, yakni level makro dan level
mikro. Pada tingkat makro, buku penting pendukung kebijakan komunikasi
adalah The Passing of Traditional Society (1958) karya Daniel Lerner yang
diangkat dari rangkaian studi empiris di negara-negara Timur Tengah. Pada
tingkatan mikro, buku yang menjadi pendukung empiris adalah Modernization
among Peasants: The Impact of Communication (1969) dan buku
Communication and Innovations: A Cross Cultural Approach (1962)—buku
kedua ini dalam edisi revisi diubah judulnya menjadi Diffusion of Innovations
(1995). Kedua buku ini merupakan karya Everett M Rogers. Pelaksanaan
komunikasi pembangunan secara empiris mengikuti ajaran Rogers, yang
terkenal dengan sebutan “model adopsi inovasi” (adoption of innovations).
Bagi penulis, Everett M. Rogers menjadi nama terbesar kedua sesudah Wilbur
Schramm sebagai tokoh ilmu komunikasi. Sesuai dengan ajaran modernisasi,
adopsi inovasi mengandaikan bahwa ide dan praktek inovasi berasal dari
sumber luar masyarakat—khususnya dalam pengenalan dan penggunaan
teknologi pertanian. Model adopsi inovasi yang mengesampingkan “personal
growth and development” ini, kemudian ditinjau kembali secara kritis di dalam
Communication and Development: Critical Perspectives (Rogers, 1976).
Pengertian-pengertian “teori komunikasi”, terutama bersumber pada dua
buku, yakni The Process of Communication (1960) karya David Berlo yang
memberikan dua konsep penting, yakni komunikasi sebagai proses dan
pendekatan proses. Teori tersebut di kalangan mahasiswa terkenal dengan
sebutan Model Berlo:

S M C R [E F]

Model Berlo ini ternyata dibangun berdasarkan model proses komunikasi
teknis yang dikembangkan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver untuk
komunikasi teknologis yang dirumuskan sebagai teori matematik—
Mathematical Theory of Communication (1949) yang dapat memudahkan
pemahaman tentang proses komunikasi antarmanusia. Namun model Berlo itu
tidak memasukkan konsep “arus komunikasi”(flow of communication). Di
samping itu, elemen-elemen feedback dan interaction juga tidak dinyatakan
secara eksplisit—hanya dapat diimplikasikan saja. Dari penjelasan dan rincian
dari model tersebut, dapat dipahami bahwa komunikasi terjadi dalam dan

97
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI

dipengaruhi oleh sistem sosial dan budaya. Akhirnya, komunikasi yang berhasil
hanya terjadi bila terdapat kesepadanan antara source dan receiver dalam hal
ketrampilan komunikasi dan nilai maupun sikap.
Buku teori kedua adalah Four Theories of the Press (1956) karya Fred
S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schramm. Buku “teori” ini berisi
empat buah landasan-landasan filosofi yang berbeda tentang komunikasi, yakni
libertarian dan authoritarian (Fred S. Siebert), social responsibility (Theodore
Peterson), dan totalitarian (Wilbur Schramm). Berdasarkan pandangan dalam
buku teori komunikasi ini, selanjutnya “komunikasi pembangunan” yang
dirintis oleh Wilbur Schramm, Daniel Lerner, dan Everett M Rogers disebut
sebagai “teori komunikasi kelima”. Perkembangan dan aplikasi teori kelima—
komunikasi pembangunan nasional—dalam perkembangan selanjutnya sangat
dipengaruhi oleh Wilbur Schramm dan Daniel Lerner melalui program East-
West Center Communication Institute di kampus University of Hawaii.
Pemahaman tentang konsep dasar “the act of communication” dan
“communication research” sangat dibantu oleh “rangkaian pertanyaan klasik”
dari Harold D. Lasswell yang kemudian menjadi tersohor dengan sebutan
Model Lasswell (1948). Model Lasswell meliput lima buah pertanyaan sebagai
berikut:

Who
Says What
In Which Channel
To Whom
With What Effect?

Dengan pemahaman tentang kejadian komunikasi ini, para peneliti dapat


memilih untuk menjawab salah satu pertanyaan. Dengan fokus pada “Who”
peneliti dapat meninjau faktor-faktor yang mendorong dan membimbing “act of
communication”; dengan begitu ia masuk bidang control analysis. Kemudian
peneliti yang tertarik pada “Says What” masuk ke bidang content analysis.
Selanjutnya, peneliti yang tertarik pada “In Which Channel”— radio, pers,
film, dan saluran komunikasi lain, dapat memasuki bidang penelitian media
analysis. Sedangkan peneliti yang berminat pada “To Whom”—orang-orang
yang dicapai oleh media—ia memasuki bidang penelitian audience analysis.
Akhirnya, peneliti yang berminat pada “With What Effect”—dampak dari yang

98
 ,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

ditimbulkan pada khalayak—ia dapat melakukan penelitian effect analysis.


Namun Lasswell tidak menganjurkan pemisahan bidang penelitian secara ketat,
sebaliknya ia justru menganjurkan penggabungan beberapa bidang penelitian
agar pemahaman tentang “communication act” itu menjadi lebih mendalam.
Selain menunjukkan peluang-peluang penelitian yang dapat dipilih,
Model Lasswell ini juga memberikan penjelasan bahwa “the act of
communication” melaksanakan tiga fungsi dalam sistem sosial, yang meliputi
“the surveillance of the environment”, the correlation of the parts of society in
responding to the environment, and the transmission of the social heritage
from one generation to the next”.
Selain itu, juga dijelaskan bahwa sistem sosial memiliki “distinctive
patterns” (institution) tentang “act of communication” dan tugas untuk
menentukan “certain criteria of efficiency in communication”—lembaga dan
kebijakan komunikasi yang menjamin efektivitas komunikasi. Namun dalam
kaitan ini perlu ditambahkan bahwa rangkaian kelima pertanyaan Lasswell di
atas tidak meliput pertanyaan tentang “Why”, sehingga para siswa komunikasi
tidak memperoleh pemahaman tentang berapa besar makna komunikasi (massa)
dalam masyarakat dan bagaimana mengukurnya.
Salah satu konsep penting sebagai dampak dari komunikasi
pembangunan adalah modernisasi (modernization), yang secara khusus meliput
pembaharuan politik dan partisipasi sosial dalam pembangunan. Sebagai dosen
yang percaya pada fungsi komunikasi dalam proses modernisasi sosial dan
politik, penulis berkenalan dengan buku Modernization, yang disunting oleh
Myron Weiner (ed, 1966)) dan buku Becoming Modern karya Alex Inkeles dan
David H. Smith (1974). Buku Weiner adalah buku umum yang berisi makalah-
makalah yang pernah disiarkan radio di Amerika Serikat tentang ide-ide pokok
dalam perubahan sosial politik suatu bangsa, sedang buku Inkeles-Smith
merupakan laporan riset ilmiah tentang pelaksanaan modernisasi di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin. Secara singkat dapat dikatakan bahwa buku kedua
merupakan pendukung empiris dari konsep-konsep yang termuat dalam buku
pertama. Selanjutnya, khusus tentang komunikasi dan partisipasi politik penulis
berkenalan dengan buku Communications and Political Development (1963)
yang berisi hasil-hasil riset dan pengamatan tentang perkembangan komunikasi
dan sosial-politik di Asia dan Afrika oleh Lucian W. Pye (ed., 1963). Pada
dasarnya isi buku ini sejalan dan melanjutkan “teori demokrasi” di Amerika
yang termuat dalam The Civic Culture (1963) karya Gabriel Amond dan
Sidney Verba.
Dari beberapa buku penting karya tokoh-tokoh komunikasi di atas—
meskipun tidak semua makalah tentang berbagai persoalan itu dapat penulis

99
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI

pahami—muncul kesan bahwa komunikasi adalah sebuah bidang studi yang


interdisipliner. Namun bagaimana kaitan antara berbagai disiplin keilmuan
membentuk jalinan dan membentuk teori-teori komunikasi, penulis tidak begitu
paham. Demi pemahaman tentang pembentukan teori-teori itu, penulis merasa
perlu melanjutkan studi Pascarjana ke Amerika, karena dari negeri itulah nama-
nama besar di bidang komunikasi yang dikenal itu berasal, sehingga kisah
pengandaian ini masih akan dilanjutkan di bagian berikutnya.

ILMU KOMUNIKASI: BIDANG STUDI INTERDISIPLINER


Bagaimana ilmu komunikasi menemukan dirinya sebagai bidang studi
“interdisipliner”? Pertanyaan ini langsung mengacu pada kenyataan bahwa
banyak ahli dari berbagai bidang keilmuan, seperti psikologi, sosiologi, ilmu
politik, cybernetics, matematika, retorika, lingusitik, seni, kebudayaan, dan
sejarah, yang tertarik pada “komunikasi” karena “zaman menuntutnya”.
“Tuntutan zaman” itu berkaitan dengan disorganisasi sosial dan
disfungsionalisasi sistem, khususnya karena perang. Para ahli psikologi,
misalnya, menggarap masalah-masalah psikologi dalam komunikasi dan ahli
matematik mengembangkan teori informasi yang sangat dibutuhkan.
Komunikasi dipandang sebagai bidang penelitian yang bermanfaat untuk
memahami perilaku manusia dan perilaku sosial maupun dapat membantu
menjelaskan teori-teori lain agar dapat diaplikasikan pada kehidupan nyata saat
zamannya. Dari sejumlah ahli dari berbagai bidang keilmuan itu muncul sangat
mencolok empat nama dari tiga bidang keilmuan—dua orang ahli psikologi,
seorang ahli sosiologi, dan seorang lagi ahli ilmu politik—yang oleh Schramm
(1962) dinyatakan sebagai “the founding fathers of communication research”
dalam studi ilmu komunikasi.
Dalam tulisannya yang berjudul “Communication Research in the United
States” yang menjadi pengantar buku berjudul The Science of Human
Communication (Schramm, ed., 1962) dengan tegas menyatakan Paul
Lazarsfeld (ahli sosiologi didikan Vienna), Kurt Lewin (ahli psikologi didikan
Vienna), Harold Lasswell (ahli ilmu politik didikan Universitas Chicago), dan
bintang mati muda Carl Hovland (ahli psikologi didikan Yale University). Paul
F. Lazarsfeld (1901-1976) yang berkebangsaan Austria, datang ke Amerika
Serikat dan menjadi staf di Bureau of Applied Social Research di Columbia
University, New York. Lazarsfeld mempunyai spesialisasi “survey research”
dengan minat khusus tentang dampak-dampak media massa dan hubungannya
dengan pengaruh pergaulan (personal influence). Baginya pengukuran khalayak

100
 ,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

(audience measurement) dapat digunakan untuk memahami media. Pilihan atas


jenis program menunjukkan sesuatu tentang orang maupun tentang programnya
sendiri. Langkah berikutnya mencari tahu tentang mengapa orang-orang
memilih program tersebut. Kemudian mengetahui bagaimana mereka
menggunakan apa yang diperolehnya dari media, dan akhirnya apa dampak dari
media atas perilaku dalam pemilihan umum, cita rasa, dan pandangan-
pandangan umum tentang kehidupan dan masyarakat. Di lembaga tersohor itu,
selain Lazarsfeld juga bekerja Robert K. Merton, seorang ahli teori sosial
moderen, yang mencetuskan konsep-konsep penting—latent and manifest
functions, social effects, opinion leadership, parochialism, cosmopolitanism,
dan popular taste—sebagai dampak dari penggunaan media massa. Kemudian
dari lembaga tersebut muncul ahli-ahli kenamaan, seperti Elihu Katz, Joseph T.
Klapper, dan Herbert Menzel.
Tokoh kedua adalah Kurt Lewin (1890-1947), yang berkebangsaan
Austria adalah seorang ahli psikologi Gestalt yang datang ke Amerika Serikat
dan bekerja di University of Iowa. Minatnya adalah pada komunikasi dalam
kelompok dan dampak dari tekanan kelompok, norma-norma kelompok, ikatan
dan keutuhan kelompok, dan peran kelompok dalam perilaku maupun pada
sikap-sikap anggota kelompok. Dari rangkaian riset yang dilakukan dengan
beberapa staf mudanya, diperoleh pemahaman tentang perilaku kelompok
dengan kepemimpinan demokratik dan kepemimpinan otoriter (democratic and
authoritatian leadership), perubahan perilaku penting dengan komunikasi dan
keputusan partisipatif kelompok—pembiasaan makan daging limpa, hati, dan
ginjal sapi—jaringan informasi kelompok dan gatekeeping role (social
network). Dengan berbagai riset kelompok yang dilakukan, ia diakui sebagai
perintis Group Dynamics Movement. Di antara para ahli kenamaan yang
kemudian melanjutkan minat Lewin adalah Leon Festinger dan William J.
McGuire, Jack Brehm, dan David Manning White.
Tokoh ketiga adalah Harold Dwight Lasswell (1902-1978), kelahiran
Donnellson di Illinois, adalah seorang ahli ilmu politik lulusan University of
Chicago. Minat awalnya adalah pada penelitian tentang propaganda dalam
aliran riset kesisteman (systems research) tentang komunikasi di kalangan
bangsa-bangsa dan masyarakat. Kemudian studinya makin terfokus pada tokoh-
tokoh komunikasi politik yang sangat berpengaruh di Eropa, seperti Adolph
Hitler. Dalam usaha tersebut ia menjadikan ilmu politik tidak terpisahkan dari
komunikasi, dan selanjutnya komunikasi terkait dengan psikoanalisis.
Singkatnya, ia berjasa karena telah berhasil meyakinkan bahwa komunikasi
memang merupakan bidang studi interdisipliner. Dari riset-riset Lasswell
tersebut dapt dipelajari tentang content analysis dan penggunaan statistik dalam
riset komunikasi. Dampak komunikasi—propaganda sebagai komunikasi

101
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI

politik—dapat dilihat pada bobot dan intensitas pola penggunaan kata-kata


kunci dan lambang (symbol) di dalam pesan-pesan yang disebarkan melalui
media massa. Dengan konsep propaganda itu Lasswell mengajukan pemikiran
“pengubahan pandangan orang” sebagai strategi “managing public opinion”.
Minatnya terhadap “public opinion” memperkuat kedudukan konsep “Public
Opinion” di negara demokrasi yang mengandalkan media komunikasi massa
yang sebelumnya dicetuskan oleh Walter Lippmann (1922). Bekerja sama
dengan John Marshall, salah seorang pengurus The Rockefeller Foundation, ia
membuat program “Rockefeller Foundation Seminar on Mass Communication”
yang berlangsung selama sepuluh bulan (1939-1940). Rangkaian seminar itu
antara lain melahirkan sebuah buku klasik, yang sangat penting dalam studi
ilmu komunikasi, berjudul The Communication of Ideas (ed. Lyman Bryson,
1948). Buku klasik ini berisi enambelas artikel tentang berbagai aspek
komunikasi—tiga di antaranya dikenal karena dimuat kembali dalam buku
Wilbur Schramm, yakni “The Structure and Function of Communication in
Society” (Harold D. Lasswell), “Mass Communication, Popular Taste, and
Organized Social Action” (Paul F. Lazarsfeld dan Robert K. Merton) dan
“Some Cultural Approaches to Communication” (Margaret Mead). Dua tokoh
muda yang melanjutkan minat Lasswell di bidang “public opinion, mass
communication, content analysis, and propaganda” adalah Ralph Casey
lulusan dari University of Wisconsin dan Ithiel de Sola Pool lulusan University
of Chicago. Bahkan selama Perang Dunia II Casey dan Lasswell sama-sama
bekerja di Office of Facts and Figures yang kemudian menjadi lebih terkenal
dengan sebutan Office of War Information (OWI) di Washington, D.C.
Tokoh keempat adalah Carl Hovland (1912-1961), seorang ahli psikologi
yang mempunyai reputasi sebagai ahli psikologi eksperimental. Sebagai dosen
yang juga mempunyai pengalaman bekerja pada US Army Research Branch di
bawah pimpinan Samuel A. Stouffer selama perang dunia, ia menunjukkan
minat yang luar biasa pada “communication and attitude change”. Pada
awalnya ia melakukan studi tentang “persuasion” yang bertumpu pada teori
Carl Rogers tentang pentingnya “conclusion drawing by clients” dalam
hubungannya dengan “credibility of the communicator” dalam proses
perubahan sikap, dan teori tentang “mass communication and its effects”.
Kemudian minat penelitiannya dilanjutkan dengan rangkaian eksperimen
pembelajaran di kalangan militer, yang terkenal sebagai buku dengan judul
Experiments on Mass Communication (1949). Dalam rangkaian eksperimen itu,
ia menggunakan film melihat “the effects of the army’s morale films” yang
dilengkapi dengan wawancara mendalam dengan personil militer—tidak hanya
mengandalkan ukuran kuantitatif. Film-film itu dibuat untuk meningkatkan
semangat bertempur di kalangan militer. Dengan eksperimen-eksperimen yang

102
 ,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

menggarap konsep-konsep Aristoteles—logos, etos, dan pathos—Hovland


dapat dikatakan menghidupkan kembali pengembangan retorika moderen
(modern rhetoric). Dalam riset-riset tersebut, misalnya, ia menggunakan
konsep–konsep kredibilitas, pesan-pesan satu sisi dan dua-sisi, pengaruh rasa
takut, dan inokulasi untuk melawan propaganda. Dalam literatur komunikasi,
riset Carl Hovland terkenal dengan sebutan “message learning approach”
(MLA), yang pada dasarnya menunjukkan bagaimana orang belajar tentang
pesan-pesan komunikasi. Rangkaian riset eksperimen yang dilakukan oleh
Hovland mempunyai implikasi sangat besar pada komunikasi massa, karena
meskipun “persuasion experiments” itu dapat dikategorikan sebagai
komunikasi antar pribadi namun juga berlaku untuk studi tentang perilaku
komunikasi massa pada tingkatan mikro, yakni bagaimana orang “menyerap
pesan-pesan” (reception of messages) dari media komunikasi massa. Dari
seluruh rangkaian penelitiannya, “the credibility experiments” adalah yang
paling tersohor dan menjadi model dalam penelitian-penelitian sejenis
selanjutnya. Berkat rangkaian penelitiannya tersebut, oleh Schramm (1985), ia
dijuluki sebagai “orang yang paling berjasa di bidangnya”. Julukan itu
nampaknya tidak berlebihan, karena “setiap tahun sejak terbitnya buku
Communication and Persuasion (1958) sampai akhir hayatnya (1961) Hovland
dan stafnya di Yale University menerbitkan sebuah buku tentang perubahan
sikap”. (Everett M. Rogers, 1994: 378-79). Para penerus kenamaan yang
melanjutkan studi jalur ini adalah Irving L. Janis dan Nathan Maccoby. Dari
Hovland dapat dipelajari tentang “teori perubahan sikap melalui komunikasi”—
the theory of how to change attitudes by means of communication.
Sumbangan keempat tokoh perintis ini sangat mewarnai teori dan
metodologi dalam penelitian komunikasi—khususnya komunikasi massa—di
Amerika kemudian. Dengan jelas tampak bahwa penelitian komunikasi
mengandalkan pengukuran dengan angka-angka—quantitative rather than
speculative—seperti “content analysis, audience measurement, group
dynamics, message learning approach”, meskipun Carl Hovland juga
menggunakan wawancara untuk membantu penjelasannya. Mereka pada
dasarnya sangat peduli tentang pengembangan teori, namun bagi mereka yang
penting adalah teori yang dapat diuji. Singkatnya, tampil sebagai “behavioral
researchers”, mereka mencoba mencari sesuatu tentang “mengapa manusia
bertindak begitu”—behave as they do—dan bagaimana komunikasi dapat
membuat mereka hidup bersama secara lebih bahagia dan produktif.
Dari pengamatannya tentang penelitian komunikasi di Amerika Serikat,
Schramm akhirnya menjelaskan bahwa “pusat-pusat studi komunikasi
bermunculan tidak saja terbatas pada Bureau of Applied Social Research
(Columbia University) dan Communication and Attitude Change Program

103
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI

(Yale University), tetapi juga menyebar ke Stanford, Illinois, M.I.T. , Michigan


State dan Wisconsin” (Schramm, 1962: 6).
Dalam kisah pengandaian ini penulis tentu saja kecewa menemukan
kenyataan bahwa Wilbur Schramm dan Everett M. Rogers yang semula penulis
anggap sebagai “dua nama paling besar” dalam studi komunikasi—khususnya
komunikasi massa—tidak didudukkan sebagai “founding fathers”. Penulis baru
merasa lega kemudian, ketika membaca bahwa Wilbur Schramm (1907-1987)
mendapat julukan “institutionalizer”—pelembaga studi ilmu komunikasi—oleh
Everett M. Rogers (1986: 107). Komunikasi menjadi bidang keilmuan secara
penuh dan absah—terpisah dari ilmu politik, sosiologi, dan psikologi—berkat
usaha dan jasa dari Schramm. Berikut ini adalah beberapa kesimpulan yang
dapat ditarik dari kesaksian para ahli tentang jasa Wilbur Schramm sebagai
“institutionalizer” dalam bidang studi ilmu komunikasi.

 “[It was his vision], “more than anyone else, that


communication could become a field of study in its own right”
(William Paisley, 1985: 2).

 Memang sejak ditunjuk menjadi Director of Education Division


pada Office of Facts and Figures (OFF) oleh penyair Archibal
MacLeish, yang saat itu menjadi kepala US Library of
Congress, yang merangkap jabatan direktur OFF, Schramm
membayangkan komunikasi sebagai sebuah bidang keilmuan
… “Vision of Communication Study” yang menimba banyak
konsep dan teori dari ajaran-ajaran psikologi, sosiologi, dan
politik namun berdiri sendiri dan tidak merupakan bagian dari
ketiganya.

 “He had a vision for founding the new field of communication


study.” (Rogers, 1994: 16).

 Visi itu lahir dari pengalamannya selama lima belas bulan


sebagai perencana “white propaganda … aimed at domestic
audience”: menyebar informasi kepada rakyat tentang
perkembangan perang dan himbauan agar rakyat rela
melakukan pengorbanan tertentu untuk memenangkan perang.

104
 ,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

Singkatnya, kampanye untuk “to boost domestic morale” yang


menjadi tanggung jawabnya sebagai perencana “white
propaganda” itu memaksa Schramm terlibat dalam sebuah
jaringan interaksi yang intensif dengan berbagai ahli ilmu
sosial yang menjadi pejabat atau penasehat pada tiga lembaga
penting di Washington DC saat itu, yakni Research Branch-
Information and Education Division (US Army) yang diketuai
Samuel A. Stouffer, Survey Division-Office of War Information
(OWI) pimpinan Elmo Wilson, dan Division of Program
Surveys-US Department of Agriculture (USDA) pimpinan
Rensis Likert. “Jaringan intensif selama Perang Dunia II itu
“created the conditions for the founding of communication
study”.

 Willard Grosvenor Bleyer (1934), yang kemudian terkenal


dengan sebutan “Daddy Bleyer”, “the founding father of
journalism education” menyermpurnakan pendidikan
jurnalisme di University of Wisconsin—Departement of
Journalism dibentuk tahun 1912—menjadi bidang studi ilmu
sosial yang handal—bukan program teknik jurnalistik—dengan
menggabungkan ilmu-ilmu sejarah, ekonomi, politik dan
pemerintahan, sosiologi, psikologi, dan ilmu kemunusiaan.
Dengan penyempurnaan tersebut, pendidikan jurnalisme
mendapat tempat terhormat dan berkembang di universitas
yang bangga sebagai Research University itu, karena dapat
dilanjutkan dengan program doktor, yang kemudian terkenal
dengan sebutan “School of Journalism and Mass
Communication”. Hasil didikan Bleyer, seperti Ralph O.
Nafziger, Fred Siebert, Chilten Bush, dan Ralph Casey
kemudian menjadi motor penggerak dari program komunikasi
yang dibangun oleh Wilbur Schramm. (Rogers, 1994: 466).

 Ralph O. Nafziger, seorang didikan Bleyer di University of


Wisconsin, memperkenalkan “some communication study into
his school of journalism” di University of Minnesota (1944)—
mengembangkan jurnalisme menjadi komunikasi massa.

105
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI

Singkatnya, langkah yang ditempuh Wilbur Schramm memang


istimewa—berbeda dengan Nafziger dan Bleyer. Kalau kedua tokoh itu
“memantapkan kedudukan ilmiah pendidikan jurnalisme” yang ada dengan
mempersiapkan program pascasarjana dengan orientasi komunikasi massa,
Wilbur Schramm mempersiapkan peluncuran program baru, yang belum ada
sebelumnya—“launching a whole new field of academic study” . Hal itu
mulanya dilakukan di University of Iowa, tetapi baru terlaksana beberapa
waktu kemudian di Illinois dengan didirikannya Institute of Communication
Research di University of Illinois (1947). Perkembangan ilmiah dan riset
komunikasi—khususnya komunikasi massa—terkait dengan munculnya
Communication Research Institute yang menopang program-program doktoral
di universitas-universitas Iowa, (1943), Illinois (1947), Wisconsin (1949),
Minnesota (1951), dan Stanford (1952). Pembicaraan tentang awal dari
program pascasarjana ilmu komunikasi ini dibuat agak rinci karena hal itu
sangat berpengaruh pada arah perkembangan ilmiah—teori-teori komunikasi
umumnya berkembang sejalan hasil riset para penulis disertasi untuk gelar
doktor, karena gelar tersebut memang merupakan gelar riset.

STATUS SEKARANG
Pengenalan tentang keempat “bapak” ilmu komunikasi dan “perintis”
program pendidikan pascasarjana di bidang ilmu komunikasi dapat memberikan
bayangan pada kita, bagaimana perkembangan teori komunikasi selanjutnya.
Teori komunikasi berkembang di kampus-kampus yang menyelenggarakan
pendidikan pascasarjana yang dilengkapi pusat atau lembaga risaet
komunikasi massa yang berawal di universitas-universitas di wilayah
Midwest—dengan kekecualian universitas Stanford di California—yang
kemudian diikuti oleh universitas di wilayah lain. Pengembangan teori-teori
komunikasi merupakan hasil rangkaian kerja riset yang tidak mengenal lelah—
baik melalui pendekatan positivism maupun subjectivism—sebagaimana tersirat
dari riset para bapak di atas. Ilmu komunikasi yang dicita-citakan oleh Wilbur
Schramm tidak terbatas pada bidang ”komunikasi massa” (mass
communication) yang ternyata dikaitkan dengan Journalism, tetapi juga meliput
“komunikasi antar manusia” (human communication), yang pada saat itu
dipahami sebagai “komunikasi antar pribadi” (interpersonal communication)
dan menjadi bagian dari Speech and Drama. Komunikasi massa cenderung
berkembang sebagai profesi keilmuan sosial, sehingga umumnya dikelola
sebagai “Sekolah” (School of Journalism and Mass Communication), sedang
komunikasi antar pribadi dikembangkan sebagai ilmu kemanusiaan dalam

106
 ,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

bentuk “Jurusan” (Departemen tof Speech Communication atau


Communication Arts) yang berafiliasi dengan Department of English. Banyak
universitas terkenal memiliki kedua-duanya—School of Journalisme and Mass
Communication dan Department of Communication Arts. Dalam praktek,
mahasiswa mempunyai kebebasan untuk mengembangkan program studinya
dengan mengambil kuliah di kedua departemen tergantung pada minat khusus
dalam penyusunan program pribadinya.
Arah dan orientasi teoritik dalam studi ilmu komunikasi secara teratur
dirangkum dan ditinjau ulang dalam buku-buku teori dan perkembangan dari
saat ke saat dilaporkan dalam Communication Yearbook. Buku-buku teori yang
beredar di Indonesia antara lain Theories of Human Communication (Stephen
W. Littlejohn), Theories of Mass Communication (Melvin L. DeFleur), Mass
Communication Theory (Denis McQuail),Communication Theories:
Perspectives, Processes, and Contexts (Katherine Miller), A First Look at
Communication Theory (Em Griffin), dan Foundations of Communication
Theory (ed. Kenneth Sereno dan C. David Mortensen). Perkembangan teori
terutama menjadi pembicaraan dan topik penelitian dari jurnal-jurnal ilmiah
yang diterbitkan oleh ICA (International Communication Association),
khususnya Communication Theory, Journal of Communication, dan Human
Communication Research dan AEJMC (Association for Education in
Journalism and Mass Communication), khususnya Journalism and Mass
Communication Quarterly, Journal of Public Relations Research, dan Mass
Communication and Society.
Untuk memudahkan pemahaman dan pembedaan teori-teori yang kini
dikembangkan dalam berbagai kegiatan penelitian dan dilaporkan dalam jurnal-
jurnal ilmiah, Robert Craig (University of Colorado) mencoba membuat peta
teori (mapping the theory), yang meliput tujuh bidang, yang telah membentuk
tradisi dalam penelitian komunikasi. Ketujuh teori adalah 1) socio-
psychological theory: pengaruh antar pribadi (interpersonal influence); 2)
cybernetics theory: pemrosesan informasi (information processing); 3)
rhetorical theory: seni pidato (the artful public address); 4) semiotics theory:
proses kebersamaan makna melalui tanda (the process of sharing meaning
through signs); 5) socio-cultural theory: penciptaan dan pengungkap realitas
sosial (creation and enactment of social reality); 6) critical theory: penelurusan
reflektif tentang wacana yang timpang (reflective challenge of unjust
discourse); dan 7) phenomenological theory: pengalaman pribadi dan orang
lain melalui dialog.

107
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI

Bila disimak menurut paradigma yang digunakan maka segenap


penelitian yang disajikan dalam jurnal-jurnal ilmiah baku (mainstream
communication journals) yang dimaksudkan untuk membangun teori tersebut
dapat digolongkan menjadi tiga paradigma dasar yaitu 1) empirisisme, yang
mencoba menjelaskan, meramalkan, dan melakukan kontrol atas fenomena-
fenomena yang teramati dengan menunjukkan hubungan-hubungan yang umum
dan penting; 2) hermeneutika, yang mencoba memahami makna-makna
perilaku manusia melalui penafsiran teks dan kerangka-kerangka pemahaman;
dan 3) kritikisme, yang mencoba melakukan perubahan-perubahan
emansipatoris melalui refleksi kritis atas kebiasaan sosial. Paradigma kedua
dan ketiga menjadi sangat popular dalam pendekatan budaya (cultural studies)
yang juga terkenal dengan sebutan media studies yang menunjukkan ciri
khusus, yakni “naturism, social causation, and functionalism” (James Porter et
al. 1993: 317-335).
Bila buku-buku teori dan jurnal-jurnal tersebut disimak, dapat diperoleh
sebuah gambaran bahwa teori fungsionalisme, terutama “communication
effect” merupakan teori komunikasi yang tetap kokoh dan dimantapkan oleh
rangkaian penelitian di berbagai lingkungan sosial. Teori ketergantungan
(dependency theory) dan pembuatan jadwal (agenda setting) telah berkembang
ke arah pembentukan kerangka pandang individual (framing). Namun perlu
dicatat bahwa teori propaganda—termasuk kampanye politik—tidak lagi
dianggap memiliki “super-influence” seperti dalam Era Perang Dingin,
meskipun propaganda sudah menjadi roh komodifikasi informasi dan iklan
bisnis. Salah satu aliran dalam teori besar fungsionalisme adalah teori
normatif (normative theory) yang menjelaskan letak, kedudukan, dan fungsi
komunikasi dalam konteks sosial budaya dalam artian luas—sosial, ekonomi,
peolitik, psikologi, dan budaya.
Teori kesisteman (systems theory), yang juga dikenal sebagai teori
kesisteman dasar (general systems theory), termasuk teori informasi
(information theory) dan sibernetika (cybernetics) secara khusus menjadi
landasan bagi perkembangan komunikasi keorganisasian dan teori jaringan
yang peka terhadap umpan balik, distorsi, kadar muatan (load capacity),
saluran-media, dan interdependensi antar sistem—subsistem-sistem-
suprasistem—melalui input, process, dan output plus feedback. Teori informasi
dan pengaruh (information theory and influence) khususnya dikembangkan
menjadi bidang kajian dan profesi hubungan masyarakat (public relations),
yang juga meliput public opinion and the communication of consent.

108
 ,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

Berkat pengaruh paradigma kritis sistem produksi komunikasi kini


mendapat perhatian yang makin besar, karena media komunikasi massa
dianggap sebagai alat dari kelas dominan untuk mempengaruhi kesadaran sosial
palsu (false consciousness) dengan nilai-nilai materialistik dan hedonistik guna
memupuk hegemoni. Dalam kerangka ini baik penguasaan media massa global
maupun kebijakan isi mendapat perhatian khusus—terutama televisi yang telah
tampil sebagai media massa yang paling global. Dalam kerangka paradigma
kritis ini juga muncul pendekatan naturalistis yang menghasilkan
etnometodologi dan fenomenologi postmodernisme yang cenderung
menampilkan pemahaman pribadi atas fenomena yang tengah terjadi. Pada
dasarnya ini merupakan manifestasi paling signifikan dari subjektivisme menuju
konstruktivisme (social constructivist), yang antara lain memunculkan “post
colonial communcation theory of development” dan dikotomi antara
“lokalisme dan globalisme”. Teori kritis telah menunjukkan kekuatan analisis
tradisional sejak dicetuskannya teori “structural imperialism” dan
“underdevelopment dan dependence” dalam jaringan komunikasi
internasional—termasuk cultural domination theory. Akhirnya, salah satu jasa
besar dari teori kritis adalah lahirnya feminisme dalam teori komunikasi.
Subjektivisme tentang pemaknaan pesan komunikasi—khususnya dari
media komunikasi massa (mediated message)—gratification theory yang
umumnya dipahami dalam pengertian “uses and gratifications” , yang
dioperasionalisasikan sebagai kepuasan yang diharapkan dan kepuasan yang
diperoleh, kini masih terus dikembangkan bahkan dengan kemungkinan
“feedback” untuk memahami media khalayak yang aktif menghadapi pilihan-
pilihan media. Subjektivisme dalam pemaknaan dan pemaknaan sosial telah
melahirkan interaksionisme simbolik yang akhirnya melahirkan konsep budaya
sebagai alat kontrol pergaulan sosial—dalam sistem organisasi mendapat
sebutan organizational culture atau corporate culture—karena budaya
dipandang sebagai alat yang efektif untuk mengurangi “uncertainty” dari
lingkungan.
Teori terakhir yang kiranya layak dikemukakan adalah munculnya multi-
kulturalisme komunikasi dalam teori maupun praktek. Multikulturalisme
berkaitan dengan globalisme yang kini sedang melanda dunia—termasuk dunia
bisnis—sehingga multikulturalisme dan diversitas budaya dalam teori
komunikasi organisasi, public relations, maupun komunikasi internasional kini
mendapat perhatian luar biasa.

109
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI

DAFTAR PUSTAKA

Berelson, Bernard dan Morris Janowitz (eds). 1953. Reader in Public


Opinion and Communication. Glencoe, IL: The Free press
Berger, Charles R. dan Steven H. Chaffee (eds). 1987. Handbook of
Communication Science. Newbury, CA: Sage Publications Inc.
Bryson, Lyman (ed). 1948. The Communication of Ideas. New York:
Harper and Brothers & Institute for Religious and Social Studies.
Cherry, Colin. 1975. On Human Communication: A Review, A Survey,
and A Criticism. Seventh printing. Cambridge, MA: The MIT
Press.
Delia, Jesse G. 1987. Communication Research: A History dalam
Handbook of Communication Science, eds. Berber R. Charles dan
Steven H. Chaffee. Newbury, CA: Sage Publications Inc.
Griffin, Em. 2003. A First Look at Communication Theory. Fifth ed.
Boston, MA: McGraw-Hill Book Co.
Heath, Robert L. dan Jennings Bryant. 2000. Human Communication
Theory and Research. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum associates,
Publishers.
Lerbinger, Otto dan Albert J. Sullivan (eds). 1965. Information and
Influence. New York: Basic Book Co.
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication.
Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co.
Miller, Katherine. 2002. Communication Theories: Perspectives,
Processes, and Contexts. Boston, MA: McGraw-Hill Book Co.

110
 ,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika

McQuail, Denis. 2000. Mass Communication Theory. Fourth ed.


London: Sage Publications Inc.
Rogers, Everett M. 1994. A History of Communication Study: A
Biographical Approach. New York: The Free Press.
Schramm, Wilbur (ed). 1960. Mass communications. Urbana, IL:
University of Illinois Press.
__________________. 1961. The Science of Human Communication.
New York: Basic Book Co.
__________________. 1972. The Process and Effects of Mass
Communication. Revised ed. Urbana, IL: University of Illinois
Press.
Sereno, Kenneth dan David Mortensen (eds). 1970. Foundations of
Communication Theory. New York: Harper & Row Publishers.
Smith, Alfred G. (ed). 1966. Communication and Culture: Reading in
the Codes of Interaction. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Sola Pool, Ilthiel de, Wilbur Schramm (eds). Handbook of
Communication. Chicago, IL: Rand McNally Publishing Co.
Communication Theory: an official journal of ICA (International
Communication Association)
Communication Yearbook: an official publication of ICA
Human Communication Research: an official journal of ICA
(International Communication Association)
Journal of Communication: an official journal of ICA (International
Communication Association)
Journalism and Mass Communication Quarterly: an official journal of
AEJMC (Association for Education in Journalism and Mass
Communication)

111
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI

Journal of Public Relations Research: an official journal of AEJMC


(Association for Education in Journalism and Mass
Communication)
Mass Communication and Society: an official journal of AEJMC
(Association for Education in Journalism and Mass
Communication)

112
Perkembangan Hubungan Perkawinan:
Kajian Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan
Antarpribadi pada Suami-Istri Katolik3

Anne Suryani4

Abstract: Focus of this research is the interpersonal relation growth


phases in marriage at different marriage age. The analysis relies on
the theory of The phases of interpersonal relation growth from Devito
( 2001), namely phase of Contact, Involvement, Intimacy, Deterioration,
Repair, and Dissolution. Research shows that interpersonal relations
of couple in Chatolic marriage develop through the phase: Contact,
Involvement, Intimacy, Deterioration, and Repair phase. The
Dissolution phase is not (yet) experienced by the informan because of
principle of Chatolic marriage they believe. Marriage age does not
relate to the relationship growth. The relationship growth itself varies
in term of time, situation and process.

Key words: Contact, Involvement, Intimacy, Deterioration, Repair,


Dissolution.

Penelitian ini berfokus pada hubungan seorang laki-laki dan seorang


perempuan yang terlibat dalam perkawinan. Topik perkawinan sangat menarik
karena fenomena ini adalah hasil dari suatu hubungan sekaligus merupakan
suatu proses yang terus berlangsung dalam kehidupan manusia. Ada pendapat
bahwa perkawinan merupakan hal yang indah tetapi sekaligus bisa
menimbulkan perasaan frustasi bagi pasangan yang menjalani perkawinan
tersebut. Cecil G. Osborne (1970, 1988) mengatakan bahwa:

3
Tulisan ini merupakan ringkasan tesis bidang Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana
Universitas Indonesia.
4
Anne Suryani adalah staf pengajar tidak tetap pada Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi,
Universitas Indonesia; dan mengajar bidang ilmu komunikasi di beberapa universitas swasta dan
institusi pemerintah

113
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

"…tidak ada pernikahan yang sempurna dan tidak seorang pun dapat
memenuhi semua kebutuhan orang lain. Kesulitan mencapai suatu
pernikahan yang baik disebabkan oleh perbedaan genetis antara dua
orang. Latar belakang lingkungan mereka berbeda, begitu juga
kepribadian, kebutuhan-kebutuhan, tujuan, dorongan-dorongan dan
reaksi-reaksi emosional mereka.”

Keunikan yang terjadi pada hubungan perkawinan adalah meskipun


banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional,
lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil.
Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri
yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan utama hidup
bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan
dan masalah (Osborne, 1988).
Perkawinan adalah bentuk hubungan antarpribadi yang spesifik.
Meskipun banyak orang yang akan atau telah mengalaminya tetapi terdapat
beragam perbedaan tipe hubungan, model, tahapan, perkembangan dan proses
yang berubah setiap waktu. Hollingshead (1950), Katz dan Hill (1956)
menyatakan perkawinan umumnya dibentuk antarindividu yang memiliki
kategori kebudayaan tertentu, seperti kesamaan latar belakang etnis, ras,
agama, pendidikan dan sosial ekonomi.
Perkawinan merupakan bagian dari sistem sosial. Jenis hubungan ini
menjadi dasar pembentukan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam
masyarakat. Keberhasilan, kebahagiaan, kegagalan, atau perpecahan
perkawinan berdampak langsung pada kelangsungan kehidupan keluarga.
Meskipun tingkat keberhasilan dan makna kebahagiaan bersifat relatif dan tidak
sama bagi setiap orang, mencapai kebahagiaan dan perkawinan yang sukses
merupakan keinginan semua suami-istri.
Faktor kesamaan sangat penting bagi kedua individu yang terikat
perkawinan. Umumnya kesamaan membawa hubungan menjadi lebih harmonis
(Schmiedeler, 1946). Sementara perbedaan yang terlalu besar akan mengarah
pada situasi yang memanas, pergesekan dan ketidakharmonisan hubungan.
Kesamaan antarindividu umumnya terjadi pada latar belakang budaya. Budaya
mencakup hal-hal seperti agama, ras, pendidikan, dan lain-lain. Budaya sangat
mempengaruhi adat atau tata cara berperilaku, tujuan yang dicapai, perasaan,
sikap, gagasan dan keinginan orang.
Setiap perkawinan tak lepas dari pengaruh agama yang dianut oleh suami
dan istri. Agama mempengaruhi prinsip, cara pandang dan dasar tindakan

114
        
  

seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Tulisan ini merupakan hasil


pengamatan terhadap pasangan yang terlibat perkawinan secara agama Katolik.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan perkawinan Katolik berbeda dari
perkawinan agama lain.
Pasangan yang akan menjalani perkawinan menurut agama Katolik
harus melalui beberapa tahap. Pertama, pihak laki-laki dan perempuan
berkonsultasi dengan pastor selaku pemimpin gereja di lingkungan di mana
salah satu pasangan tinggal. Lalu calon suami-istri mengikuti Kursus Persiapan
Perkawinan di Gereja Katolik yang telah ditentukan. Materi dalam kursus
antara lain tentang kesehatan, keluarga berencana, pengelolaan keuangan
keluarga, komunikasi antara suami-istri, dan prinsip atau pandangan agama
Katolik terhadap perkawinan.
Pasangan juga harus mempersiapkan Surat Permandian yang telah
dilegalisir oleh Gereja di mana surat tersebut dikeluarkan. Dalam lembaran
surat itu tertera tanggal penerimaan Sakramen Permandian, Sakramen
Penguatan dan Sakramen Perkawinan. Setiap orang yang dipermandikan secara
Katolik hanya memiliki satu surat dan dicatat oleh Pusat Gereja Katolik di
Vatikan. Sehingga jika seseorang telah kawin secara Katolik, dalam Surat
Permandiannya tercantum tanggal penerimaan Sakramen Perkawinan pula.
Aturan yang ketat ini dibuat oleh Gereja Katolik untuk menghindari terjadinya
perkawinan lebih dari satu kali.
Agama Katolik hanya mengijinkan perkawinan antara laki-laki dan
perempuan terjadi satu kali seumur hidup dan melarang perceraian. Menurut
kitab suci agama Katolik, awal suatu hubungan antara laki-laki dan perempuan
sebagai berikut,
Tuhan Allah berfirman:"Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja.
Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."
Lalu Tuhan Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur,
Tuhan Allah mengambil salah satu rusuk daripadanya, lalu menutup
tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil Tuhan Allah
dari manusia itu, dibangunNyalah seorang perempuan, lalu dibawaNya
kepada manusia itu (Kejadian 2:18, 21, 22).

Setelah hubungan antarpribadi berkembang dan memasuki bentuk


perkawinan, Alkitab menyatakan: "Sebab itu seorang laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga
keduanya menjadi satu daging" (Kejadian 2:24).

115
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

Artinya seorang laki-laki akan setia kepada istrinya melebihi ikatannya


kepada orang tuanya. Namun pemaknaan kata "meninggalkan" bukan berarti
"memutuskan hubungan". Ikatan harus juga timbul di antara keluarga yang baru
dari laki-laki dengan istrinya itu dan orang tua mereka (Chong Kwong Tek &
Chua Wee Hian, 1999).
Mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terlibat
perkawinan, Agama Katolik dalam kitab sucinya menjelaskan:
“Hawa melengkapi kebutuhan Adam dengan sempurna. Ia memiliki
segala sifat yang dibutuhkan untuk melengkapi kebutuhan fisik, emosi,
intelektual dan sosial Adam. Hubungan saling melengkapi berawal dari
suatu kekosongan yang dirasakan pria dan kemampuan wanita dalam
mengisi kekosongan itu menjadi dasar dari suatu pernikahan.”
(1 Korintus 11:9)

Setelah laki-laki dan perempuan memasuki jenjang perkawinan, ada


prinsip penting yang tertulis dalam kitab suci dan diberlakukan secara ketat
oleh Gereja Katolik yakni komitmen seumur hidup, sebagaimana kutipan
berikut: "…karena itu apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan
manusia” (Matius 19:4-6).
Laki-laki dan perempuan yang kawin secara Katolik mengikrarkan janji
perkawinan di hadapan Tuhan. Berikut kutipan lain dari Kitab suci tentang
perkawinan: “Janji pernikahan adalah ungkapan komitmen seumur hidup. Arti
dari janji ‘mulai hari ini’ berlangsung seumur hidup seseorang. Itulah janji yang
tidak dapat dibatalkan” (Pengkhotbah 5:4).
Penelitian dilakukan dengan mengamati pasangan suami-istri yang kawin
secara Katolik dengan usia perkawinan yang berbeda untuk melihat bagaimana
proses perkembangan hubungan antarpribadi yang terjadi. Pasangan suami-istri
yang memiliki usia perkawinan lebih muda cenderung memiliki komunikasi
antarpribadi yang berbeda dengan suami-istri yang lebih lama terlibat
perkawinan.
Johan Suban Tukan (1999), seorang pembina Kursus Persiapan
Perkawinan di Keuskupan Agung Jakarta yang telah berpengalaman selama 23
tahun mengungkapkan,
"Seorang yang belum menikah seandainya berbicara tentang
perkawinan pasti sangat lain dengan mereka yang telah menikah.
Demikian pula pasangan suami-istri yang baru lima tahun menikah
pastilah lain sekali cara memandang perkawinan dibandingkan dengan
yang sudah menikah 20,30 bahkan 50 tahun. Rupanya banyak hal

116
        
  

tentang perkawinan yang ketika masa muda dinilai absolut, justru


ketika dewasa dan tua dinilai semakin relatif. Semakin tua diharapkan
orang semakin lebih arif."

Komunikasi berperan penting dalam kehidupan manusia. Ada perceraian


yang terjadi karena kegagalan suami dan istri berkomunikasi. Penelitian ini
memberi gambaran mengenai tahap-tahap perkembangan hubungan
antarpribadi pada pasangan beragama Katolik dengan usia perkawinan lima,
limabelas dan tigapuluh tahun. Juga dijelaskan temuan mengenai hal-hal yang
terjadi selama perkawinan tersebut berlangsung.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kualitatif berdasarkan paradigma interpretif atau
konstruktivis. Peneliti terlibat pengamatan langsung terhadap pelaku sosial
dalam kehidupan sehari-hari sehingga mampu memahami dan menafsirkan
bagaimana para pelaku sosial dapat menciptakan dan mengelola dunianya.
Kriteria penilaian kualitas penelitian ini didasarkan pada authenticity dan
reflectivity yaitu bagaimana hasil penelitian merefleksikan secara otentik suatu
realitas sosial yang dihayati para pelaku sosial.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan studi kasus berdesain
multicases single level analisys dengan strategi etnografi. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan pengamatan. Untuk
pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahap orientasi,
eksplorasi dan "Member Check".
Penelitian dilakukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan unit
analisis pada tingkat pasangan. Informan adalah warga negara Indonesia,
suami-istri yang kawin resmi secara Katolik dan merupakan pasangan yang
kawin untuk pertama kali atau belum pernah mengalami perceraian.
Pemilihan informan menggunakan cara Snowball Sampling. Data
diperoleh dari 3 (tiga) kasus suami-istri yang berbeda usia perkawinan yakni
lima tahun (Ant-Yyn), limabelas tahun (Har-Von) dan tigapuluh tahun (Rob-
Tin). Nama informan ditulis berdasarkan inisial. Pihak laki-laki adalah Ant (35
th), Har (45 th) dan Rob (57 th). Pihak perempuan yakni Yyn (41 th), Von (41
th) dan Tin (51 th). Pengumpulan informasi berlangsung mulai bulan Mei
sampai dengan Juni 2003.

117
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

Analisis data dilakukan melalui tahapan mereduksi data, menyusun data


yang telah dikelompokkan dalam bentuk narasi-narasi sesuai dengan
permasalahan penelitian; mengambil kesimpulan; dan memberi pembuktian
hasil analisis data dari informasi yang didapat.
Kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data kualitatif pada
penelitian ini (Lexy J. Moleong 1998) adalah derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferbility), ketergantungan (dependability) dan kepastian
(confirmability).

HASIL PENELITIAN
Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan
Pembahasan mengacu pada Teori Perkembangan Hubungan dari DeVito
(2001). Tahap-tahap ini diidentifikasi berdasarkan perilaku dan cara
berkomunikasi yang terjadi. Suatu hubungan intim seperti halnya hubungan lain
dibangun melalui serangkaian tahapan. Mayoritas hubungan meliputi enam
tahap utama, yaitu Tahap Kontak, Tahap Keterlibatan, Tahap Keintiman, Tahap
Penurunan dan Tahap Perbaikan atau Pemutusan.
Namun tahap-tahap ini bersifat standar dan tidak semua pasangan
mengalami hal sama. Setiap tahap memiliki fase awal dan akhir, menjelaskan
sifat suatu hubungan dan bukan menilai atau memprediksi bagaimana
seharusnya suatu hubungan.
Pada Tahap Kontak, dua individu mulai berkenalan. Saat pertemuan
pertama terdapat beberapa informasi atau kesadaran akan kontak (perceptual
contact). Dari sini diketahui gambaran fisik seperti jenis kelamin, usia rata-rata,
berat, dan lain-lain. Setelah persepsi ini, timbul kontak interaksional
(interactional contact) yang bersifat 'tampak luar' (superficial) dan relatif tidak
pribadi. Saat ini terjadi pertukaran informasi dasar yang mengawali keterlibatan
selanjutnya. Menurut penelitian dalam lima menit pertama dari interaksi awal,
seseorang memutuskan apakah ingin melanjutkan hubungan atau tidak (Zunin
dan Zunin, 1972). Pada tahap kontak, penampilan fisik sangat penting karena
lebih siap dilihat. Juga perilaku verbal dan non-verbal, kualitas seperti
keramahan, kehangatan, keterbukaan dan dinamisme sangat menentukan.
Berger (1979) membagi hubungan perkenalan menjadi tiga bagian.
Pertama adalah tahap pasif di mana kedua orang yang bertemu untuk pertama
kali saling mengutamakan perhatian kepada komunikasi yang berlangsung
tanpa menanyakan apa-apa. Semua situasi dan kondisi terjadi secara alami
tanpa dimanipulasi. Berikutnya yaitu tahap aktif ketika dua pihak yang bertemu

118
        
  

saling mengajukan pertanyaan, memperhatikan dan mendengarkan lawan


bicara, pihak komunikan mulai memanipulasi situasi hubungan antarpribadi.
Ketiga adalah tahap interaktif yaitu tahap memanipulasi komunikan agar
komunikator memperoleh informasi melalui perilaku komunikan.
Pada pasangan Ant dan Yyn pertemuan pertama terjadi dalam acara
Kelompok Karyawan Muda Katolik (KKMK) tahun 1995 di Yogyakarta. Baik
Ant maupun Yyn tidak tertarik satu sama lain. Satu setengah tahun kemudian
keduanya bertemu kembali pada acara tahun baru 1997 dan tertarik untuk
melanjutkan hubungan. Pasangan kedua, Har dan Von berkenalan secara tidak
sengaja. Har adalah teman dari kakak laki-laki Von. Mereka berasal dari Kediri,
Jawa Timur. Bagi pasangan ketiga, Rob dan Tin, pertemuan pertama sangat
bermakna karena mereka saling menyukai satu sama lain. Keduanya bertemu
saat mengikuti misa di Kapel Kanisius, Jakarta Pusat.
Tahapan selanjutnya adalah Tahap Keterlibatan (involvement). Pada
tahap ini muncul rasa saling ketergantungan, ingin melanjutkan hubungan dan
berusaha mempelajari orang lain. Pertama, timbul semacam keinginan menguji
apakah penilaian awal atau pendapat pribadi saat pertemuan pertama bisa
terbukti dan beralasan. Seseorang yang tertarik melanjutkan hubungan
antarpribadi mulai membuka diri sendiri dan ingin tahu informasi tentang mitra
bicaranya (Tolhuizen, 1989).
Sepanjang proses hubungan, terutama selama Tahap Keterlibatan dan
Keintiman awal, seseorang sering menguji pasangannya untuk mengetahui
perasaan pasangan tentang hubungan. Beberapa strategi yang digunakan
(Baxter dan Wilmot, 1984; Bell dan Buerkel-Rothfuss, 1990) yaitu: 1)
Langsung (directness), yaitu dengan cara langsung menanyakan pasangan
bagaimana perasaannya atau menyatakan perasaan sendiri dengan asumsi
pasangan juga akan membuka diri; 2) Ketahanan (endurance), yaitu berperilaku
negatif terhadap pasangan dengan asumsi jika pasangan mampu bertahan maka
ia serius pada hubungan; 3) Saran tidak langsung (indirect suggestion), yaitu
mengajak pasangan untuk berhubungan lebih akrab melalui kata-kata atau sikap
tertentu; 4) Penampilan publik (public presentation), yaitu tampil berdua
dengan pasangan di hadapan publik; 5) Perpisahan (separation), yaitu berpisah
secara fisik guna melihat respon pasangan; 6) Pihak ketiga (third party), yaitu
menanyakan pihak ketiga seperti teman atau keluarga, tentang perasaan dan
intensi pasangan; dan 7) Segitiga (triangle), yaitu mengatur dan mengatakan
bahwa ada orang lain tertarik dengan diri sendiri untuk melihat reaksi pasangan.
Pada Tahap Keterlibatan pada pasangan Ant dan Yyn, pihak laki-laki
berinisiatif menelepon dan berkunjung ke rumah pihak perempuan. Selain
informasi yang diperoleh langsung, Ant juga bertanya kepada pihak ketiga

119
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

yakni teman-teman Yyn. Mereka merasa ragu untuk melanjutkan hubungan


antarpribadi karena perbedaan usia di mana pihak perempuan lebih tua enam
tahun dari pihak laki-laki.
Pasangan Har dan Von memasuki Tahap Keterlibatan dengan inisiatif
pihak laki-laki. Meski tempat tinggal mereka berbeda kota, Har menemui Von
setiap bulan. Informasi mengenai perasaan pasangan diperoleh dengan cara
bertanya langsung dan dari pihak ketiga.
Pada pasangan ketiga, saat pertama kali berjumpa, Rob menanyakan
nama dan alamat Tin. Lalu mereka saling tertarik dan sepakat melanjutkan
pertemuan berikutnya. Uniknya, Rob dan Tin sedang memiliki hubungan
khusus dengan orang lain ketika mereka memasuki tahap keterlibatan. Menurut
penuturan Tin, saat berkenalan masing-masing telah memiliki pacar dan saling
tidak mengetahui hal tersebut. Setelah beberapa bulan mereka saling membuka
diri sehingga informasi tersebut diketahui. Akhirnya mereka sepakat
memutuskan hubungan dengan pacar sebelumnya dan meneruskan hubungan.
Tahapan Keintiman. Pada tahap ini seseorang berkomitmen berhubungan
lebih dalam dengan orang lain, mengukuhkan hubungan agar ia menjadi teman
terdekat, kekasih atau pasangan. Keduanya saling berbagi jaringan sosial,
bergaul dengan beragam anggota kebudayaan yang berbeda (Gao dan
Gudykunst, 1995). Tidak mengherankan jika kepuasan hubungan juga
meningkat sejalan pergerakan ke arah tahap ini (Siavelis dan Lamke, 1992).
Tahap Keintiman terbagi dalam dua fase, yaitu, pertama, komitmen
antarpribadi di mana dua orang saling sepakat dalam suatu cara khusus, dan
kedua, ikatan sosial di mana komitmen ditunjukkan kepada publik, misalnya
kepada keluarga dan kawan-kawan.
Pada tahap hubungan dekat dan intim, terdapat peningkatan hubungan.
Dua orang menganggap diri mereka sebagai unit khusus dan saling mendapat
keuntungan lebih besar dari hubungan bersifat intim. Karena saling mengetahui
lebih baik (seperti nilai-nilai, pendapat, sikap) maka ketidakpastian tentang
orang lain menjadi berkurang secara signifikan, dan prediksi mengenai perilaku
orang tersebut lebih akurat. Pada tahap ini, masing-masing pihak, pria dan
wanita yang awalnya memiliki hubungan khusus sebagai pacar, mulai
mengikatkan diri dalam hubungan perkawinan.
Pada Tahap Keintiman, peneliti menelaah tahap ini dalam dua tahap,
yaitu Tahap Keintiman Sebelum Perkawinan dan Setelah Perkawinan terjadi.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pada Tahap Keintiman Sebelum
Perkawinan, ketika seseorang jatuh cinta ia akan melebih-lebihkan kebaikan
dan meminimalkan kekurangan pasangannya. Saling berbagi emosi dan

120
        
  

pengalaman, berbicara perlahan dengan tingkah laku santun dan penuh


kesopanan. Komunikasi yang berlangsung bersifat sangat pribadi. Tipe
komunikasi ini mencakup rahasia yang disimpan dari orang lain dan pesan yang
memiliki makna dalam hubungan khusus (Knapp, Ellis dan Williams, 1980).
Saat orang luar mencoba menggunakan istilah yang bersifat pribadi,
ekspresinya tampak tidak tepat dan sering mengganggu privasi, muncul
keterbukaan diri yang signifikan, terdapat konfirmasi dan diskonfirmasi di
antara pasangan cinta dibandingkan dengan bukan pasangan atau pasangan
yang akan putus cinta, antara lain kesadaran mengenai apa yang tepat untuk
pasangannya, imbalan, hukuman, dan tindakan untuk memperoleh hal yang
diinginkan. Sentuhan yang terjadi lebih sering dan intim (Guerrero, 1977).
Tanda ikatan (tie signs) yaitu gesture non-verbal yang menunjukkan
kebersamaan lebih banyak dilakukan.
Sternberg (1986, 1988) mendefinisikan cinta sebagai kombinasi
keintiman, gairah dan komitmen. Keintiman (intimacy) adalah aspek emosional
cinta yang meliputi perilaku saling berbagi, berkomunikasi dan mendukung;
yang merupakan rasa selalu ingin berdekatan dan berhubungan. Gairah
(passion) adalah aspek motivasional yang terdiri atas ketertarikan fisik dan
bersifat romantis. Komitmen merupakan aspek kognitif dan berisi keputusan
yang berkaitan dengan perhatian terhadap pasangan. Cinta seutuhnya
merupakan gabungan tiga komponen, yakni keintiman, gairah dan komitmen
secara seimbang.
Skala yang dibuat Hendrick dan Hendrick (1990) berdasarkan hasil
penelitian Lee (1976) mengarah pada pembahasan tentang enam jenis cinta.
Skala ini dirancang untuk mengidentifikasi gaya-gaya yang merefleksikan
keyakinan tentang cinta, mengacu pada enam jenis cinta yaitu: 1) Eros
(keindahan dan seksualitas), mengutamakan kecantikan dan ketertarikan fisik;
2) Ludus (hiburan dan kesenangan), cinta sebagai suatu permainan, kesenangan.
Cinta bukan hal yang harus ditangani secara serius; Strorge (penuh damai dan
perlahan), tidak secara khusus mencari kekasih tetapi lebih mengukuhkan
hubungan persahabatan dengan seseorang yang dikenal dan kepada siapa
mereka berbagi ketertarikan dan aktivitas; 4) Pragma (praktis dan tradisional),
menginginkan compatibility dan hubungan yang bisa memuaskan kebutuhan
dan keinginan yang penting, lebih memperhatikan kualifikasi sosial daripada
kualitas pribadi dari pasangan potensialnya; 5) Mania (kegembiraan dan
depresi), mencintai dengan sangat kuat dan pada saat yang sama sangat takut
kehilangan cinta, sangat pencemburu, obsesif terhadap pasangan, kurang
memiliki citra diri, dan harga diri diperoleh dari cinta yang diberikan; 6) Agape
(penuh kebaikan dan tidak mengutamakan diri sendiri), cinta penuh kasih

121
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

sayang, cenderung spiritual tanpa memperhatikan imbalan atau keuntungan


pribadi, tanpa mengharap bahwa cinta akan dibalas.
Peneliti menemukan bahwa perilaku pasangan informan mengarah pada
hubungan romantis, seperti saling bertemu dan menceritakan pengalaman
masing-masing (Ant dan Yyn), saling berkirim surat (Har dan Von), pergi
nonton dan makan berdua (Rob dan Tin). Para informan juga menyatakan
perasaan kepada pasangannya.
Sebelum mengukuhkan hubungan antarpribadi dalam bentuk
perkawinan, para informan mengalami masa pacaran yakni keterlibatan antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam hubungan yang mengarah pada
keintiman sebelum memasuki jenjang perkawinan. Lama waktu yang
dibutuhkan dalam tahap keintiman sebelum perkawinan bervariasi. Pasangan
Ant dan Yyn memerlukan waktu sekitar dua tahun, informan Har dan Von
hanya membutuhkan delapan bulan sementara pasangan Rob dan Tin
melewatinya dalam periode kurang lebih dua tahun.
Para informan memiliki alasan beragam ketika ditanya mengapa mau
berkomitmen dalam perkawinan dengan pasangannya. Bagi Ant dan Yyn,
alasan utama adalah usia yang dianggap layak untuk membentuk keluarga.
Pada pasangan Har dan Von, usia yang dianggap layak untuk segera
berkeluarga juga menjadi alasan pertama memasuki suatu perkawinan.
Sementara bagi pasangan Rob dan Tin, gagasan untuk berkomitmen dalam
perkawinan dicetuskan oleh orang tua pihak perempuan.
Pada Tahap Keintiman Setelah perkawinan, ketika keintiman menjadi
hubungan seumur hidup, menurut Zimmer (1986), seseorang berhadapan
dengan tiga jenis kekhawatiran (anxiety), yaitu: 1) Kekhawatiran keamanan
(security anxiety), dalam perkawinan terkadang muncul rasa khawatir bahwa
pasangan meninggalkan hubungan demi orang lain; 2) Khawatir akan
pemenuhan (fulfillment anxiety), ada pula suami atau istri yang merasa khawatir
tidak dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan pasangannya; 3) Khawatir
pada kegembiraan (excitement anxiety), ada pasangan yang khawatir bahwa
kegiatan sehari-hari yang dilakukan dalam perkawinan mengakibatkan suami-
istri terjebak dalam rutinitas yang membosankan serta kehilangan kebebasan
untuk bertindak.
Peneliti mengamati bahwa ada kekhawatiran yang bervariasi pada tiap
pasangan informan. Pada pasangan Ant dan Yyn terjadi kekhawatiran akan
pemenuhan kebutuhan berkaitan dengan anak. Suami-istri ini telah menikah
selama lima tahun namun belum dikaruniai anak. Sementara bagi pasangan Har
dan Von, pihak suami yakni Har merasa khawatir tidak dapat memenuhi

122
        
  

kebutuhan dan keinginan istrinya karena tidak mengetahui apa yang menjadi
keinginan Von. Bagi pasangan Rob dan Tin yang melewati tigapuluh tahun
hidup bersama dalam perkawinan, muncul setidaknya dua kali kekhawatiran
akan rasa aman. Tin mengaku pernah merasa cemburu karena suaminya
mengantar teman perempuan pulang. Di sisi lain, Rob mengakui khawatir
kehilangan istrinya terutama setelah anak-anak mereka beranjak dewasa.
Kemudian, pada Tahap Penurunan (deterioration) ditandai dengan
munculnya ketidakpuasan intra pribadi—seseorang mulai mengalami
ketidakpuasan interaksi sehari-hari dan memandang masa depan bersama
pasangan dengan negatif—dan penurunan antarpribadi—seseorang mundur dan
terus menjauh. Waktu luang bersama pasangan makin berkurang. Saat bersama
saling berdiam diri, sedikit terbuka, sedikit kontak fisik dan kurang kedekatan
psikologis. Konflik sering terjadi dan sulit diselesaikan.
Deteriorasi hubungan adalah melemahnya ikatan kebersamaan antar dua
orang. Penurunan hubungan timbul ketika seseorang menyadari pasangannya
tidak lagi memiliki fisik dan kepribadian yang menarik, saat tidak lagi
dirasakan adanya kedekatan, atau jika perbedaan menjadi lebih penting
daripada kesamaan yang ada. Putus hubungan akan lebih menarik bagi orang
yang pergi (Blumstein dan Schwartz, 1983).
Sangat sulit menentukan penyebab khusus bagi tiap penurunan
hubungan. Semua penyebab juga bisa menjadi akibat (efek) dari penurunan
hubungan. Ketika tidak ada lagi faktor-faktor penting yang mendukung
pengukuhan hubungan maka hubungan mungkin melemah (DeVito, 2001).
Harapan yang tidak dipenuhi oleh orang yang tepat sering menjadi
penyebab kesulitan hubungan (Lederer, 1984). Masalah yang berkaitan dengan
pekerjaan dan finansial kadang juga mempersulit hubungan (Blumsteim dan
Schwartz, 1983).
Pada pasangan Ant-Yyn ketidakpuasan muncul setelah menemui
kenyataan bahwa si pasangan bukanlah tipe ideal seperti yang diharapkan. Lain
halnya dengan pasangan Har dan Von. Perbedaan sifat dalam kehidupan sehari-
hari menimbulkan ketidakpuasan terutama bagi pihak istri. Namun keduanya
menyadari bahwa perbedaan sifat tersebut bisa diterima dengan menyesuaikan
diri. Selain ketidakpuasan, Tahap Penurunan hubungan mulai timbul dengan
adanya konflik dalam perkawinan. Kadang konflik disebabkan hal-hal yang
sifatnya tidak terlalu penting. Sementara pada pasangan Rob dan Tin yang telah
menikah selama tigapuluh tahun, ketidakpuasan terhadap pasangan timbul
karena perbedaan sifat, masalah pekerjaan dan anak.

123
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

Tahap Penurunan memiliki dua pilihan. Pertama pasangan suami istri


melangkah ke Tahap Perbaikan. Pilihan kedua adalah Tahap Pemutusan
hubungan suami-istri.
Tahap Perbaikan (repair) hubungan bersifat optional dan dalam bagan
digambarkan melalui lingkaran terpecah. Beberapa pasangan mungkin berhenti
sejenak selama tahap deterioration dan mencoba memperbaiki hubungan.
Sementara ada pula pasangan yang tanpa berhenti namun langsung
memutuskan hubungan.
Ada dua fase perbaikan, yaitu: 1) Perbaikan intra pribadi. Seseorang
menganalisa kesalahan dan mempertimbangkan cara memecahkan kesulitan
hubungan. Mungkin terjadi perubahan perilaku atau harapan terhadap
pasangan. Juga dipertimbangkan imbalan dari hubungan yang sedang
berlangsung dan imbalan yang diperoleh jika hubungan berakhir; 2) Perbaikan
antarpribadi. Fase ini adalah saat membicarakan keputusan memperbaiki
hubungan dengan pasangan, mencakup negosiasi kesepakatan dan perilaku
baru. Saran memperbaiki hubungan dapat diperoleh dari teman, keluarga atau
konseling dengan profesional.
Dalam Tahap Perbaikan, suami-istri Ant dan Yyn menyadari dan mau
menerima sifat yang ada pada pasangan. Mereka mengatakan bahwa setelah
bertengkar atau mengalami konflik, dibutuhkan waktu sekitar satu jam untuk
diam dan saling introspeksi diri. Keduanya sepakat agar suatu masalah selesai
tanpa campur tangan pihak ketiga.
Sementara itu pasangan Har dan Von yang melewati masa limabelas
tahun perkawinan tidak menutupi bahwa konflik juga muncul dalam hubungan
perkawinan mereka. Har berpendapat bahwa cara terbaik menyelesaikan
pertentangan adalah menyadari sikap pemarah yang ia miliki dan meminta maaf
kepada istrinya.
Pada pasangan Rob dan Tin, ketika terjadi pertengkaran pihak istri
cenderung memilih sikap diam dan mengalah karena tidak mau memperkeruh
keadaan. Mereka berjanji menyelesaikan konflik dengan introspeksi diri dan
masalah harus diselesaikan paling lambat sebelum tidur di malam hari.
Akhir dari hubungan antarpribadi adalah pemutusan ikatan antarindividu.
Suami dan istri yang merasa tidak dapat mempertahankan perkawinan bisa
memutuskan untuk berpisah. Tahap Pemutusan ini terdiri dari dua fase yaitu: 1)
Perpisahan antarpribadi (interpersonal separation) di mana pasangan tinggal
terpisah satu sama lain; dan 2) Perpisahan sosial atau publik (social or public
separation) yakni perceraian.

124
        
  

Penurunan atau pemutusan hubungan berakibat negatif dan positif. Dari


sisi negatif, misalnya ada pihak yang kehilangan hal-hal menyenangkan yang
dinikmati sebagai hasil hubungan, sedangkan dari sisi positifnya, hubungan
yang tidak memuaskan telah hilang.
Tidak semua hubungan harus dipertahankan. Tidak semua pemutusan
hubungan merupakan hal buruk. Putus hubungan akan memudahkan orang
mengembangkan pergaulan baru dan mengalami jenis hubungan berbeda
dengan beragam orang.
Peneliti menemukan keunikan pada tiga pasang informan yang diteliti,
yakni mereka mengaku tidak pernah berpikir untuk memutuskan hubungan
dengan pasangan bahkan ketika mereka menghadapi masalah dalam
perkawinan.
Pasangan Ant dan Yyn telah menikah selama lima tahun dan belum
memiliki anak. Ant mengungkapkan bahwa ia tidak pernah berpikir untuk
kawin lagi sebagai jalan keluar memperoleh anak. Ia telah berjanji kepada
Tuhan sewaktu menikah di Gereja untuk setia dan menerima keadaan istri apa
adanya. Prinsip hidup yang diyakininya adalah kawin hanya sekali seumur
hidup. Di sisi lain Yyn berpendapat bahwa Ant adalah suami yang terbaik
baginya.
Tahap Pemutusan juga tidak terjadi pada pasangan informan kedua. Har
dan Von dengan usia perkawinan limabelas tahun, lebih banyak melewatkan
waktu dengan pasangan atau dengan anak-anak. Har merasa bahagia dengan
kehidupan perkawinan yang dijalani selama limabelas tahun ini sehingga tidak
pernah berpikir untuk bercerai. Ia yakin bahwa konflik seberat apapun bisa
diselesaikan bersama istri. Ketidaksesuaian pendapat (pertengkaran) dalam
perkawinan adalah hal positif karena suami-istri bisa saling mengetahui apa
yang disukai dan tidak disukai pasangannya.
Alasan utama bagi pasangan Rob dan Tin yang telah menjalani masa
tigapuluh tahun perkawinan untuk menghindari perceraian adalah kehadiran
anak-anak. Rob mengakui bahwa ia telah berjanji kepada Tuhan saat pertama
kali menikah untuk bertanggung jawab terhadap anak-anak. Mereka memegang
prinsip agama Katolik tentang perkawinan yakni ‘suami dan istri bersama-sama
dalam susah dan senang’.

125
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

Pergerakan Antartahap
Tahap-Tahap Hubungan Antarpribadi dapat dilihat pada bagan di bawah
ini. Dalam bagan tersebut digambarkan Tahap-Tahap Hubungan Antarpribadi
terdiri dari tiga arah: 1) Arah keluar, di mana tiap tahap menawarkan
kesempatan untuk keluar dari hubungan; 2) Arah vertikal atau pergerakan
antartahap menjelaskan fakta bahwa seseorang dapat bergerak ke tahap lain,
yaitu lebih intens (misal dari keterlibatan menuju keintiman) atau kurang intens
(contoh dari keintiman ke arah penurunan). Juga dapat berpindah kembali ke
tahap sebelumnya (Masheter dan Harris, 1996); dan 3) Arah refleksi diri, arah
yang melompat kembali ke awal tahap (tingkat) yang sama, menandakan bahwa
setiap hubungan bisa menjadi stabil tiap saat.

Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan Antarpribadi

 
•    
•   

 
  
•   
•     

  
•    
 
•  
 

      


 
•   •   •   
 
    

•    •    •   
 
   

(Sumber: DeVito, Joseph A. 2001. The Interpersonal Communication Book, New


York: Addison Wesley Longman Inc., 9th edition)

126
        
  

Pergerakan melalui beragam tahap biasanya merupakan proses perlahan


(gradual), tidak dapat melompat dari Tahap Kontak ke Tahap Keterlibatan lalu
ke Tahap Keintiman.
Pada tiga pasang informan ditemukan Tahap-Tahap Perkembangan
Hubungan. Pasangan dengan usia perkawinan lima, limabelas dan tigapuluh
tahun sama-sama melewati Tahap Kontak, Keterlibatan, Keintiman, Penurunan
dan Perbaikan. Pengulangan ada pada Tahap Penurunan, Perbaikan dan
Keintiman. Namun semua informan belum pernah memasuki Tahap
Pemutusan.

KESIMPULAN DAN SARAN


Lama atau usia perkawinan tidak berkaitan dengan Tahap-Tahap
Perkembangan Hubungan yang dialami. Tahap-Tahap Perkembangan
Hubungan pada masing-masing pasangan bervariasi dari segi waktu, situasi dan
proses komunikasi yang berlangsung.
Setelah memasuki masa perkawinan, suami-istri mengalami pengulangan
pada Tahap Keintiman, Penurunan dan Perbaikan. Setelah Tahap Perbaikan,
pasangan cenderung kembali berada pada Tahap Keintiman. Pengulangan yang
terjadi bervariasi dari segi jumlah, jangka waktu, situasi, proses, latar belakang
atau hal-hal yang menyebabkan pengulangan tersebut.
Pada pasangan informan yang memiliki anak, topik mengenai anak,
antara lain cara pengasuhan dan pendidikan anak, seringkali menjadi sumber
perdebatan. Sementara bagi pasangan informan yang belum mempunyai anak,
keinginan untuk memperoleh anak menjadi tema yang sering dibicarakan.
Pada Tahap Kontak pihak laki-laki dan perempuan mendapatkan
informasi yang diperoleh dengan usaha sendiri dan dari pihak ketiga. Informasi
pada pertemuan pertama adalah ciri-ciri fisik yang menjadi alasan ketertarikan
antara dua individu. Ketiga pasang informan melanjutkan hubungan ke Tahap
Keterlibatan setelah melewati Tahap Kontak dan mendapat respon positif dari
lawan bicara.
Hubungan antarpribadi dalam Tahap Keintiman awal ditandai dengan
kedekatan antara pihak laki-laki dan perempuan. Selanjutnya masing-masing
mulai membicarakan komitmen hubungan dalam bentuk perkawinan. Alasan
menikah berbeda-beda, diantaranya karena usia yang dianggap telah layak
menikah dan permintaan pihak orang tua.

127
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

Para informan telah mengalami konflik dan pernah merasa kecewa atau
tidak puas dengan pasangannya dalam suatu hal sehingga mengalami Tahap
Penurunan Hubungan. Topik yang menjadi sumber konflik antara lain
pengasuhan anak, perbedaan sifat, sikap dan perilaku antarpasangan sehari-hari.
Selanjutnya antara suami-istri menyadari apa yang menjadi penyebab masalah
dan memperbaiki diri dengan berusaha tidak mengulangi hal tersebut di masa
depan. Hal-hal ini termasuk Tahap Perbaikan.
Setelah melalui Tahap Perbaikan, tiga pasang informan yang diteliti
memiliki kesamaan untuk kembali berada di Tahap Keintiman. Sikap suami
istri yang berada pada Tahap Keintiman ditunjukkan dengan kedekatan fisik,
misalnya bersentuhan, memberi kado kepada pasangan, mencium pipi dan pergi
berdua. Juga ditandai dengan kedekatan secara psikologis antara lain merasa
rindu dan kesepian ketika tidak bertemu pasangan beberapa hari.
Tiga pasang informan sepakat tidak berniat atau tidak pernah
memikirkan untuk putus hubungan perkawinan dengan pasangannya. Jadi
Tahap Pemutusan hubungan tidak terjadi pada suami-istri yang diteliti. Hal ini
cenderung disebabkan prinsip agama Katolik yang mereka sadari, sehingga
membentuk pola pikir bahwa perkawinan hanya sekali seumur hidup dan tidak
bisa dipisahkan manusia. Informan Har berpendapat “perkawinan Katolik
adalah perkawinan monogami”; Ant mengatakan "akan menjaga perkawinan
ini seumur hidupnya."; dan Rob menyatakan "perkawinan Katolik tidak boleh
diceraikan manusia". Sementara Tin, istri Rob, berprinsip "suami dan istri
bersama-sama dalam susah dan senang."
Pada pasangan informan dengan latar belakang budaya berbeda (Ant dan
Yyn: budaya Jawa dan Cina), terdapat konflik pada awal masa perkawinan
sehingga ada ketidakpuasan terhadap pasangan. Sumber konflik cenderung
disebabkan oleh perbedaan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari namun
dianggap informan sebagai perilaku khas suku tertentu. Perbedaan antara pihak
laki-laki dan perempuan yang terlibat perkawinan dapat diterima dan tidak
dipermasalahkan oleh pasangannya. Perbedaan tersebut adalah usia dan tingkat
pendidikan.
Dukungan lingkungan kedua pihak yang menjalin hubungan antarpribadi
turut mempengaruhi awal perkembangan hubungan terutama pada Tahap
Kontak, Keterlibatan dan Keintiman. Lingkungan yang dimaksud adalah orang
tua, teman-teman dan saudara. Hubungan pasangan informan dengan keluarga
besar (orang tua, mertua, saudara dan saudara ipar) umumnya baik dan tidak
mempengaruhi kelangsungan perkawinan.

128
        
  

Usia perkawinan atau lama hubungan antarpribadi yang terjalin, tidak


berpengaruh pada perkembangan hubungan. Ada hal-hal yang mempengaruhi
berlangsungnya tahap-tahap perkembangan hubungan seperti ketertarikan baik
fisik maupun non fisik, dukungan keluarga dan teman-teman, situasi saat
terjalinnya hubungan, sifat yang dimiliki seseorang, dan lain-lain.
Suatu hubungan perkawinan tak luput dari konflik yang terjadi antara
suami dan istri. Namun bagaimana menyikapi dan mengatasi konflik sangat
berperan bagi perkembangan hubungan selanjutnya. Jika pasangan bisa
menghadapi konflik dengan terbuka, mau memperbaiki kesalahan dan mencari
jalan keluar secara bersama maka konflik yang terjadi tidak akan berlanjut.
Penelitian ini tidak menitikberatkan pada topik konflik dalam perkawinan,
namun peneliti menemukan bahwa konflik bisa menjadi hal yang positif bila
pasangan mampu mengatasinya dengan tepat. Ada informan berpendapat
bahwa melalui konflik, seseorang mendapat informasi tentang hal-hal yang
disukai dan tidak disukai pasangannya, maka informasi tersebut bisa
bermanfaat untuk menghindari terulangnya konflik dan menjaga hubungan
perkawinan.
Pihak-pihak yang berminat mengamati hubungan perkawinan dapat
menggunakan metode atau pendekatan lain dan banyak hal yang menarik untuk
dianalisis. Misalnya bagaimana analisis dari sudut pandang teori self disclosure,
peran latar belakang budaya dalam perkawinan, atau pasangan informan yang
diteliti beragama non-Katolik.

DAFTAR PUSTAKA

Berger, Charles & Chaffee, Steven. 1975. Handbook of Communication


Science, Newbury,CA: Sage Publication Inc.
DeVito, Joseph A. 2001. The Interpersonal Communication Book. New York:
Addison Wesley Longman Inc., 9th edition.
Gudykunst, W.B. & Stella Ting Toomey. 1988.Culture and Interpersonal
Communication. New Burry Park, Beverly Hills, CA : Sage Publications.

129
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

Miller, Gerald M. dan Steinberg, Mark. 1975. Between People: A New Analysis
of Interpersonal Comunication, USA : Science Research Associates Inc.
Moleong, Lexy. J.1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV
Remadja Karya.
Osborne, Cecil G. 1988. The Art of Understanding Your Mate. Michigan :
Zondervan Publishing House Grand Rapids,
Schmiedeler, Edgar, O.S.B.,Ph.D.1946.Marriage and the Family, A Text for a
Course on Marriage and the Family for use in Catholic Schools, 6th ed.
New York: McGraw-Hill Book Company Inc.
Swihart, Judson J. Ph.D. 1993. How Do You Say, "I Love You". Illinois:
InterVarsity Press.
Tek, Dr. & Ny. Chong Kwong dan Tn. & Ny. Chua Wee Hian. 1999.
Kekasihku: Setelah Pernikahan. Terjemahan. Bandung: Lembaga
Literatur Baptis.
Tukan, Johan Suban. 1999. Membina Para Pembina Kursus Persiapan
Perkawinan. Jakarta: Yayasan Putra-Putri Maria.
Wahlroos, Sven. Komunikasi Keluarga. 1988. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia

130
Digitalisasi Masyarakat:
Menilik Kekuatan dan Kelemahan
Dinamika Era Informasi Digital
dan Masyarakat Informasi

AG. Eka Wenats Wuryanta5

Abstract: Some adagium which have been told by modern


communications growth observer show that information become one
of the vital element in society. Information become a fundamental
requirement so that can be expressed as the lifeblood that sustains
political, social and business decision. As a consequence, society has
to expose themself with the growth and new media dynamics and
global communications. The rotation in production, consumption and
information distribution is faster experienced of and owned by global
new society system supported by economic and extention power,
global information system network and also contributed by digital
technology. This Paper will explain some of alternative discourse to
see the excess and weakness of information technologization process
which finally instruct the society at digital era.

Key words: Digitalization, information society, media industry,


political economics perpective, social transformation.

Para pakar komunikasi sekarang mulai sepakat bahwa era modern


ditandai dengan era informasi. Penguasaan dan hegemoni informasi bisa
menempatkan kekuasaan sebagai konsekuensi logis. Prediksi dan analisis Alvin
Toffler (1980) menyatakan bahwa era kemanusiaan dibagi dalam tiga era

5
AG. Eka Wenats Wuryanta adalah staf pengajar di Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta dan
Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta. Aktif sebagai koordinator
Program dan Penelitian Departemen Kajian Media dan Trend Budaya Institut Kajian Sosial dan
Komunikasi Strategis Jakarta

131
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

pokok, yaitu era masyarakat agraris, masyarakat industri dan masyarakat


informasi, telah dan sedang menjadi kenyataan umum yang mau tidak mau
diakui.
Don Tapscott (1996), seorang pemerhati perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi di Amerika Serikat—dalam bukunya yang berjudul
The Digital Economy, Promise and Peril in the Age of Networked
Intelligence—menyatakakan bahwa perkembangan ekonomi dunia sedang
mengalami perubahan dari dinamika masyarakat industri yang berbasis pada
baja, kendaraan, dan jalan raya ke arah dinamika masyarakat ekonomi baru
yang dibentuk oleh silicon, komputer, dan jaringan (networking).
Beberapa adagium yang telah dikemukakan oleh para pemerhati
perkembangan komunikasi modern memperlihatkan kepada setiap manusia
bahwa informasi menjadi salah satu unsur konstitutif dalam suatu masyarakat.
Straubhar menyatakan bahwa masyarakat informasi adalah masyarakat
mempunyai aktivitas ekonomi politik-sosial melalui proses produksi, konsumsi
dan distribusi informasi. Masyarakat informasi ditandai dengan intensitas yang
tinggi atas pertukaran dan penggunaan teknologi komunikasi (Straubhar, 2002).
Dapat dikatakan bahwa informasi menjadi kebutuhan pokok sehingga dapat
dinyatakan dengan ungkapan “information is the lifeblood that sustains
political, social and business decision”. Hal ini pula yang menyebabkan bahwa
masyarakat mulai harus membuka diri dengan perkembangan dan dinamika
media baru dan komunikasi global. Perputaran produksi, konsumsi dan
distribusi informasi semakin cepat dialami dan dimiliki oleh sistem masyarakat
baru yang global dengan didukung oleh kekuatan dan ekspansi ekonomi,
jaringan sistem informasi global serta terakhir disokong oleh teknologi.
Dengan mengukur perkembangan komunikasi dari pengaruh pra-lisan,
tradisi lisan, tulisan, cetakan, media massa dan akhirnya telematika dapat
disimak bahwa bagaimana lambannya gerakan proses kebudayaan komunikasi
tersebut pada proses awalnya, tapi kemudian terakselerasi secara cepat dan
massif pada era belakangan ini (Briggs, 2002).
Teknologi dalam perkembangan arus produksi, konsumsi dan distribusi
informasi memegang peranan penting. Urgensi peranan teknologi dalam proses
massifikasi informasi terjadi ketika hasil teknologi membantu mengubah pola
komunikasi yang dibatasi oleh ruang dan waktu menjadi pola komunikasi
informasi tanpa batas. Dengan demikian, pada dasarnya teknologi bersifat baik,
sehingga tidak mengherankan apabila terjadi perubahan dari media massa
tradisional menjadi media massa baru. Pada akhirnya media baru dalam
konteks teknologi dan globalisasi mengalami perubahan yang sedemikian

132
        
  

kompleks. Globalisasi menjadi salah satu faktor penting dalam industri dan
teknologi media komunikasi.
Dalam wacana media komunikasi baru muncul beberapa konsiderasi atau
pertimbangan yang patut diperhatikan. Beberapa konsiderasi itu adalah
pemahaman masyarakat informasi dalam era digital, perkembangan teknologi
media kontemporer, wacana industri media pada era informasi digital, wacana
ekonomi politik dalam konteks masyarakat komunikasi digital, dan beberapa
catatan etis-kritis menanggapi beberapa janji—kemudahan sekaligus
ketidakpastian masa depan industri media digital modern.


PEMAHAMAN MASYARAKAT INFORMASI DIGITAL


Masalah yang jelas dalam pemahaman masyarakat informasi digital
adalah sejauh mana definisi masyarakat informasi mendapat tempat dan porsi
yang tepat dalam seluruh konteks perkembangan masyarakat. Pada dasarnya
masyarakat informasi melekat dalam setiap tahapan masyarakat yang ada.
Adalah sebuah kenyataan bahwa setiap komunitas sosial mempunyai kebutuhan
dan tuntutan tindakan komunikatif-informatif. Hanya memang perkembangan
dinamika sejarah kemanusiaan menempatkan komunikasi dalam konteks
masyarakat informasi industrial yang dipicu dan dibantu oleh teknologi yang
mampu memampatkan keterbatasan ruang dan waktu.
Seperti sudah dikatakan bahwa, masyarakat informasi merupakan
masyarakat yang melihat bahwa produksi, proses dan distribusi informasi
sebagai bagian dalam seluruh aktivitas sosial ekonomi. Informasi dalam
konteks ini dapat dikatakan sebagai bagian dari ”kapital”. Konstelasi kapital
dan informasi lebih dilihat sebagai proses komodifikasi informasi sehari-hari.
Artinya, masyarakat melihat bahwa modal ekonomi-sosial didasarkan pada
informasi, sehingga informasi telah menjadi komoditas. Itulah sebabnya, dalam
masyarakat pasca-industri—yang banyak ditandai oleh komodifikasi
informasi—komoditas utamanya terletak pada produksi, distribusi dan
konsumsi pengetahuan.
Proses komodifikasi informasi dalam masyarakat informasi kontemporer
dibantu oleh teknologi informasi. Teknologi dan media informasi pada akhirnya
mempengaruhi kinerja dan pola komunikasi. Salah satu ciri dinamika teknologi
informasi adalah ciri konvergensi.


133
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

PERKEMBANGAN TEKNOLOGI MEDIA KONTEMPORER


Perkembangan teknologi komunikasi modern yang bersifat konvergen
merupakan proses konkruensi dari seluruh proses evolusi media massa. Ada
beberapa pertimbangan yang perlu dilihat dalam wacana dinamis
perkembangan teknologi media kontemporer.
Pertama, perubahan komponen dalam proses komunikasi. Konvergensi
media meliputi digitalisasi, perluasan teknologi serat optik dan networking
technology. Pemampatan, digitalisasi, kompresi dan akselerasi distribusi-
produksi dan konsumsi informasi mempengaruhi nilai mental yang berpengaruh
dalam seluruh proses komunikasi. Pola S – M – C – R adalah model sederhana.
Pola klasik komunikasi ini diubah melalui isu inovasi kapitalisasi pengetahuan,
isu virtualisasi, isu molekularisasi, integrasi jaringan, isu dan permasalahan
prosumsi dan perluasan isu diskordansi.
Pertimbangan kedua adalah soal networking (jaringan). Jaringan
memungkinkan adanya keterkaitan antara jaringan yang satu dengan jaringan
yang lain. Jaringan teknologi komunikasi ini mempunyai tingkatan, baik lokal,
nasional, maupun global. Tentu saja, adanya “jalan tol informasi” turut
memperbaiki dan membuat jangkauan informasi menjadi lebih luas dan lebih
baik.
Konvergensi teknologi komunikasi ditandai dengan warna digitalisasi.
Titik utama dari proses konvergensi pada tingkat teknologi informasi adalah
digitalisasi. Digitalisasi adalah proses di mana semua bentuk informasi baik
angka, kata, gambar, suara, data, atau gerak dikodekan ke dalam bentuk bit
(binary digit atau yang biasa disimbolisasikan dengan representasi 0 dan 1)
yang memungkinkan manipulasi dan transformasi data (bitstreaming).
Teknologi digital mampu menggabung, mengkonversi atau menyajikan
informasi dalam berbagai macam bentuk. Apapun isi yang ditampilkan, bit
dapat dieksplorasi sekaligus dimanipulasi, termasuk cropping informasi asli
dengan pengurangan maupun penambahan.
Pertimbangan ketiga adalah teknologi multimedia. Teknologi multimedia
tidak hanya mengubah cara berkomunikasi tradisional yang bersifat manual tapi
juga bersifat digital, inovatif, cepat dan interaktif.
Digitalisasi telah mengubah dan melakukan transfigurasi teknologi media
dan komunikasi. Jaringan telepon otomatis yang sebelumnya dioperasikan
secara manual sekarang bisa dioperasikan oleh perangkat jaring-intelek
komputer dengan perangkat lunak yang mampu mengkonfigurasikan jaringan
cerdas (intelligent network) dengan fitur-fitur kompleks digital.

134
        
  

Dalam industri film, meski hasil akhirnya berupa seluloid, sebagian besar
editing dikerjakan secara digital, sementara suara dan efek khusus seluruhnya
dilakukan secara digital. Contoh yang paling jelas dari penggunaan teknologi
ini adalah hasil efek khusus dalam film “Independence Day”, “Lords of The
Ring”, “Spider Man” atau serial “Matrix”.
Digitalisasi juga mengarahkan konvergensi produk dan proses aplikasi
informasi yang dapat melakukan berbagai fungsi audio-visual dan komputasi.
Konvergensi produk komunikasi terjadi ketika televisi dan komputer menjadi
satu produksi media sehingga akses ke internet dapat dilakukan dari pesawat
televisi (lihat layanan Indovision yang menyediakan jaringan komputer dengan
band-width yang cukup lebar atau yang bisa disebut broadband channel).
Sebaliknya, siaran televisi dapat dinikmati lewat internet secara real time.
Produk kombinasi lainnya bisa dilihat dengan hadirnya perangkat telepon
selular yang disertai dengan berbagai macam layanan dan fasilitas modern.
Telepon selular modern selain mempunyai kemampuan untuk melakukan
hubungan telepon konvensional, media komunikatif tersebut juga bisa
mengirim SMS (Short Message Service) atau MMS (Multimedia Message
Service) dengan kemampuannya untuk memproduksi, menerima, mengolah
atau mengirim gambar, suara, data, bahkan melakukan aktivitas “berselancar”
dalam internet. Begitu juga dengan teknologi mencetak yang menggabungkan
alat cetak, pemindai (scanner), fotokopi, mesin faksimili, dan telepon menjadi
satu. Belum lagi teknologi telepon selular sudah masuk pada generasi ketiga
dan selanjutnya, yang tentunya semakin banyak dan lebar band frekuensi yang
dipunyainya.
Konvergensi memungkinkan terjadinya penggabungan (merger)
perusahaan yang terkait dengan industri komputer, telekomunikasi, dan media.
Microsoft berinvestasi dalam bidang penyiaran, televisi kabel, satelit,
penerbitan, dan industri internet. AT&T yang membeli televisi kabel Tele-
Communication Inc (TCI). Singapore Technologies Telemedia membeli saham
mayoritas PT Indosat Tbk. PT Indosat Tbk. sendiri juga mempunyai output
produk dalam usaha sambungan langsung internasional, sambungan lokal di
Indonesia, dan bisnis internet. Indosat sendiri telah mengembangkan hubungan
antara sistem digital selular pada Matrix, Mentari dan IM3. Hal itu juga
dikembangkan oleh PT Telkom yang tidak hanya melayani sambungan telepon
dan internet (Telkomnet Instant).
Dalam istilah konvergensi atau pemampatan industri digital akan
tergambar ketika pada industri lama perusahaan komputer didefinisikan sebagai
produsen perangkat lunak (soft-ware) dan keras (hard-ware), penerbit bergerak
dalam teknologi cetak serta perusahaan telekomunikasi didefinisikan sebagai

135
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

penjual jasa telekomunikasi, mengoperasikan jaringan atau membuat perangkat.


Momen-momen dinamis teknologi komunikasi semakin mengaburkan batas-
batas media konvensional dan pengertian-pengertian yang dikonseptualisasi
dalam ilmu komunikasi. Dalam industri media dan komunikasi digital yang ada
serta berperan adalah peralatan informasi, sehingga produksi dan konsumsi
media baru dibedakan pada tingkatan-tingkatan dari kreasi isi hingga konsumsi
akhir.
Industri yang dikembangkan oleh penerbit, studio film maupun stasiun
televisi sudah merambah pada soal isi media. Hal ini terjadi karena dalam
teknologi digital dapat dilakukan konversi data yang murah, cepat dan efisien
dari media satu ke model media yang lain. Ini bisa dilihat dengan dijadikannya
film menjadi permainan. Film terakhir James Bond “Die Another Day”, Lord of
The Ring: The Return of King, atau rangkaian acara televisi yang berjudul
“Smack Down” tersedia versi permainan virtualnya untuk bisa dimainkan di
komputer atau dalam play-station sampai generasi ke-2. Permainan Street
Fighter atau Tomb Raider produksi Eidos Interactive yang bisa dimainkan
lewat perangkat seperti Playstation, komputer, kemudian dibuat filmnya.
Penerbit buku kini dapat juga memasarkan bukunya dalam bentuk CD-ROM.
Konvergensi televisi dan komputer disatukan dengan jaringan yang
meruncingkan industri TV kabel, yang menggunakan coaxial cable dengan
menggunakan teknologi Hybrid Fiber Coax. Teknologi ini memungkinkan
layanan televisi dikonvergensikan dengan fasilitas akses internet berkecepatan
tinggi dan IP telephone yang memungkinkan komunikasi suara ke PSTN, ISDN
atau GSM. Selain TV kabel, teknologi digital juga memungkinkan untuk
mengembangkan broadcasting television melalui sambungan satelit atau siaran
televisi melalui alamat web internet.

WACANA INDUSTRI MEDIA DIGITAL MODERN


Paradigma masyarakat informasi memberikan akibat yang tidak sedikit
atas perkembangan industri media digital dan proses digitalisasi masyarakat.
Setidaknya industri media digital memiliki karakter yang unik pada masalah
produksi, distribusi dan proses komodifikasi pesan komunikasi masyarakat.
Teknologi dalam industrialisasi media begitu krusial. Industrialisasi
media komunikasi membutuhkan teknologi untuk menjadi perpanjangan tangan
yang efektif menaikkan skala keuntungan ekonomi yang diperoleh, tapi tetap
ada beberapa argumentasi yang perlu dikaji, selain argumentasi ekonomi.
Pertama, adalah argumentasi budaya komunikasi yang berkembang.
Argumentasi ini mau memperlihatkan adanya perkembangan atau perubahan

136
        
  

mobilitas manusia dan keterbatasan ruang dan waktu bisa mempengaruhi pola
komunikasi manusia. Mobilitas manusia atau masyarakat diimbangi dengan
proses teknologi digital yang dibantu oleh media massa modern.
Kedua, adalah argumentasi perkembangan sistem ekonomi, sosial dan
budaya yang dihidupi oleh manusia modern. Setidaknya perlu dikaji soal relasi
signifikan antara perkembangan sistem ekonomi, sosial dan budaya dengan soal
urgensi pemanfaatan teknologi dalam industrialisasi media digital.
Ketiga, adalah argumentasi subjektif manusia yang selalu tidak merasa
puas dengan perkembangan media komunikasi modern. Alat komunikasi perlu
disesuaikan dengan pola pikir dan pola tindakan manusia setempat
Beberapa keyakinan yang menyertai teknologi sebagai sebuah sistem dan
praksis. Teknologi sebagai suatu sistem nilai dan praksis kerja yang
mengikutinya berada dalam konstelasi proses progres. Dinamisasi efisiensi dan
tujuan tertentu mau tidak mau mengandaikan progres dalam teknologi. Efisiensi
industri dan teknologi mengakibatkan mekanisasi, otomatisasi, massifikasi
produksi dan konsumsi, ekspansi distribusi dan stabilisasi sumber alam yang
dipakai untuk perkembangan teknologi itu sendiri.
Industrialisasi produksi isi dan ragam media komunikasi berproses untuk
semakin: konvergen dalam hal teknologi media yang ada, digital,
mengoptimalkan teknologi serat optik dan teknologi jaringan pada simpul-
simpul teknologi komunikasi modern (Dahlan, 2000). Industrialisasi distribusi
isi dan ragam media juga akan banyak dipengaruhi oleh soal perubahan yang
terjadi pada perangkat dan sarana media komunikasi itu sendiri.
Tingkat mobilitas yang tinggi dalam distribusi media modern sudah
menjadi tuntutan yang wajar dalam masyarakat informasi. Tingkat mobilitas
dan arus lalu lintas informasi telah menjadi pola perubahan sistem distribusi
dalam media massa. Selain itu, media komunikasi modern juga memusatkan
pola duplikasi, sistem satelit, digitalisasi informasi jarak jauh, tele-text dalam
seluruh proses distribusi media komunikasi modern.
Argumentasi hubungan teknologi dengan media informasi adalah logika
perkembangan yang ekspansif proses komunikasi publik secara global.
Masyarakat tidak bisa lagi mengelakkan diri dari proses komunikasi.
Komunikasi sudah menjadi kebutuhan utama. Komunikasi membutuhkan
media untuk menjadi penghantar (menyangkut teknologi informasi yang
mempermudah manusia mengirim dan menerima pesan). Ketika ruang dan
waktu menjadi faktor yang membatasi proses komunikasi maka diperlukan
teknologi yang mengusahakan masalah tersebut. Teknologi komunikasi dibuat
dan dikembangkan untuk menyokong proses komunikasi manusia.

137
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

Perkembangan komunikasi sangat luar biasa. Perkembangan dramatik teknologi


komunikasi tidak terletak pada soal sistem perangkat kerasnya saja tapi sudah
menyangkut soal bagaimana membuat interkoneksitas jaringan komunikasi.
Teknologi komunikasi bukan sekedar soal barang tapi juga soal teknologi
jaringan itu sendiri.
Teknologi komunikasi merupakan perangkat yang membutuhkan biaya
yang tinggi, dengan demikian hanya pemilik modal besar saja yang mampu
menguasai teknologi, maka tidak mengherankan apabila industrialisasi dan
teknologisasi media komunikasi membawa industri media pada usaha
konglomerasi.

WACANA EKONOMI POLITIK KRITIS-ETIS DIGITALISASI


MASYARAKAT
Dari bagian sebelumnya, wacana industri media digital modern dan
proses digitalisasi masyarakat tidak bisa dilepaskan dari proses ekonomi politik
media yang juga berkembang sampai sekarang. Dalam wacana ekonomi politik
media digital modern, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, perkembangan teknologi digital, industri media digital, serta
digitalisasi masyarakat informasi tidak bisa dipisahkan dengan proses
komersialisasi dan massifikasi kapitalisme modern. Dengan demikian, seturut
dengan proses kapitalisasi media digital, maka proses digitalisasi masyarakat
melibatkan tiga proses utama ekonomi politik media modern, yaitu
komodifikasi, spasialisasi dan strukturasi. Digitalisasi informasi dalam
masyarakat melibatkan proses komodifikasi, yaitu proses transformasi barang-
jasa, dalam hal ini informasi dan proses komunikasi, dari nilai guna menjadi
nilai tukar. Nilai tukar informasi semakin direkonfigurasi melalui bilangan
biner yang dikonversi dalam teknologi suara-gambar dan data.
Digitalisasi informasi dalam masyarakat melibatkan proses spasialisasi,
yaitu proses pemampatan batasan ruang dan waktu dalam kehidupan sosial.
Selain bidang teknis, spasialisasi juga mempunyai makna bahwa digitalisasi
informasi memberikan perpanjangan institusi media dalam bentuk korporasi
yang semakin besar dan efektif. Perpanjangan spasial industri media digital
membawa konsekuensi pada ekstensi vertikal dan horizontal. Strukturasi media
digital dan digitalisasi informasi masyarakat membawa hubungan yang semakin
erat antara agen, proses struktural dan praktek sosial. Dalam media digital yang
bersifat interaktif, terdapat proses interaksi yang semakin interdependen antara
agen dengan struktur sosial yang melingkupinya (Mosco, 1996). Persoalan

138
        
  

dalam poin pertama ini berupa pertanyaan kritis yaitu sejauh mana akhirnya
masyarakat bisa membentuk dirinya untuk menjadi pelaku aktif dan kritis atas
seluruh proses dan teknologisasi media digital ?
Teknologi dan media digital mempunyai kemampuan untuk memacu
percepatan dan pembuatan jaringan baru. Laju pertumbuhan dan perkembangan
informasi bersifat eksponensial (Dahlan, 2000). Ini berarti bahwa informasi
yang diterima oleh masyarakat atau tiap orang bisa merupakan banjir informasi.
Masyarakat semakin dibanjiri produks informasi yang dibawa oleh media
digital dan jaringan media komunikasi massa, baik yang bersifat lokal-regional
dan internasional. Proses komodifikasi, strukturasi dan spasialisasi membuat
informasi seperti air bah yang menerpa masyarakat. Terpaan informasi di satu
sisi bisa membuat manusia yang lapar informasi bisa mendapatkan informasi
yang diperlukan, tapi di lain pihak terpaan informasi bisa membuat situasi
beban berlebih atas seluruh proses informasi yang diterima oleh setiap manusia
atau masyarakat. Dalam hal ini, muncul kontradiksi masyarakat informasi yaitu,
di satu pihak terjadi banyak dan kebanjiran informasi dan pada saat yang saat
yang sama terjadi kesulitan masyarakat untuk mencerna informasi yang
diterima. Situasi kelebihan beban informasi yang dialami oleh masyarakat
membuat masyarakat sendiri tidak mampu memanfaatkan informasi untuk
membangun dan mengkonstruksi tata sosial yang lebih baik.
Kedua, adalah masalah komodifikasi informasi. Perubahan nilai guna
menjadi nilai tukar pada setiap informasi juga semakin menempatkan makna
informasi sebagai sesuatu yang bersifat komersial. Informasi pada tataran
wacana ilmu komunikasi diartikan sebagai sesuatu yang bersifat “entropi”.
Informasi adalah sesuatu yang belum secara utuh diketahui dan tak terduga.
Nilai informasi justru terletak pada soal ketidakpastian dari yang
diinformasikan. Titik tolak nilai informasi justru dari derajat ketidakpastiannya
(Littlejohn, 2002). Komersialisasi informasi menempatkan informasi sebagai
barang atau jasa yang mampu memberikan pemenuhan rasa ingin tahu
masyarakat. Dalam proses selanjutnya, informasi justru semakin membawa
masyarakat pada ketidakcerdasan dalam membedakan mana yang hakiki dan
mana yang semu, memilah mana yang gosip dan mana yang fakta.
Komodifikasi digital mampu menyediakan ruang-ruang “simulacra”.
Dalam perkembangan masyarakat kapitalisme modern, komodifikasi
digital mengembangkan proses rekonfigurasi masyarakat yang tradisional
menjadi masyarakat konsumen informasi. Logika informasi telah berkembang
dan mempengaruhi sikap konsumtif masyarakat. Ini berarti bahwa masyarakat
tidak lagi membawa bentuk konsumsi informasi dalam bentuk nilai guna atau
utilitasnya tapi lebih banyak akan berkaitan dengan logika sosial dan gaya

139
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

budaya baru yang semakin terisolasi dan teralienasi dari kebutuhan manusia
yang sesungguhnya. Logika digital dalam berbagai macam bentuk isi pesannya
memang memperkaya khasanah kebudayaan kontemporer, tapi di lain pihak
terjadi pemutarbalikan logika episteme yang dipunyai oleh masyarakat. Sistem
produksi media digital telah membawa struktur produksi dan konsumsi
(produser, marketer, iklan) mampu membentuk struktur konsumen, bukan
sebaliknya. Logika digital juga membawa pada situasi di mana terjadi
“fethisisme komoditas informasi”, dalam arti bahwa informasi yang merupakan
sesuatu yang abstrak dijadikan sumber interpretasi realitas yang bersifat
konkret. Pencitraan yang dikonstruksi oleh media digital bisa dimanfaatkan
untuk membentuk citra “sewenang-wenang” yang dilakukan oleh para pelaku
media.
Digitalisasi informasi yang dikembangkan oleh teknologi digital bisa
membuat apa saja menjadi mungkin, telah menempatkan logika tanda dalam
pencarian kebenaran manusia menjadi soal massifikasi permainan simbol.
Tidak hanya sampai di situ saja, digitalisasi masyarakat semakin menempatkan
masyarakat menjadi “penonton” kosong yang dibanjiri sejumlah besar
informasi. Memang terjadi keterpesonaan atas kemajuan digital dan bentuk
kenyamanan sensualistik, sekaligus rimba informasi digital tersebut justru
membuat ruang personal dan privat yang semakin sempit. Reduksi digitalistik
dalam ruang pribadi masyarakat tidak menutup kemungkinan menimbulkan
kehampaan baru atas proses pemaknaan realitas yang seharusnya dilakukan
oleh setiap pribadi.
Ketiga, perubahan dalam industri teknologi digital membawa
konsekuensi yang tidak sedikit dalam proses ekonomi politik media
kontemporer. Setidaknya ada beberapa watak yang unik dalam proses
digitalisasi industri media dan masyarakat. Watak konvergensi merupakan
watak integrasi dari beberapa media menjadi satu media pokok. Watak
demassifikasi media semakin nampak di mana komunikasi tidak mutlak
dimulai dari sumber atau media yang menentukan isi pesan dan tujuan
komunikasi, tetapi juga oleh penerima komunikasi yang berinteraksi satu sama
lain. Watak divergensi media terjadi ketika media digital menjadi lebih
personal. Ini berarti, media dalam arti tertentu, dituntut untuk semakin
spesialistik. Hal ini membawa konsekuensi ekonomi dan politik tersendiri pula.
Watak kompetisi dalam pasar media modern semakin tinggi dan membutuhkan
bentuk networking yang semakin global. Watak variabilitas informasi dituntut
oleh konsumen modern. Variabilitas ini mengakibatkan konglomerasi informasi
untuk membuka peluang penyediaan informasi secara lebih massal dan luas.

140
        
  

Keempat, wacana ekonomi politik digitalisasi masyarakat juga harus


dilihat dalam proses transformasi masyarakat itu sendiri. Artinya, bahwa
digitalisasi masyarakat mengarah pada kekuatan pasar yang optimis untuk
memasuki kompetisi teknologi baru. Selanjutnya transformasi digitalisasi
masyarakat juga menekankan pemberdayaan dan penyebaran tanggung jawab
sosial atas seluruh dampak yang diakibatkan oleh teknologi digital. Berikutnya,
perubahan yang menyentuh komponen masyarakat dalam berbagai perannya di
sekian skala yang mempunyai pertimbangan kesadaran atas informasi,
pengetahuan, teknologi, imajinasi, komitmen dan kebebasan sebagai
pertimbangan yang mengatasi teknologi. Artinya, teknologi digital mampu
melayani kebutuhan manusia.

WACANA AKHIR: LANGKAH KE DEPAN


Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah apakah memang orang
Indonesia benar-benar siap melangkah menjadi masyarakat informasi serta
bagaimana perkembangan citra dan budaya teknologi informasi di Indonesia.
Dengan demikian, perkembangan teknologi komunikasi mencakup persiapan
masyarakat informasi di Indonesia. Ada beberapa pertimbangan yang perlu
ditarik dalam hal ini.
Pertama adalah soal penentuan konsep teknologi dan masyarakat
komunikatif macam apa yang mau dibangun. Pertanyaan tersebut bukan
pertanyaan yang terlambat untuk dijawab sekarang ini. Masyarakat kita perlu
mengadopsi teknologi komunikasi tanpa meninggalkan nilai budaya setempat.
Perkembangan teknologi dan industri komunikasi memang harus dilihat secara
paralel dengan proses industri dengan logika internal yang menyertainya, tetapi
tetap saja teknologi dan industri digital harus dilihat secara kritis. Artinya,
proses perkembangan digitalisasi masyarakat justru tidak semakin
mengalienasikan manusia dari struktur yang lebih besar atau bahkan mereduksi
manusia ke dalam residu teknologistik belaka.
Kedua, perkembangan teknologi mempengaruhi transformasi sosial.
Transformasi sosial yang seimbang dan sesuai dengan kekuatan sosial
masyarakat. Transformasi itu meliputi integrasi optimisme industri dan
teknologi komunikasi, pemberdayaan partisipasi masyarakat—kewenangan
negara dan kekuatan swasta—untuk semakin bertindak dan bertanggungjawab
secara sosial, transformasi regulasi yang diperlukan untuk aturan main bersama
terutama dalam hal perkembangan industri dan teknologi media, aspek
transformasi kepemimpinan dalam menemukan dan menciptakan ekonomi baru
sebagai perluasan lapangan kerja dan akses informasi yang lebih luas.

141
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI

Ketiga, perubahan citra teknologi komunikasi itu sendiri. Perubahan citra


teknologi komunikasi didorong untuk bisa menciptakan adopsi inovasi. Adapun
adopsi teknologi inovasi itu meliputi pemanfaatan komparatif praktek hidup,
kompatibilitas nilai dengan kebutuhan masyarakat, kesederhanaan pemakaian,
tersedia setiap saat, terbukti bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA

Briggs, Asa. 2002. A Social History of The Media: From Gutenberg to the
Internet. Cambridge: Polity Press
Dahlan, Alwi. 2000. Perkembangan Industri dan Teknologi Media, makalah
untuk pelengkap kuliah Industri dan Teknologi Komunikasi Semester
Genap 1999/2000, Jakarta: Universitas Indonesia:
Straubhaar, Joseph dan Robert La Rose. 2002. Media Now: Communication
Media in the Information Age: Australia: Wadsworth
Tapscott, Don. 1996. The Digital Economy Era: Promise and Peril in the Age
of Networked Intelligence, New York: McGraw Hill.
Toffler, A..1980. The Third Wave, New York: Morrow:
Littlejohn, Stephen W. 2000. Theories of Human Communications. 7th Ed.
Belmont: Wadsworth Publishing Company.

142
Community Relations:
Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi

G. Arum Yudarwati6

Abstract: Community relations is performed as an institution’s


planned, active, and continuing participation with and within a
community to maintain and enhance its environment to the benefit of
both the institution and the community. Community relations will
reduce conflict and help to discover the best policy that lead to well-
being community through the establishment of social capital as part of
corporate social responsibility. At the macro level, the system
approach and communitarian approach give perspectives to explain the
interaction between organization with its environment. At the mezzo
level, the community relations should be supported by its function in
organization. Finally at the micro level, public relations practitioners
should take a significant role in organizations.

Key words: community relations, system approach, social


responsibility, public relations

Relasi organisasi dengan publiknya semakin kompleks seiring dinamika


lingkungan yang melingkupinya. Ada beberapa hal yang mempengaruhi relasi
organisasi dengan publiknya, seperti yang terjadi di Indonesia. Yang pertama
adalah adanya era reformasi yang menempatkan posisi publik setidaknya relatif
lebih seimbang dan memiliki kekuatan tawar menawar dengan organisasi.
Dengan posisi ini publik memiliki kebebasan berbicara dan mengkritik
organisasi tanpa adanya tekanan. Kedua, jumlah media pembentuk opini publik
juga semakin banyak. Dalam situasi seperti ini, organisasi perlu membuka
ruang dialog dengan publik dan peka untuk selalu beradaptasi dengan
lingkungannya. Perkembangan teknologi informasi ikut pula mempengaruhi


6
G. Arum Yudarwati adalah staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta

143
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI

relasi organisasi dengan publiknya. Teknologi mampu meniadakan batas ruang


dan waktu antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Suatu peristiwa dapat
dengan segera disebarluaskan dengan bantuan teknologi informasi. Sangat sulit
bagi organisasi untuk menutup diri, sebaliknya harus cepat tanggap dan
memberikan informasi terkini. Perdagangan bebas juga membuat organisasi
untuk semakin berbenah diri dan menjalin hubungan dengan publik untuk
mendapatkan reputasi yang baik.
Reputasi sendiri, bagi beberapa pihak lebih dilihat sebagai bentuk
keberhasilan organisasi dalam menggalang profit, sehingga ada istilah good
profit means good reputation, namun sebenarnya tidak sesederhana itu.
Pemahaman akan reputasi menyangkut dua hal, yang pertama, reputasi
dipahami sebagai sebuah produk, yaitu sebagai kumpulan impresi individu
terhadap organisasi. Sementara itu, pandangan kedua menekankan reputasi
sebagai sebuah proses, yaitu proses pertukaran sosial berkaitan dengan berbagai
elemen organiasi yang melibatkan komunikasi dan interaksi sosial. Reputasi ini
menyangkut beberapa aspek, yaitu credibility, reliability, trustworthiness dan
responsibility yang terkait satu sama lain dan ditentukan oleh penerimaan
publik berdasarkan informasi dan pengalaman yang mereka miliki (Fombrun,
1996).
Salah satu publik yang memberikan kontribusi terbentuknya reputasi
organisasi adalah komunitas. Komunitas dipahami sebagai sekelompok orang
yang memiliki kepentingan dan terkait dengan keberadaan organisasi, serta
secara geografis berada di wilayah sekitar organisasi (Grunig & Hunt 1984).
Keberadaan komunitas menjadi penting bagi kelangsungan eksistensi
organisasi mengingat komunitas merupakan kelompok masyarakat yang
tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu, yang juga menjadi bagian dari
lingkungan di mana organisasi itu berada. Kerangka hubungan organisasi
dengan komunitas diletakkan dalam kerangka hubungan bertetangga yang baik
dan memiliki rasa saling ketergantungan. Komunitas sekitar dapat berperan
untuk menjaga perusahaan itu sendiri dari resiko atau peristiwa buruk yang
mungkin dapat terjadi. Sebaliknya perusahaan juga dapat turut membantu
mengembangkan potensi kehidupan sosial, budaya dan perekonomian
komunitas setempat.
Berkaitan dengan relasi perusahaan terhadap komunitas, selama ini
bentuk relasi lebih banyak diwujudkan pada program-program bantuan yang
bersifat material ataupun bangunan fisik. Hal tersebut dianggap cukup dalam
menunjang kemajuan dan potensi ekonomi masyarakat setempat. Secara fisik
maupun ekonomi barangkali bantuan menjadi nampak nyata, namun di sisi

144
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

yang lain hal ini cenderung memanjakan masyarakat tanpa disertai kesadaran
dari masyarakat untuk mandiri ketahanan hidupnya.
Tulisan ini selanjutnya akan memberikan pandangan praktek community
relations yang sejalan dengan konsep public relations yang mampu
memberdayakan publiknya. Tulisan diawali dengan pembahasan pendekatan
sistem untuk memahami relasi organisasi dengan publiknya, dilanjutkan
pemaparan pendekatan communitarianism yang memungkinkan hubungan
harmonis dengan komunitas. Berikutnya dipaparkan community relations dalam
kerangka tanggung jawab sosial organisasi, dilanjutkan dengan fungsi public
relations dalam community relations, dan diakhiri dengan bagaimana
manajemen community relations dilakukan.

PENDEKATAN SISTEM DALAM PUBLIC RELATIONS


Pendekatan sistem merupakan salah satu alternatif untuk melihat relasi
organisasi dengan publiknya. Organisasi sendiri merupakan suatu sistem, yaitu
“a set of interacting units that endures through time within an established
boundary by responding and adjusting to change pressures from the
environment to achieve and maintain goal states” (Cutlip et.al., 2000). Sebuah
sistem ini terdiri dari beberapa sub sistem dan di kelilingi sistem lain yang
saling tergantung satu sama lain.
Pendekatan sistem diyakini mampu menjelaskan saling ketergantungan
organisasi dengan lingkungannya dalam menjalankan aktivitas untuk mencapai
tujuan. Menurut Kreps (1986), setidaknya ada empat implikasi penting dari
pendekatan sistem untuk memahami organisasi. Implikasi pertama, bahwa
saling ketergantungan menunjukkan antara satu bagian dan bagian lain saling
berhubungan. Untuk mencapai kerja organisasi yang efektif maka seluruh
bagian fungsional tersebut harus dikoordinasikan melalui komunikasi. Aktivitas
komunikasi digunakan untuk berbagi informasi maupun saling mempersuasi
agar mau bekerja sama. Implikasi kedua, dalam pendekatan sistem ditunjukkan
bagaimana keterbukaan membawa implikasi bagi organisasi untuk menyadari
adanya perubahan lingkungan. Implikasi ketiga, bahwa berdasar kerangka
analisis mikro dan makro ditunjukkan adanya beberapa level organisasi dalam
organisasi itu sendiri. Analisis mikro fokus pada kerja internal organisasi,
sementara analisis makro lebih pada keterkaitan organisasi dengan
lingkungannya. Ini termasuk arti penting saluran komunikasi internal dan
eksternal serta bagaimana kedua saluran tersebut digunakan bersama. Implikasi
keempat menunjukkan bahwa organisasi tidak bersifat statis, tetapi dinamis,
dikarenakan adanya adaptasi dan inovasi dalam organisasi. Organisasi perlu

145
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI

fleksibel dan beradaptasi terhadap perubahan lingkungan. Di sini terjadi


pertukaran informasi melalui saluran eksternal komunikasi.
Pendekatan sistem dipakai dalam pembahasan public relations dalam
tataran makro, yaitu berkaitan dengan bagaimana interaksi organisasi dengan
lingkungan yang melingkupinya. Praktek public relations dipengaruhi oleh
bagaimana organisasi berinteraksi dengan lingkungannya, dalam hal ini dengan
para stakeholder. Untuk melihat hal tersebut ada dua pendekatan sistem yang
dapat digunakan, yaitu pendekatan sistem terbuka dan sistem tertutup.
Dalam pendekatan sistem tertutup, organisasi memandang publik bukan
sebagai bagian langsung organisasi, antara keduanya terdapat pembatas yang
tidak dapat ditembus. Kebutuhan, harapan, maupun opini publik tidak dijadikan
pertimbangan dalam pembuatan keputusan, sebaliknya publik dijadikan obyek
organisasi. Interaksi bersifat searah, yaitu dari organisasi kepada publik. Dalam
organisasi seperti ini, public relations lebih difungsikan sebagai corong
organisasi untuk menyampaikan informasi dari organiasi kepada publik dan
tidak sebaliknya. Program public relations dibuat untuk membentuk citra sesuai
kehendak organisasi dan ditujukan untuk mempertahankan status quo. Public
relations lebih sebagai eksekutor kebijakan organisasi dan tidak terlibat dalam
pembuatannya. Peran teknis pada akhirnya yang lebih dominan.
Sementara itu dalam pendekatan sistem terbuka, antara organisasi dengan
publik dianggap tidak memiliki batasan pemisah yang tidak dapat ditembus.
Pendekatan ini secara radikal mencoba mengubah pandangan dalam pendekatan
tertutup dengan menempatkan publik sebagai bagian dari organisasi yang tidak
terlepaskan. Organisasi melihat publik sebagai bagian organisasi yang ikut
menentukan kehidupan organisasi. Organisasi berupaya untuk mengetahui
kebutuhan, harapan maupun opini publik berkaitan dengan organisasi, yang
selanjutnya dijadikan sebagai masukan dan pertimbangan dalam pembuatan
keputusan organisasi. Dengan demikian kebijakan organisasi sesungguhnya
merupakan hasil kesepakatan bersama dari kedua belah pihak.
Dalam sistem terbuka, public relations berperan sebagai fasilitator
komunikasi antara organisasi dengan publiknya. Public relations membantu
organisasi untuk mengeksplorasi dan memetakan opini publik, kemudian
menyampaikannya kepada organisasi. Demikian pula sebaliknya, bahwa public
relations membantu menyampaikan dan mensosialisasikan kebijakan organisasi
kepada publik. Dengan demikian, penyesuaian diri terjadi pada kedua belah
pihak, baik organisasi maupun publik sebagai hasil kesepakatan bersama.
Dalam menjalankan fungsi tersebut, tentunya public relations pada
akhirnya tidak hanya berperan sebagai eksekutor kebijakan atau teknisi saja.

146
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

Public relations lebih banyak menjalankan peran manajerial, dengan


memberikan masukan pada pihak manajemen dan terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan. Public relations pun dapat membantu organisasi
mencegah terjadinya krisis dengan memberikan masukan bagi perubahan yang
diperlukan organisasi, sekaligus mengarahkan program untuk mengubah sikap
maupun perilaku publik. Sifat public relations lebih pada upaya proaktif
daripada reaktif.
Pendekatan sistem terbuka dalam public relations dapat digambarkan
sebagaimana terlihat pada gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Open System Model of Public Relations


 

  


 

  

   

  
 
   
 

   

 
 
  
 
   
  
  

 
      
  

(Sumber: Cutlip, Scott M, Allen H. Center, and Glen M. Broom. 2000. Effective
Public Relations. 8th edition. New Jersey: Prentice Hall, p.244)

Berkaitan dengan community relations, pendekatan sistem terbuka


diyakini mampu memberdayakan publiknya, mengingat publik ditempatkan
pada posisi yang seimbang, saling tergantung dan tidak saling mendominasi.
Pendekatan sistem terbuka dalam kaitannya dengan community relations
dikembangkan lebih spesifik menjadi pendekatan communitarian (Wilson,
2001). Pendekatan ini menekankan bahwa hak setiap pihak diakui, namun
dalam penerapannya perlu disertai rasa tanggung jawab. Tidak ada satu pihak

147
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI

yang akan dikorbankan untuk memenuhi hak pihak lain, namun masing-masing
mengembangkan rasa tanggung jawab.
Bellah (dalam Wilson, 2001) mengidentifikasi adanya empat nilai yang
menjadi dasar communitarian relationship. Nilai yang pertama adalah
kombinasi dari nilai individual dan penolakan terhadap berbagai bentuk
dominasi dengan fakta bahwa keseluruhan komunitas yang berkualitas
merupakan prasyarat bagi individu maupun organisasi yang berkualitas. Nilai
yang kedua adalah solidaritas. Dalam hal ini, salah satu pihak ada karena relasi
organisasi dengan pihak lain. Nilai yang ketiga adalah communitarian
relationship yang merupakan penyeimbang dari adanya keanggotaan individu
maupun organisasi yang beragam. Akhirnya, nilai yang keempat adalah
partisipasi dalam komunitas yang merupakan sebuah hak sekaligus tanggung
jawab. Relasi akan baik ketika seluruh anggota komunitas, baik individu
maupun organisasi di dalamnya berpartisipasi mendukung komunitas dan
membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi bersama.

COMMUNITY RELATIONS DAN TANGGUNG JAWAB


SOSIAL ORGANISASI
Community relations sebagai bagian dari public relations merupakan
wujud tanggung jawab sosial organisasi. Seperti disampaikan Bernays (dalam
Grunig & Hunt, 1984): "Public relations is the practice of social responsibility.
Hal ini didukung pula oleh hasil riset Gildea (dalam Daugherty, 2001) yang
menunjukkan bahwa responden menempatkan praktek bisnis, dukungan kepada
komunitas dan perlakuan terhadap karyawan sebagai indikator penting dari
tanggung jawab sosial organisasi. Lebih lanjut, Buchholz (dalam Daugherty,
2001) memilih menggunakan istilah public responsibility untuk mengganti
social responsibility. Menurut Buchhloz, public responsibility berkaitan dengan
niat baik organisasi untuk secara aktif terlibat dalam berbagai isu publik
meskipun tidak berkaitan langsung dengan kepentingan organisasi. Keterlibatan
ini dapat diawali dengan melakukan identifikasi dan riset isu publik, itikad baik
untuk mendiskusikannya di arena publik dan kemampuan untuk bekerja sama
dengan pihak lain dalam memecahkan masalah yang ada.
Perkembangan di masyarakat menuntut praktek public relations tidak
hanya sebagai corong masyarakat dan bersifat satu arah, tetapi public relations
diharapkan mampu menjembatani organisasi dalam mewujudkan tanggung
jawab pada publiknya. Bentuk tanggung jawab itu sendiri dapat dikatakan tanpa
batas. Organisasi sulit menentukan kapan tanggung jawab sosial itu dimulai dan
berakhir.

148
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

Davis & Blomstrom (dalam Grunig & Hunt, 1984) menggambarkan


tanggung jawab sosial dalam dunia bisnis ke dalam tiga buah lingkaran sebagai
berikut :
Gambar 2. A Widening Circle of Business Social Responsibility
      
   
 
  
  
   

     
   
   
  
     
    

      



  
    

  

(Sumber: Davis & Blomstrom dalam Grunig & Hunt 1984:54)

Dalam upaya mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bentuk kontribusi


public relations dilakukan melalui fungsi-fungsi yang dijalankan (Grunig &
Hunt, 1984), yaitu internal reporting dan external reporting.
Melalui internal reporting, public relations berperan sebagai pemberi
masukan kepada pihak manajemen berdasarkan opini publik tentang "perilaku"
organisasi yang dianggap bertanggung jawab maupun yang tidak. Secara lebih
khusus public relations menjalankan proses yang disebut sebagai issues
management, yaitu:
… the capacity to understand, mobilize, co-ordinate, and direct all
strategic and policy planning functions, and all public affairs/public
relations skills towards the achievement of one objective: meaningful
participation in creation of public policy that affects personal and
institutional destiny (Chase, 1984).

External reporting dari public relations dapat berbentuk social report


dan social audit. Social report berisi laporan kontribusi organisasi kepada
publiknya. Laporan ini antara lain mencakup aktivitas hubungan dengan
komunitas, partisipasi kayawan dalam aktivitas komunitas, konservasi
lingkungan, adanya peluang yang sama bagi wanita maupun kelompok
minoritas, serta aktivitas sosial yang lain. Sementara itu social audit lebih

149
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI

melihat tanggung jawab sosial berdasarkan perhitungan keuangan yang


digunakan untuk kepentingan publik. Hal ini biasanya dilakukan oleh pihak
konsultan eksternal.

COMMUNITY RELATIONS
Community relations sebagai salah satu wujud penerapan tanggung
jawab sosial dimaknai sebagai "an institution’s planned, active, and continuing
participation with and within a community to maintain and enhance its
environment to the benefit of both the institution and the community" (Baskin,
1997). Setidaknya ada tiga dimensi dari relasi organisasi dengan publik yang
menjadi bagian dari community relations, yaitu community investment,
community involvement, dan community commitment (Ledingham & Bruning,
2001).
Antara organisasi dengan komunitas terdapat hubungan saling
ketergantungan, seperti dikemukakan oleh The Community Relation’s Section
of Champion International Corporation’s Public Affairs Guide:
We are important to those communities. Our payroll maybe the
bulwark of the area’s economy. The taxes we pay support local schools
and government. Our voluntary contributions, both financial both and
in the form of employees’ personal services, help the communities
grows and prosper.
And these communities are important to us. Without public acceptance,
no industry can realize its full potential. The goodwill of the people
who live in our plant communities is essential and must be earned
(Grunig & Hunt, 1984).

Adanya saling ketergantungan ini memotivasi organisasi untuk


mendesain program-program community relations. Menurut Grunig dan Hunt
(1984), program community relations dapat dibedakan dalam dua tipe. Tipe
program yang pertama merupakan program yang fokus pada aktivitas untuk
membantu komunikasi organisasi dengan pemimpin komunitas lokal.
Sementara itu program kedua fokus pada aktivitas yang melibatkan organisasi
pada aktivitas komunitas, seperti dukungan terhadap proses pendidikan dan
sekolah, maupun memberikan donasi pada organisasi lokal.
Program community relations dilaksanakan untuk mencapai beberapa
tujuan (Cutlip, Center & Broom, 2000), yaitu: 1) memberikan informasi pada
komunitas tentang organisasi itu sendiri, produk yang dihasilkan, pelayanan

150
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

yang diberikan serta aktivitas yang dilakukan; 2) meluruskan kesalahpahaman


dan menanggapi kritikan publik disertai upaya menggalang dukungan dan opini
yang positif; 3) mendapatkan dukungan secara hukum yang akan
mempengaruhi iklim kerja komunitas; 4) mengetahui sikap, pengetahuan dan
harapan komunitas; 5) mendukung sarana kesehatan, pendidikan, rekreasi dan
aktivitas budaya; 6) mendapatkan pengakuan yang baik dari pemerintah
setempat; 7) membantu perkembangan ekonomi lokal dengan membeli barang-
barang kebutuhan dari wilayah setempat.
Dari ketujuh tujuan tersebut nampak bahwa program community
relations sesungguhnya tidak hanya masalah perbaikan ekonomi, namun
disertai juga upaya pemberdayaan akses informasi dan komunikasi. Penentuan
tujuan itu sendiri dipengaruhi oleh karakter komunitas. Ada beberapa karakter
komunitas yang perlu diidentifikasi sebelum melaksanakan program community
relations (Baskin et.al, 2004), yaitu:
Pertama, struktur komunitas, meliputi: tingkat homogenitas atau
heterogenitas; struktur kepemimpinan formal maupun informal; nilai-nilai
yang ada dan berkembang dalam komunitas; dan media komunikasi.
Kedua, kelebihan dan kekurangan komunitas, meliputi: identifikasi
permasalahan yang dihadapi komunitas; situasi dan kondisi ekonomi politik;
dan sumber daya yang dimiliki komunitas, baik sumber daya manusia, alam,
maupun budaya.
Ketiga, pemahaman dan sikap komunitas terhadap organisasi, meliputi:
pemahaman komunitas akan produk, jasa, aktivitas maupun kebijakan
organisasi; sikap dan perasaan komunitas akan keberadaan organisasi; adakah
kesalahpahaman terjadi; dam harapan komunitas terhadap organisasi.
Perlu ditekankan bahwa harapan komunitas terhadap organisasi tidak
hanya sesuatu yang tangible seperti gaji, lapangan kerja, dan pajak namun juga
intangible, seperti partisipasi organisasi, stabilitas dan keamanan, serta rasa
bangga akan keberadaan organisasi.
Selain itu, perlu pula mengidentifikasi pola hubungan komunitas
dengan organisasi. Menurut Esman (dalam Grunig & Hunt, 1984) ada empat
bentuk hubungan organisasi dengan komunitas, yaitu: 1) enabling linkage,
merupakan bentuk hubungan antara organisasi dengan kelompok sosial yang
memberikan otoritas dan kontrol yang memungkinkan organisasi eksis,
termasuk hubungan dengan pemerintah lokal, khususnya dengan orang-orang
kunci; 2) functional linkage, ada dua pola hubungan yaitu input linkage dan
output linkage. Input linkage meliputi hubungan dengan karyawan lokal,
kelompok/asosiasi lokal, dan penyedia bahan-bahan mentah, uang, yang

151
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI

menyediakan input bagi organisasi. Output linkage berkaitan dengan hubungan


organisasi dengan organisasi lain yang menggunakan produknya, seperti para
konsumen; 3) normative linkage, merupakan hubungan organisasi dengan
organisasi lain yang menghadapai masalah yang sama atau memiliki nilai-nilai
yang sama, organisasi lokal dengan kepentingan yang sama dengan organisasi;
4) diffused linkage, merupakan bentuk hubungan dengan elemen dalam
masyarakat yang berperan dalam penyebaran opini publik, seperti hubungan
dengan media lokal dan para pemuka pendapat lokal.
Pencapaian tujuan community relations juga akan dipengaruhi oleh cara
pandang dan perlakuan organisasi terhadap komunitasnya. Dalam hal ini peran
public relations dalam organisasi menjadi penting. Wilson (2001)
mengidentifikasi adanya empat aktivitas penting yang perlu dijalankan seorang
public relations. Yang pertama adalah mereka membantu organisasi agar para
pimpinan memandang penting relasi dengan komunitas dan melihat pentingnya
peran organisasi dalam komunitas. Mereka perlu meyakinkan tanggung jawab
organisasi untuk terlibat dalam upaya pembangunan dan kemajuan komunitas.
Tanggung jawab untuk meningkatkan kualitas hidup komunitas ini perlu
dilakukan bukan karena akan mendatangkan profit, namun merupakan
tanggung jawab moral organisasi. Peran seorang public relations yang kedua
adalah membantu menyadarkan organisasi bahwa komunitas tidak hanya
sekedar terdiri dari para investor (stockholder), namun mereka juga terdiri dari
para stakeholders, yaitu karyawan, konsumen, pesaing, pemasok bahan, dan
kelompok publik lain di mana hubungan perlu dikembangkan. Selanjutnya,
karena perspektif yang menekankan perlunya hubungan dengan komunitas ini
termasuk hal yang baru, maka evaluasi terhadapnya pun belum banyak
dilakukan. Di sini peran ketiga public relations adalah untuk meyakinkan
organisasi bahwa evaluasi keberhasilan organisasi tidak hanya dari sisi
finansial, namun juga dilihat dari aplikasi tanggung jawab sosial organisasi dan
penerimaan komunitas. Akhirnya, peran keempat dari public relations adalah
mengembangkan budaya dan nilai organisasi, termasuk menanamkannya pada
seluruh anggota organisasi, yang menjamin berlangsungnya hubungan dengan
komunitas yang baik.
Peran public relations tersebut sejalan dengan pendapat Baskin dan
Latimore (1997) tentang fungsi public relations dalam organisasi, meliputi:
Pertama, fungsi manajemen. Untuk menjalankan fungsi ini maka Public
relations memberi masukan kepada pihak manajemen dalam perumusan misi,
visi, tujuan maupun kebijakan organisasi berdasarkan hasil eksplorasi opini
publik; dan membantu organisasi dalam melakukan perubahan yang diperlukan,
khususnya di masa krisis. Hal ini didasari oleh dua hal, yaitu: 1) public

152
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

relations memonitor dan mengeksplorasi opini publik, maka kemudian public


relations dapat mewakili kepentingan publik dan memprediksi reaksi publik
terhadap kebijakan organisasi; dan 2) public relations berfungsi
mengkomunikasikan kebijakan organisasi kepada publik.
Kedua, fungsi komunikasi. Sebagai fungsi komunikasi public relations
dapat dilihat dari empat hal, yaitu ketrampilan ataupun keahlian komunikasi
yang perlu dimiliki public relations, aktivitas kerja yang biasa dilakukan,
sistem yang dibentuk dan operasionalisasi penggunaan sistem yang sudah
dibentuk, meliputi: 1) Kemampuan dasar komunikasi. Setidaknya ada tiga
kemampuan dasar yang perlu dimiliki seorang public relations, yaitu
kemampuan mendengarkan, menulis dan berbicara, baik dalam konteks
komunikasi organisasi maupun berbicara di depan publik (public speaking).
Selain ketiga hal tersebut, untuk menjalankan peran manajerial maka seorang
public relations juga perlu memiliki kemampuan melakukan riset, menyusun
perencanaan dan mengevaluasi hasil riset; 2) Public relations mencakup
berbagai aktivitas kerja yang dilakukan berkaitan dengan proses komunikasi,
seperti produksi media release, company profile, ataupun majalah internal,
termasuk juga di sini, program kampanye untuk membentuk kesadaran akan
isu tertentu ataupun membentuk image positif organisasi.; 3) Public relations
berperan dalam membangun suatu sistem komunikasi, seperti sistem
pengumpulan informasi dari publik, membentuk kelompok pelanggan ataupun
komunitas untuk mendapatkan masukan, ataupun dengan menjalin hubungan
baik dengan para editor dan wartawan; 4) Public relations berkaitan dengan
aktivitas memanfaatkan sistem komunikasi yang sudah ada.
Ketiga, fungsi mempengaruhi opini publik. Aktivitas public relations
banyak bersentuhan dengan opini publik. Dalam hal ini ada tiga hal yang dapat
dilakukan public relations, yaitu: 1) Public relations membantu organisasi
untuk membangun relasi dengan publik; 2) Public relations
menginterpretasikan opini publik dan menyampaikannya kepada organisasi
sebagai input; 3) Ketika berbicara masalah opini publik, maka salah satu hal
yang menjadi sorotan publik adalah masalah tanggung jawab sosial. Public
relations membantu organisasi mewujudkan tanggung jawab sosial melalui
program-programnya.

MANAJEMEN COMMUNITY RELATIONS


Community relations merupakan suatu aktivitas yang terencana dari
suatu organisasi. Ada beberapa alternatif tahapan manajerial yang ditawarkan,
namun pada intinya adalah sama. Kelly (2001) misalnya mengemukan adanya

153
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI

lima tahap manajerial, yaitu riset, penentuan tujuan, penyusunan program dan
implementasi, evaluasi dan diakhiri dengan pendampingan. Lebih lanjut
tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Cutlip et.al, 2000 & Kelly,
2001):
Tahap penemuan fakta. Dalam tahap ini public relations melakukan riset
untuk mendapatkan fakta yang ada berkaitan dengan organisasi. Setidaknya ada
tiga hal yang perlu diidentifikasi, yaitu: 1) Kondisi internal organisasi, meliputi
identifikasi dan evaluasi kebijakan organisasi, aktivitas maupun produk (barang
maupun jasa) yang dihasilkan, serta harapan organisasi terhadap komunitas.
Setidaknya diidentifikasi ada lima harapan organisasi terhadap komunitas, yaitu
pelayanan yang baik dari pemerintahan lokal, aturan pajak yang jelas dan adil,
lingkungan yang nyaman bagi karyawan untuk bekerja, dukungan akan tenaga
kerja, serta pada akhirnya dukungan terhadap bisnis dan produknya; 2) Fakta
yang ada pada publik, dalam hal ini identifikasi komunitas; 3) Analisis peluang
berkaitan dengan upaya membangun hubungan komunitas yang baik; 4)
Berdasarkan fakta yang diperoleh, selanjutnya public relations mengidentifikasi
permasalahan utama atau isu besar berkaitan dengan hubungan komunitas.
Tahap perencanaan. Berdasarkan identifikasi masalah dan temuan fakta
yang ada, public relations menentukan tujuan jangka pendek, menengah
maupun jangka panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut dirumuskan program
hubungan komunitas, yang pada dasarnya terdiri dari dua tipe program, yaitu
program komunikasi dan program keterlibatan organisasi dalam komunitas.
Tahap aksi dan komunikasi. Dalam tahap ini disusun dua strategi besar,
yaitu: 1) Strategi aksi yang berkaitan dengan implementasi program,
perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dan 2) Strategi komunikasi yang berkaitan dengan upaya
pengkomunikasian program, yang terdiri dari dua strategi, yaitu: a) Strategi
pesan, berkaitan dengan pemilihan dan penyusunan pesan yang disampaikan
kepada komunitas, dan b) Strategi media, berkaitan dengan pilihan media untuk
menyampaikan pesan maupun mendapatkan masukan dari komunitas.
Tahap evaluasi. Dalam tahap ini, evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap
output yang dihasilkan namun juga input, yaitu berkaitan dengan kelengkapan
pemahaman akan komunitas, dan outcome, yaitu perubahan sikap maupun
perilaku yang pada akhirnya memberikan gambaran akan reputasi organisasi di
mata publik. Proses evaluasi menurut Cutlip, Center dan Broom (2000) dapat
dilakukan terhadap tiga tahap proses public relations, yaitu: 1) tahap persiapan,
seperti evaluasi terhadap kelengkapan informasi berkaitan dengan komunitas,
pilihan media, maupun penyusunan pesan; 2) tahap implementasi, seperti
jumlah partisipan, jumlah pesan yang disampaikan, maupun frekuensi kegiatan;

154
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.

3) dampak yang dihasilkan, seperti perubahan sikap, perilaku, atau bahkan


perubahan sosial yang terjadi.
Tahap pendampingan. Program hubungan komunitas merupakan
program yang berkelanjutan, sehingga dalam hal ini public relations perlu
melakukan beberapa hal berikut: 1) Selalu menginformasikan perkembangan
terakhir yang terjadi dalam organisasi, seperti menyampaikan laporan tahunan
ataupun kebijakan terbaru organisasi yang berdampak pada komunitas; 2)
Mengembangkan komunikasi timbal balik yang memungkinkan komunitas
menyampaikan opini dan memperoleh umpan balik; 3) Secara rutin melakukan
kontak dengan komunitas untuk menjaga dan memupuk hubungan baik, seperti
dengan menghadiri pertemuan rutin komunitas ataupun mengundang komunitas
dalam kegiatan organisasi.
Tahapan manajemen public relations tersebut dapat digambarkan sebagai
siklus hubungan organisasi dengan publik yang aktif. Hasil evaluasi dengan
disertai proses pendampingan akan menghasilkan input bagi perumusan
program public relations berikutnya.


Melihat uraian di atas dapat disampaikan bahwa untuk memahami
community relations perlu dilihat dari berbagai level analisis. Pada tataran
makro, community relations dilihat dari relasi organisasi sebagai suatu sistem
yang berhubungan dan saling tergantung dengan sistem yang lain. Aspek sosial,
ekonomi, politik maupun budaya akan mempengaruhi pola hubungan yang ada.
Reputasi organisasi tidak hanya dilihat dari sisi seberapa besar profit yang
diperoleh, namun juga dilihat dari aspek tanggung jawab sosial organisasi
dalam bentuk community investment, community involvement, dan community
commitment. Selanjutnya dari level mezo, ditunjukkan bahwa aktivitas
community relations tidak akan lepas dari pemahaman organisasi akan peran
public relations. Posisi, kewenangan dan fungsi yang dijalankan dalam
organisasi akan mempengaruhi model praktek yang dijalankan. Akhirnya pada
level mikro, yaitu berkaitan dengan individu pelakunya, community relations
akan dipengaruhi oleh kompetensi para pelaku yang membawa implikasi pada
peran yang dijalankan, apakah peran manajerial ataukah teknis. Community
relations akan memberikan benefit jangka panjang jika ditempatkan sebagai
bagian dari strategi besar organisasi.

155
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI

DAFTAR PUSTAKA

Baskin, Otis, Craig Aronoff and Dan Lattimore. 1997. Public Relations: The
Profession and The Practice. Edisi empat. Madison: Brown & Benchmark.
Baskin, Otis, Dan Lattimore and Suzette T. Heiman, Elizabeth L. Toth, and James K.
van Leuven. 2004. Public Relations: The Profession and The Practice. Edisi
lima. Madison: Brown & Benchmark.
Cutlip, Scott M, Allen H. Center, and Glen M. Broom. 2000. Effective Public
Relations. Eight edition. New Jersey: Prentice Hall.
Daugherty, Emma L. 2001. “Public relations and social responsibility” dalam Heath,
Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public Relations. California:
Sage Publication, Inc. (h. 389-402).
Fombrun, Charles J. 1996. Reputation, Realizing Value from the Corporate Image.
Boston: Harvard Business School Press.
Grunig, James E & Todd Hunt. 1984. Managing Public relations. Chicago: Holt,
Rinehart and Winston, Inc.
Kelly, Kathleen S. 2001. “Stewardship: the fifth step in the public relations process”
dalam Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public
Relations. California: Sage Publication, Inc. (h. 279-290).
Kreps, Gary L. 1986. Organizational Communication, Theory dan Praktek. New York:
Longman.
Lauzen, Martha M. 1997. “Understanding the relation between public relations and
issues management”. Journal of Public Relations Research. Vol. 9. No. 1. (h.
65-82).
Ledingham, John A. and Stephen D. Bruning. 2001. “Managing community
relationships to maximize mutual benefit: doing well by doing good” dalam
Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public Relations.
California: Sage Publication, Inc.(h. 527-534).
McLisky, Chadd. 1999. “Indonesia, public relations and social responsibility”. Asia
Pacific Public relations Journal. Vol. 1. No. 1. (h. 105-108).
Starck, Kenneth and Dean Kruckeberg. 2001. “Public relations and community: a
reconstructed theory revisited” dalam Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel
(eds). Handbook of Public Relations. California: Sage Publication, Inc. (h. 51-
60).
Wilson, Laurie J. 2001. “Relationships within communities: public relations for the
new century”. Dalam Heath, Robert L (ed). Handbook of Public Relations.
California: Sage Publication, Inc. (h. 521- 526).

156
Newspaper Language
in Representing Ethnic Violence:
Textual Analysis of Kompas
dan Republika Newspapers

Prayudi7

Abstract: The reconceptualization of ethnicity came to its peak when


the New Order regime introduced the policy of ‘suku’ (ethnic),
‘agama’ (religion), ‘ras’ (racial) or ‘antar golongan’ (inter-group).
The policy, known as SARA, was meant to limit and control public
interpretation over all socio-political conflicts that may endanger
national stability and to restrict languages used in the news media.
The policy had became the main foundation of all government
policies related to society. Conflicts should be avoided and difference
within society was intolerable. The Indonesian press then faced a
dilemma when it came to reporting issues of ethnicity. On one side,
they had an obligation to report the news to public; on the other side,
the concept of SARA had become an unwritten law to restrict the
press from reporting the issue. Further, the government could revoke
the publishing permits without any warning it thought that the press
had broken the law. The objective of the research was to define and
analyze the usage of language in national newspapers in representing
ethnicity issues. The analysis focused on the 1997 ethnic violence in
West Kalimantan.

Key words: newspaper language, ethnic violence, SARA

Language plays significant role within the context of ethnic pluralism. It


can unify as well as divide people of various ethnic backgrounds. Newspaper

7
Prayudi is a lecturer at the School of Communication Studies, Faculty of Social and Political
Sciences, the University of Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Yogyakarta.

157
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI

ability in influencing its readers has brought to surface the issue of language
used by newspaper institution in representing issue of ethnic violence. How the
newspaper presents the issue, the perspectives used and reporting style all lead
to the usage of newspaper language.
An attempt to analyse how Indonesian newspapers used the language in
representing the issue of 1997 ethnic violence strongly relates to some
arguments. They include political context, press policies and news orientation.
The 1997 ethnic violence itself occurred in West Kalimantan. It was claimed to
be the biggest ethnic violence that involved the Dayak community as
indigenous people and the Madura community, migrants of Madura Island. It is
noteworthy that the violence occurred during the New Order era.
First argument is the introduction of SARA policy as part of Suharto’s
development political policy. SARA policy was introduced by the New Order
regime in the early 1970s in order to limit and control public interpretation of
all socio-political conflicts that may endanger national stability. The SARA
acronym represents suku (ethnicity), agama (religion), ras (race) and
antargolongan (inter-group) issues. Although ethnic, religious, race and inter-
group diversity was integral to the character of Indonesian society; SARA
issues were labeled as the 'embryo’ of disintegration. SARA policy was
underpinned by the notion that conflict between groups within society will
provide an opportunity for particular groups to secure their own interests, which
might be at the expense of the national interest. Further, the conflict may lead to
subversive actions (Katjasungkana, Kartika and Mahendra 1999). The state
apparatus then created conditions to suppress issues of ethnic identity, religion,
races and inter-groups. Meetings, discussions and writing about SARA were
considered threats toward national integrity and were therefore banned.
Krisnamurthi (2002) argues that the politics of SARA introduced by the New
Order regime through repressive power, either directly or indirectly, was a
politics of isolation of the elements of ethnic, religion, race and inter-group
within the life of nation and state.
SARA was used to ban any discourse of ethnicity as part of Suharto’s
idea of reshaping Indonesia into a ‘big Java’. In the context of Javanese culture,
ethnic groups outside Javanese are considered lower status. Therefore, they
have no right to express their ethnic identity and purpose or make requests of
their ruler. Meanwhile, the hierarchical system in Javanese culture has also
created a condition where Javanese people from lower classes must, as part of
their ethnic identity, obey their rulers. Thus, culturally there have already been
some limitations on issues of ethnicity which were later legalized by Suharto's
introduction of SARA.

158
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

The policy of SARA had also affected the life of the press in Indonesia
during the New Order era. A range of topics through which the discourse of
SARA could surface was widely recognized as being off limits. Further
restriction included prohibition of news that refers to anything deemed as
seditious (menghasut), insinuating (insinuasi), sensational (sensasi), and
speculative (spekulasi) (see, Hill. 1990). Thus, the policy of SARA had become
a very effective instrument for the New Order government to pressure both
ethnic groups and the press. In 1975, there was a clash that involved Chinese
ethnic group and claimed many lives and properties. However, few newspapers
reported the issue. If the press had to report SARA issues, they were required to
report from the government point of view. This indicates the strength of the
New Order regime which was fully supported by the military.
Press policies as the second argument relates to how newspaper
institution reports the issue of ethnicity. Principally the newspaper institutions
should have been fair and objective in representing the violence and focused its
coverage on public interest basis. However, government strong policy on
ethnicity still restricted the press from presenting the news in a more objective
way. In reporting the violence, the press still did not dare to report the issue
explicitly. I conducted a content analysis of Kompas and Republika dailies in
2001 and found that principally both Kompas and Republika played a role as
storyteller in reporting SARA issues or other sensitive issues. I found that the
way the press reports news strongly relates to the interplay of various levels of
influence from within press institutions (such as mission, vision, goals) and
from political economy factors outside the press institutions (like government
policy on SARA). The facts of events are thus written as information based on
a set of frameworks which state that the news reported should not mislead its
readers or condemn people or parties involved in the matter. It should hold the
pre-assumption of innocence, place the matter in the way it really stands,
involve the choice of relevant and balanced news sources, and always try to
confirm the information gathered.
The third argument is the orientation of news coverage. Issue of ethnic
violence has high news values like frequency (time-span taken by an event),
threshold (size of an event), meaningfulness (events that accord with the
cultural background of the news gatherers) and so on (see, Hartley, 1995).
Consequently, newspapers will certainly report the issue. Nevertheless, the
orientation of news coverage strongly influenced by the interests the newspaper
institutions have to serve. If they orient the news coverage based on public
interest, it is likely that the newspaper institutions will use language that reduce
rather than intensify the violence. However, if they orient the coverage to
increase the newspapers exemplar, it is possible that the newspaper institutions

159
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI

will use language that either purposely or not purposely contributes to the
violence. In an interview with the editor in chief of a local newspaper in West
Kalimantan province, I found that it was difficult for the local newspaper to be
fair and balance in the coverage. Even if the newspaper institution had used the
language that would not exacerbate the issue, still it had to face demands and
demonstration from some ethnic groups who thought that the newspaper had
taken aside to one particular ethnic group.
In sum, the interplay of these arguments led to the newspapers institution
perspectives in reporting issue of ethnicity. These perspectives were then
reflected in the language used. To support this claim, two Indonesian national
newspapers had been analysed: Kompas and Republika. The time period to be
examined was from January until mid February 1997 which included the period
of ethnic violence and its aftermath. Using textual analysis, I examined how the
language was used by both newspapers in representing issue of ethnic violence,
considering the complicity of the New Order regime. The analysis focused on
the language and meanings implied in the headlines and text. This analysis was
then followed by comments from editors of the respective newspapers and
other sources to strengthen the arguments. The next section focuses on analysis
of how the language was used by Kompas and Republika newspapers in
representing the 1997 ethnic violence.

PRESENTATION AND INTERPRETATION OF DATA


Ethnic Violence in West Kalimantan is a series of events which can be
seen as a discourse over which many institutions contest the various approaches
to the violence. Arguments regarding the source of the violence included
surrounding political arguments, marginalisation, deforestation, and
transmigration. The violence occurred as the result of the politics of
development under the New Order regime, which incorporated the policy of
SARA in its practice (see, Prayudi, 2003).
The 1997 ethnic violence occurred in Sanggau Ledo sub district, which
later spread to Ledo, Bengkayang, Samalantan and Tujuh Belas sub districts, all
within Sambas Districts. In particular, the fighting that occurred over women
indicated how fragile inter-ethnic relations within society were. Although the
violence was related to the implementation of politics of ethnicity (SARA)
associated with the New Order regime's politics of development, newspaper
items were restricted to coverage of youth fighting amongst both ethnic groups
and the proposal that the solution could be found through a traditional peace
ceremony.

160
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

From the analysis of more than a hundred articles of both newspapers


that related to the issue, it was hardly to find language that tended to intensify
the violence. Rather, both of the newspapers used the language intelligently to
represent the issue from different perspective that put them in a neutral
position. Within the context of reporting ethnic violence, newspapers basically
can focus their coverage on the following perspectives: implication, causes and
solution of the violence. It has to be admitted that many newspapers would
prefer to report the process of the violence which may be full of bias and
difficult to be fair and objective. These kinds of newspapers usually orient the
reportage to enhance its newspaper selling, rather then informing the public
through fair and balance coverage.
Kompas tended to report ethnic violence from the humanitarian
perspective. This is signified by the coverage of lives and properties lost in the
violence, the condition of victims and the uncertain future they faced. The
choice of this perspective strongly related to Kompas' editorial policies and
vision to develop understanding within plural society. In particular, the
influence came from the founder of Kompas, Jakob Oetama and late P.K.
Ojong (About the humanism of Kompas newspapaer, see Sindhunata in St.
Sularto, 2001). Further, it was another way to cover the issue without being
afraid of control from government agencies like KOPKAMTIB or military
headquarters as, since the beginning of the coverage, Kompas had already been
told not to exacerbate the issue. By bringing up the human side of the unrest,
which usually was abandoned by the press, Kompas presented the impact of the
violence through the description of the victims. This can be seen from some of
Kompas headlines, such as Keamanan Di Sanggau Ledo
Terkendali(02/01/1997) Pengungsi Di Singkawang Kekurangan
Pangan(04/01/1997), Kami Harus Tinggal Dimana? (12/01/1997), 1.094
Bangunan Rusak, Akibat Kerusuhan Di Sanggau Ledo (13/01/1997), and
Kerugian Sanggau Ledo Rp 13,56 Milyar (28/01/1997). The emphasis on a
humanitarian perspective, was evident in Kompas news items as follows:

Pengungsi di Singkawang Kekurangan Pangan


Pengungsian ribuan penduduk daribeberapa desa di wilayah
Kecamatan Bengkayang, Samalantan dan Kecamatan Tujuh Belas ke
Kota Singkawang, masih terus berlangsung, sementara pengadaan
pangan untuk para pengungsi mulai menipis….
Anggota DPRD II Sambas Haji Zainal selaku koordinator Posko
Penanggulangan Pengungsi di Singkawang mengatakan, masalah besar
yang dihadapi saat ini adalah kekurangan pangan, terutama beras.

161
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI

Sejauh ini posko penanggulangan pengungsi di Singkawang baru


menerima bantuan beras dua ton dari Pemda Kabupaten Sambas, juga
gula, kopi dan mie instant dari para dermawan. Padahal untuk memberi
makan seluruh pengungsi yang sudah berjumlah 5.678 orang, Posko
Singkawang harus menyediakan beras 2,8 – 3 ton per hari dengan lauk
seadanya seperti ikan asin. “Karena itu saya menghimbau semua pihak
termasuk pemerintah untuk dapat meringankan beban para pengungsi,’
ujarnya.
Dijelaskan Zainal, karena terbatasnya persediaan beras yang dimiliki
Posko, pada Jum’at siang kemarin pengungsi di Singkawang terpaksa
hanya diberikan makanan dengan bubur.
(Kompas, 04/01/1997)

Kami Harus Tinggal di mana?


Ketika diperbolehkan kembali melihat rumahnya di Dusun Sindu, Desa
Beringin, Kecamatan Samalantan, Kabupaten Sambas, Minggu (5/1)
lalu, Haji Abdullah (42) hanya bisa termenung lesu melihat rumah dan
harta bendanya tinggal puing-puing belaka.…Padahal menurut
pengakuan Haji Abdullah, selama ini pergaulan sehari-hari
antarpenduduk desa itu sangat baik dan hidup rukun.
***
“Secara jujur sulit saya memahami mengapa kerusuhan ini terjadi,
sebab antara masyarakat Dayak, Madura dan Melayu di desa ini tidak
ada masalah. Bahkan di antara warga kami sudah ada yang kawin
campur,” kata Frans Adam, Kepala Desa Bagak Sahwa, Kecamatan
Tujuh Belas. Frans Adam yang seorang tokoh masyarakat Dayak
Bagak, sangat menyesalkan terjadinya peristiwa ini.
(Kompas, 12/01/1997).

To achieve the humanitarian perspective, Kompas emphasized the


interview with the opinion leaders and victims of both ethnic groups, the local
government in terms of the total lives lost and properties damaged, and also the
head of the coordinating post for refugees. From the two news items above,
Kompas explicitly highlighted that principally both parties involved suffered
from the violence. Further, the implied meanings of this representation are the
failure of the New Order government politics of development and its security
approach in preventing the violence from occurring and also the slowness in
helping the victims of the violence. Thus, instead of using newspaper language

162
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

to describe the violence, Kompas preferred to use the language to describe the
impact of the violence. The implied meaning of some of the news items above
does signify this. Jakob Oetama, General Manager of Kompas argued,

Information is not just presented. It is presented in such a way that its


meaning and significance will gain clarity. Context, therefore, is the key
word if one is to be able to present such information. There must always
be a background, a process, the interrelationship, and the context.
Context is two-sided. First, it directly relates with events and problems
which constitute the sources of news and information. Context is also
interrelated with a frame of reference. If context in this sense can be
combined smartly and proactively and supplemented with critical
reflection, it may help newspapers read and present trends.
(Kompas Information Media. Kompas: A Friend in Changing Times)

It is clear that in understanding the language used in the newspaper,


readers must see the context of the event being reported in attempt to
understand the issue. Sometimes the meaning has to be understood implicitly.
Unlike Kompas, Republika represented ethnic violence by emphasizing
the current situation and steps taken by the government in managing the unrest.
This was done through interviews with military officers and civil officials.
These representations can be analysed from some of Republika headlines that
state Komnas HAM Saksikan Perjanjian Damai di Sambas (06/01/1997),
Panglima ABRI: Persoalan Sanggau Ledo Sudah Selesai (07/01/1997),
Sanggau Ledo:Rusuh di Kampung Jagung(13/01/1997), Bupati Sambas Taryo
Aryanto: Empat kali Kerusuhan Hanya Antardua Suku Itu(13/01/1997), and
Kasus Sanggau Ledo Tak Ada Kaitan dengan Transmigrasi(27/02/1997). Most
of the Republika headlines are statements made by both local and centre
government officials, military and civil. News items exhibiting current situation
and steps taken by the government in managing the unrest, for instance, are as
follows:

Komnas HAM Saksikan Perjanjian Damai di Sambas


Pihak-pihak yang bertikai di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas,
Kalimantan Barat, Ahad siang mengadakan upacara perjanjian
perdamaian secara adat. Pelaksanaan perjanjian tersebut disaksikan
dua anggota Komnas HAM, Asamara Nababan, SH dan Muhammad
Salim SH...

163
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI

“Kami harapkan perdamaian semacam itu akan ditindaklanjuti sampai


Pemda tingkat II,’ harap Pangdam XII/Tanjungpura Mayjen TNI
Namuri Anoem S setelah menerima laporan adanya upacara itu,
kemarin di Singkawang
Dalam perjanjian tersebut – seperti yang dilakukan di Desa
Pangmilang – antara lain disebutkan bahwa kejadian tersebut sebagai
kesalahpahaman akibat informasi dan berjanji tidak akan saling
dendam…
(Republika 06/01/1997).

Panglima ABRI: Persoalan Sanggau Ledo Sudah Selesai


Panglima ABRI Jenderal TNI Faisal Tanjung menyatakan, masalah
kerusuhan antarkelompok yang terjadi 29 Desember 1996 di Sanggau
Ledo, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, sudah selesai. Aparat
keamanan sudah dapat mengatasi sepenuhnya. ‘Sudah selesai, sudah
selesai’” kata Pangab kepada wartawan di Jakarta, Senin, ketika
ditanyai tentang perkembangan kasus tersebut.
...Saat menjawab pertanyaan apakah ABRI melihat aksi kerusuhan
massa akhir-akhir ini yang merebak di berbagai daerah, terdapat pola
yang mengorganisasinya, Feisal mengatakan, “Pola apa, tidak ada
pola-pola.” Meskipun demikian, Pangab minta wartawan
menyampaikan berita yang benar.”Kalian dengar tadi apa yang
dikatakan Pak Harto. Kalau tulisan kalian ‘ngaco’, itu sangat
mempengaruhi orang lain, memutarbalikkan kenyataan. Janganlah
memutarbalikkan pendapat orang,” katanya....
…Ditanyai tentang suasana saat ini, menurut Nababan, sudah jauh
lebih baik dan bila meminjam istilah Pangdam VI/Tanjungpura,
kondisinya makin mendekati titik nol. Adanya upacara adat sebagai
peringatan perdamaian dari kedua kelompok yang bertikai, menurut
dia, menunjukkan suasana yang menyejukkan bahkan di sebagian
anggota kelompok sudah melepaskan ikatan kepala. Namun baik
Nababan maupun Muhammad Salim sependapat bahwa untuk
menyelesaikan persoalan tersebut secara tuntas tidaklah mudah.
Upacara adat sebagai tanda perdamaian yang dilangsungkan di
beberapa desa saat ini, semua itu sifatnya baru sampai tahap
menyejukkan, kata Nababan. “Tindakan lebih lanjut harus ada
partisipasi nyata dari kedua pihak.”
(Republika 07/01/1997.

164
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

Based on the two news items above, Republika stressed the government
attempts to bring peace between the two groups through traditional peace
ceremonies. The implied meaning signifies the unpreparedness of the military
in analysing the violence before it occurred or when the violence was still in
progress. Short statements from the commander of the armed forces also
represented this. The facts later proved that the violence lasted for one and a
half months. Whereas the quotation of statements from member of NHCR
signifies that the government should not rely on traditional peace ceremonies to
stop the violence without searching for the root of the problem. Although it did
not clearly and directly criticize government efforts to solve the problem,
Republika had tried to see the issue from critical perspective.
The publication of the statement from the commander of the armed
forces indicates that press must report the issue carefully. The policy of SARA
had become a very effective political and legal instrument for the military to
control the press. It is noteworthy that the military were active censors toward
the press and did not merely rely on KOPKAMTIB and BAKIN which
politically represented military monitoring and controlling bodies over political
activities within societies, including the press. Nevertheless, there had been an
attempt from the newspaper institutions to use the language cleverly and
meaningfully in representing the issue.
In summary, the use of covered, polite and euphemistic reportage style,
as shown by Kompas, and the dominant use of government news sources whilst
implicitly criticising the government, as shown by Republika, signify how the
Indonesian newspapers institutions accommodated the political situation during
the New Order government into their editorial policies in reporting ethnic
violence. It is then reflected in the newspaper language.
Another finding from the textual analysis of newspaper language in both
Kompas and Republika newspapers was how both newspapers used the
language to represent the causes of the violence. Basically, both newspapers
portrayed two aspects of the violence. First, was the root of the violence, which
was based on the New Order government politics of development that
incorporated the policy of SARA. Second, was the way the government
handled the violence.
Kompas first coverage of the violence was on 2 January 1997 entitled
‘Keamanan di Sanggau Ledo Terkendali’ concentrated on the military approach
to handling the violence. Kompas' care in reporting the issue can be seen from
the placement of the article in page 15, which was set for national news articles,
and the content of the article, which includes statements from government
(military officers) and steps taken to prevent greater violence. At the end of this

165
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI

article Kompas emphasized the existence of government companies in the area


of violence as follow:
Komoditas utama Kalbar tercermin di Sambas. Di situ ditemukan
perkebunan karet, kopra, lada dan sawit. Sebagian perkebunan ini
dikelola PT Perkebunan Nusantara XIII yang antara lain memiliki
kantor di Kecamatan Samalantan. Hari Rabu malam banyak telepon
yang masuk ke kantor redaksi Harian Kompas. Mereka umumnya
menanyakan situasi di Sanggau Led.
(Kompas, 02/01/1997).

Here, Kompas used covered, euphemism newspaper language which


contained implied meanings. Rubber, copra, white and black pepper and oil
palm plantations represented government development projects, which had
overtaken tribal land of indigenous people through the Agrarian Law No.5. PT
Perkebunan Nusantara XIII (a government-owned company) represented the
government extension hand in exploiting the natural resources for the benefit of
elite in Jakarta. In running the project, instead of using indigenous workers, the
government preferred to use migrants (Madurese people) as workers. Thus, the
policy had marginalized indigenous people and created social and economic
gap between migrants and indigenous people. Meanwhile calls accepted at the
editorial desk signifies that Kompas was pressured to carefully report the
violence.
Another way of reporting news about government complicity in the
violence was by publishing opinions of political analysts or other sources like
member of NCHR (National Commission of Human Right). Some of the news
items are Amien Rais: People No Longer Stand with Economic Tyranny
(06/01/1997), Kompleks, Ada Keterkaitan Berbagai Kerusuhan (19/02/1997),
and Kekerasan Massa dan Kekerasan Struktural (20/01/1997). One of the news
items above read as follow,

Amien Rais: People No Longer Stand with Economic Tyranny


Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr Amin Rais
menyatakan,”…Republik ini yang berdasarkan kemajemukan agama,
etnis, dan ras seperti sangat terancam. Sumbernya bukan SARA (suku,
agama, ras dan antargolongan) itu sendiri, tapi kesewenang-wenangan
dan kezaliman ekonomi yang berlangsung cukup lama sehingga rakyat
banyak sudah tidak tahan lagi.”

166
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

Amien melihat kerusuhan hanya bisa terkendali jika ada program-


program yang jelas untuk memberdayakan ekonomi masyarakat
banyak. Menurut dia, program-program yang ada sekarang seperti
proyek Jimbaran dan penyisihan dua persen dari keuntungan
perusahaan memang akan berjalan, tapi kemungkinannya, “Doesn’t
make any difference.”
(Kompas 06/01/1997)

From the news item above, Kompas use newspaper language to represent
the complicity of the New Order regime in the violence. Through opinions from
some political analysts, Kompas implicitly criticized the New Order
development SARA policies that had created the gap within society as the
trigger of mass violence. Whereas Amien Rais, a figure that openly criticized
the Suharto leadership and military involvement in the government structure,
was represented as the leader of one of the biggest Moslem organization in
Indonesia instead of a political analyst. By doing this, Kompas expected that the
government would pay more attention to the issue being presented in the news.
Thus, in using newspaper language to portray the government complicity in the
violence, Kompas combined its reportage through formal, polite, covered and
euphemistic reportage style and utilized the opinions of political analysts and
other non-government sources.
Republika, on the other hand, used different newspaper language in
representing government complicity in the event. Republika represented this
through the reportage of previous violence that involved both ethnic groups
which had occurred several times. The reportage also emphasized the violence
that occurred in places where many government projects were situated. To
achieve this, Republika did not merely report what government news sources
said. Rather, it used contradictive newspaper language by quoting statements
from government officials regarding the violence to signify the possibility of
political interests involved in the issue. Thus, quotation of government officials
by Republika in its reportage of the violence contains two arguments: first, to
deal with government policy in reporting SARA issues; and second, to
represent the government as the source of ethnic violence. What is also
significant is that Republika was founded with the involvement of Habibie, who
was Suharto’s trusted man during the New Order era.

167
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI

In one of its news items entitled Sanggau Ledo:Rusuh Di Kampung


Jagung on 13 January 1997, Republika emphasized on how small cases of
youth fighting could turn into mass SARA violence. Some parts of the news
item states,
Bagi Uray Faisal Hamid, orang Sambas yang menjadi anggota DPR RI
dari daerah pemilihan Kalbar, akar persoalan adalah kesenjangan
sosial yang menganga antara suku setempat dan pendatang…
Melihat tiga peristiwa serupa pada 1977, 1979 dan 1983, memang
tampak pertikaian selalu saja terjadi antara warga suku Dayak dan
suku pendatang yang sama. Meskipun pertikaian selalu diakhiri ikrar
damai, bara d iantara mereka rupanya tak pernah benar-benar padam.
(Republika,13/01/1997).

By writing about violence that had been occurred for several times for
quite long time, Republika sent a message to the government to seriously pay
attention to this ethnic violence issue.
In summary, both newspapers had represented the government
complicity in the violence. From the two analysed newspapers, the press
demonstrated how they set particular newspaper language in order to convey
their message without transgressing government controls. This is what Jakob
Oetama, the chairman of Kompas, said the press must know how to play. In
relation to government's management of the violence, Kompas and Republika
quoted statements from military officers and other figures like the Chairman of
MPR and local opinion leaders. Both dailies avoided writing opinions and let
its readers construct the meaning of the violence through the presentation of
facts and contextual information which appeared in the language used.

CONCLUSION
The usage of language in newspaper in representing issue of ethnicity
principally relates to many factors. Some of them, as identified in this research,
are political context, editorial policy, and news orientation. The interplay of
these factors leads to perspective of a newspaper institution in representing the
issue.
The coverage of issue of ethnic violence is not merely about the position
(intensify, neutral or diminish) of a newspaper in the violence. There are many
other perspectives to report the issue of ethnic violence without exacerbating it.

168
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....

Kompas and Republika newspapers emphasized on humanitarian and sources of


violence in representing the issue. The policy of SARA introduced by the New
Order regime, editorial policies which were influenced by mission and vision of
newspapers institutions, and orientation of news coverage which avoid to
directly report the process of violence had resulted in the variety of language
used in reporting the issue.
However, it was done through cautious, polite and closed reportage style
due to the maintenance of strong control over the press. The ramification of
these findings is, in fact that the language used by the newspaper institutions
during the New Order regime had been engaged in the struggle to give more
balanced and fair coverage of the issue.

BIBLIOGRAPHY

Hartley, John. 1995. Understanding New., London: Routledge.


Hill, David. 1990. ‘Publishing within Political Parameters’. Inside Indonesia.
Melbourne. No. 23, June, pp.16-7.
Katjasungkana, Nug. 1999. ‘Konteks Sosial Historis SARA’ dalam Sandra
Kartika & M Mahendra (Ed.). Dari Keseragaman Menuju Keberagaman,
Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.
Kompas Information Media. Kompas: A Friend in Changing Times.
Krisnamurthi, Indra. 2002. Kerusuhan, Stigma SARA, dan Partai, [Online].
Available at: http://ww.bubu.com/kampus/juli98/lipsus.htm [2002,
December 20]
Prayudi. 2003. Press Coverage of Ethnic Violence. Unpublished Thesis. RMIT
University, Melbourne, Australia.
Sindhunata. 2001. ‘Menatap Masa Depan Humanisme di Indonesia Bersama
Kompas’ dalam St Sularto. Humanisme dan Kebebasan Pers. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.

169
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI

Kompas’ news items:


Keamanan Di Sanggau Ledo Terkendali (02/01/1997)
Pengungsi Di Singkawang Kekurangan Pangan (04/01/1997)
Kami Harus Tinggal Dimana? (12/01/1997)
1.094 Bangunan Rusak, Akibat Kerusuhan Di Sanggau Ledo (13/01/1997)
Kerugian Sanggau Ledo Rp 13,56 Milyar (28/01/1997)
Amien Rais: People No Longer Stand with Economic Tyranny (06/01/1997)
Kompleks, Ada Keterkaitan Berbagai Kerusuhan (19/02/1997)
Kekerasan Massa Dan Kekerasan Struktural (20/01/1997)

Republika’s news items:


Komnas HAM Saksikan Perjanjian Damai Di Sambas (06/01/1997)
Panglima ABRI: Persoalan Sanggau Ledo Sudah Selesai (07/01/1997)
Sanggau Ledo: Rusuh Di Kampung Jagung (13/01/1997)
Bupati Sambas Taryo Aryanto: Empat Kali Kerusuhan
Hanya Antardua Suku Itu (13/01/1997)
Kasus Sanggau Ledo Tak Ada Kaitan dengan Transmigrasi (27/02/1997)

170
Media Literacy:
Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

Rahayu8

Abstract: The complexcity of the media’s problem in determining media


policy can not be solved only by structural approach. The cultural
approach is also needed in getting people participation and involvement
to solve that problem. When the effect of media become an important
issue in the relationship between media and the public, the media
should not only be regulated, but the public should be involved and
given the opportunity to play important role making the media to be
part of public life and helping the public to solve their life. People’s
empowerment in this cultural approach can be conducted through the
program of media literacy. This movement as a public power and
identity certainly has influence to the media.

Keywords: media effects, media literacy and public empowerment

Sejauh ini persoalan media massa dan masyarakat umumnya berkaitan


dengan “intervensi” media dan ketidakberdayaan publik atas dampak media.
Media massa digambarkan terlampau hebat dengan efek pengaruh yang sangat
kuat, sementara publik dicerminkan sebagai makhluk tak berdaya dan korban
dari “kebrutalan” media. Sejumlah teori dan kajian-kajian menyangkut media
dan masyarakat memberikan legitimasi pada pandangan tersebut hingga terus
saja direproduksi dari waktu ke waktu, bahkan kebijakan tentang media massa
condong ditujukan untuk mengatur institusi media daripada masyarakat. Meski
kebijakan pengaturan media dimaksudkan untuk melindungi hak-hak
masyarakat namun kebijakan tersebut tidak sepenuhnya merefleksikan relasi
media dan masyarakat.

8
Rahayu adalah Staf Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIPOL UGM dan Koordinator
Peneliti di Pusat Kajian Media dan Budaya Populer

171
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI

Relasi masyarakat dengan media tidak bersifat mekanis dan linear namun
multidimensi, menyangkut berbagai aspek sosiologis. Dalam konteks ini
masyarakat seharusnya dipandang sebagai pihak yang aktif dalam berhubungan
dengan media massa. Namun sayangnya, sebagian masyarakat sendiri juga
tidak memahami serta menyadari pentingnya persoalan ini dan justru
“terbenam” dalam hingar bingar perkembangan media yang ada. Di sinilah
orientasi kebijakan perlu bertumpu pada masyarakat untuk meningkatkan
identitas diri dan kemampuannya dalam berhubungan dengan media.
Kebijakan media literacy dalam kaitan ini semakin mendesak dan
penting untuk meningkatkan kekuatan masyarakat ketika berinteraksi dengan
media. Media literacy dapat diandalkan untuk memberikan edukasi kepada
masyarakat tentang bagaimana mengakses media, memilih pesan, memaknai
bahkan mengkritisinya. Melihat arah perkembangan media massa yang semakin
kompleks, baik dari segi format maupun content-nya karena dukungan
teknologi informasi yang semakin canggih, media literacy dapat diharapkan
mengatasi pengaruh media di masyarakat. Pada akhirnya masyarakat sendirilah
yang seharusnya dapat menentukan sikap terhadap gencarnya pengaruh media.
Tulisan ini mengurai bagaimana media literacy seharusnya menjadi
agenda “pendidikan” nasional di Indonesia. Urgensi media literacy tidak saja
terkait dengan prediksi perkembangan media massa dan teknologi informasi
yang semakin canggih di masa depan, tetapi juga menyangkut problematik
tayangan televisi yang kian meresahkan di kalangan masyarakat. Meski
beberapa kelompok aktivis media telah memulai bahkan melakukan media
literacy namun kegiatan tersebut terkesan parsial. Perlu dorongan yang kuat
agar media literacy menjadi gerakan nasional untuk membebaskan masyarakat
dari pengaruh media.
Untuk memberikan uraian yang komprehensif, tulisan ini akan dimulai
dari pemaparan refleksi kualitas program tayangan televisi yang kian hari kian
tidak bermartabat. Kemudian bahasan pun menyentuh aspek kritik terhadap
media yang sesungguhnya dapat dimaknai sebagai pengharapan publik. Uraian
tentang Pervasive Presence Theory disajikan dalam dialog ini untuk
memberikan penekanan bagaimana pertarungan memperebutkan private place
menjadi isu penting saat ini. Bahasan terakhir akan dikaitkan dengan telaah
kritis gerakan media literacy di Indonesia dan konsep-konsep sentral media
literacy yang dapat diterapkan.

172
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

REFLEKSI RENDAHNYA “MARTABAT” TV KITA


Pertelevisian Indonesia mulai awal tahun 1990-an menunjukkan
perkembangan yang luar biasa. Hingga saat ini tidak kurang dari 50 institusi
penyiaran televisi beroperasi—baik di Jakarta maupun di sejumlah daerah lain
di luar Jawa. Dari segi kuantitas, tentu saja jumlah tersebut sangat
menggembirakan bahkan terkesan begitu fantastis untuk sebuah negara
berkembang dan baru bangkit dari krisis. Namun, dari sisi kualitas,
perkembangan televisi di Indonesia justru sangat memprihatinkan.
Keprihatinan terhadap kualitas televisi di tanah air terkait dengan
tayangan-tayangan program yang masih saja berkutat pada kekerasan, kisah
cinta yang naif, ketimpangan si miskin dan si kaya, kekonyolan dan kebloonan
serta hantu-hantuan. Tayangan-tayangan semacam itu nyaris dapat dijumpai di
setiap waktu di semua stasiun-stasiun televisi swasta yang beroperasi saat ini.
Acara-acara sinetron yang menampilkan tokoh antagonis dengan ekspresi yang
ekstrim—mata melotot, bibir tersungging sinis dan gigi mengerat kaku—
menghasut publik akan eksistensi manusia jahat dan mengerikan. Sinetron
bertema anak dengan desain skenario ala remaja atau orang dewasa
menumpulkan logika publik dan menjebaknya dalam realitas semu. Beberapa
acara reality show yang menebar mimpi dan sebagian besar melanggar area
privat memperdaya publik untuk memaklumi dan menghalalkan area privat
menjadi konsumsi massa. Belum lagi menyoroti tayangan-tayangan berita
kriminal yang tidak etis karena terlalu banyak menampilkan kekerasan,
eksploitasi korban, darah dan kengerian-kengerian lainnya. Karakteristik
tayangan televisi saat ini nampaknya kurang mendidik dan cenderung amoral
Program televisi pun cenderung seragam. Keseragaman ini menunjukkan
bagaimana sikap pengelola televisi yang kurang tanggap—atau kemungkinan
besar tidak peduli—dengan nilai-nilai inovasi. Akibatnya, paritas program tidak
beranjak dari sinetron, reality show dengan tema-tema yang nyaris sama, kuis,
ngerumpi selebritis dan sebagainya. Sebagai ilustrasi, dapat disebutkan di sini
acara hantu-hantuan yang nyaris serupa di beberapa stasiun televisi, mulai dari
“Dunia Lain” (TRANSTV), “Gentayangan” (TPI) sampai “Pemburu Hantu”
(LATIVI). Juga berita-berita kriminal yang nyaris sama seperti “Sergap”
(RCTI), “Jejak Kasus” (INDOSIAR), “Buser” (SCTV) dan sebagainya. Kasus
lain menyangkut program acara selebriti, dapat dijumpai di sini “Cek & Ricek”
(RCTI), “Lipstik” (ANTEVE), “KISS” (INDOSIAR), “Kroscek” (TRANSTV),
“Peri Gosip” (RCTI) juga “Kabar-Kabari” (RCTI).
Tidak dapat dipungkiri sikap pengelola media yang kurang tanggap
dengan inovasi disebabkan oleh ketergantungan mereka terhadap angka rating.
Logika rating telah mencetak pengelola media menjadi follower handal dari

173
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI

program-program yang terlebih dulu berhasil menembus angka rating tinggi.


Masih segar dalam ingatan kita bagaimana KDI (Kontes Dangdut Indonesia)
yang disiarkan TPI dan juga KPI (Kontes Pelawak Indonesia) yang segera
menyusul, mengikuti jejak keberhasilan AFI (Akademi Fantasi Indonesia) yang
ditayangkan Indosiar. Nampaknya cara ini yang ditempuh oleh kebanyakan
pengelola media untuk mengurangi resiko dari kegagalan produksi program.
Beginilah kalau kapitalisme menggerakkan industri penyiaran, performa
institusi penyiaran televisi pun selalu dikaitkan dengan kemampuannya meraup
iklan dan urusan kualitas dinomorsekiankan.
Bertolak dari fenomena tersebut, ketimpangan antara harapan publik dan
harapan pengelola terhadap kualitas program televisi dapat ditelusuri. Publik
dengan variasi karakter, kondisi, kebutuhan dan kepentingan yang beragam
menuntut peran media yang bervariasi. Parameter yang digunakan publik untuk
menilai kualitas program pun bisa jadi berbeda-beda karena ketidaksamaan
latar belakang sosial, budaya dan ekonomi. Hal ini yang kemudian
menyebabkan respon publik terhadap tayangan televisi menjadi beraneka
ragam. Sementara itu, logika rating justru mendorong pengelola media hanya
tanggap pada program-program dengan audiens terbanyak. Hanya program-
program yang ditonton oleh sebagian besar orang—tergambar pada angka
rating tinggi—yang akan diproduksi dan ditayangkan karena berkorelasi
dengan pendapatan iklan. Program acara merupakan komoditas barang
dagangan yang bernilai komersial tinggi. Bagaimana merancang program yang
laik jual merupakan bagian terpenting dalam aktivitas industri media. Meski
validitas penghitungan angka rating masih menjadi perdebatan di sejumlah
kalangan media, namun hingga kini masih terus menjadi rujukan utama.
Akibatnya, pengharapan publik di luar keinginan mayoritas (di luar selera
pasar) dan orientasi terhadap nilai-nilai yang lebih bermanfaat bagi publik
menjadi terabaikan.

KRITIK, EKSPRESI PENGHARAPAN PUBLIK


Ribut-ribut tentang kualitas program televisi dapat dimaknai
merefleksikan pengharapan masyarakat yang cukup tinggi terhadap institusi
penyiaran tersebut. Sikap masyarakat yang demikian dalam perspektif
struktural berhubungan dengan pengharapannya terhadap fungsi media sebagai
institusi sosial. Media massa, termasuk televisi, dipersepsikan mampu
memberikan manfaat bagi masyarakat dalam meningkatkan informasi dan
pengetahuan, hiburan serta sarana yang mendukung kemampuan sosialisasi
dengan lingkungannya. Dalam kerangka praktis, media dipercayai mampu
membantu masyarakat merancang agenda, menetapkan tujuan dan memaknai

174
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

perubahan lingkungan hingga memudahkannya beradaptasi dengan lingkungan


sosial yang lebih luas.
Media massa sebagai sebuah institusi sosial antara lain menjalankan
fungsi-fungsi institusi sosial tradisional. Fungsi institusi pendidikan misalnya
dapat dijalankan oleh televisi karena kemampuannya mentransmisikan pesan-
pesan edukasi kepada khalayak luas. Program-program “Discovery Channel”
misalnya memberikan informasi dan pengetahuan kepada publik secara jelas
dan gamblang mengenai berbagai fenomena alam semesta.
Kekuatan televisi dalam menyuguhkan pesan-pesan audio visual telah
menjadikannya media hiburan yang sangat popular di masyarakat. Fungsi-
fungsi teater, gedung bioskop, pagelaran musik dan sebagainya hadir di layar
kaca hingga masyarakat tidak perlu beranjak dari ruang privatnya untuk dapat
menikmati hiburan. Tidak hanya itu, televisi memiliki kekuatan menciptakan
rasa membership in group tanpa seseorang harus melakukan kontak fisik.
Tayangan program AFI dan KDI perlu diakui telah melahirkan komunitas-
komunitas audiens yang cukup solid. Partisipasi mereka dalam memberikan
dukungan via sms kepada tokoh pujaannya menunjukkan bagaimana televisi
berhasil mengembangkan “identitas” kelompok.
Lebih strategis lagi, masyarakat juga sangat mengharapkan media dapat
memberikan referensi dalam menata atau mengatasi problem kehidupannya.
Melalui informasi yang disajikan, media memiliki kekuatan dalam memetakan
isu-isu tertentu hingga tidak menutup kemungkinan audiens menjadikannya
acuan dalam mengambil keputusan. Melihat fenomena ini Potter menyatakan:
“We all live in two world: the real world and the media world. The
real world is where we come in direct contact with other people,
locations and events. Most of us feel that the real world is too limited,
that is, we cannot get all the experiences and information we want from
just the real world. In order to get those experience and information,
we journey into the media world”. (Potter, 2001: vii)

Harapan masyarakat yang sedemikian besar terhadap fungsi televisi


menuntut tayangan-tayangan program yang berkualitas. Sayangnya, fungsi
tersebut masih saja jauh dari harapan. Ketika tayangan-tayangan tersebut
menyodorkan selera rendah, tidak mendidik dan jauh dari nilai-nilai sosial-
budaya, masyarakat menjadi kecewa, “marah” bahkan frustasi. Sikap demikian
sekaligus menunjukkan bagaimana masyarakat begitu peduli dengan rendahnya
“martabat” penyiaran televisi saat ini.

175
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI

PERVASIVE PRESENCE THEORY DAN PERJUANGAN


MEMPERTAHANKAN PRIVATE PLACE
Meski persepsi akan buruknya kualitas tayangan televisi menyebar luas
di kalangan masyarakat, masih saja media berlayar kaca tersebut menjadi
tontonan yang “menarik” dan ditunggu-tunggu. Ada sebagian acara yang
ditonton lalu dipuji-puji karena mampu menghadirkan hal baru dari tayangan
biasanya (misalnya: “Bajaj Bajuri”) tetapi ada pula tayangan yang (tidak
mungkin tidak) ditonton meski juga dicaci maki karena jauh dari kualitas yang
diharapkan (misalnya: tayangan berita kriminal dan hiburan reality show).
Kehadiran televisi di masyarakat nampaknya sulit dibendung. Tragisnya,
sementara orang tua dapat menghindari televisi karena kesibukan bekerja, anak-
anak di rumah justru keranjingan mencari program tayangan yang
menggembirakannya tanpa disadari oleh orang tuanya. Pervasive Presence
Theory mengisahkan bagaimana televisi menerobos masuk dalam private place
tanpa peringatan dan menjangkau baik anak-anak maupun orang dewasa tanpa
mampu mereka menghindar dan menghentikannya (Dominick, 2004:230).
Layaknya public place, televisi hadir mengoyak-oyak private place dengan
membebaskan “orang-orang asing” memasuki area tersebut. Masyarakat tidak
dapat menghindar karena tidak memiliki alternatif lain. Beralih program berarti
mengkonsumsi hal yang sama di channel lain. Televisi (terutama yang privat)
yang beralih fungsi menjadi etalase produk-produk kapitalis dan karakter
teknologinya yang canggih hadir menerobos private place tanpa ampun.
Dalam situasi demikian regulasi penyiaran sangat penting untuk
mengendalikan program-program tayangan televisi. Regulasi di sini tidak
hanya mengatur masalah seleksi isi media namun juga perlu menyentuh aspek
sosiologis yang mempertimbangkan bagaimana masyarakat berinteraksi dengan
media. Perilaku masyarakat menonton televisi mulai dari memilih, mengakses
dan memaknai program televisi berhubungan erat dengan relasi-relasi sosial.
Pemberian kode pada tayangan program televisi pada dasarnya merupakan
kemajuan dan merefleksikan bagaimana kontrol media seharusnya dalam
masyarakat yang dimulai dari keluarga—termasuk bagaimana orang tua
membimbing anak-anaknya ketika mengkonsumsi media. Pada tataran inilah
peran aktif masyarakat justru menjadi penting.
Ketika isu kontrol terhadap media diharapkan datang dari masyarakat,
sikap masyarakat sendiri terhadap media perlu diperjelas. Komitmen, kesadaran
dan kegairahan masyarakat untuk mempertahankan private place-nya perlu
dibangun. Dalam konteks ini bekal pengetahuan untuk menjadikan masyarakat

176
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

kuat dan berdaya menghadapi media perlu direalisasikan. Salah satu solusi
adalah dengan gerakan media literacy.

URGENSI MEDIA LITERACY DI INDONESIA


Bertolak dari kecemasan akan dampak media sekaligus pengharapan
publik atas kualitas tayangan program serta semakin tak terhindarkannya
“serbuan” tayangan program televisi dalam kehidupan masyarakat, perlu
kiranya agenda media literacy disosialisasikan dan direalisasikan secepatnya di
Indonesia. Luis V. Teodoro, seorang profesor bidang jurnalistik dari University
of the Philippines, mengingatkan:
“The power of the media and their omnipresence require a public that
can distinguish fact from fiction and propaganda from truth. The public
must be media literate if it is not to be manipulated by the various
interest, biases and failings that drive the media even in –some argue
specially in- regimes of media freedom.” (Teodoro, 2002: 134).

Pesan ini menekankan betapa pemberdayaan publik merupakan kunci


penting dalam menyikapi media. Diisyaratkan, seiring dengan perkembangan
teknologi informasi, perkembangan media dari waktu ke waktu semakin
dinamis dengan variasi dan desain isi (program) yang amat beragam. Perisai
pertahanan hanya dapat mengandalkan diri individu sebagai anggota
masyarakat. Oleh karena itu, perlu pembekalan pengetahuan tentang media
melalui media literacy.
Dalam menangani keresahan publik atas tayangan televisi pada dasarnya
dapat juga diharapkan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Lembaga
independen ini bahkan telah membuat keputusan tentang Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran yang seharusnya menjadi acuan bagi
Lembaga Penyiaran dan Komisi Penyiaran untuk menyelenggarakan dan
mengawasi penyiaran di Indonesia. Pedoman Perilaku Penyiaran merupakan
panduan tentang batasan-batasan mengenai apa yang diperbolehkan dan/atau
tidak diperbolehkan berlangsung dalam proses pembuatan program siaran.
Sedangkan Standar Program Siaran merupakan panduan tentang batasan apa
yang diperbolehkan dan/atau yang tidak diperbolehkan ditayangkan dalam
program siaran. Kedua keputusan tersebut menjadi panduan bagi Lembaga
Penyiaran dalam menentukan standar isi siarannya. Meski kebijakan tersebut
telah dicetuskan dan disahkan, namun sejauh ini belum diketahui tingkat
efektivitasnya dalam memandu tayangan-tayangan program yang ada.

177
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI

Jauh sebelum KPI dan kebijakannya lahir, aktivitas media watch sudah
sangat popular dalam melakukan monitoring, kritik terhadap media dan
advokasi publik. Berbagai hasil pantauan media pada dasarnya telah cukup
memberikan pencerahan bagi publik dalam menilai kinerja media. Namun
sayangnya aktivitas media watch masih menjadi fenomena elit karena
berkembang di kalangan aktivis dan akademisi media, sementara masyarakat
cenderung pasif. Posisi masyarakat sekedar mengetahui hasil monitoring
tentang media—mana saja yang tidak profesional dan melanggar etika—atau
sebatas mengadukan media-media yang tidak profesional dan melanggar etika
pada institusi yang relevan. Lain halnya dengan media literacy, aktivitas ini
menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu
bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat dan memaknai serta
menyerap pesan media. Tanpa mengesampingkan peran media watch, media
literacy merupakan altrenatif solusi bagaimana “mencerdaskan” masyarakat
dalam menyikapi media. Bahkan media watch harus terus dikembangkan
karena berfungsi mengontrol performa media dan membantu publik dalam
advokasi ketika hak-haknya sebagai warga negara dilanggar.
Mendesaknya gerakan media literacy juga terkait dengan perkembangan
media massa di Indonesia yang pesat dengan variasi isi media yang semakin
beragam. Kemajuan media massa sejauh ini justru tidak membawa pengaruh
pada banyaknya informasi yang didapat oleh masyarakat. Isu diversity of
content dalam demokratisasi media yang diorientasikan mampu memberikan
berbagai alternatif variasi isi dan perspektif media nampaknya tidak (semoga
saja belum adanya) membuat masyarakat kaya informasi. Masyarakat tetap saja
tidak mendapatkan informasi multiperspektif dari ragam media dan tayangan
program yang ada. Kondisi ini jelas dipicu oleh homogenitas program dan
keseragaman perspektif dalam penyajian informasi.
Gejala lain menunjukkan adanya paradoks, di satu sisi keberadaan
informasi berlipat ganda baik secara kuantitatif (jenis dan item) maupun
kualitatif (topik yang diangkat semakin luas), namun di sisi lain ada
kecenderungan individu-individu yang berinteraksi dengan media justru tidak
mampu mengolah, memilah dan memanfaatkan informasi yang mereka peroleh.
Bagaimana masyarakat berkeluh kesah tentang pemberitaan televisi, mengecam
acara-acara hiburan dan mengkambinghitamkan media sebagai stimulator
tindak asosial menunjukkan gejala tersebut. Di sinilah media literacy penting
artinya bagi individu untuk secara aktif menafsirkan pesan dan menguatkan
individu dalam menghadapi atau mengakses media. James Potter
mendefinisikan media literacy sebagai:

178
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

“A perspective that we actively use when exposing ourselves to the


media in order to interpret the meaning of the messages we counter.
We build our perspective from knowledge structure. To build our
knowledge structures, we need tools and raw material. The tools are
our skills. The raw material is information from the media and the real
world. Active use means that we are aware of the messages and are
consciously interacting with them” (Potter, 2001: 4).

Pengertian tersebut menekankan pentingnya struktur pengetahuan yang


dimiliki individu agar dapat aktif menafsirkan makna pesan yang disampaikan
oleh media. Di mana struktur pengetahuan tersebut dibangun dari keahlian yang
dimiliki dan informasi yang diterima baik dari media maupun dari lingkungan
(dunia) nyata.
Keahlian di sini diklasifikasikan oleh Potter dalam dua bentuk. Keahlian
pertama merupakan keahlian dasar yang meliputi aspek: 1) Expore, berupa
keahlian memutuskan pajanan pesan yang dipilih dari suatu media; 2)
Recognize symbols, merupakan keahlian untuk mengidentifikasi dan memilah
simbol-simbol; 3) Recognize patterns, menyangkut keahlian mengenali pola-
pola merangkaikan simbol-simbol sehingga dapat ditafsir atau dimaknai; dan 4)
Matching meaning, merupakan keahlian untuk menghubungkan simbol dengan
makna yang telah mereka miliki sebelumnya (Potter, 2001: 40-42).
Keahlian kedua disebutnya sebagai keahlian lanjut yang sangat
diperlukan untuk memaknai pesan-pesan media yang lebih kompleks yang
bisanya memiliki banyak lapisan-lapisan makna. Keahlian ini terdiri dari
message focused skill dan message extending skill. Message focused skill
merupakan keahlian menafsirkan makna pesan media massa. Keahlian ini
meliputi aspek: 1) Analysis, keahlian menjabarkan pesan ke dalam elemen-
elemen yang bermakna dengan cara menggali lapisan-lapisan makna di dalam
pesan yang tersaji di media; 2) Compare/contrast, merupakan keahlian untuk
membuat klasifikasi pesan-pesan yang memiliki persamaan dan perbedaan; 3)
Evaluation, menunjukkan keahlian menilai elemen pesan dengan
membandingkannya dengan kriteria-kriteria tertentu; dan 4) Abstraction,
merupakan keahlian untuk menyusun sebuah deskripsi pesan media yang tepat
yaitu singkat, jernih dan akurat (Potter, 2001: 44-49).
Message extending skill merupakan keahlian menjelaskan dan
menyimpulkan pesan-pesan media massa yang diterima. Keahlian ini terdiri
dari: 1) Deduction, keahlian menggunakan prinsip-prinsip umum untuk
menjelaskan hal-hal khusus; 2) Induction, keahlian untuk menarik kesimpulan
mengenai pola-pola umum melalui pengamatan terhadap hal-hal khusus; dan 3)

179
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI

Synthesis, keahlian untuk menyusun kembali elemen-elemen menjadi suatu


struktur baru (Potter, 2001: 50-52). Kesemua keahlian tersebut yang pada
akhirnya menentukan tingkat media literate individu.
Menurut Potter, media literacy merupakan suatu kontinum. Semua orang
pada dasarnya melek media, tidak ada yang benar-benar tidak melek media dan
tidak ada pula yang benar-benar melek media. Semua pada dasarnya melek
media meski berada pada tingkatan yang berbeda-beda. Porter menilai, semakin
tinggi tingkat media literacy yang dimiliki seseorang, maka semakin banyak
makna yang dapat digalinya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat media literacy
seseorang, semakin sedikit atau dangkal pesan yang didapatnya. Seseorang
yang tingkat media literacy-nya rendah akan sulit mengenali ketidakakuratan
pesan, keberpihakan media, memahami kontroversi, mengapresiasi ironi atau
satire dan sebagainya. Bahkan kemungkinan besar orang tersebut akan dengan
mudah mempercayai dan menerima makna-makna yang disampaikan media apa
adanya tanpa berupaya mengkritisinya.
Ungkapan senada disampaikan oleh Patricia Aufderheide (Berg, 2004:
219-228), media literacy diorientasikan untuk meningkatkan kemampuan
individu dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan menyusun
informasi dalam variasi format media. Menurutnya, media literacy meliputi
kemampuan warganegara dalam mengakses, menganalisis dan memproduksi
informasi untuk suatu outcome yang spesifik sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingannya. Karena itu, Aufderheide menghubung-hubungkan media
literacy dengan critical autonomy di tingkat individu dalam mengakses media.
Kedua definisi ini menolak pemahaman sempit media literacy yang
hanya berkaitan dengan kemampuan membaca (memahami) dan memproduksi
media. Jauh dari itu, media literacy mencakup aktivitas mempertanyakan,
menganalisis, mengevaluasi dan mengkritisi informasi yang disampaikan
media. Teodoro menegaskan:
“media literacy campaign is to create a public knowledgeable on the
mass media—their professional and ethical values, standards, and
biases, as well as the legal, economic and political constraints that
impinge on media practice”. (Teodoro, 2002: 137)

Upaya mewujudkan media literacy di kalangan masyarakat di sejumlah


negara dilakukan dengan mengenalkan konsep-konsep utama tentang media
agar individu dapat memahami media secara utuh. Konsep-konsep yang
dimaksud meliputi:

180
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

Pertama, media merupakan hasil konstruksi. Masyarakat atau dalam hal


ini individu yang berinteraksi dengan media perlu memahami adanya
korespondensi antara kenyataan (real world) dengan kenyataan yang
direpresentasikan oleh media. Bahwa media dalam merepresentasikan fakta
telah melakukan serangkaian kegiatan mulai dari mendesain, memilih,
menyeleksi dan mengedit fakta yang akan disajikan sebagai pesan media.
Memang media telah menyajikan kenyataan namun perlu ditekankan kenyataan
yang disajikan media telah melalui serangkaian proses produksi. Tidak terbatas
dalam pengertian ini, Aufderheide menambahkan, “media are constructed and
construct reality” (Christ, 2004: 92-96). Eksistensinya di masyarakat sebagai
alat komunikasi menjadikan media dikonstruksi oleh lingkungannya, baik itu
lingkungan sosial maupun ekonomi.
Kedua, representasi media mengontruksi realitas. Perlu disadari ketika
individu tidak memiliki informasi tentang suatu peristiwa dari sumber atau
referensi lain selain media, besar kemungkinan individu tersebut beranggapan
peristiwa tersebut sama dengan realitasnya. Padahal kenyataannya tidak selalu
demikian. Dalam hal ini penting artinya mengajak individu bersikap “terbuka”
untuk memperluas pengetahuannya agar individu memiliki alternatif pilihan
bagaimana memahami peristiwa yang ditampilkan di media.
Ketiga, pesan media berisi nilai dan ideologi. Masyarakat perlu tahu
bahwa media mengkonstruksi nilai dan kepercayaan tertentu, termasuk menjadi
alat ideologis bagi penguasa untuk melontarkan pesan propaganda politik atau
pun pemodal yang mendidik masyarakat sebagai konsumen produk-produk
kapitalis. Dengan begitu, masyarakat akan kritis menanggapi pesan-pesan
politik dan juga siaran niaga yang disampaikan oleh media.
Keempat, pesan media berimplikasi sosial dan politik. Media sering
dipahami hanya merefleksikan realitas sosial karenanya dinilai netral dan bebas
nilai. Namun sesungguhnya media ikut mengkonstruksi realitas—yang
kemudian diterima dan dipahami masyarakat—sehingga memiliki konsekuensi
sosial dan politik. Setiap versi realitas yang ditampilkan media merupakan hasil
seleksi atau serangkaian proses produksi berdasarkan ideologi tertentu dan
merupakan gambaran parsial dari realitas yang sesungguhnya
(www.ci.appstate.edu/program/ edmiden/medialit/article.html).
Dalam artikelnya berjudul “Media Literacy Key Concepts” John
Pungente (www.media-awarness.ca/English/teachers/media_literacy/ key_
concept.cfm) menambahkan empat konsep lainnya, yaitu: 1) Makna media
merupakan negosiasi audiens. Perlu disadari oleh masyarakat bahwa media
menyodorkan banyak materi pesan untuk dapat membangun gambaran realitas.
Masyarakat melakukan negosiasi terhadap makna pesan media berdasarkan

181
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI

pada kebutuhannya, kesukaannya, latar belakang budaya dan nilai-nilai yang


dianutnya; 2) Media memiliki implikasi komersial. Masyarakat perlu
memahami bahwa pertimbangan komersial mempengaruhi isi media, teknik
produksi dan distribusinya. Perlu disadari (untuk kategori privat) produksi
media merupakan bisnis dan diorientasikan untuk mendatangkan keuntungan;
3) Bentuk dan isi memiliki kaitan erat di media. Mengadopsi ungkapan Marshal
McLuhan, Pungente menyatakan “each medium has its own grammar and
codifies reality in its own particularly way”. Masyarakat perlu menyadari
bahwa kategori kejadian yang sama jika menggunakan media berbeda akan
melahirkan impresi dan pesan yang berbeda; dan 4) Masing-masing media
memiliki keunikan bentuk estetis yang disebabkan oleh karakteristiknya yang
beragam.
Konsep-konsep tersebut merupakan bagian penting dalam media
literacy karena membantu masyarakat memahami tiga esensi media massa,
yaitu: teks media, proses produksi dan cara memaknainya. Pengetahuan tentang
tiga esensi tersebut akan menentukan daya kritis masyarakat dalam menghadapi
media.
Di berbagai negara seperti di Amerika, Eropa bahkan sebagian Asia
seperti halnya di Philipina, program media literacy diorientasikan untuk
mendidik masyarakat agar memahami persoalan tentang sejarah media, media
dan masyarakat, kepemilikan media, konsep berita, nilai-nilai media massa,
kebebasan pers dan hak publik atas informasi serta dinamika media baru.
Cakupan tema tersebut terkesan luas dan umum, namun memiliki peran besar
dalam membangun struktur pengetahuan masyarakat tentang media.
Meski media literacy merujuk pada pengertian konsep yang lebih
spesifik dibanding media education, namun keduanya saling berhubungan.
Bahkan pilar mewujudkan masyarakat yang melek media antara lain dapat
dirancang melalui kegiatan media education. Blake memerinci “Key Concept
for Media Education” meliputi (www.media-awarness.ca/english/
teachers/media_literacy/keyconcept.cfm): 1) Analisis Produksi Media. Materi
ini mengungkapkan tujuan produksi media, nilai-nilai pesan yang bersifat
eksplisit dan implicit, representasi media, proses produksi media dan
sebagainya; 2) Interpretasi Audiens dan Pengaruhnya. Materi ini
mengungkapkan berbagai hal menyangkut bagaimana proses menginterpretasi
pesan media dalam diri audiens, pengaruh media pada audiens baik di level
attitude, behavior maupun value, serta pengaruh audiens pada institusi media
dalam memproduksi dan menstransmisikan pesan-pesan; 3) Media dan
Masyarakat. Topik ini menjelaskan bagaimana relasi hubungan kekuasaan
antara media dan masyarakat terjadi. Termasuk dalam paparan ini adalah peran

182
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan

kekuasaan dalam mempengaruhi penyusunan kebijakan dan aktivitas institusi


media serta perubahan teknologi media dalam mempengaruhi dinamika politik,
ekonomi, sosial dan dimensi intelektual masyarakat.
Konsep-konsep tersebut diperkenalkan untuk target efek yang lebih
umum berupa pengetahuan khalayak terhadap media dilihat dari sisi teks,
makna dan relasinya dengan masyarakat. Target inilah yang membedakannya
dari media literacy yang berfokus pada kemampuan khalayak dalam menyikapi
media. Media education berperan besar dalam media literacy karena
memperkaya struktur pengetahuan masyarakat sehingga tanggap bagaimana
seharusnya membangun relasi dengan media massa.
Uraian di depan secara spesifik menghubungkan media literacy dengan
pemberdayaan masyarakat, namun gerakan ini sesungguhnya memiliki target
yang lebih luas, termasuk untuk kalangan praktisi media. Dalam tulisan artikel
berjudul “Assessment, Media Literacy Standards and Higher Education”,
William G. Christ (2004) mengungkapkan dua kelompok yang menjadi target
pendidikan media literacy, yaitu praktisi media dan warga negara. Menurut
Christ, media literacy education yang ditujukan untuk kalangan praktisi media
dimaksudkan agar mereka lebih profesional. Melalui media literacy pengelola
media diharapkan menjadi semakin tahu dan menyadari program apa yang
layak disampaikan dan ditonton oleh masyarakat termasuk nilai-nilai dan
kelayakan sosial dari program tersebut.
Bertolak dari paparan tersebut, gerakan media literacy sangat penting
dan mendesak untuk disosialisasikan dan direalisasikan di Indonesia untuk
menjaga agar masyarakat tidak menjadi korban dan “bulan-bulanan” media.
Gerakan ini pun perlu diperkenalkan di kalangan praktisi media untuk dapat
memproduksi pesan—termasuk menyajikan tayangan program—yang lebih
berkualitas dan esensial bagi masyarakat. Persoalan selanjutnya, bagaimana
merancang model media literacy sesuai dengan konteks Indonesia perlu
pembahasan serius.

PENUTUP
Perkembangan media massa khususnya televisi di tanah air yang sangat
dinamis menghadirkan kontroversi di berbagai kalangan. Kontroversi tersebut
masih saja terkait dengan kualitas program (content) dan kekhawatiran dampak
media. Meski pengaturan media telah ditetapkan oleh KPI melalui kebijakan
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, namun perlu
ditopang oleh kegiatan media literacy. Aktivitas inilah yang mampu menyentuh
masyarakat bahkan sampai pada level individu untuk bertindak kritis terhadap

183
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI

media. Media literacy membuat masyarakat tahu bagaimana menyikapi media,


baik pada tataran memilih media, menyeleksi pesan, memaknai dan
mengkritisinya. Keteraturan praktek media termasuk concern pengelola media
terhadap kualitas program pada akhirnya akan banyak ditentukan oleh kekuatan
masyarakat dalam menjaga dan memperjuangkan identitas dan integritas
dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Berg, Leah R. Vande, Wenner, A. Lawrence & Gronbeck, E. Bruce. “Media


Literacy and Television Criticism: Enabling an Informed and Engaged
Citizenry”. American Behavioral Scientist. Vol. 48 No. 2 October 2004.
Christ, William G.“Assessment, Media Literacy Standars and Higher
Education”. American Behavioral Scientist. Vol. 48 No. 1 September
2004.
Dominick, R. Joseph, Messere, Fritz & Sherman, L. Barry. 2004. Broadcasting,
Cable, the Internet and Beyond: An Introduction to Modern Electronic
Media. Fifth Edt. New York: McGraw-Hill.
Potter, W. James. 2001. Media Literacy. Second Edition. New Delhi: Sage
Publication.
Teodoro, Luis V. 2002. “Empowering The Public”. Dalam Cecile C.A. Balgos
(Edt). Watching the Watchdog: Media Self-Regulation in Southeast Asia.
Bangkok: SEAPA (Southeast Asian Press Alliance) & Friedrich Ebert
Stiftung.
www.ci.appstate.edu/program/edmiden/medialit/article.html
http://www.media-
awarness.ca/English/teachers/media_literacy/key_concept.cfm

184
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH

1. Artikel merupakan hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian (artikel
konseptual) di bidang ilmu komunikasi.
2. Artikel ditulis dengan bahasa Inggris/Indonesia sepanjang 20 halaman kuarto spasi
ganda dilengkapi dengan abstrak Bahasa Inggris (75-100 kata) dan kata-kata kunci
dalam Bahasa Inggris juga.
3. Penulisan kutipan dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang
tahun dan halaman dan ditulis dalam kurung.
Contoh
Satu Penulis : (Littlejohn, 2000:12)
Lebih dari satu penulis : (Severin, dkk, 1998:25)
4. Penulisan daftar pustaka dengan menggunakan model: Nama Belakang, Nama
Depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (cetak miring). Kota: Penerbit.
Contoh
Dominik, Josep R. 2002. The Dynamics of Mass Communication, Media in
Digital Age. New York, McGraw Hill.
5. Biodata singkat penulis dan identitas penelitian dicantumkan sebagai catatan kaki
dalam halaman pertama naskah.
6. Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam Microsoft Word dengan
format RTF menggunakan jenis huruf Times New Roman, font 12.
7. Artikel hasil penelitian memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3)
Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5)
Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang masalah, dan sedikit tinjauan
pustaka serta tujuan penelitian), (6) Metodologi Penelitian, (7) Hasil Penelitian, (8)
Pembahasan, (9) Kesimpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat
pustaka yang dirujuk dalam artikel).
8. Artikel konseptual memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak
(dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan
(tanpa sub judul), (6) Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), (7) Penutup, (8) Daftar
Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel).
9. Print-out artikel dan softcopy dikirimkan paling lambat 1 bulan sebelum penerbitan
kepada:

Jurnal Ilmu Komunikasi


d.a. Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl. Babarsari No. 6 Yogyakarta 55281
Telp. (0274) 487711 ext 3124, Fax. (0274) 487748
Email: jik@mail.uajy.ac.id

10. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukansecara tertulis. Penulis yang
artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak
lima eksemplar. Artikel yang dimuat, tidak akan dikembalikan, kecuali atas
permintaan penulis.
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI

You might also like