Professional Documents
Culture Documents
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI Volume 1, Nomor 2, Desember 2004
Halaman 95 - 184
André Hardjana2
95
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI
Strata Satu (S1) lulusan awal tahun 1970-an. Sebagai sarjana tahun-tahun awal
1970-an, penulis berkesimpulan bahwa nama paling besar dalam ilmu
komunikasi adalah Wilbur Schramm. Nama itu dikenal berkat bukunya Mass
Communications (1960)—sebuah buku tebal yang mencapai 696 halaman—
yang menghimpun berbagai pembicaraan penting dan perspektif tentang media
komunikasi massa, dinamika pertumbuhan, dan fungsinya dalam
perkembangan masyarakat Amerika. Di mata penulis, nama Schramm makin
melambung berkat The Process and Effects of Mass Communication (asli 1954
dengan edisi revisi 1972). Untuk edisi pertama, Wilbur Schramm menulis
sebuah kata pengantar panjang berjudul “How Communication Works” yang
menjelaskan proses kelangsungan komunikasi. Kata pengantar itu kemudian
diubah menjadi “The Nature of Communication between Humans” dalam edisi
revisi yang merupakan sebuah buku raksasa setebal 998 halaman. Dalam kata
pengantar baru itu, Schramm memaparkan pemahaman yang mendalam tentang
hakikat komunikasi sebagai proses dan keempat fungsinya, yakni “informing,
instructing, persuasion, dan entertaining”. Separoh dari isi buku raksasa yang
menghimpun 36 makalah penting tersebut berkaitan dengan masalah-masalah
sosial makro. Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan tujuh buah pengantar
untuk masing-masing seksi, yakni (1) Media as Communication Institution, (2)
The Nature of Audience, (3) Approaches to the Study of Mass Communication
Effects: Attitutes and Information, (4) Social Consequences of Mass
Communications, (5) Mass Communications, Public Opinion, and Politics, (6)
Communication, Innovation, and Change, dan (7) Implications of the New
Communication Technology.
Sebagai dosen muda ilmu komunikasi dekade 1970-an, penulis harus
melakukan “mind shift” dari “konsep publisistik” ke “konsep komunikasi”,
mengapa begitu? Penulis tidak mengetahui alasan konseptual yang menjadi
dasarnya. Dalam kegairahan pembangunan nasional dalam development era
dunia, konsep komunikasi diperkenalkan sebagai pengganti konsep publisistik.
Istilah “komunikasi pembangunan” sangat populer di kalangan akademisi dan
birokrasi pemerintahan sebagai alat untuk perubahan sikap mental (mental
attitude) di awal modernisasi bangsa Indonesia. Penulis tidak pernah mengerti
mengapa tidak digunakan istilah “publisistik pembangunan”. Nampaknya
istilah komunikasi pembangunan sengaja digunakan dalam artian sebagai
“komunikasi massa pembangunan”, sehingga penulis harus berkenalan dengan
buku Schramm lain—ini benar-benar buah karya Wilbur Schramm sendiri—
yang diberi judul Mass Communication and National Development: The Role of
Information in the Developing Countries (1964). Buku itu diterbitkan oleh
UNESCO dalam kerjasama dengan Stanford University. Dari buku itu penulis
belajar tentang fungsi kebijakan pemerintah dalam pengembangan komunikasi
96
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
S M C R [E F]
Model Berlo ini ternyata dibangun berdasarkan model proses komunikasi
teknis yang dikembangkan oleh Claude Shannon dan Warren Weaver untuk
komunikasi teknologis yang dirumuskan sebagai teori matematik—
Mathematical Theory of Communication (1949) yang dapat memudahkan
pemahaman tentang proses komunikasi antarmanusia. Namun model Berlo itu
tidak memasukkan konsep “arus komunikasi”(flow of communication). Di
samping itu, elemen-elemen feedback dan interaction juga tidak dinyatakan
secara eksplisit—hanya dapat diimplikasikan saja. Dari penjelasan dan rincian
dari model tersebut, dapat dipahami bahwa komunikasi terjadi dalam dan
97
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI
dipengaruhi oleh sistem sosial dan budaya. Akhirnya, komunikasi yang berhasil
hanya terjadi bila terdapat kesepadanan antara source dan receiver dalam hal
ketrampilan komunikasi dan nilai maupun sikap.
Buku teori kedua adalah Four Theories of the Press (1956) karya Fred
S. Siebert, Theodore B. Peterson, dan Wilbur Schramm. Buku “teori” ini berisi
empat buah landasan-landasan filosofi yang berbeda tentang komunikasi, yakni
libertarian dan authoritarian (Fred S. Siebert), social responsibility (Theodore
Peterson), dan totalitarian (Wilbur Schramm). Berdasarkan pandangan dalam
buku teori komunikasi ini, selanjutnya “komunikasi pembangunan” yang
dirintis oleh Wilbur Schramm, Daniel Lerner, dan Everett M Rogers disebut
sebagai “teori komunikasi kelima”. Perkembangan dan aplikasi teori kelima—
komunikasi pembangunan nasional—dalam perkembangan selanjutnya sangat
dipengaruhi oleh Wilbur Schramm dan Daniel Lerner melalui program East-
West Center Communication Institute di kampus University of Hawaii.
Pemahaman tentang konsep dasar “the act of communication” dan
“communication research” sangat dibantu oleh “rangkaian pertanyaan klasik”
dari Harold D. Lasswell yang kemudian menjadi tersohor dengan sebutan
Model Lasswell (1948). Model Lasswell meliput lima buah pertanyaan sebagai
berikut:
Who
Says What
In Which Channel
To Whom
With What Effect?
98
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
99
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI
100
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
101
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI
102
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
103
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI
104
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
105
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI
STATUS SEKARANG
Pengenalan tentang keempat “bapak” ilmu komunikasi dan “perintis”
program pendidikan pascasarjana di bidang ilmu komunikasi dapat memberikan
bayangan pada kita, bagaimana perkembangan teori komunikasi selanjutnya.
Teori komunikasi berkembang di kampus-kampus yang menyelenggarakan
pendidikan pascasarjana yang dilengkapi pusat atau lembaga risaet
komunikasi massa yang berawal di universitas-universitas di wilayah
Midwest—dengan kekecualian universitas Stanford di California—yang
kemudian diikuti oleh universitas di wilayah lain. Pengembangan teori-teori
komunikasi merupakan hasil rangkaian kerja riset yang tidak mengenal lelah—
baik melalui pendekatan positivism maupun subjectivism—sebagaimana tersirat
dari riset para bapak di atas. Ilmu komunikasi yang dicita-citakan oleh Wilbur
Schramm tidak terbatas pada bidang ”komunikasi massa” (mass
communication) yang ternyata dikaitkan dengan Journalism, tetapi juga meliput
“komunikasi antar manusia” (human communication), yang pada saat itu
dipahami sebagai “komunikasi antar pribadi” (interpersonal communication)
dan menjadi bagian dari Speech and Drama. Komunikasi massa cenderung
berkembang sebagai profesi keilmuan sosial, sehingga umumnya dikelola
sebagai “Sekolah” (School of Journalism and Mass Communication), sedang
komunikasi antar pribadi dikembangkan sebagai ilmu kemanusiaan dalam
106
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
107
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI
108
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
109
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI
DAFTAR PUSTAKA
110
,Teori Komunikasi: Kisah Pengalaman Amerika
111
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 95-112
ILMU KOMUNIKASI
112
Perkembangan Hubungan Perkawinan:
Kajian Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan
Antarpribadi pada Suami-Istri Katolik3
Anne Suryani4
113
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
"…tidak ada pernikahan yang sempurna dan tidak seorang pun dapat
memenuhi semua kebutuhan orang lain. Kesulitan mencapai suatu
pernikahan yang baik disebabkan oleh perbedaan genetis antara dua
orang. Latar belakang lingkungan mereka berbeda, begitu juga
kepribadian, kebutuhan-kebutuhan, tujuan, dorongan-dorongan dan
reaksi-reaksi emosional mereka.”
114
115
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
116
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat kualitatif berdasarkan paradigma interpretif atau
konstruktivis. Peneliti terlibat pengamatan langsung terhadap pelaku sosial
dalam kehidupan sehari-hari sehingga mampu memahami dan menafsirkan
bagaimana para pelaku sosial dapat menciptakan dan mengelola dunianya.
Kriteria penilaian kualitas penelitian ini didasarkan pada authenticity dan
reflectivity yaitu bagaimana hasil penelitian merefleksikan secara otentik suatu
realitas sosial yang dihayati para pelaku sosial.
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan studi kasus berdesain
multicases single level analisys dengan strategi etnografi. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan pengamatan. Untuk
pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahap orientasi,
eksplorasi dan "Member Check".
Penelitian dilakukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan unit
analisis pada tingkat pasangan. Informan adalah warga negara Indonesia,
suami-istri yang kawin resmi secara Katolik dan merupakan pasangan yang
kawin untuk pertama kali atau belum pernah mengalami perceraian.
Pemilihan informan menggunakan cara Snowball Sampling. Data
diperoleh dari 3 (tiga) kasus suami-istri yang berbeda usia perkawinan yakni
lima tahun (Ant-Yyn), limabelas tahun (Har-Von) dan tigapuluh tahun (Rob-
Tin). Nama informan ditulis berdasarkan inisial. Pihak laki-laki adalah Ant (35
th), Har (45 th) dan Rob (57 th). Pihak perempuan yakni Yyn (41 th), Von (41
th) dan Tin (51 th). Pengumpulan informasi berlangsung mulai bulan Mei
sampai dengan Juni 2003.
117
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
HASIL PENELITIAN
Tahap-Tahap Perkembangan Hubungan
Pembahasan mengacu pada Teori Perkembangan Hubungan dari DeVito
(2001). Tahap-tahap ini diidentifikasi berdasarkan perilaku dan cara
berkomunikasi yang terjadi. Suatu hubungan intim seperti halnya hubungan lain
dibangun melalui serangkaian tahapan. Mayoritas hubungan meliputi enam
tahap utama, yaitu Tahap Kontak, Tahap Keterlibatan, Tahap Keintiman, Tahap
Penurunan dan Tahap Perbaikan atau Pemutusan.
Namun tahap-tahap ini bersifat standar dan tidak semua pasangan
mengalami hal sama. Setiap tahap memiliki fase awal dan akhir, menjelaskan
sifat suatu hubungan dan bukan menilai atau memprediksi bagaimana
seharusnya suatu hubungan.
Pada Tahap Kontak, dua individu mulai berkenalan. Saat pertemuan
pertama terdapat beberapa informasi atau kesadaran akan kontak (perceptual
contact). Dari sini diketahui gambaran fisik seperti jenis kelamin, usia rata-rata,
berat, dan lain-lain. Setelah persepsi ini, timbul kontak interaksional
(interactional contact) yang bersifat 'tampak luar' (superficial) dan relatif tidak
pribadi. Saat ini terjadi pertukaran informasi dasar yang mengawali keterlibatan
selanjutnya. Menurut penelitian dalam lima menit pertama dari interaksi awal,
seseorang memutuskan apakah ingin melanjutkan hubungan atau tidak (Zunin
dan Zunin, 1972). Pada tahap kontak, penampilan fisik sangat penting karena
lebih siap dilihat. Juga perilaku verbal dan non-verbal, kualitas seperti
keramahan, kehangatan, keterbukaan dan dinamisme sangat menentukan.
Berger (1979) membagi hubungan perkenalan menjadi tiga bagian.
Pertama adalah tahap pasif di mana kedua orang yang bertemu untuk pertama
kali saling mengutamakan perhatian kepada komunikasi yang berlangsung
tanpa menanyakan apa-apa. Semua situasi dan kondisi terjadi secara alami
tanpa dimanipulasi. Berikutnya yaitu tahap aktif ketika dua pihak yang bertemu
118
119
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
120
121
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
122
kebutuhan dan keinginan istrinya karena tidak mengetahui apa yang menjadi
keinginan Von. Bagi pasangan Rob dan Tin yang melewati tigapuluh tahun
hidup bersama dalam perkawinan, muncul setidaknya dua kali kekhawatiran
akan rasa aman. Tin mengaku pernah merasa cemburu karena suaminya
mengantar teman perempuan pulang. Di sisi lain, Rob mengakui khawatir
kehilangan istrinya terutama setelah anak-anak mereka beranjak dewasa.
Kemudian, pada Tahap Penurunan (deterioration) ditandai dengan
munculnya ketidakpuasan intra pribadi—seseorang mulai mengalami
ketidakpuasan interaksi sehari-hari dan memandang masa depan bersama
pasangan dengan negatif—dan penurunan antarpribadi—seseorang mundur dan
terus menjauh. Waktu luang bersama pasangan makin berkurang. Saat bersama
saling berdiam diri, sedikit terbuka, sedikit kontak fisik dan kurang kedekatan
psikologis. Konflik sering terjadi dan sulit diselesaikan.
Deteriorasi hubungan adalah melemahnya ikatan kebersamaan antar dua
orang. Penurunan hubungan timbul ketika seseorang menyadari pasangannya
tidak lagi memiliki fisik dan kepribadian yang menarik, saat tidak lagi
dirasakan adanya kedekatan, atau jika perbedaan menjadi lebih penting
daripada kesamaan yang ada. Putus hubungan akan lebih menarik bagi orang
yang pergi (Blumstein dan Schwartz, 1983).
Sangat sulit menentukan penyebab khusus bagi tiap penurunan
hubungan. Semua penyebab juga bisa menjadi akibat (efek) dari penurunan
hubungan. Ketika tidak ada lagi faktor-faktor penting yang mendukung
pengukuhan hubungan maka hubungan mungkin melemah (DeVito, 2001).
Harapan yang tidak dipenuhi oleh orang yang tepat sering menjadi
penyebab kesulitan hubungan (Lederer, 1984). Masalah yang berkaitan dengan
pekerjaan dan finansial kadang juga mempersulit hubungan (Blumsteim dan
Schwartz, 1983).
Pada pasangan Ant-Yyn ketidakpuasan muncul setelah menemui
kenyataan bahwa si pasangan bukanlah tipe ideal seperti yang diharapkan. Lain
halnya dengan pasangan Har dan Von. Perbedaan sifat dalam kehidupan sehari-
hari menimbulkan ketidakpuasan terutama bagi pihak istri. Namun keduanya
menyadari bahwa perbedaan sifat tersebut bisa diterima dengan menyesuaikan
diri. Selain ketidakpuasan, Tahap Penurunan hubungan mulai timbul dengan
adanya konflik dalam perkawinan. Kadang konflik disebabkan hal-hal yang
sifatnya tidak terlalu penting. Sementara pada pasangan Rob dan Tin yang telah
menikah selama tigapuluh tahun, ketidakpuasan terhadap pasangan timbul
karena perbedaan sifat, masalah pekerjaan dan anak.
123
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
124
125
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
Pergerakan Antartahap
Tahap-Tahap Hubungan Antarpribadi dapat dilihat pada bagan di bawah
ini. Dalam bagan tersebut digambarkan Tahap-Tahap Hubungan Antarpribadi
terdiri dari tiga arah: 1) Arah keluar, di mana tiap tahap menawarkan
kesempatan untuk keluar dari hubungan; 2) Arah vertikal atau pergerakan
antartahap menjelaskan fakta bahwa seseorang dapat bergerak ke tahap lain,
yaitu lebih intens (misal dari keterlibatan menuju keintiman) atau kurang intens
(contoh dari keintiman ke arah penurunan). Juga dapat berpindah kembali ke
tahap sebelumnya (Masheter dan Harris, 1996); dan 3) Arah refleksi diri, arah
yang melompat kembali ke awal tahap (tingkat) yang sama, menandakan bahwa
setiap hubungan bisa menjadi stabil tiap saat.
•
•
•
•
•
•
126
127
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
Para informan telah mengalami konflik dan pernah merasa kecewa atau
tidak puas dengan pasangannya dalam suatu hal sehingga mengalami Tahap
Penurunan Hubungan. Topik yang menjadi sumber konflik antara lain
pengasuhan anak, perbedaan sifat, sikap dan perilaku antarpasangan sehari-hari.
Selanjutnya antara suami-istri menyadari apa yang menjadi penyebab masalah
dan memperbaiki diri dengan berusaha tidak mengulangi hal tersebut di masa
depan. Hal-hal ini termasuk Tahap Perbaikan.
Setelah melalui Tahap Perbaikan, tiga pasang informan yang diteliti
memiliki kesamaan untuk kembali berada di Tahap Keintiman. Sikap suami
istri yang berada pada Tahap Keintiman ditunjukkan dengan kedekatan fisik,
misalnya bersentuhan, memberi kado kepada pasangan, mencium pipi dan pergi
berdua. Juga ditandai dengan kedekatan secara psikologis antara lain merasa
rindu dan kesepian ketika tidak bertemu pasangan beberapa hari.
Tiga pasang informan sepakat tidak berniat atau tidak pernah
memikirkan untuk putus hubungan perkawinan dengan pasangannya. Jadi
Tahap Pemutusan hubungan tidak terjadi pada suami-istri yang diteliti. Hal ini
cenderung disebabkan prinsip agama Katolik yang mereka sadari, sehingga
membentuk pola pikir bahwa perkawinan hanya sekali seumur hidup dan tidak
bisa dipisahkan manusia. Informan Har berpendapat “perkawinan Katolik
adalah perkawinan monogami”; Ant mengatakan "akan menjaga perkawinan
ini seumur hidupnya."; dan Rob menyatakan "perkawinan Katolik tidak boleh
diceraikan manusia". Sementara Tin, istri Rob, berprinsip "suami dan istri
bersama-sama dalam susah dan senang."
Pada pasangan informan dengan latar belakang budaya berbeda (Ant dan
Yyn: budaya Jawa dan Cina), terdapat konflik pada awal masa perkawinan
sehingga ada ketidakpuasan terhadap pasangan. Sumber konflik cenderung
disebabkan oleh perbedaan kebiasaan yang dilakukan sehari-hari namun
dianggap informan sebagai perilaku khas suku tertentu. Perbedaan antara pihak
laki-laki dan perempuan yang terlibat perkawinan dapat diterima dan tidak
dipermasalahkan oleh pasangannya. Perbedaan tersebut adalah usia dan tingkat
pendidikan.
Dukungan lingkungan kedua pihak yang menjalin hubungan antarpribadi
turut mempengaruhi awal perkembangan hubungan terutama pada Tahap
Kontak, Keterlibatan dan Keintiman. Lingkungan yang dimaksud adalah orang
tua, teman-teman dan saudara. Hubungan pasangan informan dengan keluarga
besar (orang tua, mertua, saudara dan saudara ipar) umumnya baik dan tidak
mempengaruhi kelangsungan perkawinan.
128
DAFTAR PUSTAKA
129
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
Miller, Gerald M. dan Steinberg, Mark. 1975. Between People: A New Analysis
of Interpersonal Comunication, USA : Science Research Associates Inc.
Moleong, Lexy. J.1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV
Remadja Karya.
Osborne, Cecil G. 1988. The Art of Understanding Your Mate. Michigan :
Zondervan Publishing House Grand Rapids,
Schmiedeler, Edgar, O.S.B.,Ph.D.1946.Marriage and the Family, A Text for a
Course on Marriage and the Family for use in Catholic Schools, 6th ed.
New York: McGraw-Hill Book Company Inc.
Swihart, Judson J. Ph.D. 1993. How Do You Say, "I Love You". Illinois:
InterVarsity Press.
Tek, Dr. & Ny. Chong Kwong dan Tn. & Ny. Chua Wee Hian. 1999.
Kekasihku: Setelah Pernikahan. Terjemahan. Bandung: Lembaga
Literatur Baptis.
Tukan, Johan Suban. 1999. Membina Para Pembina Kursus Persiapan
Perkawinan. Jakarta: Yayasan Putra-Putri Maria.
Wahlroos, Sven. Komunikasi Keluarga. 1988. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia
130
Digitalisasi Masyarakat:
Menilik Kekuatan dan Kelemahan
Dinamika Era Informasi Digital
dan Masyarakat Informasi
131
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
132
kompleks. Globalisasi menjadi salah satu faktor penting dalam industri dan
teknologi media komunikasi.
Dalam wacana media komunikasi baru muncul beberapa konsiderasi atau
pertimbangan yang patut diperhatikan. Beberapa konsiderasi itu adalah
pemahaman masyarakat informasi dalam era digital, perkembangan teknologi
media kontemporer, wacana industri media pada era informasi digital, wacana
ekonomi politik dalam konteks masyarakat komunikasi digital, dan beberapa
catatan etis-kritis menanggapi beberapa janji—kemudahan sekaligus
ketidakpastian masa depan industri media digital modern.
133
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
134
Dalam industri film, meski hasil akhirnya berupa seluloid, sebagian besar
editing dikerjakan secara digital, sementara suara dan efek khusus seluruhnya
dilakukan secara digital. Contoh yang paling jelas dari penggunaan teknologi
ini adalah hasil efek khusus dalam film “Independence Day”, “Lords of The
Ring”, “Spider Man” atau serial “Matrix”.
Digitalisasi juga mengarahkan konvergensi produk dan proses aplikasi
informasi yang dapat melakukan berbagai fungsi audio-visual dan komputasi.
Konvergensi produk komunikasi terjadi ketika televisi dan komputer menjadi
satu produksi media sehingga akses ke internet dapat dilakukan dari pesawat
televisi (lihat layanan Indovision yang menyediakan jaringan komputer dengan
band-width yang cukup lebar atau yang bisa disebut broadband channel).
Sebaliknya, siaran televisi dapat dinikmati lewat internet secara real time.
Produk kombinasi lainnya bisa dilihat dengan hadirnya perangkat telepon
selular yang disertai dengan berbagai macam layanan dan fasilitas modern.
Telepon selular modern selain mempunyai kemampuan untuk melakukan
hubungan telepon konvensional, media komunikatif tersebut juga bisa
mengirim SMS (Short Message Service) atau MMS (Multimedia Message
Service) dengan kemampuannya untuk memproduksi, menerima, mengolah
atau mengirim gambar, suara, data, bahkan melakukan aktivitas “berselancar”
dalam internet. Begitu juga dengan teknologi mencetak yang menggabungkan
alat cetak, pemindai (scanner), fotokopi, mesin faksimili, dan telepon menjadi
satu. Belum lagi teknologi telepon selular sudah masuk pada generasi ketiga
dan selanjutnya, yang tentunya semakin banyak dan lebar band frekuensi yang
dipunyainya.
Konvergensi memungkinkan terjadinya penggabungan (merger)
perusahaan yang terkait dengan industri komputer, telekomunikasi, dan media.
Microsoft berinvestasi dalam bidang penyiaran, televisi kabel, satelit,
penerbitan, dan industri internet. AT&T yang membeli televisi kabel Tele-
Communication Inc (TCI). Singapore Technologies Telemedia membeli saham
mayoritas PT Indosat Tbk. PT Indosat Tbk. sendiri juga mempunyai output
produk dalam usaha sambungan langsung internasional, sambungan lokal di
Indonesia, dan bisnis internet. Indosat sendiri telah mengembangkan hubungan
antara sistem digital selular pada Matrix, Mentari dan IM3. Hal itu juga
dikembangkan oleh PT Telkom yang tidak hanya melayani sambungan telepon
dan internet (Telkomnet Instant).
Dalam istilah konvergensi atau pemampatan industri digital akan
tergambar ketika pada industri lama perusahaan komputer didefinisikan sebagai
produsen perangkat lunak (soft-ware) dan keras (hard-ware), penerbit bergerak
dalam teknologi cetak serta perusahaan telekomunikasi didefinisikan sebagai
135
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
136
mobilitas manusia dan keterbatasan ruang dan waktu bisa mempengaruhi pola
komunikasi manusia. Mobilitas manusia atau masyarakat diimbangi dengan
proses teknologi digital yang dibantu oleh media massa modern.
Kedua, adalah argumentasi perkembangan sistem ekonomi, sosial dan
budaya yang dihidupi oleh manusia modern. Setidaknya perlu dikaji soal relasi
signifikan antara perkembangan sistem ekonomi, sosial dan budaya dengan soal
urgensi pemanfaatan teknologi dalam industrialisasi media digital.
Ketiga, adalah argumentasi subjektif manusia yang selalu tidak merasa
puas dengan perkembangan media komunikasi modern. Alat komunikasi perlu
disesuaikan dengan pola pikir dan pola tindakan manusia setempat
Beberapa keyakinan yang menyertai teknologi sebagai sebuah sistem dan
praksis. Teknologi sebagai suatu sistem nilai dan praksis kerja yang
mengikutinya berada dalam konstelasi proses progres. Dinamisasi efisiensi dan
tujuan tertentu mau tidak mau mengandaikan progres dalam teknologi. Efisiensi
industri dan teknologi mengakibatkan mekanisasi, otomatisasi, massifikasi
produksi dan konsumsi, ekspansi distribusi dan stabilisasi sumber alam yang
dipakai untuk perkembangan teknologi itu sendiri.
Industrialisasi produksi isi dan ragam media komunikasi berproses untuk
semakin: konvergen dalam hal teknologi media yang ada, digital,
mengoptimalkan teknologi serat optik dan teknologi jaringan pada simpul-
simpul teknologi komunikasi modern (Dahlan, 2000). Industrialisasi distribusi
isi dan ragam media juga akan banyak dipengaruhi oleh soal perubahan yang
terjadi pada perangkat dan sarana media komunikasi itu sendiri.
Tingkat mobilitas yang tinggi dalam distribusi media modern sudah
menjadi tuntutan yang wajar dalam masyarakat informasi. Tingkat mobilitas
dan arus lalu lintas informasi telah menjadi pola perubahan sistem distribusi
dalam media massa. Selain itu, media komunikasi modern juga memusatkan
pola duplikasi, sistem satelit, digitalisasi informasi jarak jauh, tele-text dalam
seluruh proses distribusi media komunikasi modern.
Argumentasi hubungan teknologi dengan media informasi adalah logika
perkembangan yang ekspansif proses komunikasi publik secara global.
Masyarakat tidak bisa lagi mengelakkan diri dari proses komunikasi.
Komunikasi sudah menjadi kebutuhan utama. Komunikasi membutuhkan
media untuk menjadi penghantar (menyangkut teknologi informasi yang
mempermudah manusia mengirim dan menerima pesan). Ketika ruang dan
waktu menjadi faktor yang membatasi proses komunikasi maka diperlukan
teknologi yang mengusahakan masalah tersebut. Teknologi komunikasi dibuat
dan dikembangkan untuk menyokong proses komunikasi manusia.
137
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
138
dalam poin pertama ini berupa pertanyaan kritis yaitu sejauh mana akhirnya
masyarakat bisa membentuk dirinya untuk menjadi pelaku aktif dan kritis atas
seluruh proses dan teknologisasi media digital ?
Teknologi dan media digital mempunyai kemampuan untuk memacu
percepatan dan pembuatan jaringan baru. Laju pertumbuhan dan perkembangan
informasi bersifat eksponensial (Dahlan, 2000). Ini berarti bahwa informasi
yang diterima oleh masyarakat atau tiap orang bisa merupakan banjir informasi.
Masyarakat semakin dibanjiri produks informasi yang dibawa oleh media
digital dan jaringan media komunikasi massa, baik yang bersifat lokal-regional
dan internasional. Proses komodifikasi, strukturasi dan spasialisasi membuat
informasi seperti air bah yang menerpa masyarakat. Terpaan informasi di satu
sisi bisa membuat manusia yang lapar informasi bisa mendapatkan informasi
yang diperlukan, tapi di lain pihak terpaan informasi bisa membuat situasi
beban berlebih atas seluruh proses informasi yang diterima oleh setiap manusia
atau masyarakat. Dalam hal ini, muncul kontradiksi masyarakat informasi yaitu,
di satu pihak terjadi banyak dan kebanjiran informasi dan pada saat yang saat
yang sama terjadi kesulitan masyarakat untuk mencerna informasi yang
diterima. Situasi kelebihan beban informasi yang dialami oleh masyarakat
membuat masyarakat sendiri tidak mampu memanfaatkan informasi untuk
membangun dan mengkonstruksi tata sosial yang lebih baik.
Kedua, adalah masalah komodifikasi informasi. Perubahan nilai guna
menjadi nilai tukar pada setiap informasi juga semakin menempatkan makna
informasi sebagai sesuatu yang bersifat komersial. Informasi pada tataran
wacana ilmu komunikasi diartikan sebagai sesuatu yang bersifat “entropi”.
Informasi adalah sesuatu yang belum secara utuh diketahui dan tak terduga.
Nilai informasi justru terletak pada soal ketidakpastian dari yang
diinformasikan. Titik tolak nilai informasi justru dari derajat ketidakpastiannya
(Littlejohn, 2002). Komersialisasi informasi menempatkan informasi sebagai
barang atau jasa yang mampu memberikan pemenuhan rasa ingin tahu
masyarakat. Dalam proses selanjutnya, informasi justru semakin membawa
masyarakat pada ketidakcerdasan dalam membedakan mana yang hakiki dan
mana yang semu, memilah mana yang gosip dan mana yang fakta.
Komodifikasi digital mampu menyediakan ruang-ruang “simulacra”.
Dalam perkembangan masyarakat kapitalisme modern, komodifikasi
digital mengembangkan proses rekonfigurasi masyarakat yang tradisional
menjadi masyarakat konsumen informasi. Logika informasi telah berkembang
dan mempengaruhi sikap konsumtif masyarakat. Ini berarti bahwa masyarakat
tidak lagi membawa bentuk konsumsi informasi dalam bentuk nilai guna atau
utilitasnya tapi lebih banyak akan berkaitan dengan logika sosial dan gaya
139
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
budaya baru yang semakin terisolasi dan teralienasi dari kebutuhan manusia
yang sesungguhnya. Logika digital dalam berbagai macam bentuk isi pesannya
memang memperkaya khasanah kebudayaan kontemporer, tapi di lain pihak
terjadi pemutarbalikan logika episteme yang dipunyai oleh masyarakat. Sistem
produksi media digital telah membawa struktur produksi dan konsumsi
(produser, marketer, iklan) mampu membentuk struktur konsumen, bukan
sebaliknya. Logika digital juga membawa pada situasi di mana terjadi
“fethisisme komoditas informasi”, dalam arti bahwa informasi yang merupakan
sesuatu yang abstrak dijadikan sumber interpretasi realitas yang bersifat
konkret. Pencitraan yang dikonstruksi oleh media digital bisa dimanfaatkan
untuk membentuk citra “sewenang-wenang” yang dilakukan oleh para pelaku
media.
Digitalisasi informasi yang dikembangkan oleh teknologi digital bisa
membuat apa saja menjadi mungkin, telah menempatkan logika tanda dalam
pencarian kebenaran manusia menjadi soal massifikasi permainan simbol.
Tidak hanya sampai di situ saja, digitalisasi masyarakat semakin menempatkan
masyarakat menjadi “penonton” kosong yang dibanjiri sejumlah besar
informasi. Memang terjadi keterpesonaan atas kemajuan digital dan bentuk
kenyamanan sensualistik, sekaligus rimba informasi digital tersebut justru
membuat ruang personal dan privat yang semakin sempit. Reduksi digitalistik
dalam ruang pribadi masyarakat tidak menutup kemungkinan menimbulkan
kehampaan baru atas proses pemaknaan realitas yang seharusnya dilakukan
oleh setiap pribadi.
Ketiga, perubahan dalam industri teknologi digital membawa
konsekuensi yang tidak sedikit dalam proses ekonomi politik media
kontemporer. Setidaknya ada beberapa watak yang unik dalam proses
digitalisasi industri media dan masyarakat. Watak konvergensi merupakan
watak integrasi dari beberapa media menjadi satu media pokok. Watak
demassifikasi media semakin nampak di mana komunikasi tidak mutlak
dimulai dari sumber atau media yang menentukan isi pesan dan tujuan
komunikasi, tetapi juga oleh penerima komunikasi yang berinteraksi satu sama
lain. Watak divergensi media terjadi ketika media digital menjadi lebih
personal. Ini berarti, media dalam arti tertentu, dituntut untuk semakin
spesialistik. Hal ini membawa konsekuensi ekonomi dan politik tersendiri pula.
Watak kompetisi dalam pasar media modern semakin tinggi dan membutuhkan
bentuk networking yang semakin global. Watak variabilitas informasi dituntut
oleh konsumen modern. Variabilitas ini mengakibatkan konglomerasi informasi
untuk membuka peluang penyediaan informasi secara lebih massal dan luas.
140
141
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 131-142
ILMU KOMUNIKASI
DAFTAR PUSTAKA
Briggs, Asa. 2002. A Social History of The Media: From Gutenberg to the
Internet. Cambridge: Polity Press
Dahlan, Alwi. 2000. Perkembangan Industri dan Teknologi Media, makalah
untuk pelengkap kuliah Industri dan Teknologi Komunikasi Semester
Genap 1999/2000, Jakarta: Universitas Indonesia:
Straubhaar, Joseph dan Robert La Rose. 2002. Media Now: Communication
Media in the Information Age: Australia: Wadsworth
Tapscott, Don. 1996. The Digital Economy Era: Promise and Peril in the Age
of Networked Intelligence, New York: McGraw Hill.
Toffler, A..1980. The Third Wave, New York: Morrow:
Littlejohn, Stephen W. 2000. Theories of Human Communications. 7th Ed.
Belmont: Wadsworth Publishing Company.
142
Community Relations:
Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi
G. Arum Yudarwati6
6
G. Arum Yudarwati adalah staf pengajar pada Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
143
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI
144
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
yang lain hal ini cenderung memanjakan masyarakat tanpa disertai kesadaran
dari masyarakat untuk mandiri ketahanan hidupnya.
Tulisan ini selanjutnya akan memberikan pandangan praktek community
relations yang sejalan dengan konsep public relations yang mampu
memberdayakan publiknya. Tulisan diawali dengan pembahasan pendekatan
sistem untuk memahami relasi organisasi dengan publiknya, dilanjutkan
pemaparan pendekatan communitarianism yang memungkinkan hubungan
harmonis dengan komunitas. Berikutnya dipaparkan community relations dalam
kerangka tanggung jawab sosial organisasi, dilanjutkan dengan fungsi public
relations dalam community relations, dan diakhiri dengan bagaimana
manajemen community relations dilakukan.
145
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI
146
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
(Sumber: Cutlip, Scott M, Allen H. Center, and Glen M. Broom. 2000. Effective
Public Relations. 8th edition. New Jersey: Prentice Hall, p.244)
147
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI
yang akan dikorbankan untuk memenuhi hak pihak lain, namun masing-masing
mengembangkan rasa tanggung jawab.
Bellah (dalam Wilson, 2001) mengidentifikasi adanya empat nilai yang
menjadi dasar communitarian relationship. Nilai yang pertama adalah
kombinasi dari nilai individual dan penolakan terhadap berbagai bentuk
dominasi dengan fakta bahwa keseluruhan komunitas yang berkualitas
merupakan prasyarat bagi individu maupun organisasi yang berkualitas. Nilai
yang kedua adalah solidaritas. Dalam hal ini, salah satu pihak ada karena relasi
organisasi dengan pihak lain. Nilai yang ketiga adalah communitarian
relationship yang merupakan penyeimbang dari adanya keanggotaan individu
maupun organisasi yang beragam. Akhirnya, nilai yang keempat adalah
partisipasi dalam komunitas yang merupakan sebuah hak sekaligus tanggung
jawab. Relasi akan baik ketika seluruh anggota komunitas, baik individu
maupun organisasi di dalamnya berpartisipasi mendukung komunitas dan
membantu memecahkan berbagai masalah yang dihadapi bersama.
148
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
149
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI
COMMUNITY RELATIONS
Community relations sebagai salah satu wujud penerapan tanggung
jawab sosial dimaknai sebagai "an institution’s planned, active, and continuing
participation with and within a community to maintain and enhance its
environment to the benefit of both the institution and the community" (Baskin,
1997). Setidaknya ada tiga dimensi dari relasi organisasi dengan publik yang
menjadi bagian dari community relations, yaitu community investment,
community involvement, dan community commitment (Ledingham & Bruning,
2001).
Antara organisasi dengan komunitas terdapat hubungan saling
ketergantungan, seperti dikemukakan oleh The Community Relation’s Section
of Champion International Corporation’s Public Affairs Guide:
We are important to those communities. Our payroll maybe the
bulwark of the area’s economy. The taxes we pay support local schools
and government. Our voluntary contributions, both financial both and
in the form of employees’ personal services, help the communities
grows and prosper.
And these communities are important to us. Without public acceptance,
no industry can realize its full potential. The goodwill of the people
who live in our plant communities is essential and must be earned
(Grunig & Hunt, 1984).
150
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
151
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI
152
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
153
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI
lima tahap manajerial, yaitu riset, penentuan tujuan, penyusunan program dan
implementasi, evaluasi dan diakhiri dengan pendampingan. Lebih lanjut
tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (Cutlip et.al, 2000 & Kelly,
2001):
Tahap penemuan fakta. Dalam tahap ini public relations melakukan riset
untuk mendapatkan fakta yang ada berkaitan dengan organisasi. Setidaknya ada
tiga hal yang perlu diidentifikasi, yaitu: 1) Kondisi internal organisasi, meliputi
identifikasi dan evaluasi kebijakan organisasi, aktivitas maupun produk (barang
maupun jasa) yang dihasilkan, serta harapan organisasi terhadap komunitas.
Setidaknya diidentifikasi ada lima harapan organisasi terhadap komunitas, yaitu
pelayanan yang baik dari pemerintahan lokal, aturan pajak yang jelas dan adil,
lingkungan yang nyaman bagi karyawan untuk bekerja, dukungan akan tenaga
kerja, serta pada akhirnya dukungan terhadap bisnis dan produknya; 2) Fakta
yang ada pada publik, dalam hal ini identifikasi komunitas; 3) Analisis peluang
berkaitan dengan upaya membangun hubungan komunitas yang baik; 4)
Berdasarkan fakta yang diperoleh, selanjutnya public relations mengidentifikasi
permasalahan utama atau isu besar berkaitan dengan hubungan komunitas.
Tahap perencanaan. Berdasarkan identifikasi masalah dan temuan fakta
yang ada, public relations menentukan tujuan jangka pendek, menengah
maupun jangka panjang. Untuk mencapai tujuan tersebut dirumuskan program
hubungan komunitas, yang pada dasarnya terdiri dari dua tipe program, yaitu
program komunikasi dan program keterlibatan organisasi dalam komunitas.
Tahap aksi dan komunikasi. Dalam tahap ini disusun dua strategi besar,
yaitu: 1) Strategi aksi yang berkaitan dengan implementasi program,
perubahan-perubahan yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dan 2) Strategi komunikasi yang berkaitan dengan upaya
pengkomunikasian program, yang terdiri dari dua strategi, yaitu: a) Strategi
pesan, berkaitan dengan pemilihan dan penyusunan pesan yang disampaikan
kepada komunitas, dan b) Strategi media, berkaitan dengan pilihan media untuk
menyampaikan pesan maupun mendapatkan masukan dari komunitas.
Tahap evaluasi. Dalam tahap ini, evaluasi tidak hanya dilakukan terhadap
output yang dihasilkan namun juga input, yaitu berkaitan dengan kelengkapan
pemahaman akan komunitas, dan outcome, yaitu perubahan sikap maupun
perilaku yang pada akhirnya memberikan gambaran akan reputasi organisasi di
mata publik. Proses evaluasi menurut Cutlip, Center dan Broom (2000) dapat
dilakukan terhadap tiga tahap proses public relations, yaitu: 1) tahap persiapan,
seperti evaluasi terhadap kelengkapan informasi berkaitan dengan komunitas,
pilihan media, maupun penyusunan pesan; 2) tahap implementasi, seperti
jumlah partisipan, jumlah pesan yang disampaikan, maupun frekuensi kegiatan;
154
Yudarwati, Community Relations: Bentuk Tanggung Jawab Sosial Organisasi.
Melihat uraian di atas dapat disampaikan bahwa untuk memahami
community relations perlu dilihat dari berbagai level analisis. Pada tataran
makro, community relations dilihat dari relasi organisasi sebagai suatu sistem
yang berhubungan dan saling tergantung dengan sistem yang lain. Aspek sosial,
ekonomi, politik maupun budaya akan mempengaruhi pola hubungan yang ada.
Reputasi organisasi tidak hanya dilihat dari sisi seberapa besar profit yang
diperoleh, namun juga dilihat dari aspek tanggung jawab sosial organisasi
dalam bentuk community investment, community involvement, dan community
commitment. Selanjutnya dari level mezo, ditunjukkan bahwa aktivitas
community relations tidak akan lepas dari pemahaman organisasi akan peran
public relations. Posisi, kewenangan dan fungsi yang dijalankan dalam
organisasi akan mempengaruhi model praktek yang dijalankan. Akhirnya pada
level mikro, yaitu berkaitan dengan individu pelakunya, community relations
akan dipengaruhi oleh kompetensi para pelaku yang membawa implikasi pada
peran yang dijalankan, apakah peran manajerial ataukah teknis. Community
relations akan memberikan benefit jangka panjang jika ditempatkan sebagai
bagian dari strategi besar organisasi.
155
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 143-156
ILMU KOMUNIKASI
DAFTAR PUSTAKA
Baskin, Otis, Craig Aronoff and Dan Lattimore. 1997. Public Relations: The
Profession and The Practice. Edisi empat. Madison: Brown & Benchmark.
Baskin, Otis, Dan Lattimore and Suzette T. Heiman, Elizabeth L. Toth, and James K.
van Leuven. 2004. Public Relations: The Profession and The Practice. Edisi
lima. Madison: Brown & Benchmark.
Cutlip, Scott M, Allen H. Center, and Glen M. Broom. 2000. Effective Public
Relations. Eight edition. New Jersey: Prentice Hall.
Daugherty, Emma L. 2001. “Public relations and social responsibility” dalam Heath,
Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public Relations. California:
Sage Publication, Inc. (h. 389-402).
Fombrun, Charles J. 1996. Reputation, Realizing Value from the Corporate Image.
Boston: Harvard Business School Press.
Grunig, James E & Todd Hunt. 1984. Managing Public relations. Chicago: Holt,
Rinehart and Winston, Inc.
Kelly, Kathleen S. 2001. “Stewardship: the fifth step in the public relations process”
dalam Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public
Relations. California: Sage Publication, Inc. (h. 279-290).
Kreps, Gary L. 1986. Organizational Communication, Theory dan Praktek. New York:
Longman.
Lauzen, Martha M. 1997. “Understanding the relation between public relations and
issues management”. Journal of Public Relations Research. Vol. 9. No. 1. (h.
65-82).
Ledingham, John A. and Stephen D. Bruning. 2001. “Managing community
relationships to maximize mutual benefit: doing well by doing good” dalam
Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel (eds). Handbook of Public Relations.
California: Sage Publication, Inc.(h. 527-534).
McLisky, Chadd. 1999. “Indonesia, public relations and social responsibility”. Asia
Pacific Public relations Journal. Vol. 1. No. 1. (h. 105-108).
Starck, Kenneth and Dean Kruckeberg. 2001. “Public relations and community: a
reconstructed theory revisited” dalam Heath, Robert L and Vasquez, Gabriel
(eds). Handbook of Public Relations. California: Sage Publication, Inc. (h. 51-
60).
Wilson, Laurie J. 2001. “Relationships within communities: public relations for the
new century”. Dalam Heath, Robert L (ed). Handbook of Public Relations.
California: Sage Publication, Inc. (h. 521- 526).
156
Newspaper Language
in Representing Ethnic Violence:
Textual Analysis of Kompas
dan Republika Newspapers
Prayudi7
157
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI
ability in influencing its readers has brought to surface the issue of language
used by newspaper institution in representing issue of ethnic violence. How the
newspaper presents the issue, the perspectives used and reporting style all lead
to the usage of newspaper language.
An attempt to analyse how Indonesian newspapers used the language in
representing the issue of 1997 ethnic violence strongly relates to some
arguments. They include political context, press policies and news orientation.
The 1997 ethnic violence itself occurred in West Kalimantan. It was claimed to
be the biggest ethnic violence that involved the Dayak community as
indigenous people and the Madura community, migrants of Madura Island. It is
noteworthy that the violence occurred during the New Order era.
First argument is the introduction of SARA policy as part of Suharto’s
development political policy. SARA policy was introduced by the New Order
regime in the early 1970s in order to limit and control public interpretation of
all socio-political conflicts that may endanger national stability. The SARA
acronym represents suku (ethnicity), agama (religion), ras (race) and
antargolongan (inter-group) issues. Although ethnic, religious, race and inter-
group diversity was integral to the character of Indonesian society; SARA
issues were labeled as the 'embryo’ of disintegration. SARA policy was
underpinned by the notion that conflict between groups within society will
provide an opportunity for particular groups to secure their own interests, which
might be at the expense of the national interest. Further, the conflict may lead to
subversive actions (Katjasungkana, Kartika and Mahendra 1999). The state
apparatus then created conditions to suppress issues of ethnic identity, religion,
races and inter-groups. Meetings, discussions and writing about SARA were
considered threats toward national integrity and were therefore banned.
Krisnamurthi (2002) argues that the politics of SARA introduced by the New
Order regime through repressive power, either directly or indirectly, was a
politics of isolation of the elements of ethnic, religion, race and inter-group
within the life of nation and state.
SARA was used to ban any discourse of ethnicity as part of Suharto’s
idea of reshaping Indonesia into a ‘big Java’. In the context of Javanese culture,
ethnic groups outside Javanese are considered lower status. Therefore, they
have no right to express their ethnic identity and purpose or make requests of
their ruler. Meanwhile, the hierarchical system in Javanese culture has also
created a condition where Javanese people from lower classes must, as part of
their ethnic identity, obey their rulers. Thus, culturally there have already been
some limitations on issues of ethnicity which were later legalized by Suharto's
introduction of SARA.
158
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
The policy of SARA had also affected the life of the press in Indonesia
during the New Order era. A range of topics through which the discourse of
SARA could surface was widely recognized as being off limits. Further
restriction included prohibition of news that refers to anything deemed as
seditious (menghasut), insinuating (insinuasi), sensational (sensasi), and
speculative (spekulasi) (see, Hill. 1990). Thus, the policy of SARA had become
a very effective instrument for the New Order government to pressure both
ethnic groups and the press. In 1975, there was a clash that involved Chinese
ethnic group and claimed many lives and properties. However, few newspapers
reported the issue. If the press had to report SARA issues, they were required to
report from the government point of view. This indicates the strength of the
New Order regime which was fully supported by the military.
Press policies as the second argument relates to how newspaper
institution reports the issue of ethnicity. Principally the newspaper institutions
should have been fair and objective in representing the violence and focused its
coverage on public interest basis. However, government strong policy on
ethnicity still restricted the press from presenting the news in a more objective
way. In reporting the violence, the press still did not dare to report the issue
explicitly. I conducted a content analysis of Kompas and Republika dailies in
2001 and found that principally both Kompas and Republika played a role as
storyteller in reporting SARA issues or other sensitive issues. I found that the
way the press reports news strongly relates to the interplay of various levels of
influence from within press institutions (such as mission, vision, goals) and
from political economy factors outside the press institutions (like government
policy on SARA). The facts of events are thus written as information based on
a set of frameworks which state that the news reported should not mislead its
readers or condemn people or parties involved in the matter. It should hold the
pre-assumption of innocence, place the matter in the way it really stands,
involve the choice of relevant and balanced news sources, and always try to
confirm the information gathered.
The third argument is the orientation of news coverage. Issue of ethnic
violence has high news values like frequency (time-span taken by an event),
threshold (size of an event), meaningfulness (events that accord with the
cultural background of the news gatherers) and so on (see, Hartley, 1995).
Consequently, newspapers will certainly report the issue. Nevertheless, the
orientation of news coverage strongly influenced by the interests the newspaper
institutions have to serve. If they orient the news coverage based on public
interest, it is likely that the newspaper institutions will use language that reduce
rather than intensify the violence. However, if they orient the coverage to
increase the newspapers exemplar, it is possible that the newspaper institutions
159
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI
will use language that either purposely or not purposely contributes to the
violence. In an interview with the editor in chief of a local newspaper in West
Kalimantan province, I found that it was difficult for the local newspaper to be
fair and balance in the coverage. Even if the newspaper institution had used the
language that would not exacerbate the issue, still it had to face demands and
demonstration from some ethnic groups who thought that the newspaper had
taken aside to one particular ethnic group.
In sum, the interplay of these arguments led to the newspapers institution
perspectives in reporting issue of ethnicity. These perspectives were then
reflected in the language used. To support this claim, two Indonesian national
newspapers had been analysed: Kompas and Republika. The time period to be
examined was from January until mid February 1997 which included the period
of ethnic violence and its aftermath. Using textual analysis, I examined how the
language was used by both newspapers in representing issue of ethnic violence,
considering the complicity of the New Order regime. The analysis focused on
the language and meanings implied in the headlines and text. This analysis was
then followed by comments from editors of the respective newspapers and
other sources to strengthen the arguments. The next section focuses on analysis
of how the language was used by Kompas and Republika newspapers in
representing the 1997 ethnic violence.
160
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
161
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI
162
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
to describe the violence, Kompas preferred to use the language to describe the
impact of the violence. The implied meaning of some of the news items above
does signify this. Jakob Oetama, General Manager of Kompas argued,
163
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI
164
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
Based on the two news items above, Republika stressed the government
attempts to bring peace between the two groups through traditional peace
ceremonies. The implied meaning signifies the unpreparedness of the military
in analysing the violence before it occurred or when the violence was still in
progress. Short statements from the commander of the armed forces also
represented this. The facts later proved that the violence lasted for one and a
half months. Whereas the quotation of statements from member of NHCR
signifies that the government should not rely on traditional peace ceremonies to
stop the violence without searching for the root of the problem. Although it did
not clearly and directly criticize government efforts to solve the problem,
Republika had tried to see the issue from critical perspective.
The publication of the statement from the commander of the armed
forces indicates that press must report the issue carefully. The policy of SARA
had become a very effective political and legal instrument for the military to
control the press. It is noteworthy that the military were active censors toward
the press and did not merely rely on KOPKAMTIB and BAKIN which
politically represented military monitoring and controlling bodies over political
activities within societies, including the press. Nevertheless, there had been an
attempt from the newspaper institutions to use the language cleverly and
meaningfully in representing the issue.
In summary, the use of covered, polite and euphemistic reportage style,
as shown by Kompas, and the dominant use of government news sources whilst
implicitly criticising the government, as shown by Republika, signify how the
Indonesian newspapers institutions accommodated the political situation during
the New Order government into their editorial policies in reporting ethnic
violence. It is then reflected in the newspaper language.
Another finding from the textual analysis of newspaper language in both
Kompas and Republika newspapers was how both newspapers used the
language to represent the causes of the violence. Basically, both newspapers
portrayed two aspects of the violence. First, was the root of the violence, which
was based on the New Order government politics of development that
incorporated the policy of SARA. Second, was the way the government
handled the violence.
Kompas first coverage of the violence was on 2 January 1997 entitled
‘Keamanan di Sanggau Ledo Terkendali’ concentrated on the military approach
to handling the violence. Kompas' care in reporting the issue can be seen from
the placement of the article in page 15, which was set for national news articles,
and the content of the article, which includes statements from government
(military officers) and steps taken to prevent greater violence. At the end of this
165
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI
166
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
From the news item above, Kompas use newspaper language to represent
the complicity of the New Order regime in the violence. Through opinions from
some political analysts, Kompas implicitly criticized the New Order
development SARA policies that had created the gap within society as the
trigger of mass violence. Whereas Amien Rais, a figure that openly criticized
the Suharto leadership and military involvement in the government structure,
was represented as the leader of one of the biggest Moslem organization in
Indonesia instead of a political analyst. By doing this, Kompas expected that the
government would pay more attention to the issue being presented in the news.
Thus, in using newspaper language to portray the government complicity in the
violence, Kompas combined its reportage through formal, polite, covered and
euphemistic reportage style and utilized the opinions of political analysts and
other non-government sources.
Republika, on the other hand, used different newspaper language in
representing government complicity in the event. Republika represented this
through the reportage of previous violence that involved both ethnic groups
which had occurred several times. The reportage also emphasized the violence
that occurred in places where many government projects were situated. To
achieve this, Republika did not merely report what government news sources
said. Rather, it used contradictive newspaper language by quoting statements
from government officials regarding the violence to signify the possibility of
political interests involved in the issue. Thus, quotation of government officials
by Republika in its reportage of the violence contains two arguments: first, to
deal with government policy in reporting SARA issues; and second, to
represent the government as the source of ethnic violence. What is also
significant is that Republika was founded with the involvement of Habibie, who
was Suharto’s trusted man during the New Order era.
167
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI
By writing about violence that had been occurred for several times for
quite long time, Republika sent a message to the government to seriously pay
attention to this ethnic violence issue.
In summary, both newspapers had represented the government
complicity in the violence. From the two analysed newspapers, the press
demonstrated how they set particular newspaper language in order to convey
their message without transgressing government controls. This is what Jakob
Oetama, the chairman of Kompas, said the press must know how to play. In
relation to government's management of the violence, Kompas and Republika
quoted statements from military officers and other figures like the Chairman of
MPR and local opinion leaders. Both dailies avoided writing opinions and let
its readers construct the meaning of the violence through the presentation of
facts and contextual information which appeared in the language used.
CONCLUSION
The usage of language in newspaper in representing issue of ethnicity
principally relates to many factors. Some of them, as identified in this research,
are political context, editorial policy, and news orientation. The interplay of
these factors leads to perspective of a newspaper institution in representing the
issue.
The coverage of issue of ethnic violence is not merely about the position
(intensify, neutral or diminish) of a newspaper in the violence. There are many
other perspectives to report the issue of ethnic violence without exacerbating it.
168
Prayudi, Newspaper Language in Representing Ethnic Violence: Textual Analysis of ....
BIBLIOGRAPHY
169
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 157-170
ILMU KOMUNIKASI
170
Media Literacy:
Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
Rahayu8
171
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI
Relasi masyarakat dengan media tidak bersifat mekanis dan linear namun
multidimensi, menyangkut berbagai aspek sosiologis. Dalam konteks ini
masyarakat seharusnya dipandang sebagai pihak yang aktif dalam berhubungan
dengan media massa. Namun sayangnya, sebagian masyarakat sendiri juga
tidak memahami serta menyadari pentingnya persoalan ini dan justru
“terbenam” dalam hingar bingar perkembangan media yang ada. Di sinilah
orientasi kebijakan perlu bertumpu pada masyarakat untuk meningkatkan
identitas diri dan kemampuannya dalam berhubungan dengan media.
Kebijakan media literacy dalam kaitan ini semakin mendesak dan
penting untuk meningkatkan kekuatan masyarakat ketika berinteraksi dengan
media. Media literacy dapat diandalkan untuk memberikan edukasi kepada
masyarakat tentang bagaimana mengakses media, memilih pesan, memaknai
bahkan mengkritisinya. Melihat arah perkembangan media massa yang semakin
kompleks, baik dari segi format maupun content-nya karena dukungan
teknologi informasi yang semakin canggih, media literacy dapat diharapkan
mengatasi pengaruh media di masyarakat. Pada akhirnya masyarakat sendirilah
yang seharusnya dapat menentukan sikap terhadap gencarnya pengaruh media.
Tulisan ini mengurai bagaimana media literacy seharusnya menjadi
agenda “pendidikan” nasional di Indonesia. Urgensi media literacy tidak saja
terkait dengan prediksi perkembangan media massa dan teknologi informasi
yang semakin canggih di masa depan, tetapi juga menyangkut problematik
tayangan televisi yang kian meresahkan di kalangan masyarakat. Meski
beberapa kelompok aktivis media telah memulai bahkan melakukan media
literacy namun kegiatan tersebut terkesan parsial. Perlu dorongan yang kuat
agar media literacy menjadi gerakan nasional untuk membebaskan masyarakat
dari pengaruh media.
Untuk memberikan uraian yang komprehensif, tulisan ini akan dimulai
dari pemaparan refleksi kualitas program tayangan televisi yang kian hari kian
tidak bermartabat. Kemudian bahasan pun menyentuh aspek kritik terhadap
media yang sesungguhnya dapat dimaknai sebagai pengharapan publik. Uraian
tentang Pervasive Presence Theory disajikan dalam dialog ini untuk
memberikan penekanan bagaimana pertarungan memperebutkan private place
menjadi isu penting saat ini. Bahasan terakhir akan dikaitkan dengan telaah
kritis gerakan media literacy di Indonesia dan konsep-konsep sentral media
literacy yang dapat diterapkan.
172
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
173
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI
174
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
175
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI
176
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
kuat dan berdaya menghadapi media perlu direalisasikan. Salah satu solusi
adalah dengan gerakan media literacy.
177
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI
Jauh sebelum KPI dan kebijakannya lahir, aktivitas media watch sudah
sangat popular dalam melakukan monitoring, kritik terhadap media dan
advokasi publik. Berbagai hasil pantauan media pada dasarnya telah cukup
memberikan pencerahan bagi publik dalam menilai kinerja media. Namun
sayangnya aktivitas media watch masih menjadi fenomena elit karena
berkembang di kalangan aktivis dan akademisi media, sementara masyarakat
cenderung pasif. Posisi masyarakat sekedar mengetahui hasil monitoring
tentang media—mana saja yang tidak profesional dan melanggar etika—atau
sebatas mengadukan media-media yang tidak profesional dan melanggar etika
pada institusi yang relevan. Lain halnya dengan media literacy, aktivitas ini
menekankan aspek edukasi di kalangan masyarakat agar mereka tahu
bagaimana mengakses, memilih program yang bermanfaat dan memaknai serta
menyerap pesan media. Tanpa mengesampingkan peran media watch, media
literacy merupakan altrenatif solusi bagaimana “mencerdaskan” masyarakat
dalam menyikapi media. Bahkan media watch harus terus dikembangkan
karena berfungsi mengontrol performa media dan membantu publik dalam
advokasi ketika hak-haknya sebagai warga negara dilanggar.
Mendesaknya gerakan media literacy juga terkait dengan perkembangan
media massa di Indonesia yang pesat dengan variasi isi media yang semakin
beragam. Kemajuan media massa sejauh ini justru tidak membawa pengaruh
pada banyaknya informasi yang didapat oleh masyarakat. Isu diversity of
content dalam demokratisasi media yang diorientasikan mampu memberikan
berbagai alternatif variasi isi dan perspektif media nampaknya tidak (semoga
saja belum adanya) membuat masyarakat kaya informasi. Masyarakat tetap saja
tidak mendapatkan informasi multiperspektif dari ragam media dan tayangan
program yang ada. Kondisi ini jelas dipicu oleh homogenitas program dan
keseragaman perspektif dalam penyajian informasi.
Gejala lain menunjukkan adanya paradoks, di satu sisi keberadaan
informasi berlipat ganda baik secara kuantitatif (jenis dan item) maupun
kualitatif (topik yang diangkat semakin luas), namun di sisi lain ada
kecenderungan individu-individu yang berinteraksi dengan media justru tidak
mampu mengolah, memilah dan memanfaatkan informasi yang mereka peroleh.
Bagaimana masyarakat berkeluh kesah tentang pemberitaan televisi, mengecam
acara-acara hiburan dan mengkambinghitamkan media sebagai stimulator
tindak asosial menunjukkan gejala tersebut. Di sinilah media literacy penting
artinya bagi individu untuk secara aktif menafsirkan pesan dan menguatkan
individu dalam menghadapi atau mengakses media. James Potter
mendefinisikan media literacy sebagai:
178
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
179
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI
180
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
181
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI
182
Rahayu, Media Literasi: Agenda “Pendidikan” Nasional yang Terabaikan
PENUTUP
Perkembangan media massa khususnya televisi di tanah air yang sangat
dinamis menghadirkan kontroversi di berbagai kalangan. Kontroversi tersebut
masih saja terkait dengan kualitas program (content) dan kekhawatiran dampak
media. Meski pengaturan media telah ditetapkan oleh KPI melalui kebijakan
Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran, namun perlu
ditopang oleh kegiatan media literacy. Aktivitas inilah yang mampu menyentuh
masyarakat bahkan sampai pada level individu untuk bertindak kritis terhadap
183
Jurnal VOLUME 1, NOMOR 2, DESEMBER: 171-184
ILMU KOMUNIKASI
DAFTAR PUSTAKA
184
PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL ILMIAH
1. Artikel merupakan hasil penelitian atau yang setara dengan hasil penelitian (artikel
konseptual) di bidang ilmu komunikasi.
2. Artikel ditulis dengan bahasa Inggris/Indonesia sepanjang 20 halaman kuarto spasi
ganda dilengkapi dengan abstrak Bahasa Inggris (75-100 kata) dan kata-kata kunci
dalam Bahasa Inggris juga.
3. Penulisan kutipan dengan catatan perut yang memuat nama belakang pengarang
tahun dan halaman dan ditulis dalam kurung.
Contoh
Satu Penulis : (Littlejohn, 2000:12)
Lebih dari satu penulis : (Severin, dkk, 1998:25)
4. Penulisan daftar pustaka dengan menggunakan model: Nama Belakang, Nama
Depan. Tahun Penerbitan. Judul Buku (cetak miring). Kota: Penerbit.
Contoh
Dominik, Josep R. 2002. The Dynamics of Mass Communication, Media in
Digital Age. New York, McGraw Hill.
5. Biodata singkat penulis dan identitas penelitian dicantumkan sebagai catatan kaki
dalam halaman pertama naskah.
6. Artikel juga dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy dalam Microsoft Word dengan
format RTF menggunakan jenis huruf Times New Roman, font 12.
7. Artikel hasil penelitian memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3)
Abstrak (dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5)
Pendahuluan (tanpa sub judul, memuat latar belakang masalah, dan sedikit tinjauan
pustaka serta tujuan penelitian), (6) Metodologi Penelitian, (7) Hasil Penelitian, (8)
Pembahasan, (9) Kesimpulan dan Saran, (10) Daftar Pustaka (hanya memuat
pustaka yang dirujuk dalam artikel).
8. Artikel konseptual memuat: (1) Judul, (2) Nama penulis (tanpa gelar), (3) Abstrak
(dalam bahasa Inggris), (4) Kata kunci (dalam Bahasa Inggris), (5) Pendahuluan
(tanpa sub judul), (6) Subjudul-subjudul (sesuai kebutuhan), (7) Penutup, (8) Daftar
Pustaka (hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam artikel).
9. Print-out artikel dan softcopy dikirimkan paling lambat 1 bulan sebelum penerbitan
kepada:
10. Kepastian pemuatan atau penolakan akan diberitahukansecara tertulis. Penulis yang
artikelnya dimuat akan mendapat imbalan berupa nomor bukti pemuatan sebanyak
lima eksemplar. Artikel yang dimuat, tidak akan dikembalikan, kecuali atas
permintaan penulis.
Jurnal
ILMU KOMUNIKASI