You are on page 1of 23

Clinical Science Session

HIFEMA TRAUMATIKA

Oleh:

Abi Balghi 2040312159


Sri Vanny Suhirman 2140312040

Preseptor:

dr. Rinda Wati, Sp.M(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah Clinical Science Session
yang berjudul “Hifema Traumatika” ini dapat penulis selesaikan.
Clinical Science Session ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan
wawasan penulis dan pembaca mengenai Hifema Traumatika, serta menjadi salah
satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Mata
RSUP. Dr. M. Djamil Padang Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr Rinda Wati,
Sp.M(K) sebagai preseptor yang telah bersedia meluangkan waktu untuk
memberikan saran, perbaikan, dan bimbingan. Kami berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pembaca terutama dalam meningkatkan pemahaman
tentang Hifema Traumatika.

Padang, 20 Februari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii


DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................................1
1.2 Batasan Masalah .......................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................2
1.4 Metode Penulisan .....................................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................3
2.1 Anatomi Segmen Anterior ........................................................................................3
2.2 Sistem Perdarahan Mata ...........................................................................................6
2.3 Hifema Traumatika...................................................................................................7
2.3.1 Definisi ............................................................................................................7
2.3.2 Epidemiologi ...................................................................................................7
2.3.3 Etiologi dan Faktor Resiko ..............................................................................8
2.3.4 Klasifikasi ........................................................................................................8
2.3.5 Patogenesis dan Patofisiologi ..........................................................................9
2.3.6 Gejala Klinis ..................................................................................................11
2.3.7 Diagnosis .......................................................................................................12
2.3.8 Tatatalaksana .................................................................................................13
2.3.9 Komplikasi ....................................................................................................16
2.3.10 Prognosis .....................................................................................................17
BAB 3 PENUTUP............................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................19

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hifema didefinisikan sebagai kumpulan darah di segmen anterior mata (COA)


yang dapat terjadi akibat adanya gangguan atau robekan pada pembuluh iris atau
badan siliaris, umumnya karena trauma atau kondisi medis yang mendasarinya.
Robeknya pembuluh darah iris atau korpus siliaris menyebabkan perdarahan dan
bercampur dengan humor aqueous yang jernih.1,2
Hifema traumatika diperkirakan memiliki angka insidensi sebesar 12 kasus
per 100.000 orang setiap tahunnya di Amerika Serikat. Anak-anak dan remaja usia
10 – 20tahun memiliki presentase penderita terbanyak yaitu sebesar 70%. Hifema
lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita dengan perbandingan 3:1.3,4
Berdasarkan data penelitian yang dilakukan pada tahun 2016, didapatkan prevalensi
kasus hifema traumatika yang terjadi sebesar 6,58% diantara 61 kasus akibat trauma
mata di RSUP Dr. M. Djamil Padang.5
Penegakkan diagnosis hifema traumatika dimulai dari anamnesis, dimana
pasien dapat mengeluhkan adanya gejala berupa penurunan ketajaman mata,
fotofobia, nyeri mata, nausea, muntah, adanya riwayat trauma pada mata
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan oftalmologi untuk melihat gambaran tipikal
hifema traumatika seperti penurunan visus, pupil anisokor, serta perdarahan di
segmen anterior mata.2,6 Hifema diklasifikasikan berdasarkan derajat perdarahan
yang mengisi segmen anterior. Semakin banyak darah yang memenuhi COA, maka
prognosis akan menjadi lebih buruk karena bisa menimbulkan beberapa
komplikasi.7,8
Penatalaksanaan hifema bertujuan untuk mencegah komplikasi yang dapat
mengancam fungsi penglihatan seperti peningkatan tekanan intraocular, corneal
blood staining, atrofi dari nervus optikus ataupun perdarahan berulang
(sekunder).4,7 Hifema dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi yang bisa
mengakibatkan kerusakan serius pada mata, maka dari itu seluruh dokter harus
mampu dalam menegakkan diagnosis,melakukan evaluasi serta tatalaksana awal
yang tepat dalam menangani hifema agar dapat mencegah komplikasi, sehingga
prognosisnya menjadi lebih baik.9
1
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang anatomi dan fisiologi mata, definisi,
epidemiologi, faktor resiko, klasifikasi, patofisiologi dan patogenesis, manifestasi
klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi dan prognosis pada
hifema traumatika.

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai
hifema traumatika.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini adalah tinjauan pustaka
dengan merujuk ke berbagai literatur .

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Segmen Anterior
Secara anatomis, mata dapat dibagi menjadi 3 kompartemen yaitu segmen
anterior mata atau camera oculi anterior (COA), segmen posterior mata atau
camera oculi posterior (COP), dan ruang vitreous. Segmen anterior mata atau
camera oculi anterior (COA), adalah ruang di antara iris dan kornea dengan
kedalaman sekitar 3 mm dan mengandung 200 uL aqueous humor. Kedalaman COA
bervariasi, pada keadaan hipermetropia, COA cenderung lebih dangkal, sedangkan
pada myopia, COA lebih dalam. Segmen posterior (COP) adalah ruang yang
terletak posterior terhadap iris dan anterior terhadap lensa. Ruangan ini juga berisi
cairan aqueos dengan volume sekitar 60 uL.10,11

Gambar 2.1 Potongan sagital dari mata.11

COA di bagian anterior berbatas dengan kornea dan di bagian posterior


berbatas dengan diafragma iris dan pupil. Pada COA terdapat sudut bilik mata
depan yang terdiri dari 5 struktur yaitu garis Schwalbe, kanalis schlemm dan
anyaman trabekula (trabekular meschwork), scleral spur, batas anterior korpus
siliar, dan iris.11

3
Gambar 2.2 Gambaran sudut bilik mata depan11
(Keterangan : C = cornea, CB = ciliary body, I = iris, IP = iris process, S = sclera,
SC = schlemm canal, SL = Schwalbe line, SS = scleral spur, TM = trabecular
meshwork, Z = zonular fibers).11
Segmen anterior mata berisi cairan aquoes yang di produksi oleh korpus
siliaris tepatnya di epitel korpus siliar. Cairan aquous merupakan sumber utama
nutrisi bagi lensa dan kornea, serta menjadi rute untuk membuang zat sisa.
Kecepatan produksi cairan aquous sekitar 2,5 uL/menit. Cairan aquous humor
melewati pupil menuju COA, lalu menuju anyaman trabecular dan terjadi
pengurasan (draining) dari aqueous humor yang kemudian dialirkan ke kanalis
schlemm dan sistem vena episkleral. Sebagian cairan aqueous akan dikeluarkan
melalui otot siliaris, ke ruangan suprakoroid, kemudian ke dalam sistem vena badan
siliaris (aliran uveoskleral).12

4
Komposisi dari cairan aquous dapat dilihat pada tabel berikut :
Komposisi (mmol/kg H2O)
Na+ 163
Cl- 134
-
HCO3 20
Askorbat 1.06
Glukosa 3

Tabel 2.1 Komposisi cairan aquous.11

Gambar 2.3 Stuktur bilik mata depan. Tanda panah menunjukkan aliran cairan
aquous.12

5
2.2 Sistem Perdarahan Mata
Perdarahan utama pada mata berasal dari arteri oftalmika, yaitu cabang
pertama arteri carotis interna bagian intracranial. Cabang ini berjalan di bawah
nervus optikus melalui kanalis optikus menuju orbita. Cabang intraorbital pertama
adalah arteri centralis retina yang memasuki nervus optikus 8-15 mm di belakang
bola mata. Cabang arteri lainnya adalah arteri lacrimalis yang mendarahi glandula
lakrimalis dan kelopak mata, cabang-cabang maskularis ke berbagai otot orbita,
arteri siliaris posterior longus dan brevis, arteri palpebralis media ke kedua kelopak
mata, dan arteri supra orbitalis serta supratrochlearis.
Arteri siliaris posterior brevis mendarahi koroid dan bagian nervus optikus.
Arteri siliaris posterior longus mendarahi korpus siliaris, bersama arteri siliaris
anterior membentuk circulus anterior major iris. Arteri siliaris anterior berasal dari
cabang-cabang maskularis dan menuju ke musculus recti. Arteri ini mengalirkan
darah ke sklera, episklera, limbus, dan konjungtiva.13

Gambar 2.4 Sistem perdarahan mata.13

6
Gambar 2.5 Sistem perdarahan pada bilik mata depan.13
2.3 Hifema Traumatika
2.3.1 Definisi Hifema Traumatika
Hifema merupakan keadaan di mana terdapat akumulasi darah di dalam
segmen anterior mata (COA) yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang
merobek pembuluh darah iris atau korpus siliaris. Robeknya pembuluh darah iris
atau korpus siliaris menyebabkan perdarahan dan bercampur dengan humor aqueus
yang jernih.1 Hifema traumatika merupakan sebuah self-limited condition, dimana
dalam kebanyakan kasus, akumulasi darah dalam COA dapat diserap kembali, dan
jarang menyebabkan kebutaan. Namun pada sebagian kasus lainnya, dapat terjadi
komplikasi berupa perdarahan sekunder.14
Hifema dapat terjadi baik akibat trauma tumpul ataupun karena laserasi
(trauma tajam). Gaya yang dihasilkan oleh trauma akan mendorong iris dan lensa
ke posterior dan sklera terdesak ke zona ekuator. Proses ini akan menyebabkan
kerusakan pada pembuluh darah iris dan badan siliar anterior.15
2.3.2 Epidemiologi
Kejadian hifema terutama hifema traumatika menurut studi yang dilakukan
di Amerika Serikat diperkirakan sebanyak 12 kasus per 100.000 orang populasi.
Anak-anak dan remaja usia 10 – 20 tahun memiliki presentase penderita terbanyak
yaitu sebesar 70%. Hifema lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita
dengan perbandingan 3:1.3,4 Pada orang dewasa, penyebab utama trauma tumpul

7
ialah kecelakaan yang tidak disengaja, dimana 60% kasus disebabkan oleh trauma
tumpul yang terjadi saat olahraga akibat lemparan bola baseball, softball, bola
basket, sepak bola, dan paint ball.7
Berdasarkan data penelitian yang dilakukan pada tahun 2016, didapatkan
prevalensi kasus hifema traumatika yang terjadi sebesar 6,58% diantara 61 kasus
akibat trauma mata di RSUP Dr. M. DjamilPadang.5

2.3.3 Etiologi dan Faktor Resiko


Trauma adalah penyebab tersering dari hifema, baik trauma tumpul maupun
trauma tembus. Hifema juga dapat disebabkan oleh perdarahan spontan. Perdarahan
dapat terjadi segera setelah trauma yang disebut perdarahan primer atau
perdarahan terjadi 5-7 hari sesudah trauma disebut perdarahan sekunder.
Hifema sekunder biasanya terjadi akibat gangguan mekanisme pembekuan
atau penyembuhan luka sehingga mempunyai prognosis yang lebih buruk.
Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeo iridis, tumor pada iris,
retinoblastomadan kelainan darah. Hal ini mungkin akibat terjadinya kelemahan
pada dinding- dinding pembuluh darah.2,16 Kondisi medis tertentu seperti: leukemia,
hemofilia, penyakit von Willebrand, penyakit sel sabit, dan penggunaan obat
antikoagulan juga dapat membuat seseorang lebih berisiko mengalami hifema.2

2.3.4 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi sebagai berikut16:
1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang
disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat
trauma pada segmen anterior bola mata.
2. Hifema akibat tindakan medis, misalnya kesalahan prosedur operasi
mata.
3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier,
sehingga pembuluh darah pecah.
4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah, contohnya
juvenile xanthogranuloma.
5. Hifema akibat neoplasma, contohnya retinoblastoma.

8
Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu :
1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.
2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.

Hifema diklasifikasikan berdasarkan jumlah darah yang mengisi COA,


antara lain17,18 :
1. Mikroskopis (mikrohifema) : Sel darah merah positif, tidak tampak
kumpulan darah
2. Grade I : darah mengisi kurang dari sepertiga COA
3. Grade II : darah mengisi sepertiga hingga setengah COA
4. Grade III : darah mengisi hampir total COA
5. Grade IV : darah memenuhi seluruh COA

Gambar 2.6 Klasifikasi hifema menurut jumlah perdarahan.13

2.3.5 Patogenesis dan Patofisiologi


Hifema traumatik paling sering terjadi pada pria muda. Hal tersebut
disebabkan karena adanya trauma pada pembuluh dari iris perifer atau badan siliaris
anterior. Trauma menyebabkan perpindahan bagian posterior diafragma lensa-iris
dan ekspansi sklera di zona equatorial, sehingga menimbulkan terganggunya arteri
sirkulus mayor iris, cabang dari arteri badan siliar, dan atau arteri dan vena koroidal.
Perdarahan segmen anterior dapat dilihat pada pemeriksaan dengan menggunakan
penlight, berbentuk lapisan darah di inferior anterior chamber. Namun, kadang
kadang pendarahan sangat halus sehingga hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan slit-lamp.19,20

9
Trauma tumpul dikaitkan dengan kompresi antero-posterior dan ekspansi
simultan pada bola mata. Kontusio menyebabkan kompresi bola mata dengan
pelebaran sklera equator, peregangan limbus, dan pergeseran lensa atau diagfragma
ke posterior dan putusnya pembuluh darah. Ekspansi menyebabkan stres pada
struktur sudut anterior chamber, yang dapat menyebabkan pecahnya iris stroma dan
atau pembuluh badan siliar.15,19,21
Dorongan akibat trauma menyebabkan displace pada mata dan volume aquos,
sehingga meningkatkan tekanan hidrolik pada lensa, akar iris dan trabekular
meshwork. Jika dorongan melebihi dari kekuatan tarik struktur okular, pembuluh
iris perifer dan permukaan badan siliar bisa ruptur dan menyebabkan hifema.6
Trauma tajam juga dapat dikaitkan dengan kerusakan langsung ke pembuluh darah
dan hipotoni, dimana dapat memicu hifema.15,21

Gambar 2.7 Mekanisme hifema dan cedera tumpul pada mata.15

Hifema yang terjadi setelah operasi intraokular dapat disebabkan oleh


jaringan granulasi pada daerah luka atau karena pembuluh uvea. Mekanisme ini
harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat operasi mata yang datang
dengan hifema traumatika.15,21
Hifema spontan dapat terjadi pada pasien yang menggunakan obat yang
mempengaruhi fungsi trombosit atau thrombin (misalnya, aspirin, alkohol,
warfarin). Pada pasien dengan uveitis (terutama pada uveitis ec herpes zoster) juga
dapat terjadi hifema spontan.15,19 Perdarahan yang ditimbulkan dari hifema
biasanya berasal dari21 :
• Arteri sirkulus mayor dan cabang dari arteri korpus siliaris

10
• Arteri koroid
• Vena korpus siliaris
• Pembuluh darah iris pada pinggir pupil atau pada sudut

COA Perdarahan pada COA mengakibatkan teraktivasinya mekanisme


hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan TIO, spasme pembuluh darah dan
pembentukan fibrin / bekuan platelet memfasilitasi berhentinya perdarahan. Terjadi
pembentukan pseudokapsul yang menempel pada jaringan sekitar. Darah mulai
diserap dari COA menuju COP. Pembentukan bekuan darah terjadi 4-7 hari post
trauma. Setelah itu fibrinolisis akan terjadi, dimana COA merupakan fibrinolitik
aktif. Plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade koagulasi.
Kemudian plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang sudah terjadi
mengalami disolusi. Produk hasil degradasi bekuan darah, bersama dengan sel
darah merah dan debris peradangan akan keluar dari COA menuju trabekular
meshwork dan aliran uveaskleral.19,21
Duke-Elder berpendapat bahwa penyerapan hifema mungkin terjadi melalui
permukaan anterior iris. Menurut Cahn dan Rakusin, sebagian besar akan diserap
melalui trabecular meshwork dan selanjutnya ke kanal SchIemm, sisanya akan
diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya
enzim fibrinolitik di daerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam
bentuk hemosiderin.19

2.3.6 Gejala Klinis


Pasien umumnya akan mengeluh sakit, disertai dengan epifora dan
blefaropasme. Penglihatan pasien akan menurun, bila pasien duduk hifema akan
terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi
seluruh ruang bilik mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan
iridodialisis.17 Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari konjungtiva dan
pericorneal, fotofobia (silau terhadap cahaya), penglihatan ganda, edema palpebra,
dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu letargic,
disorientasi atau somnolen.19
Temuan klinis lain yang berkaitan seperti resesi sudut mata, iritis traumatik,
miosis, atau midriasis. Resesi sudut mata dapat terjadi pada 85% pasien hifema dan
berkaitan dengan timbulnya glaukoma sekunder dikemudian hari. Resesi sudut
11
mata menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot siliaris, yang
dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata.19
Iritis traumatic dengan sel-sel radang pada segmen anterior dapat ditemukan
pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun
darah sudah dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi
endotel kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis
dapat ditemukan pada 10% kasus.19
Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis, robekan pupil,
subluksasi lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat
meliputi perdarahan vitreus, jejas retina (edema, perdarahan dan robekan), dan
ruptur koroid. Atropi papil dapat terjadi akibat peninggian tekanan intraokular.19

2.3.7 Diagnosis
Penegakkan diagnosis hifema didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Pada anamnesis, perlu ditanyakan keluhan yang dirasakan pasien, seperti
adanya darah pada bilik mata, penurunan penglihatan, nyeri pada mata, nyeri
kepala, fotofobia, serta gangguan penglihatan lainnya. Selanjutnya perlu ditelusuri
terkait faktor resiko terjadinya hifema.21 Adanya riwayat trauma, terutama
mengenai matanya dapat memastikan adanya hifema.
Pada saat anamnesis kasus trauma mata ditanyakan waktu kejadian, proses
terjadi trauma dan benda yang mengenai mata tersebut. Bagaimana arah datangnya
benda yang mengenai mata itu, apakah dari depan, samping atas, samping bawah,
atau dari arah lain dan bagaimana kecepatannya waktu mengenai mata dan bahan
tersebut, apakah terbuat dari kayu, besi, atau bahan lainnya. Jika kejadian kurang
dari satu jam maka perlu ditanyakan ketajaman penglihatan atau nyeri pada mata
karena berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okuler akibat perdarahan
sekunder.
Apakah trauma tersebut disertai dengan keluarnya darah, dan apakah pernah
mendapatkan pertolongan sebelumnya. Perlu juga ditanyakan riwayat kesehatan
mata sebelum terjadi trauma, apabila terjadi pengurangan penglihatan ditanyakan
apakah pengurangan penglihatan itu terjadi sebelum atau sesudah kecelakaan
12
tersebut, ambliopia, penyakit kornea atau glaukoma, riwayat pembukaan darah atau
penggunaan antikoagulan sistemik seperti aspirin atau warfarin.22
Pemeriksaan Fisik
Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA (dapat
diperiksa dengan flashlight), kadang-kadang ditemukan gangguan visus.
Ditemukan adanya tanda-tanda iritasi dari conjunctiva dan pericorneal, fotofobia
(tidak tahan terhadap sinar), penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra,
midriasis, dan sukar melihat dekat, kemungkinan disertai gangguan umum yaitu
letargic, disorientasi atau somnolen.
Gambar 2.8 Gambaran Klinis
Hifema16

Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen;
visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan
retina.
b) Pengukuran tonometri: mengkaji tekanan intra okuler.
c) USG mata
d) CT-Scan
e) Pemeriksaan laboratorium darah
2.3.8 Tatatalaksana
Hifema akan hilang sempurna pada umumnya. Namun, apabila perjalanan
penyakit tidak berjalan demikian, maka sebaiknya penderita dirujuk. Walaupun
13
perawatan penderita hifema traumatik ini masih banyak diperdebatkan, namun pada
dasarnya adalah:
1. Menghentikan perdarahan.
2. Menghindarkan timbulnya perdarahan sekunder.
3. Mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata dengan mempercepat
absorbsi.
4. Mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari komplikasi yang lain.
5. Berusaha mengobati kelainan yang menyertainya.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tatalaksana penderita dengan hifema
traumatika pada prinsipnya dibagi dalam 2 golongan besar yaitu perawatan dengan
cara konservatif/tanpa operasi, dan perawatan yang disertai dengan tindakan
operasi.23,24

1. Tirah baring (bed rest total)


Hifema pada penderita yang tampak mengisi lebih dari 5% segmen anterior
sebaiknya diistirahatkan. Tidur dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala
diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45o (posisi semi fowler).
Hal ini akan mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta
memudahkan kita mengevaluasi jumlah perdarahannya. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa dengan tirah baring absorbsi hifema lebih cepat dan dapat
mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder. Istirahat total ini harus
dipertahankan minimal 5 hari mengingat kemungkinan perdarahan sekunder. Hal
ini sering sukar dilakukan, terutama pada anak-anak, sehingga diperlukan
pengawasan yang ketat.24

2. Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan hifema traumatika tidak
mutlak, namun berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat absorbsi
darah, dan menekan komplikasi yang timbul.24 Obat-obatan yang dapat digunakan
antara lain:
a. Siklopegik/Midriatik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan resiko
terjadinya sinekia posterior. Pemberian siklopegik dapat menstabilkan blood-
aquous barrier, meningkatkan kenyamanan pasien, dan memfasilitasi
evaluasi segmen posterior. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
14
pemberian midriatika dan miotika bersama- samadengan interval 30 menit
sebanyak dua kali sehari akan mengurangi perdarahan sekunder dibanding
pemakaian salah satu obat saja.
b. Analgesik bila perlu, berupa acetaminofen atau kodein. Tergantung pada
tingkat nyeri yang dirasakan pasien.
c. Kortikosteroid topikal untuk mengurang inflamasi, dan mencegah
iritis/iridosiklitis.
d. Agen antifibrinolitik, seperti asam aminokaproat topikal dan/atau oral serta
asam traneksamat oral. Pada hifema yang baru dan terisi darah segar diberi
obat anti fibrinolitik dengan tujuan agar bekuan darah tidak terlalu cepat
diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri
dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan perdarahan sekunder
tidak terjadi. Dosis untuk asam aminokaproat yaitu 50mg/kgBB setiap 4 jam
maksimal 30g per hari selama 5 hari. Dosis untuk asam traneksamat adalah
25mg/kgBB, 3 kali sehari selama 6 hari. Kontraindikasi pemberian pada
gangguan clotting intravaskular dan kehamilan. Pemberiannya tidak
dianjurkan melewati satu minggu karena dapat menimbulkan gangguan
transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio kornea.
Selama pemberiannya, pengukuran tekanan intra ocular harus dilakukan.
e. Tissueplasminogen activator untuk fibrinolisis clotting yang stagnan. Dosis
tPA adalah 10 mikrogram, diberikan dengan cara intrakamera.
f. Terapi antiglaukoma jika dibutuhkan, seperti dengan pemberian
asetazolamid atau beta-blocker seperti timolol.25
3. Tindakan Operasi
Tindakan operasi pada hifema dilakukan apabila kondisi berikut26 :
a. Hifema total dengan tekanan intraokular tetap tinggi (>35 mmHg selama 7
hari atau 50 mmHg selama 5 hari)
b. 4 hari setelah onset hifema total
c. mikroskopik cornea blood staining
d. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari
e. Hifema lebih dari ½ COA yang bertahan selama 8 - 9 hari

15
Parasintesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah
atau nanah dari segmen anterior.
2.3.9 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada hifema traumatika diantaranya:27
1. Perdarahan Sekunder
Perdarahan sekunder (rebeleeding) pada umumnya diikuti oleh prognosis visual
yang buruk. Rebleeding dikatakan terjadi jika terdapat penambahan ukuran hifema,
atau jika terlihat lapisan darah segar diatas bekuan darah sebelumnya yang
berwarna lebih gelap di COA. Waktu yang paling kritis terjadinya rebleeding
adalah hari kedua sampai ketujuh setelah trauma. Trauma yang disebabkan
kerusakan blood ocular barrier dapat meningkatkan difusi beberapa protein plasma
ke ruang anterior, termasuk plasminogen, sehingga meningkatkan risiko perdarahan
sekunder.
2. Glaukoma
Sekitar 25% mata mengalami peningkatan Tekanan Intra Okuler >25mmHg dan
10% mata >35 mmHg. Peningkatan TIO disebabkan oleh oklusi dari trabecular
meshwork oleh gumpalan darah, sel-sel inflamasi, atau sisa eritrosit; blok pupil;
atau penyebab lainnnya seperti rusaknya atau fibrosis dari trabekula meshwork.
3. Sinekia Anterior Perifer
Penempelan iris ke kornea pada umumnya terjadi pada passion dengan hifema
yang menetap pada periode yang lama, biasanya mencapai 9 hari atau lebih. Hal ini
disebabkan oleh adanya iritasi kronik akibat trauma awal atau adanya iritasi
kimiawi karena adanya darah di bilik mata depan. Kemungkinan penyebab lainnya
yaitu adanya bekuan di sudut bilik yang mengakibatkan fibrosis trabecular
meshwork sehingga menutup sudut tersebut.

4. Pewarnaan Kornea
Pewarnaan kornea (hemosiderosis kornea) lebih sering terjadi pada pasien
dengan hifema total yang bertahan selama minimal 6 hari berturut-turut, diikuti
dengan peningkatan TIO lebih dari 25 mmHg, rebleeding, durasi bekuan yang
memanjang, dan disfungsi sel endotel kornea. Angka kejadian hemosiderosis
kornea pada hifema berkisar antara 2-11%.
5. Atrofi saraf optic

16
Atrofi saraf optic disebabkan oleh peningkatan TIO. Resiko atrofi saraf optic
meningkat apabila TIO berkisar 50 mmHg atau lebih selama 5 hari tau TIO berkisar
35 mmHg atau lebih selama 7 hari.

2.3.10 Prognosis
Prognosis pada hifema tergantung pada jumlah darah dalam segmen anterior.
Apabila hifema kurang dari setengah COA, maka hifema akan hilang dan diserap
sempurna. Sedangkan apabila darah lebih dari setengah segmen anterior, maka
prognosis menjadi lebih buruk karena akan disertai beberapa penyulit. Hifema total
di dalam bilik mata akan memberikan prognosis lebih buruk dibanding hifema
sebagian.
Prognosis untuk pemulihan penglihatan pada hifema berhubungan dengan
beberapa faktor, yaitu16:
a. Kerusakan pada struktur okular lain, seperti robekan pada koroid, parut
pada makula.
b. Perdarahan sekunder.
c. Komplikasi seperti glaukoma, corneal blood staining atau terjadi optik
atrofi.

17
BAB 3

PENUTUP

Hifema merupakan keadaan dimana terdapat akumulasi darah di dalam


segmen anterior, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat
trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliaris dan bercampur
dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Hifema atau darah di dalam
segmen anterior dapat terjadi baik akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh
darah iris atau badan siliaris ataupun karena laserasi (trauma tajam). Adanya
riwayat trauma, terutama mengenai matanya dapat memastikan adanya hifema
traumatika. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada COA,
kadang-kadang ditemukan gangguan visus, dan peningkatan Tekanan Intraokuler.
Penegakkan diagnosis hifema didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.
Tujuan penatalaksanaan hifema traumatika diantaranya untuk menurunkan
angka rebleeding, membersihkan hifema, memperbaiki jaringan yang rusak, dan
meminimalkan sekuele jangka panjang. Penatalaksanaan hifema dapat berupa
terapi non medikamentosa, medikamentosa, dan terapi bedah. Komplikasi yang
paling sering ditemukan pada hifema traumatika adalah perdarahan sekunder,
glaukoma sekunder dan hemosiderosis di samping komplikasi dari traumanya
sendiri berupa dislokasi dari lensa, ablatio retina, katarak dan iridodialysis.
Prognosis pada hifema tergantung pada jumlah darah dalam segmen anterior.
Hifema total di dalam bilik mata akan memberikan prognosis lebih buruk dibanding
hifema sebagian.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. John D Sheppard, Hampton R. Hyphema. Medscape: Drug, Diseases, and


Procedure. 2009.
2. Gragg J, Blair K, Baker M. Hyphema. Treasure Island: StatPearls; 2009
3. Zafar S, Canner JK, Mir T, et al. Epidemiology of Hyphema-Related
Emergency Department Visits in The United States Between 2006 and 2015.
Ophthalmic Epidemiol. 2019;26(3):208-215.
doi:10.1080/09286586.2019.1579917
4. Andreoli C, Gardiner M. Traumatic hyphema: Epidemiology, anatomy, and
pathophysiology. UpToDate. 2011.
5. Nofityari E, Ilahi F, Ariani N. Analisis Karakteristik Pasien Trauma Mata di
RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2016. Jurnal Kesehatan Andalas. 2019;
8(1):59-67.
6. Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit
Mata: Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Surabaya: FK Unair. Hal:137-139
7. Lenihan P, Hitchmoth D. Traumatic Hyphema: A Teaching Case Report.
Optom Educ. 2014;39(3).
8. Skuta GL CB, Weiss JS. Clinical Aspect of Toxic and Traumatic Injuries of
Anterior Segment, Traumatic Hyphema. External Disease and Cornea.San
Fransisco: American Academy of Ophtalmology;2011-2015. p.365-9
9. Bansal S, Gunasekeran DV, Ang B, Lee J, Khandelwal R, Sullivan P,
Agrawal R, Controversies in the pathophysiology and management of
hyphema, Survey of Ophthalmology; 2015.
10. Khurana A. Comprehensive Ophthalmology. New Delhi: New Age
International Publisher; 2007.
11. American Academy of Ophthalmology. Fundamentals and Basic Principles
of Ophthalmology: Basic and Clinical Science Course Section 2. San
Francisco: American Academy of Ophthalmology; 2014.
12. Gerhard K, Lang M., Amann J. Ophthalmology. A Short Textbook. New
York: Thieme; 2000. doi:10.1016/s0002-9394(14)75046-9
13. Vaughan D, T A, Riodan Eva P. General Ophthalmology. 19th ed. Utah:
Lange Medical Publications; 2018.
14. Gharaibeh A, Savage HI, Scherer RW, Goldberg MF, Lindsley K. Medical
interventions for traumatic hyphema. Cochrane Database Syst Rev. December
2013. doi:10.1002/14651858.CD005431.pub3
15. American Academy of Ophthalmology. External Disease and Cornea: Basic
and Clinical Science Course Section 8. San Francisco: American Academy of
Ophthalmology; 2014.
16. David L, Nash M. Hyphema [Online]; 2019. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview. (Diakses Mei
2020)
17. Ilyas, Sidarta.Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3, 2010. Jakarta : FKUI,
hal. 264-265.
18. American Academy of Ophthalmology. Hyphema Grading System [Online].
Available at http://www.aao.org/image/hyphema-grading-system-2 (Diakses
20 Februari 2022).
19. Walton W, Hagen S, Grigorian R, Zarbin M. Management of Traumatic
Hyphaema. In : survey of Ophtalmology. Volume 47. New Jersey: Elseiver;
2002
20. Dobrovolsky AB, Titaeva EV. The Fibrinolysis System: Regulation of
Activity and Physiologic Functions of Its Main Components. Moskow. In;
Biochemistry. Original Russian Text; 2002. 116-126
21. Novitasari A. Buku Ajar Sistem Indra Mata. Semarang: Unimus Press; 2017.
22. Ilyas S, Yulianti S. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013.
23. Nurwasis, dkk. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit
Mata: Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Surabaya : FK Unair. Hal:137-139
24. Riordan-Eva P, Whitcher J. Vaughan and Asbury General Ophthalmology
17th Edition. Philadelphia: McGraw-Hill Companies; 2007. p. 377-378.
25. American Academy of Ophthalmology. External Disease and Cornea : Basic
and Clinical Science Course Section 8. San Fransisco: American Academy of
Ophthalmology; 2014.
26. Andreoli C, Gardiner M. Traumatic hyphema: Epidemiology, anatomy, and
pathophysiology. UpToDate. 2011.
27. Vitresia H. Memahami Hifema Traumatika & Dampaknya Pada Penglihatan.
PERDAMI. https://perdami.id/memahami-hifema-traumatika-dan-
dampaknya-pada-penglihatan/. Published 2017.

You might also like