You are on page 1of 24

Memberdayakan kembali ‘Kesenian Totua’1:

Revitalisasi Adat Masyarakat To Lindu di Sulawesi Tengah2

Gregory L. Acciaioli

( The University of Western Australia)

Abstract

During the new order era local adat was subjected to a process of cultural erosian due to
the priorities accroded national integrations, as well as economic, social and development by
the Indonesian government. However, the ‘90s have witnessed a resurgence of concern with
adat as a vehicle for the local peoples’ identity and as a mechanism for local government and
dispute resolution, trends intensified since the beginning of the reformasi era with its
relegitimation of discourse of regional autonomy. This essay presents a case study of these
processes among Lindu people of Central Sulawesi, focusing upon how they have managed to
reinvigorate their adat as a response to two forms of governmental imposition: 1) the encom-
passment of their land within a national park (i.e. Taman National Lore Lindu); and 2) the
plan to construct a hydroelectric project, which would have forced the loss of land to rising
water level and resettlement of the local population. The Lindu people have sought the
reempowerment of their adat by recasting it as a community resource management system
that they argue can lead to greater sustainability of local natural resource than any imposed
regimen of national park regulations. With assistance of NGOs such as Yayasan Tanah Merdeka,
they have also adopted the discourse of ‘indigenous people’ to defend their continuing right
of inhabitation in their homeland in the face of threatened resettlement. This essay explores
the cultural politics of masyarakat adat as ‘indigenous people’ and the invocation of ecologi-
cally sound ‘indigenous wisdom’ as a warrant for resistance to development programs.
1
Saya menggunakan istilah totua dari Bahasa Tado, pertama di dataran Lindu. To Lindu menuntut status
bahasa yang digunakan To Lindu, karena istilah sebagai masyarakat adat yang berwewenang di dataran
‘orang tua’ dalam bahasa Indonesia bisa berarti hanya Lindu yakni sebagai ‘indigenous people’ di sana (lihat
orang yang sudah tua. Totua di sini berarti orang yang bagian terakhir karangan ini). Istilah ‘penduduk Lindu’
berwibawa dan berpengalaman, karena sudah lama atau ‘orang Lindu’ sebaliknya menunjukkan semua
(sampai sudah menjadi tua) mengelola adat sebagai penghuni dataran Lindu, termasuk To Lindu, pendatang
anggota lembaga adat. Istilah totua dalam bahasa Tado dari Sulawesi Selatan, dari daerah lain di kecamatan
lebih mendekati pengertian itu. To berarti orang, atau Kulawi, dan dari pulau lain juga.
2
orang-orang di banyak bahasa Sulawesi Tengah (bahkan Tulisan ini merupakan terjemahan ke dalam bahasa
Sulawesi seluruhnya), termasuk bahasa Tado. Huruf Indonesia dari makalah berjudul: ‘Re-empowering the
miring menunjukkan istilah dalam bahasa Tado, kecuali Art of the Elders: the Revitalization of Adat among
bila ada tanda berikutnya yang menunjukkan bahasa the Lindu People of Central Sulawesi’, disajikan dalam
daerah atau bahasa asing lain (misalnya, [B] untuk panel: ‘Menyongsong Otonomi, Daerah: Pem-
Bahasa Bugis, [D] untuk Bahasa Belanda, [Y] untuk berdayaan Kembali Pranata Lokal pada Simposium
Bahasa Yunani, dsb.). Istilah gramatika dalam bahasa Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA
Latin (misalnya, sic, et al., dsb.) juga menggunakan ke-1: ‘Mengawali Abad ke-21: Menyongsong Otonomi
huruf miring. Dalam karangan ini istilah To Lindu Daerah, Mengenali Budaya Lokal, Membangun
saya gunakan untuk menunjukkan masyarakat penghuni Integrasi Bangsa’, Universitas Hasanuddin, Makassar,
1-4 Agustus 2000.

60 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


Dengan berbagai kebijakan dan hukum yang dikeluarkan, negara secara tidak adil dan tidak
demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk
menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat-istiadat, hak ekonomi, dan yang paling
utama adalah hak politik masyarakat adat untuk mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaannya yang khas. Perangkat-perangkat kebijakan dan
hukum yang memaksakan uniformitas dan bersifat hegemonistik ini diproduksi dan
digunakan secara sistematis untuk memperkuat dan mempertahankan kedaulatan
negara atas kedaulatan masyarakat adat (KMAN 1999a: 1).

Pengantar: latar belakang gerakan perjuangan masyarakat adat untuk mencapai


masyarakat adat di Indonesia masa identitas baru, dan memperluas skala kerjasama
kini dan tindakan politik semua masyarakat adat.
Pernyataan di atas dirumuskan sebagai Pencapaian hasil ini diresmikan dengan
sebagian dari ‘fact sheet’ yang menerangkan pembentukan Aliansi Masyarakat Adat
latar belakang Kongres Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai organisasi untuk
Nusantara (KMAN) yang diadakan di Jakarta membela hak masyarakat adat. Hasil lain KMAN
antara tanggal 15 dan 22 Maret 1999. Persiapan meliputi pengumuman beberapa tuntutan yang
untuk kongres itu memerlukan waktu tiga tahun. ditujukan kepada pemerintah Republik Indo-
Pelaksanaannya merupakan tonggak bersejarah nesia. Di antaranya adalah duabelas tuntutan
dalam rangka mobilisasi masyarakat adat dari Komisi Ekonomis KMAN:
seluruh Nusantara untuk menuntut pengakuan Kongres masyarakat adat Komisi
hak dan prestasinya dari pemerintah. Utusan- Ekonomis berhasil menyusun 12 tuntutan
utusan di kongres ini memusatkan perhatiannya masyarakat adat yang akan segera disampaikan
atas usaha menghapuskan stereotip negatif kepada Dewan Perwakilan Rakyat, berikut
mengenai masyarakat adat, agar dapat me- adalah keduabelas tuntutan tersebut:
nimbulkan kesan yang mencerminkan hak 1. Pengakuan lembaga MA (masyarakat adat)
mereka atas kedaulatan lokal. Mereka menolak dan penghapusan lembaga masyarakat
istilah pemerintah seperti ‘peladang liar’, (sic—semestinya ‘musyawarah’, bukan
‘penebang liar’, ‘suku terasing’, ‘masyarakat ‘masyarakat’) desa (LMD) dan lembaga
terasing’, dan sejenisnya yang mereka anggap ketahanan masyarakat desa (LKMD).
gagasan Orde Baru yang menghina mereka. 2. Tanah Konversi yaitu bekas tanah hak-hak
Utusan-utusan itu menegaskan lagi definisi Barat agar dikembalikan kepada MA.
’masyarakat adat’,3 istilah untuk diri yang 3. Mencabut segala undang-undang, kepres,
mereka anggap lebih cocok, sebagai ‘kelompok PP dan SK yang merugikan dan
masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur melemahkan hak-hak masyarakat adat.
(secara turun temurun) di wilayahnya geografis 4. Sistem pengelolaan dan JPS (Jaringan
tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, Pengamanan Sosial) harus diserahkan
ekonomi, politik, budaya, sosial, dan wilayah pengelolaannya kepada MA.
sendiri’ (KMAN 1999b). 5. Menolak sistem pertanian monokultur.
Kongres ini merupakan tahap baru dalam 6. Segala sumber daya alam, harus di-
kembalikan dan pengelolaannya di-
3
Definisi ini dinyatakan pertama kali di lokakarya serahkan langsung kepada masyarakat
Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat yang adat.
diadakan di Tana Toraja tahun 1993.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 61


7. Segala kegiatan pembangunan harus merdeka. Kebanyakan tuntutan ini menyangkut
melibatkan masyarakat adat. kepentingan menghapus struktur pemerintahan
8. Pembentukan lembaga keuangan yang desa yang seragam untuk seluruh Indonesia
mengelola keuangan masyarakat adat. yang dulu direkayasa oleh pemerintah Orde
9. Penolakan penangkapan ikan dengan cara Baru melalui Undang-Undang Pemerintahan
potasium, dinamit atau pukat harium (sic— Daerah 1974 dan Undang-Undang Pe-
barangkali yang dimaksudkan ‘pukat merintahan Desa 1979. Contohnya, Komisi
harimau’) di perairan masyarakat adat. Ekonomi KMAN menuntut penghapusan LMD
10. Mencabut HPH, HTI dan lain-lain serta (Lembaga Musyawarah Desa) dan LKMD
peraturan yang berlaku untuk itu dan (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa).
mengembalikan tanah masyarakat adat Walaupun sistem Pembina Adat yang
kepada masyarakat adat setempat. diselenggarakan oleh Pemerintah Orde Baru
11. Menolak dwifungsi ABRI. mulai tahun 1994 memusatkan perhatian pada
12. Menolak adanya praktik monopoli yang artikulasi aparat pemerintahan dan lembaga adat
melemahkan perekonomian masyarakat di tingkat propinsi dan kabupaten (Sakai i n
adat (KMAN 1999c). press), usaha itu menjadi cara pemerintah untuk
Seperti terlihat di daftar ini, utusan KMAN menekan lembaga adat agar membenarkan pro-
memusatkan banyak tuntutannya pada usaha gram pembangunan pemerintah yang di-
menguasai kembali sumber alam ling- programkan dari atas.5 Sejak permulaan tahun
kungannya, khususnya tanah, terutama tanah sembilanpuluhan, secara lebih intensif sejak
ulayat yang dulu dianggap tanah kosong oleh permulaan Reformasi sesudah pemerintah Orde
pemerintah, dijadikan tanah Negara, dan diambil Baru jatuh, pernyataan meminta otonomi untuk
untuk konsesi seperti HPH dan HTI (Gesuri dkk. lembaga adat, bahkan kedaulatannya, menjadi
1999).4 unsur utama dari situasi politik di antara
Sebagaimana ditekankan dalam pernyataan kelompok yang mengidentifikasikan diri
yang dikutip di awal tulisan ini, tuntutan pa- sebagai masyarakat adat.
ling mendasar yang dinyatakan KMAN adalah
tuntutan pemerintah mengakui ‘kedaulatan Masyarakat To Lindu
masyarakat adat’ di wilayahnya masing-masing. membangkitkan lagi kedaulatan adat
Beberapa utusan mengaitkan tuntutan ini di Pegunungan Sulawesi Tengah
dengan pelaksanaan otonomi daerah; sebagian Pada hari pertama milennium baru di desa
utusan, khususnya dari Papua, Aceh dan Riau, Anca, di ujung jalan kuda dataran Lindu,
mengaitkannya dengan aspirasi menjadi Sulawesi Tengah, seorang pemuda To Lindu
melukai dengan pisaunya seorang tamu dari
4
Menurut tafsiran, ada 20 utusan perempuan dari
5
jumlah 231 utusan seluruhnya, yang mewakili Untuk contoh dari cara pemerintah ‘menggunakan’
masyarakat adat dari 22 propinsi, ditambah kira-kira lembaga lokal sebagai alat pemerintah sendiri, lihat
50 utusan dari LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Acciaioli (1997) yang menjelaskan bagaimana peranan
atau ORNOP (Organisasi Non-Pemerintah). Kelompok pallontara [B], ahli naskah (lontara [B]) Bugis yang
utusan perempuan itu menuntut juga penghentian dari menafsirkan konstelasi bintang sebagai tanda udara
semua tindakan yang menghina ‘perempuan adat’, dan ledakan hama, dipergunakan oleh pemerintah di
seperti melarang wanita menghadiri pertemuan dengan Sulawesi Selatan untuk memberikan kesan bahwa jadwal
wakil pemerintah dan kebiasaan TNI menakut-nakuti penanaman padi yang didesain dan diselenggarakan
anggota masyarakat adat dengan taktik memperkosa oleh pemerintah sendiri sesuai dengan unsur-unsur
perempuannya. kebudayaan Bugis setempat.

62 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


desa Kamarora di dataran Palolo. Tamu itu kadang arak cap tikus yang dihaluskan di hutan
datang untuk mengikuti perayaan Tahun (dan (sekarang disebut ‘wiski Lindu’)—dihidangkan
Milenium) Baru. Kepala tamu itu memerlukan kepada para tamu yang mengunjungi rumah
lebih dari duapuluh jahitan dari seorang perawat keluarga dan teman di desa itu secara berturut-
yang kebetulan berkunjung ke keluarganya di turut. Sebagian tamu yang datang dari desa
Lindu. Peristiwa itu terjadi pada saat perayaan lain pulang pada sore hari, tetapi sebagian lagi
antarkampung yang diadakan setiap tahun di tinggal lebih lama. Sesudah menghadiri acara
ketiga desa masyarakat Lindu. Perayaan sejenis kebaktian malam, mereka makan malam di
itu dilaksanakan tiga kali setahun, yakni pada rumah keluarga atau teman, dan sebagian kecil
Hari Natal, Tahun Baru, dan Hari Paska. 6 menginap di sana. Pada hari berikutnya, jadwal
Perayaan itu berlangsung tiga hari setiap kali semacam ini berlangsung pula di desa lain di
diadakan, karena upacara harus dilaksanakan dataran Lindu. Terjadi pertukaran peranan tamu
di setiap desa—Anca, Tomado dan Langko— dan penerima tamu. Demikian pula halnya pada
yang dihuni oleh masyarakat To Lindu dataran. hari ketiga di desa ketiga yang dihuni To Lindu
Setiap kali dilaksanakan, perayaan itu mulai hingga perayaan usai. Walaupun sering kali ada
dengan kebaktian di gereja pada pagi hari, pula tamu datang dari luar dataran Lindu,
diikuti dengan kunjungan rombongan tamu To terutama keluarga To Lindu yang sudah pindah
Lindu dan tamu dari luar yang datang dari ke ibukota propinsi, Palu, atau ke tempat lain
kedua desa ‘pengirim’ ke desa ‘penerima tamu’ untuk bekerja, kawin dengan orang dari luar
(tuan rumah) yang ditentukan untuk hari itu. Lindu, atau alasan lain, perayaan ini terutama
Sesudah acara kebaktian, makanan lengkap dimaksudkan sebagai tanda persahabatan
dihidangkan kepada para tamu.7 Selang satu dalam suasana rukun yang berlangsung antara
atau dua jam kemudian, di rumah-rumah yang penghuni ketiga desa masyarakat To Lindu.
dikunjungi sepanjang hari dari sore sampai Peristiwa pemuda To Lindu melukai tamu
malam, makanan dan minuman ringan—kue, To Palolo pada hari pertama perayaan milenium
kopi, teh, susu coklat, saguer, dan kadang- baru memang merupakan gangguan suasana
kerukunan itu. Tetapi, hal itu dapat dilihat juga
6
Hampir seratus persen To Lindu menjadi penganut sebagai pernyataan solidaritas To Lindu.
agama Kristen Bala Keselamatan yang mulai kegiatan Ternyata pemuda Palolo yang dilukai itu terlibat
penginjilan di daerah Kulawi, Sulawesi Tengah, tahun dalam peristiwa pemukulan pemuda pada tahun
belasan abad ini (Aragon 2000; Haba 1998; Acciaioli
1989). Baru akhir-akhir ini masuk aliran Kristen lain sebelumnya, saat pemuda itu menghadiri pesta
seperti Pantekosta di masyarakat To Lindu, walaupun pernikahan di desa Kamararo di dataran Palolo.
banyak pendatang ke dataran Lindu sudah lama Pemuda itulah yang kemudian mengambil
menganut aliran Kristen lain (misalnya, Gereja Kristen
Sulawesi Tengah yang diturunkan dari Nederlandsche kesempatan membalas dendam di Anca. Pada
Zendelingsgenootschap, cabang utusan injil dari saat terjadi pemukulan itu, pemuda Lindu tidak
Hervormde Kerk di Belanda). Banyak juga pendatang melaporkan peristiwa itu pada pejabat yang
ke dataran Lindu yang menganut agama Islam,
termasuk kaum Bugis dari Sulawesi Selatan. berkuasa. Tetapi dia tidak melupakan peng-
7
Di setiap rumah yang saya kunjungi pada perayaan alamannya, dan mengambil kesempatan pada
sejenis ini daging babi menjadi hidangan utama. saat si pemukul mengunjungi dataran Lindu
Hidangan itu melambangkan identitas orang Lindu
sebagai penganut agama Kristen dan membedakan
untuk membalas dendamnya dengan me-
masyarakat To Lindu dari pendatang yang menganut ngumpulkan teman-temannya. Tindakan
agama lain, misalnya kaum Bugis (Acciaioli 1999, kekerasan antarpemuda kadang-kadang terjadi
2000).

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 63


(walaupun jarang) di Lindu pada waktu Bala Keselamatan selama perayaan tiga hari
perayaan, akibat (sebagian) dari jumlah saguer, itu—melainkan suasana ketegangan dan sikap
bahkan arak cap tikus, yang diminumnya. takut terhadap orang asing (xenophobia [Y])
Tetapi, peristiwa di atas melampaui ukuran nor- dari luar Lindu pun meningkat. Bahkan, cara
mal dari perkelahian yang umumnya cepat peristiwa itu diselesaikan pun menunjukkan
diselesaikan oleh tuan rumah, pengurus gereja, zaman baru bagi masyarakat adat seperti
dan totua kampung. Suasana perayaan pada kelompok To Lindu.9 Pada hari keempat dari
hari kedua berikutnya tetap tegang, tidak hanya milennium baru, sesudah perayaan itu selesai,
akibat dari peristiwa itu, tetapi juga karena Lembaga Hadat SeDataran Lindu, yang
kekhawatiran bahwa peristiwa itu dapat menjadi dikepalai oleh seorang totua dari desa Langko
alasan yang memudahkan provokator datang dan yang anggotanya dipilih dari setiap desa
dari Palolo, dan menimbulkan kekacauan serta masyarakat To Lindu, berkumpul di desa Anca
kekerasan seperti dialami di Poso dan Ambon. untuk menyelesaikan perkara itu. Lembaga
Perayaan tahun/milenium baru mencapai Hadat itu menentukan denda adat (giwu) yang
puncaknya pada malam terakhir di desa Langko, harus diberikan kepada, pertama, desa
desa tempat tinggal pemuda yang terdakwa itu. Kamarora sebagai desa korban yang diserang;
Muncul desas-desus bahwa ada rombongan dan, kedua, desa Anca sebagai tempat
pemuda Palolo yang diamati sedang dalam dilanggarnya aturan karena peristiwa itu.
perjalanan ke Lindu untuk membalas dendam. Kepala desa dari salah satu di antara dusun di
Kabar (angin) itu mengakibatkan kegemparan Kamarora yang mewakili desa korban itu,
di antara beberapa rombongan pemuda To ditemani kepala kelompok pemuda dan
Lindu yang mempersenjatai diri dengan pisau beberapa anggota kelompok itu menunggu
dan parang, dan meronda sepanjang malam. hasil pertimbangan Lembaga Hadat SeDataran
Seorang pemuda Lindu kesurupan oleh arwah Lindu di serambi rumah kepala desa Anca.
Maradindo, pahlawan (tadulako) To Lindu Dilihat dari perspektif gerakan masyarakat
yang dikuburkan di pulau Bola di tengah Danau adat dan tuntutan untuk kedaulatan adat, aspek
Lindu. Sesudah mengancam pemuda yang lain, terpenting dari penyelesaian itu ialah pemberian
dia pun ditenangkan dan dibebaskan dari hak hukum total (yurisdiksi) kepada Lembaga
arwah itu oleh seorang bangsawan (maradika) Hadat SeDataran Lindu. Pada tahun delapan-
tua keturunan Maradindo. Akibat dari suasana puluhan (waktu saya memulai penelitian di
penuh ketegangan itu, banyak tamu dari desa Lindu), pengusutan, pengadilan, dan ke-
Anca dan Tomado pulang lebih cepat dari putusan hukum dalam perkara seperti itu, yang
biasanya atau mengambil keputusan menginap dianggap perkara pidana karena menyangkut
saja di desa Langko supaya tidak berada di jalan korban yang dilukai dalam serangan secara
pada waktu gelap. disengaja, ditangani langsung oleh polisi dan
Namun, bukan hanya muncul suasana sistem pengadilan negeri, apalagi kalau
ketegangan luar biasa yang merupakan tahap terdakwa dan korban berasal dari tempat dan
baru dalam sejarah masyarakat Lindu pada
garis lurus) dari dataran Lindu di Sulawesi Tengah.
permulaan milennium ketiga itu—walau pe- 9
Untuk mencapai dataran Lindu perlu jalan kaki atau
ringatan pada pembunuhan di Ambon dan naik kuda di jalan setapak selama 17 km., mulai dari
Poso 8 sering disebut dalam khotbah di gereja kumpulan gudang di jalan mobil antara Kulawi dan
Palu dan naik ke puncak pegunungan, baru turun sedikit
8
Kota Poso terletak kurang dari 250 km (menurut ke dataran Lindu.

64 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


kelompok etnis yang berbeda.10 Seperti di bentuk tradisional, dan bagian mana boleh
terangkan kepada saya oleh sekretaris Lembaga diuangkan, atau diganti dengan barang mo-
Hadat SeDataran Lindu, ‘(dulu) sedikit sekali dern. Pertimbangan perkara apa pun yang
kasus kriminal, sampai ke pengadilan.’ Kalau ditangani oleh lembaga adat di Lindu, meliputi
perkara seperti itu tidak bisa diselesaikan di perhitungan mahar (oli) dan penentuan denda
ibukota kecamatan Kulawi, maka perkara itu (giwu), selalu terfokus pada bagaimana denda
dibawa ke pengadilan di ibukota kabupaten dan yang ditetapkan oleh adat—dan jumlah barang
propinsi, Palu. Contohnya, pada tahun 1999 tradisional yang selalu sama itu untuk setiap
seorang To Lindu, buruh gilingan kopi yang kategori perkawinan atau pelanggaran—boleh
dimiliki oleh orang Bugis, dipukul oleh anak diwujudkan. Perhitungan itu mencakup bagian
buah pemilik gilingan itu, karena dituduh mana yang harus dibayar dengan barang
mencuri sekarung kopi. Perkara itu ditangani tradisional yang ditentukan oleh adat, dan
oleh polisi yang berjalan kaki dari kantornya di bagian mana yang boleh dibayar dengan uang
Kulawi sampai ke Lindu. Tetapi, perkara atau barang modern yang dipakai sehari-hari,
serangan terhadap pemuda Palolo kali ini tidak misalnya kain pelekat atau piring kaca dari
diselesaikan oleh polisi yang di-datangkan dari pasar. Tentu saja barang modern seperti kain
luar dataran Lindu. Petugas polisi di Lindu, pelekat atau piring kaca dari pasar jauh lebih
seorang Kaili dari Lembah Palu, menghadiri murah dibandingkan dengan mbesa atau
semua pertimbangan Lembaga Hadat Se- dulang. Jumlah uang yang ditentukan sebagai
Dataran Lindu, namun hanya sebagai pengamat pengganti dari barang tradisional pun sering
dan penasehat. Seperti diterangkan oleh rendah sekali dibandingkan dengan harga
seorang totua adat kepada saya, sekarang pasaran kerbau, mbesa, atau jumlah dulang.
perkara sejenis ini ‘diselesaikan dengan adat’, Tokoh adat yang mewakili keluarga terdakwa
dan polisi ‘menjadi tangan lembaga juga’. selalu mencoba memperoleh persetujuan bahwa
Sebetulnya, ‘pidato’ yang diberikan oleh sedapat mungkin denda itu merupakan barang
petugas polisi pada akhir acara adat itu modern atau uang; sedangkan pihak tokoh adat
mengutamakan bahwa sepatutnya perkara ini yang mewakili si pendakwa menuntut agar
ditangani secara adat saja. denda tertentu harus dalam bentuk barang
Walaupun pertimbangan Lembaga Hadat tradisional. Proses saling berbantah terjadi
berlangsung sepanjang pagi, jumlah denda dalam perundingan adat yang merupakan
resmi tidak pernah dipermasalahkan. Menurut ‘kesenian totua ’, istilah yang digunakan
adat Lindu, pelanggaran seperti serangan itu seorang tokoh adat saat dia menerangkan
memerlukan seekor kerbau, sehelai kain kepada saya proses perundingan dalam acara
tradisional (mbesa ), dan sepuluh dulang perkawinan adat. Keahlian dalam bergumentasi
tembaga kuning dibayar sebagai denda kepada mengenai perwujudan denda tertentu mem-
wakil dari korban. Yang memerlukan pe- berikan status sebagai totua terkenal kepada
rundingan yang lama dan mendalam ialah seorang tokoh adat; bahkan juga dalam zaman
bagian mana dari denda itu harus dibayar dalam Orde Baru pada saat kekuasaan dalam mengatur
10
ketenteram di desa terletak di tangan aparat desa
Hanya satu petugas polisi saja yang ditempatkan di
seluruh dataran Lindu. Jadi, semua perkara seperti ini
di bawah kepala desa.
yang saya amati selama mengadakan penelitian tahun Penyelesaian perkara serangan terhadap
80-an mengakibatkan pengiriman tim polisi dari pemuda dari Palolo pada permulaan milenium
ibukota kecamatan Kulawi ke Lindu.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 65


ini menentukan bahwa pembayaran yang harus hukum adat dan hukum nasional. Setiap jenis
disampaikan ke wakil desa Kamarora sebagai hukum boleh berfungsi dalam konteks yang
denda adat terdiri dari uang sebesar layak.
Rp 200.000,00 (mengganti kerbau), sehelai kain
mbesa yang asli, dan hanya lima buah dulang Dari ‘kebudayaan sebagai kesenian’
(sisanya diganti dengan piring biasa) menurut sampai ke kedaulatan masyarakat
Surat Keputusan Lembaga Adat Lindu No. 01/ adat?
LAL/I/2000. Sesudah penyelesaian ini disetujui Dibandingkan dengan status terbatas
oleh semua tokoh adat, wakil dari Kamarora yang diberikan pada adat selama rezim Orde
dipanggil ke balai pertemuan untuk memperoleh Baru, status yang dicapai adat dalam zaman
keputusan ini. Sesudah menerima keputusan Reformasi merupakan perubahan nyata di
dengan sangat ramah dan menyatakan tingkat pemerintahan lokal. Dalam karangan
hasratnya untuk mencari persaudaraan dengan yang diterbitkan 16 tahun lalu (Acciaioli 1985)
‘tetangga’ Lindu ini, wakil Kamarora itu berdasarkan penelitian lapangan pertengahan
meninggalkan balai pertenuan. Ia berjanji akan tahun delapanpuluhan, saya membahas ke-
mengirim wakil selang dua hari berikutnya untuk merosotan dari kewenangan adat saat itu. Hal
menerima pembayaran itu. Pidato-pidato itu dibandingkan dengan status yang di-
terakhir pun disampaikan oleh kepala lembaga gambarkan oleh totua adat, para antropolog,
adat yang membenarkan perasaan wakil dan utusan injil pada zaman penjajahan
Kamarora itu. Ia juga menyatakan hubungan (misalnya, Kruyt 1938) dalam ceritera dan
kekeluargaan dengan penduduk Kamarora. laporan mengenai kebudayaan masa lalu di
Seetelah itu, ketiga kepala desa To Lindu yang daerah pegunungan sekitar Lembah Palu. Dalam
menghadiri pertemuan itu sebagai saksi, tetapi karangan itu saya menyatakan bahwa usaha
tidak mengetuainya, mengucapkan pidato Orde Baru, yang dianjurkan sesuai dengan
secara singkat yang kemudian diikuti oleh semboyan nasional Bhinneka Tunggal Ika,
polisi. Sebetulnya, polisi itulah yang me- berorientasi menjinakkan varietas adat, me-
ngutamakan tercapainya permufakatan itu reduksinya ke status pameran kesenian, dan
dengan menyatakan perihal tidak sahnya bukan kepercayaan, pertunjukan, atau per-
orang dihukum dua kali: undangan. Pemerintah tidak berusaha me-
Kita menganggap perkara ini sudah selesai nghapus adat, tetapi mempersempit per-
karena diurus oleh orang tua. Ada dua hukum wujudannya, dan membatasi ketaatan dari
yang sah di wilayah Indonesia: hukum adat
dan hukum nasional. Kalau kena hukum adat, rakyatnya. Mirip dengan analisis adat di
tidak kena hukum nasional, karena tidak bisa Sulawesi Tengah dan daerah lain di Indonesia
dikenai dua kali. Marilah kita tingkatkan disiplin oleh pemerintah Negara pada rezim Orde Baru
bersama-sama… itu, para antropolog lain menganalisis cara
Dengan demikian, wakil pemerintah di kebudayaan lokal diperlakukan dan dibatasi
pertemuan adat itu mengakui kewenangan adat oleh pejabat pemerintah Indonesia di daerah
dalam usaha menyelesaikan kasus seperti ini. lain, khususnya di bagian timur Indonesia
Sekali lagi ‘hukum adat’ diakui sebagai jenis (misalnya, Graham 1994; Spyer 1996).11 Pe-
hukum yang sebenarnya. Dalam konteks ini, rasaan sebal rakyat desa mengenai pembatasan
kalau bukan kedaulatan adat yang menonjol, 11
Sakai (in press) memberikan contoh dari proses yang
sekurang-kurangnya terdapat kesejajaran sama di bagian barat dari Indonesia (Sumatera Selatan).

66 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


adat yang dilakukan pemerintah bergema juga Walaupun mengakui terjadinya ‘proyek
dalam laporan utusan selama perundingan perekayasaan kebudayaan yang luas’ dari
KMAN di Jakarta tahun 1999 yang pemerintah, Yampolsky (1995:710) membantah
menghasilkan tuntutan atas kedaulatan adat. argumentasi Acciaioli (1985) dan Foulcher
Hubungan antara adat dan Negara pada (1990) mengenai merosotnya kebudayaan lokal
waktu Orde Baru yang merupakan proses dengan menyatakan argumentasi bahwa
penjinakan kebudayaan lokal telah banyak mereka tidak membedakan fungsi atau akibat
dikecam secara langsung dan tidak langsung. dari maksud atau tujuan (Yampolsky 1995:714).
Aragon (1991/1992) mengemukakan bahwa Menurut analisis Yampolsky, walaupun ke-
di masyarakat Tobaku, tetangga dari To Lindu bijakan Depdikbud dan departemen lain
di kecamatan Kulawi, walau banyak upacara pemerintah Orde Baru memang megakibatkan
tradisional telah dihapus akibat dari usaha lemahnya kesetiaan terhadap golongan etnis
utusan Injil Bala Keselamatan (Aragon 2000) atau wilayah lokal dan ‘mengebiri’12 adat
dan petugas pemerintah, penentuan saat sebagai ‘cara hidup’ untuk rakyat desa
upacara modern (yang sering berupa acara (Yampolsky 1995:714), akibat semacam itu tidak
gereja Bala Keselamatan) dilaksanakan masih bisa dianalisis sebagai maksud yang disengaja
ditetapkan oleh logika moral berdasarkan dari kebijakan pemerintah, seperti nasehat
kepercayaan pra–Kristen. Logika animis ini Machiavelli terhadap raja yang ingin mem-
menentukan, misalnya, pelaksanaan upacara pertahankan kekuasaannya. Akibat ini di-
‘pernyataan syukur’ untuk menebus pe- anggap Yampolsky (1995:718) sebagai ‘hasil
langgaran terhadap batasan tanah yang sampingan dari hasrat untuk berkuasa dan
ditentukan oleh para leluhur. Walaupun isi meng-upgrade’. Dibandingkan dengan ramalan
(teks) dari upacara itu berbentuk kebaktian yang pesimis mengenai kecenderungan ke arah
berdasarkan agama Kristen Bala Keselamatan, terwujudnya keseragaman, bahkan peng-
konteks yang digunakan untuk pelaksanaan itu hapusan adat yang dikemukakan Acciaioli
masih didasarkan pada pemikiran animis yang (1985), Yampolsky berpendapat bahwa masih
melandasi adat. Meminjam pendekatan gra- banyak kemungkinan untuk memvitalisasi
matika transformasi generatif dalam ilmu kebudayaan lokal dalam konteks yang tidak
bahasa, walaupun struktur permukaan (surface langsung dikuasai pemerintah. Demikian pula
structure) dari pelaksanaan itu menghapus kesempatan untuk melawan dan menum-
hampir seluruh aspek adat, pada struktur dalam bangkan kebijakan pemerintah dalam arena-
(deep structure), kepercayaan tradisional— arena pertunjukan lokal yang tidak dimonitor
boleh disebut semacam kompetensi budaya pemerintah. Aragon (1991/92,1996) melanjutkan
(cultural competence) yang mendalam—masih argumentasi ini dengan mengusulkan bahwa
berlangsung sebagai motivasi budaya. Dalam tokoh masyarakat lokal bisa menggunakan
analisis semacam itu, adat tidak diasingkan ke kesempatan resmi untuk menyajikan per-
status pertunjukan saja seperti dikemukakan tunjukan estetis yang berbentuk kesenian
oleh Acciaioli (1985). Akar gagasannya masih ‘tradisional’ yang disponsori pemerintah untuk
tertanam dalam dasar kepercayaan dan praktik ‘…merundingkan lagi hubungannya dengan
masyarakat, walaupun bentuk perwujudannya
telah berubah menuju agama yang lebih mo- 12
Istilah ‘mengebiri’ ini digunakan oleh Acciaioli
dern. (1985) secara metaforis untuk menggambarkan
tindakan permerintah Orde Baru terhadap adat lokal.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 67


gagasan kosmologi yang berasal dari leluhur berkedudukan tinggi) menyajikan contoh
agar dapat berjuang mempertahankan otonomi kemunduran adat oleh adanya tuntutan Bala
wilayahnya, dan kekuasaan atas praktik upacara Keselamatan sebagai agama mayoritas di
adat, gerakan tubuh, sajak, dan pernyataan daerah itu selama rezim Orde Baru. Menurut
identitas etnis dan gereja mereka’ (Aragon Yampolsky (1995:719), jaipongan, jenis tarian
1996: 414). yang diciptakan oleh pemerintah berdasarkan
Tentu saja kecaman yang cukup beralasan bahan lokal, diambilalih oleh rakyat kota di
dengan contoh semacam ini bermanfaat dan daerah miskin seperti Jawa Barat. Tetapi, pada
perlu dijawab. Namun, gambaran yang disajikan tahun delapanpuluhan, kemungkinan kecil
dalam karangan Acciaioli dan Foulcher untuk bahwa jenis tarian seperti raego bisa diambil
wilayah yang relatif terpencil seperti pe- alih oleh rakyat di Lindu dan daerah lain di
gunungan Pekawa dan dataran Lindu di Sulawesi Tengah.14 Sebagian besar pertikaian
Sulawesi Tengah masih tetap cocok untuk analisis di antara Yampolksy dan saya ber-
daerah itu pada tahun delapanpuluhan. sumber pada perbedaan fokus: dia memusatkan
Dilaksanakannya pengorbanan hewan dalam perhatiannya pada pertunjukan ‘kesenian
acara pernyataan syukur pada saat seperti daerah’, dan saya mengutamakan gagasan adat
panen, dan penyelesaian konflik tanah yang lebih luas yang meliputi, tidak hanya
(misalnya, mengenai batas ladang) bisa pertunjukan kesenian, tetapi juga hak hukum
ditafsirkan sebagai bukti bahwa pengaruh adat atas pelanggaran, pemerintahan lokal, pola
dan kepercayaan tradisional masih dominan pemilikan tanah, dan kepercayaan mengenai
dalam menentukan konteks pelaksanaan alam dan dunia sekitarnya. Justru kemerosotan
upacara. Namun, pelaksanaan upacara yang yurisdiksi atas semua segi akibat dari kebijakan
lebih ditentukan oleh kalendar Kristen pemerintah Orde Baru itulah yang saya analisis.
(misalnya, perayaan yang berlangsung selama Transformasi adat menjadi kesenian daerah saja
tiga hari pada Hari Natal, Tahun Baru dan Hari telah menjadi gejala dari hilangnya kekuasaan
Paska di ketiga desa masyarakat To Lindu yang (dan kedaulatan menurut totua adat). Jika
disajikan di bagian kedua tulisan ini), dan petugas pemerintah seperti camat menyatakan
kebiasaan untuk melakukan doa dan kesaksian bahwa adat yang menghalangi pembangunan
bersama pada sore tertentu setiap minggu perlu ‘dibuang’, istilah seperti proses men-
membuktikan pula bahwa agama, bukan adat, jinakkan dan mengebiri adat cocok untuk
lebih menentukan transformasi konteks dalam menggambarkan status adat pada masa Orde
pelaksanaan banyak upacara desa di daerah Baru tahun delapanpuluhan.
Kulawi ini. Demikian pula, cara tarian raego
tangan saja dianggap oleh opsir Bala Keselamatan dan
diganti oleh tarian dero (Acciaioli 1985:153- petugas pemerintah lebih halus dan lebih cocok untuk
157) 13 di dataran Lindu dan Kulawi pada pemuda-pemudi yang belum kawin. Walaupun tarian
umumnya (kecuali kalau ada pertunjukan adat dero berasal dari daerah Pamona dan Lore di wilayah
yang kini merupakan kabupaten Poso, bentuk yang
khusus sebagai pertunjukan kesenian daerah digunakan sekarang ‘diperbaiki’ oleh seorang bupati
bagi petugas pemerintah atau orang luar yang Poso dan disebarkan dalam bentuk baru ke daerah lain,
seperti kecamatan Kulawi ke arah barat Poso.
14
13
Dalam tarian raego, wanita dan laki-laki mesti saling Dalam milenium baru ini ada gerakan untuk
memeluk bahu-membahu dalam deretan, sedangkan menghidupkan lagi tarian raego, tetapi gerakan itu
dalam tarian dero si penari hanya memegang tangan didorong dari atas oleh seorang usahawan dan politikus
saja. Membentuk deretan penari dengan memegang dari pusat yang telah pensiun dan ditolak oleh banyak
penduduk lokal.

68 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


Namun, mulai tahun sembilanpuluhan, dan dataran Lindu ditetapkan sebagai Taman
secara lebih lancar pada akhir dasawarsa itu Nasional Lore Lindu pada tahun 1982
dan awal milenium baru, gerakan revitalisasi (Schweithelm dkk. 1992; Watling dan Mulyana
adat di Lindu, seperti penyelesaian kasus 1981).17 Walaupun peraturan Taman Nasional
pemuda Palolo di desa Anca yang dianalisis di ini baru dlaksanakan dengan ketat mulai akhir
bagian kedua tulisan ini, dan di daerah lain di dasawarsa delapanpuluhan, sebelumnya
Indonesia, merupakan peralihan dalam sikap rombongan petugas kehutanan telah dikirim ke
terhadap adat yang boleh dikatakan merupakan Lindu untuk memperingatkan penduduk
semacam revitalisasi15 (walaupun ‘kedaulatan dataran Lindu bahwa kegiatan seperti me-
adat’ sebagai sasaran gerakan masyarakat adat ngumpulkan rotan, membuka sawah, atau kebun
belum juga dicapai). Revitalisasi itu diperlancar di hutan taman nasional tidak diizinkan lagi
oleh perubahan dalam konteks internasional, (Watling dan Mulyana 1981:36). Peraturan itu
nasional dan konteks lokal. Dalam ungkapan mempunyai dampak yang lebih besar atas
Stuart Hall (Morley dan Chen 1996), artikulasi migran yang datang ke dataran Lindu, termasuk
baru dari agen-agen daerah (local agency) dan migran Bugis spontan dari Sulawesi Selatan dan
struktur dunia (global structure) itulah yang migran dari Pipikoro, Kulawi dan Winatu yang
memungkinkan terjadinya peralihan ini.16 Dalam datang dalam program resetelmen18, karena
kerangka teoretis Pierre Bourdieu, transformasi mereka yang tinggal di ujung dataran lebih
ini merupakan perubahan ‘lapangan sosial’ (so- dekat dengan hutan pegunungan yang
cial field) yang merupakan konteks beroperasi mengelilingi dataran itu, dan yang masih
masyarakat seperti To Lindu, dan yang sedang dalam proses membuka sawah dan
mempengaruhi struktur kebudayaan yang kebun baru (Acciaioli 1999, 2000). Namun, To
digunakan oleh agen lokal untuk memahami Lindu merasa juga bahwa peraturan baru itu
peranannya dalam dunia sosial. Saat ini, adat merupakan serangan terhadap adat mereka,
menjadi dasar perlawanan yang dapat di- terutama dalam cara adat istiadat menentukan
andalkan, dan yang melampaui subversi
17
tersembunyi dalam kesenian daerah seperti Semula dataran Lindu direncanakan masuk dalam
Taman Nasional Lore Kalamantan (Blower dkk. 1977)
yang digambarkan oleh Aragon, Yampolsky, berdasarkan ketepatan Suaka Margasatwa Lore
dan Hatley (1990). Kalamantan yang baru didirikan tahun 1973. Peraturan
suaka margasatwa ini hanya dilaksanakan secara tidak
Latar belakang revitalisasi adat To berketentuan pada tahun tujuhpuluhan, dan akhirnya,
batasan dari taman nasional yang direncanakan itu
Lindu dianggap kurang memuaskan. Rencana taman itu diganti
oleh Taman Nasional Lore Lindu yang dibentuk tahun
Dalam kasus Lindu, konteks dari re- 1982 dari tiga sumber: Suaka Margasatwa Lore
vitalisasi adat ini diciptakan oleh pernyataan Kalamantan, Hutan Wisata/Lindung Danau Lindu, dan
resmi pemerintah bahwa daerah hutan sekitar Sambungan Suaka Margasatwa Lore Kalamanta
(Watling dan Mulyana 1981:1).
15 18
Untuk kasus revitalisasi adat di Kalimantan, Program resetelmen yang disponsori oleh
khususnya Kalimantan Timur, lihat karangan Widjono Departemen Sosial (Depsos) sering disebut ‘transmigrasi
AMZ (1998). lokal’ di Sulawesi Tengah dan mungkin di daerah lain
16 di Indonesia juga. Untuk keterangan lebih mendetail
Tanya Li (2000) menggunakan teori Hall untuk mengenai program-program resetelmen di Sulawesi
menerangkan perbedaan antara masyarakat Lindu dan Tengah, lihat tesis PhD oleh John Haba (1998) yang
masyarakat Laoje dalam usaha menerima pengakuan berjudul Resettlement and Sociocultural Change
sebagai masyarakat adat yang hak atas tanah dan atas among the `Isolated Peoples’ in Central-Sulawesi,
sumberdaya alam lainnya patut diakui juga. Indonesia: A Study of Three Resettlement Sites.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 69


penggunaan dan perlindungan atas sumber- daripada meninggalkannya, tetapi To Lindu
daya lingkungannya. Tetapi, perlawanan berkeputusan menempuh strategi lain. Pada
mereka diredakan pada saat wilayah yang awal dasawarsa sembilanpuluhan, etos
mengelilingi desanya dinyatakan sebagai pengawasan Orde Baru terhadap Lembaga
daerah kantong (enclave) tempat kegiatan Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia mulai
pertanian masih boleh dilaksanakan. berkurang menuju sikap yang lebih terbuka
Katalisator yang lebih penting dalam akibat dari dorongan internasional, dan
proses revitalisasi adat To Lindu mulai ber- tuntutan rakyat. To Lindu termasuk yang
pengaruh pada tahun 1988, karena pada waktu beruntung dari meluasnya gerakan LSM itu di
itu gubernur Sulawesi Tengah mengumumkan tahun sembilanpuluhan. Yang mempelopori
rencana membangun Proyek Listrik Tenaga Air usaha membantu To Lindu mempertahankan
(PLTA) di dataran Lindu untuk memenuhi tanahnya adalah LSM Yayasan Tanah Merdeka
permintaan daerah sekitar ibukota propinsi, (YTM). Bergabung dengan jaringan LSM lain,
termasuk permintaan proses industrialisasi di antaranya yang berpusat di Jakarta (misalnya,
yang mau ditingkatkan oleh gubernur (Sangaji Yayasan Sejati, WALHI, Lembaga Bantuan
2000).19 Studi kelayakan lingkungan meng- Hukum, dll.) dan beberapa LSM di Palu
ungkapkan bahwa bendungan yang akan (misalnya, Yayasan Palu Hijau), YTM menolong
dibangun di Sungai Gumbasa tidak jauh dari wakil dari ketiga desa To Lindu, termasuk
tempat sungai itu mengalir dari Danau Lindu anggota dari Lembaga Hadat SeDataran Lindu,
akan menaikkan permukaan air danau lebih dari dari lembaga setiap desa, dan pemuda To Lindu,
tujuh meter, sehingga akan me-nenggelamkan untuk menyusun penolakan resmi di pengadilan
hampir semua sawah dan permukiman yang terhadap rencana PLTA di wilayahnya. Usaha
mengelilingi Danau Lindu. Rencana sudah ini memuncak dalam kunjungan wakil To Lindu
dibuat oleh pemerintah untuk resetelmen dan YTM ke Jakarta untuk memperdebatkan
penduduk dari dataran Lindu ke daerah Lalundo perkara PLTA itu di kantor-kantor pemerintah
di sebelah barat dari Sungai Palu, karena pada pusat. Pada waktu berada di Jakarta mereka
permulaan tahun sem-bilanpuluhan dana utuk sempat mengunjungi Dewan Perwakilan Rakyat
PLTA itu sudah dijanjikan oleh Asian Devel- dan kantor-kantor pusat dari Komnas HAM,
opment Bank. Sesuai dengan keperluan PLN, kementerian kehutanan, dan kementerian
pembangunan, termasuk taman nasional yang pertambang dan energi. Akibatnya, wakil To
dikelola oleh pemerintah di daerah lain di Indo- Lindu dan YTM memperoleh jaminan dari
nesia, penduduk dataran Lindu diberitahu pemerintah bahwa PLTA di wilayahnya tidak
bahwa mereka harus berkorban untuk pindah boleh diselenggarakan, karena rencana PLTA
demi kepentingan lebih luas penduduk daerah itu tidak dimasukkan dalam Repelita yang
Palu. Pengorbanan itu ditolak sepenuhnya oleh disusun dan dibenarkan oleh Majelis Per-
penduduk Lindu. wakilan Rakyat terlebih dahulu.20
Pendatang Bugis di dataran Lindu meng- 20
Uraian ini mengenai usaha To Lindu mem-
ancam akan mengangkat senjata untuk pertahankan tanahnya didasarkan atas wawa\ncara
mempertahankan sawah dan kebun mereka dengan totua di dataran Lindu, dengan Drs. Arianto
19
Sangaji dan petugas lain di YTM, maupun atas
Ironis memang bahwa tujuan dari pendirian taman kumpulan 161 artikel dari surat kabar dan majalah
nasional seperti Taman Nasional Lore Lindu ialah yang dikumpulkan oleh WALHI (tanpa tanggal) dan
untuk mencegah pembangunan seperti PLTA supaya buku Sangaji (2000) mengenai riwayat perkara ini.
lingkungan bisa dilestarikan.

70 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


Kunjungan ke Jakarta yang diatur oleh luas—bahkan internasional—dengan per-
YTM itu bukan pengalaman tersendiri dalam juangan ‘indigenous peoples’ di segenap
perjuangan To Lindu itu. YTM juga meng- pelosok dunia menentang proyek pembangun-
organisasi kunjungan ke Kedung Ombo di Jawa an seperti proyek bendungan yang memerlukan
Tengah. Di tempat itu, wakil To Lindu sempat pemindahan masyarakat lokal dari tanah
berbicara dengan rakyat Jawa yang sudah leluhurnya. Sukses dari strategi itu ditunjukkan
mengalami akibat proyek bendungan yang pada saat seroang teman yang saya wawancarai
menghancurkan kehidupan lokal (Aditjondro di dataran Lindu tahun 2000 menyebut nasib
1998), dan yang memerlukan resetelmen Indian Amazon sebagai keadaan yang mirip
penduduk desa yang tanahnya diteng- keadaan To Lindu waktu kabar mengenai
gelamkan. Sesuai dengan tujuan YTM, kun- rencana gubernur baru untuk membangkitkan
jungan ini merupakan kesempatan me-nempa PLTA (versi baru!) di muara Danau Lindu itu
solidaritas dengan penduduk Jawa yang sudah mulai disebarkan di dataran Lindu (Formasi
mengalami nasib yang juga mengancam orang 1999).
Lindu pada saat itu. Menumbuhkan perasaan
solidaritas itu menjadi salah satu tujuan utama Kesimpulan: masyarakat adat
dalam strategi YTM, agar To Lindu merasa tidak sebagai ‘indigenous people’?—
sendirian dalam perjuangan, tetapi menjadi realisasi dan anomali
sadar bahwa mereka merupakan satu contoh Identifikasi sebagai ‘indigenous people’
saja dari masyarakat yang mengalami ke- ini merupakan dasar yang ambigu bagi tuntutan
hancuran pola kehidupan akibat dari pem- masyarakat adat dalam konteks Indonesia.
bangunan yang dipaksakan oleh pemerintah Identifikasi sebagai ‘indigenous people’
manapun yang tidak menghiraukan ke- memang memungkinkan LSM seperti YTM
sejahteraan dari ‘indigenous peoples’ d i menggolongkan To Lindu dan masyarakat adat
wilayahnya masing-masing. Perasaan bahwa lain sejenisnya sebagai pemilik ‘kearifan
program pembangunan Orde Baru—dan pem- tradisional’, istilah yang menyerap wacana
bangunisme yang memang menjadi dasar dari mengenai ‘indigenous peoples’ atau bangsa
kebijakan otoriter Orde Baru—merugikan pertama (first peoples ) di seluruh dunia
masyarakat adat pada khususnya merupakan (misalnya, Maybury-Lewis 1992; Anderson
tema yang diulangi selama KMAN, termasuk 1995; Henley 1995).22 Terbitan YTM (misalnya,
tuntutan ketujuh dari Komisi Ekonomis
KMAN.21 Lagi pula, LSM seperti YTM ber- 22
Saya menggunakan istilah bahasa Inggris ‘indigenous
maksud membangkitkan identifikasi yang lebih people’ di sini karena istilah itu yang dipakai oleh
karangan dalam surat kabar bahasa Inggris seperti
Karena saya menafsirkan kemenangan dalam kasus Jakarta Post untuk menerjemahkan istilah bahasa In-
ini lebih berdasarkan bimbingan LSM dalam usaha donesia ‘masyarakat adat’ dalam ulasan permberitaan
memaksa pemerintah mengakui kesalahan dalam mengenai KMAN. Istilah pribumi dalam bahasa Indo-
mengikuti prosedurnya sendiri (yakni, kelalaian nesia tidak sama dengan yang dimaksudkan istilah ‘in-
gubernur Sulteng meminta PLTA agar dimasukkan digenous people’, karena banyak orang kota bisa disebut
dalam Pelita pemerintah pusat terlebih dahulu) pribumi. Keturunan dari bangsa Austronesian tidak
daripada pengaruh langsung dari lembaga adat, saya dianggap ‘indigenous people’ oleh AMAN dan LSM
menganggap kasus ini sebagai faktor penyebab yang yang bersangkutan karena tidak hidup sebagai anggota
memperlancar revitalisasi adat, bukan sebagai akibat masyarakat adat lagi. Nama ‘orang asli’ tidak cocok
dari kebangkitan adat itu sendiri. juga, karena istilah itu digunakan di negeri Malaysia
21
Lihat daftar tuntutan Komisi Ekonomis KMAN di untuk masyarakat Austroasiatic di pedalaman
bagian pertama karangan ini. Semenanjung Malaya.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 71


Sangadji 1994, 1996; Sangaji 200023) meng- larangan jenis tanaman tertentu di suaka yang
utamakan pola pengelolaan ling-kungannya di maksudkan. Jawaban tertulis terhadap
sebagai satu segi dari ‘kearifan tradisional’ To rencana gubernur baru untuk membangkitkan
Lindu. Laudjeng (1994) menguraikan bagaimana kembali PLTA di Lindu, termasuk bendungan
To Lindu membagi tanah dataran Lindu menjadi yang tidak akan mempertinggi pemukaan air di
sejumlah bidang penggunaan tanah (suaka) danau, menggambarkan tana suaka yang mesti
yang berfungsi melestarikan wilayah. Menurut tetap dipelihara di bawah yurisdiksi lembaga
adat To Lindu, pendatang harus meminta izin adat kalau rencana itu terwujud.
dari lembaga adat sebagai penjaga tanah untuk Segi lain dari identifikasi sebagai ‘indig-
me-manfaatkan tanah dataran Lindu sesuai enous people’ harus lebih diragukan. Misalnya,
dengan tujuan yang ditentukan adat. Adat To Laudjeng (1994) menyebut ‘marga’ (clans) di
Lindu sekarang diperkenalkan sebagai sistem Lindu yang berkuasa atas hak mencari ikan di
pengelolaan sumber alam kemasyarakatan bagian danau tertentu. Tetapi, baik penelitian
(‘community resource management system’). saya di tahun delapanpuluhan, maupun tulisan
Ketentuan adat seperti ombo—larangan lebih awal yang menggambarkan struktur sosial
menggunakan sumberdaya alam, baik lahan daerah ini (misalnya, Kaudern 1925-1944; Kruyt
maupun air danau di daerah tertentu, selama 1938; Davis [tanpa tanggal]) tidak menunjukkan
periode waktu tertentu berdasarkan derajat sta- sama sekali adanya sistem marga seperti
tus sosial dari seorang bangsawan (maradika) terdapat di masyarakat Batak di Sumatera Utara,
yang baru meninggal—dianggap sebagai atau di banyak suku bangsa yang berada di
lembaga yang berfungsi memelihara harmoni NTT. Begitu pula, adanya sistem marga di daerah
ekosistem (Laudjeng 1994:160). Keterangan ini harus dicurigai, karena kesatuan seperti
dari ketentuan adat To Lindu seperti ini sama marga tidak berfungsi di masyarakat-
dengan pernyataan sifat keberlanjutan (sus- masyarakat bagian tengah Indonesia yang pada
tainability) tradisi penggunaan sumberdaya umumnya mempunyai sistem istilah kekerabatan
alam dari ‘indigenous peoples’ di seluruh dunia bilateral.24 Penelitian saya di tahun 2000 tidak
(Colchester 1995). Sistem pengelolaan sumber- menemukan timbulnya sistem marga baru.
daya alam kemasyarakatan di daerah lain di In- Semua informan menyangkal adanya kelompok
donesia juga dipuji sebagai contoh keber- kekerabatan seperti marga di daerah Batak, atau
hasilan sistem melestarikan lingkungan lokal, yang mirip kesatuan kekerabatan korporat (‘cor-
misalnya sistem sasi di Maluku (Kissya 1993; porate descent group’) di wilayah adat lain di
Pannell 1997; Zerner 1992). Totua dan informan Indonesia. Tidak ada sistem kesatuan ke-
lain yang saya wawancarai di Lindu memuji 24
Errington menyatakan daerah kebudayaan Indone-
manfaat dan kebaikan sistem suaka. Mereka sia ini sebagai centrist archipelago (Errington 1989:
menghubungkan pengikisan tanah di bukit 207-215, 1990:54-55). Walaupun dia terlalu banyak
sekitar dataran Lindu dan keadaan semakin mengutamakan perbedaan dan batasan antara centrist
archipelago dan exchange archipelago (atau Eastern
dangkalnya Danau Lindu dan sungai yang Indonesia di versi pertama [Errington 1989:207-
mengalir ke dalamnya, dengan kelalaian 208])(misalnya, pace Errington, orientasi kepada
pendatang dari Kulawi dan Sulawesi Selatan pusat sekuat di exchange archipelago dengan di cen-
trist archipelago), dia menggambarkan dengan tepat
menaati aturan suaka dataran, termasuk sistem istilah kekerabatan cognatic yang umum di cen-
trist archipelago , termasuk Sulawesi. Seperti
23
Sangadji dan Sangaji merupakan ejaan yang berbeda diterangkan oleh Errington, di wilayah centrist archi-
untuk nama yang sama, yaitu nama dari ketua YTM. pelago tidak terdapat marga.

72 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


kerabatan bilateral (misalnya, ‘ambilateral sebagainya. Tetapi, identifikasi diri sebagai
ramage’ yang ada di wilayah Polynesia 25) yang masyarakat adat tidak gampang diterjemahkan
bangkit akhir-akhir ini sebagai strategi baru sebagai ‘identity as an indigenous people’.
untuk menuntut hak sebagai badan hukum atas Seperti sudah ditunjukkan, Kongres
sumberdaya alam (termasuk tanah) di dataran Masyarakat Adat Nusantara (KMAN), yang
Lindu, seperti ‘ciptaan tradisi’ atau pembuatan dihadiri utusan dari Lindu juga, menampakkan
‘custom’ yang terjadi di Oceania dan daerah aneka ragam aspirasi dan tuntutan dari
lain (Hobsbawm dan Ranger 1983; Keesing dan pengikutnya, termasuk permintaan moderat
Tonkinson 1982; Jolly dan Thomas 1992; untuk lebih banyak memperoleh otonomi
Lindstrom dan White 1993). Pada saat daerah, terutama kuasa penduduk lokal atas
penelitian saya di dataran Lindu tahun tanah ulayat dan sumberdaya alam, tuntutan
delapanpuluhan, To Lindu tidak mengutamakan utusan perempuan untuk dibebaskan dari
suaka dan hak di atasnya; dan membolehkan serangan dan perkosaan pasukan TNI yang
pendatang baru—walaupun sering dengan ditempatkan di daerahnya, dan—dari beberapa
enggan dan kadang-kadang di bawah paksaan kelompok —untuk kemerdekaan. Surat kabar
pemerintah26—bermukim di dataran Lindu, dalam bahasa Inggeris seperti Jakarta Post
membuka sawah di lahannya, dan meng- nampaknya ragu-ragu mengenai istilah yang
gunakan sumber daya alam lokalnya. tepat dalam bahasa Inggris untuk me-
Keberhasilan To Lindu mempertahankan nerjemahkan nama ‘masyarakat adat’ yang
tanahnya terhadap serangan pembangunan digunakan utusan KMAN; istilah seperti
dalam bentuk PLTA, yang hampir memaksa ‘tribal communities’, ‘ethnic minorities’, ‘cus-
mereka pindah dari tanah airnya,27 sebagian tomary societies’, dan ‘indigenous peoples’
karena kerjasama dengan LSM dari Palu dan (misalnya, Jakarta Post, 16 Maret dan 22 Maret
tempat lain di luar Sulawesi Tengah. Sukses itu 1999) dignunakan secara bergantian. Istilah
berdasarkan pula pada pernyataan To Lindu Inggeris seperti itu, khususnya yang memakai
sendiri bahwa adatnya merupakan dasar yang istilah ‘tribal’ atau menunjukkan status
kuat untuk melestarikan lingkungannya dan minoritas, merupakan dilema bagi masyarakat
untuk menghadapi orang lain, termasuk seperti Jawa yang diwakili di KMAN. Walaupun
pendatang di dataran Lindu, tetangga dari utusan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dipilih
dataran lain di pegunungan di sekitarnya untuk dewan pimpinan Aliansi Masyarakat
(misalnya, dari Kulawi dan Palolo), dan Adat Nusantara (AMAN), wilayah Jawa dan
utusannya hampir tidak pernah disebut di
25
Adanya sistem ambilateral ramage di masyarakat terbitan dari konferensi yang sempat saya lihat,
tongkonan Tana Toraja, Sulawesi Selatan, masih
menjadi titik pertentangan. atau dalam ulasan pemberitaan pers mengenai
26
Misalnya, To Lindu sekarang mengeluh secara KMAN. Sungguhpun tidak dilarang meng-
terbuka bahwa mulai kira-kira empatpuluh tahun yang hadiri kegiatan KMAN sebagai masyarakat
lalu mereka sudah harus menerima transmigran lokal
yang datang dari daerah lain di Kulawi atas perintah
adat, namun masyarakat di ‘Indonesia dalam’,28
camat yang memberikan petunjuk kepada ‘orang terutama utusan dari Jawa, Bali dan Madura
gunung’ dari Pipikoro, dan daerah lain di kecamatan nampak sebagai wakil yang lebih cenderung
Kulai untuk pindah ke Lindu sebagai pelaksanaan
proyek resetelmen di bawah bimbingan pemerintah.
28
27
Air dalam konteks ini tidak berarti lautan sekitar Istilah inner Indonesia yang saya terjemahkan sebagai
pulau-pulau Indonesia tetapi Danau Lindu yang ada di ‘Indonesia dalam’ diambil dari Geertz (1963). Begitu
tengah tanah dataran Lindu. juga istilah ‘outer Indonesia’ (‘Indonesia luar’).

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 73


membisu dibandingkan dengan relungan pemerintahan yang disentralisasikan;
retoris yang diberikan kepada utusan ma- mereka mengatur kehidupan sosial di
syarakat adat dari ‘Indonesia luar’, khususnya tingkat masyarakat lokal, dan me-
dari daerah perbatasan Indonesia (misalnya, netapkan keputusan secara mufakat
Aceh, Papua, Kalimantan, dll.).29 Gejala seperti (persetujuan bersama).
itu menimbulkan pertanyaan: masyarakat mana • Mereka mempunyai ciri-ciri minoritas
yang bisa menyatakan hak atas status ‘indig- nasional: mereka mempunyai bahasa,
enous’ di Nusantara?30 agama dan kebudayaan bersama, ciri-ciri
Dalam karangan ‘Being Indigenous in identifikasi diri dan hubungan dengan
Eastern Indonesia’, R.H. Barnes (1995) wilayah tertentu, tetapi ditaklukkan oleh
mencoba menilai apakah beberapa kumpulan kebudayaan dan masyarakat yang
kriteria untuk identifikasi ‘indigenous people’ berkuasa.
cocok digunakan di Indonesia untuk me- • Mereka mempunyai pandangan hidup
netapkan siapa yang termasuk kategori ini. Dia (Weltanschauung) yang bersikap me-
cenderung memilih standar untuk definisi ‘in- melihara dan nonmaterialistis terhadap
digenous people’ yang dinyatakan oleh Burger tanah dan sumberdaya alam, dan mereka
(1987): ingin menempuh cara pembangunan
• Mereka menjadi keturunan dari pen- yang berbeda dari apa yang diajukan oleh
duduk pertama di wilayah yang di- masyarakat yang berkuasa.
taklukkan oleh orang lain. • Mereka terdiri dari individu yang me-
• Mereka menjadi masyarakat yang me- nganggap diri sebagai ‘indigenous’ dan
ngembara atau selama sebagian tahun diterima oleh masyarakat mereka sendiri
mengembara dalam kegiatan seperti sebagai ‘indigenous’ (Barnes 1995:311,
bercocok tanam, menggembalakan he- mengutip Burger 1987:9).
wan, berburu dan mengumpulkan hasil Setelah menelaah ciri etnografis beberapa
tanah dan mempraktikkan bentuk per- masyarakat di Indonesia bagian timur, 31 Barnes
tanian yang memerlukan tenaga kerja mengambil kesimpulan bahwa ‘tidak ada dari
intensif, menghasilkan keuntungan yang keenam kriteria Burger yang cocok dengan
sangat sedikit, dan memerlukan sumber masyarakat-masyarakat Indonesia bagian
tenaga rendah [yaitu, tenaga manusia timur’ (Barnes 1995:322)32
dan hewan, bukan tenaga listrik, uap Bila dinilai dengan kriteria ini, masyarakat
atau sumber tenaga tinggi yang lain]. To Lindu di Sulawesi Tengah tidak mem-
• Mereka tidak mempunyai lembaga perlihatkan sifat-sifat ‘indigenous people’.
Kebanyakan mitos mengenai asal-usulnya tidak
29
Masyarakat daerah kantong (enclave) di Jawa seperti menyatakan bahwa asal mereka dari dataran
masyarakat adat Kanekes merupakan kekecualian dari
kelaziman itu. Masyarakat adat Kanekes dulu dikenal
31
sebagai masyarakat Badui, tapi anggotanya sekarang Dia mengidentifasikan Indonesia bagian timur dengan
menolak istilah Badui karena konotasi kurangannya Nusa Tenggara Timur dan Maluku, dan menganggap
kebudayaan dan agama dari istilah itu (KMAN 1999b). Timor Timur (yang pada waktu itu [1995] masih
30
Utusan masyarakat KMAN lebih suka istilah merupakan sebagian dari Indonesia) sebagai kasus
Nusantara daripada istilah Indonesia karena mereka istimewa yang tidak dimasukkan dalam contoh.
32
mau mendasarkan tuntutannya atas gagasan bangsa Dalam bahasa Inggris Barnes, ‘...none of Burger’s
tanah airnya yang belum dicemarkan oleh pemerintah six features fit[s] the peoples of eastern Indonesia very
yang menyatakan hak atas ‘tanah negara’. well.’

74 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


Lindu, tetapi menggambarkan kedatangan ke pemerintah untuk menggunakan beras kamba
dataran Lindu dari tempat lain (kecuali satu versi dari Lindu sebagai bagian dari tunjangan
yang menyebut satu stratum penduduk Anca, pegawai pemerintah di Palu.
satu dari ketujuh kampung asli To Lindu di Struktur sosial tradisional To Lindu me-
dataran Lindu, sebagai orang asli Lindu, nunjukkan perbedaan status yang cukup
walaupun leluhurnya diceritakan sebagai menonjol di antara lapisan masyarakat.
dewata dengan kekuatan yang melebihi Bangsawan atau maradika masih merupakan
kesanggupan manusia biasa). Umumnya versi pihak pertama yang disapa pada awal pidato,
kedatangan To Lindu ke dataran Lindu baik di pertemuan adat maupun kebaktian
mencalonkan kerajaan Sigi di Lembah Palu gereja, sedangkan keturunan budak (batua)
sebagai tempat asalnya, tetapi Kaudern (1925:9) tidak dianggap sebagai calon ideal untuk
menolak versi migrasi ini. Semua masyarakat perkawinan. To Lindu tidak mengaku pernah
yang menghuni pegunungan sekitar Lembah ditaklukkan oleh Belanda, tetapi mengeluhkan
Palu menghubungkan diri dengan Sigi, karena bahwa pada masa kini mereka tergantung pada
kerajaan itu dulu yang paling kuat di daerah tengkulak pendatang dari Sulawesi Selatan.
Kaili di Sulawesi Tengah. Menurut Kaudern, Kadang-kadang mereka menggambarkan
kemungkinan besar To Lindu berasal dari sekitar kekurangan fasilitas seperti jalan mobil ke Lindu
dataran Napu sebelah timur Lindu di daerah sebagai gejala penjajahan. Mereka menggerutu
yang sekarang merupakan kecamatan Lore tentang peraturan pemerintah yang berat,
Utara. Migrasi dari arah timur itu mungkin baru termasuk peraturan Taman Nasional Lore Lindu
terjadi pada abad ketujuhbelas. yang membatasi pembukaan kebun kopi dan
Jauh sebelum penaklukan daerah pe- coklat, tetapi mereka memandang yurisdiksi
gunungan Kulawi dan Lindu oleh Belanda— adat mereka sebagai sejajar dengan lembaga
sesudah permulaan Kebijakan Etis pemerintah nasional, seperti sistem pengadilan.Tidak dapat
penjajahan pada dasawarsa pertama abad disangkal bahwa adatnya memang mengalami
keduapuluh—To Lindu tidak tergantung pada revitalisasi di zaman Reformasi ini akibat dari
sistem bercocok tanam saja, tetapi sudah pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Semua
mempraktikkan sistem pertanian sawah. Utusan ini membuktikan bahwa To Lindu tidak me-
injil Adriani dan Kruyt, orang Barat pertama menuhi keenam kriteria ‘indigenous people’
yang menginjak dataran Lindu, telah mengamati yang dikemukakan oleh Burger dan yang
adanya sawah dengan irigasi sederhana pada disepakati oleh Barnes. Jadi, tuntutan To Lindu
tahun 1897 (Adriani dan Kruyt 1898). Walau- bahwa hak adatnya harus didahulukan di
pun To Lindu memuji kebaikan sistem suaka wilayah dataran Lindu, yang sejak tahun
mereka untuk pengelolaan dan pelestarian limapuluhan mulai berkembang sebagai wilayah
lingkungannya, mereka menunjukkan juga beranekaragam suku bangsa, harus ber-
sikap cukup materialistis (seperti hampir semua dasarkan alasan lain, bukan status sebagai ‘in-
manusia!) terhadap usaha menghasilkan kopi, digenous people’.
coklat, dan beras untuk harga pasaran yang Terjemahan masyarakat adat dalam bahasa
paling tinggi. Beras kamba, varietas asli yang Inggeris sebagai ‘indigenous people’ memang
hanya ditanam di dataran Lindu, masih men- menimbulkan beberapa persoalan untuk
capai harga yang tinggi di pasar-pasar di Palu. gerakan masyarakat adat seluruhnya. Ke-
Pada tahun 2000 To Lindu membicarakan dengan berhasilan KMAN dan pembentukan AMAN
harapan yang tinggi rencana yang diusulkan sebagai akibatnya menunjukkan bagaimana

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 75


aspirasi, permintaan dan tuntutan pelbagai Sulawesi Tengah bagian timur, sudah lama
masyarakat adat yang terpencar-pencar di mencoba menunjukkan bahwa sistem ke-
seluruh Nusantara sekarang mulai digabungkan percayaannya sejajar dengan agama yang
dalam lembaga atau aliansi yang menyatakan sudah diakui pemerintah, misalnya Islam dan
adicita yang sumbernya saling berkaitan (dan Kristen, supaya bisa diakui juga secara resmi
gagasan dasar dari gerakan itu berasal dari (Atkinson 1987).
ideologi LSM di samping pandangan adat Dalam beberapa segi revitalisasi adat
pengikutnya). Aliansi ini boleh dianggap memperingatkan kta kepada gagasan Aliran
semacam gerakan perpaduan politik yang Leiden pada waktu penjajahan Belanda me-
mengalami proses rasionalisasi(Weber ngenai hukum adat (Adatrecht [D]), suatu
1948:327-328; Gerth dan Mills 1948:51-52). perspektif yang disusun oleh Cornelis van
‘Newsletter’ yang diterbitkan sehari-hari Vollenhoven dan pengikutnya (misalnya,
selama KMAN, yang berjudul Gaung KMAN, Vollenhoven 1918; Haar 1948). Orientasi sejenis
menunjukkan dan meng-umumkan ke- sekarang ini nampak tidak hanya dalam usaha
cenderungan rasionalisasi ini dalam terbitan membangkitkan kembali wilayah adat tertentu
pertama dengan menyatakan cara bagaimana seperti adatrechtskringen [D] yang dulu
perkumpulan utusan masyarakat adat itu sudah digambarkan oleh van Vollenhoven dan
berkembang selama tiga tahun dalam proses gagasan lain dalam aliran itu, tetapi juga
merencanakan dan mengorganisasikan KMAN keinginan gerakan masyarakat adat dalam
‘dari sekedar forum ke gerakan terorganisir’ konteks masa kini untuk mempertahankan dan
(KMAN 1999d:1). Rasionalisasi semacam itu memelihara adat dalam konteks sistem hukum
menunjukkan bahwa mereka harus pula me- nasional yang meliputi seluruh Indonesia.
lakukan permainan politik menurut peraturan Usaha itu mengingatkan kita pada usaha
yang ditentukan oleh pemerintah. Dulu gerakan Vollenhoven dan aliran Leiden untuk menjamin
agama yang mencari pengakuan dari pemerintah terlindunginya lingkungan operasi adat
harus me-laksanakan proses rasionalisasi juga terhadap sistem hukum penjajahan pada saat
untuk mencapai tujuannya. Contoh yang mereka bertengkar dengan wakil dari aliran
menonjol termasuk aliran pembaharuan Islam Utrecht yang menganjurkan sistem hukum
yang harus menjalani proses rasionalisasi yang tunggal untuk semua penduduk Hindia-
(termasuk santrinisasi) melalui organisasi Belanda (Burns 1989:49).33
seperti Muhammadiyah (Peacock 1978), dan Namun, hukum adat mesti beroperasi dalam
agama Hindu yang baru diakui oleh pemerintah konteks masa kini yang agak berbeda dari zaman
pada tahun enampuluhan sesudah proses ra- van Vollenhoven. Indonesia yang kontemporer
sionalisasi diadakan oleh organisasi Parisada tidak bisa secara mudah dibagi dalam wilayah
Hindu Dharma. Proses itu disebut ‘konversi
dalam’ oleh Geertz (1993 [1973]) dan meliputi 33
Ironis bahwa banyak posisi dan kebijaksanaan politik
proses mengubah aneka ragam kepercayaan yang dikemukakan waktu Orde Baru menggemakan
dan upacara lokal menjadi sistem agama sikap penjajahan. Sebelum tahun 1990–an—
pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indo-
monotheis yang tunggal dan terpadu, dan yang nesia (ICMI) pada tahun 1990 (Hefner 1993)
punya hirarki kuil dan petugas tertentu. Proses merupakan titik yang melambangkan sikap baru
rasionalisasi ini memang bukan aksi baru untuk pemerintah terhadap Islam—kebijaksanaan Orde Baru
terhadap Islam, khususnya usaha membantu per-
masyarakat adat, karena banyak masyarakat kembangan Islam sebagai agama religious Islam ), tapi
adat, seperti misalnya masyarakat Wana di melumpuhkan Islam yang bergerak di bidang politik

76 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


hukum adat (Adatrechtskringen) yang mem- memiliki asal-usul leluhur (secara turun-
punyai batasan jelas. Akibat dari migrasi, baik temurun) di wilayah geografis tertentu...’)
yang spontan maupun yang disponsori oleh akibat dari tindakan pemerintah, namun masih
pemerintah, termasuk program transmigrasi menganggap diri sebagai masyarakat adat.
nasional dan resetelmen (transmigrasi lokal) Dalam keadaan mobilitas dan aneka ragam suku
yang diadakan di tingkat kabupaten oleh bangsa di setiap wilayah, identitas masyarakat
Depsos (Haba 1998), (hampir?) tidak ada adat dengan ‘indigenous people’ harus
wilayah yang hanya mengandung satu suku disangsikan. Di samping itu usaha memperoleh
bangsa saja (yaitu, yang monoetnis), termasuk pengakuan dari pemerintah yang sudah mulai
juga daerah yang relatif terpencil seperti dataran diberikan dengan kebijakan otonomi daerah,
Lindu. Pendatang baru di banyak wilayah, bagaimana pertentangan sistem-sistem adat
khususnya yang didatangkan dalam program dalam wilayah yang dihuni banyak suku bangsa
resetelmen, merupakan kelompok yang juga itu bisa dituntaskan, merupakan tantangan
mengidentifikasikan diri sebagai masyarakat besar yang dihadapi gerakan revitalisasi adat.
adat. Pendatang ini tidak bermukim lagi di tanah Ini merupakan soal rumit yang belum dihadapi
leluhurnya, satu ciri yang dimasukkan dalam oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan
definisi masyarakat adat yang dinyatakan organisasi sejenisnya
dalam KMAn (‘kelompok masyarakat yang

Pernyataan terima kasih


Saya ingin mencucapkan terima kasih pada semua orang yang membantu saya dalam usaha menulis,
memperbaiki dan menerjemahkan karangan ini. Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih atas
bantuan dari LIPI yang memberikan izin penelitian untuk mengumpulkan bahan ini, terutama kepada
Johannes Haba yang menolong saya dalam segala urusan, dan menerima saya sebagai tamu di rumahnya.
Prof. Dharmawan Mas’ud Rahman dari Universitas Negeri Makassar menjadi sponsor yang luar biasa
cerdas dan ramah-tamah. Semua penduduk di Lindu, baik teman To Lindu maupun teman dari Sulawesi
Selatan, Pipikoro, Kulawi, lembah Palu, dan tempat lain, telah sering sekali menerima saya dengan kesabaran
dan murah hati. Versi lisan karangan ini sudah saya sajikan (dalam bahasa Inggeris) di konperensi Asian
Studies Association of Australia, yang berjudul ‘Whose Milennium? ’, 3-5 Juli 2000, dan dalam bahasa
Indonesia di konperensi ‘Mengawali Abad ke-21: Menyongsong Otonomi Daerah, Mengenali Budaya
Lokal, Membangun Integrasi Bangsa’, yang diselenggarakan oleh dewan redaksi jurnalAntropologi Indone-
sia dan Jurusan Antropologi, Universitas Hasanuddin, dan dilaksanakan di kampus UNHAS, 1-4 Agustus
2000. Saya menghargai kesempatan yang diberikan kepada saya oleh Yunita Winarto dan teman-teman tim
redaksi Antropologi Indonesia (terutama yang menayangkan gambar di layar komputer yang sangat menarik
di ruangannya di Depok), untuk mempresentasikan tulisan ini di konperensi yang disponsori dan menerbitkan
tulisan ini di jurnalnya. Untuk komentar untuk tulisan ini saya ingin mengucapkan terima kasih pada James
J. Fox, Minako Sakai, Carol Warren, John McCarthy, Lorraine Aragon, dan semuaanggota panel tempat
saya menyajikan versi bahasa Inggris dari tulisan ini.
(political Islam )—memperingatkan kebijakan
penjajahan Belanda terhadap Islam, terutama yang kebijakan pemerintah dalam zaman Reformasi ini,
dianjurkan Snouck Hurgronje (Benda 1972), penjahat khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah,
utama sistem penjajahan dalam pandangan banyak membawa sisa-sisa dari tradisi hukum penjajahan yang
cendiakawan Islam di Indonesia. Demikian pula, dipromosikan oleh van Vollenhoven.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 77


Kepustakaan:
Acciaioli, G.
1985 ‘Culture as Art: From Practice to Spectacle in Indonesia’. Canberra Anthropology (Terbitan
khusus: Minorities and the State , Douglas Miles dan Chris Eipper [peny.]) 8(1&2):148-174.
1989 Searching for Good Fortune: The Making of a Bugis Shore Community at Lake Lindu,
Central Sulawesi . Tesis PhD. tidak diterbitkan. Canberra: The Australian National Univer-
sity.
1997 ‘What’s in a Name? Appropriating Idioms in the South Sulawesi Rice Intensification
Program’, dalam J. Schiller dan B. Martin-Schiller (peny.) Imagining Indonesia: Cultural
Politics and Political Culture (Monographs in International Studies, Southeast Asian Series,
No. 97). Athens OH: Ohio University Center for International Studies. Hlm. 288-320.
1999 ‘Principles and Strategies of Bugis Migration: Some Contextual Factors Relating to Ethnic
Conflict’, Masyarakat Indonesia 15(2):239-268.
2000 ‘Kinship and Debt: The Social Organization of Bugis Migration and Fish Marketing at Lake
Lindu, Central Sulawesi’, Bijdragen tot de Taal-, Land en Volkenkunde 156(3):588-617.
Dicetak kembali dalam R. Tol, Kees van Dijk dan G. Acciaioli (peny.) Authority and Enter-
prise among the Peoples of South Sulawesi (Verhandelingen 188). Leiden: KITLV [Koninklijk
Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde] Press. Hlm. 210-239.
Aditjondro, G.J.
1998 ‘Large Dam Victims and their Defenders: The Emergence of an Anti-dam Movement in
Indonesia’, dalam P. Hirsch dan C. Warren (peny.) The Politics of Environment in Southeast
Asia: Resources and Resistance. London dan New York: Routledge. Hlm. 29-54.
Adriani, N. dan A.C. Kruyt.
1898 ‘Van Posso naar Parigi, Sigi en Lindoe’,Mededeelingen van wege het Nederlandsch
Zendelinggenootschap (Tijdschrift voor Zendingswetenschap) 42(2): 369-535.
Anderson, D.M.
1995 Maasai: People of Cattle (Tribal Wisdom). San Francisco: Chronicle Books.
Aragon, L.
1991/92’Revised Rituals in Central Sulawesi: The Maintenance of Traditional Cosmological Concepts
in the Face of Allegiance to World Religion’, Anthropological Forum 6(3): 371-384.
Aragon, L.
1996 ‘Suppressed and Revised Performances: Raego’ Songs of Central Sulawesi’,
Ethnomusicology 40(3):413-439.
2000 Fields of the Lord: Animism, Christian Minorities, and State Development in Indonesia.
Honolulu: University of Hawai‘i Press.
Atkinson, J.
1987 ‘Religions in Dialogue: The Construction of an Indonesian Minority Religion’, dalam R.S.
Kipp dan S. Rodgers (peny.) Indonesian Religions in Transition . Tucson: University of
Arizona Press. Hlm. 171-186. (Versi direvisi dari ‘Religions in Dialogue: The Construction of
an Indonesian Minority Religion’, American Ethnologist 10(4) [1983]:684-696.)

78 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


Barnes, R.H.
1995 ‘Being Indigenous in Eastern Indonesia’, dalam R.H. Barnes, A. Gray, dan B. Kingsbury
(peny.) Indigenous Peoples of Asia (Monograph and Occasional Paper Series, no. 48). Ann
Arbor: The Association for Asian Studies. Hlm. 307-322.
Benda, H.
1972 ‘Christian Snouck Hurgronje and the Foundations of Dutch Islamic Policy in Indonesia’,
dalam Continuity and Change in Southeast Asia: Collected Journal Articles of Harry J. Benda
(Monograph Series no. 18). New Haven: Yale University Southeast Asia Studies. Hlm. 83-
92. (Diterbitkan pertama kali di The Journal of Modern History 30 [1958]:338-4 dan
diterbitkan ulang di A. Ibrahim dkk. (peny.) Readings on Islam in Southeast Asia . Singapore:
ISEAS. Hlm. 61-69).
Blower, J.H., J. Wind., dan H. Amir.
1977 Proposed Lore Kalamanta National Park Management Plan 1978/79-1980/81. Laporan
disiapkan oleh Nature Conservation and Wildlife Management Project, Food and Agriculture
Organization, United Nations, untuk Direktorat Pelestarian Alam, Direktorat Jenderal
Kehutanan, Republik Indonesia.
Bourdieu, P.
1980 The Logic of Practice . Diterjemahkan R. Nice. Stanford: Stanford University Press.
Burger, J.
1987 Report from the Frontier: The State of the World’s Indigenous Peoples. London: Zed.
Burns, P.
1989 ‘The Myth of Adat’, Journal of Legal Pluralism 28:1-127.
Clay, J.W.
1985 ‘Parks and People’, Cultural Survival Quarterly 9(1):2-5.
Colchester, M.
1995 ‘Indigenous Peoples Rights and Sustainable Resource Use in South and Southeast Asia’,
dalam R.H. Barnes, A. Gray, dan B. Kingsbury (peny.) Indigenous Peoples of Asia (Mono-
graph and Occasional Paper Series, no. 48). Ann Arbor: The Association for Asian Studies.
Hlm. 59-76.
Davis, G.
(tanpa tanggal) The People and Legends of Lake Lindu, Central Sulawesi, Indonesia. Laporan (tidak
diterbitkan) yang disiapkan untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tingkat
Propinsi, Palu.
Eilers, H.
1985 ‘Protected Areas and Indigenous Peoples’,Cultural Survival Quarterly (Terbitan khusus:
Parks and People ) 9(1):6-9.
Errington, S.
1989 Meaning and Power in a Southeast Asian Realm . Princeton NJ: Princeton University Press.
1990 ‘Recasting Sex, Gender and Power: A Theoretical and Regional Overview’, dalam J. Monnig
Atkinson dan S. Errington, (peny.) Power and Difference: Gender in Island Southeast Asia.
Stanford: Stanford University Press. Hlm. 1-58.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 79


Formasi
1999 ‘Menggagas Kembali PLTA Danau Lindu’, Formasi, Desember.
Foulcher, K.
1990 ‘The Construction of Indonesian National Culture: Patterns of Hegemony and Resistance’,
dalam A. Budiman (peny.) State and Civil Society in Indonesia . Clayton, Vic: Centre of
Southeast Asian Studies, Monash University. Hlm. 301-320.
Geertz, C.
1963 Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia. Berkeley: Univer-
sity of California Press.
1993 ‘Internal Conversion in Contemporary Bali’, dalam C. Geertz The Interpretation of Cultures .
London: Fontana Press. Hlm.170-189. (Edisi pertama diterbitkan oleh Basic Books, New
York, 1973).
Gerth, H. H. dan C.W. Mills
1948 ‘Introduction: The Man and His Work’, dalam H.H. Gerth dan C.W. Mills(peny. dan
penerjemah) From Max Weber: Essays in Sociology. London: Routledge & Kegan Paul. Hlm.
3-74.
Gesuri, A.T., E. Suprapto, dan B. Marsudi
1999 ‘ Kembalikan Tanah Kami: Masyarakat adat meminta kekuasaan tanah ulayat’, Kontan 19
Maret:30.
Graham, P.
1994 ‘Rhetorics of Consensus, Politics of Diversity: Church, State and Local Identity in Eastern
Indonesia’, Social Analysis (Terbitan khusus:Official Rhetoric, Popular Response: Dialogue
and Resistance in Indonesia and the Philippines , J. Nourse dan G. Acciaioli [peny.]) 35:122-
143.
Haar, B.
1948 Adat Law in Indonesia . Diterjemahkan E.A. Hoebel & A.A Schiller. New York: Institute of
Pacific Relations.
Haba, J.
1998 Resettlement and Sociocultural Change among the ‘Isolated Peoples’ in Central-Sulawesi,
Indonesia’ A Study of Three Resettlement Sites . Tesis PhD. tidak diterbitkan. The University
of Western Australia.
Hatley, B.
1990. ‘Theatre as Cultural Resistance in Contemporary Indonesia’, dalam A. Budiman (peny.) State
and Civil Society in Indonesia . Clayton, Vic: Centre of Southeast Asian Studies, Monash
University. Hlm. 321-347.
Hefner, R.
1993 ‘Islam, State, and Civil Society: ICMI and the Struggle for the Indonesian Middle Class’,
Indonesia 56:1-35.
Henley, P.
1995 Yanomami: Masters of the Spirit World (Tribal Wisdom). San Francisco: Chronicle Books.

80 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


Hobsbawm, E. dan T. Ranger (peny.)
1983 The Invention of Tradition. Cambridge: Cambridge University Press.
IUCN
1982 IUCN Directory of Neotropical Protected Areas (IUCN Commission on National Parks and
Protected Areas). Dublin: Tycooly International (untuk IUCN).
Jakarta Post
1999a ‘Community Chiefs Seek Stronger Bargaining Stand’, Jakarta Post , 16 Maret.
1999b ‘Indigenous peoples take united stand’, Jakarta Post 22 Maret.
Jolly, M. dan N. Thomas (peny.)
1992 ‘The Politics of Tradition in the Pacific ’, Oceania (Terbitan Khusus) 62(4) [Juni].
Kaudern, W
1925 Migrations of the Toradja in Central-Celebes (Ethnographical Studies in Celebes: Results of
the Author’s Expedition to Celebes 1917-1920 , Jilid 2). Göteborg: Elanders Boktryckeri
Aktiebolag.
1925-44 Ethnographical Studies in Celebes: Results of the Author’s Expedition to Celebes 1917-1920.6
jilid. Göteborg: Elanders Boktryckeri Aktiebolag.
Keesing, R. dan R. Tonkinson (peny.)
1982 ‘Reinventing Traditional Culture: The Politics of Kastom in Island Melanesia’, Mankind
(Terbitan khusus) 13(4) [Agustus].
Kissya, E.
1993 Sasi Aman Haru-ukui: Tradisi Kelola Sumberdaya Alam Lestari di Haruku (Seri Pustaka
Khasanah Budaya Lokal #2). Jakarta: Yayasan Sejati.
KMAN [Kongres Masyarakat Adat Nusantara]
1999a FACT SHEET (I).
1999b FAKTA KMAN [Press Release] (I).
1999c ‘12 Tuntutan Ekonomi Masyarakat Adat’, Pelita Bangsa’, 19 Maret.
1999d [Pengantar yang tidak berjudul] Gaung KMAN 1(16 Maret):1-2.
1999e ‘Selamat Jalan Masyarakat Adat, Selamat Berjuang’, Gaung KMAN 7(22 Maret):1-2.
Kruyt, A.C.
1938 De West-Toradjas op Midden-Celebes (Verhandelingen der Koninklijke Nederlandsche
Akademie van Wetenschappen te Amsterdam, Afdeeling Letterkunde, Nieuwe Reeks 40). 4
jilid. Amsterdam: De N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers-Maatschappij.
Laudjeng, H.
1994 ‘Kearifan Tradisional Masyarakat Adat Lindu’, dalam A. Sangadji (peny.) Bendungan Rakyat
dan Lingkungan: Catatan Kritis Rencana Pembangunan PLTA Lore Lindu. Jakarta: Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Hlm. 150-163.
Li, T.
2000 ‘Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and the Tribal Slot’,
Comparative Studies in Society and History 42(1):149-179.
Lindstrom, L. dan G.M. White (peny.)
1993 Custom Today: Anthropological Forum (Terbitan khusus) 6(4).

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 81


Maybury-Lewis, D.
1992 Millennium: Tribal Wisdom and the Modern World. New York: Viking.
Morley, D. dan K-H Chen. (peny.)
1996 Stuart Hall: Critical Dialogues in Cultural Studies (Comedia). London: Routledge.
Pannell, S.
1997 ‘Managing the Discourse of Resource Management: The Case of Sasi from Southeast
Maluku, Indonesia’, Oceania 67(4):289-308.
Peacock, J.L.
1978 Purifying the Faith: The Muhammadijah Movement in Indonesian Islam(The Kiste and Ogan
Social Change Series in Anthropology). Menlo Park CA: The Benjamin/Cummings Publishing
Company.
Saad, Z.
1994 ‘Menghargai Hak Rakyat: Konstalasi Makro Pembangunan PLTA di Taman Nasional Lore
Lindu’, dalam A. Sangadji (peny.)Bendungan Rakyat dan Lingkungan: Catatan Kritis
Rencana Pembangunan PLTA Lore Lindu. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI). Hlm. 5-24.
Sakai, M.
(in press) ‘Strengthening Community Rights: The Birth of Aliansi Masyarakat Adat Nusantara and
Regional Responses’, dalam M. Sakai (peny.) Beyond Java . Adelaide: Crawford House.
Sangadji, A.
1996 Menyorot PLTA Lore Lindu. Palu: Yayasan Tanah Merdeka.
Sangadji, A. (peny.)
1994 Bendungan Rakyat dan Lingkungan: Catatan Kritis Rencana Pembangunan PLTA Lore
Lindu. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Sangaji [=Sangadji], A.
2000 PLTA Lore Lindu: Orang Lindu Menolak Pindah. Yogyakarta: Yayasan Tanah Merdeka,
Edisi Walhi Sulawesi Tengah, dan Pustaka Pelajar.
Schweithelm J., N. Wirawan, J. Elliot dan A. Khan
1992 Sulawesi Parks Program Land Use and Socio-Economic Survey: Lore Lindu National Park and
Morowali Nature Reserve. Laporan yang disiapkan untuk Direktorat Jenderal Perlindungan
Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA), Kementerian Kehutanan, Republik Indonesia, dan The
Nature Conservancy (TNC).
Spyer, P.
1996 ‘Diversity with a Difference: Adat and the New Order in Aru (Eastern Indonesia)’. Cultural
Anthropology 11(1):25-50.
Vollenhoven, C.V
1918 Het Adatrecht van Nederlandsch-Indië. Leiden: E. J. Brill.
WALHI
(tanpa tanggal) Kumpulan Berita dan Opini tentang Rencana Pembangunan PLTA Lindu dan Taman
Nasional Lore Lindu . Palu: WALHI, Forum Daerah, Sulawesi Tengah.

82 ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001


Watling, D. dan Y. Mulyana
1981 Lore Lindu National Park Management Plan 1981 - 1986. Laporan disiapkan oleh World
Wildlife Fund - Indonesia Programme (Bogor) untuk Direktorat Pelastarian Alam, Direktorat
Jenderal Kehutanan, Republik Indonesia.
Weber, M.
1948 ‘Religious Rejections of the World and Their Directions’, dalam H.H. Gerth dan C.W. Mills
(penyunting dan penerjemah), From Max Weber: Essays in Sociology. London: Routledge and
Kegan Paul. Hlm. 323-359.
Widjono AMZ dan R. Haryo
1998 Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok . Jakarta: Grasindo.
Yampolsky, P.
1995 ‘Forces for Change in the Regional Performing Arts of Indonesia’. Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde 151(4):700-725.
Zerner, C.
1992 Community Management of Marine Resources in the Maluku Islands. Laporan (tidak
diterbitkan) untuk FAO / Japan Expert Consultation on the Development of Community-
Based Coastal Fishery Management Systems for Asia and the Pacific, Kobe, Japan, 8-12
Juni.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001 83

You might also like