You are on page 1of 40

TUGAS MANDIRI

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

Oleh :
SRIKIT LAHAMI
B300221036

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN BARAMULI
PINRANG
2022
LAPORAN PENDAHULUAN

a. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya (Brunner & Suddarth, 2001). Fraktur merupakan salah satu gangguan
atau masalah yang terjadi pada sistem muskuloskeletal yang menyebabkan
perubahan bentuk dari tulang maupun otot yang melekat pada tulang. Fraktur
dapat terjadi di berbagai tempat dimana terdapat persambungan tulang maupun
tulang itu sendiri. Salah satu contoh dari fraktur adalah yang terjadi pada tulang
femur.
Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang
pangkal paha yang disaebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi
tertentu, seperti degenerasi tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2008). Fraktur
femur terbagi menjadi :
1) Fraktur batang femur
Fraktur femur mempunyai insiden yang cukup tinggi, diantara jenis-jenis
patah tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3
tengah. Fraktur femur lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan
dengan olahraga, pekerjaan, atau kecelakaan.
2) Fraktur kolum femur
Fraktur kolum femur dapat terjadi langsung ketika pasien terjatuh dengan
posisi miring dan trokanter mayor langsung terbentur pada benda keras
seperti jalan. Pada trauma tidak langsung, fraktur kolum femur terjadi
karena gerakan eksorotasi yang mendadak dari tungkai bawah.
Kebanyakan fraktur ini terjadi pada wanita tua yang tulangnya sudah
mengalami osteoporosis (Mansjoer, 2000).
Dua tipe fraktur femur adalah sebagai berikut:
1) Fraktur interkapsuler femur yang terjadi di dalam tulang sendi, panggul,
dan melalui kepala femur (fraktur kapital).
2) Fraktur ekstrakapsular
a) Terjadi di luar sendi dan kapsul, melalui trokanter femur yang lebih
besar / lebih kecil/ pada daerah intertrokanter.
b) Terjadi di bagian distal menuju leher femur, tetapi tidak lebih dari 2
inci di bawah trokanter minor.
Klasifikasi fraktur femur (Muttaqin, 2008) terbagi menjadi:
1) Fraktur leher femur
Fraktur leher femur merupakan jenis fraktur yang sering ditemukan pada
orang tua terutama wanita usia 60 tahun ke atas disertai tulang yang
osteoporosis. Fraktur leher femur pada anak anak jarang ditemukan fraktur
ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan
dengan perbandingan 3:2. Insiden tersering pada usia 11-12 tahun.
2) Fraktur subtrokanter
Fraktur subtrokanter dapat terjadi pada semua usia, biasanya disebabkan
trauma yang hebat. Pemeriksaan dapat menunjukkan fraktur yang terjadi
dibawah trokanter minor.
3) Fraktur intertrokanter femur
Pada beberapa keadaan, trauma yang mengenai daerah tulang femur.
Fraktur daerah troklear adalah semua fraktur yang terjadi antara trokanter
mayor dan minor. Frkatur ini bersifat ekstraartikular dan sering terjadi

pada klien yang jatuh dan mengalami trauma yang bersifat memuntir.
Keretakan tulang terjadi antara trokanter mayor dan minor tempat fragmen
proksimal cenderung bergeser secara varus. Fraktur dapat bersifat
kominutif terutama pada korteks bagian posteomedial.
4) Fraktur diafisis femur
Fraktur diafisis femur dapat terjadi pada daerah femur pada setiap usia dan
biasanya karena trauma hebat, misalnya kecelakaan lalu lintas atau jatuh
dari ketinggian.
5) Fraktur suprakondilar femur
Daerah suprakondilar adalah daerah antar batas proksimal kondilus femur
dan batas metafisis dengan diafisis femur. Trauma yang mengenai femur
terjadi karena adanya tekanan varus dan vagus yang disertai kekatan aksial
dan putaran sehingga dapat menyebabkan fraktur pada daerah ini.
Pergeseran terjadi karena tarikan otot.
b. Klasifikasi Fraktur Secara Umum
1) Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi.

2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara


hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.

3) Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur.

a) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang


atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
c) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
d) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan
kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
e) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

4) Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme


trauma.
a) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang
5) Berdasarkan jumlah garis patah.
a) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
6) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
c) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
d) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
e) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
7) Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a) 1/3 proksimal
b) 1/3 medial
c) 1/3 distal
8) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
9) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.
c. Epidemiologi
Fraktur femur yang terbagi dalam beberapa klasifikasi misalnya saja pada
fraktur subtrochanter femur ini banyak terjadi pada wanita tua dengan usia lebih
dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami osteoporotik, trauma yang dialami
oleh wanita tua ini biasanya ringan (jatuh terpeleset di kamar mandi) sedangkan
pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan. Sedangkan
fraktur batang femur, fraktur suprakondilar, fraktur interkondilar, fraktur kondilar
femur banyak terjadi pada penderita laki – laki dewasa karena kecelakaan
ataupunjatuh dari ketinggian. Sedangkan fraktur batang femur pada anak terjadi
karena jatuh waktu bermain dirumah atau disekolah.

d. Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai
kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Penyebab fraktur batang femur
antara lain (Muttaqin, 2011):
1) Fraktur femur terbuka
Fraktur femur terbuka disebabkan oleh trauma langsung pada paha.
2) Fraktur femur tertutup
Fraktur femur tertutup disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi
tertentu, seperti degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan
tulang paha yang menyebabkan fraktur patologis.

e. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala fraktur femur (Brunner & Suddarth, 2001) terdiri atas:
1) Nyeri
Nyeri yang terjadi terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan
atau tungkai menyebabkan deformitas ekstremitas, yang bisa
diketahuidengan membandingkan dengan ekstremitas yang normal.
Ektremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot..
3) Pemendekan tulang
Terjadi pada fraktur panjang karena kontraksi otot yang melekat di atasdan
dibawah tempat fraktur.
Leg length discrepancy (LLD) atau perbedaan panjang tungkai bawah
adalah masalah ortopedi yang biasanya muncul di masa kecil, di mana dua
kaki seseorang memiliki panjang yang tidak sama. Penyebab dari masalah
Leg length discrepancy (LLD), yaitu osteomielitis, tumor, fraktur,
hemihipertrofi, di mana satu atau lebih malformasi vaskular atau tumor
(seperti hemangioma) yang menyebabkan aliran darah di satu sisi melebihi
yang lain. Pengukuran Leg length discrepancy (LLD) terbagi menjadi,
yaitu true leg length discrepancy dan apparent leg length discrepancy.True
leg length discrepancy adalah cara megukur perbedaan panjang tungkai
bawah dengan mengukur dari spina iliaka anterior superior ke maleolus
medial dan apparent leg length discrepancy.

4) Krepitus tulang (derik tulang)


Krepitasi tulang terjadi akibat gerakan fragmen satu dengan yang lainnya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna tulang
Pembengkakan dan perubahan warna tulang terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini terjadi setelah beberapa jam
atau hari.

f. Patofisiologi
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung dimana
fraktur tersebut mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur femur ada dua
faktor penyebab fraktur femur, faktor-faktor tersebut diantaranya, fraktur
fisiologis merupakan suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan dari
kecelakaan, tenaga fisik, olahraga, dan trauma dan fraktur patologis merupakan
kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan trauma minor
dapat mengakibatkan fraktur (Rasjad, 2007).
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik dan
patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik
yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan
pendarahan, maka volume darah menurun. COP atau curah jantung menurunmaka
terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan
poliferasi menjadi edema lokal maka terjadi penumpukan didalam tubuh.
Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yangkemungkinan
dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan kerusakan jaringan
lunak yang akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan
metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka
atau tertutup akan mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan
rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi
masalah neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas
fisik terganggu. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup akan
dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan fragmen yangtelah
dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.

g. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur femur
(Muttaqin, 2008), antara lain:
1) Fraktur leher femur
Komplikasi yang bersifat umum adalah trombosis vena, emboli paru,
pneumonias, dan dekubitus. Nekrosis avaskular terjadi pada 30% klien
fraktur femur yang disertai pergeseran dan 10% fraktur tanpa pergeseran.
Apabila lokasi fraktur lebih ke proksimal, kemungkinan terjadi nekrosis
avaskular lebih besar.
2) Fraktur diafisis femur
Komplikasi dini yang biasanya terjadi pada fraktur diafisis femur adalah
sebagai berikut:
a) Syok terjadi perdarahan sebanyak 1-2 liter walapun fraktur bersifat
tertutup.
b) Emboli lemak sering didapatkan pada penderita muda dengan fraktur
femur.
c) Trauma pembuluh darah besar. Ujung fragmen tulang menembus
jaringan lunak dan merusak arteri femoralis sehingga menmyebakan
kontusi dan oklusi atau terpotong sama sekali.
d) Trauma saraf pada pembuluh darah akibat tusukan fragmen dapat disertai
kerusakan saraf yang bervariasi dari neuropraksia sampai ke
aksonotemesis. Trauma saraf dapat terjadi pada nervus iskiadikus atau
pada cabangnya, yaitu nervus tibialis dan nervus peroneus komunis.
e) Trombo emboli. Klien yag mengalami tirah baring lama, misalnya
distraksi di tempat tidur dapat mengalami komplikasi trombo-emboli.
f) Infeksi terjadi pada fraktur terbuka akibat luka yang terkontaminasi.
Infeklsi dapat pula terjadi setelah dilakukan operasi.
Komplikasi lanjut pada fraktur diafisis femur yang sering terjadi pada klien
dengan fraktur diafisis femur adalah sebagai berikut:
a) Delayed Union, yaitu fraktur femur pada orang dewasa
mengalamiunion dalam empat bulan.
b) Non union apabila permukaan fraktur menjadi bulat dan sklerotik.
c) Mal union apabila terjadi pergeseran kembali kedua ujung fragmen.Mal
union juga menyebabkan pemendekan tungkai sehingga dipelukan
koreksi berupa osteotomi.

d) Kaku sendi lutut. Setelah fraktur femur biasanya terjadi kesulitan


pergerakan pada sendi lutut. Hal ini dapat dihindari apabila fisioterapi
yang intensif dan sistematis dilakukan lebih awal.
e) Refraktur terjadi pada mobilisasi dilakukan sebelum union yang solid.

h. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma,
danjenis fraktur.
2) Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dan mengidentifikasi kerusakan jaringan linak.
3) Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada
multipel trauma) peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal
setelah trauma.
5) Kretinin : trauma otot meningkatkan beban tratinin untuk klien ginjal.
6) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilingan darah, tranfusi
mulpel atau cedera hati (Lukman & Ningsih, 2009).
i. Penatalaksanaan
1) Fraktur femur terbuka harus dinilai dengan cermat untuk mengetahui ada
tidaknya kehilangan kulit, kontaminasi luka, iskemia otot, cedera pada
pembuluh darah dan saraf. Intervensi tersebut meliputi:
a) Profilaksis antibiotik
b) Debridemen
Pembersihan luka dan debridemen harus dilakukan dengan sedikit
mungkin penundaan. Jika terdapat kematian jaringan yang mati
dieksisi dengan hati-hati. Luka akibat penetrasi fragmen luka yang
tajam juga perlu dibersihkan dan dieksisi.
c) Stabilisasi dilakukan pemasangan fiksasi interna atau eksterna.
2) Fraktur femur tertutup
Pengkajian ini diperlukan oleh perawat sebagai peran kolaboratif dalam
melakukan asuhan keperawatan.
a. Fraktur diafisis femur, meliputi:
1. Terapi konservatif
2. Traksi kulit merupakan pengobatan sementara sebelum dilakukan
terapi definitif untuk mengurangi spasme otot.
3. Traksi tulang berimbang denmgan bagian pearson pada sendi lutut.
Indikasi traksi utama adalah faraktur yang bersifat kominutif dan
segmental.
4. Menggunakan cast bracing yang dipasang setelah union fraktur
secara klinis.
3) Terapi Operasi
1. Pemasangan plate dan screw pada fraktur proksimal diafisis atau distal
femur
2. Mempengaruhi k nail, AO nail, atau jenis lain, baik dengan operasi
tertutup maupun terbuka. Indikasi K nail, AO nail terutama adalah
farktur diafisis.
3. Fiksassi eksterna terutama pada fraktur segmental, fraktur kominutif,
infected pseudoarthrosis atau fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan lunak yang hebat.
4) Fraktur suprakondilar femur, meliputi:
1. Traksi berimbang dengan menggunakan bidai Thomas dan penahan
lutut Pearson, cast bracing, dan spika panggul.
2. Terapi operatif dilakukan pada fraktur yang tidak dapat direduksi secara
konservatif. Terapi dilakukan dengan mempergunakan nail- phorc dare
screw dengan berbagai tipe yang tersedia (Muttaqin, 2011).

j. Prinsip Penanganan Fraktur Secara Umum


Prinsip penanganan fraktur ada 4, yaitu: rekognisi, reduksi, retensi dan
rehabilitasi.

1) Rekognisi, mengenal jenis fraktur, lokasi dan keadaan secara umum;


riwayat kecelakaan, parah tidaknya luka, diskripsi kejadian oleh pasien,
menentukan kemungkinan tulang yang patah dan adanya krepitus.
2) Reduksi, mengembalikan fragmen tulang ke posisi anatomis normal untuk
mencegah jarinagn lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena
edema dan perdarahan. Reduksi ada 3 (tiga), yaitu:
a) Reduksi tertutup (close reduction), dengan cara manual/ manipulasi,
dengan tarikan untuk menggerakan fragmen tulang/ mengembalikan
fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan)
b) Traksi, digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi,
dimana beratnya traksi di sesuaikan dengan spasme otot. Sinar X
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen
tulang
c) Reduksi terbuka, dengan memasang alat untuk mempertahankan
pergerakan, yaitu fiksasi internal (kawat, sekrup, plat, nail dan batang
dan implant logam) dan fiksasi ekterna (pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinue, pin dan tehnik gips
Jenis-jenis Traksi, yaitu:
1) Traksi kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol sepasme kulit dan
memberikan imobilisasi . Traksi kulit apendikuler ( hanya pada
ektermitas digunakan pada orang dewasa) termasuk “ traksi ektensi
Buck, traksi russell, dan traksi Dunlop”.
a) Traksi buck
Ektensi buck ( unilateral/ bilateral ) adalah bentuk traksi kulit
dimana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi
parsial atau temporer yang diinginkan . Digunakan untuk
memberikan rasa nyaman setelah cidera pinggulsebelum dilakukan
fiksasi bedah (Smeltzer & Bare,2001 ).
Traksi buck merupakan traksi kulit yang paling sederhana, dan
paling tepat bila dipasang untuk anak muda dalam jangka waktu
yang pendek. Indikasi yang paling sering untuk jenis traksi ini

adalah untuk mengistirahatkan sendi lutut pasca trauma sebelum


lutut tersebut diperiksa dan diperbaiki lebih lanjut (Wilson, 1995 ).
b) Traksi Russell
Dapat digunakan pada fraktur plato tibia, menyokong lutut yang
fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarik horizontal
melalui pita traksi balutan elastis ketungkai bawah. Bila perlu,
tungkai dapat disangga dengan bantal agar lutut benar- benar fleksi
dan menghindari tekanan pada tumit (Smeltzer & Bare, 2001 ).
c) Traksi Dunlop
Adalah traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal diberikanpada
lengan bawah dalam posisi fleksi.
d) Traksi kulit bryant
Traksi ini sering digunakan untuk merawat anak kecil yang
mengalami patah tulang paha. Traksi Bryant sebaiknya tidak
dilakukan pada anak-anak yang berat badannya lebih dari 30 kg.
kalau batas ini dilampaui maka kulit dapat mengalami kerusakan
berat.
2) Traksi skelet
Traksi skelet dipasang langsung pada tulang. Metode traksi ini
digunakan paling sering untuk menangani fraktur femur, tibia,
humerus dan tulang leher.
a) Traksi rangka seimbang
Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat patah
tulang pada korpus femoralis orng dewasa. Sekilas pandangan
traksi ini tampak komplek, tetapi sesunguhnya hanyalah satu pin
rangka yang ditempatkan tramversal melalui femur distal atau tibia
proksimal. Dipasang pancang traksi dan tali traksi utama dipasang
pada pancang tersebut. Ektermitas pasien ditempatkan dengan
posisi panggul dan lutut membentuk sekitar 35°.
b) Traksi 90-90-90
Traksi 90-90-90 sangat berguna untuk merawat anak- anak usia 3
tahun sampai dewasa muda. kontrol terhadap fragmen – fragmen
pada fraktur tulang femur hamper selalu memuaskan dengan traksi
90-90-90 penderita masih dapat bergerak dengan cukup bebas
diatas tempat tidur.
3) Reposisi, setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi
atau dipertahankan dalam posisi penyatuan yang tepat. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan cara fiksasi internal dan eksternal.
a) fiksasi internal
fragmen tulang dapat diikat dengan skrup,pen, atau paku pengikat,plat
logam yang diikat dengan skrup,paku intramedular yang panjang
(dengan atau tanpa skrup pengunci) , ciscumferential bands, atau
kombinasi dari metode ini.
b) fiksasi eksternal
fraktur dipertahankan dengan skrup pengikat atau kawat penekan yang
melalui tulang diatas dan dibawah fraktur, dan dilekatkan pada suatu
kerangka luar.
4) Rehabilitasi, mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Pada umumnya, sebelum dan setelah pelaksanaan terapi latihan, bagian
yang mengalami operasi yaitu 1/3 distal femur pasien dalam keadaan
dielevasikan sekitar 30˚
a) Static Contraction
Terjadi kontraksi otot tanpa disertai perubahan panjang otot dan tanpa
gerakan pada sendi (Kisner,1996). Latihan ini dapat meningkatkan
tahanan perifer pembuluh darah, vena yang tertekan oleh otot yang
berkontraksi menyebabkan darah di dalam vena akan terdorong ke
proksimal yang dapat mengurangi oedem, dengan oedem berkurang,
maka rasa nyeri juga dapat berkurang.
b) Passive Movement
Passive movement adalah gerakan yang ditimbulkan oleh adanya
kekuatan dari luar sementara itu otot pasien lemas (Priatna,1985).
Passive movement ada 2, yaitu :
(1) Relaxed Passive Movement
Gerakan pasif hanya dilakukan sebatas timbul rasa nyeri. Bila
pasien sudah merasa nyeri pada batas lingkup gerak sendi tertentu,
maka gerakan dihentikan (Priatna,1985).
(2) Forced Passive Movement
Forced Passive Movement bertujuan untuk menambah lingkup
gerak sendi. Tekniknya hampir sama dengan relaxed passive
movement, namun di sini pada akhir gerakan diberikan penekanan
sampai pasien mampu menahan rasa nyeri (Priatna,1985).
c) Active Movement
Merupakan gerakan yang dilakukan oleh otot anggota gerak
tubuhpasien itu sendiri (Kisner,1996). Pada kondisi oedem, gerakan
aktif ini dapat menimbulkan “pumping action” yang akan mendorong
cairan bengkak mengikuti aliran darah ke proksimal. Latihan ini juga
dapat digunakan untuk tujuan mempertahankan kekuatan otot, latihan
koordinasi dan mempertahankan mobilitas sendi. Active
Movementterdiri dari :
(1) Free Active Movement
Gerakan dilakukan sendiri oleh pasien, hal ini dapat meningkatkan
sirkulasi darah sehingga oedem akan berkurang, jika oedem
berkurang maka nyeri juga dapat berkurang. Gerakan ini dapat
menjaga lingkup gerak sendi dan memelihara kekuatan otot.
(2) Assisted Active Movement
Gerakan ini berasal dari pasien sendiri, sedangkan terapis
memfasilitasi gerakan dengan alat bantu, seperti sling, papan licin
ataupun tangan terapis sendiri. Latihan ini dapat mengurangi nyeri
karena merangsang relaksasi propioseptif.
(3) Ressisted Active Movement
Ressisted Active Movement merupakan gerakan yang dilakukan
oleh pasien sendiri, namun ada penahanan saat otot berkontraksi.
Tahanan yang diberikan bertahap mulai dari minimal sampai
maksimal. Latihan ini dapat meningkatkan kekuatan otot.
d) Hold Relax
Hold Relax adalah teknik latihan gerak yang mengkontraksikan otot
kelompok antagonis secara isometris dan diikuti relaksasi otot tersebut.
Kemudian dilakukan penguluran otot antagonis tersebut. Teknik ini
digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi ( Kisner,1996).
e) Latihan Jalan
Latihan transfer dan ambulasi penting bagi pasien agar pasien dapat
kembali ke aktivitas sehari-hari. Latihan transfer dan ambulasi di sini
yang penting untuk pasien adalah latihan jalan. Mula-mula latihanjalan
dilakukan dengan menggunakan dua axilla kruk secara bertahap
dimulai dari non weight bearing atau tidak menumpu berat badan
sampai full weight bearing atau menumpu berat badan. Metode jalan
yang digunakan adalah swing, baik swing to ataupun swing through
dan dengan titik tumpu, baik two point gait, three point gait ataupun
four point gait. Latihan ini berguna untuk pasien agar dapat mandiri
walaupun masih menggunakan alat bantu.
3. Clinical Pathways

Trauma pada tulang (Kecelakaan) Tekanan yang berulang (Kompresi) Kelemahan tulang abnormal (osteoporosis)

Fraktur femur

Patah tulang tertutup Patah tulang terbuka


Resiko tinggi infeksi

Pembedahan Ansietas

Kerusakan struktur tulang


Kemampuan pergerakan otot sendi menurun
Hambatan
mobilitas fisik Trauma jaringan post pembedahan
Patah tulang merusak jaringan

Perubahan
Terputusnya kontinuitas jar.
Kerusakan integritas kulit
kapiler
Menekan saraf perasa nyeri

Kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak


Stimulus neurotransmitter nyeri

Pelepasan mediator prostaglandin Resiko syok hipovolemik

Respon nyeri hebat dan akut

Nyeri akut
k. Asuhan Keperawatan Pada Fraktur Femur
Menurut (Wijaya dan mariza putri, 2013). Proses dalam keperawatan adalah
penerapan pemecahan masalah keperawatan secara ilmiah yang digunakan untuk
mengidentivikasi masalah, merencanakan secara sistematis, dan
melaksanakannya dengan cara mengevaluasi hasil tindakan keperawatan yang
telah dilaksanakan.

a. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. (wahid,
2013). a. Pengumpulan data
1) Identitas Pasien meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat,
agama, bahasa yang digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah
sakit (MRS), dan diagnostik medis (muttaqin, 2008).

2) Keluhan utama pada umumnya keluhan utama pada fraktur femur


adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut bisa kronik tergantung lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri
pasien digunakan:
a) provoking incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region: Radiation, relief, apakah rasa sakit bisa reda,
apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi
d) Severity (scale) of pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan sakala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan
fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari (wahid, 2013).
3) Riwayat kesehatan sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma, yang menyebabkan patah tulang
paha, pertolongan apa yang telah didapatkan, dan dan apakah sudah
berobat ke dukun patah. Dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka yang lain (muttaqin,
2008).

4) Riwayat kesehatan dahulu


Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit kelainan
formasi tulang atau biasanya disebut paget dan ini mengganggu proses
daur ulang tulang yang normal di dalam tubuh sehingga menyebabkan
fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien
diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis
akut dan kronis dan penyakit diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang (muttaqin, 2008).

5) Riwayat kesehatan keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit yang tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang terjadi pada beberapa keturunan dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (muttaqqin,
2008).

6) Pola fungsi kesehatan


Menurut (Wahid, 2013) sebagai berikut :
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Biasanya partisipan akan mengalami perubahan atau gangguan
pada personal hygine, misalnya kebiasaan mandi terganggu karena
geraknya terbatas, rasa tidak nyaman, ganti pakaian, BAB dan
BAK memerlukan bantuan oranglain, merasa takut akan
mengalami kecacatan dan merasa cemas dalam menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulang
karena kurangnya pengetahuan.
b) Pada pasien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin
C dan lainya untuk membantu proses penyembuhan tulang dan
biasanya pada partisipan yang mengalami fraktur bisa mengalami
penurunan nafsu makan bisa juga tidak ada perubahan.
c) Pola eliminasi
Untuk kasus fraktur femur biasanya tidak ada gangguan pada
eliminasi, tetapi walaupun begitu perlu juga kaji frekuensi,
konsitensi, warna serta bau fases pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi kepekatanya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
d) Pola istrahat dan tidur
Semua pasien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
pasien. Selain itu juga pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur.
e) Pola aktivitas
Biasanya pada pasien fraktur femur timbulnya nyeri, keterbatasan
gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu bnayak dibantu oleh orang lain. Hal lain
yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan
klien. Karena ada bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya
fraktur dibanding pekerrjaan yang lain.
f) Pola hubungan dan peran
Pasien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karna klien harus menjalani rawat inap.
g) Pola presepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakuatan
akan kecacatan akan frakturnya, rasa cemas, rasa ketidak mampuan
untuk melkukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah.
h) Pola sensori dan kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedangkan pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. Begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i) Pola reproduksi seksual
Dampak pada pasien fraktur femur yaitu, pasien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap
dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah
anak, lama perkawinannya.
j) Pola penanggulangan stres
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisame koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan
Untuk pasien fraktur femur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.

b. Pemeriksaan fisik
Menurut (wahid, 2013) pemeriksaan fisik dibagi menjadi dua, yaitu
pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran
umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat
melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

1) Gambaran umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat merupakan tanda-
tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal

b) Secara sistemik
(1) Sistem integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Biasanya diikuti atau tergantung pada gangguan kepala.
(3) Leher
Biasanya tidak ada pembesaran kelenjar tiroid atau getah bening
(4) Muka
Biasanya wajah tampak pucat, dan meringis
(5) Mata
Biasanya konjungtiva anemis atau sklera tidak ikterik
(6) Telinga
Biasanya simetris kiri dan kanan dan tidak ada masalah pada
pendengaran.
(7) Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan dan tidak ada pernafasan
cuping hidung
(8) Mulut
Biasanya mukosa bibir kering, pucat, sianosis
(9) Thoraks Inspeksi
Biasanya pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit pasien
yang berhubungan dengan paru.
Palpasi
Biasanya pergerakan sama atau simetris, fermitus terraba sama.
Perkusi
Biasanya suara ketok sonor, tak ada redup atau suara tambahan
lainya.
Auskultasi
Biasanya suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(10) Jantung Inspeksi
Biasanya tidak tampak iktus kordis
Palpasi
Biasanya iktus kordis tidak teraba
Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(11) Abdomen
Inspeksi
Biasanya bentuk datar, simetris tidak ada hernia.
Palpasi
Biasanya tugor baik, hepar tidak teraba
Perkusi
Biasanya suara thympani
Auskultasi
Biasanya bising usus normal ± 20 kali/menit

(12) Ekstremitas atas


Biasanya akral teraba dingin, CRT < 2 detik, turgou kulit baik,
pergerakan baik
(13) Ekstremitas bawah
Biasanya akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor kulit jelek,
pergerakan tidak simteris, terdapat lesi dan edema.

2) Gambaran lokal
Harus diperhatikan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu
Pain, palor, parestesia, pulse, pergerakan). Pemeriksaan pada sistem
muskukuluskletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi
(2) penampakan kurang lebih besar uang logam. Diameternya bisa
sampai 5cm yang di dalamnya berisi bintik-bintik hitam. Cape
au lait itu bisa berbentuk seperti oval dan di dalamnya bewarna
coklat. Ada juga berbentuk daun dan warna coklatnya lebih
coklat dari kulit, di dalamnya juga terbentuk bintik-bintik dan
warnanya jauh lebih coklat lagi. Tanda ini biasanya ditemukan
di badan, pantat, dan kaki.
(3) Fistulae warna kemrahan atau kebiruan (livide) atau
hipergigmentasi.
(4) Benjolan pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
(5) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas).
(6) Posisi jalan
b) Feel ( palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini
merupakan pemeriksaan memberikan informasi dua arah, baik
pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah :
(1) Perubahan suhu di sekitar trauma (hangat) kelembaban kult.
Capillary refill time Normal 2 detik.
(2) Apabila ada pembekakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan( tendernes), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot : Tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan
yang terdapat dipermukaan atu melekat pada tulang. Selain itu
juga diperiksa status neurevaskuler. Apabila ada benjolan,
maka sifat benjolan perlu di deskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan tehadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
(4) Move ( pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel , kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya.
Gerakan sendi di catat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik O (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan
gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang di lihat adalah
gerakan aktif dan pasif (Wahid, 2013).
c. Pemeriksaan diagnostik 1) pemeriksaan radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
“pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan
gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka
diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan
tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk
memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya super posisi. Hal
yang harus dibaca pada X-ray:
a) bayangan jarinagan lunak
b) tips tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos X-ray (plane X-ray) mungkin perlu teknik khususnya
seperti:
a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur
yang lain tertutup yang sulit difisualisasi. Pada kasusu ini
ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada
satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan
pembuluh darah diruang tulang vetebrae yang mengalami
kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak
karena ruda paksa.
d) Computed Tomografi-schanning: menggambarkan potongan secara
transfersal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang
yang rusak (Wahid, 2013).

2) Pemeriksaan laboratorium
a) Kalsium serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahapan
penyembuhan tulang.
b) Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidrogenase (LDH-5),
aspartat Amino transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang (Wahid, 2013).

3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur testsensitivitas: Didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih di indikasikan bila terjdi infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
dikibatkan faktor.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
e) Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
f) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur (wahid,
2013).

4) Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pada tahap pengkajian dapat dilakukan anamnesa/wawancara
terhadap pasien dengan fraktur femur yaitu :
1) Identitas pasien
a) Nama : Tn.N
b) Usia : 60 tahun
c) Suku : Bare’e
d) Pekerjaan : Swasta
e) Alamat : jl. Mawar
f) Jenis Kelamin : laki - Laki
2) Riwayat keperawatan
1. Riwayat perjalanan penyakit
2. Keluhan utama: klien datang ke RSUD Ampana untuk
pelayanan kesehatan : nyeri pada paha
3. Apa penyebabnya, waktu : kecelakaan atau trauma, berapa
jam/menit yang lalu
4. Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
5. Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
6. Kehilangan fungsi
7. Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b) Riwayat pengobatan sebelumnya
1. Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis
kortikosteroid dalam jangka waktu lama
2. Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal,
terutama pada wanita
3. Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
4. Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
3) Pemeriksaan fisiK Mengidentifikasi tipe fraktur
a) Inspeksi daerah mana yang terkena
1. Deformitas yang nampak jelas
2. Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
3. Laserasi
4. Perubahan warna kulit
5. Kehilangan fungsi daerah yang cidera
b) Palpasi
1. Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
2. Krepitasi
3. Nadi, dingin
4. Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur
4) Pemeriksaan Penunjang
a) Foto Rontgen
1. Untuk mengetahui lokasi fraktur dan garis fraktur secara
langsung
2. Mengetahui tempat dan tipe fraktur
b) Biasanya diambil sebelum dan sesudah dilakukan operasi dan
selama proses penyembuhan secara periodik
c) Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
d) Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).

b. Diagnosa keperawatan
1) Pre operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder
pada fraktur
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan
sekitar/fraktur
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan
kerusakan jaringan lunak
d. Ansietas berhubungan dengan prosedur pengobatan atau pembedahan
2) Intra operasi
Resiko syok hipovolomik berhubungan dengan perdarahan akibat
pembedahan
3) Post operasi
a. Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post
pembedahan
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi
c. Perencanaan keperawatan

1) Pre operatif
Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Nyeri akut NOC NIC
berhubungan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri
dengan spasme 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Mengetahui karakteristik
otot dan kerusakan 3. Tingkat kenyamanan komprehensif termasuk lokasi, nyeri secara menyeluruh
sekunder pada Kriteria Hasil : karakteristik, durasi, frekuensi, untuk menentukan
fraktur 1. Mampu mengontrol nyeri kualitas dan faktor presipitasi intervensi selanjutnya
(tahu penyebab nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal dari 2. Mengetahui
menggunakan tehnik ketidaknyamanan perkembangan respon
nonfarmakologi untuk 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri nyeri
mengurangi nyeri, mencari 4. Ajarkan tentang teknik non 3. Mengurangi peningkatan
bantuan) farmakologi nyeri
2. Melaporkan bahwa nyeri 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri 4. Meniminalkan nyeri yang
berkurang dengan 6. Kolaborasikan dengan dokter jika dirasakan
menggunakan manajemen nyeri ada keluhan dan tindakan nyeri 5. Mengetahui keefektifan
3. Mampu mengenali nyeri tidak berhasil intervensi
(skala, intensitas, frekuensi dan 6. Pengobatan medis untuk
tanda nyeri) mengurangi nyeri
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
2. Hambatan NOC NIC
mobilitas fisik 1. Gerakan: aktif Latihan Kekuatan
berhubungan 2. Tingkat mobilitas 1. Ajarkan dan berikan 1. Pasien dapat termotivasi
dengan cedera 3. Perawatan diri: ADL doronganpada klien untuk untuk melakukan program
jaringan Kriteria Hasil : melakukan program latihan latihan
sekitar/fraktur 1. Klien meningkat dalam aktivitas secara rutin 2. Mencegah resiko cedera
fisik Latihan untuk ambulasi 3. Memudahkan pasien
2. Mengerti tujuan dari 1. Ajarkan teknik ambulasi & untuk melakukan
peningkatan mobilitas perpindahan yang aman kepada mobilisasi
3. Memverbalisasikan perasaan klien dan keluarga. 4. Pasien terus termotivasi
dalam meningkatkan kekuatan dan 2. Sediakan alat bantu untuk klien untuk tetap melakukan
kemampuan berpindah seperti kruk, kursi roda, dan ambulasi
4. Memperagakan penggunaan walker 5. Klien dan keluarga
alat Bantu untuk mobilisasi 3. Beri penguatan positif untuk memahami mobilisasi
(walker) berlatih mandiri dalam batasan dengan benar
yang aman. 6. Klien termotivasi untuk
Latihan mobilisasi dengan kursi memperkuat anggota
roda tubuh
1. Ajarkan pada klien & keluarga 7. Klien tidak akan
tentang cara pemakaian kursi roda mengalami kekakuan
& cara berpindah dari kursi roda sendi dan keluarga dapat
ke tempat tidur atau sebaliknya. membantu klien untuk
2. Dorong klien melakukan latihan mobilisasi
untuk memperkuat anggota tubuh
3. Ajarkan pada klien/ keluarga
tentang cara penggunaan kursi
roda
3. Resiko tinggi NOC : NIC :
infeksi 1. Status imun Kontrol infeksi 1. Untuk mencegah infeksi
berhubungan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan setelah yang ditularkan olehpasien
dengan fraktur Kriteria Hasil : dipakai pasien lain lain
terbuka dan 1. Klien bebas dari tanda dan 2. Gunakan sabun antimikrobia 2. Memotong rantai infeksi
kerusakan jaringan gejala infeksi untuk cuci tangan 3. Memotong rantai infeksi
lunak 2. Menunjukkan kemampuan untuk 3. Cuci tangan setiap sebelum dan 4. Tenaga kesehatan dapat
mencegah timbulnya infeksi sesudah tindakan keperawatan mencegah infeksi
3. Jumlah leukosit dalam batas 4. Gunakan baju, sarung tangan nosokomial
normal sebagai alat pelindung 5. Resiko infeksi tidak
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat 5. Pertahankan lingkungan aseptik terjadi
selama pemasangan alat 6. Diet makanan tinggi
6. Tingktkan intake nutrisi protein untuk
7. Berikan terapi antibiotik bila mempercepat
perlu penyembuhan luka
7. Untuk mencegah atau
mengobati infeksi
4. Ansietas NOC NIC
berhubungan Kontrol ansietas Penurunan kecemasan 1. Kecemasan tidak
dengan prosedur Kriteria hasil: 1. Tenangkan klien meningkat
pengobatan atau 1. Monitor intensitas kecemasan 2. Berikan informasi tentang 2. Pasien dapat
pembedahan 2. Menyikirkan tanda kecemasan diagnosa prognosis dan tindakan memahami terkait
3. Mencari informasi 3. Kaji tingkat kecemasan dan keadaannya
untuk menurunkan reaksi fisik pada tingkat 3. Mengetahui tingkat
kecemasan kecemasan kecemasan untuk
4. Merencanakan strategi koping 4. Gunakan pendekatan dan menentukan
5. Menggunakan teknik relaksasi sentuhan intervensi selanjutnya
untuk menurunkan kecemasan 5. Temani pasien untuk mendukung 4. Empati petugas kesehatan
6. Melaporkan penurunan durasi keamanan dan penurunan rasa dapat dirasakan pasien
dan episode cemas takut 5. Kecemasan tidak
7. Melaporkan tidak adanya 6. Sediakan aktifitas untuk meningkat
manifestasi fisik dan menurunkan ketegangan 6. Pengalihan terhadap
kecemasan 7. Intruksikan kemampuan klien kecemasan yang dirasakan
8. Tidak adaa manifestasi perilaku untuk menggunakan teknik pasien
kecemasan relaksasi 7. Mengurangi kecemasan
pasien

2) Intra operatif
Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Resiko syok NOC NIC
hipovolomik Deteksi resiko Manajemen syok :volume 1. Mengetahui perkembangan
berhubungan dengan Kriteria hasil: 1. Monitor tanda dan gejala perdarahan pasien
perdarahan akibat 1. Kenali tanda dan gejala perdarahan yang konsisten 2. Resiko syok
pembedahan yang mengindikasikan 2. Cegah kehilangan darah (ex hipovolemik tidak terjadi
risiko : melakukan penekanan pada 3. Memenuhi kebutuhan
2. Cari validasi dari risiko yg tempat terjadi perdarahan) cairan pasien
dirasakan 3. Berikan cairan IV 4. Mengetahui perubahan
3. Pertahankan info terbaru tentang 4. Catat Hb/Ht sebelum dan komponen darah
riwayat keluarga sesudah kehilangan darah sesuai 5. Keseimbangan kebutuhan
4. Pertahankan info terbaru tentang indikasi darah
riwayat pribadi 5. Berikan tambahan darah (ex
5. Gunakan sumber informasi : platelet, plasma) yang
tentang risiko potensial sesuai
3) Post operatif

Diagnosa
No. Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
keperawatan
1. Nyeri NOC NIC 1. Mengetahui karakteristik
berhubungan 1. Tingkat nyeri Manajemen nyeri nyeri secara menyeluruh
dengan proses 2. Kontrol nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri untuk menentukan
pembedahan 3. Tingkat kenyamanan secara komprehensif termasuk intervensi selanjutnya
Kriteria Hasil : lokasi, karakteristik, durasi, 2. Mengetahui
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu frekuensi, kualitas dan faktor perkembangan respon
penyebab nyeri, mampu presipitasi nyeri
menggunakan tehnik nonfarmakologi 2. Observasi reaksi nonverbal 3. Mengurangi
untuk mengurangi nyeri, mencari dari ketidaknyamanan peningkatan nyeri
bantuan) 3. Kurangi faktor presipitasi nyeri 4. Meniminalkan nyeri yang
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang 4. Ajarkan tentang teknik dirasakan
dengan menggunakan manajemen non farmakologi 5. Mengetahui
nyeri 5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri keefektifan intervensi
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 6. Kolaborasikan dengan dokter 6. Pengobatan medis
intensitas, frekuensi dan tanda jika ada keluhan dan tindakan untuk mengurangi nyeri
nyeri) nyeri tidak berhasil
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
2. Kerusakan NOC : NIC 1. Tidak ada tekanan
integritas kulit Intergritas jaringan: kulit and Manajemen tekanan pada luka
berhubungan membran mukus 1. Anjurkan pasien untuk 2. Mencegah terbentuknya
dengan trauma Kriteria Hasil : menggunakan pakaian luka yang baru
jaringan post 1. Integritas kulit yang baik bisa yang longgar 3. Terhindar dari infeksi
pembedahan dipertahankan 2. Hindari kerutan pada tempat tidur 4. Mencegah terjadinya
2. Melaporkan adanya gangguan 3. Jaga kebersihan kulit agar dekubitus
sensasi atau nyeri pada daerah kulit tetap bersih dan kering 5. Mengetahui
yang mengalami gangguan 4. Mobilisasi pasien (ubah perkembangan mobilisasi
3. Menunjukkan pemahaman dalam posisi pasien) setiap dua jam pasien
proses perbaikan kulit dan sekali 6. Mengetahui nutrisi yang
mencegah terjadinya sedera 5. Monitor kulit akan dikonsumsi pasien
berulang adanya kemerahan 7. Pasien tetap terjaga
4. Mampumelindungi kulit dan 6. Monitor aktivitas dan perawatan dirinya
mempertahankan kelembaban mobilisasi pasien
kulit dan perawatan alami 7. Monitor status nutrisi pasien
8. Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat
3. Resiko tinggi NOC : NIC : 1. Untuk mencegah
infeksi 1. Status imun Kontrol infeksi infeksi yang ditularkan
berhubungan 2. Kontrol resiko 1. Bersihkan lingkungan oleh pasien lain
dengan luka Kriteria Hasil : setelah dipakai pasien lain 2. Memotong rantai infeksi
operasi 1. Klien bebas dari tanda dan 2. Gunakan sabun 3. Memotong rantai infeksi
gejala infeksi antimikrobia untuk cuci 4. Tenaga kesehatan
2. Menunjukkan kemampuan untuk tangan dapat mencegah infeksi
mencegah timbulnya infeksi 3. Cuci tangan setiap sebelum nosokomial
3. Jumlah leukosit dalam batas normal dan sesudah tindakan 5. Resiko infeksi tidak
4. Menunjukkan perilaku hidup sehat keperawatan terjadi
4. Gunakan baju, sarung 6. Diet makanan
tangan sebagai alat tinggi protein untuk
pelindung mempercepat
5. Pertahankan lingkungan penyembuhan luka
aseptik selama pemasangan 7. Untuk mencegah atau
alat mengobati infeksi
6. Tingktkan intake nutrisi
7. Berikan terapi antibiotik bila
perlu
d. Discharge Planning
a) Persiapan Perawatan Rumah
Klien membutuhkan orang terdekat klien yang akan membantu perawatan
atau proses penyembuhan di rumah. Hal – hal yang perlu diperhatikan,
yaitu mencegah kemungkinan jatuh harus dihilangkan, ruangan harusbebas
atau minimal perabot untuk memudahkan pergerakan klien dengan
menggunakan kruk atau alat bantu lain.
b) Edukasi Klien dan Keluarga
Klien dengan fraktur biasanya dipulangkan kerumah dalam keadaan
memakai pembalut / bandage, splint, gips atau fiksasi eksternal. Perawat
harus menyiapkan instruksi verbal / tertulis untuk klien dan keluarga
tentang mengkaji dan merawaqt luka untuk meningkatkan penyembuhan
dan pencegahan infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC.

Lukman, N & Ningsih, N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien DenganGangguan


Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica Aesculpalus.

Moffat, D & Faiz, O. 2002. At a Glance Series Anatomi. Jakarta: PT. GloraAksara
Pratama.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Muskuloskeletal. Jakarta:EGC.

Muttaqin, A. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada Praktik


Klinik Keperawatan. Jakarta:EGC.

Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif Watampone.

Siddiqui, Z. 2015. Rehabilitations Following Intramedullary


Nailing Of Femoral Shaft Fracture: A Case Report. International
Journal of Physical Therapy &Rehabilitation Science. Vol 1 (1):
30- 35
.

You might also like