You are on page 1of 20

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN FRAKTUR TIBIA FIBULA

DENGAN TINDAKAN OPEN REDUCTION INTERNA FIXATION (ORIF)

DI RUANG OK RS IBNU SINA Y.W-UMI MAKASSAR

OLEH

NAMA : NOVITA OLVI A

NIM : B0321705

PRODI : PROFESI NERS

CI LAHAN CI INSTITUSI

PRODI PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SULAWESI BARAT

TA : 2021-2022
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR TIBIA FIBULA

1. Konsep Dasar Fraktur


A. Definisi
Fraktur adalah gangguan dari kontinuitas yang normal dari suatu tulang. Jika
terjadi fraktur, maka jaringan lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi
(sinar-x) dapat menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu
menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau pembuluh darah
yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi pemulihan klien ( Black dan Hawks,
2014).

B. Etiologi
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang menyebabkan suatu
retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot dan jaringan. Kerusakan otot dan
jaringan akan menyebabkan perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin
hanya retakan pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak
terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna sedangkan
fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal sebagai fraktur lengkap
(Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014). Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan
Kristiyanasari (2010) dapat dibedakan menjadi:
1. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tulang patah secara spontan
b. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan
fraktur klavikula
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan :
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali
b. Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul salah satu proses yang progresif
c. Rakhitis
d. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus

C. Manifestasi Klinis menurut Black dan Hawks (2014)


Mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis klien, riwayat,
pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis
Tanda dan gejala terjadinya fraktur antara lain:
1. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi
fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas
rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki
deformitas yang nyata.
2. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada
lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.
3. Memar
Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur
4. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi gerakan
lebih lanjut dari fragmen fraktur.
5. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri
biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena
spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.
6. Ketegangan Ketegangan diatas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.
7. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena hilangnya
fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi
dari cedera saraf.
8. Gerakan abnormal dan krepitasi Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian
tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur.
9. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur vaskular
yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak teraba
nadi pada daerah distal dari fraktur
10. Syok Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyi dapat menyebabkan syok.
D. Patofisiologi fraktur menurut Black dan Hawks (2014) antara lain :
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan fraktur. Jika
ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka tulang mungkin hanya retak
saja bukan patah. Jika gayanya sangat ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang
dapat pecah berkepingkeping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung tulang
dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik fragmen fraktur keluar
posisi. Kelompok otot yang besar dapat menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu
menggeser tulang besar, seperti femur. Walaupun 10 bagian proksimal dari tulang patah
tetap pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena faktor penyebab
patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur dapat bergeser ke
samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau menimpa segmen tulang lain.
Fragmen juga dapat berotasi atau berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta sumsum dari tulang
yang patah juga terganggu sehingga dapat menyebabkan sering terjadi cedera jaringan
lunak. Perdarahan terjadi karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu
sendiri. Pada saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen
tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur akan mati dan
menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan terjadi vasodilatasi, edema,
nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma dan leukosit. Respon patofisiologis juga
merupakan tahap penyembuhan tulang.

E. Klasifikasi fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur
tertutup memiliki kulit yang masih utuh diatas lokasi cedera, sedangkan fraktur terbuka
dicirikan oleh robeknya kulit diatas cedera tulang. Kerusakan jaringan dapat sangat luas
pada fraktur terbuka, yang dibagi berdasarkan keparahannya (Black dan Hawks, 2014) :
1. Derajat 1 : Luka kurang dari 1 cm, kontaminasi minimal
2. Derajat 2 : Luka lebih dari 1 cm, kontaminasi sedang
3. Derajat 3 : Luka melebihi 6 hingga 8 cm, ada kerusakan luas pada jaringan
lunak, saraf, tendon, kontaminasi banyak. Fraktur terbuka dengan derajat 3
harus sedera ditangani karena resiko infeksi.
Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi kedalam tiga jenis antara lain:
1. Fraktur tertutup
Fraktur terutup adalah jenis fraktur yang tidak disertai dengan luka pada
bagian luar permukaan kulit sehingga bagian tulang yang patah tidak
berhubungan dengan bagian luar.
2. Fraktur terbuka
Fraktur terbuka adalah suatu jenis kondisi patah tulang dengan adanya
luka pada daerah yang patah sehingga bagian tulang berhubungan dengan
udara luar, biasanya juga disertai adanya pendarahan yang banyak. Tulang
yang patah juga ikut menonjol keluar dari permukaan kulit, namun tidak
semua fraktur terbuka membuat tulang menonjol keluar. Fraktur terbuka
memerlukan pertolongan lebih cepat karena terjadinya infeksi dan faktor
penyulit lainnya.
3. Fraktur kompleksitas
Fraktur jenis ini terjadi pada dua keadaan yaitu pada bagian ekstermitas
terjadi patah tulang sedangkan pada sendinya terjadi dislokasi.
Menurut Wiarto (2017) jenis fraktur berdasarkan radiologisnya antara lain:
1. Fraktur transversal
Fraktur transversal adalah frktur yang garis patahnya tegak lurus
terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur ini , segmen-segmen tulang
yang patah direposisi atau direkduksi kembali ke tempat semula, maka
segmen-segmen ini akan stabil dan biasanya dikontrol dengan bidai gips.
2. Fraktur kuminutif
Fraktur kuminutif adalah terputusnya keutuhan jaringan yang terdiri
dari dua fragmen tulang.
3. Fraktur oblik
Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membuat sudut
terhadap tulang.
4. Fraktur segmental
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang
yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari suplai darahnya,
fraktur jenis ini biasanya sulit ditangani.
5. Fraktur impaksi
Fraktur impaksi atau fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang
menumbuk tulang yang berada diantara vertebra.
6. Fraktur spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi ekstermitas. Fraktur ini menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan lunak dan cenderung cepat sembuh dengan
imobilisasi.
F. Komplikasi fraktur menurut Black dan Hawks (2014) antara lain :
Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi tergantung pada jenis cedera , usia
klien, adanya masalah kesehatan lain (komordibitas) dan penggunaan obat yang
mempengaruhi perdarahan, seperti warfarin, kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi
yang terjadi setelah fraktur antara lain :
1. Cedera saraf
Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai
klien yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien untuk
menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai. parestesia, atau adanya keluhan
nyeri yang meningkat.
2. Sindroma kompartemen
Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh
jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika
otot mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon
terhadap fraktur dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen
yang dapat mengurangi perfusi darah kapiler
Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme
anaerob dan peningkatan aliran darah yang menyebabakn peningkatan
tekanan jaringan. Hal ini akan mnyebabkan suatu siklus peningkatan tekanan
kompartemen. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja, tetapi
paling sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat juga ditemukan
sensasi kesemutanatau rasa terbakar (parestesia) pada otot
3. Kontraktur Volkman
Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma
kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-
menerus menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh jaringan
fibrosa yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen setelah
fraktur tibia dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan
mengalami deformasi
4. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien
fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang
seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul. Kompikasi jangka
panjang dari fraktur antara lain:
a. Kaku sendi atau artritis
b. Nekrosis avaskular
c. Malunion
d. Penyatuan terhambat
e. Non-union
f. Penyatuan fibrosa
g. Sindroma nyeri regional kompleks

G. Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:


- Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
- Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan fraktur lebih
jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
- Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
- Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau menurun pada
perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin terjadi sebagai respon terhadap
peradangan.

H. Penatalaksaan fraktur
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke posisi
semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang. Cara
pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau imobilisasi, misalnya
menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada fraktur iga dan fraktur klavikula pada
anak. Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan pada patah
tulang tungkai bawah tanpa dislokasi. Cara ketiga adalah reposisi dengan cara
manipulasi yang diikuti dengan imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang radius
distal. Cara keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus selama masa
tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang apabila direposisi akan terdislokasi di
dalam gips. Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi
luar. Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan
fiksator tulang secara operatif. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti
dengan fiksasi interna yang biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal
Fixation). Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan prostesis
(Sjamsuhidayat dkk, 2010).

2. Konsep dasar Keperawatan


A. Diagnosa Keperawatan
1) Pengkajian
Pengkajian adalah langkah pertama yang paling penting dalam proses
keperawatan. Jika langkah ini tidak di tangani dengan baik, perawat akan
kehilangan kontrol atas langkah-langkah selanjutnya dari proses keperawatan.
Tanpa pengkajian keperawatan yang tepat, tidak ada diagnose keperawatan,
dan tanpa diagnose keperawatan, tidak ada tindakan keperawatan mandir
(Herman, 2015) Pengkajian meliputi:
 Identitas Pasien
Meliputi nama, inisial, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan, no. register,
tanggal MRS, alasan MRS, diagnosa medis.
 Initial survey/pengkajian primer
Untuk menentukan apakah pasien responsif atau tidak menggunakan
metode AVPU.A (Alert): Pasien terjaga, responsif, berorientasi, dan
berbicara dengan petugas.V (Verbal): Petugas memberikan rangsangan
berupa suara (memanggil pasien). Pasien akan memberikan respon
berupa mengerang, mendengus, berbicara atau hanya melihat petugas.P
(Painful): Jika pasien tidak memberikan respon dengan suara, maka anda
perlu melakukan pemberian rangsangan nyeri dengan cara menggosok
sternum atau sedikit cubitan pada bahu. U (Unresponsive): Tidak ada
respon apapun dengan suara atau dengan nyeri.Menurut Parahita, Putu
Sukma. Dkk. 2011, setelah pasien sampai di Instalasi Gawat Darurat
(IGD) yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan dan
mengaplikasikan prinsip Airway, Breathing,Circulation, Disability
Limitation, Exposure (ABCDE), Parahita, Putu Sukma. dkk. (2011).
 Pengkajian Sekunder
Bagian dari pengkajian sekunder pada pasien cidera muskuloskeletal
adalah anamnesis danpemeriksaan fisik. tujuan dari survey sekunder
adalah mencari cidera - cidera lain yangmungkin terjadi pada pasien
sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati.Apabilapasien
sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat SAMPLE
dari pasien, yaitu Subyektif, Allergies, Medication, PastMedical History,
Last Ate dan Event (kejadian atau mekanismekecelakaan) Parahita, Putu
Sukma. Dkk. (2011). Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang
penting untuk dievaluasi adalah (1) kulit yang melindungi pasien dari
kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi neuromuskular (3) status
sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang.
 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : dikaji GCS pasien
b. System Integumen : kaji ada tidaknya eritema, bengkak, oedema,
nyeri tekan.
c. Kepala : kaji bentuk kepala, apakah terdapat benjolan, apakah ada
nyeri kepala
d. Leher : kaji ada tidaknya penjolankelenjar tiroid, dan reflek menelan.
e. Muka : kaji ekspresi wajah pasien wajah, ada tidak perubahan fungsi
maupun bentuk. Ada atau tidak lesi, ada tidak oedema.
f. Mata : kaji konjungtiva anemis atau tidak (karena tidak terjadi
perdarahan)
g. Telinga : kaji ada tidaknya lesi, nyeri tekan, dan penggunaan alat
bantu pendengaran.
h. Hidung : kaji ada tidaknya deformitas, dan pernapasan cuping hidung.
i. Mulut dan Faring : kaji ada atau tidak pembesaran tonsil, perdarahan
gusi, kaji mukosa bibir pucat atau tidak.
j. Paru
k. Jantung
l. Abdomen
m. Ekstremitas
 Riwayat kesehatan Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
pasien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Paul Krisanty. dkk.
2016).
 Riwayat Kesehatan Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang.
 Riwayat kesehatan Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Paul Krisanty. Dkk.
2016).
 Riwayat dan mekanisme trauma
Dilakukan pengkajian riwayat terjadinya trauma dan mekanisme atau
bagaimana trauma terjadi.
 Pemeriksaan Radiolog
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi
yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan
x- ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
 Pemeriksaan Laboratorium
a. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada
tahappenyembuhan tulang.
b. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang danmenunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
c. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase(LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang
 Pemeriksaan lain-lain :
a. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
b. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
c. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
d. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
e. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat
fraktur(Paul Krisanty. dkk. 2016).
2) Diagnosa Keperawatan
 Nyeri Akut b.d Agen cedera fisik di tandai dengan pasien tampak
meringgis, gelisah.
 Resiko Infeksi b.d kerusakan integritas kulit.
 Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang di
tandai dengan pasien nyeri saat bergerak.
 Gangguan integritas kulit/jaringan b.d kelembabpan di tantai dengan
pasien tanpak nyeri, perdarahan, kemerahan
 Risiko Disfungsi Neorovaskuler perifer b.d fraktur, penekanan klinis
(balutan)
 Resiko pedarahan b.d trauma dan tindakan pembedahan. (PPNI, T. P..
SDKI, 2017)
3) Rencana Asuhan Keperawatan

SDKI SLKI SIKI


Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan asuhan Pembidaian
Penyebab: keperawatan … x 24 jam Observasi 
 Kerusakan integritas struktur diharapkan mobilitas fisik
tulang meningkat dengan  Identifikasi kebutuhan dilakukan pembidaian (mis.fraktur,
 Perubahan metabolism kriteria hasil: dislokasi)
 Ketidakbugaran fisik  Mobilitas Fisik  Monitor bagian distal area cedera (mis. Pulsasinadi,
 Penurunan kendali otot  Pergerakan ektremitas pengisian kapiler, gerakan motorik dan sensasi)
meningkat  Monitor adanya perdarahan pada area cedera
 Penurunan massa otot
 Kekuatan otot meningkat  Identifikasi material bidai yang sesuai (mis. Lurusdan
 Penurunan kekuatan otot
 Rentang gerak (ROM) keras, panjang bidai melewati dua sendi)
 Keterlambatan perkembangan
meningkat
 Kekakuan sendi
 Nyeri menurun Terapeutik
 Kontraktur  Tutup luka terbuka dengan balutan
 Kecemasan menurun
 Malnutrisi  Atasi perdarahan sebelum bidai dipasang
 Kaku sendi menurun
 Gangguan musculoskeletal  Minimalkan pergerakan, terutama pada bagianyang
 Gerakan tidak
 Gangguan neuromuskuler terkoordinasimenurun cedera
 Indeks masa tubuh di atas  Gerakan terbatas menurun  Berikan bantalan (padding) pada bidai
persentil ke-75 sesuai usia  Imobilisasi sendi di atas dan di bawah area cedera
 Kelemahan fisik menurun
 Efek agen farmakologis  Topang kaki menggunakan penyangga kaki(footboard),
 Program pembatasan gerak jika tersedia
 Nyeri  Tempatkan ekstremitas yang cedera dalam
 Kurang terpapar informasi posisifungional, jika memungkinkan
tentang aktivitas fisik  Pasang bidai pada posisi tubuh seperti saat Ditemukan
 Kecemasan  Gunakan kedua tangan untuk menopang area Cedera
 Gangguan kognitif
 Keengganan melakukan Edukasi
pergerakan  Jelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedursebelum
 Gangguan sensori persepsi pemasangan bidai
 Jelaskan tanda dan gejala sindrom kompartemen(5P:
pulseless, parastesia, pain, paralysis, palor)
4) Implementasi
Implementasi merupakan tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
perawatan.Tindakan keperawatan mencakup tindakan mandiri (independen) dan
tindakan kolaborasi (Tarwoto &Wartonah, 2010).
5) Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dari proses keperawatan. Evaluasi merupakan
aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan dan terarah ketika pasien dan
professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menuju pencapaian
tujuan/ hasil dan keefektifan rencana asuhan keperawatan. Evaluasi ini akan
menentukan apakah intervensi keperawatan harus diakhiri, dilanjutkan ataupun
dirubah.

3 konsep Dasar Open Reduction Internal Fixation (ORIF)


a. Definisi ORIF
ORIF merupakan salah satu bedah ortopedi yang digunakan pada pasien fraktur.
ORIF diindikasikan untuk fraktur dengan kesejajaran yang tidak diterima setelah
dilakukannya reduksi tertutup dan imobilisasi, ketidakselarasan anggota tubuh pada
ekstremitas bawah dan ketidakcocokan artikular. Dalam beberapa kasus ORIF
memungkinkan dengan segera terjadinya pembebanan berat badan, atau karena
hasil pasien akan lebih baik dari pengobatan non operatif. Reduksi terbuka biasanya
dikombinasikan dengan manipulasi langsung dari beberapa fragmen, tetapi juga
dapat meliputi teknik tidak langsung seperti penggunaan distraktor penghubung
tulang pada fraktur artikular.
Indikasi untuk reduksi terbuka adalah:
 Menggantikan fraktur artikular dengan impaksi dari permukaan sendi
 Fraktur yang membutuhkan keselarasan aksial yang tepat (mis patah
pada lengan, patah tulang metaphyseal sederhana)
 Kegagalan reduksi terbuka karena interposisi jaringan lunak
 Tertundanya operasi di mana jaringan granulasi atau awal kalus harus
dipindah
 Terdapat resiko tinggi kerusakan struktur neurovascular
 Pada kasus tidak adanya atau terbatasnya akses untuk pencitraan
perioperatif untuk memeriksa reduksi.
b. Keuntungan ORIF
Keuntungan dari fiksasi internal ini yaitu akan tercapai reposisi yang sempurna
dan fiksasi yang kokoh sehingga pada pasien paska ORIF tidak perlu lagi dipasang
gips dan mobilisasi dapat segera dilakukan. Selain itu, pada pasien yang menjalani
ORIF penyatuan sendinya lebih cepat, memiliki reduksi yang akurat dan stabilitas
reduksi yang tinggi, serta pemeriksaan struktur neurovascular dapat dilakukan lebih
mudah.
c. Tujuan bedah ORIF
Tujuan dari bedah ORIF yaitu digunakan untuk stabilitas fraktur atau mengoreksi
masalah disfungsi muskuloskeletal serta memperbaiki fungsi dengan
mengembalikan gerakan serta stabilitas dan mengurangi nyeri serta stabilitas. Selain
itu, tujuan lain dari tindakan ORIF yaitu untuk menimbulkan reaksi reduksi yang
akurat, stabilitas reduksi yang tinggi, untuk pemeriksaan struktur- struktur
neurovaskuler, untuk mengurangi kebutuhan akan alat immobilisasi eksternal,
mengurangi lamanya rawat inap di rumah sakit serta pasien lebih cepat kembali ke
pola kehidupan yang normal seperti sebelum mengalami cedera.
d. Masalah Pasca Bedah ORIF
Masalah yang sering kali ditimbulkan pada pasien pasca bedah ORIF meliputi:
 Nyeri merupakan keluhan yang paling sering terjadi setelah bedah ORIF.
Nyeri yang dapat dirasakan seperti tertusuk dan terbakar pada tujuh hari
pertama dan nyeri yang sangat hebat akan dirasakan pada beberapa hari
pertama
 Gangguan mobilitas pada pasien pasca bedah ORIF juga akan terjadi
akibat proses pembedahan.
 Kelelahan sering kali terjadi pada pasien post ORIF yaitu kelelahan
sebagai suatu sensasi. Gejala nyeri otot, nyeri sendi, sakit kepala, dan
kelemahan dapat terjadi akibat kelelahan sistem muskuloskeletal dan
gejala ini merupakan tanda klinis yang sering kali terlihat pada pasien
paska ORIF.
 Perubahan ukuran, bentuk dan fungsi tubuh yang dapat mengubah
sistem tubuh, keterbatasan gerak, kegiatan, dan penampilan juga sering
kali dirasakan oleh pasien paska bedah ORIF.
FORMAT PENGKAJIAN KAMAR
BEDAH

Nama Mahasiswa : Novita Olvi A


NIM : B0321705
Tgl & jam pengkajian : 31 Maret 2022. Jam 09.30

I. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS PASIEN
a. NamaPasien : An. Jenifer
b. Tgl lahir/ Umur :04/11/2008
c. Agama : Kristen
d. Pendidikan : SMP
e. Alamat : Jl. H. Kalla Panaikang, Panakkukang, Makassar
f. No CM : 22 00 41
g. Diagnosa Medis : Fraktur Tibia Fibula Dextra

2.IDENTITAS ORANG TUA/ PENANGGUNG JAWAB


a. Nama : Sriyanti M
b. Umur : 32 th
c. Agama : Kristen
d. Pendidikan : SMA
e. Pekerjaan : IRT
f.Hubungan dengan pasien : Saudara

Asalpasien □ RawatJalan
◻ Rawat Inap
□ Rujukan
A. PRE OPERASI
1. Keluhan Utama : Nyeri Kaki kanan
P: Nyeri dirasakan karna adanya Fraktur pada tibi fibula dextra
Q: Nyeri yang dirasakan seperti teriris-iris dan tertusuk-tusuk
R: Penyebaran nyeri dirasakan sekitar kaki kanan
S: Keparahan Nyeri dirasakan dengan skala 7
T: Nyeri dirasakan terus menerus
2. Riwayat Penyakit : □ DM □ Asma □ Hepatitis □ Jantung □ Hipertensi □ HIV □
Tidak ada
3. RiwayatOperasi/anestesi : □ Ada □ Tidakada
4. RiwayatAlergi: □Ada, sebutkan □ Tidak ada
5. Jenis Operasi :ORIF
6. TTV :Suhu : 36,5C, Nadi :80x/mnt ,Respirasi :20x/mnt, TD :110/70mmHg
7. TB/BB : 146/40
8. Golongan Darah : - Rhesus : -
RIWAYAT PSIKOSOSIAL/SPIRITUAL
9. Status Emosional
□Tenang □ Bingung □ Kooperatif □ Tidak Kooperatif □ Menangis □ Menarik diri

10. Tingkat Kecemasan : □ Tidak Cemas □Cemas


11. Skala Cemas : □ 0 = Tidak cemas
□ 1 = Mengungkapkan kerisauan
□ 2 = Tingkat perhatian tinggi
□ 3 = Kerisauan tidak berfokus
□ 4 = Respon simpate-adrenal
□ 5 = Panik

12. Skala Nyeri menurut VAS ( Visual Analog Scale )

Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri Sangat Nyeri Nyeri tak tertahan
berat
□ 0-1 □ 2-3 □4-5 □ 6-7 □ 8-9 □ 10

13. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas:


Normal Jika Tidak normal, jelaskan
YA TIDAK
Kepala √
Leher √
Dada √
Abdomen √
Genitalia √
Integumen √
Ekstremitas √ Terjadi pembekkakan pada kaki kanan
bagian bawah

B. INTRA OPERASI
1. Anastesi dimulai jam : 8.10
2. Pembedahan dimulai jam: 08.16
3. Jenis anastesi :
□Spinal □ Umum/general anastesi □ Lokal □ Nervus blok □……………
4. Posisi operasi :
□terlentang □ litotomi □ tengkurap/knee chees □ lateral : □ kanan □ kiri □ lainnya......
5. Catatan Anestesi :
6. Pemasangan alat-alat :
Airway: □Terpasang ETTno:........ □Terpasang LMA no:........ □OPA □ O2 Nasal
7. TTV : Suhu: 36,0C , Nadi 86x/mnt, Teraba □ kuat, □ Lemah, □ teratur,
□ tidak teratur, RR 19x/mnt, TD :110/70mmHg, Saturasi O2 :99 %
8. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas

Normal Keterangan
YA TIDAK
Kepala √

Leher √

Dada √

Abdomen √
Genitalia √

Integumen √
Kaki kanan terlihat bengkak dan
Ekstremitas √ terdapat luka yang disebabkan oleh
pembedahan yang dilakukan

Total cairan masuk


□ Infus :1000 cc
□ Tranfusi : - cc

Total cairan keluar


□ Urine :400 cc
□ Perdarahan : -
cc Balance
cairan : cc

C. POST OPERASI
1. Pasien pindah ke : Ruang Perawatan Ar-Rahman
# Pindah ke ICU/PICU/NICU, jam
# RR , jam 09.20 wita
2. Keluhan saat di RR : □ Mual □ Muntah □ pusing □ Nyeri luka operasi □
Kaki terasa baal
□ Menggigil
□ lainnya: Pasien tertidur
3. Keadaan Umum : □ Baik □ Sedang □Sakit berat
4. TTV :
Suhu: 36,4 oC, Nadi:98x/mnt, RR20x/mnt, TD:110/70mmHg, SatO2 :99%
5. Kesadaran : □ CM □ Apatis □ Somnolen □ Soporo □ Coma
6. Survey Sekunder, lakukan secara head to toe secara prioritas:
Normal Jika Tidak normal, jelaskan
YA TIDAK

Kepala √

Leher √

Dada √

Abdomen √

Genitalia √

Integumen √
Kaki kanan terdapat bekas oprasi yang
Ekstremitas √
dibalut dengan khasa/perban
Skala Nyeri menurut VAS ( Visual Analog Scale )

Tidak nyeri Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Sangat Nyeri Nyeritak
tertahankan
□ 0-1 □ 2-3 □ 4-5 □ 6-7 □ 8-9 □ 10

You might also like