You are on page 1of 23

ANALISIS DAMPAK INFLASI TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

Doni Satria1

Abstract

The long run relationship between inflation and economic growth has been
recognized by macroeconomist in the last three decades. This leads to implementation of
inflation targeting as monetary framework in develop and developing countries including
Indonesia. For developing countries inflation effect on economic growth is more supply
side phenomena than demand side or economic fluctuation (Basu, 2000), theoretically,
the insignificance response of output to increasing effective demand (such as higher
employment rate). On the other hand stable and low inflation rate in the long run will
promote higher output growth. These two theoretical analisis could be tested with
granger causality test for more price behavior of relationship between inflation and
growth in Indonesia. For the long run relationship between inflation and growth, I use
the Johansen cointegration test. Base on these methods, I found significance two way
causality between inflation and growth in Indonesia. Base on the Johansen Cointegration
Test, there is no linier long run relationship between inflation and economic growth in
Indonesia. Furthermore to check on the non linierity relationship between inflation and
growth, I run the simple OLS regression on inflation and growth. The result has shown a
non linier causality relationship from inflation to economic growth using Indonesian
annual data from 1981 to 2010. The data reveals there is long run non linier relationship
between inflation and growth.

1. Latar Belakang
Kerangka kerja kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh suatu negara sangat
terkait dengan tingkat pembangunan sektor keuangan dan kondisi fundamental
makroekonominya. Kondisi perekonomian Indonesia paska krisis ekonomi tahun 1998,
tidak memungkinkan Bank Indonesia untuk melanjutkan penggunaan kerangka kerja
yang menggunakan monetary aggregate sebagai jangkar kebijakan moneter di Indonesia
(Goeltom, 2008). Berdasarkan kondisi tersebut sejak bulan juli 2005 Bank Indonesia
menggunakan pentargetan inflasi sebagai kerangka kerja untuk menjalankan kebijakan
moneter.

1
Dosen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang
Alasan dari sebuah negara menggunakan kerangka kerja IT (inflation targeting)
adalah: pertama, inflasi merupakan satu-satunya variable ekonomi yang dapat
dipengaruhi oleh kebijakan moneter dalam jangka panjang. Kedua, keyakinan bahwa
inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka panjang sangat penting untuk pencapaian
sasaran makroekonomi lainnya, termasuk dalam hal ini adalah pertumbuhan ekonomi
(Barro, 1995).
Secara teoritis keterkaitan antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi dalam
teori pembangunan ekonomi dapat dikemukakan secara garis besar sebagai berikut. Pada
negara-negara berkembang Inflasi terjadi akibat kebijakan mengurangi tingkat
pengangguran dan penciptaan effective demand dalam perekonomian. Karena output
perekonomian negara-negara berkembang itu tidak mampu me-response kenaikan
employment rate dan effective demand tersebut, maka terjadi inflasi. Dengan kata lain
berdasarkan pandangan ini maka inflasi di negara berkembang lebih merupakan
fenomena aggregate supply. (Lihat Basu, 2000; Hal 66-72).
Landasan teoritis ini menimbulkan pertanyaan mengenai arah kausalitas inflasi
dengan pertumbuhan ekonomi. Disatu sisi diyakini oleh para ahli ekonomi makro bahwa
inflasi yang rendah dan stabil akan mempunyai dampak positif terhadap petumbuhan
ekonomi. Disisi lain berdasarkan teori pembangunan ekonomi inflasi adalah akibat
adanya masalah dalam pembangunan ekonomi yang menyebabkan output tidak mampu
merespon kenaikan effective demand. Indonesia saat ini merupakan salah satu negara
berkembang yang menerapkan inflation targeting sebagai kerangka kebijakan moneter.
Disisi lain Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki permasalahan supply
side. Sebagai konsekuensinya upaya pencapaian target inflasi dalam penerapan kerangka
kerja Inflation Targeting di Indonesia dapat menjadi tidak efektif karena adanya
fenomena structural inflation dalam perekonomian. Kondisi ini menjadi menarik untuk
dianalisis lebih lanjut khususnya untuk kasus Indonesia.
Dalam studi ini akan dikemukakan teori pembangunan ekonomi tentang inflasi,
kemudian dilakukan review literartur yang menganalisis hubungan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya penulis akan menganalisis arah kausalitas inflasi
dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
2. Tinjauan Literatur
2.1. Inflasi dan Structural Disequilibrium
Basu (2000) menformalisasi argumen dari Kalecki (1976) tentang inflasi sebagai
fenomena yang disebabkan oleh structural disequilibrium dalam perekonomian negara
berkembang. Pengembangan argumen Kalecki ini dijelaskan dalam model yang
dikembangkan Cardoso (1983). Penjelasan teoritis dari model ini adalah sebagai berikut:
Dalam perekonomian terdapat 2 sektor; consumer goods dan capital goods. Xi
adalah supply barang i, pi adalah harga barang i dan ci adalah marginal propensity to
consume barang i. Assumsikan 0<c2<c1 dan c2+c1<1. Selanjutnya diasumsikan
pemerintah membeli G unit barang X2. Maka kondisi keseimbangan permintaan dan
penawaran terhadap barang 1 adalah:
X 1  c1  p1 X 1  p2 X 2  / p1 (1)

Berdasarkan persamaan (1) pendapatan nasional sebuah negara adalah


p1 X1  p2 X 2 . Sebagian c1 pendapatan ini dibelanjakan untuk mengkonsumsi barang X1.
Dengan demikian bagian sebelah kanan persamaan (1) menunjukan permintaan aggregate
untuk barang 1 dan sebelah kiri merupakan penawaran aggregate untuk barang 1. Kondisi
keseimbangan demand dan supply pada barang 2 adalah:
X 2  c2  p1 X 1  p2 X 2  / p2   G (2)

Kondisi keseimbangan permintaan dan penawaran aggregate untuk kedua barang


pada persamaan (1) dan (2) dapat dituliskan kembali menjadi:
p1 c1 X 2
 (3)
p2 1  c1  X 1

p1 1  c2  X 2 G
  (4)
p2 c2 X 1 c2 X 1
Dengan mengasumsikan tenaga kerja akan mempertahankan upah riilnya (rigid
real wages), maka secara matematis:
W  w / p1 (5)
Dimana W adalah upah riil dan w adalah upah nominal. Persamaan ini
menyatakan bahwa pekerja akan mempertahankan tingkat upah riilnya realtif terhadap
barang produksi pertanian/barang konsumsi. Assumsi selanjutnya adalah p2 satu-satunya
faktor produksi yang berubah adalah tenaga kerja, dan pegusaha yang memproduksi
barang modal menetapkan harga dengan cara mark up. Dengan assumsi ini maka harga
barang modal adalah:
p2  ml2 w (6)
Dimana (1-m) adalah besaran margin keuntungan yang ditetapkan oleh
pengusaha, dan l adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan. Keenam persamaan ini
membentuk sebuah model analisis yang akan menjelaskan fenomena inflasi sebagai
akibat adanya kondisi structural disequilibrium dalam perekonomian negara
berkembang. Dengan menggabungkan persamaan (5) dan (6) akan didapat:
p1 1
 (7)
p2 ml2W
Dalam model ini Persamaan (7) disebut sebagai aspiration equilibrium, dimana
persamaan ini mengimplikasikan bahwa pekerja dan pengusaha berusaha
mempertahankan tingkat upah riil dan tingkat keuntungannya. Dengan menggunakan
persamaan (3), (4) dan (7) anlisis ketidakseimbangan structural sebagai penyebab inflasi
dapat dilakukan dengan menggunakan analisis grafis sebagai berikut:

p1 Industrial Equilibrium

p2
Agriculture Equilibrium

E
B C Aspiration equilibrium

0 X2

Dengan menggunakan assumsi bahwa produksi X1 tetap (untuk memudahkan


analisis), maka p1 yang akan berubah untuk melakukan proses market clearing pada
sektor agriculture. Selanjutnya, jika permintaan terhadap barang 1 lebih besar dari
supplynya ( X 1  c1  p1 X 1  p2 X 2  / p1 ), maka harga barang 1 akan meningkat sebagai

akibat proses market clearing. Kondisi ekses demand ini dalam grafis menunjukan
perekonomian berada pada wilayah dibawah garis keseimbangan sektor pertanian. Akibat
kenaikan harga p1, akan mengakibatkan W turun, untuk mempertahankan W pada level
awal maka tenaga kerja akan menaikan w (persamaan 5). Selanjutnya akibat adanya
kenaikan w, maka berdasarkan persamaan (7) akan terjadi kenaikan p2. Selanjutnya
berdasarkan persamaan (3) kenaikan p2 akan menyebabkan kondisi disequilibrium di
sektor pertanian yang selanjutnya akan menyebabkan kenaikan p1 karena adanya proses
market clearing. Selanjutnya proses yang sama akan berulang-ulang yang merupakan
gambaran dari persistensi inflasi dalam perekonomian yang mengalami structural
disquilibrium.
Dalam grafis arah proses menuju keseimbangan ditunjukan oleh tiga anak panah
dalam segitiga ABC. Karena hanya satu arah horizontal, maka perekonomian akan
mencapai kondisi keseimbangan pada salah satu titik diantara titik A dan C, misalnya di
titik E. Pada titik E inflasi akan tetap terjadi pada tingkat tertentu sebagai fenomena
structural disequilibrium dalam perekonomian.
Berdasarkan teori structural disequilibrium ini, maka dapat disimpulkan bahwa
ada kondisi dimana inflasi yang terjadi khususnya di negara berkembang bukanlah hanya
semata-mata permasalahan dari sisi fenomena uang lebih banyak dari barang dan jasa
yang tersedia. Namun selain itu juga merupakan sebagai akibat adanya masalah
structural disequilibrium yang dijelaskan oleh model diatas. Secara garis besar teori ini
menyatakan kondisi perekonomian yang menyebabkan terjadinya inflasi, bukan inflasi
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

2.2. Inflasi dalam Model Pertumbuhan Ekonomi


Teori pertumbuhan ekonomi menghasilkan berbagai kesimpulan empiris yang
berbeda tentang pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dalam
bagian ini penulis menyampaikan dalam bahasa sendiri review inflasi dan teori
perumbuhan ekonomi yang disampaikan Gokal dan Hanif (2004).
Model awal yang banyak dijadikan referensi oleh ekonom dalam menganalisis
pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi adalah model pertumbuhan ekonomi
neo klasik yang dikembangkan oleh Tobin (1965). Dalam model ini individu melakukan
subtitusi konsumsi sekarang dengan konsumsinya di masa depan dengan menggunakan
uang atau barang modal sebagai medium penyimpan nilai. Dalam model ini barang
modal memberikan return yang lebih besar dibandingkan uang, namun individual akan
mengalokasikan portfolionya sebagian dalam bentuk uang.

y
f(k)

(n+g+k

sf(k), (

sf(k), (
y

k0 k1 k

Gambar diatas menunjukan mekanisme alokasi portfolio dalam kerangka analisis


teori pertumbuhan neo klasik. Pada saat inflasi meningkat, maka akan menyebabkan
return terhadap uang menurun. Sebagai akibatnya masyarakat akan mensubtitusi uang
dengan capital. Dalam gambar diatas menunjukan bahwa kenaikan alokasi asset
masyarakat dalam bentuk capital menyebabkan pergeseran kurva akumulasi modal dalam
model. Sebagai hasil akhirnya maka modal akan lebih banyak terakumulasi dan
pertumbuhan ekonomi meningkat sampai tercapai kondisi steady state yang baru.
Dalam teori pertumbuhan ekonomi yang lebih moderen, dalam model
pertumbuhan endogen, baik secara teoritis maupun secara empiris juga menunjukan
adanya dampak yang sama dari inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun dalam hal
ini perubahan tingkat inflasi mempunyai dampak permanen terhadap pertumbuhan
ekonomi (Gillman, 2002). Dalam model endogenous growth theory, cash in advance
model, Gillman membuktikan keberadaan Tobin effect ini dalam kondisi general
equilibrium. Model ini menyimpulkan kenaikan tingkat inflasi, menaikan rasio physical
capital terhadap effective labor. Akibatnya meningkatkan tingkat tabungan, yang dalam
model teori pertumbuhan endogen menghasilkan efek permanen terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Dampak inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di sisi lain dianggap buruk
berdasarkan model teoritis yang dikembangkan Stockman (1981), dimana dampak dari
kenaikan tingkat inflasi menyebabkan steady state level dari output menjadi lebih rendah.
Sebagai akibatnya welfare menjadi turun. Dalam model ini Stokman menggunakan cash
in advance constrain baik untuk konsumsi maupun investasi. Karena inflasi mengurangi
daya beli (purchasing power) uang, maka masyarakat mengurangi pembeliannya untuk
barang konsumsi dan barang modal (investasi). Konsekuensinya steady state level dari
output akan menurun sebagai akibat kenaikan tingkat inflasi.
Dalam review teoritis hubungan inflasi dengan pertumbuhan ekonomi ini
menunjukan dua kesimpulan yang berbeda. Di satu sisi Tobin effect menyimpulkan
inflasi mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, Stockman
effect menyimpulkan kenaikan tingkat inflasi berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Secara empiris sudah menjadi semacam konsensus oleh para pengambil kebijakan
moneter dan perekonomian bahwa tingkat inflasi yang rendah dan stabil akan mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Vikesh dan Gopal (2004)
memberikan sebuah review yang cukup lengkap untuk hasil temuan empiris tersebut.
Dalam tulisan ini akan dikemukakan dua buah temuan empiris yang memberikan
kesimpulan yang berbeda, namun dapat mencerminkan pemahaman terakhir mengenai
dampak inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi.

2.3. Beberapa Temuan Empiris tentang Inflasi dan Petumbuhan Ekonomi


2.3.1. Inflation and Economic Growth,
Robert J. Barro, NBER Working Paper 5329 (1995)
Berangkat dari anggapan awal bahwa inflasi merupakan suatu yang tidak baik
bagi pertumbuhan ekonomi, Barro berusaha mengestimasi bagaimana dampak dari
tingkat inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam riset ini Barro menggunakan
model pertumbuhan ekonomi neo klasik yang dikemukakan dalam bukunya bersama
Xala I Martin (1995). Teknik estimasi yang dilakukan adalah dengan memasukan inflasi
sebagai salah satu variable yang menentukan pertumbuhan ekonomi bersama-sama
dengan variable penentu pertumbuhan ekonomi lainnya. Hasilnya menunjukan bahwa
inflasi secara signifikan mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kemudian untuk memahami efek inflasi dengan lebih jelas terhadap pertumbuhan
ekonomi, Baro menggunakan residual hasil regresi model pertumbuhan ekonomi sebagai
dependen variable dan inflasi sebagai independent variable. Dengan teknik ini dikatakan
bahwa hanya bagian dari GDP yang tidak dapat dijelaskan dengan variable penentu
pertumbuhan ekonomi saja yang dianalisis untuk mengetahui dampak inflasi. Hasilnya
juga menunjukan bukti adanya hubungan kausalitas negatif dari inflasi terhadap
pertumbuhan ekonomi
Berdasarkan hasil riset ini menunjukan bahwa inflasi mempunyai pengaruh
negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Barro menyimpulkan bahwa
semakin tinggi tingkat inflasi akan berdampak pada lebih rendahnya pertumbuhan
ekonomi dan investasi (dalam rasio investasi terhadap GDP) dalam jangka panjang.
Walaupun relatif kecil dampak negatif inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi, namun
dalam jangka panjang akan memberikan dampak yang cukup substantif terhadap
kemakmuran masyarakat. Misalnya dengan perubahan regim kebijakan moneter yang
menyebabkan perubahan rata-rata laju inflasi 10% akan menyebabkan turunnya level
GDP riil antara 4 sampai 7 persen. Hal ini mengindikasikan kebutuhan untuk kebijakan
stabilitas harga dalam perekonomian.
Namun dalam riset ini tidak disimpulkan bagaimana efek inflasi secara khusus
terhadap negara berkembang yang cenderung memiliki masalah struktural dalam
perekonomiannya. Sehingga kebijakan stabilisasi yang diperlukan untuk menghindari
perubahan tingkat inflasi atau menjaga agar inflasi tidak volatile dapat saja dari sisi
kebijakan moneter atau kebijakan fiskal dan keduanya.
2.3.2 A Revised Tobin Effect From Inflation: Relatif Input Price and Capital Ratio
Realignment, USA and UK 1959-1999.
Max Gillman and Anton Nakov, Economica Vol 70 No. 279 (August 2003)
Dalam analisis yang dilakukan oleh Gillman dan Nakov ini, mereka berusaha
melihat bagaimana transmisi pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi jangka
panjang. Dengan telah memahami bahwa secara umum telah terbukti adanya efek jangka
panjang dari inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi, maka dalam tulisan ini perlu juga
dipahami bagaimana mekanisme dari inflasi ini dapat mempengaruhi pertumbuhan
ekonomi.
Dalam riset ini keduanya membentuk model analisis dengan menggunakan model
teori pertumbuhan endogen dan dengan mengkombinasikan pendapat dari Tobin dan
Stockman yang memberikan kesimpulan berbeda tentang dampak inflasi terhadap
pertumbuhan ekonomi. Dengan membentuk model yang menghasilkan hipotesis bahwa
dalam kondisi steady state growth, pertumbuhan ekonomi akan ditentukan oleh return on
capital (physical dan human). Dengan demikian maka pertumbuhan ekonomi akan
menurun dengan adanya inflasi yang akan menyebabkan turunnya return on capital
tersebut. Persamaan (15) dalam model yang dikembangkannya juga mengimplikasikan
realokasi input dalam perekonomian akan mempengaruhi pertumbuhan. Dalam hal ini
(mengikuti hipotesis Tobin effect) kenaikan capital to efektif labor ratio akan
menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi akibat inflasi menjadi berkurang.
Strategi metode empiris yang dilakukan dalam riset ini adalah dengan menguji
apakah ada hubungan kointegrasi antara inflasi dengan return on capital dengan
menggunakan data USA dan UK. Alasan pemilihan dua seri data ini adaah menyengkut
kualitas data untuk return on capital yang relatif sulit dipercaya jika menggunakan data
banyak negara. Uji kointegrasi digunakan untuk mengetahui adanya hubungan jangka
panjang dalam kondisi equilibrium. (model yang digunakan mensyaratkan kondisi steady
state growth). Setelah itu kemudian mereka menguji hubungan kausalitas antara inflasi
dengan return on capital, sehingga akan dapat diperolah hubungan kausalitas antara
inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam balance growth path.
Hasil riset ini menunjukan bahwa percepatan inflasi menyebabkan kenaikan rasio
upah riil terhadap tingkat bunga riil dan, sehingga meningkatkan penggunaan physical
capital relatif terhadap human capital diseluruh sektor. Dengan demikian penelitian ini
menyimpulkan efek positif inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi terjadi, walaupun
tingkat pertumbuhan output mengalami penurunan pertumbuhan oleh inflasi.
Hasil riset ini menggunakan data USA dan UK yang mempunyai rata-rata tingkat
inflasi yang relatif rendah, sehingga dapat diyakini bisa menyebabkan efek positif dari
inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya juga adanya peran besar human
capital dalam pertumbuhan ekonominya juga menyebabkan hasil ini dapat diyakini.

3. Hubungan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia


3.1 Metode Analisis
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah data inflasi dan GDP riil Indonesia
dengan menggunakan data kuartalan mulai kuartal pertama tahun 1980 sampai kuartal
keempat tahun 2006. Data ini adalah hasil publikasi Bank Indonesia dan BPS.
Dengan menggunakan strategi metode empiris yang dilakukan oleh Gillman dan
Nakov (2003), analisis ini berusaha untuk memahami arah kausalitas inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Langkah pengujian yang dilakukan adalah dengan
melihat apakah ada kointegrasi antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Jika terdapat
kointegrasi berarti terdapat hubungan jangka panjang antara inflasi dengan pertumbuhan
ekonomi di Indoensia. Kemudian setelah diketahui apakah inflasi dan pertumbuhan
ekonomi mempunyai hubungan jangka panjang atau hanya memiliki hubungan jangka
pendek, maka dilakukan analisis kausalitas untuk melihat arah hubungan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Metode yang digunakan adalah Granger Causality Test dan
Johansen Cointegration test untuk uji kointegrasi inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana disyaratkan oleh kedua metode pengujian tersebut, maka terhadap data
yang digunakan juga dilakukan pengujian stasioneritas terlebih dahulu.
3.2 Hasil Pengujian Data dan Hubungan Inflasi dengan Pertumbuhan Ekonomi
di Indonesia
Berdasarkan hasil uji akar unit dengan menggunakan Augmented Dickey-Fuller
Test, menunjukan bahwa kedua data yang digunakan memiliki akar unit pada level. Hasil
lengkap pengujian ini dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2 pada tulisan ini. Dengan
demikian selanjutnya dapat dikatakan bahwa data tersebut tidak stasioner. Jika kita
melakukan analisis regresi terhadap data yang non stasioner maka hasil regresi yang
diperoleh tidak valid, kecuali jika data-data tersebut berkointegrasi. Jika data tersebut
berkointegrasi berarti ada hubungan jangka panjang, dengan mengaplikasikan pengujian
kointegrasi, maka akan diketahui apakah ada hubungan jangka panjang atau tidak antara
inflasi dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Berdasarkan lampiran (3) dalam
tulisan ini menunjukan bahwa tidak ada kointegrasi yang signifikan antara inflasi dan
perumbuhan ekonomi di Indonesia. Dengan demikian maka dapat disimpulkan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama periode pengamatan tidak mempunyai
hubungan jangka panjang.
Selanjutnya setelah mentransformasikan data menjadi dalam bentuk perubahan
inflasi dan perubahan pertumbuhan ekonomi (first difference), dilakukan uji stasioneritas
data kembali. Selanjutnya setelah diuji hasilnya kedua data adalah stasioner (lampiran 4
dan 5). Karena data sudah stasioner, maka pengujian kausalitas inflasi dan pertumbuhan
ekonomi dapat dilakukan. Dalam hal ini pengujian yang dilakukan adalah untuk melihat
bagaimana kausalitas inflasi dengan pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Hasilnya adalah sebagai berikut:
Pairwise Granger Causality Tests
Date: 05/24/09 Time: 03:32
Sample: 1980Q1 2006Q4
Lags: 4

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

LIHK does not Granger Cause DG 102 11.0364 2.3E-07


DG does not Granger Cause LIHK 3.93783 0.00535

Berdasarkan hasil uji Granger Causality test diatas menunjukan bahwa inflasi granger
cause pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi juga granger cause inflasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada kausalitas dua arah antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi.
Hasil temuan empiris ini perlu dicermati lebih jauh khususnya terkait dengan
temuan tidak terdapatnya hubungan jangka panjang antara inflasi dengan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. Sarel (1995), menemukan hubungan jangka panjang yang non
linier antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya menggunakan model
regresi ordinary least square (OLS) dilakukan pengujian untuk mengetahui hubungan
jangka panjang yang non linier antara inflasi dengan petumbuhan ekonomi. Model yang
digunakan untuk melakukan pengujian ini adalah:

𝑔𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ = 𝛽0 + 𝛽1 𝑖𝑛𝑓 + 𝛽2 𝑖𝑛𝑓 2 + 𝑒 (8)

Dimana: growth, adalah persentase laju pertumbuhan ekonomi tahunan Indonesia, inf,
adalah persentase laju inflasi yang dihitung menggunakan pertumbuhan indeks harga
konsumen, sedangkan e adalah error term yang memenuhi asumsi regresi OLS.
Menggunakan data PDB riil dan tingkat inflasi tahunan di Indonesia dalam periode 1981-
2010, hasil estimasi model regresi pada persamaan (8) dapat disampaikan sebagai
berikut:
Dependent Variable: GROWTH
Method: Least Squares
Sample (adjusted): 1982 2010
Included observations: 29 after adjustments
Newey-West HAC Standard Errors & Covariance (lag
truncation=3)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

INF 0.262351 0.111340 2.356316 0.0263


INF^2 -0.006303 0.001303 -4.838495 0.0001
C 3.504267 0.934972 3.747993 0.0009

R-squared 0.793676 Mean dependent var 4.503772


Adjusted R-squared 0.777805 S.D. dependent var 4.055370
S.E. of regression 1.911603 Akaike info criterion 4.231459
Sum squared resid 95.00992 Schwarz criterion 4.372903
Log likelihood -58.35616 Hannan-Quinn criter. 4.275758
F-statistic 50.00768 Durbin-Watson stat 1.214197
Prob(F-statistic) 0.000000

Berdasarkan hasil estimasi terhadap persamaan (8), menunjukan bahwa secara


kaidah ekonometrika hasil cukup baik. Nilai koefisien determinasi dan hasil pengujian
statistic F menunjukan bahwa goodness of fit model terpenuhi dan secara statistic inflasi
memiliki pengaruh non linier yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesia dalam periode analisis. Pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi
berdasarkan hasil estimasi tersebut menunjukan bahwa inflasi yang rendah memiliki
dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, dan setelah melewati titik tertentu inflasi
yang terlalu tinggi akan memiliki dampak negative terhadap inflasi.Hasil pengujian t
statistic untuk nilai koefisien regresi parsial model menunjukan hasil yang signifikan.
Dengan demikian dampak non linier inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia
terjadi dalam periode analisis. Selanjutnya berdasarkan hasil pengujian stasioneritas data
untuk pertumbuhan ekonomi tahunan dan laju inflasi tahunan menunjukan hasil yang
stasioner pada level, artinya data yang digunakan valid, dan berdasarkan hasil pengujian
ini kita bisa menyimpulkan bahwa terdapat hubungan jangka panjang yang non linier dan
signifikan antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Secara keseluruhan berdasarkan hasil
pengujian ini menunjukan bahwa dampak inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi di
Indonesiabersifat non linier.
4. Penutup.
Berangkat sebagai analisis awal dan masih banyak mengandung berbagai
kesalahan, beberapa hal yang dapat disampaikan sebagai penutup dalam tulisan ini adalah
sebagai berikut:
 Terdapat dampak jangka panjang inflasi yang bersifat non linier terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini menimbulkan pertanyaan
selanjutnya untuk mengetahui tingkat inflasi tertinggi yang masih memberikan
dampak positif terhadap pertaumbuhan ekonomi di Indonesia. Hasil estimasi
dalam tulisan ini masih belum cukup handal untuk digunakan sebagai acuan
perhitungannya, mengingat kami belum menyempurnakan model dampak
inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya model regresi yang
digunakan dalam persamaan (8) juga belum diuji robustness-nya.
 Terdapat hubungan yang signifikan dalam jangka pendek antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Dalam hal ini artinya inflasi dapat
digunakan sebagai sasaran kebijakan untuk stabilitas pertumbuhan ekonomi
jangka pendek.
 Hubungan kausalitas antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi adalah 2 arah.
Dengan demikian berarti ada kondisi saling mendukung antara stabilisasi harga
akan menyebabkan stabilisasi output dan sebaliknya.
Sebagaimana disampaikan pada awal tulisan ini, mengenai kebijakan inflation
targeting di Indonesia. Dengan hasil pengujian empiris yang dilakukan dalam tulisan ini
sepertinya menjaga inflasi yang stabil dan rendah yang mampu mendorong pertumbuhan
ekonomi jangka panjang di Indonesia menjadi penting untuk tetap dilaksanakan. Kajian
ini membuktikan bahwa inflasi yang stabil akan mampu juga menstabilkan perekonomian
dalam jangka pendek. Namun perlu lagi dilihat bagaimana kita akan mampu menjaga
stabilitas perekonomian dengan menggunakan inflasi, mengingat sumber inflasi dalam
perekonomian sangat beragam., baik faktor eksternal (kurs) dan internal output gap dan
fenomena struktural. Sebagaimana yang dikemukakan Solikin (2008), penggunaan rules
kebijakan moneter Indonesia yang bersifat flexible akan lebih sesuai untuk kondisi
Indonesia saat ini.
Selanjutnya terkait dengan kerangka kebijakan moneter inflation targeting.
Merujuk pada hasil temuan empiris ini masih diperlukan, karena tidak ada bukti bahwa
kebijakan ini berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi jangka panjang, dan
berdasarkan pengalaman negara-negara yang menggunakan kerangka kebijakan moneter
inflation targeting, menunjukan kinerja yang cukup baik (Walsh, 2008).
Daftar Pustaka

Barro R. J. (1995). Inflation and Economic Growth, NBER Working Paper 5326
Basu, Kaushik, (2000). Analitical Development Economics,The Less Developed Economy
Revisited, MIT Press, London-England

Enders, W., (2004), Applied Econometric Time Series, New York: John Wiley & Sons

Wooldridge, Jeffery M. (2006), Introductory Ecoometrics: A Modern Approach 3rd Ed.


Thompson South-Western Publishing. USA, 2006

Gillman, Max, and Anton Nakov, 2003, A Revised Tobin Effect from Inflation: Relatif
Input Price and Capital Ratio Realignments, US and UK, 1959-1999, Economica
Vol 70 No. 279 (August 2003)

Goeltom, Miranda (2008), Experience with Inflation Targeting and Other Monetary
Policy Frameworks: Similarities and Difference, 27th Central Banking Course,
Bangkok, 19th Sepetember 2008.

Gokal, Vikesh and Subrina Hanif (2004), Relationship Between Inflation and Economic
Growth, Bank Of Fiji, Working Paper.

Harris, Mark N, Max Gilman, and Laszlo Matyas (November 2001) Negative Inflation
Growth Effect: Theory and Evidence Melbourne Institute Applied Economic and
Social Research, Working Paper No. 12/01, 2001

Juhro, Solikin M. (2008), Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The
State Contingent Rule?, Buletin ekonomi Moneter dan Perbankan April 2008, Bank
Indonesia, Jakarta.

Loungani, Prakash and Phillip Swagel (December 2001) Sources of Inflation in


Developing Countries International Monetary Fund Working Paper, No.
WP/01/198, 2001

Mishkin, Frederic S. (2000), Inflation Targeting in Emerging Market Countries,


American Economic Review, 90-2, May 2000 , pp.105

Sahminan (2006) Inflasi Inti dan Response Kebijakan Moneter di Indonesia Bank
Indonesia, www.bi.go.id

Satria, Doni. (2007) Sumber-sumber Inflasi di Indonesia: Sebuah Kerangka Kerja Untuk
Menganalsis Tingkat Inflasi di Indoensia. Laporan Penelitian, FE-UNP, Tidak
Dipublikasikan.
Sweidan, Osama D. (2004) Does Inflation Harm Economic Growth in Jordan? An
Econometric Analysis for the Period 1970 – 2000 International Journal of Applied
Econometric and Quantitative Studies, Vol 1-2, 2004

Vega, Marco and Diego Winkelried. (2005), Inflation Targeting and Inflation Behaviour:
A Succesful Story? , International Journal of Central Banking, December 2005.

Walsh, Carl. E, (2008), Inflation Targeting: What Have We Learned?, The John
Kuszczak Memorial Lecture, University of California at Santa Cruz.
Lampiran 1. Hasil uji unit root Pertumbuhan Ekonomi (G)

Null Hypothesis: G has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.091281 0.2487


Test critical values: 1% level -3.495021
5% level -2.889753
10% level -2.581890

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(G)
Method: Least Squares
Date: 05/24/09 Time: 03:25
Sample (adjusted): 1981Q2 2006Q4
Included observations: 103 after adjustments

Coefficie
Variable nt Std. Error t-Statistic Prob.

-
G(-1) 0.355187 0.169842 -2.091281 0.0391
-
D(G(-1)) 0.563134 0.142718 -3.945791 0.0001
-
D(G(-2)) 0.580046 0.110646 -5.242386 0.0000
-
D(G(-3)) 0.637082 0.077884 -8.179889 0.0000
C 0.006615 0.003685 1.795473 0.0757

R-squared 0.693734 Mean dependent var 0.000118


Adjusted R-squared 0.681233 S.D. dependent var 0.045462
-
S.E. of regression 0.025667 Akaike info criterion 4.439863
-
Sum squared resid 0.064564 Schwarz criterion 4.311963
Log likelihood 233.6529 F-statistic 55.49578
Durbin-Watson stat 1.886389 Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 2. Hasil Uji Unit Root Inflasi LIHK

Null Hypothesis: LIHK has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic 0.087254 0.9634


Test critical values: 1% level -3.493129
5% level -2.888932
10% level -2.581453

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(LIHK)
Method: Least Squares
Date: 05/24/09 Time: 03:25
Sample (adjusted): 1980Q3 2006Q4
Included observations: 106 after adjustments

Coefficie
Variable nt Std. Error t-Statistic Prob.

LIHK(-1) 0.000269 0.003086 0.087254 0.9306


D(LIHK(-1)) 0.566350 0.081221 6.972932 0.0000
C 0.009559 0.014121 0.676961 0.4999

R-squared 0.322891 Mean dependent var 0.025203


Adjusted R-squared 0.309744 S.D. dependent var 0.030215
-
S.E. of regression 0.025103 Akaike info criterion 4.503776
-
Sum squared resid 0.064906 Schwarz criterion 4.428396
Log likelihood 241.7001 F-statistic 24.55870
Durbin-Watson stat 1.995426 Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 3. Hasil Uji Johansen Kointegration Test Growth Dengan Inflasi

Date: 05/24/09 Time: 03:24


Sample (adjusted): 1981Q3 2006Q4
Included observations: 102 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: G LIHK
Lags interval (in first differences): 1 to 4
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)
Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.060491 6.457050 15.49471 0.6415


At most 1 0.000906 0.092485 3.841466 0.7610

Trace test indicates no cointegration at the 0.05 level


* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05


No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None 0.060491 6.364565 14.26460 0.5669


At most 1 0.000906 0.092485 3.841466 0.7610

Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level


* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):

G LIHK
-75.40682 1.044113
59.05407 0.880329
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(G) 0.003483 0.000462


D(LIHK) 0.003076 -0.000562
1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 498.3324

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)


G LIHK
1.000000 -0.013846
(0.00728)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses)
D(G) -0.262643
(0.16197)
D(LIHK) -0.231948
(0.17491)

Lampiran 4: Hasil Uji Unit Root First Difference Pertumbuhan Ekonomi

Null Hypothesis: D(G) has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -20.28748 0.0000


Test critical values: 1% level -3.495021
5% level -2.889753
10% level -2.581890

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(G,2)
Method: Least Squares
Date: 05/24/09 Time: 03:27
Sample (adjusted): 1981Q2 2006Q4
Included observations: 103 after adjustments

Coefficie
Variable nt Std. Error t-Statistic Prob.

-
D(G(-1)) 3.316825 0.163491 -20.28748 0.0000
D(G(-1),2) 1.488360 0.118907 12.51700 0.0000
D(G(-2),2) 0.730041 0.065034 11.22559 0.0000
C 0.001014 0.002573 0.394181 0.6943

-
R-squared 0.888227 Mean dependent var 0.000845
Adjusted R-squared 0.884840 S.D. dependent var 0.076914
-
S.E. of regression 0.026101 Akaike info criterion 4.415620
-
Sum squared resid 0.067445 Schwarz criterion 4.313300
Log likelihood 231.4044 F-statistic 262.2411
Durbin-Watson stat 1.971846 Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 5: Hasil Uji Unit Root First Difference Inflasi

Null Hypothesis: D(LIHK) has a unit root


Exogenous: Constant
Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=12)

t-Statistic Prob.*

Augmented Dickey-Fuller test statistic -5.377943 0.0000


Test critical values: 1% level -3.493129
5% level -2.888932
10% level -2.581453

*MacKinnon (1996) one-sided p-values.

Augmented Dickey-Fuller Test Equation


Dependent Variable: D(LIHK,2)
Method: Least Squares
Date: 05/24/09 Time: 03:28
Sample (adjusted): 1980Q3 2006Q4
Included observations: 106 after adjustments

Coefficie
Variable nt Std. Error t-Statistic Prob.

-
D(LIHK(-1)) 0.433026 0.080519 -5.377943 0.0000
C 0.010760 0.003177 3.386373 0.0010

-
R-squared 0.217588 Mean dependent var 0.000271
Adjusted R-squared 0.210065 S.D. dependent var 0.028109
-
S.E. of regression 0.024983 Akaike info criterion 4.522570
-
Sum squared resid 0.064911 Schwarz criterion 4.472316
Log likelihood 241.6962 F-statistic 28.92227
Durbin-Watson stat 1.995979 Prob(F-statistic) 0.000000

Lampiran 6: Hasil Uji Johansen Cointegration Test First Difference Pertumbuhan


Ekonomi dan Inflasi
Date: 05/24/09 Time: 03:31
Sample (adjusted): 1981Q4 2006Q4
Included observations: 101 after adjustments
Trend assumption: Linear deterministic trend
Series: DG LIHK
Lags interval (in first differences): 1 to 4

Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace)

Hypothesized Trace 0.05


No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.459873 62.57369 15.49471 0.0000


At most 1 0.003584 0.362676 3.841466 0.5470

Trace test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level


* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue)

Hypothesized Max-Eigen 0.05


No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.**

None * 0.459873 62.21101 14.26460 0.0000


At most 1 0.003584 0.362676 3.841466 0.5470

Max-eigenvalue test indicates 1 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level


* denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level
**MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values

Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I):

DG LIHK
-272.5569 0.291097
1.027009 -1.339350

Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):

D(DG) 0.015623 0.000728


D(LIHK) 0.006978 -0.001220

1 Cointegrating Equation(s): Log likelihood 494.7056

Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)


DG LIHK
1.000000 -0.001068
(0.00056)

Adjustment coefficients (standard error in parentheses)


D(DG) -4.258138
(0.59557)
D(LIHK) -1.901964
(0.62081)

Lampiran 7. Hasil Uji Granger Causality Test Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi

Pairwise Granger Causality Tests


Date: 05/24/09 Time: 03:32
Sample: 1980Q1 2006Q4
Lags: 4

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

LIHK does not Granger Cause DG 102 11.0364 2.3E-07


DG does not Granger Cause LIHK 3.93783 0.00535

Pairwise Granger Causality Tests


Date: 05/25/09 Time: 00:47
Sample: 1980Q1 2006Q4
Lags: 4

Null Hypothesis: Obs F-Statistic Probability

INF does not Granger Cause DG 102 11.9354 7.2E-08


DG does not Granger Cause INF 3.82558 0.00635

You might also like