Professional Documents
Culture Documents
Doni Satria1
Abstract
The long run relationship between inflation and economic growth has been
recognized by macroeconomist in the last three decades. This leads to implementation of
inflation targeting as monetary framework in develop and developing countries including
Indonesia. For developing countries inflation effect on economic growth is more supply
side phenomena than demand side or economic fluctuation (Basu, 2000), theoretically,
the insignificance response of output to increasing effective demand (such as higher
employment rate). On the other hand stable and low inflation rate in the long run will
promote higher output growth. These two theoretical analisis could be tested with
granger causality test for more price behavior of relationship between inflation and
growth in Indonesia. For the long run relationship between inflation and growth, I use
the Johansen cointegration test. Base on these methods, I found significance two way
causality between inflation and growth in Indonesia. Base on the Johansen Cointegration
Test, there is no linier long run relationship between inflation and economic growth in
Indonesia. Furthermore to check on the non linierity relationship between inflation and
growth, I run the simple OLS regression on inflation and growth. The result has shown a
non linier causality relationship from inflation to economic growth using Indonesian
annual data from 1981 to 2010. The data reveals there is long run non linier relationship
between inflation and growth.
1. Latar Belakang
Kerangka kerja kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh suatu negara sangat
terkait dengan tingkat pembangunan sektor keuangan dan kondisi fundamental
makroekonominya. Kondisi perekonomian Indonesia paska krisis ekonomi tahun 1998,
tidak memungkinkan Bank Indonesia untuk melanjutkan penggunaan kerangka kerja
yang menggunakan monetary aggregate sebagai jangkar kebijakan moneter di Indonesia
(Goeltom, 2008). Berdasarkan kondisi tersebut sejak bulan juli 2005 Bank Indonesia
menggunakan pentargetan inflasi sebagai kerangka kerja untuk menjalankan kebijakan
moneter.
1
Dosen Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang
Alasan dari sebuah negara menggunakan kerangka kerja IT (inflation targeting)
adalah: pertama, inflasi merupakan satu-satunya variable ekonomi yang dapat
dipengaruhi oleh kebijakan moneter dalam jangka panjang. Kedua, keyakinan bahwa
inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka panjang sangat penting untuk pencapaian
sasaran makroekonomi lainnya, termasuk dalam hal ini adalah pertumbuhan ekonomi
(Barro, 1995).
Secara teoritis keterkaitan antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi dalam
teori pembangunan ekonomi dapat dikemukakan secara garis besar sebagai berikut. Pada
negara-negara berkembang Inflasi terjadi akibat kebijakan mengurangi tingkat
pengangguran dan penciptaan effective demand dalam perekonomian. Karena output
perekonomian negara-negara berkembang itu tidak mampu me-response kenaikan
employment rate dan effective demand tersebut, maka terjadi inflasi. Dengan kata lain
berdasarkan pandangan ini maka inflasi di negara berkembang lebih merupakan
fenomena aggregate supply. (Lihat Basu, 2000; Hal 66-72).
Landasan teoritis ini menimbulkan pertanyaan mengenai arah kausalitas inflasi
dengan pertumbuhan ekonomi. Disatu sisi diyakini oleh para ahli ekonomi makro bahwa
inflasi yang rendah dan stabil akan mempunyai dampak positif terhadap petumbuhan
ekonomi. Disisi lain berdasarkan teori pembangunan ekonomi inflasi adalah akibat
adanya masalah dalam pembangunan ekonomi yang menyebabkan output tidak mampu
merespon kenaikan effective demand. Indonesia saat ini merupakan salah satu negara
berkembang yang menerapkan inflation targeting sebagai kerangka kebijakan moneter.
Disisi lain Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki permasalahan supply
side. Sebagai konsekuensinya upaya pencapaian target inflasi dalam penerapan kerangka
kerja Inflation Targeting di Indonesia dapat menjadi tidak efektif karena adanya
fenomena structural inflation dalam perekonomian. Kondisi ini menjadi menarik untuk
dianalisis lebih lanjut khususnya untuk kasus Indonesia.
Dalam studi ini akan dikemukakan teori pembangunan ekonomi tentang inflasi,
kemudian dilakukan review literartur yang menganalisis hubungan inflasi dan
pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya penulis akan menganalisis arah kausalitas inflasi
dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
2. Tinjauan Literatur
2.1. Inflasi dan Structural Disequilibrium
Basu (2000) menformalisasi argumen dari Kalecki (1976) tentang inflasi sebagai
fenomena yang disebabkan oleh structural disequilibrium dalam perekonomian negara
berkembang. Pengembangan argumen Kalecki ini dijelaskan dalam model yang
dikembangkan Cardoso (1983). Penjelasan teoritis dari model ini adalah sebagai berikut:
Dalam perekonomian terdapat 2 sektor; consumer goods dan capital goods. Xi
adalah supply barang i, pi adalah harga barang i dan ci adalah marginal propensity to
consume barang i. Assumsikan 0<c2<c1 dan c2+c1<1. Selanjutnya diasumsikan
pemerintah membeli G unit barang X2. Maka kondisi keseimbangan permintaan dan
penawaran terhadap barang 1 adalah:
X 1 c1 p1 X 1 p2 X 2 / p1 (1)
p1 1 c2 X 2 G
(4)
p2 c2 X 1 c2 X 1
Dengan mengasumsikan tenaga kerja akan mempertahankan upah riilnya (rigid
real wages), maka secara matematis:
W w / p1 (5)
Dimana W adalah upah riil dan w adalah upah nominal. Persamaan ini
menyatakan bahwa pekerja akan mempertahankan tingkat upah riilnya realtif terhadap
barang produksi pertanian/barang konsumsi. Assumsi selanjutnya adalah p2 satu-satunya
faktor produksi yang berubah adalah tenaga kerja, dan pegusaha yang memproduksi
barang modal menetapkan harga dengan cara mark up. Dengan assumsi ini maka harga
barang modal adalah:
p2 ml2 w (6)
Dimana (1-m) adalah besaran margin keuntungan yang ditetapkan oleh
pengusaha, dan l adalah jumlah tenaga kerja yang digunakan. Keenam persamaan ini
membentuk sebuah model analisis yang akan menjelaskan fenomena inflasi sebagai
akibat adanya kondisi structural disequilibrium dalam perekonomian negara
berkembang. Dengan menggabungkan persamaan (5) dan (6) akan didapat:
p1 1
(7)
p2 ml2W
Dalam model ini Persamaan (7) disebut sebagai aspiration equilibrium, dimana
persamaan ini mengimplikasikan bahwa pekerja dan pengusaha berusaha
mempertahankan tingkat upah riil dan tingkat keuntungannya. Dengan menggunakan
persamaan (3), (4) dan (7) anlisis ketidakseimbangan structural sebagai penyebab inflasi
dapat dilakukan dengan menggunakan analisis grafis sebagai berikut:
p1 Industrial Equilibrium
p2
Agriculture Equilibrium
E
B C Aspiration equilibrium
0 X2
akibat proses market clearing. Kondisi ekses demand ini dalam grafis menunjukan
perekonomian berada pada wilayah dibawah garis keseimbangan sektor pertanian. Akibat
kenaikan harga p1, akan mengakibatkan W turun, untuk mempertahankan W pada level
awal maka tenaga kerja akan menaikan w (persamaan 5). Selanjutnya akibat adanya
kenaikan w, maka berdasarkan persamaan (7) akan terjadi kenaikan p2. Selanjutnya
berdasarkan persamaan (3) kenaikan p2 akan menyebabkan kondisi disequilibrium di
sektor pertanian yang selanjutnya akan menyebabkan kenaikan p1 karena adanya proses
market clearing. Selanjutnya proses yang sama akan berulang-ulang yang merupakan
gambaran dari persistensi inflasi dalam perekonomian yang mengalami structural
disquilibrium.
Dalam grafis arah proses menuju keseimbangan ditunjukan oleh tiga anak panah
dalam segitiga ABC. Karena hanya satu arah horizontal, maka perekonomian akan
mencapai kondisi keseimbangan pada salah satu titik diantara titik A dan C, misalnya di
titik E. Pada titik E inflasi akan tetap terjadi pada tingkat tertentu sebagai fenomena
structural disequilibrium dalam perekonomian.
Berdasarkan teori structural disequilibrium ini, maka dapat disimpulkan bahwa
ada kondisi dimana inflasi yang terjadi khususnya di negara berkembang bukanlah hanya
semata-mata permasalahan dari sisi fenomena uang lebih banyak dari barang dan jasa
yang tersedia. Namun selain itu juga merupakan sebagai akibat adanya masalah
structural disequilibrium yang dijelaskan oleh model diatas. Secara garis besar teori ini
menyatakan kondisi perekonomian yang menyebabkan terjadinya inflasi, bukan inflasi
yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
y
f(k)
(n+g+k
sf(k), (
sf(k), (
y
k0 k1 k
Berdasarkan hasil uji Granger Causality test diatas menunjukan bahwa inflasi granger
cause pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan ekonomi juga granger cause inflasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada kausalitas dua arah antara inflasi dan
pertumbuhan ekonomi.
Hasil temuan empiris ini perlu dicermati lebih jauh khususnya terkait dengan
temuan tidak terdapatnya hubungan jangka panjang antara inflasi dengan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia. Sarel (1995), menemukan hubungan jangka panjang yang non
linier antara inflasi dengan pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya menggunakan model
regresi ordinary least square (OLS) dilakukan pengujian untuk mengetahui hubungan
jangka panjang yang non linier antara inflasi dengan petumbuhan ekonomi. Model yang
digunakan untuk melakukan pengujian ini adalah:
Dimana: growth, adalah persentase laju pertumbuhan ekonomi tahunan Indonesia, inf,
adalah persentase laju inflasi yang dihitung menggunakan pertumbuhan indeks harga
konsumen, sedangkan e adalah error term yang memenuhi asumsi regresi OLS.
Menggunakan data PDB riil dan tingkat inflasi tahunan di Indonesia dalam periode 1981-
2010, hasil estimasi model regresi pada persamaan (8) dapat disampaikan sebagai
berikut:
Dependent Variable: GROWTH
Method: Least Squares
Sample (adjusted): 1982 2010
Included observations: 29 after adjustments
Newey-West HAC Standard Errors & Covariance (lag
truncation=3)
Barro R. J. (1995). Inflation and Economic Growth, NBER Working Paper 5326
Basu, Kaushik, (2000). Analitical Development Economics,The Less Developed Economy
Revisited, MIT Press, London-England
Enders, W., (2004), Applied Econometric Time Series, New York: John Wiley & Sons
Gillman, Max, and Anton Nakov, 2003, A Revised Tobin Effect from Inflation: Relatif
Input Price and Capital Ratio Realignments, US and UK, 1959-1999, Economica
Vol 70 No. 279 (August 2003)
Goeltom, Miranda (2008), Experience with Inflation Targeting and Other Monetary
Policy Frameworks: Similarities and Difference, 27th Central Banking Course,
Bangkok, 19th Sepetember 2008.
Gokal, Vikesh and Subrina Hanif (2004), Relationship Between Inflation and Economic
Growth, Bank Of Fiji, Working Paper.
Harris, Mark N, Max Gilman, and Laszlo Matyas (November 2001) Negative Inflation
Growth Effect: Theory and Evidence Melbourne Institute Applied Economic and
Social Research, Working Paper No. 12/01, 2001
Juhro, Solikin M. (2008), Respon Kebijakan Moneter yang Optimal di Indonesia: The
State Contingent Rule?, Buletin ekonomi Moneter dan Perbankan April 2008, Bank
Indonesia, Jakarta.
Sahminan (2006) Inflasi Inti dan Response Kebijakan Moneter di Indonesia Bank
Indonesia, www.bi.go.id
Satria, Doni. (2007) Sumber-sumber Inflasi di Indonesia: Sebuah Kerangka Kerja Untuk
Menganalsis Tingkat Inflasi di Indoensia. Laporan Penelitian, FE-UNP, Tidak
Dipublikasikan.
Sweidan, Osama D. (2004) Does Inflation Harm Economic Growth in Jordan? An
Econometric Analysis for the Period 1970 – 2000 International Journal of Applied
Econometric and Quantitative Studies, Vol 1-2, 2004
Vega, Marco and Diego Winkelried. (2005), Inflation Targeting and Inflation Behaviour:
A Succesful Story? , International Journal of Central Banking, December 2005.
Walsh, Carl. E, (2008), Inflation Targeting: What Have We Learned?, The John
Kuszczak Memorial Lecture, University of California at Santa Cruz.
Lampiran 1. Hasil uji unit root Pertumbuhan Ekonomi (G)
t-Statistic Prob.*
Coefficie
Variable nt Std. Error t-Statistic Prob.
-
G(-1) 0.355187 0.169842 -2.091281 0.0391
-
D(G(-1)) 0.563134 0.142718 -3.945791 0.0001
-
D(G(-2)) 0.580046 0.110646 -5.242386 0.0000
-
D(G(-3)) 0.637082 0.077884 -8.179889 0.0000
C 0.006615 0.003685 1.795473 0.0757
t-Statistic Prob.*
Coefficie
Variable nt Std. Error t-Statistic Prob.
G LIHK
-75.40682 1.044113
59.05407 0.880329
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha):
t-Statistic Prob.*
Coefficie
Variable nt Std. Error t-Statistic Prob.
-
D(G(-1)) 3.316825 0.163491 -20.28748 0.0000
D(G(-1),2) 1.488360 0.118907 12.51700 0.0000
D(G(-2),2) 0.730041 0.065034 11.22559 0.0000
C 0.001014 0.002573 0.394181 0.6943
-
R-squared 0.888227 Mean dependent var 0.000845
Adjusted R-squared 0.884840 S.D. dependent var 0.076914
-
S.E. of regression 0.026101 Akaike info criterion 4.415620
-
Sum squared resid 0.067445 Schwarz criterion 4.313300
Log likelihood 231.4044 F-statistic 262.2411
Durbin-Watson stat 1.971846 Prob(F-statistic) 0.000000
Lampiran 5: Hasil Uji Unit Root First Difference Inflasi
t-Statistic Prob.*
Coefficie
Variable nt Std. Error t-Statistic Prob.
-
D(LIHK(-1)) 0.433026 0.080519 -5.377943 0.0000
C 0.010760 0.003177 3.386373 0.0010
-
R-squared 0.217588 Mean dependent var 0.000271
Adjusted R-squared 0.210065 S.D. dependent var 0.028109
-
S.E. of regression 0.024983 Akaike info criterion 4.522570
-
Sum squared resid 0.064911 Schwarz criterion 4.472316
Log likelihood 241.6962 F-statistic 28.92227
Durbin-Watson stat 1.995979 Prob(F-statistic) 0.000000
DG LIHK
-272.5569 0.291097
1.027009 -1.339350
Lampiran 7. Hasil Uji Granger Causality Test Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi