You are on page 1of 20

Volume 4, Issue 1, April 2022

E-ISSN 2721-0642
Implikasi Bantuan Uni Eropa terhadap Indonesia: Suatu Analisis
Pembangunan Internasional dan Keamanan Lingkungan
RMT Nurhasan Affandi1, Fuad Azmi1, Windy Dermawan1, Gilang Nur Alam1, Emil
Mahyudin1
1Universitas Padjadjaran Bandung
Email: affandi@unpad.ac.id

Abstract
This paper aims to analyze EU foreign aid for development and the environment. To achieve this
goal, the author describes the EU-Indonesia diplomatic relations in development and the
environment and the implications of foreign aid for Indonesia’s environmental policy. This paper
uses qualitative research methods by exploring indirect data sources derived from documentation
studies and searching data through the internet. The theory used in this paper is Dependency
Development Theory and Environmental Security. This paper finds that foreign aid from the
European Union poses a dilemma for Indonesia, where on the one hand foreign assistance is needed
for environmental development and maintenance, as well as poverty alleviation and socio-political
inequality at the current global level. On the other hand, the strengthening of foreign aid in
developing countries, especially in Indonesia, has led to Indonesia’s dependence on the European
Union. Several foreign aids have been prioritized for the maintenance of Indonesia’s biological
resources, which are one of the lungs of the world. This certainly has a positive impact in the midst
of other types of impacts that are increasingly massive developments in developed countries which
have negative effects on the environment.
Keywords: Foreign Aid, Indonesia, Environmental Security, Development, European Union.

Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis bantuan asing Uni Eropa bagi pembangunan
dan lingkungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis memaparkan mengenai
hubungan diplomatik Uni Eropa-Indonesia dalam pembangunan dan lingkungan dan
implikasi bantuan asing bagi kebijakan Indonesia di bidang lingkungan. Tulisan ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggali sumber data tidak langsung
yang berasal dari studi dokumentasi dan penelusuran data melalui internet. Teori yang
digunakan dalam tulisan ini adalah Teori Pembangunan Dependensia dan Keamanan
Lingkungan. Tulisan ini menemukan bahwa bantuan asing dari Uni Eropa memberikan
dilemma bagi Indonesia, dimana pada satu sisi bantuan asing diperlukan bagi
pembangunan dan pemeliharaan lingkungan, serta pengentasan kemiskinan dan
ketidaksetaraan sosial-politik di level global saat ini. Namun di sisi lain menguatnya
bantuan asing di negara berkembang khususnya di Indonesia menimbulkan
ketergantungan Indonesia terhadap Uni Eropa. Beberapa bantuan asing justru
diprioritaskan bagi pemeliharaan sumberdaya hayati Indonesia yang menjadi salah satu
dari paru-paru dunia. Hal ini tentunya memberikan dampak positif di tengah-tengah
jenis dampak lainnya semakin massifnya pembangunan di negara-negara maju yang
menimbulkan efek negatif bagi lingkungan.

303
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
Kata Kunci: Bantuan Asing, Indonesia, Keamanan Lingkungan, Pembangunan, Uni
Eropa.

Pendahuluan
Marshall Plan sebuah istilah yang terkenal di era pasca Perang Dunia II yang
merujuk pada sebuah inisiatif usaha Amerika Serikat yang saat itu merupakan pihak
pemenang perang untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Eropa yang notabene
merupakan daerah yang terkena dampak paling parah dari Perang Dunia ke-2, Marshall
Plan di inisiasi oleh seorang George Marshall, yang merupakan U.S. Secretary of State
pada tahun 1947 dengan alasan logis bahwa Amerika Serikat perlu membantu
pengembalian stabilitas ekonomi dunia, karena tanpa itu, stabilitas politik dan
perdamaian tidak akan bisa dicapai (DeLong & Eichengreen, 1993). Singkatnya, dari
sanalah sejarah “kebaikan” negara eknomoni besar dunia di mulai yakni munculnya
istilah kebijakan bantuan asing. Bantuan asing pada dasarnya merupakan sebuah
transfer atau penyerahan modal, uang, barang dan jasa secara sukarela di dunia
hubungan internasional dari sebuah negara atau agensi dan organisasi Internasional
kepada negara penerima dan populasinya yang bertujuan untuk membantu negara
resipien bantuan terserbut. Hans Morghentau, salah satu pemikir utama hubungan
internasional, berpendapat bahwa bantuan asing merupakan inovasi nyata dan konret
yang diperkenalkan dunia modern pada praktik kebijakan luar negeri walaupun secara
praktis sering kali menimbulkan kontroversi (Morgenthau, 1962).
Bantuan Internasional ini juga dapat melibatkan berbagai macam tipe bantuan
seperti bantuan kemanusiaan dan bencana alam (humanitarian and disaster relief) seperti
bantuan terhadap tsunami yang dialami Indonesia pada 2004, gempa bumi yang
dinyatakan sebagai bencana nasional, konflik yang melibatkan displacement and suffering
di sebuah negara, dan sebagainya (Lancaster, 2007). Kemudian Economic Aid atau
bantuan ekonomi yang berusaha memberikan modal dan investasi pada infrastruktur
dan berupaya mensponsori pembangunan dan perkembangan negara miskin, selain itu
ada pula Bantuan Militer (Military Support) dan Healthcare Program yang dilakukan oleh
berbagai macam negara saat Pandemi melanda contohnya pandemi COVID-19 pada
tahun 2020. Bantuan asing juga dapat berbentuk transfer sumber daya keuangan atau
komoditas semisalnya, makanan atau peralatan militer atau saran dan pelatihan teknis
untuk meningkatkan kapabilitas dan kemampuan. Sumber daya yang diberikan ini
dapat berbentuk hibah atau konsesi kredit yang merupakan bentuk pinjaman dengan
negara donor memberikan jangka waktu yang panjang untuk mengembalikan utang
tersebut dengan bunga pula yang diberikan (kredit ringan) (Juselius, Møller, & Tarp,
2013). UNDP menyebutkan potensi besar dari sistem bantuan ini untuk pembangunan
Internasional, bahwa bantuan asing merupakan sebuah gerakan anti-kemiskinan
terbesar yang pernah ada yang bertujuan untuk meminimalisir kemiskinan. Bantuan
asing dapat diberikan oleh individu, organisasi swasta, ataupun pemerintah. Standard
yang membatasi jenis transfer mana yang dianggap "bantuan" dan yang mana yang
bukan berbeda dari satu negara ke negara lain. Namun, tentu bantuan yang jumlahnya
paling besar sejak munculnya istilah ini adalah dari sektor publik yakni pemerintahan
entah itu dari IGOs ataupun negara dengan ukuran bantuan yang paling banyak

304
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
digunakan adalah ukuran dari Bantuan Pembangunan Resmi atau Official Development
Assistance (ODA) (Hunt, 2014).
ODA sendiri adalah istilah yang diciptakan oleh Development Assistance Committee
(DAC) sebuah forum yang dimiliki Organization for Economic Cooperation and Development
(OECD) – organisasi ekonomi antar pemerintah (IGOs) yang anggotanya merupakan 37
negara dengan Indeks Pembangunan Manusia (HDI) tinggi dan dikategorikan sebagai
negara maju yang berkomitmen terhadap demokrasi dan ekonomi pasar– yang memiliki
fungsi sebagai wadah yang membahas isu tentang bantuan internasional, pembangunan
dan perlawanan terhadap kemiskinan di negara berkembang (Führer, 1972). ODA
pertama kali digunakan pada tahun 1969 sebagai sebuah alat ukur bantuan asing dan
indikator aliran bantuan internasional (termasuk pinjaman) yang akan memfiltrasi apa
saja transaksi yang memenuhi persyaratan sebagai bantuan dengan syarat antara lain
ODA perlu mengandung tiga elemen (IMF & OECD, 2003): (a) dilakukan oleh sektor
resmi (lembaga resmi, termasuk pemerintah negara bagian dan lokal, atau lembaga
eksekutif mereka); (b) dengan promosi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
sebagai tujuan utama; (c) berdasarkan persyaratan finansial lunak (jika pinjaman,
memiliki elemen hibah setidaknya 25 persen).
Berdasarkan ODA yang dirilis oleh Organization for Economic Co-operation and
Development (OECD) pada tahun 2015, Uni Eropa atau European Union (EU) dan negara
anggotanya merupakan donatur terbesar dari bantuan pembangunan internasional
dengan jumlah 86.66 miliar dollar AS ($86.660.000.000) dan berhasil mengakumulasi
proporsi nilai jumlah bantuan asing tertinggi jika diambil berdasarkan PDB yang lebih
tinggi daripada serikat ekonomi lainnya, dengan Norwedia dan Swedia sebagai negara
yang paling ‘murah hati’ karena masing-masing mengalokasikan 1.07% dan 1.02%
berturut-turut dari PDBnya untuk didonasikan dalam bantuan pembangunan
internasional (UNDP, 2005).
Uni Eropa sebagai sebuah serikat ekonomi dan politik yang beranggotakan 27
negara maju dan menjadi salah satu serikat negara berdulat yang sukses menerapkan
dan mengembangkan pasar tunggal internal melalui standar sistem undang - undang
yang berlaku di semua negara anggota memastikan pergerakan bebas baik dari orang
atau individu dari negara anggota, barang, layanan, dan modal dalam pasar internal Uni
Eropa kemudian menetapkan undang-undang di bidang keadilan dan urusan dalam
negeri serta mempertahankan kebijakan bersama tentang perdagangan, pertanian,
perikanan dan pembangunan daerah, maka Uni Eropa dapat dikatakan menjadi sebuah
entitas politik tersendiri yang terdiri dari berbagai negara berdaulat di kawasan Eropa.
Selain itu di bidang ekonomi dan keuangan atau fiskal, penggunaan mata uang bersama
yakni Euro (€) menjadi sebuah fenomena unik dimana beberapa negara berdaulat
menggunakan sistem keuangan yang sama dan secara hukum berlaku sangat luas
(Jorgensen, Aarstad, Drieskens, Laatikainen, & Tonra, 2015).
Kebijakan bantuan luar negeri Uni Eropa (UE) ke negara-negara ketiga dipandu
oleh prinsip-prinsip di mana Uni Eropa didirikan yakni demokrasi dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia, kebebasan mendasar, dan supremasi hukum. Tujuan utama
kebijakan Uni Eropa tentang bantuan asing, sebagaimana diamanatkan oleh Perjanjian
Lisbon tahun 2009, adalah pengurangan dan penghapusan kemiskinan. Bantuan asing

305
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
didistribusikan berdasarkan program dan strategi multi-tahunan yang disiapkan oleh
European External Action Service (EEAS) yang lahir pada Perjanjian Lisbon. Europe Aid,
yang merupakan Direktorat Jenderal (Ditjen) baru dari Komisi Eropa adalah lembaga
yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan tujuan bantuan asing dari Uni
Eropa (Verschaeve & Takacs, 2013). Uni Eropa dan negara-negara anggotanya juga
merupakan kontributor terbesar dalam aspek pendanaan iklim sebagai sarana untuk
mengurangi perubahan iklim dan secara finansial mendukung proyek dan program
adaptasi lingkungan dalam mendukung negara-negara berkembang dengan
menyediakan €14,5 miliar pada 2014. Pendanaan iklim dari anggaran Uni Eropa sendiri
akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2020, menjadi 20% dari total
anggaran. Antara 2014 dan 2020 Uni Eropa dan negara-negara anggotanya bertujuan
untuk memberikan rata-rata €2 miliar dalam bentuk hibah kepada negara-negara
berkembang. Salah satu negara yang mendapat donor dalam sektor lingkungan dan
perubahan iklim adalah Indonesia (Simamora, 2009).
Hubungan diplomatik antara negara - negara Eropa dan Indonesia dimulai pada
tahun 1949. Awalnya, hubungan Uni Eropa (UE) - Indonesia difasilitasi melalui kerja
sama Uni Eropa-ASEAN (Association South East Asian Nation) dimana Indonesia
merupakan salah satu negara pendiri ASEAN itu sendiri (European Union, 2000). Pada
2009 ditandatangani perjanjian Kerjasama dan Kerjasama UE-Indonesia atau PCA. PCA
membuka jalan bagi kerja sama yang lebih dekat di berbagai bidang dan mencakup
berbagai bidang kerja sama, seperti perdagangan, investasi, hak asasi manusia, dan
perubahan iklim. Perjanjian ini membayangkan empat bidang prioritas, yaitu
pendidikan, hak asasi manusia dan demokrasi, perdagangan dan investasi, dan
lingkungan (Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam dan ASEAN, 2013).
Indonesia sendiri pada UN Climate Summit di Copenhagen pada tahun 2009 telah
berkomitmen untuk mengambil bagian dalam rencana pengurangan emisi global dan
mempromosikan ekonomi rendah karbon untuk membantu melindungi planet ini dari
perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, sebuah tujuan yang mendapat respon
positif dan dukungan penuh secara ekonomi dan politik dari UE dan negara-negara
anggotanya. Indonesia juga akan fokus pada mendorong negara-negara maju untuk
memberikan dana kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi dan
beradaptasi dengan perubahan iklim. Uni Eropa dalam waktu dan tempat yang sama
memberikan pernyataan kesiapan dalam upaya pembiayaan atau pemberian bantuan
ekonomi untuk membantu negara berkembang melawan dampak dari pemanasan global
adalah sekitar $ 100 miliar per tahun. Selama tiga tahun terakhir, UE dan negara-negara
anggotanya telah mendukung inisiatif perubahan iklim Indonesia dengan US $ 1,5 miliar
atau € 1,17 miliar (Simamora, 2009).
Memang melestarikan lingkungan hidup dan mengurangi perubahan iklim
merupakan hal yang penting baik dari perspektif negara maupun dunia internasional.
Demikian pula, arus bantuan dari negara kaya ke negara miskin perlu dilakukan demi
pemerataan dan penghilangan kesenjangan internasional. Gagasan bahwa aliran
bantuan asing yang akan memengaruhi lingkungan negara berkembang telah menjadi
perdebatan yang hangat sejak awal masa industrialisasi pasca Perang Dunia II (OECD,
2019). Indonesia sebagai sebuah negara yang telah mengalami masa signifikan

306
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
perubahan ekonomi, politik, dan lingkungan juga Hutan di Indonesia memainkan peran
penting bagi pasokan oksigen di Indonesia bahkan dunia karena Indoensia memiliki ±
40 juta hektar hutan hanya di Kalimatan sendiri. Dengan hutan yang besar, Indonesia
dapat memasok 200-300 ton oksigen per 200 ribu hektar lahan hutan. Karena itu peran
Indonesia sangat penting dalam penyerapan karbon dioksida dunia juga mengatur iklim
karena dapat mengurangi pemanasan global (Miller, 1997).
Ultimate Goals dari bantuan internasional memang, seperti mengutip dari pidato
George Marshall pada 5 Juni 1947 di Universitas Harvard memang diarahkan bukan
untuk upaya melawan suatu negara ataupun suatu doktrin, tetapi akan mengarah pada
perlawanan terhadap kelaparan, kemiskinan, keputusasaan dan kekacauan dan haruslah
mendukung kebangkitan ekonomi dunia (Arvin & Barillas, 2002). Namun muncul
pertanyaan besar yang secara teori ekonomi rasional bahwa pelaku ekonomi akan
meminta timbal balik dari apa yang telah dikeluarkan dan negara merupakan salah satu
aktor atau pelaku ekonomi karena bagaimanapun bantuan asing merupakan suatu
instrumen kebijakan luar negeri yang digunakan oleh negara maju dalam sektor ekonomi
untuk mencapai sebuah tujuan yaitu terwujudnya kepentingan nasional negara tersebut.
Bantuan asing ke negara-negara berkembang telah dikritik sebagai pemborosan dan
bahkan kontraproduktif. Hal inilah yang menjadi kontroversi apakah bantuan asing
merupakan suatu hal yang efektif untuk mengatasi kesenjangan dalam pemerataan
ekonomi dunia ataukah merupakan sebuah sistem ekonomi politik global yang hanya
menjadikan negara dunia ketiga tetap menjadi negara miskin setelah perang dunia ke 2
dan perang dingin ataupun meningkatkan tingkat dependensi negara kecil pada negara
pusat (core) (Okereke, 2008).
Perdebatan tentang bantuan asing dalam pembangunan negara khususnya
Indonesia di bidang lingkungan ini perlu dikaji lebih dalam dengan mempertimbangkan
aspek dampak dan efektivitasnya dalam upaya pembangunan dan pemerataan dalam
dunia Internasional dan apakah bantuan asing ini tepat sasaran serta apakah benar
negara secara cuma-cuma memberikan dana transfer untuk negara lain tanpa ada alibi,
karena hipotesis tentang bantuan asing akan selalu mengarah pada pengaruh politis
yang berdasarkan pada kepentingan negara inti atau pusat di teori sistem dunia.

Metode
Tulisan ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggali sumber
data tidak langsung yang berasal dari studi dokumentasi dan penelusuran data melalui
internet. Teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah Teori Pembangunan
Dependensia dan Keamanan Lingkungan.

Teori Pembangunan Dependensi


Sebuah komunitas masyarakat akan terus berkembang dari waktu ke waktu kepada
bentuk yang diinginkan oleh masyarakat tersebut yang tentunya komunitas itu akan
menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Terdapat beberapa bentuk
perkembangan yang dilakukan dalam persepektif masyarakat internasional bergerak
dan salah satunya adalah pembangunan atau development. Pembangunan merupakan
sebuah konsep yang luas dan digunakan untuk sebagai alat ukur untuk menentukan

307
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
gerak perkembangan masyarakat. Dalam tingkat internasional, pembangunan
internasional adalah sebuah indikator yang menunjukkan gagasan bahwa sebuah entitas
politik komunitas masyarakat yakni negara memiliki tingkat "pembangunan" yang
berbeda pada skala internasional yang juga menjadi dasar penyebutan dasar untuk
klasifikasi internasional seperti negara maju (developed country), negara berkembang
(developing country) dan negara miskin (less develop country) dan untuk bidang praktik dan
penelitian yang dalam berbagai cara terlibat dengan proses pembangunan internasional,
yang pada dasarnya membentuk opini dan hanya sebuah justifikasi.
Istilah pembangunan seringkali diidentikan dengan pembangunan ekonomi, secara
historis karena terkait erat dengan seperangkat lembaga –terutama Lembaga Bretton
Woods– yang muncul setelah Perang Dunia Kedua dengan fokus pada pertumbuhan
ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kondisi kehidupan di negara-
negara yang sebelumnya terkena dampak kolonialisme barat (terjajah) yang membawa
negara-negara di dunia kedalam sebuah perangkap struktur besar perekonomian dunia.
Strukturalisme adalah teori pembangunan yang berfokus pada aspek struktural yang
menghambat pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Kaum strukturalis
berpendapat bahwa satu-satunya cara negara-negara Dunia Ketiga dapat berkembang
adalah melalui tindakan oleh negara. Negara-negara dunia ketiga harus mendorong
industrialisasi dan harus mengurangi ketergantungan mereka pada perdagangan
dengan Dunia Pertama dan perdagangan di antara mereka sendiri.
Tindak lanjut dari pemikiran strukturalisme itu adalah teori dependensi atau
ketergantungan. Teori ketergantungan menyatakan bahwa keterkaitan negara-negara
kurang berkembang atau less developed country (LDC) dengan negara-negara industri
yang lebih maju telah berdampak merugikan negara-negara tersebut. Teori
ketergantungan adalah gagasan bahwa sumber daya mengalir dari "pinggiran" negara
miskin dan terbelakang ke "inti" negara kaya. pendapat utama dari teori ketergantungan
bahwa negara miskin dimiskinkan dan negara kaya diperkaya dengan cara negara
miskin diintegrasikan ke dalam "sistem dunia". Teori ini secara resmi dikembangkan
pada akhir 1960-an setelah Perang Dunia II, ketika para sarjana mencari akar masalah
dalam kurangnya pembangunan di Amerika Latin. Namun dalam sudut pandang negara
maju menyatakan bahwa semua masyarakat mengalami kemajuan melalui tahap-tahap
pembangunan yang serupa, sehingga daerah-daerah yang terbelakang saat ini berada
dalam situasi yang mirip dengan daerah-daerah maju saat ini pada suatu waktu di masa
lalu, dan bahwa, oleh karena itu, tugas membantu daerah-daerah terbelakang dari
kemiskinan adalah untuk mempercepat mereka di sepanjang jalur pembangunan yang
seharusnya ini, dengan berbagai cara seperti investasi, transfer teknologi, dan integrasi
yang lebih dekat ke pasar dunia.
Dominasi kekuatan ekonomi dan moneter serta fiskal dari negara maju serta sistem
pertukaran mata uang yang dikeluarkan dan diatur oleh mereka dianggap oleh teori
dependensi sama sekali tidak menguntungkan negara miskin secara ekonomi dan
kesejahteraan sebuah Eeek yang tidak menguntungkan ini dapat dinilai dalam hal
tingkat bunga dan inflasi "dunia" yang tinggi dan tingkat inflasi mereka, konsekunsinya
adalah negara yang perlu meminjam dana atau membutuhkan dana akan membutuhkan
bantuan dari negara lain atau bahkan sebuah lembaga keuangan dan moneter dunia

308
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
seperi World Bank dan IMF (International Monetary Fund) atau bahkan bergantung pada
bantuan internasional atau bantuan asing yang pada dasarnya tidak memberikan banyak
bantuan bahkan menambah berbagai persyaratan kredit karena bagaimanapun aliran
dana itu akan menuntut pengembalian yang akan dialirkan kepada negara maju karena
lembaga dan program ini memang dikendalikan oleh negara maju yang tidak benar-
benar berkecenderungan untuk membantu negara miskin dan berkembang untuk
menjadi negara maju.
Banyak negara telah dipengaruhi oleh efek positif dan negatif dari Teori
Ketergantungan. Gagasan ketergantungan nasional pada bangsa lain bukanlah konsep
yang relatif baru meskipun teori ketergantungan itu sendiri agak baru. Ketergantungan
diabadikan dengan menggunakan kapitalisme dan keuangan. Negara-negara tergantung
datang untuk berutang banyak uang dan modal kepada negara-negara maju sehingga
tidak mungkin untuk melepaskan diri dari hutang, melanjutkan ketergantungan untuk
masa depan yang dapat diperkirakan. Beberapa sarjana dan politisi mengklaim bahwa
dengan menurunnya kolonialisme, ketergantungan telah terhapus. Cendekiawan lain
menentang pendekatan ini, dan menyatakan bahwa masyarakat kita masih memiliki
pusat kekuatan nasional seperti Amerika Serikat, Negara-negara Eropa seperti Jerman
dan Inggris, Cina, dan India yang sedang naik daun yang diandalkan oleh ratusan negara
lain untuk bantuan militer, investasi ekonomi dll. Strategi ini adalah yang
mengembangkan negara-negara yang lebih lemah menjadi negara-negara yang
bergantung dan tidak ada peluang untuk mengalami pertumbuhan atau perbaikan.

Keamanan Lingkungan
Lingkungan merupakan sebuah aspek yang tak terpisahkan dari kehidupan
manusia, walau sering kali dilupakan dan tidak dirasakan, kontribusi lingkungan hidup
pada kehidupan manusia memiliki kontribusi yang tak terpikirkan. Gagasan pemikiran
sosial yang luas mengenai kepedulian terhadap perlindungan lingkungan dan
peningkatan kesehatan lingkungan sangatlah diperlukan terutama karena langkah
untuk kesehatan ini berupaya menggabungkan dampak perubahan terhadap lingkungan
pada manusia, hewan, tanaman dan bahkan benda mati. (Laferrière & J.Stoett, 1999) Hak-
hak yang dimiliki lingkungan secara filosofis dan ideologis inilah yang diperjuangkan
oleh para enviromentalis yang juga lebih berfokus pada aspek-aspek yang berkaitan
dengan lingkungan dan alam seperti penyebarluasan ideologi politik hijau serta ekologi
sosial dan lingkungan (O’Neill, 2009).
Dalam studi hubungan internasional, aspek lingkungan bukanlah sebuah aspek
yang tak biasa untuk di bahas bahkan telah menjadi salah satu bidang isu standar dan
ilustratif. Pertanyaan tentang kapan, jika, dan seberapa baik pemerintah nasional bekerja
sama untuk mengatasi masalah lingkungan bersama, menjadi pusat hubungan antara
teori hubungan internasional dan lingkungan. Kemudian, betapa pentingnya masalah
lingkungan khususnya bagi negara, atau aktor negara lainnya menimbulkan perdebatan
yang cukup besar. Lebih mendasar lagi, ada kebutuhan untuk mengakui pentingnya
masalah tentang area ini dan bagaimana mengubah perspektif teoretis yang digunakan
oleh para ahli politik global dalam isu lingkungan ini. Dalam disiplin hubungan
internasional, pengembangan kesadaran akan gagasan keadilan internasional dan

309
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
kesetaraan dalam aspek perjanjian lingkungan multilateral telah lama diterapkan pada
berbagai kebijakan kompleks seputar perubahan lingkungan global dan tata kelola
lingkungan global (Paterson, 2000).
Environmentalisme merupakan upaya untuk menyeimbangkan hubungan antara
manusia dan berbagai sistem alami yang menjadi dasarnya. Environmentalisme juga
menunjukkan gerakan sosial yang berupaya memengaruhi proses politik dengan
aktivitas advokasi, aktivisme, dan pendidikan untuk melindungi sumber daya alam dan
ekosistem dengan tujuan akhir kehidupan yang harmonis antar manusia dan
lingkungannya demi mewujudkan kehidupan yang berkisanambungan dan berdasarkan
pada keberlanjutan alam. O’Neill (2009) memberikan analisisnya tentang bagaimana
posisi analisis enviromentalisme dalam keterbatasan analisis lama politik global.
“However, if there is one thing that the global politics of the environment have taught us, it is that
traditional political science and international relations approaches have limits when applied to
problems of such political, scientific, and social complexity as those associated with global
environmental change. ... Many of these new perspectives lie well outside the traditional
disciplinary parameters of international relations theory, but are becoming more central to debates
within the field of international – or global – environmental politics” (O’Neill, 2009).
Enviromentalisme berusaha menyadarkan tentang keterbatasan yang dimiliki oleh alat
analisis studi politik dan hubungan internasional sebuah negara dalam melihat aspek
lingkungan sebagai sebuah variabel yang penting. Singkatnya bahwa ancaman terhadap
keberlanjutan lingkungan dan dampak yang diterima lingkungan dari berbagai aktivitas
negara dewasa ini mendorong perlunya rekonfiigurasi multi-disiplin antara perpolitikan
global dan pemikiran ekologi yang akhirnya menjadi teori baru yang didukung oleh para
enviromentalisme yakni ekopolitik (O’Neill, 2009).
Environmentalisme terus berevolusi untuk menghadapi isu-isu baru seperti
pemanasan global, kelebihan penduduk, rekayasa genetika, dan polusi yang menyerang
berbgai aspek lingkungan dengan itu pergerakan lingkungan yang merupakan sebuah
istilah mencakup konservasi dan gerakan hijau bertransformasi dalam berbagai bentuk
bahkan mulai masuk kedalam agenda internasional serta mengarahkan sebuah
pemerintahan baik di tingkat nasional maupun rezim internasional untuk mengambil
sebuah keputusan peraturan dan undang-undang yang dapat diberlakukannya untuk
pelestarian sumber daya alam dan lingkungan (de Steiguer, 2006). Muncul pula
organisasi-organisasi lingkungan yang dapat bersifat global, regional, nasional atau lokal
yang bisa dikelola pemerintah ataupun swasta (LSM ) (Okereke, 2008). Pada tingkat
internasional, kepedulian terhadap lingkungan adalah subyek dari Konferensi PBB
tentang Lingkungan Manusia di Stockholm pada tahun 1972, dihadiri oleh 114 negara.
Dari pertemuan ini dikembangkan UNEP (United Nation Environmental Program) yang
kemudian dilanjutkan oleh tenbentuknya United Nations Framework Convention on Climate
Change (UNFCCC) pada 9 Mei 1992 yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang akan mencegah interferensi antropogenik
berbahaya dengan sistem iklim. Kerangka kerja ini menguraikan bagaimana perjanjian
internasional tertentu (disebut "protokol" atau "Perjanjian") dapat dinegosiasikan untuk
menentukan tindakan lebih lanjut menuju tujuan UNFCCC (McCormick, 1995).

310
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642

Hasil dan Pembahasan


Bantuan Asing dan Pembangunan
Bantuan asing dan bantuan pembangunan internasional merupakan sebuah wacana
dan diskurusus besar dalam agenda publik internasional terkait kebijakan aspek
pembangunan internasional dan penghapusan kemiskinan serta ketidaksetaraan
diseluruh tempat di negara berkembang namun memang sejak saat itu pula bantuan
asing dan efektivitasnya dalam mendorong pertumbuhan dan pembangunan di negara-
negara berkembang telah menjadi sebuah bidang kontroversial yang intens (Morgenthau,
1962). Bantuan asing pada dasarnya merupakan sebuah instrumen dalam usaha sebuah
komunitas dan entitas politik masyarakat bernama negara dalam pencapaian suatu
tingkat pembangunan atau pertumbuhan - identik dengan tingkat perekonomian dengan
bantuan dari pihak eksternal yakni dalam dunia hubungan internasional dari negara
asing dan lembaga atau organisasi internasional (Arvin & Barillas, 2002). Bantuan luar
negeri dalam perspektif pemerintahan dapat diartikan sebagai sebuah aliran transfer
barang, jasa, dan modal dari satu negara atau organisasi internasional atau lembaga
agensi bantuan internasional yang bertujuan untuk membantu negara penerima dan
populasinya.
Bantuan asing merupakan salah satu jenis dari pelaksanaan praktik ekonomi politik
internasional yang dianggap oleh Morghentau sebagai sebuah inovasi nyata praktik
kebijakan luar negeri yang diperkenalkan oleh zaman modern (Morgenthau, 1962). Hal
ini bukan tak berdasar, praktik bantuan asing dalam studi kebijakan luar negeri memang
sebuah hal baru, pada periode akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 mungkin
memang sudah terdapat beberapa program yang bertujuan untuk meringankan masalah
kemanusiaan dan arus keuangan berupa pinjaman dari satu entitas politik baik negara
maupun kerajaan ke negara lain namun pemberian sumber daya dalam bentuk apapun
dari satu pemerintahan ke yang lainnya (atau mungkin dari sebuah organisasi
internasional atau LSM) yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dengan tujuan penting
untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi masyarakat non-warga negaranya di
negara lain tak pernah terdengan bahkan tidak terpikirkan dalam lingkaran kebijakan
publik pemerintahan sebuah negara (Lancaster, 2007).
Bantuan asing dalam pendefinisian yang lebih tepat guna akan mengarah pada
sebuah forum diskusi Development Assistance Committee (DAC) yang berada di bawah
Organisation for Economic Co-operation and Development's (OECD) yang merupakan forum
khusus untuk membahas isu seputar bantuan, pembangunan dan pengurangan tingkat
kemiskinan di negara-negara berkembang, DAC menyebutkan bahwa istilah “foreign aid”
atau “development assistance” mengacu pada sebuah aliran dana keuangan yang
memenuhi syarat sebagai bantuan resmi atau Official Development Assistance (ODA). ODA
didefinisikan sebagai sejumlah hibah dan pinjaman kepada penerima bantuan yang (a)
dilakukan oleh sektor resmi negara donor; (B) dengan promosi pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan di negara-negara penerima sebagai tujuan utama; (c) berdasarkan
persyaratan finansial lunak, di mana elemen hibah sama dengan setidaknya 25 persen
(IMF & OECD, 2003) Selain aliran keuangan, biaya kerjasama teknis termasuk dalam
ODA; tetapi hibah, pinjaman, dan kredit untuk keperluan militer tidak termasuk, dan

311
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
pembayaran transfer kepada perorangan secara umum tidak diperhitungkan. Hal yang
sama berlaku untuk amal swasta, pinjaman komersial dan investasi asing langsung (FDI).
(Tarp, 2006)
Dewasa ini, diberbagai negara miskin dunia praktik kegiatan yang didanai dengan
bantuan dari pemerintah asing atau organisasi internasional telah tersebar luas dan
menjadi sebuah hal yang familiar. Klaim kuat tentang potensi bantuan internasional
seringkali dikeluarkan dalam banyak riset dan laporan dari agensi bantuan internasional
saat ini, salah satunya UNDP (United Nations Development Programe) yang membuat
pernyataan umum yakni
“International aid is one of the most effective weapons in the war against poverty. ... Today,
that weapon is underused, ineefficiently targeted and in need of repair” (UNDP, 2005)
Klaim tersebut memang menunjukkan sebuah tujuan utama dari bantuan
interasional yakni pengentasan kemiskinan dan ketidaksetaraan di level global saat ini,
namun secara gamblang disebutkan pula sebuah kontradiksi dari bantuan asing ini,
tidak hanya dalam laporan UNDP saja namun di berbagai laporan lain bahwa banyak
sektor dan strategi nasional yang memerlukan dukungan dunia internasional yang
signifikan tetapi sistem internasional tidak menyediakannya karena kurangnya aturan
yang mendukung dan berbagai aspek lainnya. Bipolaritas dari pernyataan ini seolah
menjadi sebuah kalimat “aid does work already and will work in the future, but aid is also not
working” dan kembali membawa pertanyaan, apakah bantuan asing itu efektif?.

Nilai Guna dari Bantuan Asing


Nilai guna dari bantuan asing untuk pembangunan dalam pencapaian tingkat
pembangunan manusia dan ekonomi yang merupakan target dari pembangunanan
internasional seperti yang sudah disebutkan pada sub-bab sebelumnya memang
menimbulkan perdebatan hangat. Bantuan asing sendiri memang pertama kali lahir dari
sebuah sistem bantuan untuk rekonstruksi ekonomi pasca perang dunia kedua yang
diberikan oleh Amerika Serikat pada dunia, khususnya Eropa yang menjadi tonggak
awal politik ekonomi praktik kebijakan luar negeri bantuan asing ini. Namun apakah
Marshall Plan yang terkenal itu merupakan inisiasi yang hanya berdasarkan pada
‘kemurahan hati’ atau terdapat alibi lain di balik transfer dana senilai $ 12 Miliar yang
setara $ 128 miliar di saat ini (Mawdsley, Savage, & Kim, 2013).
Beberapa kritik datang dari berbagai pihak contohnya datang dari Walter LaFeber
yang berpendapat bahwa rencana itu adalah imperialisme ekonomi Amerika dan bahwa
itu adalah upaya untuk mendapatkan kontrol atas Eropa Barat seperti halnya Soviet
mengendalikan Eropa Timur secara ekonomi dan Naom Chomsky mengatakan bahwa
Marshall Plan "set the stage for large amounts of private U.S. investment in Europe, establishing
the basis for modern transnational corporations" bahkan Cowen berpendapat pemulihan
ekonomi Perancis, Italia, dan Belgia dimulai beberapa bulan sebelum aliran uang AS
datang. Hal tersebut membuktikan bahwa Amerika Serikat bukan tanpa alasan
memberikan hibah bantuan pembangunan yang mejadi tonggak pembaruan dalam
kebijakan luar negeri dunia saat ini itu (Easterly, 2008).
Berbagai harapan yang digantung tinggi tentang bergunanya bantuan untuk masa
depan sebuah negara namun fakta yang tidak searah sejalan dengan ekspektasi iru

312
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
merupakan kumpulan konsekensi dari apa yang telah, sedang dan akan dilakukan atau
harus dilakukan dalam permasalahan bantuan pembangunan dan dapat disimpulkan
bahwa satu pandangan yang dapat diterima adalah sistem bantuan internasional saat ini
tidak baik dan tidak pula berfungsi dengan baik. Namun, terlepas dari ketidakpuasan
serta kesadaran akan tidak baiknya sistem ini, berbagai aktor politik terutama negara-
negara besar yang kaya nampak setuju untuk meningkatkan besaran volume bantuan
yang mereka berikan. (Nielson, 2012) Mereka mulai bekerja dengan satu sama lain, dan
dengan negara-negara berkembang, untuk menyelaraskan pekerjaan mereka untuk
meningkatkan efeknya. Lembaga-lembaga bantuan selalu mencari cara-cara baru untuk
meningkatkan efektivitas bantuan, termasuk persyaratan, pengembangan kapasitas dan
dukungan untuk tata kelola yang lebih baik. Berikut merupakan 10 jumlah tertinggi dari
nilai bantuan pembangunan resmi (secara absolut) yang disumbangkan oleh 10 negara
anggota DAC ( OECD, 2014).
Tabel 1 Top 10 Aid Donor Countries (2013)
No. Negara Jumlah Bantuan
1. Uni Eropa $ 86,66 miliar
2. Amerika Serikat $ 31,55 miliar
3. Inggris Raya $ 17,88 miliar
4. Jerman $ 14,06 miliar
5. Jepang $ 11,79 miliar
6. Prancis $ 11,38 miliar
7. Swedia $ 5,83 miliar
8. Norwegia $ 5,58 miliar
9. Belanda $ 5,44 miliar
10. Kanada $ 4,91 miliar
Jika dilihat dari data diatas bahwa Uni Eropa dan negara anggotanya menempati
puncak jumlah bantuan internasional Negara-negara Uni Eropa bersama-sama
memberikan $ 70,73 miliar dan Lembaga Uni Eropa memberikan $ 15,93 miliar lebih
lanjut. Uni Eropa juga mengakumulasi porsi PDB yang lebih tinggi sebagai bentuk
bantuan asing daripada serikat ekonomi lainnya Negara-negara Uni Eropa yang menjadi
anggota Komite Bantuan Pembangunan memberikan 0,42% dari GNI (tidak termasuk
$ 15,93 miliar yang diberikan oleh Lembaga Uni Eropa). Uni Eropa menjadi pendonor
bantuan pembangunan terbesar di dunia dan juga penyumbang terbesar pendanaan
iklim. sebagai sarana untuk mengurangi perubahan iklim dan secara finansial
mendukung proyek dan program adaptasi dalam mendukung negara-negara
berkembang, menyediakan € 14,5 miliar pada 2014. Pendanaan iklim dari anggaran UE
akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2020, menjadi 20% dari total
anggaran. Antara 2014 dan 2020 Uni Eropa dan negara-negara anggotanya bertujuan
untuk memberikan rata-rata € 2 miliar dalam bentuk hibah kepada negara-negara
berkembang.

Bantuan Internasional Uni Eropa mengenai Lingkungan bagi Negara Berkembang


Uni Eropa sebagai donatur bantuan internasional terbesar memiliki berbagai
kebijakan bantuan luar negeri Uni Eropa (UE) ke negara ketiga yang dipandu oleh
313
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
prinsip-prinsip di mana Uni Eropa didirikan yakni demokrasi dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia, kebebasan mendasar, dan supremasi hukum. Tujuan utama
kebijakan Uni Eropa tentang bantuan asing, sebagaimana diamanatkan oleh Perjanjian
Lisbon tahun 2009, adalah pengurangan dan penghapusan kemiskinan (Nielson, 2012).
Uni Eropa dan dua puluh tujuh negara anggotanya diminta untuk mengoordinasikan
tindakan mereka, dan saling melengkapi dan memperkuat, untuk memberikan bantuan
asing yang lebih baik dan lebih efisien. Selain pengurangan kemiskinan, prioritas lain
dari kebijakan pembangunan UE di bawah "Konsensus Eropa tentang Pembangunan"
termasuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan melindungi lingkungan,
membangun dan mengkonsolidasikan demokrasi dan supremasi hukum dan
meningkatkan efektivitas bantuan di negara-negara yang paling miskin dan
berpenghasilan rendah yang memiliki prioritas dalam menerima bantuan asing dalam
jumlah yang lebih besar (Easterly, 2008).
Bantuan asing didistribusikan berdasarkan program dan strategi multinasional
yang disiapkan oleh European External Action Service (EEAS) yang terbentuk dalam Lisbon
Treaty melalui EuropeAid yang merupakan Direktorat Jenderal (Ditjen) baru dari Komisi
Eropa yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan tujuan bantuan asing Uni
Eropa. Namun sesungguhnya selama bertahun-tahun, bantuan UE telah banyak dibahas
dan dikritik. Selain tuduhan kuno, lambat dan birokratis ada juga kompleksitas
kedekatan dengan kebijakan luar negeri Uni Eropa secara umum karena bantuan asing
memang merupakan instrumen kebijakan hubungan ekonomi dan luar negeri sebuah
negara namun UE meruapakan sebuah komunitas regional yang mengintegrasikan
negara-negara anggotanya (Nielson, 2012).
Uni Eropa memiliki beberapa standar lingkungan tertinggi di dunia, yang
dikembangkan selama beberapa dekade. Kebijakan lingkungan membantu ekonomi UE
menjadi lebih ramah lingkungan, melindungi sumber daya alam Eropa, dan menjaga
kesehatan dan kesejahteraan orang yang tinggal di UE. Menjaga kualitas lingkungan
adalah suatu hal yang penting karena lingkungan merupakan pusat kesehatan, ekonomi,
dan kesejahteraan oleh karena itu, usaha pelestarian lingkungan meruapakan suatu hal
yang penting baik dari perspektif negara maupun dunia internasional. Dalam hubungan
Internasional terdapat berbagai aturan dan perjanjian yang membentuk rezim
internasional dalam upaya melindungi lingkunga. Perjanjian iklim internasional terbaru
diadopsi di Paris pada bulan Desember 2015 dan akan mulai berlaku pada tahun 2020.
Uni Eropa pun turut berkontribusi dalam upaya global untuk memerangi perubahan
iklim. Komisi Eropa sedang mencari cara yang tepat dan juga hemat biaya untuk
membuat ekonomi Eropa yang lebih ramah lingkungan dan juga hemat energi. Pada
tahun 2050, Uni Eropa diharapkan dapat memangkas sebagian besar emisi gas rumah
kaca. Tindakan penlestarian lingkungan dan pencegahan perubahan iklim ini telah
dimasukkan ke dalam seluruh anggaran Uni Eropa dari tahun 2014-2020. Kurang lebih
20% dari anggaran Uni Eropa digunakan untuk tindakan terkait iklim (European
Comission, 2019).
Dengan fakta UE dan negara-negara anggotanya juga merupakan kontributor
terbesar pendanaan iklim sebagai sarana untuk mengurangi perubahan iklim dan UE
yang telah berada di garis depan dalam upaya internasional untuk memerangi

314
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
perubahan iklim karena Uni Eropa merasa penting untuk memperantarai Perjanjian Paris
dan terus menunjukkan kepemimpinannya secara global maka literatur ini
berkonsentrasi hampir secara eksklusif tentang hubungan antara bantuan pembangunan
dan lingkungan serta mencoba mengeksplorasi kemungkinan hubungan langsung
antara bantuan asing dan lingkungan. Kemudian pertanyaan apakah bantuan asing –
khususnya yang di berikan Uni Eropa – dapat memengaruhi lingkungan di negara
berkembang menjadi sebuah isu yang relevan untuk dibahas.
Asumsi dasar pemberian bantuan lingkungan sebenarnya sederhana yakni jika
kualitas lingkungan adalah barang normal, maka negara-negara miskin akan lebih
cenderung untuk mengadopsi standar lingkungan yang rendah karena akan lebih murah
(Chao & Yu, 1999). Dengan meningkatkan pendapatan di ekonomi di negara tersebut
dengan bantuan asing maka diharapkan negara miskin dapat meningkatkan standar-
standar ini. Karena degradasi lingkungan di banyak negara miskin terkait dengan
kurangnya dana untuk pembersihan dan pelestarian lingkungan, bantuan asing
memiliki peran untuk setidaknya memperlambat degradasi tersebut. Pada saat yang
sama, bantuan mungkin berdampak buruk pada lingkungan di negara-negara miskin
jika para pencemar di negara-negara kaya yang relatif teregulasi dengan baik berusaha
untuk memindahkan operasinya ke negara-negara berpenghasilan rendah yang
pemerintahnya mungkin menutup mata terhadap pelanggaran lingkungan. Walaupun
demikian, sayangnya polusi tidak menganggap dan hanya berdampak dalam sebuah
wilayah teritorial tertentu dan lambat laun akan mempengaruhi negara lain di Dunia.
Inilah alasan bahwa dampak lingkungan merupakan masalah global (Opršal &
Harmácek, 2019).
Tingkat polusi yang dihasilkan oleh negara-negara berkembang dapat dipengaruhi
oleh transfer pendapatan (seperti bantuan) dari negara-negara kaya. Transfer ini dapat
menyebabkan pembangunan yang tidak berkelanjutan yang mengarah pada degradasi
lingkungan dan ekologi. Manifestasi nya seperti eksploitasi basis sumber daya alam demi
alasan ekonomi namun di sisi lain pandangan sebaliknya menunjukkan bahwa transfer
ini mungkin tidak hanya mengurangi kemiskinan, tetapi mendorong kepedulian yang
lebih besar terhadap sumber daya alam oleh negara-negara miskin (Arvin, Dabir-Alai, &
Lew, 2006). Hal ini unik untuk dilihat baik dari sisi pendonor terbesar maupun dari
negara berkmbang yang memiliki peran penting dalam aspek lingkungan dunia salah
satu contoh negara ini adalah Indonesia.

Hubungan Diplomatik Uni Eropa-Indonesia dalam Pembangunan dan Lingkungan


Hubungan diplomatik antara Uni Eropa dan Indonesia berawal pada tahun 1949
yang di fasilitasi oleh hubungan kerjasama Uni Eropa dengan ASEAN (Association of
Southeast Asian Nations) yang Indonesia sendiri merupakan negara yang memprakarsai
berdirinya ASEAN. Hubungan diplomatik ini terus berkembang hingga pada tahun 1988
Uni Eropa membuka delegasinya di Indonesia. Pada tahun 2000 hubungan ini kembali
menguat dengan keluarnya draft komunikasi Komisi Eropa dengan judul "Developing
Closer Relations between Indonesia and the EU". Di bidang ekonomi sendiri kedua negara
membangun hubungan baik dan secara mendasar hubungan ekonomi kedua entitas ini
merupakan hubungan yang komplementer terhadap kedua belah pihak, bahkan

315
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
Indonesia dan UE sedang berusaha menuju sebuah kerja sama komperhensif dalam
Comprehensive Economic Partnership Agreement yang mencakup perdagangan, investasi
dan jasa. Pada tahun 2009 kerangka kerja Partnership and Cooperation Agreement (PCA)
Indonesia-Uni Eropa di bentuk untuk membuka jalan bagi kerja sama yang lebih dekat
di berbagai bidang bidang kerja sama seperti perdagangan, investasi, hak asasi manusia,
dan perubahan iklim. Perjanjian ini memiliki empat bidang prioritas yaitu pendidikan,
hak asasi manusia dan demokrasi, perdagangan dan investasi, dan lingkungan.
Aspek lingkungan kembali di sebut dalam perjanjian kerja sama ini karena
Indonesia memang sejak pertemuan G-20 dan KTT Kopenhagen di tahun 2009 telah
menegaskan komitmennya untuk ambil bagian dalam rencana upaya pengurangan emisi
global dan mempromosikan industri perekonomian rendah karbon untuk membantu
melindungi planet ini dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia, dan di KTT
tentanng iklim tersebut pula, Indonesia menjadi negara berkembang pertama yang
menjanjikan pengurangan emisi secara sukarela. Indonesia telah berkomitmen untuk
mengurangi emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020, sebuah tujuan yang memiliki
dukungan ekonomi dan politik penuh dari UE dan Negara-negara Anggotanya. Inggris
– yang saat itu masih menjadi bagian dari Uni Eropa – dan Norwegia menyambut positif
hal tersebut dan telah menjanjikan dukungan kepada Indonesia untuk memenuhi
targetnya dan Uni Eropa sendiri mengatakan siap untuk menggelontorkan biaya untuk
membantu negara berkembang melawan dampak dari pemanasan global dengan
besaran sekitar $ 100 miliar per tahun.
Uni Eropa juga telah mengintensifkan program peluncuran kerja sama perubahan
iklim yang memfasilitasi pengelolaan hutan dan sumber daya alam yang berkelanjutan
serta membantu Indonesia menangani masalah lingkungan yang mendesak seperti
pembalakan liar dan kebakaran hutan melalui pembangunan Kesepakatan Kemitraan
Sukarela. Selama beberapa tahun terakhir, UE dan negara-negara anggotanya telah
mendukung inisiatif perubahan iklim Indonesia dengan aliran dana sejumlah US $ 1,5
miliar (€ 1,17 miliar). Kemudian berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Delegasi
Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam dan ASEAN yang berjudul Kerjasama
Pembangunan UE-Indonesia: Mitra Sejajar pada bagian Kerjasama Pembangunan UE-
Indonesia 2012 Dalam Angka, Pencairan dana Uni Eropa dan Negara Anggotanya di
Indonesia pada tahun 2012 dapat dilihat dalam peta grafik berikut:

316
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642

Pencairan dana UE dan Negara Anggotanya


pada tahun 2012 (dalam €)
Pendidikan
2%
15%
Kerjasama Ekonomi

6% 38%
Lingkungan Hidup & Perubahan
Iklim
Tata Kelola Pemerintahan yang baik
29% & Hak Asasi Manusia
10% Kesehatan, Air & Sanitasi

Menurut laporan tersebut pencairan dana kerjasama di bidang Lingkungan Hidup


& Perubahan Iklim menempati posisi ke-2 dengan angka sekitar € 88.118.000. Selain itu
data lain pun yang dirilis oleh European Commission menyatakan Indonesia meruapakan
negara penerima bantuan ODA terbesar ke-8 dari bantuan ODA yang di berikan Uni
Eropa di Asia dengan jumlah 7.39 Miliar Euro sejak 2007 hingga 2020, sektor lingkungan
merupakan sektor yang paling banyak mendapat bagian dalam aliran transfer dana ODA
ini dengan jumlah 872.3 juta Euro dalam kurun waktu yang sama.

Gambar 1 Sektor yang Diberikan Bantuan yang Diberikan oleh Uni Eropa di
Indonesia dan Jumlahnya

317
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642

Implikasi Bantuan Asing bagi Kebijakan Indonesia di Bidang Lingkungan


Indonesia dengan sumberdaya alam melimpah yang terdiri atas 17.508 pulau juga
berada diatas garis khatulistiwa dengan iklim tropis dan bentuk geografis kepulauan
memang sangat mendukung Indonesia menjadi rumah bagi berbagai keanekaragaman
hayati yang melimpah dan merupakan yang tertinggi kedua setelah Brazil. Namun,
dengan meningkatnya opulasi Indonesia yang besar dan terus bertambah dari hari ke
hari serta proses industrialisasi yang cepat di negara ini memang telah dan akan
menghadirkan masalah lingkungan serius. Deforestasi skala besar yang sebagian
besarnya meruapakan praktik ilegal, kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap
tebal di sebagian wilayah Indonesia, eksploitasi sumber daya laut yang berlebihan,
masalah lingkungan yang terkait dengan urbanisasi diiringi oleh pembangunan ekonomi
dan konsekuensinya termasuk polusi udara, kemacetan lalu lintas, pengelolaan sampah,
dan layanan air merupakan berbagai masalah yang dihadapi Indonesia saat ini. Latar
belakangnya adalah masalah lingkungan ini seringkali bukan menjadi prioritas negara
Indonesia dikarenakan tingkat kemiskinan yang tinggi dan sistem tata kelola yang lemah
untuk mengelola sumber daya alam yang sesungguhnya melimpah di daratan dan lautan
Indonesia (Chowdhury & Sugema, 2005).
Indonesia merupakan salah satu negara yang dikategorikan sebagai ‘paru-paru
dunia’ karena pada tahun 1900an, total hutan Indonesia mewakili sekitar 84% dari total
luas lahan Indonesia yang seluruhnya seluas 1,904,569 km2. Namun pada tahun 2010
hanya tersisa 52% dari total luas lahan Indonesia yang berhutan (94 juta ha). Meskipun
ada moratorium kontrak penebangan baru yang diberlakukan pada 2010, laju deforestasi
terus meningkat menjadi sekitar 840.000 hektar pada 2012, melampaui deforestasi di
Brasil. Deforestasi dan perusakan lahan gambut ini menjadikan Indonesia penghasil
emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia. (Vida, 2014)
Negara-negara melihat perubahan iklim memang dari perspektif yang berbeda-
beda, oerubahan iklim dapat menjadi kepentingan nasional utama bagi sebagian besar
negara namun di negara lain hal ini bukanlah suatu prioritas bagi mereka. Negarapun
akan sangat berbeda dalam apa yang dihadapinya akibat dari perubahan iklim namun
semua negara akan mengahdapi konsekuensi bahwa perubahan iklim dapat
memperburuk bencana alam seperti kenaikan permukaan laut, banjir, kekeringan,
gelombang panas, dan topan. Hal ini dapat merusak infrastruktur, mengganggu
stabilitas ekonomi, menggusur orang, dan menyebabkan kelaparan (Wati, Apresian, &
Dewi, 2019).
Pada tahun 2020, Indonesia mulai mengintegrasikan rekomendasi dari Inisiatif
Pembangunan Rendah Karbon yang baru ke dalam rencana pembangunan nasional
2020-2024. Perlindungan dan restorasi mangrove akan memainkan peran penting dalam
memenuhi tujuan pengurangan emisi gas rumah kaca hingga lebih dari 43 persen pada
tahun 2030. Di dunia Internasional sendiri, Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto
pada 1997 dan perpanjangannya di tahun 2012 yang merupakan perjanjian internasional
yang berkomitmen bahwa negara akan mengurangi emisi gas rumah kaca, berdasarkan
konsensus ilmiah bahwa pemanasan global memang terjadi. Selain itu, Indonesia juga
meratifikasi Paris Agreement yang merupakan perjanjian dalam Konvensi Kerangka Kerja

318
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) tentang mitigasi emisi gas rumah kaca,
adaptasi, dan keuangan, yang ditandatangani pada 2016 yang bertujuan akhir untuk
menjaga peningkatan suhu rata-rata global hingga di bawah 2 ° C; dan mengakui bahwa
ini akan secara substansial mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim. (Tørstad &
Sælen, 2018)
Selain itu, sebagai bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim, Uni Eropa
mendukung upaya untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi
(REDD +) di negara-negara berkembang juga untuk mendorong reformasi tata kelola
hutan, meningkatkan keterlibatan pemangku kepentingan dan membantu
menyeimbangkan kepentingan yang bersaing atas sumber daya alam. Indonesia sebagai
mitra Uni Eropa telah mengembangkan prinsip-prinsip untuk sistem untuk memantau
keberlanjutan penggunaan lahan di tingkat provinsi dan kabupaten. Proyek ini
mengembangkan indikator, tonggak kinerja dan kriteria untuk tata kelola penggunaan
lahan yang baik. Untuk itu UE telah meningkatkan kerjasama untuk mengatasi
perubahan iklim beberapa tahun terakhir ini demi mencapai tujuan tersebut. Dalam tiga
tahun belakangan ini, UE dan negara-negara anggotanya membantu inisiatif-inisiatif
perubahan iklim Indonesia dengan dana €1,17 milyar, separuh dari jumlah itu
merupakan bantuan dari UE (Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam
dan ASEAN, 2013).
Walaupun dengan jumlah bantuan besar dan hubungan panjang dalam diplomasi,
hubungan Indonesia-Uni Eropa bukan tanpa masalah. Pada bulan Januari, Parlemen
Eropa (EP) memutuskan untuk melarang penggunaan minyak kelapa sawit untuk
produksi biofuel di Uni Eropa pada tahun 2020, dengan tujuan untuk menghentikan
deforestasi hutan hujan di sebagian besar Indonesia, karena Indonesia notabenernya
merupakan salah satu eksportir kelapa sawit terbesar bagi Uni Eropa. Jelas bahwa
pembukaan hutan hujan untuk produksi biofuel tidak berkontribusi untuk mitigasi
perubahan iklim atau pembangunan berkelanjutan di negara ini. Kemudian pada bulan
Februari 2020, perubahan yang diusulkan untuk deregulasi lingkungan telah
menimbulkan keprihatinan baru, dan dapat memungkinkan perkebunan dan tambang
ilegal untuk menutupi operasi mereka. Puncaknya DPR RI mengesahkan UU Minerba
pada 12 Mei 2020 yang menimbulkan pertentangan di masyarakat dan juga organisasi
peduli lingkungan (Jong, 2020).

Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa secara politis, bantuan asing menimbulkan
kontroversi dengan tujuan ‘mulia’ yang berusaha mengurangi kemiskinan dan
kesenjangan di dunia Internasional. Hingga saat ini, sistem bantuan internasional sudah
berjalan di negara berkembang namun belum berfungsi dengan baik. Walaupun
demikian, negara maju yang tergabung dalam forum Development Assistance Committee
(DAC) yang berada di bawah Organisation for Economic Co-operation and Development's
(OECD) tetap memberikan jumlah bantuan luar negeri yang tinggi melalui Official
Development Assistance (ODA), salah satu penyumbang terbesar adalah Uni Eropa.
Tujuan utama kebijakan Uni Eropa tentang bantuan asing, sebagaimana diamanatkan
oleh Perjanjian Lisbon tahun 2009 adalah pengurangan dan penghapusan kemiskinan

319
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
serta kesenjangan di berbagi bidang. Namun kemudian, efektivitas dari program
bantuan asing dari Uni Eropa ini perlu dikaji kembali. Salah satu sektor yang menjadi
hirauan adalah bidang lingkungan dengan mengeksplorasi kemungkinan hubungan
langsung antara bantuan asing dan lingkungan dimana Indonesia sebagai salah satu
habitat bagi beragam keanekaragaman hayati yang melimpah serta salah satu ‘paru-paru’
dunia merupakan tujuan bantuan pembangunan Uni Eropa ini.
Sayangnya efektivitas bantuan asing Uni Eropa ini belum efektif membantu
menghambat kerusakan lingkungan di Indonesia, memang Indonesia membutuhkan
dana transfer ini namun di sisi lain kebijakan pemerintah Indonesia kontradiktif dengan
keadaan perjanjian yang dilakukan dan menimbulkan pertentangan dalam perubahan
yang diusulkan untuk deregulasi lingkungan. Bahkan walaupun bergantung secara
ekonomi terhadap Uni Eropa sebagai mitra ekspor barang mentah dan pemberi dana
bantuan terbesar, Indonesia memiliki hubungan yang kurang baik dengan Uni Eropa
dalam bidang Lingkungan, yakni dalam masalah penggunaan minyak kelapa sawit
untuk produksi biofuel di Uni Eropa dengan tujuan untuk menghentikan deforestasi
hutan hujan di sebagian besar Indonesia. Fakta ini membuktikan memang ada suatu
ketergantungan terhadap bantuan dana secara moneter dan bidang perdagangan serta
terdapat aliran sumber daya mengalir dari negara berkembang ke negara inti yang kaya
dan sistem bantuan internasional saat ini seakan menjebak negara berkembang untuk
tetap berkembang serta akan selalu mengarah pada pengaruh politis yang berdasarkan
pada kepentingan negara donatur ke negara resipien.

References
OECD. (2014). Aid to developing countries rebounds in 2013 to reach an all-time high.
Arvin, M., & Barillas, F. (2002). Foreign Aid, Poverty Reduction and Democrac. Applied
Economics, 34, 2151.
Arvin, M., Dabir-Alai, P., & Lew, B. (2006). Does Foreign Aid Affect the Environment in
Developing Economies? Journal of Economics Development, 31(1), 63-71.
Chao, C., & Yu, E. (1999). Foreign Aid, the Environment, and Welfare. Journal of
Development Economics, 554.
Chowdhury, A., & Sugema, I. (2005). How Significant and Effective Has Foreign Aid to
Indonesia Been? ASEAN Economic Bulletin.
de Steiguer, E. (2006). The Origins of Modern Environmental Thought. Tucson: University of
Arizona Press.
Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, Brunei Darussalam dan ASEAN. (2013). Kerjasama
Pembangunan UE-Indonesia: Mitra Sejajar. Jakarta: Delegasi Uni Eropa untuk
Indonesia, Brunei Darussalam dan ASEAN.
DeLong, J. B., & Eichengreen, B. (1993). The Marshall Plan: History's Most Successful
Structural Adjustment Program. In R. Dornbusch, W. Nolling, & R. Layard, Postwar
Economic Reconstruction and Lessons for the East Today. (pp. 189-230). Massachusetts:
MIT Press. .
Easterly, W. (2008). Reinventing Foreign Aid. London: The MIT Press.
European Comission. (2019). The EU: a leader in global climate finance. European Comission.

320
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
European Union. (2000, February 2nd). Commission proposes closer EU relations with
Indonesia. Retrieved from An official EU website:
https://ec.europa.eu/commission/presscorner/detail/en/IP_00_98
Führer, H. (1972). The Story of Official Development Assistance.
Hunt, M. (2014). The World Transformed 1945 to the Present. New York.
IMF & OECD. (2003). External Debt Statistics: Guide for Compilers and Users, Official
development assistance (ODA) . Washington DC.: IMF.
Jong, H. N. (2020). Experts see minefield of risk as Indonesia seeks environmental deregulation.
Mongabay Environmental News.
Jorgensen, K. E., Aarstad, A. K., Drieskens, E., Laatikainen, K., & Tonra, B. (2015). The
SAGE Handbook of European Foreign Policy. London: SAGE Publication Ltd.
Juselius, K., Møller, N. F., & Tarp, F. (2013). The Long-Run Impact of Foreign Aid in 36
African Countries: Insights from Multivariate Time Series Analysis. Oxford Bulletin
of Economics and Statistics., 167.
Laferrière, E., & J.Stoett, P. (1999). International Relations Theory and Ecological Thought:
Towards a Synthesis. New York: Routledge.
Lancaster, C. (2007). Foreign Aid: Diplomacy, Development, Domestic Politics. London: The
University of Chicago Press, Ltd.
Mawdsley, E., Savage, L., & Kim, S.-M. (2013). A ‘post-aid world’? Paradigm shift in
foreign aid. The Geographical Journal, 1-12.
McCormick, J. (1995). The Global Environmental Movement. London: John Wiley.
Miller, J. R. (1997). Deforestation in Indonesia and the Orangutan Population. TED Case
Stuides.
Morgenthau, H. (1962, June). A Political Theory of Foreign Aid. The American Political
Science Review, 56(2), 301-309.
Nielson, P. (2012). EU Aid: What Works and Why. Helsinski: ReCom UNU.
O’Neill, K. (2009). The Environment and International Relations. New York: Cambridge
University Press.
OECD. (2019). Aid in Support of Environment. Reporting System database.
Okereke, C. (2008). Global justice and neoliberal environmental governance: ethics, sustainable
development and international co-operation. Oxon: Routledge.
Opršal, Z., & Harmácek, J. (2019). Is Foreign Aid Responsive to Environmental Needs
and Performance of Developing Countries? Sustainability, 1-7.
Paterson, M. (2000). Understanding Global Environmental Politics: Domination, Accumulation,
Resistance. London: Macmillan Press Ltd. doi:10.1007/978-0-230-53677-7
Simamora, A. P. (2009, December 9). Indonesia vows 700Mt gas emission cut by 2020.
Copenhagen.
Tarp, F. (2006). Aid and Development. Swedish Economic Policy Review, 13, 9-61. Retrieved
from https://mpra.ub.uni-muenchen.de/13171/
Tørstad, V., & Sælen, H. (2018). Fairness in the climate negotiations: what explains
variation in parties' conceptions? Climate Policy.
UNDP. (2005). Human Development Report 2005: International Cooperation at a Crossroads:
Aid, Trade and Security in an Unequal World. New York: United Nations Development
Program.

321
Volume 4, Issue 1, April 2022
E-ISSN 2721-0642
Vernengo, M. (2004). Technology, Finance and Dependency: Latin American Radical
Political Economy in Retrospect. Technology, Finance and Dependency, 1-21.
Verschaeve, J., & Takacs, T. (2013). The EU's international identity: the curious case of the
OECD. In H. Dewaele, & J.-J. Kuipers, The emergence of the European Union's
international identity. Leiden: Martinus Nijhoff Publisher.
Vida, J. (2014). Rate of deforestation in Indonesia overtakes Brazil, says study. The Guardian.
Wati, V. O., Apresian, S. R., & Dewi, E. A. (2019). The Collaboration Between Indonesia and
Pacific Island Countries in Facing Environmental Challenges. Bandung.

322

You might also like