Professional Documents
Culture Documents
Ade Irma
Abstract: The status of adopted children in Islamic law and Javanese customs is
still an interesting phenomenon to be studied in Islamic studies, especially to
know the legal consequences of two dimensions, namely Islamic law and
Javanese customs. Indeed, children are mandates that can be nurtured both
physically and mentally by both parents. A child is worthy of life with all the
needs sought by both parents as a form of responsibility. However, these
conditions often cannot be felt by some children because one or both of their
parents died. On that basis, it can cause a child's life condition no longer like a
child in general who still has biological parents. Another problem arises from
the possibility that both parents are not economically capable to finance their
children's lives. Thus, other children are taken to be adopted by other people.
Child adoption ultimately has legal consequences for inheritance. In time the
adopted child can be counted as a person who has the right to get the property
of the adoptive parent after death and the existence of the adopted child has a
position of inheritance. The method in this study uses a review of pure
literature using analytical content. The final results of non-finalWriting indicate
that according to Javanese custom, adoption of a child does not break the child's
relationship with biological parents and adopted children nor are they
biological children of adoptive parents, but adopted children are entitled to
inheritance from their parents and also from people adoptive old man. Whereas
according to Islamic law, cannot accept the existence of adopted child status
over his position of inheritance from adoptive parents.
38
Jurnal Al-Fikru Thn. XIII, No. 1, Januari – Juni 2019 • ISSN 1978-1326
kekayaan (harta warisan) baik dari orang wilayah berlakunya hukum adat di Indo-
tua angkat maupun orang tua asal nesia dalam beberapa lingkungan hukum
(kandung). Sedang cara untuk meneruskan tersebut, yang menunjukkan adanya
pemeliharaan harta kekayaan inipun dapat perbedaan antara hukum adat di ling-
dilakukan melalui berbagai jalur sesuai kungan hukum satu dengan lainnya,
dengan tujuannya. janganlah lalu dikira dalam sesuatu
lingkungan hukum terdapat suatu
ADAT JAWA DAN SUPREMASI HUKUM kesatuan hukum, artinya bahwa dalam
Snouck Horgronje memberi istilah bagian satu di dalam lingkungan hukum
hukum adat yang diperkenalkan olehnya itu hukumnya dalam segala hal sama
dengan sebutan “adatrech” (adat-adat), dengan di bagian lain.
yang mempunyai sanksi-sanksi hukum, Jawa sebagai daerah hukum adat
berlainan dengan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi obyek pembahasan dalam
atau pendirian-pendirian yang tidak mem- kajian ini, kebiasaan yang ada dan dilaku-
bayangkan arti hokum (Soekanto, 1996:- kan dalam masyarakat merupakan sebuah
42). kepentingan bersama sebagai bentuk
Namun demikian, Soediman pranata hukum secara sosial. Bentuk
Kartohadiprodjo mengatakan bahwa Van Pranata hukum dalam masyarakat pada
Vollenhoven yang memakai kata tersebut akhirnya dikenal dengan adat atau hukum
secara sadar dan mempertahankannya adat. Hukum adat yang berlaku di daerah
sebagai istilah yang setepat-tepatnya untuk tertentu dipengaruhi oleh sikap hidup
kaidah-kaidah yang dimaksudkan, karena dalam masyarakat yang bersangkutan
kaidah-kaidah tersebut tidak diberi (Soekanto, 1996:62). ”Adat”, baik sebagai
bentuk undang-undang dan peraturan- hokum adat maupun sebagai adat-istiadat
peraturan tertulis lainnya, tetap merupa- hanya dapat dipahami dengan menyelami
kan hokum (Soediman Kartohadiprodjo, kehidupan, menyelidiki asal mulanya serta
t.th. :131). Hukum adat atas kedudukan- mempelajari caranya orang menerangkan.
nya dalam tata hukum nasional Indonesia Sedang sumber hukum adat Indonesia
merupakan hukum tidak tertulis yang yang penting sekali adalah masyarakat itu
berlaku sepanjang tidak menghambat sendiri. oleh karena itu, untuk memahami
terbentuknya masyarakat sosialis Indo- hukum adat di Jawa, maka perlu lebih dulu
nesia dan menjadi pengatur hidup ber- mengetahui bagaimanakeberadaan masya-
masyarakat (Soerojo Wignjodipoero, rakatnya.
1995:64-65). Keberadaan hidup orang Jawa, tidak
Di Indonesia terdapat berbagai lepas dari kehidupan sosial dan budaya
daerah hukum adat yang membedakannya orang Jawa yang memiliki ragam dan
di antara daerah-daerah hukum adat yang corak budaya. Sedang kehidupan sosial
ada. Seperti telah diketahui, Van dan budaya orang Jawa sendiri dilatar-
Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht belakangi oleh sisa-sisa kebiasaan hidup
van Nederlands Indie membagi hukum adat pada zaman sebelumnya. Pengaruh dari
dalam 19 wilayah hukum (rechtskringen) sisa-sisa kebiasaan- kebiasaan hidup yang
(Sudiman Kartohadiprojo, t.th:132-133). demikian menjadi ciri khas atau warna
Perbedaan hukum adat di antara wilayah tersendiri bagi kehidupan sosial dan
hukum tersebut timbul dari kebiasaan budaya orang Jawa. Pengaruh tersebut
yang berlaku di kalangan masyarakat dapat dimulai dari zaman berdirinya
tertentu yang kemudian menjadi aturan negara-negara Hindu-Jawa. Dalam
dengan sanksi menurut kesepakatan kerajaan-kerajan agraris di Jawa maupun
bersama. Dalam keterangan selanjutnya banyak kerajaan kuno di Asia Tenggara,
dijelaskan, bahwa dengan dibaginya
40 | Menyatukan Hukum Islam dan Adat Jawa Atas Harta Waris Bagi Anak Angkat
Jurnal Al-Fikru Thn. XIII, No. 1, Januari – Juni 2019 • ISSN 1978-1326
sebut tidak akan terlepas dari efektifitas yang dapat membantu pekerjaan orang tua
sosial serta jiwa kemasyarakatan yang sehari-hari.
bersangkutan. Seperti halnya yang terjadi Sistem pengangkatan anak angkat
dalam masyarakat Jawa, pengangkatan terdapat banyak sistem tergantung
anak inipun dilakukan atas dorongan atau kepada adat setempat di mana tiap bangsa
motivasi tertentu serta didasarkan pada mempunyai hukum adatnya sendiri-
tujuan tersendiri. sendiri. Indonesia sebagai negara dengan
Tujuan pengangkatan anak pada banyak suku bangsa, hukum adatnya
hakikatnya didasarkan oleh adanya mempunyai corak tersendiri. Karena itu,
motivasi di atas, sehingga hal inipun tidak sebelum membicarakan mengenai sistem
jauh beda, yaitu untuk mendapatkan niat pengangkatan anak yang berlaku dalam
tulus memelihara, mendidik, memberikan masyarakat Jawa, perlu diketahui corak
rasa cinta dan kasih sayang. Seperti di hukum adat yang dimiliki, yaitu mem-
Jawa barat mengangkat anak dimaksud- punyai sifat kebersamaan atau komunal
kan hanya untuk mengurusnya karena yang kuat, artinya manusia menurut
mereka tidak mampu atau karena alasan- hukum adat merupakan makhluk dalam
alasan lain (Soepomo, 1982:24) untuk ikatan kemasyarakatan yang erat, rasanya
meneruskan keturunan, apabila dalam kebersamaan ini meliputi seluruh
suatu perkawinan tidak memperoleh ke- lapangan hukum adat. Mempunyai corak
turunan, sebagai pancingan, yakni dengan religius-magis yang berhubungan dengan
mengangkat anak keluarga yang mengang- pandangan hidup alam Indonesia. Hukum
kat anak tersebut akan dikaruniai anak adat diliputi oleh pikiran penataan serba
kandung sendiri (Soeroso, 2001:177). konkret, artinya hukum adat sangat mem-
Khususnya di Jawa, Soeroso Wignjo- perhatikan banyaknya dan berulang-
dipoero memberikan sebab adanya ulangnya perhubungan yang konkret.
pengangkatan anak yang pada umumnya Hukum adat mempunyai sifat yang visual
dilakukan terhadap seorang keponakan, artinya perhubungan hukum dianggap
yaitu: Pertama, karena tidak mempunyai hanya terjadi oleh karena ditetapkan
anak sendiri, sehingga memungut seorang dengan suatu ikatan yang dapat dilihat
keponakan yang merupakan jalan untuk (tanda yang kelihatan) (Soepomo,
mendapatkan keturunan. Kedua, karena 1972:145-146).
belum dikaruniai anak, sehingga dengan Masalah pengangkatan anak mem-
memungut keponakan ini diharapkan punyai sifat yang sama antara berbagai
akan mempercepat kemungkinan men- daerah hukum, meskipun karakteristik
dapat anak. Ketiga, terdorong oleh rasa masing- masing daerah tertentu mewarnai
kasihan terhadap keponakan yang ber- kebhinekaan kultural suku bangsa Indo-
sangkutan, misalnya karena hidupnya nesia. Termasuk di Jawa, pengangkatan
kurang terurus dan lain sebagainya anak dilakukan menurut caranya, yaitu:
(Soerojo Wignjodipoero, 1995:119) Pengangkatan anak dilakukan sejak si anak
Soepomo juga memberikan beberapa masih kecil atau bayi. Demikian berlaku di
alasan terjadinya pengangkatan anak di kecamatan Salatiga kota Jawa Tengah.
Jawa, antara lain: untuk memperkuat Pengangkatan anak biasanya juga dilaku-
pertalian dengan orang tua anak yang kan secara diam-diam tanpa se-
diangkat; kadang-kadang oleh sebab belas pengetahuan orang lain, bahkan kepala-
kasihan, jadi untuk menolong anak itu; kepala desa. Hanya antara orang tua yang
berhubung dengan kepercayaan, bahwa mengangkat dan orang tua anak yang
karena mengangkat anak itu, kenudian diangkat saja yang mengetahui hal ini.
akan mendapatkan anak sendiri; mungkin Demikian berlaku pada masyarakat adat di
pula untuk mendapat bujang di rumah, Cilacap Jawa Tengah.
42 | Menyatukan Hukum Islam dan Adat Jawa Atas Harta Waris Bagi Anak Angkat
Jurnal Al-Fikru Thn. XIII, No. 1, Januari – Juni 2019 • ISSN 1978-1326
Pengangkatan anak cenderung di- harta benda dan barang-barang yang tidak
lakukan terhadap kemenakan atau berwujud benda (Immateririele goederen)
keponakan sendiri. Pengangkatan semacam dari suatu angkatan manusia (generatie)
ini dilakukan di Kecamatan Banjarharjo, kepada turunannya. Proses ini telah mulai
Brebes, Semarang, Jawa Tengah (Soeroso, dalam waktu orang tua masih hidup.
2001:188). Pengangkatan anak dari Proses tersebut tidak menjadi “akuut” oleh
kalangan keponakan itu sesungguhnya sebab orang tua meninggal dunia. Memang
merupakan pergeseran hubungan ke- meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu
keluargaan dalam lingkungan keluarga, peristiwa yang penting bagi proses itu,
lazimnya mengangkat keponakan ini tanpa akan tetapi sesungguhnya tidak mem-
disertai pembayaran sesuatu barang pengaruhi secara radikal proses
kepada orang tua anak yang sebenarnya, penerusan dan pengoperan harta benda
yang pada hakikatnya masih saudara dan harta bukan benda tersebut (Soepomo,
sendiri dari orang yang mengangkat anak 1982:84).
tersebut. Tetapi di Jawa Timur, pengang- Ter Haar kemudian merumuskan
katan anak itu adalah suatu perbuatan mengenai hukum waris adat sebagai
kontan yaitu dengan menyerahkan uang berikut: “Hukum adat waris meliputi
sejumlah “rong wang segobang” (17,5 sen) peraturan- peraturan hukum yang ber-
kepada orang tua kandung sebagai sarana sangkutan dengan proses yang sangat
magis. Yang demikian untuk sekedar mengesankan serta yang akan selalu ber-
tanda yang bisa dilihat, bahwa hubungan jalan tentang penerusan dan pengoperan
antara anak dengan orang tuanya telah kekayaan materiil, dan immateriil dari
diputuskan (Iman Sudiyat, 1981:103). suatu generasi berikutnya” (Ter Haar,
Dengan demikian, dapat disimpulkan Beginselen En Stelsel Van Het Adat Recht, t.t.:
bahwa sistem pengangkatan anak me- t.p, t.th:197). Wirjono Prodjodikoro (t.th:-
nurut hukum adat Jawa ialah: pengang- 161) dalam hal ini mem-beri pengertian,
katan anak dilakukan sejak kecil dan secara bahwa warisan itu adalah soal apakah dan
diam-diam, oleh karena perbuatannya bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
tidak dibuat terang. Biasanya hanya kewajiban-kewajiban tentang kekayaan
dilakukan terhadap keponakan sendiri, seseorang pada waktu ia meninggal dunia
sehingga tanpa pembayaran uang atau akan beralih kepada orang lain yang masih
pemberian suatu barang kepada orang tua hidup (Wirjono Prodjodikoro, t.th:8).
asal. Kalaupun ada, demikian hanya Hukum adat waris di Indonesia sangat
sebagai syarat magis dan terbatas. dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan
yang berlaku pada masyarakat yang
INTEGRASI HUKUM WARIS DALAM bersangkutan, yang mungkin merupakan
ADAT JAWA prinsip patrilineal murni, patrilineal
Hukum adat waris meliputi norma- beralih-alih (“alternerend”), matrilineal
norma hukum yang menetapkan harta ataupun bilateral (walaupun sukar di-
kekayaan baik yang materiil maupun tegakkan di mana berlakunya di Indo-
immateriil yang manakah dari seseorang nesia, ada pula prinsip unilateral berganda
yang dapat diserahkan kepada keturunan- atau “dublle-unilateral”). Prinsip-prinsip
nya serta yang sekaligus juga mangatuar garis keturunan terutama berpengaruh
saat, cara dan proses peralihannya. Ada terhadap penetapan ahli waris maupun
beberapa pendapat yang merumuskan hal bagian harta peninggalan yang diwariskan,
tersebut, yaitu menurut Sopeomo hukum yaitu baik yang materiel maupun imma-
adat waris adalah memuat peraturan- terial.
peraturan yang mengatur proses menerus- Hukum adat waris mengenal tiga
kan serta mengoperkan barang-barang sistem kewarisan, yaitu sistem kewarisan
individual, kolektif dan mayorat. Sistem waris adalah mereka yang dalam hidupnya
kewarisan individual merupakan sistem sangat dekat dengan si peninggal warisan.
kewarisan di mana para ahli waris Pertama pada dasarnya yang menjadi ahli
mewarisi secara perorangan atau masing- waris adalah anak- anak dari si peninggal
masing orang mempunyai hak sendiri- harta, baik anak laki- laki dan atau anak
sendiri. Sedang sistem kewarisan kolektif perempuan. Hal ini sejalan dengan sistem
adalah sistem kewarisan di mana para ahli bilateral, yaitu pada masyarakat khusus-
waris secara kolektif atau bersama-sama nya di Jawa. Bahwa yang merupakan ahli
mewarisi harta peninggalan yang tidak waris adalah anak laki-laki maupun anak
dapat dibagi-bagi pemilikannya kepada perempuan, dan Keduanya mempunyai
masing-masing ahli waris. Adapun sistem hak yang sama (gelijk gerechtigd) atas
kewarisan mayorat adalah sistem kewa- harta peninggalan orang tuanya. Adapun
risan di mana seorang ahli waris dapat mengenai obyek hukum waris, bahwa
mewarisi harta peninggalan pewaris pada prinsipnya yang merupakan obyek
sepenuhnya. Artinya bahwa mayorat laki- hukum waris adalah harta keluarga.
laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada Sedang harta keluarga itu dapat berupa:
saat pewaris meninggal atau anak laki-laki Harta suami atau istri yang merupakan
sulung atau keturunan laki-laki merupa- hibah atau pemberian kerabat yang dibawa
kan ahli waris tunggal. Sedang mayorat ke dalam keluarga. Usaha suami atau istri
perempuan, yaitu apabila anak perempuan yang diperoleh sebelum dan sesudah
tertua pada saat pewaris meninggal, adalah perkawinan. Harta yang merupakan hadiah
ahli waris tunggal (Soerjono Soekanto dan kepada suami-isteri pada waktu per-
Soleman B. Taneko, 1981:285-286). kawinan. Harta yang merupakan usaha
Hukum kewarisan adat bersendi atas suami- isteri dalam masa perkawinan.
prinsip yang timbul dari aliran-aliran Harta warisan itu dapat diklasifi-
pikiran komunal dan konkret dari bangsa kasikan sebagai berikut:
Indonesia. Sifat komunal itu tampak antara a. Harta pusaka, yaitu suatu benda yang
lain pada peristiwa tidak dibaginya harta tergolong kekayaan di mana benda
peninggalan di Jawa jika para ahli waris tersebut dianggap mempunyai ke-
sebagai kesatuan atau sebagian dari kuatan magis, Harta bawaan, yaitu
padanya masih memerlukan harta itu sejumlah harta kekayaan yang dibawa
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya oleh (calon) istri pada saat pelak-
sehari-hari, meskipun ada ahli waris lain sanaan perkawinan, atau sesan, Harta
yang menghendaki agar harta peninggalan pencaharian atau disebut juga harta
itu dibagi secara individual. Adapun gono-gini, yaitu harta yang diperoleh
sistem individual dalam sistem hukum oleh suami-isteri dalam ikatan per-
kewarisan adat, adalah sistem kewarisan kawinan, baik secara bersama-sama
dimana harta peninggalan dapat dibagi- maupun sendiri-sendiri, Harta yang
bagikan dan dimiliki secara individual di berasal dari pemberian seseorang,
antara para ahli waris. Sistem ini dianut kepada suami atau istri maupun
dalam masyarakat parental, termasuk di kepada kedua-duanya. Harta warisan
Jawa (Azhar Basyir, 1982:122). dapat berupa barang-barang yang ber-
Pada hakikatnya subyek hukum wujud benda dan barang-barang yang
waris adalah pewaris dan ahli waris. tidak berwujud benda (immateriale
Pewaris adalah seseorang yang mening- goederen), dan dapat diwariskan
galkan harta warisan, sedangkan ahli kepada ahli waris. Di dalam hukum
waris adalah seorang atau beberapa orang waris adat meliputi aturan-aturan dan
yang merupakan penerima harta warisan. keputusan-keputusan hukum yang
pada umumnya mereka yang menjadi ahli bertalian dengan proses penerusan
44 | Menyatukan Hukum Islam dan Adat Jawa Atas Harta Waris Bagi Anak Angkat
Jurnal Al-Fikru Thn. XIII, No. 1, Januari – Juni 2019 • ISSN 1978-1326
46 | Menyatukan Hukum Islam dan Adat Jawa Atas Harta Waris Bagi Anak Angkat
Jurnal Al-Fikru Thn. XIII, No. 1, Januari – Juni 2019 • ISSN 1978-1326
wasiat ialah di satu pihak memberikan sendiri. Anak angkat di daerah ini tidak
pernyataan mengikat tentang sifat mempunyai kedudukan sebagai anak
bagian-bagian harta peninggalannya kandung dan tidak diambil sebagai anak
(harta warisan, harta penghasilan dengan maksud meneruskan keturunan
pribadi, harta yang diperoleh bersama orang tua angkatnya (Chuzaimah T.
selama perkawinan, dan sebagainya); Yanggo dan Hafiz Anshary, 2002:164).
di pihak lain untuk memastikan ber- Pengangkatan anak tidak memutus-
lakunya pembagian yang dipandang kan pertalian keluarga antara anak yang
adil oleh pewaris kepada ahli warisnya diangkat dan orang tuanya sendiri. Anak
dan untuk mencegah timbulnya seng- angkat masuk kehidupan rumah tangga
keta tentang harta peninggalan itu di orang tua yang mengambilnya, sebagai
kemudian hari. Berkaitan dengan hal anggota rumah tangganya (gezinslid), akan
tersebut, koreksi terhadap hukum tetapi ia tidak berkedudukan sebagai anak
waris ab intesto menurut peraturan- kandung dengan fungsi untuk meneruskan
peraturan tradisional atau agama yang turunan bapak angkatnya (Soepomo,
dianggap tidak memuaskan lagi oleh 1972:104). Anak yang diambil sebagai
pewaris, diumpamakan bahwa di Jawa, anak angkat itu, di Jawa biasanya anak
terdapat kebiasaan orang tua mewaris- keponakannya sendiri (neefjesof nichtjes-
kan sebagian dari harta bendanya adoptie), lelaki atau perempuan. Kete-
kepada anak angkat, sehingga anak rangan tersebut menjelaskan, jika
angkat itu terjamin bagiannya, jika di kemudian terdapat hubungan hak dan
kemudian hari harta peninggalan wajib dengan orang tua angkat, hak anak
dibagi menurut hukum Islam. angkat hanya memperoleh nafkah hidup
dari harta peninggalan.
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT TER- Iman Sudiyat menegaskan di
HADAP HARTA WARIS lapangan hukum waris anak angkat tetap
Kedudukan anak angkat terhadap mempunyai pretensi atas harta kekayaan
harta warisan dalam hukum adat Jawa orang tua kandungnya. Atas harta
dapat dikemukakan berdasarkan hu- kekayaan orang tua angkatnya ia juga
bungan kekeluargaan yang terjadi, yaitu: mempunyai pretensi tertentu, tetapi
hubungan kekeluargaan antara bapak mungkin tidak atas harta warisan (barang-
angkat dengan anak angkat itu adalah barang asal) yang harus kembali kepada
sebagaimana hubungan kekeluargaan kerabat suami sendiri atau kerabat isteri
antara orang tua dengan anak kandung. sendiri (justru karena pengangkatan anak
Demikian pula kewajiban bapak ibu di sini bukan urusan kerabat dan karena
angkat terhadap anak angkat adalah perbuatannya tidak dibuat terang) (Iman
memelihara dan mendidik mereka sampai Sudiyat, 1981:104) Mengenai hak mewaris
dewasa, sehingga tercipta hubungan anak angkat terhadap waris orang tuanya
dalam rumah tangga yang pada akhirnya sendiri, hal ini sejalan dengan prinsip di
menimbulkan hak dan kewajiban serta Jawa, bahwa pertalian keluarga antara
konsekuensi terhadap harta benda dalam anak angkat dan orang tua kandungnya
rumah tangga tersebut (Soepomo, 1972:- tidak terputus., sehingga anak angkat tetap
104). tinggal waris orang tua kandung
Di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan (Soepomo, 1972:106.).
Jawa Barat, pengakuan/pengangkatan anak Hak perolehan harta kekayaan atau
hanyalah memasukkan anak itu ke dalam peninggalan dari orang tua angkat seperti
kehidupan rumah tangga yang mengang- tersebut di atas, oleh anak angkat di sini
katnya, tetapi tidak memutuskan pertalian nampaknya belum begitu jelas. Bagaimana
keluarga antara anak dengan orang tuanya pun juga tentunya dengan mengambil
anak sebagai anak angkat dan meme- dituju, yang wajib merupakan kebenaran
liharanya hingga dewasa, sudah barang dan keadilan yang dicerminkan oleh
tentu akan timbul dan berkembang perasaan keadilan dan kebenaran yang
hubungan dalam rumah tangga antara hidup di dalam hati nurani rakyat atau
bapak dan ibu angkat di satu pihak, serta masyarakat yang bersangkutan.
anak angkat di lain pihak. Hubungan ini Oleh karena itu, pemberian harta
menimbulkan hak dan kewajiban antara terhadap anak angkat dalam hukum adat
kedua belah pihak, yang mempunyai Jawa memiliki maksud dan alasan yang
konsekuensi terhadap harta benda dalam sebenarnya, yaitu kebersamaan dan per-
rumah tangggatersebut. setujuan, alasan ini sejalan dengan
Jika anak kandung masih ada maka keadilan dianggap ada jika dilakukan
anak angkat mendapat warisan yang tidak dengan terbuka atau secara bersama dan
sebanyak anak kandung, dan jika orang tua atas kerelaan hati dari masing-masing
angkat takut anak angkatnyatidak men- pihak dalam menyelesaikan sesuatu. Hal
dapat bagian yang wajar/mungkin tersisih ini telah terwujud pada saat pemberian
sama sekali oleh anak kandung dengan harta terhadap anak angkat dilakukan
menggunakan hukum Islam, maka sudah semasa hidup.
menjadi adat kebiasaan orang tua angkat Dalam hukum Islam terdapat asas
itu memberi bagian harta warisan kepada keadilan dan keseimbangan, keadilan
anak angkat sebelum ia wafat dengan cara merupakan nilai yang tidak dapat ditawar-
penunjukan atau hibah/wasiat. Meskipun tawar karena hanya dengan keadilanlah
anak angkat berhak mewaris dari orang ada jaminan stabilitas hidup manusia. Asas
tua angkatnya, namun ia tidak boleh keadilan dan keseimbangan, mengandung
melebihi anak kandung (Achmad Sam- arti bahwa harus senantiasa terdapat
sudin, dkk., 1983:27). keseimbangan antara hak dan kewajiban;
antara hak yang diperoleh seseorang
PENUTUP dengan kewajiban yang harus ditunaikan-
Hak anak angkat atas harta waris nya, maka disinilah nilai-nilai kemanusia-
dalam hukum Islam dan adat Jawa dapat an termasuk di dalamnya.
disimpulkan bahwa hak perolehan harta Sehingga, pasal 209 KHI yang
warisan bagi anak angkat menurut hukum menyebutkan bahwa anak angkat berhak
adat Jawa berhak atas harta warisan dari atas wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
orang tua angkat dengan bagian dan 1/3 dari harta warisan orang tua angkat,
dalam jumlah tertentu, yaitu tidak boleh selanjutnya diartikan bahwa kata
melebihi bagian anak kandung. Selain itu, sebanyak-banyaknya dalam pasal 209 KHI
ketentuan lain menjelaskan bahwa anak tersebut tidaklah cenderung menetapkan
angkat berhak atas harta gono-gini dari bagian sepertiga pada perolehan dengan
orang tua angkat. wasiat. Akan tetapi, sepertiga ini dapat
KHI tidak mengakui adanya kedu- berkurang bila kepentingan ahli waris
dukan anak angkat terhadap harta warisan menghendaki dan dapat pula lebih bila
dari orang tua angkat. Artinya anak angkat ahli waris menyetujuinya. Apabila antara
tidak berhak atas harta warisan orang tua ahli waris tidak menyetujuinya, maka
angkat. Akan tetapi, dalam pasal 209 KHI wasiat hanya dilaksanakan sampai pada
dijelaskan bahwa keberadaan anak angkat batas sepertiga harta warisan yang di-
mempunyai hak wasiat wajibah sebanyak- dasarkan pada asas keseimbangan, yaitu
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang melihat dari apa yang dilakukan atas hak
tua angkat. Bahwa kaidah yang terdapat dan kewajiban seorang anak angkat ter-
dalam hukum adat didasarkan pada hadap orang tua angkat.
keadilan dan kebenaran yang hendak
48 | Menyatukan Hukum Islam dan Adat Jawa Atas Harta Waris Bagi Anak Angkat
Jurnal Al-Fikru Thn. XIII, No. 1, Januari – Juni 2019 • ISSN 1978-1326
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawi, Yusuf, (2006). Islam dan Sekularisme, terj. Amirullah Kandu, Bandung:
Pustaka Setia,
Global Volcanism Program, Sinabung, dalam http://www.volcano.si.edo.com
Irawan, Beni, (2009). Tesis: Dakwah Islam Di Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo
Sumatera Utara, Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Kettani, M. Ali, (2005). Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, terj. Zarkowi Soejoeti,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Lubis, Lahmudin dan Elfiah Muchtar, (2016). Pendidikan Agama dalam Perspektif Islam,
Kristen dan Budha, Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Mei Leandha, Setelah 2 Bulan Erupsi Kecil Gunung Sinabung Kembali Meletus dalam
https://regional.kompas.com
Moleong, Lexy J., (2008). Metodologi Peneltian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mubasirun, (2015). Persoalan Dilematis Muslim Minoritas Dan Solusinya, Jurnal Episteme,
Vol. 10, No.1, Juni.
Shihab, M. Quraish, (2006). Wawasan Alquran; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan.
Suaedy, Ahmad, dkk., (2012). Islam dan Kaum Minoritas; Tantangan Kontemporer, Jakarta:
The Wahid Institute.
Sugiyono, (2008). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Alfabeta.
Tanjung, Erwin, (reporter), Peluncuran Buku Profil Dakwah Ummat Islam Kab.Karo, dalam
http://dmi-tanahkaro.blogspot.co.id/