You are on page 1of 6

Jurnal Analogi Hukum, 3 (1) (2021), 116–121

Jurnal Analogi Hukum


Journal Homepage: https://ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/analogihukum

Kedudukan Wanita Dalam Mewaris Setelah Adanya


Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa
Pakraman Bali (Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010)
Ni Putu Indah Pratiwi*, Diah Gayatri Sudibya dan Ni Made Sukaryati Karma

Universitas Warmadewa, Denpasar-Bali, Indonesia

*indahpratiwi@gmail.com
How To Cite:
Pratiwi, N. P. I., Sudibya, D. G., & Karma, N. M. S. (2021). Visum Kedudukan Wanita Dalam Mewaris Setelah Adanya Keputusan Pesamuhan
Agung III Majelis Utama Desa Pakraman Bali (Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010). Jurnal Analogi Hukum. 3(1). 116-121. Doi:
https://doi.org/10.22225/ah.3.1.3033.116-121

Abstract—The survival of a society is guaranteed by marriage, which there is a legal heir. The existence of
legal heirs in Indonesia is still not currently legal, as well as unification of Bali from a district with other
counties could not be equated the inheritance system. Bali has a fatherly line that ispatrilinial, which causes
only the descendants of the kapurusa's status as heir in the family. Then with the decision of the Supreme
Pesamuhan III which describes possible female heir or heirs. Formulation of the difficulty in this study is how
the situation of women in Bali in Bali where the inheritance in the family embraced the system patrinial and
how the position of women of Bali after the promulgation of the decision of the Supreme Pesamuhan III
MUDP. The type of research used in this study is normative legal research. Thus the legal heirs in Bali
customs, women cannot inherit because she is not capable in undertaking its obligations, whether liability
caring for parents or an obligation in customary and ayahan temples. Whereas after the Supreme Pesamuhan
III MUDP Bali said women can fully inheriting like male although in that women marrying out but he had to
keep running its obligations.
Keywords: Inheritance Customary Law; Position of Women; Decision of Pesamuhan Agung

Abstrak—Kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin oleh perkawinan, yang didalamnya terdapat hukum
waris. Adanya hukum waris di Indonesia saat ini masih belum merupakan unifikasi hukum, begitupun di Bali
dari satu kabupaten dengan kabupaten lainnya tidak dapat disamakan sistem kewarisannya. Di Bali menganut
sistem patrilinial yaitu mengikuti garis kebapakan, yang menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa
yang menjadi pewaris dalam keluarga. Lalu dengan adanya Keputusn Pesamuhan Agung III yang menjelaskan
dapatnya wanita menjadi pewaris atau ahli waris. Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu Bagaimana
kedudukan wanita Bali dalam pewarisan yang ada di Bali dalam sistem kekeluargaannya menganut patrinial
dan bagaimana kedudukan wanita Bali dengan adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa
Pakraman Bali. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Dengan itu dalam hukum waris adat Bali wanita tidak dapat mewaris karena dianggapnya tidak mampu dalam
menjalankan kewajibannya, baik kewajiban merawat orang tua ataupun kewajiban dalam ayahan adat dan
pura. Sedangkan setelah adanya Pesamuhan Agung III MUDP Bali dikatakan wanita dapat mewaris secara
penuh layaknya laki-laki walaupun dalam hal itu wanita kawin keluar namun ia harus tetap menjalankan
kewajibannya.
Kata Kunci: Hukum Adat Waris; Kedudukan Wanita; Keputusan Pesamuhan Agung

1. Pendahuluan dengan cara membentuk keluarga dan


melanjutkan keturunan melalui perkawinan
Warga Negara ialah orang-orang bangsa yang sah sesuai Undang-undang Dasar Negara
asli Indonesia dan orang-orang bangsa lain yang Republik Indonesia Tahun 1945. Di Indonesia
disahkan dengan Undang-undang sebagai warga khususnya di Bali mengenal hukum waris
Negara serta setiap orang berhak untuk hidup setelah adanya perkawinan yang dilangsungkan,
serta mempertahankan hidup dan kehidupannya baik mengenai harta waris gono gini ataupun
Jurnal Analogi Hukum, Volume 3, Nomor 1, 2021. CC-BY-SA 4.0 License
116
Kedudukan Wanita Dalam Mewaris Setelah Adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa
Pakraman Bali (Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010)

harta bawaan dari sebelum menikah (Rato, mengenai kedudukan suami-istri dan anak
2015). terhadap harta pusaka dan harta gunakaya,
termasuk hak waris anak perempuan dari anak
Diantara hukum-hukum yang ada yaitu kandung maupun anak angkat. Wanita
hukum adat dan hukum waris yang memang menyambut baik Putusan Pesamuan A gung III,
secara substansi tidak dpat dipisahkan dengan mereka merasa pantas menerima waris dari
masyarakat pada umumnya terutama di Bali orang tuanya, alasan sama-sama sebagai anak
lazimnya persekutuan hukum itu hidup, tumbuh yang patut diberikan kasih sayang dan keadilan
dan berkembang. Hukum adat dan masyarakat dalam segala hal, termasuk warisan, jika ada
diibaratkan dengan jiwa dan raga yaitu penerimaan warisan yang beda dengan anak
menunggal. Hukum adat merupakan produk laki-laki, itu tidak masalah mengingat ada
budaya sekaligus prosuk social yang perbedaan tanggung jawab. Ada orang tua yang
bersangkutan dengan hukum waris, yang mengisahkan pemberian warisan kepada semua
didalamnya berisikan tentang nilai-nilai budaya anak-anaknya, walaupun anak perempuannya
sebagai hasil cipta karsa dan rasa manusia. warisan diberikan dalam bentuk paweweh
Sedangkan dalam hukum waris berisikan perkawinan yaitu pemberian orang tua kepada
tentang harta benda orang yang sudah anak perempuannya yang menikah sebagai
meninggal, pemindahan kekayaan yang modal hidup bersama dengan suaminya,
ditinggalkan oleh yang meninggal dan salah memang paweweh itu tidak sama dengan yang
satu cara untuk memperoleh hak milik. diterima anak laki-lakinya. Kebijakan orang tua
Hukum waris yang berlaku di Indonesia seperti itu ternyata dapat diterima oleh anak laki
sampai saat ini masih belum merupakan -lakinya.
unifikasi hukum, akibatnya sampai saat ini Pada penelitian sebelumnya, (Arta,
pengaturan masalah kewarisan di Indonesia Sudiatmaka, & Windari, 2018) mengungkapkan
khususnya di Bali masih belum mendapat Keputusan Pesamuhan Agung III/2010 MUDP
keseragaman. Hukum waris yang dimana Bali terkait kedudukan anak perempuan Hindu
menjadi salah satu bidang hukum yang berada Bali dalam pewarisan, karena budaya
diluar bidang yang bersifat netral dirasa sulit paternalistik yang sudah mengkristal sehingga
untuk diperbaharui dengan perundang-undang Keputusan Pesamuhan Agung III/2010 MUDP
atau kodifikasi guna mencapai suatu unifikasi Bali tersebut sulit untuk diterapkan sehingga
hukum. Yang menjadi masalah atau hambatan ada ucapan “anak mule keto dini” (memang
membuat hukum waris dengan unifikasi yang seperti itu disini).
baru yaitu dengan beranekaragamnya corak
budaya, agama, sosial, dan adat istiadat serta Dari apa yang diuraikan dalam latar
system kekeluargaan yang hidup dan belakang masalah tersebut diatas, maka dapat
berkembang di dalam masyarakat Indonesia ini. ditemukan 2 (dua) permasalahan yang akan
Begitupun di Bali dari satu kabupaten dengan dibahas dalam kajian ini yaitu:
kabupaten lainnya tidak bisa disamakan sistem
kewarisannya. Dari itu perkembangan hukum  Bagimanakah kedudukan wanita Bali dalam
adat waris dipengaruhi oleh berbagai faktor pewarisan yang dimana di Bali dalam sistem
sebagai pembawa pengaruh dalam perubahan kekeluargaanya menganut sistem patrilinial?
hukum adatnya yang dintaranya adalah
 Bagaimana kedudukan wanita Bali setelah
masyarakat adat Bali yang mengandung suatu
dikeluarkannya Keputusan Pesamuhan
hubungan keperdataan yang patrilinial yang
Agung III MUDP Bali?
mengikuti garis kelahiran laki-laki. Di Bali
hubungan keperdataan patrilinial yang dimana Tujuan dari penelitian ini dibedkan
hubungan mewarisnya lebih dominan pada menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan
purusa yakni laki-laki. Hal itu dikarenakan khusus. Untuk tujuan umum adalah sebagai
adanya kepercayaan agama Hindu dimana berikut: a) Untuk syarat dalam meraih gelar
hanya keturunan laki-laki yang mempunyai hak Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum
lebih banyak untuk mewaris dibandingkan Universitas Warmadewa. b) Untuk
dengan perempuan. perkembangan pengetahuan hukum adat di
bidang pembagianwarisan menurut Keputusan
Pada tahun 2010 adanya suatu keputusan
Pesamuhan Agung III Bali. c) Melatih
yang menyatakan di Bali bahwa status sebagai
kemampuan dalam memahami hukum adat dan
wanita mempunyai hak untuk mewaris atau
Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali.
wanita sebagai ahli waris sebagaimana yang
tertuang dalam Keputusan Pesamuhan Agung Tujuan Khusus dari penelitian ini adalah:
III yang ada di Bali. Dalam Keputusan
Pasamuhan Agung III/2010 diputuskan  Untuk mengetahui kedudukan wanita Bali
Jurnal Analogi Hukum, Volume 3, Nomor 1, 2021. CC-BY-SA 4.0 License
117
Kedudukan Wanita Dalam Mewaris Setelah Adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa
Pakraman Bali (Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010)

dalam mewaris menurut hukum adat waris Kedudukan Wanita Bali dalam Pewarisan
Bali yang menganut sistem kekeluargaan yang Dimana Di Bali Dalam Sistem
patrilinial. Kekeluargaanya Menganut Sistem Patrilineal
 Untuk mengetahui kedudukan wanita Dikutip dari buku Ketut Artadi, Menyer
sebagai ahli waris dalam Keputusan Fores mengemukakan bahwa sistem
Pesamuhan Agung III MUDP Bali. kekerabatan suatu masyarakat dapat digunakan
untuk menggambarkan struktur sosial dari
2. Metode masyarakat yang berada dalam suatu wilayah
Dalam memperoleh, mengumpulkan dan yang memiliki peraturannya sendiri.
menganalisa bahan hukum yang bersifat ilmiah, Kekerabatan adalah suatu unit-unit sosial yang
terkait berberapa keluarga yang memiliki
memerlukan metode dengan tujuan agar karya
hubungan darah atau hubungan perkawinan.
ilmiah memiliki susunan yang sistematis,
mtodelogis, dan konsisten. Adapun metode Dalam hukum adat waris yang dimana sistem
penelitian ini adalah sebagai berikut: kekeluargaan merupakan salah satu bagian yang
terpenting dalam keluarga di Bali khususnya,
Tipe penelitian ini menggunakan tipe oleh karena itu yang penting hukum adat waris
penelitian normative, yaitu tipe penelitian yang berpatokan pada susunan masyarakatnya yang
di dasari oleh peraturan perundang-undangan dimana sistem kekeluargannya yang ada di Bali
yang berlaku sesuai dengan keadaan yang ada sesuai sitem turun temurunnya. Anggota
dan pendekatan konseptual dalam masyarakat kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak,
dan menggunakan pendekatan perundang- menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek,
undangan karena pendekatan ini dilakukan nenek dan seterunya. Ada beberapa macam
dengan menelaah peraturan yang menyangkut kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya
dengan permasalahan yang dihadapi. relatif kecil hingga besar seperti keluarga
Penyusunan penelitian ini terdapat dua bahan ambilineal, klan, fatri, dan paruh masyarakat.
hukum yang digunakan yakni: Masyarakat umumnya juga mengenal kelompok
kekerabatan lain seperti keluarga inti, luas,
 Bahan Hukum Primer yang bersumber dari bilateral, dan uniteral (Artadi, 2017).
beberapa undang-undang yang berkaitan
dengan pokok permasalahan. Dalam hukum adat waris masih tetap
berlaku sistem patrilinial dalam mewaris di
 Bahan Hukum Sekunder adalah sumber keluarga yang dimana harta waris jatuh kepada
bahan hukum yang berasal dari library anak laki-laki atau (kebapakan) bukan anak
research yaitu suatu penelitian kepustakaan perempuan. Para ahli berpendapat hukum adat
yang berupa buku-buku atau literature, waris masih dipengaruhi oleh prinsip garis
dokumen, makalah atau jurnal dan artikel keturunan yang berlaku dalam masing-masing
yang ada hubungannya dengan pokok masyarakat yang ada di Indonesia. Dalam buku
masalah yang akan dikaji. Gede Panetje, menurut V.E. Korn dalam
perspektif hukum adat Bali menyatakan bahwa
Pengumpulan bahan hukum dilakukan hukum pewarisan adalah bagian paling sulit
dengan teknik yaitu pengutipan, bahan hukum dari hukum adat Bali dikarenakan adanya
yang dikumpulkan dan mengelompokan dan perbedaan dibeberarapa daerah dalam wilayah
menyeleksi bahan hukum yang diperoleh hukum Bali (Desa Kala Patra), baik mengenai
kemudian dihubungkan dengan, asas-asas, dan banyaknya barang-barang yang boleh
kaidah-kaidah hukum yang diperoleh dari studi diwariskan atau mengenai banyaknya bagian
kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas masing-masing ahli waris maupun mengenai
permasalahan. putusan-putusan pengadilan adat (Panetje,
Dalam penulisan penelitian ini bahan 1995). Sistem kekeluargaan dalam hukum adat
hukum yang sudah dikumpulkan dan diolah waris sangat erat kaitannya dengan masyarakat
sesuai dengan kualitasnyaakan di paparkan Bali yang dimana sistem kekerabatan tersebut
melalui kalimat-kalimat yang menggambarkan bertitik tolak dari bentuk masyarakatnya dan
tentang pemecahan masalah. Bahan hukum sifat kekeluargaannya, dan garis keturunannya.
primer di analisis interprensi hukum yang sudah Dalam masyarakat Bali keturunan merupakan
didapatkan disusun secara sistematis juga agar hak yang penting untuk meneruskan garis
dapat memudahkan pembaca untuk memahami keturunan lurus atau menyamping. Dalam
apa saja yang akan dibahas. sistem kekeluargaan di Indonesia ada tiga
macam sifat kekeluargaan yaitu sistem
3. Hasil dan Pembahasan patrilinial yang mengikuti garis keturunan ayah,
lalu ada sitem matrilian yang mengikuti

Jurnal Analogi Hukum, Volume 3, Nomor 1, 2021. CC-BY-SA 4.0 License


118
Kedudukan Wanita Dalam Mewaris Setelah Adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa
Pakraman Bali (Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010)

keturunan ibu dan sistem parental yakni bisa dengan tiga hal pokok. Pokok pertama yaitu
mengikutu garis keturunan ayah atau ibu. Di pewaris, pokok kedua adalah harta yang
Bali masyarakatnya dalam sistem ditinggalkan oleh pewaris, dan yang ketiga para
kekeluargaannya lebih cenderung menekankan penerima harta warisan yang disebut dengan
kepada keturunan laki-laki dimana dalam ahli waris (Artadi, 2017). Dengan pewarisan itu
sistem kekeluargaan patrilinial pentingnya terhadap harta warisan orang tua sebagai
untuk meneruskan sistem pewarisan yang pewaris dalam hubungan ini seharusnya
bersifat material maupun immaterial. Dalam berusaha untuk tidak menghabiskan sama sekali
sistem pewarisan pada umumnya yang dianut harta tersebut sebab kaitan harta warisan itu
masyarakat Bali ialah kepercayaan terhadap tidak selesai sampai disitu saja. Karena dilihat
leluhur yang dimaksud adanya ikatan dari sudut hak pewaris yaitu orang tua maka
keperdataan antara satu orang dengan orang akhirnya harta warisan itu harus dipakai untuk
yang lainnya atau lebih. Tetapi masyarakat Bali suatu amal bhakti kepada orangtua oleh anak-
dalam kenyataannya menganut sitem anaknya yaitu ahli waris dengan anak-anak
kekerabatan dalam berbagai macam sesuai harus melakukan pembakaran jezanah orangtua
dengan situasi dan kondisi dari desa dan jika telah meninggal dunia. Setidak-tidaknya
wilayah yang bersangkutan serta bentuk harta mengambil biaya dari harta-harta yang di
dan kekayaan. Sistem kekeluargaan merupakan wariskan atau ditinggalkan (Panetje, 1995).
suatu penghubung garis keturunannya laki-laki Tetapi dalam hukum adat waris biasanya anak
dan anak yang lahir, yang dimana sering disebut perempuan yang sudah kawin keluar akan
dengan patrilinial mumi seperti yang berlaku diberikan tetata atau jiwadana atau bekal hidup
pada masyarakat Bali. sesuai kemampuan keluarganya. Dengan
melihat kedudukan anak perempuan dalam hal
Konsep warisan dalam hukum adat Bali tersebut mendapatkan suatu kebaikan yang
memiliki perbedaan makna dengan warisan mengakibatkan perlindungan terhadap harga
dalam pengertian hukum barat yang memiliki diri seorang wanita. Oleh itu dengan maraknya
sifat materiil atau memiliki nilai uang. Hak persamaan gender tujuannya sama untuk
mewaris yang dimiliki oleh seorang wanita di mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki
Bali biasanya diperoleh ketika anak perempuan begitu pula siap untuk menjalankan kewajiban-
diangkat sebagai ahli waris oleh seorang atau kewajiban sesuai dengan hak yang didapat.
oleh keluarganya sendiri dengan status adat
sentana rajeg. Pada Hukum adat waris Bali
wanita dapat mendapatkan warisan dari orang Kedudukan Wanita Bali Setelah
tuanya apabila status hukum perkawinannya Dikeluarkannya Keputusan Pesamuhan
sebagai purusa dengan perkawinan nyeburin. Agung III MUDP Bali
Sentana Rajeg mempunyai kedudukan yang
sama dan sejajar dengan anak laki-laki yang Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa
berhak mewaris yang ditetapkan oleh Pakraman atau MUDP adalah suatu lembaga
orangtuanya untuk meneruskan keturunan resmi daerah non pemerintahan yang berdiri
dengan perkawinan kaceburin. Sebagaimana sendiri dan kedudukannya diperkuat oleh Perda
tujuannya dilangsungkan perkawinan salah Provinsi Bali Nomor 03 Tahun 2001 tentang
satunya adalah meneruskan keturunan di Desa Pekraman. Dengan lembaga resmi daerah
keluarganya. maka keputusan-keputusan yang dihasilkan
MUDP bersifat mengikat seluruh Desa
Menurut Hukum Adat Waris yang ada di Pekraman Bali dan wajib mendapatkan
Bali seseorang yang melakukan sentana rajeg pengamanan pelaksaan oleh seluruh instansi
diperlakukan sama seperti anak kandung sendiri terkait di berbagai jenjang pemerintahn di Bali.
terhadap harta warisan dan sebaliknya si anak Dalam Pesamuhan Agung III MUDP sistem
itu kehilangan hak warisnya di rumah keluarga pewarisan masih sama seperti sistem pewarisan
sendiri dan ia berkewajiban untuk pada umumnya, dan sistem kekeluargaan
menyelenggarakan upacara semestinya yang mewaris menurut hukum adat waris yaitu masih
dilakukan di rumah barunya dan di keluarga sama menganut sistem patrilinial yang
tersebut. Pada kosekuensinya seseorang yang mengikuti garis keturunan laki-laki, hanya saja
melakukan perkawinan nyeburin disamakan dalam MUDP lebih menekankan bagaimana
dengan anak kandung sehingga kewajiban yang wanita dapat mewaris dalam keluarga atau bisa
dipikulnya dalam keluarga adalah sama. Dan menjadi ahli waris dalam kelaurganya tersebut.
mengenai harta warisan akan dibagi sesuai Dengan adanya Keputusan Pesamuhan Agung
dengan bagian dan kewajibannya dalam sebuah III yang dimana dalam hal tersebut mengatur
keluarga. Untuk dapat memahai seluruh aspek kedudukan wanita dalam mewaris yang terdapat
kewarisan maka pendekatan harus dilakukan penjelasan bagimana wanita mewaris dalam hal

Jurnal Analogi Hukum, Volume 3, Nomor 1, 2021. CC-BY-SA 4.0 License


119
Kedudukan Wanita Dalam Mewaris Setelah Adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa
Pakraman Bali (Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010)

tersebut dapatnya wanita menjadi ahli waris hukum dalam lingkungan keluarga suaminya.
dalam keluarganya sendiri. Karena dianggapnya
dalam sebuh keluarga wanita mewaris hanya Kedudukan wanita Bali setelah
dapat harta bawaan yang itupun jika diberikan dikeluarkannya Keputusan Pesamuhan Agung
oleh keluarga dengan sukarela. Anggapannya III MUDP Bali merupakan sebuah jalan yang
karena wanita kawin keluarga maka dia tidak baik untuk memperkuat hukum adat waris Bali
menjalankan kewajiban-kewajiban dirumahnya yang sudah lama berlaku dimasyarakat Bali
terdahulu, maka dari itu dari putusan yang dimana mendiskriminasi wanita akan
Pesamuhan Agung dapat dikatakan wanita tidak berhaknya mewaris. Waulupun dalam
mendapat harta warisan yang tidak harus masyarakat Bali merupakan polemik yang pro
diwarisi hanya untuk anak laki-laki saja (Utari, dan kontra, dengan adanya keputusan
2008). Pada masyarakat Bali walaupun wanita Pesamuhan III MUDP Bali (Nomor 01/KEP/
yang sudah kawin keluar ternyata masih sering PSM-3/MDP-BALI/X/2010) ini kedudukan
menjalankan kewajibannya kepada orangtuanya wanita dalam keluarganya mengenai mewaris
seperti merawatnya datang kerumah ikut jadi wanita dapat mewaris dalam keluarganya
membantu dalam upacara adat yang atau menjadi ahli waris. Jadi pada umumnya
dilaksanakan dirumahnya terdahulu maka itu pembagian waris untuk wanita dapat dilakukan
dirasakan wanita juga berhak mewaris jika wanita itu tidak kawin keluar atau
(Muhammad, 2006). ninggalin kedaton. Dan apabila wanita tersebut
kawin keluar, wanita dikatakan ninggalin
Hasil Pesamuhan A gung III tidak dapat kedaton batas, yang dimana ninggal kadaton
sepenuhnya mengikat masyarakat Bali selama tetapi dalam batas tertentu masih
hasil keputusan ini dimasukan kedalam awig- memungkinkan melaksanakan swadharma
awig yang mengatur masalah pewarisan pada sebagai umat Hindu, maka warisannya juga
setiap desa pakraman. Tetapi di beberapa desa masih dapat di terima dan diberikan oleh orang
pakraman sudah menerapkan hasil Keputusan tuanya. Karena kodrat wanita memang harus
Pesamuhan Agung III, hanya saja di desa keluar tetapi wanita tidak akan pernah lupa
pakraman yang hukum adanya masih begitu akan kewajibannya dalam ikut serta menjaga
kental enggan untuk mengikuti peraturan baru orang tuanya, dan merawatnya walaupun wanita
yang telah disiarkan dari media sosial, acara itu sudah ikut dikerabat suaminya.
televisi ataupun dari surat kabar. Jadi dalam
Hasil Keputusan Pesamuhan Agung III Dari pembahasan mengenai kedudukan
kedudukan wanita dapat mewaris jika status wanita dalam mewaris dikeluarganya maka
wanita itu tinggal di rumah keluarga tersebut saran yang dapat diberikan yakni Untuk
ataupun dia mengubah status menjadi sentana. beberapa daerah di Bali masih tetap
Dengan persamaan kedudukan wanita dengan menggunakan awig-awig sistem pewarisan
laki-laki, wanita berhak mewaris sebagai anak yang dari dulu, seharusnya MUDP Bali lebih
kandung maupun anak angkat berhak atas harta tegas menetapkan Keputusan Pesamuhan
guna kaya orang tuanya setelah dibagi sepertiga Agung III ini untuk memasukan keputusan ini
sebagai harta bersama atau due tengah yang disetiap awig-awig sistem pewarisan yang ada
dikuasai bukan dimiliki oleh anak yang di Desa Pakraman Bali. Agar persamaan
melanjutkan orang tuanya. kedudukan antara laki-laki dan wanita terasa
adil.
4. Simpulan
Para orang tua dalam tatanan masyarakat
Dari uraian bab-bab sebelumnya maka di Bali ada baiknya untuk menerima keputusan
dapat ditarik kesimpulan, Kedudukan wanita yang telah dikeluarkan oleh MUDP agar dirasa
Bali dalam pewarisan dimana di Bali dalam keadilannya dalam pembagian warisan dalam
sistemnya menganut sistem kekeluargaan sebuah keluarga. Walaupun kodrat wanita harus
patrilinial, dikatakan dalam hukum adat waris keluar tetapi wanita tidaklupa akan
Bali wanita tidak dapat mewaris atau menjadi kewajibanny, maka wanita juga berhak atas
ahli waris karena dianggap wanita kurang haknya mewaris.
pantas mewaris karena kewajiban yang
ditanggung sangat berat, sesuai dengan Bagi kaum wanita Bali dengan adanya
kewajiban seorang wanita terhadap orang kebaikan dari keluarnya Keputusan Pesamuhan
tuanya dan kepercayaannya di masyarakat. Agung III tersebut, agar wanita lebih sadar akan
Dalam hukum adat waris Bali wanita dapat kewajibannya dan tidak hanya menekankan
mewaris apabila telah merubah status haknya terhadap warisan yang diberikan oleh
perkawinannya menjadi purusa sesuai pada keluarganya melainkan juga dengan
perkawinan nyeburin. Lain halnya dengan kewajibannya yang harus diterima seteah
perempuan sebagai istri mempunyai kedudukan diterimanya hak mewaris tersebut.
Jurnal Analogi Hukum, Volume 3, Nomor 1, 2021. CC-BY-SA 4.0 License
120
Kedudukan Wanita Dalam Mewaris Setelah Adanya Keputusan Pesamuhan Agung III Majelis Utama Desa
Pakraman Bali (Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010)

Daftar Pustaka
Arta, I. K. K., Sudiatmaka, K., & Windari, R.
A. (2018). Realisasi Keputusan
Pesamuhan Agung III MUDP Bali
terhadap Pewarisan Anak Perempuan
Bali Aga di Kabupaten Buleleng. E-
Journal Komunitas Yustitia Universitas
Pendidikan Ganesha, 1(1). Retrieved
from http://dx.doi.org/10.23887/
jatayu.v1i1.28658
Artadi, I. K. (2017). Hukum Adat Bali. Bali:
Bali Pustaka Post.
Muhammad, B. (2006). Pokok-Pokok Hukum
Adat. Jakarta: Pradnya Paramitha.
Panetje, G. (1995). Catatan Tentang Hukum
Adat Bali. Denpasar: CV Kayu Mas
Agung.
Rato, D. (2015). Hukum Perkawinan Dan W aris
Adat Di Indonesia. Yogyakarta:
LaksBang PERSSindo.
Utari, N. K. S. (2008). Mengikis Ketidakadilan
Gender Dalam Adat Bali. Jurnal Studi
Jender Srikandi, 7(1). Retrieved from
https://ojs.unud.ac.id/index.php/
srikandi/article/view/2893

Jurnal Analogi Hukum, Volume 3, Nomor 1, 2021. CC-BY-SA 4.0 License


121

You might also like