Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Cumulative Trauma Disorders (CTDs) are a collection of disorders of the musculoskeletal system
that include injury to nerves, muscles, tendons, ligaments, bones and joints at extreme points of the
body. The type of work in garment industries is mostly carried out repeatedly by only relying on
one type of muscle in a fast tempo and a long time so that it is very potential to cause CTDs.
Therefore prevention efforts are needed to minimize the occurrence of CTDs among garment
industry workers. The purpose of this study was to determine the relationship of workers' posture
with the symptoms of CTDs to workers in the sewing department. The type of this research is
explanatory research (cross-sectional research). The study population was 582 sewing GF3
workers. Samples were taken by purposive sampling at the sewing machine operator, obras,
buttonholes and button pairs as many as 60 people. The results showed that all respondents worked
with non-ergonomic work attitudes and with very fast repetition of movements continuously. All
respondents had experienced symptoms of CTDs with the most complaints were pain in the right
shoulder. There is a significant relationship between work attitudes and symptoms of CTDs, where
the p-value is 0.002 (p <0.05).
ABSTRAK
Cumulative Trauma Disorders (CTDs) adalah sekumpulan gangguan pada sistem muskuloskeletal
yang meliputi cedera pada syaraf, otot, tendon, ligamen, tulang dan persendian pada titik-titik
ekstrim tubuh. Jenis pekerjaan di industri garmen sebagian besar dilakukan secara berulang-ulang
dengan hanya bertumpu pada satu jenis otot dalam tempo cepat dan waktu yang lama sehingga
sangat berpotensi menimbulkan CTDs. Oleh karenanya perlu upaya pencegahan untuk
meminimalisasi terjadinya CTDs pada pekerja industri garmen. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan sikap tubuh pekerja dengan gejala CTDs pada pekerja di bagian sewing.
Jenis penelitian adalah explanatory research (riset penjelasan) dengan pendekatan cross sectional.
Populasi penelitian adalah pekerja bagian sewing GF3 sebanyak 582 orang. Sampel diambil secara
purposive sampling pada operator mesin jahit, obras, lubang kancing dan pasang kancing sebanyak
60 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua responden bekerja dengan sikap kerja tidak
ergonomis dan dengan pengulangan gerakan yang sangat cepat secara terus-menerus. Semua
responden pernah mengalami gejala CTDs dengan keluhan paling banyak adalah nyeri pada bahu
kanan. Terdapat hubungan yang bermakna antara sikap kerja dengan gejala CTDs, dimana p-value
0,002 (p<0,05).
1. PENDAHULUAN
Industri pakaian jadi (garmen) merupakan salah satu sektor yang sangat prospektif dan
potensial. Selain mendatangkan devisa yang sangat besar bagi negara, sektor industri ini juga
menyerap ribuan tenaga kerja. Akan tetapi jika dalam proses produksinya tidak disertai penerapan
norma-norma keselamatan dan kesehatan kerja terutama ergonomi dengan baik, tentu akan
menimbulkan sesuatu yang kontraproduktif.
1
Masalah ergonomi merupakan salah satu faktor bahaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja
(K3) yang dominan di industri garmen (pakaian jadi). Keluhan atau gangguan kesehatan yang
sering muncul di kalangan pekerja garmen biasanya berkaitan dengan Cumulative Trauma
Disorders (CTDs) atau sekumpulan gangguan pada sistem muskuloskeletal. Secara umum
Cumulative Trauma Disorders (CTDs) meliputi cedera pada syaraf, otot, tendon, ligamen, tulang
dan persendian pada titik-titik ekstrim tubuh bagian atas (tangan, pergelangan, siku dan bahu),
tubuh bagian bawah (kaki, lutut dan pinggul) dan tulang belakang (punggung dan leher). Dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 dinyatakan bahwa gangguan otot dan
rangka yang ada hubungan langsung dengan aktivitas pekerjaan adalah termasuk penyakit akibat
kerja. Salah satu bentuk CTDs adalah cedera otot yang disebabkan oleh sikap tubuh yang statis dan
berulang atau Repetitive Strain Injuries (RSI). Jenis pekerjaan di industri garmen sebagian besar
dilakukan secara berulang-ulang dengan hanya bertumpu pada satu jenis otot dalam tempo cepat
dan waktu yang lama sehingga sangat berpotensi menimbulkan CTDs.
Operasi kerja di bagian sewing (penjahitan) bisa dideskripsikan sebagai pekerjaan
‘tangan-mesin-tangan’ berdasarkan cara kerja dan bagian-bagian dari produk garmen yang dijahit.
Jenis pekerjaan ini membutuhkan koordinasi gerakan postur tubuh dan pergelangan tangan yang
baik serta konsentrasi tinggi dengan frekuensi perubahan gerakan yang sangat cepat. Kecepatan
perubahan gerakan sangat tergantung pada bagian yang dijahit. Tingginya frekuensi pengulangan
gerakan untuk kurun waktu yang lama itu akan mendorong timbulnya gangguan-
gangguan abdominal, mengalami tekanan inersia serta mengalami tekanan pada pinggang, tulang
punggung dan tengkuk.
David Mahone (CNA Insurance Companies, Chicago IL) melaporkan bahwa kasus CTDs
yang terjadi di industri garmen secara keseluruhan mencapai 25 %. Sedangkan prosentase jenis-
jenis CTDs yang sering dialami oleh para pekerja di industri garmen secara keseluruhan adalah
sebagai berikut; nyeri leher 49%, low back pain 35%, sakit punggung 70% (khusus pada operator
jahit), CTDs pada siku14% , CTDs pada bahu 5% dan CTDs pada pergelangan tangan 81%.
Dari laporan penyelenggarakan pelayanan kesehatan di salah satu industri garmen yang
berlokasi di Ungaran - Kabupaten Semarang Jawa Tengah diketahui bahwa rata-rata setiap tahun
terdapat 96-171 kunjungan pekerja ke poliklinik perusahaan dengan jenis penyakit otot dan rangka
yang meliputi arthritis, rheumatoid dan myalgia. Berdasarkan data laporan juga diketahui bahwa
jumlah keluhan nyeri pada otot dan rangka atau gangguan muskuloskeletal di perusahaan tersebut
menunjukkan kecenderungan kenaikan dari tahun ke tahun. Oleh karenanya untuk mengetahui
hubungan antara sikap kerja dengan terjadinya gejala-gejala Cumulative Trauma Disorders
(CTDs), dilakukan penelitian pada bagian penjahitan (sewing) di perusahaan tersebut.
2
Jenis dan Penyebab Gangguan Muskuloskeletal
Pekerjaan-pekerjaan dan sikap kerja yang statis sangat berpotensi mempercepat timbulnya
kelelahan dan nyeri pada otot-otot yang terlibat. Jika kondisi seperti ini berlangsung tiap hari dan
dalam waktu yang lama bisa menimbulkan sakit permanen dan kerusakan pada otot ,sendi, tendon,
ligamen dan jaringan-jaringan lain. Semua gangguan akut dan kronis tersebut merupakan bentuk
dari gangguan muskuloskeletal yang biasanya muncul sebagai : 15
a. Arthritis pada sendi akibat tekanan mekanis.
b. Inflamasi pada sarung pelindung tendon (tendinitis, peritendinitis)
c. Inflamasi pada titik sambungan tendon.
d. Gejala-gejala arthrosis (degenerasi sendi kronis)
e. Kejang dan nyeri otot.
f. Gangguan pada diskus intervertebral pada tulang belakang.
Seringkali CTDs tidak terlihat dan sangat jarang memperlihatkan tanda awal yang nyata.
CTDs terjadi di bawah permukaan kulit dan menyerang jaringan-jaringan lunak seperti otot,
tendon, syaraf dan lain-lain. Oleh karenanya CTDs sering disebut juga musculoskeletal disorders
(MSDs). Sikap tubuh yang dipaksakan adalah salah satu penyebab umum CTDs. Kemunculannya
sering tidak disadari sampai terjadinya inflamasi, syaraf nyeri dan mengerut, atau aliran darah
tersumbat. CTDs biasanya muncul dalam bentuk sindrom terowongan carpal (carpal tunnel
syndrome), tendinitis, tenosinovitis dan bursitis. 2
Sindrom terowongan carpal atau carpal tunnel syndrome adalah suatu kondisi dimana
syaraf pergelangan tangan bagian tengah terjepit karena adanya peningkatan tekanan pada
terowongan tulang carpal. Terjadinya kompresi pada syaraf pergelangan tangan bisa disebabkan
oleh pajanan terhadap trauma kerja yang berulang-ulang, iritasi tendon, infiltrasi pada ligamen
melintang carpal, penebalan jaringan penghubung, acromegaly dan hipotiroida. Kondisi ini akan
menyebabkan efek mati rasa, nyeri dan kesemutan pada ibu jari, telunjuk dan jari tengah. 2
Tendinitis adalah inflamasi pada tendon yang bisa bersifat primer oleh karena rheumatoid
arthritis, atau bersifat sekunder akibat dari cedera fisik. Tendinitis bisa terjadi oleh berbagai sebab
seperti pembesaran langsung pada tendon, peregangan berlebih pada tendon dan atau trauma akibat
penggunaaan berlebih (overuse) karena gerakan berulang-ulang dalam waktu yang lama. Gejala-
gejala yang biasanya muncul adalah berupa rasa nyeri, terbakar dan atau sakit yang tidak jelas pada
daerah yang terkena. 2
Tenosinovitis adalah iritasi dan inflamasi pada sarung pelindung tendon. Jika inflamasi
terjadi pada tendon dan sarung pelindung sinovialnya maka dinamakan tendosinovitis. Penyebab
maupun gejalanya sama seperti pada tendinitis. 2
Sedangkan bursitis adalah inflamasi yang terjadi pada bursa. Bursa adalah kantung
jaringan-penghubung kecil yang dilapisi selaput sinovial berisi cairan yang mirip cairan sinovial.
Bursitis terjadi akibat iritasi atau friksi berulang oleh karena abduksi dan rotasi pada sendi yang
3
berulang-ulang atau tekanan pada bursa secara terus-menerus. Gejala-gejala bursitis yaitu nyeri,
bengkak, pelambatan dan keterbatasan gerakan. 2
Selain musculoskeletal disorders (MSDs), beberapa istilah lain yang sering digunakan
untuk menyebut CTDs adalah Work-related Musculoskeletal Disorders (WMSDs), Repetitive Strain
Injuries (RSI) atau Overuse Syndrome.
Gangguan-gangguan muskuloskeletal secara pasti dapat didiagnosis dengan melakukan uji
laboratoris dan elektronik untuk menentukan syaraf atau otot yang rusak. Uji elektronik yang biasa
dilakukan antara lain adalah Electro Myo Graphy (EMG), Nerve Conduction Velocity (NCV) dan
Magnetig Resonance Imaging (MRI). 15
Beberapa faktor yang berhubungan dengan pekerjaan penyebab timbulnya CTDs adalah :
(1) Gerakan berulang
Gerakan lengan dan tangan yang dilakukan secara berulang-ulang terutama pada saat bekerja
mempunyai risiko bahaya yang tinggi terhadap timbulnya CTDs. Tingkat risiko akan
bertambah jika pekerjaan dilakukan dengan tenaga besar, dalam waktu yang sangat cepat dan
waktu pemulihan kurang.17
Pengulangan gerakan yang terus-menerus akan menimbulkan kelelahan pada otot-otot yang
terlibat. Pengulangan dikategorikan sangat cepat jika mempunyai siklus waktu 30 detik atau
kurang. Penggunaan otot-otot yang lelah dan tegang dalam waktu lama meningkatkan risiko
terjadinya CTDs. Risiko akan bertambah besar jika pekerjaan dilakukan dalam posisi yang
buruk dan menggunakan tenaga yang besar. Akan tetapi meskipun hanya memerlukan sedikit
tenaga, pekerjaan-pekerjaan dengan frekuensi pengulangan yang tinggi juga dapat
menyebabkan timbulnya CTDs. 2
(2) Sikap paksa tubuh
Sikap tubuh yang buruk dalam bekerja baik dalam posisi duduk maupun berdiri akan
meningkatkan risiko terjadinya CTDs. Posisi-posisi tubuh yang ekstrim akan meningkatkan
tekanan pada otot, tendon dan syaraf. 2
Terdapat empat faktor risiko timbulnya CTDs berhubungan dengan sikap tubuh yang janggal
(paksa), yaitu : 19
(a) Posisi, yaitu sikap anggota tubuh yang janggal (penyimpangan dari posisi anatomis
sewaktu menjalankan tugas).
(b) Kekuatan, yaitu kekuatan yang digunakan melebihi kemampuan jaringan dalam posisi
janggal.
(c) Durasi, yaitu lamanya melakukan gerakan dengan posisi janggal.
(d) Frekuensi, yaitu frekuensi siklus gerakan per menit dengan posisi janggal.
Berikut ini adalah beberapa contoh sikap paksa yang sering dialami bagian-bagian atau
anggota-anggota tubuh. 2
4
Tabel 2.1 Contoh Sikap Paksa Pada Anggota Tubuh
Contoh lain dari sikap paksa atau sikap kerja yang tidak efisien dan menimbulkan stres pada
bagian-bagian tubuh adalah : 7
(a) Membungkukkan badan lebih dari 20o untuk waktu yang lama.
(b) Badan terputar atau tertekuk ke samping.
(c) Kepala menunduk lebih dari 30o dalam waktu lama.
(d) Leher terputar atau tertekuk ke samping untuk waktu yang lama.
(e) Lengan atas terangkat lebih dari 20o keluar atau ke depan dalam waktu lama.
(f) Gerakan tangan dan pergelangan tangan yang manipulatif (tidak alamiah) dengan posisi
siku lurus atau melengkung ke luar.
(g) Bekerja dengan posisi jongkok atau setengah jongkok atau berdiri pada permukaan yang
miring.
5
Posisi tubuh yang tidak alamiah dan cara kerja yang tidak ergonomis dalam waktu
lama dan terus menerus dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan pada pekerja antara
lain : 12
a. Rasa sakit pada bagian-bagian tertentu sesuai jenis pekerjaan yang dilakukan seperti pada
tangan, kaki, perut, punggung, pinggang dan lain-lain.
b. Menurunnya motivasi dan kenyamanan kerja.
c. Gangguan gerakan pada bagian tubuh tertentu (kesulitan mengerakkan kaki, tangan atau
leher/kepala).
d. Dalam waktu lama bisa terjadi perubahan bentuk tubuh (tulang miring, bongkok).
Sikap tubuh dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran dan
penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat petunjuk dan cara-cara harus melayani mesin
(macam gerak, arah dan kekuatan).13 Untuk bisa mencapai efisiensi dan produktivitas kerja
yang optimal serta memberikan rasa nyaman pada saat bekerja bisa dilakukan dengan cara :
14, 16
6
c. Kurangnya penggunaan energi sehingga bisa mengurangi atau memperlambat terjadinya
kelelahan.
d. Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah.
e. Memberikan kestabilan lebih besar pada pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan
ketepatan dan ketelitian.
f. Memungkinkan pengoperasian alat kendali kaki dengan lebih mudah, tepat dan aman
dalam posisi tubuh yang tetap baik.
2. METODOLOGI
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan “cross
sectional” dimana variabel sebab atau risiko dan variabel akibat atau kasus yang terjadi pada obyek
penelitian diukur atau dikumpulkan secara simultan (dalam waktu bersamaan).
Analisa Data
Metode yang digunakan untuk menganalisa data lapangan adalah :
a. Analisa univariat, digunakan untuk menggambarkan karakteristik sampel dengan cara
menyusun tabel frekuensi dan persentase dari masing-masing variabel yang meliputi sikap
kerja dan gejala Cumulative Trauma Disorders (CTDs).
b. Analisa bivariat, digunakan untuk mencari atau melihat hubungan variabel bebas dan variabel
terikat. Uji statistik yang dipakai dalam analisa ini adalah uji statistik Chi-Square dengan
tingkat kepercayaan 95 %.
7
Tabel 4.1 Distribusi Populasi Bagian Sewing
Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase (%)
Jahit 485 83,3
Obras 34 5,8
Lubang kancing 33 5,7
Pasang kancing 30 5,2
Total 582 100
Sedangkan distribusi sampel untuk masing-masing jenis pekerjaan di bagian sewing Unit
GF3 adalah sebagai berikut.
Proses Produksi
Bagian sewing (jahit) merupakan bagian yang menggabungkan pola pakaian dengan
menggunakan mesin jahit (menjahit) seperti menjahit lengan, membuat lubang kancing, membuat
kerah , mengobras dan lain-lain. Secara rinci alur tugas di bagian sewing adalah sebagai berikut :
1) Memeriksa pola baju yang sudah dibendel
2) Menjahit pola baju
3) Mengobras
4) Membuat lubang kancing
5) Memasang kancing
6) Menggosok baju yang sudah jadi
7) Membawa ke bagian finishing.
8) Membuat laporan pertanggungjawaban serta catatan/dokumen pribadi.
8
Panjang lekuk lutut 42,0 58,4 53,5 3,3 48,6 53,8 57,7
Meja kerja yang dipergunakan di bagian sewing Unit GF3 mempunyai ukuran yang standar
karena merupakan satu rangkaian dengan mesin yang didatangkan dari negara produsen. Tipe
mesin yang dipergunakan di unit ini ada tiga macam yaitu Brother, Juki dan Pegasus. Data ukuran
dimensi meja kerja di bagian sewing Unit GF3 disajikan pada tabel 4.4.
Sedangkan kursi yang disediakan bagi operator mesin di Unit GF3 ada dua macam, yaitu
kursi warna oranye dengan alas duduk menyatu dengan sandaran pinggang terbuat yang dari
fibreglass dan kursi warna hijau dengan alas duduk terbuat dari kayu tanpa pelapis dengan
sandaran pinggang berupa sepotong pipa besi melengkung yang disambungkan pada sepasang pipa
besi sejajar. Agar bisa lebih jelas di bawah ini disajikan tabel data ukuran kursi kerja beserta
gambar kursi warna oranye dan hijau.
Untuk mengetahui kesesuaian antara meja dan kursi di Unit GF3 dengan antropometri
responden dapat dilihat pada tabel 4.7 berikut ini.
9
Tabel 4.7 Kesesuaian Antropometri Responden Dengan Dataran Kerja
Kesesuaian
Total
Kriteria Sesuai Tidak Sesuai
n % n % n %
Tinggi siku duduk dengan tinggi
10 16,7 50 83,3 60 100
meja / dataran kerja
Tinggi pinggul duduk dengan tinggi
5 8,3 55 91,7 60 100
sandaran pinggang
Tinggi lutut duduk dengan tinggi
60 100 0 0 60 100
kolong meja
Panjang tungkai atas dengan
0 0 60 100 60 100
panjang alas duduk
Panjang lekuk lutut dengan tinggi
7 11,7 53 88,3 60 100
alas duduk
Dari tabel 4.7 terlihat bahwa kesesuaian antara tinggi lutut duduk dengan tinggi kolong
meja 100% sesuai dan sebaliknya untuk panjang tungkai atas dengan panjang alas duduk sebanyak
60 orang (100%) tidak sesuai.
Sikap Kerja
Dari hasil penilaian kesesuaian kursi dan meja kerja dengan antropometri responden di
Unit GF3 diketahui bahwa sebagian besar responden tidak sesuai dengan kursi dan atau meja
kerjanya. Sehingga sikap tubuh responden dalam bekerja semuanya tidak ergonomis bahkan
sebagian besar sangat tidak ergonomis sebagaimana terlihat pada tabel 4.8.
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa mayoritas sikap kerja responden adalah sangat tidak
ergonomis sebesar 66,7 % dan tidak ada sikap kerja yang ergonomis. Kondisi seperti ini bisa
berpengaruh terhadap menurunnya efisiensi dan efektifitas kerja. Keluhan-keluhan seperti nyeri
pada bahu dan pinggang, kaku leher, kesemutan pada tungkai/kaki, lengan dan sebagainya
merupakan indikator ketidak sesuaian sarana kerja dengan pemakai/operatornya. Nyeri pada
pinggang dapat terjadi karena adanya sikap paksa/tidak alamiah akibat penggunaan sarana kerja
yang terlalu pendek atau terlalu tinggi. Jika pekerja terpaksa harus duduk pada tepi bagian depan
kursi, mereka akan merasakan nyeri di bagian lutut dan tungkai bawah.
10
Gejala CTDs
Dengan menggunakan kusioner modifikasi Survei Gejala CTDs dari OSHA (Occupational
Health and Safety Administration) dan Nordic Body Map dapat diketahui jenis, tingkat rasa sakit
dan jumlah keluhan yang dirasakan responden. Lima jenis keluhan/gejala CTDs dan tingkat rasa
sakit yang paling banyak dirasakan responden dapat dilihat pada tabel 4.9.
Tabel 4.9 Lima Jenis Keluhan Muskuloskeletal Terbanyak dan Tingkat Rasa Sakit
Tingkat Keluhan
Agak Sangat Total
Jenis Keluhan Sakit
Sakit Sakit
n % n % n % n %
Bahu kanan 5 10,6 42 89,4 0 0 47 100
Bahu kiri 8 18,2 36 81,8 0 0 44 100
Pinggang 7 28 18 72 0 0 25 100
Betis kanan 4 21 14 73,7 1 5,3 19 100
Punggung 0 0 16 100 0 0 16 100
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa jenis keluhan yang paling banyak dirasakan adalah keluhan
pada bahu kanan sebanyak 47 dari 60 orang responden (78,3%). Sementara itu berdasarkan hasil
wawancara diketahui bahwa tingkat rasa sakit yang terbanyak dirasakan oleh responden adalah
‘sakit’ sebanyak 225 dari 273 keluhan (82,4). Hasil ini menunjukkan bahwa dengan frekuensi
pengulangan gerakan tangan yang cepat ditambah dengan ketidaksesuaian tinggi dataran kerja
dengan antropometri responden, menyebabkan adanya tekanan pada bahu sehingga menimbulkan
rasa nyeri, pegal atau tidak nyaman.
Sedangkan dari hasil wawancara diketahui bahwa semua responden mengalami gejala-
gejala CTDs. Kategori jumlah gejala CTDs dapat dilihat pada tabel 4.10 .
11
Dapat dilihat pada tabel 4.10 bahwa kategori jumlah keluhan CTDs terbanyak adalah
‘sedang’ sebesar 43,3%, sedangkan kategori keluhan sedikit sebanyak 35 %, dan kategori banyak
21,7 %.
Dari tabel 4.11 dapat dilihat bahwa kategori jumlah gejala CTDs terbanyak pada respoden
dengan sikap kerja tidak ergonomis adalah ‘sedikit’ yaitu sebanyak 13 orang (65%). Sedangkan
untuk sikap kerja sangat tidak ergonomis kategori jumlah gejala CTDs terbanyak adalah ‘sedang’
sebanyak 20 orang (50%).
Dari hasil pengukuran dan analisa kesesuaian antara dimensi dataran kerja dengan
antropometri responden berdasarkan norma-norma ergonomi yang dianjurkan untuk orang
Indonesia diketahui bahwa semua responden bekerja dengan sikap tubuh yang tidak ergonomis
bahkan sebagian besar sangat tidak ergonomis. Diketahui pula semua responden pernah mengalami
gejala CTDs berupa keluhan muskuloskeletal pada bagian-bagian tubuh sesuai yang ditunjukkan
dalam gambar Nordic Body Map. Untuk mengetahui hubungan antara sikap kerja dengan jumlah
gejala CTDs yang dirasakan oleh responden maka dilakukan uji Chi-Square. Dari hasil crosstabs
dengan taraf signifikansi 95% diperoleh nilai p=0,002. Oleh karena nilai p<0,005 maka berarti ada
hubungan yang signifikan/bermakna antara sikap kerja dengan jumlah gejala CTDs.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin banyak kriteria antara dimensi dataran kerja
dengan antropometri responden yang tidak sesuai maka semakin tidak ergonomis sikap tubuh
responden dan semakin banyak pula gejala CTDs berupa keluhan muskuloskeletal yang dirasakan
oleh responden. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti lain
sebelumnya. Ari Kuncahyati (2006) menyebutkan bahwa ada hubungan bermakna antara sikap
kerja duduk dengan keluhan subyektif pada punggung operator komputer. Demikian juga dengan
Finda Ardiana (2007) yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara posisi kerja duduk dengan
keluhan muskuloskeletal pada operator kerja duduk.
12
Keterbatasan Penelitian
Pengukuran antropometri dilakukan pada saat pekerja dalam keadaan diam atau statis
dikarenakan pengukuran antropometri secara dinamis akan menyebabkan terganggunya proses
produksi. Pada penelitian ini untuk menilai keluhan CTDs peneliti menggunakan kuesioner
modifikasi dari OSHA (Occupational Safety and Health Administration) dan Nordic Body Map
sehingga subyektifitas hasil tinggi dan bisa menyebabkan bias. Peneliti tidak menggunakan
instrumen laboratorium yang lebih spesifik seperti Electro Myo Graphy (EMG) dalam
mengidentifikasi keluhan CTDs
4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Semua responden bekerja dengan sikap kerja duduk dengan posisi yang sangat tidak
ergonomis sebanyak 66,7 %, tidak ergonomis 33,3 %, serta memerlukan waktu pengulangan
gerakan yang sangat cepat (< 30 detik).
2. Tiga jenis gejala Cumulative Trauma Disorders (CTDs) yang paling banyak dikeluhkan
responden, pertama adalah nyeri/keluhan muskuloskeletal pada bahu kanan sebanyak 78,3%,
kedua adalah keluhan pada bahu kiri sebanyak 70% dan ketiga adalah lengan atas kanan
41,7%.
3. Terdapat hubungan antara sikap kerja dengan gejala CTDs di bagian penjahitan (sewing)
dengan p-value = 0,002 (p<0,005)
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja
2. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 tentang
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja
2. Fitrihana, Noor. Memperbaiki Kondisi Kerja di Industri Garmen. (online)
(http://www.depkes.go.id/downloads/ergonomi )
13
2. Tayyari, F dan Smith JL. Occupational Ergonomics. Cornwall: TJ Press Ltd., 1997
3. Kaergaard, A dan Andersen JH.Occupational Environment Medicine: Musculoskeletal Disorders
of The Neck and Shoulders in Female Sewing Machine Operators. Prevalence, Incidence,
and Prognosis. (online) Vol. 57, 2000 (http://www.occenvmed.com)
4. Suma’mur, P.K, Penyakit Akibat Kerja dan Kecelakaan Kerja Di Lingkungan Perusahaan,
Makalah disajikan dalam Seminar Sehari PT Jamsostek,, Grand Candi Hotel, Semarang,
20 Desember 2005.
5. Tarwaka, Solichul,HA dan Lilik.S, Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan
Produktifitas, Surakarta: UNIBA Press, 2004
6. Nurmianto, E, Ergonomi, Konsep Dasar dan Aplikasinya, Surabaya: Guna Wijaya, 1998
7. Grandjean, E. Fitting the Task to The Man 4 th edition. London: Taylor & Francis,1995.
8. Canadian Centre for Occupational Health and Safety. Work-related Musculoskeletal Disorders
(WMSDs), (online) (http://www.ccohs.ca/ oshanswer/disease/rmirsi.htm)
9. Helander, Martin. A Guide to The Ergonomic of Manufacturing, New York: Taylor & Francis,
1995
10. Suryana, A dkk. Pedoman Teknologi tepat Guna Ergonomi Bagi Pekerja Sektor Informal.
Depkes RI Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta, 2001
14