You are on page 1of 34

Abstrak

Yoyon Darusman NIDN : 0416085802 “THE IMPLEMENTATION OF JUDUCIAL


REVIEW AS A PROCESS OF THE LEGAL SUPERVISION IN THE STATE LAW
SYSTEM INDONESIA AND UNITED STATE (THE COMPARATION STUDY)”.Rechstaats
or The Rule of Law are the principles which confirmed as the based in operating of the state and
government of Republic Indonesia, refered to the Article 1 Sub Article 3 of the Constitutions of
the Republic Indonesia of the Year 1945 (UUD 1945. To implementing the above mentioned
especially in the judiciary power side, the constitution has regulated the institutions which have
authority of its. As the sumpreme court, the constitution court and the judicial commission. The
judiciary power side are established to control the results of legislative productions in the law.
As far that the legislations power are content of the political power which shall influenced the
results of the regulations. To controling and minimizing influence of political power to the
regulation, the contitituons were provided the regulation, procedure and institution which have
authority of it. The regulation are regularing the process of judicial review and establishing the
institution which have authority of judicial review. In the Constitution of Republic Indonesia are
confirmed Supreme Court and Constitutional Court have authority to process of judicial review.
Meanwhile, the Constitution of United State are confirmed Supreme Court have authority to
process of judicial review.

Keywords : Judicial Review, Sistem Ketatanegaraan.


A. PENDAHULUAN.

Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat) dan bukan Negara Kekuasaan

(machstaat) sebagaimana yang diatur didalam Penjelasan Undang-undang Dasar

1945,1selanjutnya dengan telah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 maka isi

dari Penjelasan UUD 1945 tersebut telah ditiadakan,isi serta muatan Penjelasannya telah

dimasukan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945.Kemudian di dalam Undang-Undang

Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 pasca amandemen ke Ketiga, 2 mengatur bahwa Negara

Indonesia adalah negara hukum, artinya didalam interaksi berbangsa dan bernegara

senantiasa didasarkan kepada aruran-aturan hukum yang telah disepakati bersama oleh

rakyat yang ada di dalam negara Indonesia.

Penegasan tentang negara hukum di dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum

amandemen terdapat di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945dan tidak

dicantumkan di dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.3Hal ini di dalam

praktek ketatanegaraan dapat menimbulkan berbagai pemahaman (multi tafsir) terhadap

isi Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu pada saat terjadinya amandemen dan

untuk menghindari terjadinya berbagai pemahaman (multi tafsir),maka Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) saat itu berupaya untuk memasukkan istilah negara

hukum yang tadinya di dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam Batang

Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.

1
Penjelasan UUD 1945 (sebelum amandemen). Sistem Pemerintahan Negara.
I. Indonesia ialah Negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat).
1.Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan kekuasaan belaka
(Machtstaat).
2
Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 (setelah amandemen).Negara Indonesia adalah negara hukum.***)
3
PenjelasanUUD 1945 (sebelum amandemen).Sistem pemerintahan negara ialah ; Indonesia negara yang
berdasarkan atas hukum (rechtstaat).Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan
kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Dalam perkembangan sejarah hukum di dunia secara garis besar dapat dibagi

kedalam dua bagian yaitu 1) hukum yang berkembang di wilayah benua Eropah atau

yang dikenal dengan istilah Eropah Kontinental dan 2) hukum yang berkembang di

wilayah Inggris Raya atau yang dikenal dengan istilah Anglo Saxon. Secara geografis

hukum Eropah Kontinental berkembang di negara-negara seperti negara Perancis,

German Belanda dan beberapa negara bekas jajahannya seperti Indonesia sedangkan

Anglo Saxon berkembang di negara-negara seperti negara Kerajaan Inggris, Amerika

Serikat dan beberapa negara yang tergabung dalam negara-negara persemakmuran

(commonwealth).

Di dalam referensi hukum secara umum kedua aliran hukum tersebut memiliki

ciri-ciri yang berbeda yang kedua perbedaan tersebut tidak terpisah secara mutlak.yang

dapat digambarkan sebagai berikut :

Hukum Eropah Kontinental memiliki ciri-ciri :

1. Menganut faham legisme hukum.

2. Hukum senantiasa dibuat oleh pembuat undang-undang.

3. Hukum senantiasa terkodifikasi.

4. Para penegak hukum adalah merupakan corong (authomat) dari undang-

undang.

5. Tujuan hukum adalah untuk terciptanya kepastian hukum dan keadilan

hukum.

Hukum Anglo Saxon memiliki ciri-ciri :

1. Menganut faham realism dan/atau pragmatism hukum.

2. Hukum tidak senantiasa dibuat oleh pembuat undang-undang.


3. Hukum tidak senantiasa terkodifikasi.

4. Para penegak hukum tidak senantiasa merupakan corong (authomat) dari

undang-undang.

5. Tujuan hukum adalah selain untuk terciptanya kepastian hukum juga untuk

terciptanya rasa keadilan dalam masyarakat.

Dalam perkembangan sistem hukum di Indonesia banyak dipengaruhi oleh

pemikiran-pemikiran hukum yang berkembang di Eropah Kontinental.Hal ini sangat

relevan karena Indonesia adalah merupakan wilayah kolonialisasi Belanda yang secara

historis Belanda termasuk ke dalam wilayah pemikiran-pemikiran hukum Eropah

Kontinental.Positivisme hukum secara umum merupakan aliran hukum yang memiliki

hubungan yang kuat dengan pemikiran-pemikiran hukum Eropah Kontinental.

John Austin sebagai tokoh aliran hukum positif analiatis menjelaskan :

“hukum dibedakan kepada dua jenis yaitu (1) hukum dari Tuhan untuk manusia
(the define law), dan (2) hukum yang dibuat oleh manusia. Kemudian hukum
yang dibuat oleh manusia dibedakan lagi ke dalam 2(dua) jenis yaitu (1) hukum
yang sebenarnya yang disebut sebagai hukum positif meliputi hukum yang
dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu
untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya.Dan (2) hukum yang
tidak sebenarnnya adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa, sehingga
tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum.Seperti ketentuan dari suatu
organisasi olah raga”.4

Sedangkan Hans Kelsen sebagai tokoh aliran huku (positif) murni menjelaskan :

“hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non yuridis, seperti unsur

sosiologis, politis, historis bahkan etis”.5Selain sebagai pencetus teori hukum

murni Hans Kelsen juga dianggap berjasa mengambangkan teori Jenjang

(Stufentheori) yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl (1836-1896).Teori

4
Darji Darmodihardjo dan Sidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum.Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum di
Indonesia.Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2006, Hlm 115.
5
Ibid.
ini melihat hukum sebagai suatu system yang terdiri dari susunan norma

berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari suatu

norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak

sifatnya, dan sebaliknya semakin rendah kedudukannya semakin konkrit norma

tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut

dengan Grundnorm (norma dasar).6

Memperhatikan pendapat dari Hans Kelsen yang berkenaan dengan aliran

hukum murni yang berpendapat bahwa hukum seharusnya harus dipisahkan dari unsur-

unsur non hukum, pada kenyataannya adalah sangat sulit untuk dilaksanakan.Hal ini

dapat dilihat dalam praktek ketatanegaraan di seluruh dunia bahwa negara adalah

merupakan organisasi kekuasaan (politik) yang di dalamnya terdiri dari berbagai elemen

masyarakat yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Yang dalam

prakteknya proses legislasi yang akan menghasilkan hukum di dalamnya selalu dibuat

melalui mekanisme politik.

Karena itu, dari pemikiran Hans Kelsen tentang hukum murni yang kemudian

dihubungkan dengan teori hukum berjenjang (stufentheori) yang menempatkan norma

hukum tertinggi memberikan penguatan terhadap norma hukum di bawahnya. Maka

diharapkan akanterciptanya harmonisasi (tidak saling bertentangan) antara norma yang di

atsnya dengan norma yang di bawahnya. Kiranya hal tesebut dapat mengeliminir

pengaruh-pengaruh non yuridis ke dalam hukum.Dan proses-proses tersebut di dalam

praktek ketatanegaraan lebih dikenal dengan pengujian perundang-undangan (judicial

review).

6
B. PERMASALAHAN.

Di dalam praktek pelaksanaan pengujian perundang-undangan (judicial review)

di berbagai negara di dunia terdapat beberapa hal penting, diantaranya :

1. Terdapat perbedaan sejarah dalam lahirnya konsep pengujian perundang-undangan

(judicial review).

2. Terdapat perbedaan sumber hukum dalam pelaksanaan pengujian perundang-

undangan (judicial Review).

3. Terdapat perbedaan kelembagaan dalam pelaksanaan pengujian perundangan-

undangan (judicial review).

C. TINJAUAN PUSTAKA.

Dalam praktek-praktek pelaksanaan pengujian perundangan-undangan (judicial

review) terdapat hal-hal yang dapat mendukung secara yuridis, teoritis maupun filosofis,

diantaranya ;

1. Tujuan Hukum. (philosopy of law).

Hukum secara umum mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu 7; (i)

mencapai keadilan (justice); (ii) mencapai kepastian (certainly atau

zekerheid); dan (iii) mencapai kegunaan (utility).Keadilan itu sepadan

dengan keseimbangan (balance, mizan) dan kepatutan (equity), serta

kewajaran(proportionality).Sedangkan kepastian hukum terkait dengan

ketertiban (order) dan ketenteraman(comfertbale).Sementara itu, kegunaan

diharapkan dapat menjamin bahwa semua nilai-nilai tersebut akan

mewujudkan kedamaian hidup bersama.

7
Jimly Asshidiqy, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konpres. Jakarta 2008 Hlm 119.
Berkenaan dengan tujuan berbangsa dan bernegara, beberapa

sarjana juga merumuskan tujuan konstitusi seperti merumuskan tujuan

negara yaitu negara constitutional. J. Barents,8 menjelaskan ada tiga tujuan

negara, yaitu ; (i) untuk memelihara ketertiban dan ketenteraman, (ii)

mempertahankan kekuasaan, dan (iii) mengurus hal-hal yang berkenaan

dengan kepentingan-kepentingan umum.Tujuan negara yang disebutkan

diatas diimplementasikan dengan konstitusi sebagai sumber hukum

.Sedangkan Maurice Hauriou9 menyatakan bahwa tujuan konstitusi adalah

untuk menjaga keseimbangan antara; (i) ketertiban (orde), (ii) kekuasaan

(gezag), dan (iii) kebebasan (vrijheid).

Karena konstitusi itu sendiri merupakan hukum yang dianggap

paling tinggi tingkatannya, tujuan konstitusi sebagai hukum tertinggi itu

juga untuk mencapai dan mewujudkan tujuan yang tertinggi.Tujuan yang

dianggap tertinggi itu adalah : (i) keadilan; (ii) ketertiban; dan (iii)

perwujudan nilai-nilai ideal seperti kemerdekaan atau kebebasan dan

kesejahteraan atau kemakmuran bersama, sebagaimana dirumuskan sebagai

tujuan bernegara oleh para pendiri negara (the founding fathers and

mothers).

Dalam sistem hukum Indonesia tujuan hukum dapat dihubungkan

dengan falsafah Pancasila yaitu tercapainya pelaksanaan nilai-nilai yang

terkandung di dalam sila-sila dalam pancasila, lebih khusus sila yang ke

lima yaitu tercapainya keadilan sosial bagi seluruhrakyat Indonesia. Jika

8
Jimly Asshidiqy.Konstitusi Ekonomi. Konpres Jakarta 2008. Hlm 9.
9
Ibid.
tujuan itu belum tercapai maka upaya-upaya untuk melakukan penegakan

hukum yang baik masih perlu untuk ditingkatkan.

2. Hirarki Hukum dan Perundang-undangan. (the hierarcy of law).

Pada dasarnya norma hukum berjenjang, tata jenjang norma hukum

dijelaskan dalam “Stufenbau Theory” Hans Kelsen.Mengenai Stufenbau

Theory des Rechts atau The Hirarchy of Law yang berintikan bahwa norma

hukum merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap norma hukum yang

lebih rendah bersumber dari kaidah yang lebih tinggi. Norma hukum

mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum menentukan

cara untuk membuat norma hukum yang lain, dan juga sampai derajat

tertentu menentukan ini dan norma yang lainnya itu. Norma yang

menentukan pembentukan norma lain adalah norma yang lebih tinggi.

Sedangkan norma yang dibentuk menurut peraturan ini adalah norma yang

lebih rendah.

Kesatuan norma, pembentukan norma yang satu, yakni norma yang

lebih rendah ditentukan oleh lainnya yang lebih tinggi, yang

pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi dan

rangkaian proses pembentukan hukum diakhiri oleh suatu norma dasar yang

tertinggi.

Lebih lanjut Hans Kelsen10 dalam bukunya Allgemeine Staatslehre

dan Reine Rechtslehre, setiap norma hukum berlaku atas dasar kekuatan

norma yang lebih tinggi kedudukannya, demikian seterusnya.Walaupun

10
Darji Darmodiharjo.Sidarta Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Gramedia Persada Jakarta, 2008
demikian, dasar validitas itu pada suatu saat harus berkenti, yakni pada satu

norma yang paling tinggi, yang disebut Grundnorm atau Ursprungnorm.

Sebagai suatu norma, tentu perwujudan Grundnorm ini tidak dapat

dilihat atau diraba seperti halnya benda.Norma tersebut belum merupakan

suatu yang nyata (Sein), tetapi masih ideal(Sollen).Sekalipun demikian,

berlakunya norma itu dapat dirasakan sebagai kenyataan.Hans Kelsen 11 juga

menyatakan bahwa berlakunya hukum (Geltung des Rechts) sama halnya

dengan kekuatan negara.Meskipun hal tersebut tidak konkrit, namun tertib

hukum negara itu berlaku dan dapat dirasakan adanya.Selanjutnya dikatakan

bahwa tertib hukum yang tertinggi adalah kedaulatan rakyat.

Hans Nawiasky, mengelompokan norma-norma hukum dalam

suatu negara menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas;

 Kelompok Kesatu, Norma Fundamental Negara

(Staatsfundamentalnorm).

 Kelompok Kedua, Aturan Dasar/Pokok Negara (Staatsgrundgezets).

 Kelompok Ketiga, Undang-undang Formal (Formalgezets).

 Kelompok Keempat, Aturan Pelaksana dan Aturan Otonom

(Verordnung & Autonome Satzungen).

Yang dalam praktek system hukum di Indonesia dijabarkan

sebagaimana yang diatur dalam Ketetapan Majlis Permusyawaratan Rakyat

Sementara (MPRS) Nomor : XX/MPRS/1966 Tentang Tertib Hukum dan

Perundang-undangan, Ketetapan Majlis Permusyawaratan (MPR) Nomor :

11
Ibid.
III/MPR/2000 Tentang Tertib Hukum dan Perundang-undangan, Undang-

undang Nomor : 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Perundang-

undangan dan Undang-undang Nonor : 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Perundang-undangan.

3. Pengujian perundang-undangan (judicial review).

Pengujian undang-undang atau yang di dalam bahasa Inggris biasa

disebut dengan Judicial Review, dapat diartikan secara etimologi (tata

bahasa) atau dapat juga diartikan dari sisi istilah atau pengertian.Secara

etimologi (tata bahasa) Judicial Review berasal dari kata “Judicial” dan

“Review”.“Judicial” dapat diartikan sesuatu yang berhubungan dengan

pengadilan, atau dapat juga diartikan dengan suatu keputusan pengadilan

dari distrik, bagian, cabang pengadilan dari pemerintahan.Dan “Review”

dapat diartikan suatu tinjauan atau peninjauan kembali. 12

Sedangkan arti dari istilah atau pengertian secara umum yang

didasarkan kepada pendapat para sarjana dan para pakar, salah satu pakar

hukum ketatanegaraan seperti ; Sri Soemantri, mengartikan pengujian

undang-undang dengan dua bagian yang berbeda, yaitu; “Hak Uji Materil”

sebagai terjemahan konsep “Materiele Toetsingsrechts”, yaitu suatu

penilaian mengenai isi peraturan perundang-undangan, apakah bertentangan

atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.Dan “Hak Uji

Formil” sebagai terjemahan konsep “Formele Toetsingsrechts” yaitu suatu

penilaian mengenai tata cara pembentukan undang-undang apakah sesuai

12
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, Gramedia Jakarta, 2005.hal 337 dan
484.
atau tidak dengan aturan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-

undangan. 13

Kemudian Patrict, John J,14 apa yang dimaksud dengan Judicial

Review; “ is the power of the judicial branch of government to decide

whether or not acts of government are constitutional is knowen as judicial

review”. Yang dapat diartikan bahwa; Judicial Review adalah kekuasaan

dari bagian kekuasaan peradilan atau distrik dari pemerintahan untuk

memutuskan apakah tindakan atau keputusan dari pemerintahan dapat

dikatakan sesuai dengan Undang-undang Dasar atau Constitutional.

Dalam website http://www.contitutional.hot.mail, menguraikan

apa yang dimaksud secara umum tentang Judicial Review; “ is the power of

the courts to annual the acts of executive and/or the legislative power where

it finds the incompatible with a higher norm, Judicial Review is an example

of the function of sparation of powers in a modern government system

(where the judiciary is one on several branches of government)15. Yang

dapat diartikan bahwa ;Juducial Review adalah kekuasaan dari peradilan

untuk melihat laporan atas tindakan-tindakan dari kekuasaan pemerintah

dan/ atau kekuasaan legislatif untuk menemukan ketidak sesuaian dengan

norma-norma yang lebih tinggi.Judicial Review adalah sebagai suatu contoh

memfunfsikan pemisahan di dalam suatu sistem pemerintahan yang modern.

Jimly Asshidiqy, membedakan dua peristilahan yaitu ;

“Constitutional Review” atau “Pengujian Konstitutional”, dan “Judicial

13
Sri Soematri, Hak Uji Materir Dalah Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Alumni Bandung, 1983. Hlm 6.
14
Patrict, John J. Hlm 180-183.
15
http://www.constitutional.hot.mail, 16 Agustus 2010
Review” atau “Pengujian Perundang-undangan”, yang membedakannya

didasarkan kepada dua alasan, Pertama, “Constitutional Law” selain

dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau

pengadilan.Kedua “Judicial Review” terkait pula pengertian yang lebih luas

objeknya, misalnya mencakup legalitas peraturan di bawah undang-undang

terhadap undang-undang.16

Atas semua penjelasan di atas maka perlu dilengkapi dengan suatu

konseptual yang akan membantu merincikan materi atau objek penelitian

ini, sehingga objek maupun subjek dalam penelitian ini menjadi jelas.

Kerangka konseptual adalah serangkaian konsep yang dikonstruksikan

sedemikian rupa, sehingga membentuk kesatuan makna yang lebih lengkap

dan terarah.Kerangka konseptual merupakan penjelasan kerangka teori dan

pengarah pakar.Tujuan kerangka konseptual adalah untuk menjelaskan

masalah yang telah dirumuskan, menentukan data yang diperlukan dan

membatasi ruang lingkup penelitian.

Konsep pengujian undang-undang atas Undang-Undang Dasar

meliputi pengujian yang bersifat formil yaitu ; apakah proses pembuatan

undang-undang sudah melalui prosedur yang benar sebagaimana sudah

diatur di dalam Undang-undang Dasar.Dan yang bersifat materil yaitu;

apakah isi/substansi dari undang-undang tersebut bertentangan atau tidak

dengan Undang-Undang Dasar.

Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar sebagai

suatu proses ketatanegaraan dalam rangka memberikan suatu kepastian


16
Jimly Asshidiqy, Model-model Pengujian di Berbagai Negara, Konstitusi Press. Jakarta 2006, Hlm 5
hukum dan rasa keadilan kepada rakyat dan atau masyarakat. Pengujian

undang-undang atas Undang-Undang Dasar di dalam hukum ketatanegaraan

dilakukan oleh lembaga yudikatif, yang dalam hal ini Mahkamah Agung

(MA) sesuai ketentuan UUD 1945 sebelum amandemen dan oleh

Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) setelah

amandemen.Kemudian oleh Supreme Court di dalam sistem ketatanegaraan

Amerika Serikat, sesuai Konstitusi Amerika Serikat setelah amandemen.

Kemudian secara hakiki, tujuan dari pengujian untuk setiap

undang-undang dimaksudkan agar setiap produk undang-undang yang

dibuat oleh parlemen benar-benar efektif dan dirasakan adil oleh rakyat dan

atau masyarakat.Kita mengetahui bahwa lembaga legislatif adalah bukan

lembaga yang super body yang dapat memproduksi perundang-undangan

secara sempurna, disisi lain lembaga parlemen di dalamnya terdiri dari

orang-orang yang mempunyai latar belakang yang berbeda-beda dar sisi

sosial, ekonomi, politik dan kepentingan lainnya, sudah tentu perbedaan itu

akan sangat berpengaruh terhadap efektifitas dan kemanfaatan dari produk-

produk hukum dan perundang-undangan.

Karena itu pentingnya pelaksanaan pengujian undang-undang atas

Undang-Undang Dasar, atau peraturan perundang-undangan lainnya,

dirasakan sangat diperlukan untuk mengeliminir terjadinya resistensi dari

produk-produk hukum atau peraundang-undangan yang dihasilkan oleh

lembaga parlemen.
D. PEMBAHASAN.

1. Sejarah Pengujian Perundangan-undangan (judicial review).

a. Ketatanegaraan Amerika Serikat.

Kontitusi Amerika Serikat adalah hukum tertinggi di Amerika Serikat,

Konstitusi ini dibuat pada tanggal 17 September 1787 dan diadopsi melalui

Konvensi Konstitutional di Philadelphia, Pennsylvania dan kemudian akan

diratifikasi melalui konvensi khusus di tiap-tiap negara bagian. Dokumen ini

membentuk gabungan federasi dari negara-negara berdaulat dan pemerintah

federal untuk menjalankan federasi tersebut. Konstitusi ini menggantikan Articles

of Confedaration dan sekaligus memperjelas definisi akan negara federasi ini. 17

Konstitusi ini mulai berlaku pada tahun 1789 dan menjadi model konstitusi untuk

banyak negara lain. Konstitusi Amerika Serikat ini merupakan konstitusi nasional

tertua yang masih dipergunakan sampai sekarang. 18

Konstitusi Amerika Serikat terdiri dari Mukadimah, 8 Pasal, 25 Ayat

dan telah dilakukan 28 kali amandemen. Berkenaan dengan pelaksanaan

pengujian perundang-undangan (judicial review) dan kemudian dirujuk kepada

ketentuan Konstitusi Amerika Serikat di bidang kekuasaan kehakiman

sebagaimana yang diatur dalam Pasal III Ayat 1, 2 dan 3 tidak ada suatu

ketentuan khusus yang mengatur tentang prosedu atau mekanisme pengujian

perundang-undangan (judicial review), seperti yang terdapat di beberapa negara di

dunia seperti Indonesia.

17
www.wikisource.konstitusi 30/04/2008
18
Ibid.
Dalam sejarah pengujian perundang-undangan (judicial review)

sesungguhnya pertama kali timbul dalam praktek hukum Amerika Serikat.

Lahirnya “judicial review” ke dalam tatanan hukum Amerika Serikat, melalui

keputusan Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika Serikat dalam

perkaram”Marbury vs Madison” pada tahun 1803 yang saat itu John Marshal

sebagai Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat. 19

Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus “Marbury

vs Madison” ini pada intinya memuat bahwa Pasal 13 Judiciary Act (UU

Kekuasaan Kehakiman) Tahun 1789 Amerika Serikat bertentangan dengan

konstitusi negara tersebut. Sebenarnya tidak ada ketentuan yang jelas dalam

konstitusi Amerika Serikat yang memberikan kewenangan kepada lembaga

kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung) untuk melakukan judicial review.

Menurut John Marshal, ketentuan Pasal 13 Judiciary Act tahun 1789 merupakan

penambahan kewenangan supreme court. Jika hal tersebut diberlakukan, maka

dengan sendirinya mengubah ketentuan konstitusi melalui undang-undang biasa.

Oleh karena itu, ketentuan tersebut harus dinyatakan tidak sah dan bertentangan

dengan konstitusi yang merupakan “the supreme law of the land”20

Keputusan ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat John Marshal

yang awalnya dianggap inkonstitional karena tidak memiliki kewenangan menguji

undang-undang dengan Undang-undang Dasar Amerika Serikat yang secara tegas

diatur dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat.Dan akhirnya menjadi atau

dianggap konstitusional keputusan itu dikarenakan secara umum masyarakat

19
Zainal Arifin Hoesin. Judicial Review Di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade Pengujian Perundang-
undangan. Raja Grafindo Persada. Jakarta 2009.
20
Ibid.
Amerika Serikat menerima keputusan itu sebagai sesuatu yang baik dan adil. Dan

melalui keputusan hakim John Marshal itulah lahir jurisprudensi baru tentang

mekanisme pelaksanaan pengujian perundang-undangan (judicial review) di

Amerika Serikat yang kemudian keputusan itu diikuti oleh hakim-hakim agung

lainnya.

b. Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Dalam sejarah pembentukan konstitusi, perdebatan tentang perlunya

pengujian undang-undang sudah dimulai oleh para pendiri negara (the founding

leaders) dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan

(BPUPKI). Ketika sedang menyusun naskah UUD 1945 anggota BPUPKI

Muhammad Yamin21 dan Soepomo22 mengajukan beberapa argument yang

masing-masing memiliki pendapat memiliki perbedaan dari sudut pandang yang

berbeda. Artinya bahwa gagasan untuk memasukkan materi tentang pentingnya

pelaksanaan pengujian perundang-undangan diatur di dalam kosntitusi sudah ada

sejak Indonesia merdeka.

Pada periode berikutnya, sebenarnya pengujian undang-undang oleh

kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung) telah disepakati dalam sidang

Konstituante.Konstituante merupakan badan yang benar-benar dipilih oleh rakyat


21
Lihat Jimly Ashidiqy.Menegakan Tiang Konstitusi. Konpres RI. Jakarta. Hal 2.
Muhammad Yamin mengemukakan “ Balai Agung janganlah saja melaksanakan bagian kehakiman,
tapi juga hendaklah menjadi badan yang membanding apakah Undang-undang yang di buat Dewan
Perwakilan Rakyat tidak melanggar Undang-undang Dasar Republik atau bertentangan dengan
hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariah Agama Islam”.
22
Ibid.
Soepomo menolaknya dengan beberapa alas an. Pertama, Undang-undang Dasar 1945 tidak
menganut pemisahan kekuasaan (separation of powers). Soepomo berargumen “ sebab sudah tentu
sebelum memakainya kita harus mengetahui betul system itu… Menurut pendapat saya tuan Ketua,
dalam rancangan Undang-undang Dasar ini kita memang tidak memakai system yang membedakan
prinsipil antara 3 badan itu, artinya bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan
membentuk Undang-undang. Memang maksud system yang diajukan oleh tuan Yamin supaya
kekuasaan kehakiman mengontrol kekuasaan Undang-undang”.
melalui pemilihan umum untuk membentuk Undang-undang Dasar yang tetap

menggantikan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.Ketika itu,

gagasan pentingnya kekuasan kehakiman menguji undang-undang banyak

dikemukakan anggota Badan Konstituante.23

Di Indonesia pasca dilakukananya amandemen Undang-undang Dasar

1945, maka dimulailah era baru dengan diberikannya ruang untuk melakukan

pengujian perundang-undangan (peraturan di bawah undang-undang) yang selama

ini kewenangannya di pegang oleh Mahkamah Agung (MA), juga dapat dilakukan

pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar yang kewenangannya

dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai mana yang diatur di dalam

pasal 24 Undang-undang Dasar 1945. Kemudian dilakukannya pembaharuan di

bidang kekuasaan kehakiman dengan lahirnya undang-undang pokok kehakiman

yang baru.24

23
Ibid, hal 4
Tercatat ada beberapa orang menyampaikan pentingnya pengujian undang-undang dimasukan dalam
Undang-undang Dasar. Sebut saja Soeripto (PNI), Oei Tjoe Tat (Baperki), Soesilo Prawiroatmodjo
(Partai Republik Reformasi), Hermanu Kertodirejo (PKI), Renda Saroengalo (Parkindo), Siaw Giok
Tjan (Baperki) dan Yap Thiam Him (Baperki).
Indonesia. Undang-undang Dasar 1945, pasca amandemen yang ke empat dalam bab IX tentang
Kekuasaan Kehakiman mengatur sebagai berikut ;
Pasal 24 ayat 1 ;
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakan hukum dan keadilan.***).
Pasal 24 ayat 2 ;
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitsi.***).
Pasal 24 A ayat 1 ;
Mahkamah Agung berwewenang mengadili pada tingkat kasasi, meguji peaturan perundang-
unangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang.***).
Pasal 24 C ayat 1 ;
Mahkamah Konstitusi berwewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan-kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang
Pengujian perundang-undangan yang selama ini menjadi kewenangan

Mahkamah Agung (MA) dalam pelaksanaannya didasarkan kepada hirarki

perundang-undangan yang diatur dalam :

a. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Ketetapan MPR.

3. Undang-Undang/Perppu.

4. Peraturan Pemerintah.

5. Keputusan Presiden.

6. Keputusan Menteri.

7. Peraturan Lainnya.

b. Ketetapan MPR No. III/MPR/2000

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Undang-Undang/Perppu.

3. Peraturan Pemerintah.

4. Peraturan Presiden.

5. Peraturan Daerah.

Salah satu, jalan yang paling tepat adalah dengan melakukan

pembaharuan terhadap Undang-undang Dasar 1945, dalam melaksanakan

pembaharuan tersebut, masyarakat juga merupakan pendorong utama terjadinya

pembeharuan Undang-undang Dasar terutama dengan gerakan reformasi yang

Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang pemilihan
umum.***).
terjadi pada tahun 1998, sekaligus masyarakat pula yang berperan mentradisikan

penghormatan terhadap Undang-undang Dasarnya.

Di Indonesia, pembaharuan itu terjadi melalui perubahan UUD 1945

yang dilakukan MPR dalam Sidang Umum 1999 dan Sidang Tahunan 2000.

Perubahan konstitusi tersebut telah mengubah hubungan kekuasaan lembaga

negara secara besar-besaran.Sistim pembagian kekuasaan (division of power)

yang semula dianut dalam UUD 1945 sebelum perubahan telah ditinggalkan,

bergeser menjadi pemisahan kekuasaan.Di samping itu, eksistensi MPR bukan

lagi sebagai pemegang “sepenuhnya” kedaulatan rakyat, sehingga menggeser

supremasi MPR menjadi supremasi UUD 1945. 25

Dengan memperhatikan perbandingan isi / materi dari hasil perubahan

Undang-undang Dasar 1945 yang begitu luas khususnya yang berada di dalam

ruang lingkup kekuasaan kehakiman, hal ini tampak jelas telah terjadi suatu

keingingan yang baik (goodwill) dari seluruh komponen bangsa agar negara

Republik Indonesia lebih baik kedepan, khususnya dalam penegakan hukum (law

enforcement) yang tegas.

Kemudian di dalam pelaksanaannya ditindaklanjuti dengan lahirnya

Undang-undang Nomor : 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, tata

laksana kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung sebagai lanjutan dari

ketentuan Undang-undang Dasar 1945 diimplementasikan dengan dikeluarkannya

Undang-undang Nomor : 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung (MA),

tata laksana kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lanjutan

dari ketentuan Undang-undang Dasar di implementasikan dengan dikeluarkannya


25
ibid
Undang-undang Nomor : 23 Tahun 2003 Tentang Kekuasaan Mahkamah

Konstitusi Juncto Undang-undang Nomor : 8 Tahun 2011 tentang Perubahan

Undang-undang Nomor : 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan tata laksana kewenangan Komisi Yudisial sebagai kelanjutan

ketentuan Undang-undang Dasar 1945 diimplementasikan dengan dikeluarkannya

Undang-undang Nomor : 24 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Berkenaan dengan hasilnya amandemen Undang-Undang Dasar 1945

dengan lahirnya lembaga-lembaga negara baru di bidang Kekuasaan Kehakiman

dan dengan ditetapkannnya Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 2004 Tentang

Pembentukan Perundang-undangan, telah menetapkan hirarki perundang-

undangan yang secara norma dapat dilakukan pengujian perundang-undangan,

yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Undang-Undang/Perppu.

3. Peraturan Pemerintah.

4. Peraturan Presiden.

5. Peraturan Daerah.

Selanjutnta, dengan memperhatikan produk-produk hukum Indonesia

yang disebutkan di atas yaitu dengan lahirnya Undang-undang No.4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman (telah diperbaharui dengan UU No. 48 Tahun

2009), 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi Juncto Undang-undang Nomor : 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan Undang-undang Nomor : 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah


Konstitusi, Undang-undang Nomor : 24 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial,

khususnya setelah terlaksananya perubahan Undang-undang Dasar 1945, di dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia khususnya dalam penerapan hukum dasar /

konstitusi, menggunakan suatu proses pengawasan hukum melalui “sistem

pengujian perundang-undangan”.

Hal ini dikarenakan dalam sumber hukum yang dipergunakan adalah

menempatkan Undang-undang Dasar sebagai hukum dasar yang tertinggi yang

memberikan penguatan hukum kepada peraturan perundang-undangan yang

dibawahnya, dan tidak boleh ada satu peraturan pun dibawah Undang-undang

Dasar bertentangan dengan Undang-undang Dasar. Dan dengan berjalannya

waktu pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah

menetapkan Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 2011 Tentang Perundang-

undangan menggantikan Undang-Undang Nomor : 10 Tahun 2004, yang

menetapkan hirarki perundang-undangan yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Ketetapan MPR.

3. Undang-Undang/Perppu.

4. Peraturan Pemerintah.

5. Peraturan Presiden.

6. Peraturan Daerah Provinsi.

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

2. Sumber Hukum Pengujian Perundang-undangan (judicial review).

a. Ketatanegaraan Amerika Serikat.


Model pengujian perundang-undangan (judicial review) menurut tradisi

Amerika Serikat didasarkan kepada pengalaman (commons) Mahkamah Agung

(Supreme Court) Amerika Serikat dalam memutus perkara Marbury vs Madison

pada tahun 1803. Dalam model ini, pengujian konstitutionalitas (constitutional

review) dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung (Supreme Court) Amerika

Serikat dengan status sebagai the guardian of the constitution (pengawal

konstitusi). 26

Dalam sejarah perkembangan hukum di negara-negara Angglo Saxon

yang diantaranya dikembangkan sistem hukum commons law (hukum kebiasaan)

selain sistem hukum dalam bentuk statute law (hukum yang dibuat oleh pembuat

undang-undang). Selain kerajaan Inggris, Amerikat Serikat juga adalah negara adi

daya yang mengembangkan sistem hukum commons law selain system hukum

statute law. Karena itu dalam perkembangan hukum di Amerika Serikat

kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-tradisi yang dianggap baik secara umum oleh

rakyat Amerika Serikat, termasuk di dalamnya kebiasaan dan tradisi di bidang

hukum, maka secara tradisional akan dianggap sebagai hukum dan akan ditaati

dan diikuti oleh para penegak hukum.

Karena itu berkenaan dengan sumber hukum pengujian perundang-

undangan (judicial review) di Amerika Serikat tidak didasarkan kepada ketentuan

yang secara tegas diatur dalam Konstitusi Amerika Srrikat, akan tetapi lebih

didasarkan kepada “Doktrin John Marshall (John Marshall Doctrine). “judicial

review” atas Doktrin John Marshal ini juga dilakukan atas persoalan-persoalan

26
Jimly Assidiqy.Model-model Pengujian Perundang-undangan di Berbagai Negara. Konpres Jakarta
2006. Hlm 47.
konstitutionalitas oleh semua pengadilan biasa melalui prosedur yang dinamakan

pengujian yang terdesentralisasi atau pengujian tersebar (a decentralized or

diffuse or dispersed review) di dalam perkara yang diperiksa di pengadilan biasa

(incidentar). Artinya, pengujian demikian itu tidak bersifat institutional sebagai

perkara yang berdiri sendiri, melainkan termasuk di dalam perkara lain yang

sedang diperiksa oleh hakim dalam semua lapisan pengadilan. 27

b. Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 24 C Undang-Undang Dasar 1945,

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir

yang putusannya bersifat final (binding). Artinya setelah putusan Mahkamah

Konstitusi tidak ada upaya hukum lain ke tingkat peradilan yang lebih tinggi,

seperti pada proses peradilan lainnya. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi memiliki

kewenangan untuk melakukan pengujian setiap Undang-Undang (judicial review)

dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan oleh pemohon pengujian

Undang-Undang, baik pengujian yang bersifat formil maupun pengujian yang

bersifat materil.

Selanjutnya di dalam Undang-Undang Nomor : 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Perundang-undangan menggantikan Undang-Undang Nomor : 10

Tahun 2004. Dalam Pasal 7 Ayat 1 disebutkan tentang hirarki perundang-

undangan sebagai norma yang dapat dilakukan pengujian perundang-undangan,

yaitu :

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Ketetapan MPR.
27
Ibid.
3. Undang-Undang/Perppu.

4. Peraturan Pemerintah.

5. Peraturan Presiden.

6. Peraturan Daerah Provinsi.

7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Undang-undang Nomor : 28 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman, Dalam Pasal 18 menjelaskan “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh

sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi”. Kemudian dalam Pasal Ayat 2 (b) menjelaskan “Mahkamah Agung

berwewenang menguji peraturan di bawah undang-undang dengan undang-

undang”.Kemudian dalam Pasal 29 Ayat 1(a) menjelaskan “Mahkamah Konstitusi

berwewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya

bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Tahun 1945.

Selanjutnya sebagai pelaksanaan dari peraturan yang mengatur tentang

kekuasaan kehakiman sebagaimana yang ditetapkan dengan Undang-Undang

Nomor : 48 Tahun 2009, khususnya yang mengatur pelaksanaan pengujian

perundang-undangan, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2004

Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung, Undang-undang Nomor : 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi, Juncto Undang-undang Nomor : 8 Tahun 2011 tentang


Perubahan Undang-undang Nomor : 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi.

3. Kelembagaan Pengujian Perundang-undangan (judicial review).

a. Ketatanegaraan Amerika Serikat.

Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar Amerika Serikat sebagaimana

yang disebutkan di dalam Pasal III Ayat 1 “The judicial Power of the United

States, shall be vested in one Supreme Court, and in such inferior Courts as rhe

Congress may from time to time ordain and establish. The Judges, both of the

Supreme and inferior Courts, shall hold their offices during good Behavior, and

shall, at state Times, receive for their Services a Compensation which shall not be

diminished during their Continuance in Office”. Yang dapat diaartikan secara

umum “Kekuasaan peradilan Amerika Serikat akan berada pasa satu Mahkamah

Agung, dan pada Pengadilan-Pengadilan lebih rendah yang dari waktu ke waktu

mungkin ditentukan dan dibentuk oleh Kongres. Para hakim, baik dari Mahkamah

Agung maupun pengadilan lebih rendah, akan memegang jabatan mereka selama

mereka berkelakuan baik, dan akan pada waktu-waktu yang ditentukan, menerima

atas jasa mereka imbalan yang tidak akan dikurangi selama mereka memegang

jabatan”.

Dalam sejarah amandemen Undang-Undang Dasar Amerikan Serikat

yang telah dilakukan selama kurang lebih 28 kali amandemen, tidak ditemukan

perubahan yang secara materil berkaitan dengan ketentuan di bidang kekuasaan

kehakiman. Karena itu kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang

Dasar Amerika Serikat sampai saat ini adalah tetap di tangan Mahkamah Agung
(Supreme Court).Karena itu seluruh kekuasaan dan kewenangan di bidang

peradilan Amerika Serikat termasuk di dalamnya untuk melakukan peradilan

konstitusi atas pengujian perundang-undangan (judicial review) tetap berada di

tangan Mahkamah Agung (Supreme Court).

b. Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Mahkamah Agung Republik Indonesia merupakan lembaga yang oleh

Undang-Undang Dasar 1945 diberikan kewenangan langsung untuk

melaksanakan kekuasaan kehakiman. Sejak dikeluarkannya Ketetapan MPR

Nomor : III/MPR/1973 (Pasal 11); Ketetapan MPR Nomor : III/MPR/1978 (Pasal

11); Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1970 (Pasal 26); Undang-Undang Nomor

: 14 Tahun 1985 (Pasal 31), sampai dengan perubahan ketiga Undang-Undang

Dasar 1945 dan perubahan berbagai undang-undang di bidang kekusaaan

kehakiman, yang kesemuannya menetapkan bahwa Mahkamah Agung RI

memiliki kedudukan dan kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan

perundang-undangan yang derajatnya di bawah undang-undang.28

Dalam perspektif Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 setelah perubahan ketiga tahun 2001, maka pengujian perayuran

perundang-undangan secara substabtif dan pengorganisasiannya juga berubah

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 Ayat (2), Pasal 24A Ayat (1), Pasal 24C

Ayat (1).

Pasal 24 Ayat (2).

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan


28
Op.Cit. Zaenal Arifin Hoesin.
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitsi.***).

Pasal 24A Ayat (1).

Mahkamah Agung berwewenang mengadili pada tingkat kasasi, meguji

peaturan perundang-unangan dibawah undang-undang terhadap undang-

undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-

undang.***

Pasal 24 C Ayat (1).

Mahkamah Konstitusi berwewenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan-

kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh

Undang-undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan

memutus perselisihan tentang pemilihan umum.***).

Dengan memperhatikan uraian tersebut di atas, Undang-Undang Dasar

1945, menentukan bahwa subjek atau lembaga negara yang diberikan

kewenangan untuk melaksanakan pengujian peraturan perundang-undangan

adalah “Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia-MK-RI” dan “Mahkamah

Agung Republik Indonesia-MA-RI”, dengan segala kekuasaan dan

kewenangannya masing-masing.

E. PENUTUP.

1. Kesimpulan.
a. Pengujian perundang-undangan (judicial review) dalam sejarah hukum Amerika

Serikat, telah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu dan telah tetap

dilanjutkan pada saat ini. Hal tersebut dilakukan sebagai bagian dari penjaminan

hak-hak constitutional rakyat. Begitupun dalam sistem hukum Indonesia

sesungguhnya keinginan untuk adanya ketentuan tentang pengujian perundang-

undangan (judicial review) telah digagas pada saat perumusan Undang-Undang

Dasar 1945, perumusan Konstitusi RIS Tahun 1949, perumusan Undang-Undang

Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 maupun pada Ketetapan-Ketetapan MPRS

pasca dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Walaupun baru terimplementasi pada

saat ditetapkannya Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah

Agung dan bahkan pengujian perundang-undangan secara permanen setelah

dilakukannya amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dengan

dibentuknya Mahkamah Konstitusi.

b. Dalam sistem hukum Amerika Serikat pengaturan tentang pelaksanaan pengujian

perundang-undangan (judicial review) tidak secara tegas diatur dalam Undang-

Undang Dasar Amerika Serikat, melainkan parektek-praktek pengujian

perundang-undangan lebih didasarkan kepada doktrin-doktrin para hakim maupun

yurisprudensi-yurisprudensi yang diikuti oleh para hakim dalam memutus setiap

perkara. Hal ini didasarkan kepada konsep dan pemikiran hukum di Amerika

Serikat lebih didasarkan kepada hal-hal yang bersifat realism dan pragmatism

hukum, seperti kebiasaan-kebiasaan maupun kepatutan-kepatutan. Sedangkan

dalam sistem hukum Indonesia sangat berbeda di mana ketentuan yang mengatur

tentang pelaksanaan pengujian perundang-undangan (judicial review) secara tegas


diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun dalam undang-undang dan

peraturan pelaksanaannya. Hal ini dapat difahami karena konsep dan pemikiran

hukum di Indonesia lebih didasarkan kepada hal-hal yang bersifat legisme, yaitu :

segala sesuatu aturan harus dibuat oleh pembuat undang-undang, di luar itu tidak

aturan lainnya.

c. Kelembagaan di bidang peradilan dalam sistem hukum Amerika Serikat hanya

ada satu badan yang itu Mahkamah Agung (Supreme Court) yang salah satu

tugasnya adalah untuk melakukan pengujian perundang-undangan (judicial

review), sedangkan dalam sistem hukum Indonesia kelembagaan di bidang

peradilan dibagi dua kekuasaan yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi, yang dalam prakteknya kedua lembaga tersebut diberikan kewenangan

untuk melakukan pengujian perundang-undangan (judicial review) oleh Undang-

undang Dasar, walaupun dalam kirarki hukum yang berbeda.

2. Saran.

a. Dengan memperhatikan sejarah timbulnya pemikiran untuk dilakukan

pelaksanaan pengujian perundang-undangan (judicial review), baik dalam kontek

Amerika Serikat maupun Indonesia, seharusnya dapat diambil langkah-langkah

yang komprehensif ke depan agar pelaksanaan pengujian perundang-undangan

dapat lebih baik sesuai harapan masyarkat.

b. Sistem hukum Indonesia sudah selayaknya melakukan pergeseran dari sumber

hukum yang legisme kea rah realism, hal ini harus dapat difahami bahwa dunia

dan masyarakat telah terjadi perubahan yang sangat global.


c. Dalam rangka untuk terciptanya efesiensi kelembagaan tidak salahnya Indonesia

dapat mencontoh Amerika Serikat yang hanya memiliki pemegang kekuasaan di

bidang peradilan yaitu Mahkamah Agung. Atau kalau dirasakan sulit

dilaksanakan ada beberapa kewenangan pengujian perundang-undangan (judicial

review) yang selama ini dipegang oleh Mahkamah Agung di serahkan kepada

Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimungkinkan karena bagaimana luas dan besarnya

urusan-urusan yang pegang oleh Mahkamah Agung.

Daftar Pustaka.

A. Buku Referensi.

Darji Darmodiharjo.Sidarta Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Gramedia Persada


Jakarta, 2008
Jimly Assidiqy.Model-model Pengujian Perundang-undangan di Berbagai
Negara. Konpres Jakarta 2006.
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, Gramedia
Jakarta, 2005
Zainal Arifin Hoesin. Judicial Review Di Mahkamah Agung RI, Tiga Dekade
Pengujian Perundang-undangan. Raja Grafindo Persada. Jakarta 2009.
Patrict, John J.
Sri Soematri, Hak Uji Materil Dalah Sistem Ketatanegaraan Indonesia,
Alumni Bandung, 1983

B. Undang-Undang dan Perundang-undangan.

1. Undang-Undang Dasar 1945 (Asli).

2. Konstitusi RIS (1949).

3. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

4. Undang-Undang Dasar 1945 pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959

5. Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen (1,2,3 dan 4).


6. Undang-Undang Dasar Amerika Serikat 1887.

7. Undang-Undang Nomor :48 Tahum 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

8. Undang-Undang Nomor : 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

9. Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor : 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

10. Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

11. Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor : 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

C. Majalah, Jurnal dan Website.

1. www.constitutional.court.

2. www.wikisource.com

You might also like