You are on page 1of 10

Chapter II

DISCUSSION

2.1 Social Inequality

According to the Badruzman in the Rifda (2011) social inequality is a social imbalance
existing in society that makes a striking difference.
Menurut Abad Badruzman dalam Rifda (2011) kesenjangan sosial adalah suatu
ketidakseimbangan sosial yang ada di masyarakat sehingga menjadikan suatu perbedaan yang
mencolok.
Based on the Survei Persepsi Kesenjangan (LSI) in the World Bank (2014) survey
respondents feel the gap is getting higher and exceeding the reasonable limit. More than 90
percent of respondents say Indonesia is lame and as much as 40 percent say Indonesia is very
lame. Survey respondents also feel the gap has increased in recent years. Approximately half of
the total respondents said the gap has increased in the past five years and only 15 percent have
stated that the gap in Indonesia has decreased. In addition, the survey results stated that
respondents believe the 20 percent of the richest group grew rapidly, the next 20 percent grew
moderately, as well as the income of 60 percent of the group carried away unchanged rates. In
fact, based on most of the measurement of inequality in Indonesia has reached a high level. In
2002, 10 percent of Indonesia's richest people consumed as much as the total consumption of 42
percent of the poorest, while in 2014 they consumed as much as 54 percent of the poorest.
Di Indonesia, berdasarkan Survei Persepsi Kesenjangan (LSI) dalam World Bank
(2014) responden survei merasa kesenjangan semakin tinggi dan melebihi batas wajar. Lebih
dari 90 persen responden mengatakan Indonesia timpang dan sebanyak 40 persen megatakan
Indonesia sangat timpang. Responden Survei juga merasa kesenjangan semakin meningkat
dalam beberapa tahun terakhir. Kurang lebih separuh dari total responden menyatakan
kesenjangan meningkat dalam lima tahun terakhir dan hanya 15 persen yang menyatakan bahwa
kesenjangan di Indonesia mengalami penurunan. Selain itu, hasil survey menyatakan bahwa
responden percaya 20 persen kelompok terkaya tumbuh pesat, 20 persen berikutnya tumbuh
tingkat sedang, serta pendapatan dari 60 persen kelompok tingkat terbawa tidak berubah.
Faktanya berdasarkan sebagian besar pengukuran ketimpangan di Indonesia telah mencapai
tingkat yang tinggi. Pada tahun 2002, 10 persen warga terkaya Indonesia mengonsumsi sama
banyaknya dengan total konsumsi 42 persen warga termiskin, sedangkan pada tahun 2014
mereka mengonsumsi sama banyaknya dengan 54 persen warga termiskin.
To measure the inequality of the most commonly used gauge is the Gini coefficient,
where 0 is fully equivalent and 100 means completely unequal.
Untuk mengukur ketimpangan alat ukur yang paling sering digunakan adalah koefesien
Gini, di mana 0 berarti sepenuhnya setara dan 100 berarti sepenuhnya tidak setara.

(Maret, 2016 World Bank)


During the Asian financial crisis of 1997-1998, the poverty rate rose sharply, while the
Gini ratio declined. This is because everyone is affected by the Asian financial crisis, the richest
segment of the population hit hardest. The Gini ratio increased from 30 (in 2000) to 41 (in 2014),
the highest ever recorded. However, this increase is probably still lower than the actual situation
because household surveys are usually less representative of the richest households.
Pada saat krisis keuangan Asia pada tahun 1997-1998, angka kemiskinan naik tajam,
sedangkan rasio gini turun. Hal ini terjadi karena semua orang terkena dampak dari krisis
keuangan Asia, segmen masyarakat kaya terhantam paling keras. Rasio Gini meningkat dari 30
(pada tahun 2000) menjadi 41 (pada tahun 2014), yaitu angka tertinggi yang pernah tercatat.
Namun, kenaikan ini pun kemungkinan masih lebih rendah dari keadaan sebenarnya karena
survei rumah tangga biasanya kurang representatif menggambarkan rumah tangga terkaya.
Although the former was relatively moderate based on international standards,
Indonesia's inequality rate has now become high and rising faster than most of East Asia's
neighbors. 15 years of sustained growth has helped to reduce poverty and create an economically
well-established social class growth. Having recovered from the Asian financial crisis,
Indonesia's per capita real GDP grew an average of 5.4 percent per year between 2000 and 2014.
This growth helps many people get out of poverty. The poverty rate is reduced by more than half
from 24 percent during the crisis to 11 percent by 2014. Economic growth also helped create a
stronger middle class than ever before. Currently there are 45 million people (18 percent richest
of all Indonesians) who are economically well established and enjoy a higher quality of life.
They are the fastest growing segment of the population, with a 10 percent annual increase since
2002. However, the economically well-established group of Indonesians left the remaining 205
million behind. The benefits of economic growth have largely been enjoyed by the growing
consumer class. Between 2003 and 2010, per person consumption for the 10 per cent of
Indonesia's wealthiest people rose by more than six per cent per year after taking into account
inflation, but rises by less than two per cent per year to 40 per cent of the poorest. This has an
effect on slowing poverty reduction rates, with the number of poor falling just two per cent per
year since 2002, and almost no decrease in the number of people vulnerable to poverty.
Meskipun dahulu relatif moderat berdasarkan standar internasional, tingkat ketimpangan
Indonesia kini menjadi tinggi dan naik lebih cepat daripada sebagian besar negara tetangga di
Asia Timur. Pertumbuhan berkelanjutan selama 15 tahun telah membantu mengurangi
kemiskinan dan menciptakan pertumbuhan kelas sosial yang mapan secara ekonomi. Setelah
pulih dari krisis keuangan Asia, PDB riil per kapita Indonesia tumbuh rata-rata 5,4 persen per
tahun antara 2000 dan 2014. Pertumbuhan ini membantu banyak orang keluar dari kemiskinan.
Angka kemiskinan berkurang lebih dari separuhnya dari 24 persen saat krisis menjadi 11 persen
pada tahun 2014. Pertumbuhan ekonomi juga membantu menciptakan kelas menengah yang
lebih kuat dari yang pernah ada sebelumnya. Saat ini terdapat 45 juta orang (18 persen orang
terkaya dari seluruh masyarakat Indonesia) yang mapan secara ekonomi dan menikmati kualitas
hidup lebih tinggi. Mereka adalah segmen populasi yang berkembang paling pesat, dengan
peningkatan 10 persen per tahun sejak 2002. Namun, kelompok orang Indonesia yang mapan
secara ekonomi tersebut meninggalkan 205 juta sisanya di belakang. Manfaat pertumbuhan
ekonomi sebagian besar telah dinikmati oleh kelas konsumen yang berkembang. Antara tahun
2003 dan 2010, konsumsi per orang untuk 10 persen warga terkaya Indonesia naik lebih dari
enam persen per tahun setelah memperhitungkan inflasi, tapi kenaikannya kurang dari dua
persen per tahun untuk 40 persen warga termiskin. Ini berpengaruh pada perlambatan laju
pengentasan kemiskinan, dengan jumlah orang miskin turun hanya dua persen per tahun sejak
2002, dan nyaris tidak ada penurunan pada jumlah orang yang rentan kemiskinan.
2.2 Penyebab Ketimpangan Sosial

In the World Bank (2014) there are four major drivers of inequality in Indonesia affecting
current and future generations. First, the inequality of opportunity means not everyone can
develop the skills needed to get high-paid jobs. Not getting a chance starts even before birth.
Some children from poor households do not get adequate nutrition during the most important
growth stage, from the time they are in the womb until they are two years old. As a result, these
children experience stunting, which fails to reach the right height according to their age. Their
cognitive abilities grow more slowly than children who grow up, resulting in lower levels of
education and lower earning as adults. This is one of the most important development challenges,
37 percent of Indonesian children experience height that is not appropriate for their age.
Dalam World Bank (2014) terdapat empat pendorong utama ketimpangan di Indonesia
yang mempengaruhi generasi sekarang maupun masa depan. Pertama, ketimpangan peluang
berarti tidak semua orang dapat mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk
mendapatkan pekerjaan berupah tinggi. Tidak mendapatkan peluang dimulai bahkan sebelum
lahir. Sebagian anak-anak dari rumah tangga miskin tidak mendapatkan nutrisi memadai selama
tahap tumbuh kembang terpenting, yaitu sejak masih dalam kandungan hingga berusia dua tahun.
Alhasil, anak-anak ini mengalami stunting, yaitu gagal mencapai tinggi badan yang tepat sesuai
usia mereka. Kemampuan kognitif mereka berkembang lebih lambat dibandingkan anak-anak
yang tumbuh sehat, sehingga tingkat pendidikannya lebih rendah dan mendapatkan penghasilan
lebih rendah saat dewasa. Ini adalah salah satu tantangan pembangunan terpenting, 37 persen
anak-anak Indonesia mengalami tinggi badan yang tidak sesuai dengan usia mereka.
Secondly, the greater the demand to have the right skills in a modern economy, the
rewards for those who get good jobs are higher. While those who do not have the required skills,
get stuck in informal jobs or jobs with productivity and low wages. Low skills are because their
opportunities to develop such skills are limited. Workers from richer households are more likely
to be more educated and more skilled at making a profit from higher wages. If these first and
second factors are combined then wage inequality increases.

Kedua, semakin besarnya tuntutan untuk memiliki keterampilan yang tepat dalam
ekonomi modern, maka imbalan bagi mereka yang berhasil mendapatkan pekerjaan bagus
semakin tinggi. Sementara mereka yang tidak punya keterampilan yang dibutuhkan, terjebak
dalam pekerjaan informal atau pekerjaan dengan produktivitas dan upah rendah. Keterampilan
yang rendah itu karena kesempatan gai mereka untuk mengembangkan keterampilan tersebut
sangat terbatas. Pekerja dari rumah tangga yang lebih kaya memiliki kemungkinan besar lebih
terdidik dan lebih terampil meraup keuntungan dari upah lebih tinggi. Jika faktor pertama dan
kedua ini digabungkan maka ketimpangan upah meningkat.

Third, the increasingly centralized financial resources are in the hands of a handful of
wealthy households that lead to higher income inequality today and strengthen the inequality of
human and financial resources in the next generation. Households earn income not only through
work but also financial and physical assets. The share of income generated by work has
decreased. While parts generated by capital, such as financial assets and property have increased.
This happens not only in Indonesia but also in other countries in the world. In Indonesia, there
are high returns on these assets over the last decade. However, most wealthy households have
access to these resources. ten percent of the richest Indonesians control about 77 percent of all
wealth in the country. One percent of the richest people even own half of all wealth, occupying
the second highest position with Thailand after Rudia from 38 countries. This means that income
from financial and physical assets is enjoyed by fewer households.

Ketiga, semakin terpusatnya sumber daya keuangan di tangan segelintir rumah tangga
kaya yang menimbulkan ketimpangan pendapatan yang lebih tinggi saat ini dan memperkuat
ketimpangan sumber daya manusia dan keuangan pada generasi berikutnya. Rumah tangga
memperoleh pendapatan tidak hanya melalui pekerjaan tapi juga aset keuangan dan fisik. Bagian
pendapatan yang dihasilkan dengan bekerja telah menurun. Sementara bagian yang dihasilkan
oleh modal, seperti aset keuangan dan property telah meningkat. Hal ini terjadi tak hanya di
Indonesia tetapi terjadi juga di negara lain di dunia. Di Indonesia, terdapat imbal hasil tinggi atas
asset-aset ini selama dasawarsa terakhir. Namun, kebanyakan rumah tangga kaya yang memiliki
akses ke sumber daya ini. sepuluh persen orang Indonesia terkaya menguasai sekitar 77 persen
dari seluruh kekayaan di negeri ini. Satu persen orang terkaya bahkan memiliki separuh dari
seluruh kekayaan, menempati posisi tertinggi kedua bersama Thailand setelah Rudia dari 38
negara. Ini berarti pendapatan dari asset keuangan dan fisik dinikmati lebih sedikit rumah tangga.
Fourth, shocks can affect inequality at any stage within this framework by eroding
households' ability to earn income, save, and invest in educational health. There are many types
of shocks that can erode household resources and income, including: economic, health, social
and political shocks. Shocks can affect the underlying revenue-generating assets. For example,
natural disasters may cause loss of livestock or damage to equipment used to make a living.
Shocks can also reduce the revenue derived from such assets for example drought can reduce
yields. Shocks can reduce the income benefits if there is a change in food prices.

Keempat, guncangan dapat mempengaruhi ketimpangan pada tahap mana pun dalam
kerangka ini dengan cara mengikis kemampuan rumah tangga untuk mendapatkan penghasilan,
menabung, dan berinvestasi pada kesehatan pendidikan. Ada banyak jenis guncangan yang dapat
mengikis sumber daya dan pendapatan rumah tangga, antara lain : guncangan ekonomi,
kesehatan, sosial dan politik. Guncangan dapat mempengaruhi asset mendasar yang
menghasilkan pendapatan. Contohnya bencana alam dapat menimbulkan kerugian ternak atau
kerusakan peralatan yang dipakai untuk mencari nafkah. Guncangan juga bisa mengurangi
pendapatan yang berasal dari asset tersebut contohnya kekeringan dapat mengurangi hasil panen.
Guncangan pun dapat mengurangi manfaat pendapatan jika terjadi perubahan harga pangan.

2.3 Solusi Ketimpangan

In the World Bank (2014) Brazil implements several ways to reduce poverty. It can be
used by Indonesia because in some ways Brazil is similar to Indonesia, as large and resource-
based brasil economies have experienced rapid growth during the 2000s, their political system is
highly decentralized, Brazil has passed the transition to become an upper middle income country.
Brazil also suffered gap income and opportunities are high similar to that experienced by
Indonesia now. There are four drivers behind the decline in the level of inequality in Brazil that
can be applied in Indonesia, namely macroeconomic stability, expansion of primary and
secondary education, pro-poor expenditure of state, and the expansion of social assistance.

Dalam World Bank (2014) Brazil menerapkan beberapa cara untuk mengurangi
kemiskinan. Cara tersebut dapat digunakan oleh Indonesia karena dalam beberapa hal brasil
mirip dengan Indonesia, seperti ekonomi brasil yang besar dan berbasis sumber daya alam
meengalami pertumbuhan pesatselama tahun 2000an, system politiknya sangat terdesentralisasi,
Brasil telah melewati transisi untuk menjadi negara berpendapatan menengah ke atas. Brasil pun
sempat didera ketimpangan pendapatan dan peluang yang tinggi serupa dengan yang dialami
Indonesia kini. Terdapat empat pendorong di balik menurunnya tingkat ketimpangan di Brasil
yang dapat diterapkan di Indonesia, yaitu stabilitas makro ekonomi, peluasan pendidikan dasar
dan menengah, belanja negara yang pro rakyat miskin, serta perluasan bantuan sosial.

First, the poor have benefited from stability and macroeconomic growth. Because the
poor have no access to financial instruments that can protect them from inflation, a
macroeconomic climate that keeps the price of goods stable stabilizes the benefit of the poor and
vulnerable in Brazil. At the same time, widespread economic development has led to job
creation, allowing poor households to earn better income.

Pertama, Warga miskin telah mengambil manfaat dari stabilitas dan pertumbuhan
makroekonomi. Karena kaum miskin tidak punya akses pada instrument keuangan yang dapat
melindungi mereka dari inflasi, iklim makroekonomi yang menjaga harga barang tetap stabil
menguntungkan warga miskin dan rentan di Brasil. Pada saat yang sama, pembangunan ekonomi
secara luas telah mendorong terciptanya lapangan kerja, sehingga memungkinkan rumah tangga
miskin untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik.

Second, the expansion of primary and secondary education has changed the profile of
labor. The inequality of workers' incomes in Brazil is largely due to inequality in education.
Brazil began to implement a planned policy to expand education for poor households.

Kedua, perluasan pendidikan dasar dan menengah telah mengubah profil tenaga kerja.
Ketimpangan pendapatan pekerja di Brasil sebagian besar disebabkan ketimpangan di bidang
pendidikan. Brasil mulai melaksanakan kebijakan terencana untuk memperluas pendidikan bagi
rumah tangga miskin.

Third, a more pro-poor country's expenditure policy and a significant expansion of social
assistance, also contributed to the decline in inequality. Nearly half of government spending is
spent on social programs, including cash transfers, health and education. A significant increase in
state spending on social assistance plays a key role in reducing inequality. Increased contribution
contribution and noncontribution from the Brazilian government accounted for about 30 percent
reduction in the Gini ratio between 2001 and 2009. Thanks to these policies, the income of the
poor in Brazil rose the most in that period. Indonesia can do it to reduce the gap

Ketiga, kebijakan belanja negara yang lebih pro rakyat miskin dan perluasan signifikan
bantuan sosial, juga member kontribusi pada penurunan ketimpangan. Nyaris separuh belanja
pemerintah dihabiskan untuk program sosial, termasuk bantuan langsung tunai, kesehatan dan
pendidikan. Kenaikan signifikan belanja negara untuk bantuan sosial memainkan peran penting
dalam mengurangi ketimpangan. Peningkatan bantuan kontribusi dan nonkontribusi dari
pemerintah Brasil menyumbang sekitar 30 persen pengurangan rasio Gini antara tahun 2001 dan
2009

Keempat, perluasan bantuan sosial. Bantuan sosial dapat digunakan untuk melindungi
rumah tangga dari guncangan dan memfasilitasi mobilitas ke atas. Salah satu contoh dari bantuan
sosial adalah transfer tunain yang dapat menjadi penyeimbang. Namun, efektivitasnya dalam
menurunkan kesenjangan tergantung baik pada ukuran dan seberapa tepat sasarannya.Berkat
kebijakan-kebijakan tersebut, pendapatan orang miskin di Brasil naik paling tinggi pada periode
tersebut. Indonesia pun bisa melakukannya untuk mengurangi kesenjangan.

2.4 Ketimpangan perspektif pancasila

Ketimpangan yang terjadi saat ini tidak sesuai dengan pancasila sila ke dua dan kelima.
Pancasila sila ke dua berbunyi Kemanusiaan yang adil dan beradab dan Pancasila sila kelima
berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Makna dari pancasila sila kelima adalah
mengembangkan sikap adil terhadap sesama, menghormati hak orang lain, mewujudkan keadilan
sosial dan kesejahteraan bersama, serta gotong royong dan kerja sama. Selain itu, ketimpangan
tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34. Pasal 34 memiliki 4 ayat yang isinya,
yaitu :
1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum yang layak.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Apabila masih terjadi ketimpangan maka artinya Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 belum sepenuhnya diterapkan. Hal itu karena jika terjadi ketimpangan maka artinya masih
terdapat kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan haknya dan keadilan pun tidak terjadi.
Sebagai contoh, kesenjangan dalam bidang pendidikan yang terjadi antara penduduk daerah
terpencil dengan penduduk daerah perkotaan. Fasilitas dan kualitas pengajar yang ada di kedua
daerah tersebut sangat berbeda yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan. Guru-guru yang
berasal dari pedesaan memiliki kualitas pendidikan yang rendah karena hanya lulusan SMA .
Bahkan guru yang mengajar berasal dari sukarelawan di daerah tersebut yang tidak memiliki
kualifikasi sebagai pengajar. Jumlah guru di daerah terpencil pun hanya sedikit. Kebanyakan
guru-guru dari daerah perkotaan tidak mau ditempatkan di daerah terpencil karena sulitnya akses
ke sekolah dan honor yang tidak seberapa. Di daerah terpencil akses untuk berangkat sekolah
sangat sulit. mereka harus menempuh perjalanan yang jauh dan melewati jembatan yang rapuh
serta jalan tanpa aspal dengan banyak bebatuan. selain itu, pakaian yang mereka kenakan
seadanya bahkan ada beberapa murid yang tidak memakai sendal.Hal ini membuktikan UUD
1945 dan Pancasila belum sepenuhnya di terapkan.
Dalam Aziza (2011), apabaila dilihat dari aspek hukum dan politik, Negara Indonesia
merupakan negara demokrasi yang warganya memiliki hak dan kewajiban secara politik serta
perlakuan yang sama di depan hukum. Namun, masih ada diskriminasi yang dilakukan oleh
oknum-oknum tertentu, contohnya dalam pemberian fasilitas tahanan kasus pidana antara orang
miskin dan orang kaya. Orang kaya yang terlibat dalam kasus korupsi mendapatkan fasilitas
mewah, sedangkan orang miskin yang terlibat kasus pidana kecil, seperti mencuri sebuah melon
atau dua biji kakau, diperlakukan semena-mena oleh oknum aparat penegak hukum. Bahkan
tidak jarang hukuman bagi koruptor kebih ringan daripada hukuman bagi orang yang melakukan
tindak pencurian ringan. Menurut  Indonesia Corruption Watch (ICW) (dalam taylor, 2016),
terdakwa tindak pidana korupsi masih diberikan vonis ringan oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi. Peneliti Divisi Hukum dan monitoring Peradilan ICW, Aradila Caesar, melakukan
penelusuran selama Januari sampai juni 2016. Dari hasil penelurusan, terdapat 384 terdakwa dari
325 perkara yang 71 persennya mendapatkan vonis hukuman ringan. Rata-rata tuntutan yang
diberikan oleh penuntut umum kepada terdakwa korupsi adalah selama 40 bulan aau 3 tahun 4
bulan. Hal ini berbanding terbalik dengan hukuman yang diberikan kepada orang-orang yang
tidak memiliki kekuasan. Contohnya, seorang wanita lanjut usia bernama Asyani mendapatkan
ancaman maksimal 5 tahun penjara akibat mencuri 7 batang kayu jati milik perum pehutani. Hal
ini membuktikan bahwa sampai saat ini istilah Hukum Tumpul Ke Atas, Tajam Ke Bawah masih
berlaku dan itu tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

You might also like