You are on page 1of 4

Surat Al-Baqarah [2:132]

[Wasiat Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya]

‫اصطَفَ ٰى لَ ُك ُم‬
ْ َ ‫وب يَا بَنِ َّي ِإنَّ هَّللا‬ُ ُ‫ص ٰى بِ َها ِإ ْب َرا ِهي ُم بَنِي ِه َويَ ْعق‬
َّ ‫َو َو‬
‫ون‬
َ ‫سلِ ُم‬ ْ ‫ِّين فَاَل تَ ُموتُنَّ ِإاَّل َوَأ ْنتُ ْم ُم‬
َ ‫الد‬
wawashshaa bihaa ibraahiimu baniihi waya’quubu yaa baniyya inna allaaha
isthafaa lakumu alddiina falaa tamuutunna illaa wa-antum muslimuuna

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub.
(Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu,
maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”.

***

1). Penekanan ayat ini adalah pada kata ‫[ َوصَّى‬washshā, dia (Ibrahim) berwasiat]. Produk dari
perbuatan ‫( َوصَّى‬washshā, berwasiat) adalah ‫صيَّة‬
ِ ‫( َو‬washiyyah, wasiat). Maka “berwasiat” artinya
menyampaikan “wasiat” kepada pihak tertentu. Dan dalam ranah bahasa, wasiat biasanya
dimaknai sebagai sesuatu yang sakral, luhur, dan suci, yang menyebabkannya lebih tinggi aura
fonetik dan morfologinya ketimbang sekedar “pesan”. Adalah benar bahwa di dalam kata
“wasiat” terkandung makna “pesan”, hanya saja bukan sekedar “pesan” biasa. Dikatakan
“wasiat” apabila pemilik kuasa atas sesuatu memberikan atau memindahtangankan atau
mendelegasikan kuasa atas sesuatu itu kepada pihak lain yang dipilihnya secara prerogatif dan
otoritatif. Al-Qur’an menjadikan “wasiat” kian berganda keluhurannya setelah dituturlan sebagai
perintah Allah, perbuatan nabi dan rasul, dan bahkan perbuatan Allah itu sendiri. Sebagai
perintah Allah, al-Qur’an menukil seperti ini: “Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara
kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta, berwasiat untuk ibu-bapa dan
karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (2:180).
Sebagai perbuatan Allah: “Katakanlah: ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian
oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah
terhadap kedua orang tua, dan janganlah kalian membunuh anak-anak ka karena takut
kemiskinan. Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kalian
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar’. Demikian itu yang diwasiatkan (Allah)
kepadamu supaya kalian memahami(nya).” (6:151, liat juga 6:152-153, dan 42:13) Sedangkan
ayat yang tengah kita bahas ini (2:132) adalah contoh wasiat nabi dan rasul. Setelah menjadi
ketetapan dalam al-Qur’an, maka secara otomatis pelanggaran atas wasiat berkonsekuensi pada
hukuman. Firman-Nya: “Maka siapa saja yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya,
maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (2:181)
2). Wasiat Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub kepada anak-anaknya menunjukkan betapa semangat
keagamaan itu menjadi nafas abadi bagi para nabi dan rasul tersebut. Artinya, para nabi dan rasul
betul-betul menunaikan tugas ilahiahnya dalam keadaan tak berjedah hingga titik darah
penghabisan. Wasiat ini juga menunjukkan kepada kita bahwa yang paling pertama dan utama
yang menjadi sasaran dakwah dan keprihatinan para nabi dan rasul adalah orang-orang dekatnya,
anak-anak dan keturunannya, atau Ahlul Bayt-nya. Sejalan dengan pesan Allah dalam al-Qur’an:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari (azab) api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras,
yang tidak mendurhakai Allah dari apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (66:6). Juga konsisten dengan tugas Imamh Nabi Ibrahim
as yang diembankan kepadanya dan kepada ‫( ُذ ِّريّة‬dzurriyah, keturunan)-nya di ayat sebelumnya
(124). Sehingga dengan melihat sakralitas wasiat itu, bisa disimpulkan bahwa “anggota keluarga
nabi dan rasullah yang paling buruk nasibnya di sisi Allah jika menolak wasiat itu, dan anggota
keluarga nabi dan rasul pulalah yang paling mulia manakala menunaikan wasiat tersebut.”
Renungkanlah ayat ini: “Wahai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa di antaramu yang mengerjakan
perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipat gandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat.
Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah.” (33:30)

3). Lalu apa gerangan isi wasiat Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub tersebut? Jawabannya ada pada
huruf ‫( هَا‬ɦā, nya)—yang merupakan kata ganti—dalam klausa ‫( َو َوصَّى بِهَا‬wa washshā biɦā). Kata
atau kalimat yang digantikan oleh huruf ‫( هَا‬ɦā, nya) itulah yang menjadi isi dari wasiat tersebut.
Dan karena ayat ini dimulai dengan huruf ‫( َو‬wawu ‘athaf, wawu sambung), maka bisa dipastikan
kalau merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya. Di situ (ayat 131) disebutkan ketika Allah
berfirman—dalam bentuk perintah—kepada Nabi Ibrahim as: ‫( َأ ْسلِ ْم‬aslim, berserahdirilah!).
Agaknya, perintah Allah kepada dirinya (Nabi Ibrahim) inilah yang dia sampaikan kepada
anaknya, terus kepada cucunya, Nabi Ya’qub, yang kemudian selanjutnya kepada anak-anaknya
lagi. Begitu seterusnya sehingga kata ‫( َأ ْسلِ ْم‬aslim, berserahdirilah!) ini membentuk mata rantai
wasiat Nabi Ibrahim kepada ‫( ُذرِّ يّة‬dzurriyah, keturunan)-nya yang datang kemudian. Dan ciri ‫ُذرِّ يّة‬
(dzurriyah, keturunan) Nabi Ibrahim yang benar ialah mereka yang menjawab lantang: ِّ‫ت لِ َرب‬ ُ ‫َأ ْسلَ ْم‬
َ‫( ْال َعالَ ِمين‬aslamtu lirabbil-‘ālamĭyn, aku berserah diri kepada Tuhan semesta alam). Dengan begitu
keberlangsungan ‫( ِّملَّة‬millah)-nya terjamin berjalan ajek, tanpa friksi dan diskontinyu, persis
seperti sebuah garis lurus. Sebegitu pentingnya wasiat ini, sehingga Nabi Nibrahim dan Nabi
Ya’qub berpesan kepada anak-anaknya: َ‫( فَالَ تَ ُموتُ َّن َإالَّ َوَأنتُم ُّم ْسلِ ُمون‬falā tamŭwtunna illa wa antum
muslimŭwn, maka janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan berserah diri). Bisa dimaknai
bahwa “penyerahan diri secara total kepada Allah” adalah syarat kematian bagi anak-anak
keduanya. Kalau keturunan Nabi Ibrahim melalui Nabi Ya’qub menjadikan penyerahan diri ini
sebagai syarat kematiannya, maka senyatanya tidak mungkin ada masalah dengan keturunan
Nabi Ibrahim melalui Nabi Ismail. Karena dua yang terakhir ini juga berdoa bersama-sama saat
merekonstruksi bangunan Baitullah, dimana kandungan doanya sama dengan wasiat tadi: “Ya
Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada-Mu dan (jadikanlah juga)
di antara anak keturunan kami satu umat yang berserah diri kepada-Mu….” (2:128). Maka
apabila Bani Israil menentang kenabian dan kerasulan Muhammad saw, bisa dipastikan, di sana
ada pelanggaran terhadap wasiat moyang mereka, Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub as. Dan juga
berarti pelanggaran terhadap ‫( ِّملَّة‬millah)-nya: “Dan tiada yang benci millah Ibrahim melainkan
orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan
sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.” (2:130)
4). Kenapa Nabi Ibrahim dan Nabi Ya’qub menjadikan perintah peneyerahan diri sebagai wasiat
kepada anak-anak mereka? Karena hakikat agama adalah “penyerahan diri”. Dan agama
“penyerahan diri” inilah yang Allah pilihkan buat mereka. Di sini kita berjumpa kembali dengan
kata ‫( اصْ طَفَى‬isthafā, memilih) setelah sebelumnya kita berjumpa di ayat 130. Bedanya, di ayat
130 yang menjadi al-Musthafa-nya adalah sosok Nabi Ibrahim, sementara di ayat ini al-
Musthafa-nya adalah dĭn atau agama Nabi Ibrahim. Dengan demikian, baik sosok nabinya
ataupun agamanya, harus sama-sama bergelar al-Musthafa (yang terpilih oleh Allah). Karenanya
akan sangat ganjil—dan pasti bertentangan dengan ‫( ِّملَّة‬millah)—manakala agamanya pilihan
Allah tapi sosok pelaksana agama tersebut justru pilihan manusia. Ini juga menunjukkan dengan
jelas bahwa antara sosok dan agama adalah dua oknum yang tak bisa dipisahkan satu sama lain.
Agama tidak mungkin eksis tanpa sosok ilahi, sebagaimana sosok ilahi tidak mungkin eksis
tanpa agama. “Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai
perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah
mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu
mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami
benar-benar termasuk orang-orang terpilih lagi paling baik. Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa’ dan
Zulkifli. Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik.” (38:45-48)
Al-Haj:78
‫ق ِجهَا ِد ِه ۚ هُ َو اجْ تَبَا ُك ْم َو َما َج َع َل َعلَ ْي ُك ْم فِي‬ َّ ‫َو َجا ِه ُدوا فِي هَّللا ِ َح‬
‫ين ِم ْن قَ ْب ُل‬ َ ‫ج ۚ ِملَّةَ َأبِي ُك ْم ِإ ْب َرا ِهي َم ۚ هُ َو َس َّما ُك ُم ْال ُم ْسلِ ِم‬
ٍ ‫ين ِم ْن َح َر‬ ِ ‫ال ِّد‬
ِ َّ‫ون ال َّرسُو ُل َش ِهي ًدا َعلَ ْي ُك ْم َوتَ ُكونُوا ُشهَ َدا َء َعلَى الن‬
‫اس‬ َ ‫َوفِي ٰهَ َذا لِيَ ُك‬
‫ص ُموا ِباهَّلل ِ هُ َو َم ْواَل ُك ْم ۖ فَنِ ْع َم‬ ِ َ‫صاَل ةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوا ْعت‬ َّ ‫ۚ فََأقِي ُموا ال‬
‫صي ُر‬ ِ َّ‫ْال َم ْولَ ٰى َونِ ْع َم الن‬

Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih
kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas
dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah
Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.

You might also like