Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
Rendahnya kualitas dan daya saing SDM Indonesia juga tidak bisa lepas dari
kualitas pendidikan yang redah. Indikasi adanya kaitan erat antara rendahnya kualitas
manusia dengan kondisi kualitas layanan pendidikan yang rendah di Indonesia tampak
sangat jelas. Secara umum pelaksanaan dan hasil pendidikan di Indonesia adalah
2
unsatisfactory. Indonesia memiliki sistem pendidikan yang paling buruk di antara
negara-negara di Asia. yaitu peringkat ke-124, di bawah Vietnam, Thailand, Filipina,
3
Malaysia, dan Negara Asia lainnya. Fakta menunjukkan bahwa pendidikan formal dan
sistem persekolahan ternyata tidak cukup untuk menjawab berbagai permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari masih rendahnya tingkat pendidikan
masyarakat, tingginya tingkat buta aksara bagi orang dewasa, tingginya tingkat
pengangguran, tingginya tingkat kemiskinan dan sebagainya. Di pihak lain, kebijakan
pemerintah dalam pembangunan pendidikan sangat menitikberatkan pada pendidikan
formal dan sistem persekolahan. Adapun perhatian pada pendidikan non formal masih
sangat terbatas. Hal ini dapat dilihat dari alokasi anggaran dan fasilitas maupun berbagai
sumberdaya lainnya yang jauh lebih besar dicurahkan bagi pendidikan formal dan sistem
persekolahan.
Pendidikan non formal dapat dipandang sebagai salah satu upaya pemerintah
untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk di berbagai negara, termasuk di
1
Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo
2
Sayed. Laporan Penelitian Tentang Pendidikan Di Indonesia (Jakarta: Bank Dunia. 2009) p.8.
3
Studi Political and Economic Risk Consultancy. Peringkat Indek Pembangunan Manusia Indonesia. (Jakarta:
Studi Political and Economic Risk Consultancy. 2011) p. 4.
Indonesia. Konsep awal dari Pendidikan Non Formal ini muncul sekitar akhir tahun 60-an
hingga awal tahun 70-an. Menurut Coombs pendidikan non formal adalah: Any
organized, systematic educational activity outside the framework of the formal (school)
system (designed) to provide selective type of learning particular sub-groups in the
4
population adult, as well as children.
Pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi, pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan nonformal menjadi tanggungjawab bidang Pendidikan Nonformal dan Informal
atau nama lain yang membidangi PNF pada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan
Propinsi. Agar pengelolaan dan penyelenggaraan PNF semakin bermutu dan relevan
dengan kebutuhan belajar masyarakat, Pemerintah mempunyai UPTD yaitu SKB. UPTD
tersebut memiliki tugas pokok yaitu: (1) Mengembangkan berbagai model program PNF
yang sesuai dengan potensi lokal, (2) UPTD juga difungsikan sebagai lembaga
pengendali mutu pelaksanaan program. Mengingat pentingnya peranan SKB, maka
keberadaan lembaga tersebut perlu terus ditingkatkan kapasitasnya, sehingga mampu
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara optimal dengan didukung SDM dan
sarana-prasarana yang memadai. Optimalisasi keberadaan dan pemanfaatan SKB akan
menjadikannya semakin dipercaya dan mantap untuk melaksanakan berbagai program
pendidikan non formal.
Pengelolaan program kesetaraan Paket B dilihat secara menyeluruh dengan
memperhatikan standar pengelolaan secara nasional yang ditetapkan melalui kebijakan,
baik itu kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Standar pengelolaan pendidikan
tersebut dituangkan dalam permen diknas nomor 44 tahun 2009 tentang standar
pengelola pendidikan pada Program Paket A, Paket B, dan Paket C, yang memuat enam
pokok standar pengelolaan yaitu: memimpin penyelenggaraan pendidikan kesetaraan,
memotivasi semua komponen penyelenggara pendidikan kesetaraan, merencanakan
penyelenggaraan program pendidikan kesetaraan, mengorganisasikan penyelenggaraan
pendidikan kesetaraan, melaksanakan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
5
program pendidikan kesetaraan, dan mengendalikan program pendidikan kesetaraan.
Dengan berpedoman pada permen diknas tersebut, pemerintah daerah membuat
kebijakan pengelolaan di tingkat satuan pendidikan.
Semakin baiknya tingkat pendidikan akan mempercepat proses pembangunan
6
masyarakat.
Insvestment in education certainly contribute to economic growth, but it is obvious
that economic growth makes it possible for nations to invest in educational and
development. Education, therefore, is both the seed and the flower of the economic
7
development.
Pendidikan non formal sebagai subsistem pendidikan nasional, dihadapkan pada
dua tantangan besar pembangunan pendidikan non formal, yakni pertama, bagaimana
pendidikan non formal mampu melaksanakan komitmen nasional untuk membenahi dan
mengembangkan mutu pendidikan; dan kedua, bagaimana pendidikan non formal
mampu berperan efektif membantu menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat lapisan bawah, yang memiliki berbagai keterbatasan dan ketidakberdayaan
secara struktural maupun kultural akibat geologis maupun sosio-demografis. Pendekatan
untuk selalu mengintegrasikan aspek mutu dalam merancang dan mengembangkan
program-program pendidikan non formal serta melibatkan seluruh stakeholder pendidikan
merupakan strategi untuk menjawab tantangan tersebut, karena bagi pendidikan non
formal, program-program yang tidak mempertimbangkan mutu tidak akan efektif
dilaksanakan. Untuk mencapai tujuan tersebut, bukan merupakan upaya yang
4
Coombs, P.H. and Ahmed, M. Attacking Rural Poverty: Hoe educatin can help, (Baltimore: John Hopkins
University Press 1974) p. 152.
5
Salinan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009. (Jakarta:
Depdiknas, 2009), pp. 1- 3.
6
Soedijarto. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. (Jakarta: Kompas Publishing. 2009) p.79.
7
F. Harbison & C.A. Myers. Manpower and Education: Country Studies in Economic Development. (New York:
McGraw-Hill Book Co.,1965) p.154.
sederhana, melainkan suatu kegiatan yang dinamis dan penuh tantangan. Pendidikan
8
akan selalu berubah seiring dengan perubahan jaman.
Menata pendidikan secara perspektif terpadu dan profesional mencakup 3 (tiga)
tingkatan, yaitu tingkat makro (nasional, provinsi, kabupaten/ kota, kecamatan bahkan
9
desa), tingkat messo (kelembagaan), maupun pada tingkat mikro (proses pendidikan).
Mengingat luasnya cakupan yang terkandung di dalamnya, maka setiap tingkatan
tersebut harus didekati secara sistematik.
Schermerhorn menjelaskan tentang pemikiran sistematik sebagai berikut:
In systematic thinking a person approaches problems in a rational, step-by-step,
and analytical fashion. This type of thinking involves breaking a complex problem
into smaller components and then addressing them in a logical and integrated
fashion. Managers who are systematic can be expected to make a plan before
taking action and then to search for information to facilitate problem solving in a
10
step-by-step fashion.
8
Nanang Fattah. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004) p.1
9
Engkoswara dan Ismuhadjar. Menata Karakter Bangsa Berbudaya Pancasila. (Makalah untuk Konvensi
Nasional Pendidikan Indonesia V, 5-9 Oktober 2004 di Surabaya) p.15.
10
Schermerhorn, John R., Jr., Management. Eighth Edition. (New York: John Wiley & Sons, Inc. 2005) p.175.
11
Jones, Gareth R. Organizational Theory, Design, and Change; Text and Cases. Fourth Edition, International
Edition.( New Jersey: Prentice-Hall/Pearson Education International, 2004). p. 8.
12
Sweeney, Paul D., and Dean B. McFarlin. Organizational Behavior, Solutions For Management. International
Edition. (New York: McGraw-Hill/Irwin. 2002) p. 4.
13
Hoy, Wayne K., and Cecil G. Miskel. op.cit. p.28.
14
Jones, p. 60.
15
Oemar Hamalik. Proses Belajar Mengajar. (Jakarta : Bumi Aksara, 2004) p.127.
penyelenggaraan maupun proses pembelajaran pendidikan nonformal dalam rangka
memperluas kesempatan, peningkatan mutu dan relevansi hasil program pendidikan
nonformal dengan kebutuhan pembangunan. Keempat, terselenggaranya
kegiatan pendidikan nonformal di lapangan tergantung pada tenaga sukarela yang tidak
ada kaitan struktural dengan pemerintah sehingga tidak ada jaminan kesinambungan
pelaksanaan program pendidikan nonformal. Kelima, peran serta masyarakat dalam
memprakarsai penyelenggaraan dan pelembagaan pendidikan nonformal masih relatif
sangat rendah.
Fenomena di lapangan masih dijumpai pelaksanaan program kejar B di Kabupaten
Gorontalo belum adanya komitmen kepemimpinan dan kinerja organisasi yang rendah.
Belum menerapkan prinsip-prinsip pendidikan nonformal dalam menggerakkan pihak lain
untuk melaksanakan program. Meningkatkan kemampuan pendidik dan tenaga
kependidikan dalam satuan pendidikan yang dipimpin sesuai dengan tuntutan kinerja
juga relatif rendah; Mengatur pelaksanaan program yang mencakup sistem informasi,
pendanaan, ketenagaan, sarana, prasarana belajar, dan kegiatan belajar mengajar juga
membutuhkan peningkatan. Sehingga dibutuhkan monitoring dan evaluasi
Penyelenggaraan program Pendidikan Kesetaraan sekaligus pengendalian terhadap
penyelenggaran program pendidikan kesetaraan Paket B.
Penelitian ini tidak menganalisis seluruh subsistem dalam sistem pendidikan, tetapi
hanya memfokuskan pada pengelolaan pendidikan kesetaraan Paket B di SKB Limboto
16
Kabupaten Gorontalo. Subfokus penelitian ini lebih rinci sebagai berikut:
1. Kepemimpinan penyelenggara pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar
Limboto Kabupaten Gorontalo.
2. Motivasi penyelenggara pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar Limboto
Kabupaten Gorontalo.
3. Perencanaan pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar Limboto
Kabupaten Gorontalo.
4. Pengorganisasian pelaksanaan pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar
Limboto Kabupaten Gorontalo.
5. Monitoring dan evaluasi pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar Limboto
Kabupaten Gorontalo.
6. Pengendalian program pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar Limboto
Kabupaten Gorontalo.
16
Banghart, Frank W. dan Albert Trull, Jr. (Educational Planning. New York: The Macmillan Company, 1973).
p.107.
17
Manali Oak. Why is Education So Important? http://www.buzzle.com/articles/why-is-education-so-
important.html diakses pada tanggal 02 Pebruari 2012.
18
Castetter, William B., The Human Resource Function in Educational Administration. Sixth Edition, (New
Jersey: Prentice-Hall International, Inc.1999) p. 140.
19
Pendidikan Kesetaraan, merupakan salah satu dari pendidikan non formal yang
mencakup program Paket A setara SD, Paket B setara SMP dan Paket C setara SMA.
Program ini penekannnya pada penguasaan pengetahuan, keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional peserta didik. Direktorat Kesetaraan
20
Dirjen PNFI sekarang memberikan kebijakan bahwa ada 3 spektrum yang perlu
dilaksanakan yaitu Spektrum KMA (Kesetaraan Murni Akademik), KIV (Kesetaraan
Integrasi Vokasi dan KMV (Kesetaraan Murni Vokasi). Ketiga spektrum tersebut
diharapkan dapat dilaksanakan untuk menjawab perubahan dan perkembangan jaman
21
saat ini.
Pendidikan kesetaraan mempunyai visi yang ingin diwujudkan. Visi adalah “An
attractive, ideal future that is credible yet not readily attainable”. Bagi organized
22
activities, visi sangat penting karena digunakan sebagai arah dan panduan dalam
melaksanakan kegiatannya. Dengan visi tersebut, dapat diketahui apa yang ingin
diwujudkan. “The vision statement answers the question “What do we want to become?”
23
purpose”.
25
Uraian tersebut digambarkan sebagai berikut:
ORGANIZATIONAL
PARTICIPANTS
19
Mustafa Kamil. Pendidikan Non Formal.(Bandung: Alfabeta Press, 2009). p. 82.
20
Petunjuk Teknis. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan Kesetaraan Program Paket A dan
B. (Jakarta: Direktorat Kesetaraan Dirjen PNFI, 2007) p.132.
21
Suzanne Kindervatter. Non Formal Education as An Empowering Proces. (Massachusetts: Center for
International Education,1979). p. 288.
22
Daft, Richard L. Management. Sixth Edition. (Ohio: Thomson South-Western 2003) p 533.
23
David, Fred R. Strategic Management; Concept and Cases. Seventh Edition. (New Jersey: Prentice-Hall
International, Inc. 1999). p. 83.
24
Suharsimi Arikunto dan Safrudin AJ. Evaluasi Program Pendidikan. Edisi Kedua. (Jakarta: Bumi Aksara,
2008). p. 9.
25
Luthans, Fred., Organizational Behavior. Ninth Edition. (New York: McGraw-Hill & Irwin. 2002) p. 27.
pengakuan terhadap pembelajaran yang diperoleh secara mandiri dari pengalaman,
pembelajaran dan profesi.
Penentuan dan pengakuan bobot SKK hasil alih kredit memperhatikan tingkat
kompetensi berdasarkan hasil belajar sebelumnya, portofolio, transkrip, sertifikat, raport,
surat penghargaan, surat keterangan tentang berbagai keikutsertaan dalam
pembelajaran, pagelaran, pameran, lomba, olimpiade dan kegiatan unjuk prestasi
26
lainnya. Pendidikan kesetaraan berupaya meningkatkan pengetahuan, keterampilan,
sikap dan nilai yang dapat secara berjenjang dan terstruktur dengan sistem yang luwes,
27
fungsional dan mengembangkan kecakapan hidup untuk belajar sepanjang hayat.
Pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan
pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencakup program Paket
A, Paket B, dan Paket C. Robbins dan Barnwell merumuskan pengertian sistem-terbuka
sebagai sebuah sistem dinamik yang berinteraksi dengan dan merespon kepada
28
lingkungannya.
“An open system recognizes the dynamic interaction of a system with its
environment. Open system is a dynamic system that interacts with and responds to
29
its environment.”
26
Modul. Reformasi Pendidikan Kesetaraan. (Jakarta: Direktorat Pendidikan Kesetaraan. Direktorat Jendral
Pendidikan Non Formal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional. 2007) p.12.
27
ibid
28
Jimmy Herman Sinaulan. Analisis Terhadap Hubungan Antara Komitmen Organisasi, Kepribadian-dasar, dan
Kompetensi Guru, yang didukung dengan Budaya-mikro dan Sumber-kendali terhadap Kinerja Guru (Studi
Tentang Perilaku Organisasi Pada Sekolah Menengah Atas Negeri Provinsi DKI Jakarta). (Disertasi Universitas
Pendidikan Indonesia, 2007). p.34
29
Robbins and Neil Barnwell.Organization Theory, Concepts and Cases.Fourth Edition. (New Jersey: Prentice-
Hall/ Pearson, 2002) p.11
30
Davis, Keith dan John W Newstrom. Human Behavior At Work, Organizational Behavior, 8th Edition,
(Singapore: McGraw-Hill Book Co.1989) p.204.
31
Hughes, Richard L, Robert C Ginnett, Gordon J. Curphy. Leadership, Enhancing, The Lessons Of
Experience, Fifth Edition, (New York: McGraw-Hill International Ed.2006) pp. 11-13.
32
bersama. Selanjutnya menurut Dubrin, kepemimpinan didefinisikan sebagai kekuatan
dinamis penting yang memotivasi dan mengoordinasikan organisasi dalam rangka
33 34
pencapaian tujuan. Menurut Saefullah, istilah mempengaruhi orang-orang di sini
berupa pemberian motivasi dan pendekatan human relation. Namun suatu hal yang tak
dapat dipungkiri bahwa pemimpin dalam mengemban tugas mempengaruhi tersebut tidak
lepas prilaku yang melekat pada dirinya. Kadangkala dengan prilaku yang bersifat
bujukan, prilaku kasar dan penuh dengan tekanan dan paksaan, atau pula dengan sikap
yang acuh dan tak acuh dengan para bawahan atau pengikut.
Bass menjelaskan makna kepemimpinan secara luas dan bervariasi sebagai
berikut.
Leadership as a focus of group process; leadership as personality and its effects;
leadership as the art of inducing compliance; leadership as the exercise of
influence; leadership as act of behavior; leadership as a form of persuasion;
leadership as power relation; leaedership as an instrument of goal achievment;
leadership as an instrument effect of interaction; leadership as differentiated role;
35
leadership as an initiation of structure.
32
Northouse. “Catalytic Leadership: Reconsidering the Nature of Extension’s Leardership Role”, Journal of
extension ( online ), article Number 2 FEA, (http://www.Joe.org), diakses 20 Juli 2011.
33
Dubrin, Andrew J. Leadership, (Edisi Kedua, Terjemahan Budi Santoso, Triwibowo, Jakarta: Penerbit
Prenada.2005). p.4.
34
Saefullah, H.A.Djaja. Pemikiran Kontemporer Administrasi Publik, Perpektif Manajemen Sumber Daya
Manusia Dalam Era Desentralisasi, (Bandung: FISIP UNPAD.2007). p. 224.
35
Bass, B. M. Stogdill Hand Book of Leadership (A survey of theory and research). (New York: Mc Millan.
1981). pp 1-15.
36
Gary Yukl. Kepemimpinan Dalam Organisasi. (Jakarta: Indeks. 2009). p. 129.
37
Yukl, G. Leadership in Organization (Second edition ).Englewood Cliffs- New Jersy: Prentice Hall Inc. 1989)
p. 19.
memahami kepemimpinan secara organik; kepemimpinan seperti “mesinis”,
mengabaikan sisi sosial budaya dari organisasi; mengabaikan budaya yang tidak
tampak. Dari sinilah lahir pemahaman bahwa seorang pemimpin yang kuat (to have
strong leadership) sangat disyaratkan dalam sistem birokrasi ketat dan kaku. Sehingga
penekanan kepemimpinan selalu berada pada sikap pemimpin yang kaku dalam
mempengaruhi anggota orgnaisasi.
Kepemimpinan. memiliki dimensi sosial budaya sebagaimana dijelaskan berikut ini.
for although leaders deal directly with individual it is organizations-that is, group
tradition, establised relationship, and vested interest groups-which are their main
concern. Clearly, the problems, dilemas, and inconcistencies of organizations
and of the society are the problems of the leaders. They constitute the leadership
38
setting.
38
Hanson, M.E. Educational Administration and Organizational Behavior. (New York: Allyn and Bacon.1991)
p.184.
39
Owens,G Robert. Organizational Behavior Education. London: Allyn & Becon. 1987) p. 191.
40
Ibid.
C. Motivasi Penyelenggaraan Kesetaraan Paket B
Motivasi adalah perbuatan energi dalam diri seseorang ditandai dengan timbulnya
perasaan dari reaksi untuk mencapai tujuan. Dalam pengertian tersebut menggambarkan
bahwa motivasi mengandung suatu kekuatan yang timbul dalam diri seseorang sebagai
dukungan untuk memenuhi keinginannya. Dalam pengembangan suatu organisasi atau
lembaga, motivasi dipandang sebagai suatu karakteristik dan suatu keadaan. Pandangan
41
tentang hal ini dikemukakan sebagai berikut:
a. Motivasi itu pada hakikatnya merupakan suatu karakteristik atau suatu kepribadian
yang cukup stabil sehingga setiap individu dipandang berbeda dari yang lain,
termasuk orientasinya terhadap pekerjaan/tugasnya.
b. Motivasi itu sebenarnya merupakan suatu keadaan (state) psikologis yang dapat
diubah/dibentuk.
Berkaitan dengan motivasi yang dianggap sebagai suatu karakteristik
(kepribadian), dimana seorang melaksanakan tugas/pekerjaannya tidak didasarkan pada
ada tidaknya penghargaan bagi penyelesaian tugas/pekerjaan tadi, melainkan pada
aktivitas pekerjaan itu sendiri serta adanya perasaan puas yang diperolehnya dalam
melakukan pekerjaan tersebut. Setiap individu yang tampil dengan motivasi seperti ini
lebih tertarik pada konteks pekerjaan (job context) dari pada penghargaan atau upah
yang diperolehnya. Sedangkan motivasi yang termasuk sebagai suatu keadaan
maksudnya yaitu seseorang (individu) dalam melaksanakan tugas/pekerjaan yang
dimilikinya sangat bergantung pada suatu keadaan yang dihadapi pada saat itu. Keadaan
utama yang paling menentukan motivasi kerja seseorang adalah jenis penghargaan
(rewards) yang disediakan dalam lembaga/organisasi tempatnya berkiprah. Tetapi
kadang-kadang motivasi kerja itu akan datang dari keinginan untuk memperoleh
kepuasan kerja yang muncul dalam diri individu sendiri. Jadi motivasi kerja yang timbul
sangat bergantung pada keadaan yang di hadapi pada saat itu.
Timbulnya motivasi dalam diri setiap orang pada dasarnya berhubungan dengan
tujuan masing-masing dalam melakukan kegiatan atau tindakan tertentu. Adanya faktor
tujuan menggerakkan setiap orang termotivasi untuk berbuat atau bertindak. Terdapat
42
(tiga) fungsi motivasi, antara lain :
a. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang
melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap
kegiatan yang akan dikerjakan.
b. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan
demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan
sesuai dengan rumusan tujuannya.
c. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus
dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan.
Motivasi pada dasarnya bertujuan menggerakkan seseorang atau kelompok orang
dengan menumbuhkan dorongan atau motive dalam diri orang atau kelompok orang
tersebut untuk melakukan tugas atau kegiatan yang diberikan kepadanya sesuai rencana
43
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan sebelumnya.
Pendapat diatas menunjukkan bahwa motivasi bertujuan memberikan dorongan,
semangat, dan kekuatan untuk melakukan suatu kegiatan, pekerjaan, atau tindakan
tertentu dalam mewujudkan dan mencapai tujuan yang diinginkan. Sedangkan fungsi lain
dari motivasi yaitu menentukan prioritas kegiatan yang harus dilakukan, antara yang
bermanfaat atau sebaliknya bagi pencapaian tujuan saat itu, sehingga motivasi memberi
dorongan bagi seseorang untuk menyeleksi dan memilih kegiatan atau perbuatan.
Pendapat para ahli mengenai jenis-jenis motivasi cukup beragam karena sangat
bergantung pada sudut pandang masing-masing. Ada yang membagi jenis motivasi
dilihat dari kebutuhan, dan ada pula yang membagi motivasi dilihat dari asal timbulnya
41
Sudirman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. (Jakarta: PT. Rajando Persada. 2004) p. 121.
42
Abd. Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, Nur Cahaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Press. 2009). p. 61.
43
Djudju Sudjana, Pendidikan Luar Sekolah : Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah dan Teori
Pendukung Asas, (Bandung: Nusantara Press. 1996). p. 17.
motivasi. Salah satunya dikemukakan oleh Morgan, King Weisz, dan Schopler yang
dikutip oleh Isbandi Ruminto Adi bahwa berdasarkan jenis kebutuhan, motivasi
dikelompokkan dalam tiga jenis, yaitu :
a. Motivasi Biologis, Tercakup di dalamnya adalah motivasi lapar (hunger motivation);
motivasi haus (thrst motivation); motivasi seksual (sexual motivation).
b. Motivasi sosial, termasuk di dalamnya antara lain; motivasi pencapaian
(achievement motivation); dan motivasi kekuasaan (power motivation).
c. Motivasi Aktualisasi Diri (self actualization); dan motivasi untuk bertindak efektif
(effectance motivation) dalam kelompok motivasi yang membuat seseorang
bertindak efektif.
Pandangan di atas menunjukkan bahwa terdapat tiga kelompok besar motivasi
dalam diri setiap manusia ditinjau dari jenis kebutuhan yaitu motivasi biologis, motivasi
sosial, dan motivasi diri. Ketiga motivasi tadi menjadi alasan bagi setiap individu dalam
berbuat, bertindak, dan melakukan sesuatu kegiatan atau pekerjaan yang diperlukan.
Keinginan yang kuat untuk memenuhi kebutuhan, melatar belakangi seseorang
untuk termotivasi untuk belajar. Dorongan untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat
bersumber dari dalam diri sendiri maupun atas pengaruh dari pihak lain atau lingkungan
interaktifnya. Karena motivasi pula seseorang tergerak untuk merealisasikan apa-apa
yang didambakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pentingnya motivasi bagi seseorang karena menjadi daya penggerak, pengarah
dan penyeleksi suatu kegiatan atau tindakan yang diambil. Motivasi sangat penting
sebagai:
a. Penggerak dan pendorong berlangsungnya proses kegiatan individu.
b. Pengarah kegiatan individu itu bermakna dilaksanakan berkelanjutan.
c. Memberikan tekanan atas membuat individu itu lebih selektif di dalam membuat
individu di dalam menjalankan proses yang disenanginya.
44
Stooner, F, Freemen, E, R dan Gilbert, D. Management: (New Jerecy. Pretice Hall. 1998). p. 89.
45
Owen, Robert G. Organizational Behavior In Education: Toronto. Allyn and Bacon. 1991). p. 29.
46
Monahan,W,G, dan Hengst, R, Herbert. Contemporary Educational Administration. (New York. Macmillan
Publishing Co.Inc. 1982). p. 88.
Aspek-aspek perencanaan tersebut yaitu:
1. Perencanaan sebagai suatu peroses.
Perencanaan merupakan suatu proses berkesinambungan dalam rangka
mencapai tujuan organisaasi. Di mana proses terkait dengan rangkaian peristiwa-
peristiwa yang terjadi dengan segala kompleksitasnya dalam waktu yang telah
ditetapkan, dengan target atau sasaran yang diharapkan. Perencanaan sebagai suatu
proses artinya bahwa setiap peristiwa yang terjadi dan terorganisir secara efektif dan
efisien tidak saja sebagai rangkaian yang berkelanjutan tetapi juga tujuan dari suatu
peristiwa-peristiwa tersebut mencapai tujuan akhirnya.
2. Perencanaan berorientasi masa depan.
Untuk mecapai tujuan yang ditetapkan, maka perencanaan selalu berorientasi
pada masa depan. Dengan orientasi inilah maka perencanaan harus mampu
memprediksi kondisi lingkungan sosial-ekonomi baik di dalam organisasi atau di luarnya
agar tetap seirama dengan tujuan yang diharapkan membuat suatu perencanaan adalah
berupaya semaksimal mungkin menciptakaan misi dan tujuan organisasi. Perencanaan
mengkontrol dan mengarahkan organisasi secara keseluruhan.
3. Perencanaan berorientasi pada pencapaian tujuan organisasi.
Kegiatan-kegiatan yang direncanakan hendaklah merupakan penjabaran dari pada
tujuan yang hendak dicapai, baik suatu kegiatan sebagai bagian dari keseluruhan
organisassi. Adanya orientasi terhadap tujuan ini, berarti terlaksananya kegiatan yang
direncanakan.
4. Perencanaan menjabarkan kegiatan-kegiatan.
Perencanaan merupakan usaha untuk memperkirakan kegitan-kegiatan apa saja
yang dapat dilaksanakan pada masa yang akan datang agar tujuan yang telah ditetapkan
dapat terwujudkan.
5. Perencanaan sebagai kegiatan untuk mengidentifikasikan sumber daya yang dapat
menunjang pelaksanaan kegiatan-kegiatan.
Kegiatan-kegiatan yang direncanakan tidak dapat diwujudkan jika tidak disertai
dengan usaha untuk memikirkan dan mempersiapkan berbagai sumber daya yang dapat
menunjang tercapainya kegiatan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan.
6. Perencanaan merupakan kegiatan mempersiapkan sejumlah alternatif.
Rencana yang tersusun sebagai hasil peroses perencanaan merupakan alternatif-
alternatif yang akan diberikan kepada para pengambil keputusan yaitu administrasi
47
dalam menentukan alternatif yang paling efektif dan efesien untuk mencapai tujuan.
Dari apa yang dijelaskan di atas, bahwa prinsip perencanaan pendidikan yaitu :
Pertama, pendekatan pada perencanaan harus berisfat fleksibel serta selalu dilakukan
tinjauan ulang. Ini dimaksudkan agar setiap perencanaan yang dibuat mampu
beradaptasi dengan perubahan organisasi baik bersifat internal ataupun eksternal.
Kedua: Semua sivitas akademika harus berpartisipasi pada hal-hal tetentu pada proses
perencanaan. Anggota organisasi diharapakan dapat berpartisipasi dalam proses
perencanaan agar dapat memahami secara baik dan tepat apa yang menjadi tujuan
organisasi. Karena dengan cara demikian bahwa semua unsur yang ada pada
organisasi sebagai bagian dari sistim manajemen. Ketiga: Setiap aktivitas perencanaan
harus saling terkait pada masing-masing unsur dalam sisitim organisasi tersebut. Suatu
keterkaitan antara unsur terutama sekali diarahkan oleh kesamaan misi dan tujuan yang
telah ditetapkan pada level faktor akademik, pendanaan, sosial dan fisik.
47
Harris, B.M dan Monk,B Jo. Personnel Administration in Education; (Toronto; Allyen and Becon. 1992) p.
188.
48
ibid
yang menerjemahkan rencana kegiatan yang diperlukan ke dalam sebuah struktur tugas
dan kewenangannya. Dalam artian praktis, fungsi pengorganisasian meliputi: (1)
perancangan tanggung jawab dan kewenangan setiap jabatan individual, dan (2)
penetapan jabatan-jabatan tersebut dikelompokkan dalam bagian-bagian tertentu. Hasil
dari fungsi pengorganisasian adalah struktur organisasi.
a. Penentuan staf atau staffing merupakan kegiatan yang dipusatkan pada manajemen
sumber daya manusia. Fungsi staffing mencakup penetapan tipe orang-orang yang
akan dipekerjakan; menarik pekerja yang prospektif; menyeleksi pekerja; menetapkan
standar kinerja; memberikan kompensasi kepada pekerja; mengevaluasi kinerja;
memberikan nasehat dan penyuluhan kepada pekerja, melatih serta mengembangkan
para pekerja.
b. Pemimpinan atau leading. Dengan rumusan yang berbeda, namun menggambarkan
cakupan yang hampir sama dan saling melengkapi, leading sebagai fungsi
manajemen merupakan proses upaya menggerakkan semangat dan inspirasi untuk
mencapai tujuan. Pemberian semangat dan inspirasi tersebut, diharapkan agar para
bawahan dapat melakukan pekerjaan, morilnya terpelihara dan termotivasi. Itulah
sebabnya, fungsi leading dapat diartikan pula sebagai suatu proses pengarahan dan
pemberian pengaruh kepada anggota-anggota kelompok atau organisasi secara
49
keseluruhan.
c. Pemberian motivasi, motivating. Istilah motivating mempunyai makna dan lingkup
yang lebih luas daripada leading, yaitu mencakup upaya-upaya pembentukan perilaku
manusia, mencakup kepemimpinan, komunikasi, kelompok kerja, modifikasi perilaku,
pelimpahan wewenang, pengayaan jabatan, kepuasan kerja, pemenuhan kebutuhan,
perubahan organisasional serta moril manajerial.
d. Pengendalian. Para pakar umumnya sependapat untuk menggunakan istilah
controlling sebagai fungsi terakhir dari manajemen. Adapun yang dimaksud dengan
controlling adalah proses yang menjamin bahwa kegiatan aktual sesuai dengan yang
direncanakan. Schermerhorn juga memberikan pengertian yang sama, yaitu proses
pengukuran kinerja serta pengambilan tindakan untuk menjamin hasil yang
diharapkan.
49
Stoner, James A.F., R. Edward Freeman, dan Daniel R. Gilbert, Jr.Management Sixth Edition. International
Edition. (New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. 1995). p. 12.
50
Stark, J. S., dan Thomas, A. Assessment and Program Evaluation. (Needham Heights: Simon & Schuster
Custom Publishing.1994). p.29.
51
ibid
selanjutnya. Measurement, assessment, and evaluation are hierarchial. The comparison
of observation with the criteria is a measurement, the interpretation and description of the
evidence is an assessment and the judgement of the value or implication of the behavior
52
is an evaluation.
Pengukuran, penilaian, dan evaluasi bersifat hierarkis. Evaluasi didahului dengan
penilaian (assessment), sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran. Pengukuran
diartikan sebagai kegiatan membandingkan hasil pengamatan dengan kriteria, penilaian
(assessment) merupakan kegiatan menafsirkan dan mendeskripsikan hasil pengukuran,
sedangkan evaluasi merupakan penetapan nilai atau implikasi perilaku.
Evaluasi merupakan proses yang menentukan sejauh mana tujuan pendidikan
dapat dicapai. Pelaksanaan evaluasi terdapat tujuh elemen yang harus dilakukan, yaitu:
1) focusing the evaluation (penentuan fokus yang akan dievaluasi), 2) designing the
evaluation (penyusunan desain evaluasi), 3) collecting information (pengumpulan
informasi), 4) analyzing and interpreting (analisis dan interpretasi informasi), 5) reporting
information (pembuatan laporan), 6) managing evaluation (pengelolaan evaluasi), dan 7)
evaluating evaluation (evaluasi untuk evaluasi). Berdasarkan pengertian tersebut
menunjukkan bahwa dalam melakukan evaluasi, evaluator pada tahap awal harus
menentukan fokus yang akan dievaluasi dan desain yang akan digunakan.
Selain itu, evaluator juga harus melakukan pengaturan terhadap evaluasi dan
mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam melaksanakan evaluasi secara
keseluruhan.
The purpose of evaluation research is to measure the effect of program against the
goals it set out accomplish as a means of contributing to subsuquest decision
53
making about the program and improving future programming.
52
R.L. Thorndike and E.P.Hagen, Measurement and Evaluation in Teaching. (Englewood Cliffs New Jersey:
Prentice-Hall, Inc, 2009) p.123.
53
Martin Tessmer. Planning and Conducting Formative Evaluation. (London: Kogan Page Limited, 1995) p. 12.
54
Djudju Sudjana. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2006). pp. 28-
31
55
W. Lawrence Neuman. Social Research Methode: Qualitative and Quantitative Approach. (Boston: Allyn &
Bacon, 2000). p. 87.
(consistency), netralitas (neutrality). Dengan mengamati empat dimensi ini maka peneliti
dapat mendalami realitas empirik fokus penelitian secara menyeluruh. Penelitian kualitatif
bahwa memahami realitas empirik secara holistik terhadap fokus penelitian. Itulah
sebabnya temuan kualitatif lebih bersifat pencerahan dalam menggambarkan temuan
56
penelitian.
Penelitian ini bertempat di Kabupaten Gorontalo. Penentuan Kabupaten Gorontalo,
sebagai tempat penelitian, didasarkan pertimbangan bahwa Kabupaten Gorontalo
dengan masyarakat yang kompleks, berasal dari berbagai karakter dan sifat yang
berbeda-beda. Sifat dan karakter tersebut memberikan warna dalam pekerjaan dan
aktivitas di lingkup Kabupaten Gorontalo. Permasalahan lain yang menjadi pertimbangan
yaitu kehidupan masyarakat Kabupaten Gorontalo, di antaranya: hubungan sosial,
kebutuhan ekonomi, permasalahan keluarga, dan lain-lain, yang ikut mempengaruhi.
Latar belakang pendidikan, jenis pekerjaan masyarakat di lingkungannya, perbedaan
status ekonomi dan lain-lain terdapat di Kabupaten Gorontalo. Keseluruhannya
memberikan dampak. Keadaan yang diuraikan tersebut menjadikan Kabupaten
Gorontalo sebagai tempat yang menarik untuk diteliti.
Waktu penelitian mulai April 2011- Pebruari 2012. Penelitian ini dilakukan dengan
alasan pemilihan subjek dan latar penelitian pada petunjuk yang diberikan oleh Spradley
bahwa, bagi peneliti subyek penelitiannya hendaknya: (1) sederhana, (2) mudah
memasukinya, (3) tidak begitu kentara dalam melakukan penelitian, (4) mudah
57
memperoleh izin, dan (5) kegiatannya terjadi berulang-ulang. Penelitian dilaksanakan
dalam bentuk penyusunan rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian,
penyelesaian perizinan; kerja lapangan dalam bentuk pengumpulan data dan analisis
data sampai dengan penyusunan laporan penelitian dalam bentuk Disertasi.
Mengingat bahwa peneliti merupakan alat penelitian dan reduksi data perlu
dilakukan sejak awal pengumpulan data, peneliti melakukan kegiatan penelitian melalui
tahapan-tahapan tertentu, sebagai berikut:
a. Tahap Pra Lapangan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah:
1) Menyusun rancangan penelitian. Rancangan penelitian disusun atas dasar tujuan
yang telah ditetapkan yaitu untuk mengetahui pengelolaan Pendidikan Kesetaraan
Paket B dan seluruh aspek yang berkaitan dengan hal itu.
2) Memilih lapangan penelitian. Lapangan penelitian yang dipilih adalah SKB
Kabupaten Gorontalo, dalam tenggang waktu selama 7 bulan selama tahun 2011-
2012.
3) Mengurus perizinan. Dalam pengurusan perizinan, dilakukan pula konsultasi dan
dialog untuk memperoleh kesepakatan dari pihak terkait yang berkaitan dengan
penentuan waktu penelitian dan subjek yang dikenai penelitian.
b. Tahap Kerja Lapangan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap kerja lapangan adalah sebagai berikut:
1) Peneliti berusaha memahami latar penelitian terlebih dahulu, sekaligus melakukan
persiapan fisik dan mental dengan mengedepankan peran etika, sehingga dapat
dibina keakraban antara peneliti dengan subjek penelitian
2) Peneliti berusaha menampilkan diri sesuai dengan latar. Kehadiran peneliti dalam
hal ini tidak menjadi perhatian yang berlebihan, seperti dalam berpakaian maupun
dalam bertingkah laku sehingga kehadiran peneliti tidak akan mengganggu proses
kegiatan yang berlangsung.
3) Melakukan pembagian waktu sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dengan
SKB yang telah ditentukan dalam tahap pra lapangan. Peneliti mengambil waktu 3
kali seminggu sesuai sasaran pengamatan sekaligus wawancara yang telah
ditentukan dalam jadwal. Penetapan waktu 3 kali dalam seminggu dianggap
representatif untuk mengamati proses-proses yang terjadi pada latar sesuai tujuan
penelitian.
56
Lincoln Y.S dan Guba, E. G. Naturalistiq Inquiry. (California. Sage Publicatin Inc. 1985). p. 290.
57
James P. Spradley, Participation Observation (New York: Holt, Rinerhart and Winston, 1990), pp. 46-51.
Unit penelitian penelitian ini Sanggar Kegitan Belajar (SKB) Limboto Kabupaten
Gorontalo yang dibangun pada tahun 1975. Diawal pendiriannya bangunan tersebut
berfungsi sebagai PLPM (Pusat Latihan Pendidikan Masyarakat ). Mulai dioperasionalkan
sebagai SKB tahun 1978 dengan nama SKB Limboto. Dalam kurun waktu tertentu untuk
lebih mengoptimalkan pelayanan SKB kepada masyarakat, maka terbitlah keputusan
materi Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 036/0/1989 Tahun 20 januari 1989 dimana
SKB mempunyai tugas melaksanakan program Kegiatan Belajar luar Sekolah, pemuda
dan olahraga baik untuk tenaga pendidik maupun untuk masyarakat.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif. Data
penelitian kualitatif adalah data yang banyak menggunakan kata-kata subjek, baik lisan
maupun tulisan. Dalam penelitian ini akan diambil data yang berkaitan dengan fokus
masalah penelitian. Data-data yang dijaring melalui dokumen tentunya ada kaitan
dengan fokus penelitian, di antaranya dokumen tentang (1) keberadaan warga belajar
(2) ketenangan, (3) sarana dan prasarana, (4) organisasi, (5) prestasi, (6) kepemimpinan
dan manajemen kepala SKB, (7) proses pembelajaran, (8) tata tertib SKB, (9) kode etik,
(10) simbol-simbol.
Sumber data penelitian adalah manusia dan non manusia, sumber data manusia
berfungsi sebagai subjek atau informan kunci (key informant) sumber data diambil secara
purposif, dan tidak lakukan secara acak. Teknik sampling purposive digunakan untuk
mengarahkan pengumpulan dadta sesuai dengan kebutuhan melalui penyeleksian dan
memilih informan yang benar-benar informasi dan masalah secara mendalam serta dapat
dipercaya untuk menjadi sumber data. Penggunaan sampling purposif ini memberikan
kebebasan peneliti dan keterikatan proses formal dalam pengambil sampel, yang berarti
peneliti menentukan sampling sesuai dengan tujuan penelitian. Sampling yang
dimaksudkan bukanlah sampling yang mewakili populasi, melainkan didasarkan pada
relevansi dan dalam informasi. Namun demikian, pemilihan sampling tidak sedekar
berdasarkan kehendak subjektif peneliti, melainkan berdasarkan tema yang muncul di
lapangan.
Teknik-teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data yang diperlukan adalah:
a. Observasi (pengamatan).
Observasi yaitu pengamatan dan pencatatan denganm sistematis fenomena-
fenomena yang diteliti. Dalam penelitian ini, penulis melakukan pengamatan langsung,
sehingga untuk menjaring informasi yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan
secara berstruktur yang berarti apa yang dilakukan dan diamati telah disusun
sebelumnya oleh peneliti dan mencatat langsung hasil pengamatan sesuai kondisi situasi
yang ditemui dilokasi penelitian.
Sebagai peneliti yang melakukan tugas pengamatan terhadap aktivitas kepala
SKB dalam melaksanakan tugasnya sebagai kepala SKB. Peneliti berusaha melihat dan
mendengarkan secara teliti berbagai kegiatan yang dilakukan oleh subjek agar peneliti
dapat menjaring informasi lebih banyak terhadap fokus yang diteliti. Objek yang diamati
58
adalah seluruh aspek tindakan kepala SKB yang berkaitan dengan efektivitas kerjanya.
b. Wawancara
Wawancara dilakukan untuk mengetahui secara mendalam dan mengkaji aspek
yang menjadi fokus dalam bahasan dan rumusan masalah, dan kemungkinan aspek-
aspek yang belum dirumuskan. Dua bentuk wawancara yang dilakukan yaitu wawancara
terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara, dan wawancara bebas yakni
wawancara dilakukan tanpa daftar pertanyaan. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan
hubungan yang akrab dan harmonis, serta diharapkan dapat memberikan kebebasan
59
dan ketenteraman dalam membeberkan permasalahan.
58
James P. Spradley, pp. 65-68
59
Basrowi & Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rineka Cipta. 2008). p. 103
No INFORMAN FREKWENSI KET
1234567
SKB Limboto Pemilihan informan
didasarkan sebagai
O1 Kepala SKB 3x informan, subyek dan
02 2x atau pelaku, sebagai
Pamong 2x berikut:
3x
4x Symbol:
O3 Staf: 1. Kepala Bidang
Tata Usaha 3x PAUDNI Kab. GTLO
Perpustakaan 1x 2. Kepala SKB
Laboratorium 1x 3. Koord. Pamong
BK 1x 4. Pamong
04 1x 5. Tutor
Warga (5 ) 6. TU
7. Warga
c. Analisis Dokumentasi
Data yang diperoleh dari dokumentasi terdiri atas berbagai tulisan dan
rekaman data, seperti profil SKB, data akademisi dan non akademisi warga dan data
keadaan pamong, struktur organisasi SKB, catatan harian dan data lain yang
berhubungan dengan fokus penelitian. Lincoln dan Guba (1985) mengartikan
rekamen sebagai setiap tulisan atau persiapan yang disiapkan individu atau
organisasi untuk membuktikan sesuatu peristiwa atau kasus. Penggunaan teknik
dokumentasi didasarkan pada beberapa alasan antara lain: (1) selalu bersediah dan
murah ditinjau dari segi waktu, (2) merupakan informasi yang stabil, (3) merefleksi
situasi yang terjadi di masa lampau, (4) dapat dianalisis kembali, dan (5) sebagai
bukti telah terjadinya suatu peristiwa.
Analisis data merupakan proses secara sistematis untuk mengkaji dan
mengumpulkan transkrip wawancara, catatan lapangan, dokumentasi dan hal-hal lain
untuk memperdalam pemahaman tentang fokus penelitian baik dari hasil observasi,
wawancara dan dokumentasi untuk dijadikan sebuah temuan penelitian. Analisis data
kualitatif bersifat induktif analitik, yang menekankan pada pemaknaan pada kekhususan
(idiografik) suatu kasus, bukan keumumannya (nomotetik). Analisis induktif analitik
merupakan upaya untuk menganalisis data dengan berpijak pada logika positivisme dan
fhenomenologik.
Menurut Miles dan Huberman bahwa metode analisis data kualitatif melalui tiga
kegiatan yaitu pengumpulan, penyajian dan penarikan kesimpulan/verifikasi data.
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabsahan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-
catatan tertulis di lapangan, demikian menurut Miles dan Huberman.
Kegiatan reduksi data terus menerus selama penelitian berjalan sampai laporan
akhir penelitian tersusun. Karena itu reduksi data merupakan suatu bentuk proses
analisis yang berusaha menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data
yang tidak diperlukan, dan mengorganisasi data sehingga dapat dilakukan penarikan
kesimpulan dan verifikasi. Cara melakukan reduksi data antara lain melalui seleksi data
yang ketat, ringkasan atau uraian singkat, dan menggolongkan dalam suatu pola yang
lebih luas.
Alur kegiatan analisis data kedua adalah penyajian data, yaitu menggelar data
dalam bentuk sekumpulan informasi yang berupa teks naratif, grafik, matriks, bagan,
jaringan. Dengan cara penyajian tersebut memberikan kemungkinan untuk penarikan
kesimpulan, pengambilan tindakan verifikasi, dan atau melengkapi data yang dirasa
masih kurang melalui pengumpulan data tambahan dan reduksi data.
Data
Display
Data
collection
Data
Reduction
Conglusion:
Drawing/Verifying
60
Gambar 3.1: Component of Data Analysis: Interactive Model
60
Matthew B. Miles & A. Michael Huberman. Qualitative Data Analysis. (New Delhi: Sage Publications.1994) p.
12.
untuk mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok secara sengaja untuk pencapaian
tujuan organisasi. Dilihat dari sisi ini bahwa unsur utama dari kepemimpinan yaitu
adanya hubungan mempengaruhi antara pemimpin dengan yang dipimpin; atasan
dengan bawahan untuk melaksanakan tugas-tugas organisasi. Muara akhir dari tugas
kepemimpinan adalah mengoptimalkan semua potensi organisasi agar tercipta kinerja
organisasi yang sehat sehingga tujuan tercapai secara efektif dan efesien. Secara lebih
sederhana dibedakan antara kepemimpinan dan manajemen, yaitu pemimpin
mengerjakan suatu yang benar, Kepala SKB mengerjakan suatu dengan benar.
Kepemimpinan penyelenggara pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan
Belajar Limboto Kabupaten Gorontalo merupakan nilai yang diyakininya. Adapun nialai-
nilai kepemimpinan yang ditemukan pada kasus SKB Limboto yaitu; disiplin tinggi,
kejujuran, keberanian, demokrasi, dan tanggung jawab.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kepemimpinan penyelenggara pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar
Limboto Kabupaten Gorontalo sangat konsisten sebagaimana prinsip-prinsip
kepemimpinan transformasional, antara lain: kedisiplinan kepala sanggar menciptakan
disiplin yang tinggi kepada semua komponen dalam semua aktivitas sanggar;
Kejujuran dalam berkerja yaitu kepala SKB Limboto agar menekankan nilai kejujuran
dalam menyelesaikan tugas-tugas di SKB; Keberanian pada inovasi yaitu kepala SKB
selalu melakukan sebuah inovasi pendidikan untuk memperbaiki mutu sanggar;
Demokrasi untuk kebersamaan yaitu kepala SKB dalam membuat kebijakan sanggar
selalu diupayakan melalui proses demokratis dan tanggung jawab pada tugas yaitu
kepala SKB berupaya keras agar semua komponen bertanggung jawab terhadap
tugas-tugas yang diberikan sanggar.
2. Motivasi penyelenggara pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar Limboto
Kabupaten Gorontalo, berpengaruh positif pada kenaikan golongan pamong dan
karyawan di SKB Limboto didasarkan pada prestasi yang dicapai di SKB; Pemberian
penghargaan kepada pamong berprestasi dalam bentuk tugas tambahan dan hadiah
materi; Pemberian gaji kepada para pamong dan karyawan yang berstatus pegawai
negeri sipil didasarkan pada jenjang golongan kepegawaiannya; Pemberian insentif
kepada pamong dan karyawan berdasarkan jumlah tugas tambahan yang diberikan;
Pemberian penghargaan kepada peserta didik berprestasi berupa hadiah dan
diumumkan di SKB.
337 Kegiatan Belajar Limboto Kabupaten
3. Perencanaan pendidikan kesetaraan di Sanggar
Gorontalo melibatkan semua pihak terkait, terutama yang akan terkena dampak
langsung atas kegiatan pendidikan tersebut. Tampaknya ada suatu "hukum" atau
setidak tidaknya suatu kecenderungan dari sifat manusia bahwa mereka akan merasa
'committed' terhadap suatu keputusan apabila mereka terlibat dan berperanserta
dalam pengambilan keputusan.
4. Pengorganisasian pelaksanaan pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar
Limboto Kabupaten Gorontalo tersusun dengan baik, untuk fleksibelitas jadwal
disusun berdasarkan kesediaan waktu warga belajar. Strategi Pelaksanaan dibagi
dalam tiga bagian yaitu : 1). jadwal tatap muka, 2). jadwal tutorial, dan 3), jadwal
mandiri. Ketiaga bagian jadwal tersebut sudah sesuai dengan keadaan pamong dan
keadaan waraga belajar sehingga pembelajaran menjadi efektif.
5. Monitoring dan evaluasi pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar Limboto
Kabupaten Gorontalo. Monitoring dilakukan baik pada waktu sebelum kegiatan
pembinaan maupun bersamaan waktunya dengan pembinaan, monitoring dapat
diartikan sebagai kegiatan untuk mengikuti program dan pelaksanaanya secara
mantap, teratur dan terus menerus dengan cara mendengar, melihat dan
mengamati. Pelaksanaan supervisi terkait dengan hasil pemantauan. Jika hasil
pemantauan menggambarkan kondisi yang kurang atau belum baik, maka supervisi
ditetapkan untuk memperbaiki kualitas program. Kalau hasil pemantauan
mendeskripsikan kondisi yang telah baik, supervisi ditetapkan untuk meningkatkan
kualitas program.
6. Pengendalian program pendidikan kesetaraan di Sanggar Kegiatan Belajar Limboto
Kabupaten Gorontalo melalui diversifikasi layanan pendidikan yang sesuai dengan
keragaman kondisi, kebutuhan, dan potensi peserta didik. Pendidikan terbuka dan
multi makna diwujudkan. Tindak lanjut adalah bagian terakhir dari kegiatan
pengawasan program. Tindak lanjut merupakan jastifikasi, rekomendasi, dan
eksekusi yang disampaikan oleh pengawas atau kepala satuan pendidikan tentang
pendidik yang menjadi sasaran kepengawasannya.
B. Saran-saran
1. Penyelenggara SKB Limboto
Pendidikan kesetaraan diperkuat oleh fakta bahwa sebagian besar peserta didik di
sini adalah anak-anak miskin, berhenti sekolah di tengah jalan, atau orang dewasa yang
belum pernah menamatkan pendidikan dasar dan menengah. Fenomena itu mesti
diterima sebagai tantangan untuk menjadikan program tersebut memiliki daya tarik, yang
siap bersaing dengan jalur persekolahan, bahkan mampu menempatkan diri sebagai
"jalur pendidikan dasar dan menengah alternatif". Artinya, sebagai cara lain bersekolah
untuk dapat memberikan yang berbeda dan lebih dari apa yang diberikan sekolah. SKB
Limboto sebaiknya memberikan bekal keterampilan untuk secepatnya mendapatkan
pekerjaan. Diksetara yang bermutu tentulah yang dapat memberikan keterampilan
relevan sehingga mereka cepat dapat bekerja setelah lulus. Dalam rangka memenuhi
hak peserta didik untuk pindah jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, sebaiknya model
multy entry-exit system pendidikan kesetaraan melalui sistem tingkatan dan
kesederajatan kompetensi yang setara dengan sistem kelas pada pendidikan formal lebih
dioptimalkan.
2. Peneliti
Penelitian ini baru awal untuk mengevaluasi Kesetaraan Paket B. Sekalipun
penelitian ini penuh dengan kekurangan maka peneliti berikutnya dapat melanjutkan
untuk melakukan penelitian untuk memperkuat temuan pada penelitian ini.
3. Pengajar
Temuan-temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya peningkatan
pemahaman dan wawasan misalnya pendidikan bagi orang dewasa.
4. Lembaga lain
Lembaga pendidikan seperti PKBM, atau SKB lainnya untuk meningkatkan mutu
pendidikan dapat dilakukan melalui peningkatan mutu kinerja dan pemberdayaan peserta
didik, sehingga memberikan pemaknaan yang hidup terhadap budaya.
5. Departemen Pendidikan Nasional
Berdasarkan struktur organisasi Kementerian Pendidikan Nasional yang baru,
program pendidikan kesetaraan menjadi bagian dari pendidikan formal, Paket B menjadi
bagian Ditjen Pendidikan Dasar (Dikdas). Kebijakan ini menuai diskusi dan perdebatan
yang panjang karena dengan dibawa ke dalam ranah pendidikan formal, program
pendidikan kesetaraan akan kehilangan rohnya sebagai bentuk pendidikan formal. Hal
inilah yang dikatakan akan terjadi formalisasi atas pendidikan kesetaraan.
6. Pengembang Teori
Temuan ini dapat dijadikan rujukan dalam pengembangan manajemen, khususnya
manajemen pendidikan.
C. Proposisi Temuan
1. Dari segi isi program
1) Kurikulum berpusat pada kepentingan peserta didik, kurikulum bermacam ragam
atas dasar perbedaan kebutuhan belajar peserta didik.
2) Mengutamakan aplikasi, kurikulum lebih menekankan keterampilan yang bernilai
guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungan.
3) Persyaratan masuk ditetapkan bersama peserta didik, karena program diarahkan
untuk memenuhi kebutuhan dan untuk mengembangkan kemampuan potensial
peserta didik maka kualifikasi pendidikan formal dan kemampuan baca tulis
sering menjadi persyaratan umum.
2. Dari segi proses belajar mengajar
1. Dipusatkan di lingkungan masyarakat dan lembaga, kegiatan belajar dilakukan di
berbagai lingkungan (masyarakat, tempat bekerja) atau disatuan Pendidikan
Nonformal (sanggar kegiatan belajar) pusat pembelajaran dan sebagainya.
2. Berkaitan dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat, pada waktu
mengikuti program peserta berada dalam dunia kehidupan dan pekerjaannya,
lingkungan dihubungkan secara fungsional dengan kegiatan belajar.
3. Struktur program yang fleksibel, program belajar yang bermacam ragam dalam
jenis dan urutannya. Pengembangan kegiatan dapat dilakukan sewaktu program
sedang berjalan.
4. Berpusat pada peserta didik, kegiatan belajar dapat menggunakan sumber
belajar dari berbagai keahlian dan juru didik. Peserta didik menjadi sumber
belajar, lebih menitikberatkan kegiatan membelajarkan peserta didik dari pada
mengajar.
5. Peghematan sumber-sumber yang tersedia, memanfaatkan tenaga dan sarana
yang terdapat di masyarakat dan lingkungan kerja untuk menghemat biaya.
3. Dari segi pengendalian program
1. Dilakukan oleh pelaksana program dan peserta didik, pengendalian tidak
terpusat, koordinasi dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait, otonomi terdapat
pada tingkat program dan daerah dan menekankan pada inisiatif dan partisipasi
di tingkat daerah.
2. Pendekatan demokratis, hubungan antara pendidik dan peserta didik bercorak
hubungan sejajar atas dasar kefungsian. Pembinaan program dilakukan secara
demoktratis antara pendidika, peserta didik dan pihak lain yang berpartisipasi.
D. Implikasi
1. Gaya kepemimpinan transformasional dapat diterapkan terutama dalam hal:
kedisiplinan; Kejujuran dalam berkerja; Keberanian pada inovasi; Demokrasi untuk
kebersamaan dan tanggung jawab pada tugas.
2. Motivasi sangat berpengaruh positif pada kenaikan golongan; Pemberian
penghargaan dalam bentuk tugas; Pemberian gaji ; Pemberian insentif; dan
Pemberian penghargaan.
3. Perencanaan yang baik adalah setengah dari keberhasilan tujuan yang hendak
dicapai.
4. Pengorganisasian pendidikan kesetaraan sangat positif dalam tiga bagian yaitu : 1).
jadwal tatap muka, 2). jadwal tutorial, dan 3), jadwal mandiri. Ketiaga bagian jadwal
tersebut sudah sesuai dengan keadaan pamong dan keadaan waraga belajar
sehingga pembelajaran menjadi efektif.
5. Monitoring dan evaluasi pendidikan kesetaraan yang dilakukan baik pada waktu
sebelum kegiatan pembinaan maupun bersamaan waktunya dengan pembinaan,
monitoring dapat diartikan sebagai kegiatan untuk mengikuti program dan
pelaksanaanya secara mantap, teratur dan terus menerus dengan cara mendengar,
melihat dan mengamati. Pelaksanaan supervisi terkait dengan hasil pemantauan. Jika
hasil pemantauan menggambarkan kondisi yang kurang atau belum baik, maka
supervisi ditetapkan untuk memperbaiki kualitas program. Kalau hasil pemantauan
mendeskripsikan kondisi yang telah baik, supervisi ditetapkan untuk meningkatkan
kualitas program.
6. Pengendalian program pendidikan kesetaraan melalui diversifikasi layanan pendidikan
sesuai dengan keragaman kondisi, kebutuhan, dan potensi peserta didik. Pendidikan
terbuka dan multi makna diwujudkan. Tindak lanjut bagian terakhir dari kegiatan
pengawasan program. Tindak lanjut merupakan jastifikasi, rekomendasi, dan eksekusi
yang disampaikan oleh pengawas atau kepala satuan pendidikan tentang pendidik
yang menjadi sasaran kepengawasannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rachman Abror, Psikologi Pendidikan, Nur Cahaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Press. 2009).
Banghart, Frank W. dan Albert Trull, Jr. (Educational Planning. New York: The Macmillan
Company, 1973).
Basrowi & Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Rineka Cipta. 2008).
Bass, B. M. Stogdill Hand Book of Leadership (A survey of theory and research). (New
York: Mc Millan. 1981).
Castetter, William B., The Human Resource Function in Educational Administration. Sixth
Edition, (New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.1999)
Coombs, P.H. and Ahmed, M. Attacking Rural Poverty: Hoe educatin can help,
(Baltimore: John Hopkins University Press 1974) .
Daft, Richard L. Management. Sixth Edition. (Ohio: Thomson South-Western 2003)
David, Fred R. Strategic Management; Concept and Cases. Seventh Edition. (New
Jersey: Prentice-Hall International, Inc. 1999).
Davis, Keith dan John W Newstrom. Human Behavior At Work, Organizational Behavior,
th
8 Edition, (Singapore: McGraw-Hill Book Co.1989)
Djudju Sudjana, Pendidikan Luar Sekolah : Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah
dan Teori Pendukung Asas, (Bandung: Nusantara Press. 1996).
Djudju Sudjana. Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2006).
Dubrin, Andrew J. Leadership, (Edisi Kedua, Terjemahan Budi Santoso, Triwibowo,
Jakarta: Penerbit Prenada.2005).
Engkoswara dan Ismuhadjar. Menata Karakter Bangsa Berbudaya Pancasila. (Makalah
untuk Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia V, 5-9 Oktober 2004 di Surabaya)
F. Harbison & C.A. Myers. Manpower and Education: Country Studies in Economic
Development. (New York: McGraw-Hill Book Co.,1965)
Gary Yukl. Kepemimpinan Dalam Organisasi. (Jakarta: Indeks. 2009).
Hanson, M.E. Educational Administration and Organizational Behavior. (New York: Allyn
and Bacon.1991)
Harris, B.M dan Monk,B Jo. Personnel Administration in Education; (Toronto; Allyen and
Becon. 1992)
Hughes, Richard L, Robert C Ginnett, Gordon J. Curphy. Leadership, Enhancing, The
Lessons Of Experience, Fifth Edition, (New York: McGraw-Hill International
Ed.2006)
James P. Spradley, Participation Observation (New York: Holt, Rinerhart and Winston,
1990)
Jimmy Herman Sinaulan. Analisis Terhadap Hubungan Antara Komitmen Organisasi,
Kepribadian-dasar, dan Kompetensi Guru, yang didukung dengan Budaya-mikro
dan Sumber-kendali terhadap Kinerja Guru (Studi Tentang Perilaku Organisasi
Pada Sekolah Menengah Atas Negeri Provinsi DKI Jakarta). (Disertasi Universitas
Pendidikan Indonesia, 2007)
Jones, Gareth R. Organizational Theory, Design, and Change; Text and Cases. Fourth
Edition, International Edition.( New Jersey: Prentice-Hall/Pearson Education
International, 2004).
Lincoln Y.S dan Guba, E. G. Naturalistiq Inquiry. (California. Sage Publicatin Inc. 1985).
Luthans, Fred., Organizational Behavior. Ninth Edition. (New York: McGraw-Hill & Irwin.
2002)
Manali Oak. Why is Education So Important? http://www.buzzle.com/articles/why-is-
education-so-important.html diakses pada tanggal 02 Pebruari 2012.
Martin Tessmer. Planning and Conducting Formative Evaluation. (London: Kogan Page
Limited, 1995)
Matthew B. Miles & A. Michael Huberman. Qualitative Data Analysis. (New Delhi: Sage
Publications.1994)
Modul. Reformasi Pendidikan Kesetaraan. (Jakarta: Direktorat Pendidikan Kesetaraan.
Direktorat Jendral Pendidikan Non Formal dan Informal Departemen Pendidikan
Nasional. 2007)
Monahan,W,G, dan Hengst, R, Herbert. Contemporary Educational Administration. (New
York. Macmillan Publishing Co.Inc. 1982).
Mustafa Kamil. Pendidikan Non Formal.(Bandung: Alfabeta Press, 2009).
Nanang Fattah. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah. (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004)
Northouse. “Catalytic Leadership: Reconsidering the Nature of Extension’s Leardership
Role”, Journal of extension ( online ), article Number 2 FEA, (http://www.Joe.org),
diakses 20 Juli 2011.
Oemar Hamalik. Proses Belajar Mengajar. (Jakarta : Bumi Aksara, 2004)
Owen, Robert G. Organizational Behavior In Education: Toronto. Allyn and Bacon. 1991).
Owens,G Robert. Organizational Behavior Education. London: Allyn & Becon. 1987)
Petunjuk Teknis. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan Kesetaraan
Program Paket A dan B. (Jakarta: Direktorat Kesetaraan Dirjen PNFI, 2007)
R.L. Thorndike and E.P.Hagen, Measurement and Evaluation in Teaching. (Englewood
Cliffs New Jersey: Prentice-Hall, Inc, 2009)
Robbins and Neil Barnwell.Organization Theory, Concepts and Cases.Fourth Edition.
(New Jersey: Prentice-Hall/ Pearson, 2002)
Saefullah, H.A.Djaja. Pemikiran Kontemporer Administrasi Publik, Perpektif Manajemen
Sumber Daya Manusia Dalam Era Desentralisasi, (Bandung: FISIP UNPAD.2007).
Salinan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009. (Jakarta: Depdiknas, 2009).
Sayed. Laporan Penelitian Tentang Pendidikan Di Indonesia (Jakarta: Bank Dunia. 2009)
Schermerhorn, John R., Jr., Management. Eighth Edition. (New York: John Wiley & Sons,
Inc. 2005)
Soedijarto. Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita. (Jakarta: Kompas Publishing.
2009) .
Stark, J. S., dan Thomas, A. Assessment and Program Evaluation. (Needham Heights:
Simon & Schuster Custom Publishing.1994).
Stoner, James A.F., R. Edward Freeman, dan Daniel R. Gilbert, Jr.Management Sixth
Edition. International Edition. (New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. 1995).
Stooner, F, Freemen, E, R dan Gilbert, D. Management: (New Jerecy. Pretice Hall.
1998).
Studi Political and Economic Risk Consultancy. Peringkat Indek Pembangunan Manusia
Indonesia. (Jakarta: Studi Political and Economic Risk Consultancy. 2011)
Sudirman. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. (Jakarta: PT. Rajando Persada.
2004)
Suharsimi Arikunto dan Safrudin AJ. Evaluasi Program Pendidikan. Edisi Kedua.
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008).
Suzanne Kindervatter. Non Formal Education as An Empowering Proces.
(Massachusetts: Center for International Education,1979).
Sweeney, Paul D., and Dean B. McFarlin. Organizational Behavior, Solutions For
Management. International Edition. (New York: McGraw-Hill/Irwin. 2002)
W. Lawrence Neuman. Social Research Methode: Qualitative and Quantitative Approach.
(Boston: Allyn & Bacon, 2000).
Yukl, G. Leadership in Organization (Second edition ).Englewood Cliffs- New Jersy:
Prentice Hall Inc. 1989)