You are on page 1of 135

KEBERHASILAN PENANGKARAN BUAYA MUARA

Crocodylus porosus Schneider, 1801


DENGAN POLA PEMBESARAN:
Studi Kasus Penangkaran Buaya di Provinsi Papua

LUSIANA DYAH RATNAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keberhasilan Penangkaran Buaya


Muara Crocodylus porosus Schneider, 1801 dengan Pola Pembesaran: Studi Kasus
Penangkaran Buaya di Provinsi Papua adalah karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Nopember 2012

Lusiana Dyah Ratnawati


NRP. E353100205
ABSTRACT

LUSIANA DYAH RATNAWATI. The Success of Estuarinne Crocodille


Crocodylus porosus Schneider 1801, Captivity with Ranching Scheme: A Case
Study in A Captivity in Papua Province. Under direction of BURHANUDDIN
MASY’UD and AGUS PRIYONO KARTONO.

Estuarine crocodile in Indonesia was included in the category of Appendix


II of CITES, thus its utilization and trade must be as speciments from captive
units. Captive with ranching scheme was allowed only in Papua province and had
occured for ± 15 years. Unfortunately, the recent condition showed a decreasing
of ranching units and the number of crocodiles ranched. These can become a
threat to the wild population in form of direct harvesting from the crocodile’s
natural habitat. Technical activity was needed to assure that the ranching products
was adequate in term of enlargement period and economic cutting size, of which
the data was not yet available. This research was aimed to (1) describe the mastery
of knowledge and technology practice within the management of estuarine
crocodile at a captive unit, (2) measure the success rat of the captive and (3)
identify the support from stakeholders for the success and sustainability of this
ranching scheme captivity. The research took place in February – July 2012 at
CV. Bintang Mas in Jayapura. The methods used for collecting data were
observation, interview and literature study, also using descriptive analysis to
analyze the data. The result showed that the knowledge mastery was at medium
rate, though technically the captive unit were able to apply most of captive main
activities. Mortality rate of juveniles during the enlargement period (4-5 years)
was at the medium level (10-30%). The limitating factor for developing the
captive unit was the human resource which was not yet reconciled with the
availability of infrastucture. Success index assessment within the biology and
technical criteria resulted a number of 0.622 which suggested that this captive unit
had a fine category (62.2%), and was considered succesful and be allowed to
utilize its product. As to increase the success and sustainability of estuarine
crocodile captive unit with ranching scheme, the support from stakeholders in
form of actions (cooperation, knowledge enhancement and conservation
awareness) and expectation towards the improvement of management form and
sustainable use were definitely needed.

Keywords : crocodile captive management, success rate, stakeholders support


RINGKASAN

LUSIANA DYAH RATNAWATI. Keberhasilan Penangkaran Buaya Muara


Crocodylus porosus Schneider, 1801 dengan Pola Pembesaran: Studi kasus
penangkaran buaya di Provinsi Papua. Dibimbing oleh BURHANUDDIN
MASY’UD dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Buaya muara (Crocodylus porosus Schneider, 1801) merupakan salah satu


sumberdaya fauna yang memiliki potensi besar untuk dimanfaatkan dan
dikembangkan menjadi sumber ekonomi. Sejak tahun 1960-an, buaya mulai
dimanfaatkan secara komersial dalam perdagangan internasional. Untuk memenuhi
permintaan buaya yang terus meningkat, umumnya masih dilakukan dengan cara
berburu langsung dari alam, dan diperkirakan dapat mengancam kelestariannya.
Oleh karena itu sejak tahun 1970-an, perdagangan buaya muara mulai diatur
dengan dimasukkannya buaya ke dalam Appendix II CITES (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Pemerintah
Indonesia meratifikasi CITES melalui keputusan Presiden RI (Keppres RI ) Nomor:
43 Tahun 1978. Konsekuensinya, perdagangan buaya muara dari Indonesia juga
mulai diatur dengan penetapan kuota dan diharuskan berasal dari hasil penangkaran.
Terkait dengan pengembangan penangkaran tersebut di Provinsi Papua
diberlakukan kebijakan pengembangan penangkaran buaya muara dengan pola
pembesaran, yakni menangkap anakan buaya dari alam dengan ukuran badan <80
cm kemudian dibesarkan hingga mencapai ukuran badan dan umur potong
ekonomis. Permasalahannya, lebih dari 15 tahun usaha penangkaran ini
dikembangkan namun sejauh ini belum ada data dan informasi yang cukup tentang
gambaran praktek manajemen penangkaran pola pembesaran maupun tingkat
keberhasilannya serta bagaimana persepsi dan dukungan parapihak (stakeholders)
terhadap usaha-usaha pengembangan penangkaran buaya muara di Provinsi Papua.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan : (1)
mendeskripsikan penguasaan pengetahuan dan implementasi teknologi penangkaran
buaya di unit penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran di Provinsi Papua,
(2) mengukur tingkat keberhasilan pengelolaan penangkaran buaya pola
pembesaran yang dikembangkan di Provinsi Papua, dan (3) mengidentifikasi
dukungan parapihak bagi keberhasilan dan keberlanjutan penangkaran buaya pola
pembesaran di Provinsi Papua.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan studi kasus di unit usaha
penangkaran buaya muara CV Bintang Mas, berlangsung bulan Februari-Juli
2012. Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan pengukuran di
lapang, wawancara, serta telaah dokumen. Penguasaan teknis dan penerapan
pengelolaan penangkaran dilakukan pada aspek-aspek teknis penangkaran buaya
muara baik di tingkat plasma penangkapan, plasma pengumpul maupun
penangkaran inti. Pengukuran tingkat keberhasilan dilakukan dengan mengacu
utama pada Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor: P.19/Menhut-
II/2005 tentang penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar dan Peraturan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Nomor:
P.5/IV-SET/2011 tentang Pedoman Audit atau Penilaian Keberhasilan
Penangkaran Reptil. Untuk mendapatkan keseimbangan penilaian melibatkan
pihak yang dipilih secara purposive sampling yaitu pihak non-kehutanan (Dinas
Kelautan dan Perikanan Kota Jayapura, Asosiasi Pengusaha Penangkar Buaya
Indonesia dan pemerhati konservasi buaya), dan pihak Kehutanan (Dinas
Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua, Balai Besar KSDA Papua, dan
peneliti). Analisis tingkat keberhasilan menggunakan analisa deskriptif kualitatif
untuk menentukan kategori tingkat keberhasilan yaitu kategori Baik (A) pada
kisaran 80-100%, kategori cukup (B) pada kisaran 60-80% dan kategori kurang
(C) pada kisaran <60%, selanjutnya dianalisis dengan analisis deskriptif. Untuk
mengetahui persepsi dan dukungan parapihak terkait pengembangan penangkaran
buaya muara dilakukan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penangkaran buaya muara di
Provinsi Papua dikembangkan dengan sistem Penangkaran Inti Rakyat (PIR)
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH (Kepala Daerah) Tingkat I Irian
Jaya Nomor: 66 tahun 1987. Penerapan sistem PIR diharapkan dapat memperkuat
kerjasama antara pengusaha dan masyarakat yang berdampak positif terhadap
peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat dan membina
masyarakat agar ikut berperan dalam usaha melestarikan buaya di alam sebagai
sumber pendapatannya. Hasil Penelitian juga menunjukkan bahwa secara umum
penguasaan pengetahuan dan keterampilan teknis penangkaran buaya muara
dengan pola pembesaran di unit usaha CV Bintang Mas sebagai representasi
penangkaran buaya muara di Propinsi Papua tergolong rendah sampai sedang.
Penerapan teknik penangkapan dan pemeliharaan anakan buaya di tingkat plasma
maupun penangkaran inti dilakukan secara sederhana berdasarkan kebiasaan dan
pengalaman masyarakat lokal, dan belum memperhatikan secara baik menurut
prinsip-prinsip kesejahteraan satwa (animal welfare principles) seperti penyediaan
pakan baik jumlah maupun mutu, perkandangan yang memenuhi syarat kapasitas
tampung optimum maupun sanitasi, dan perawatan kesehatan dan pengendalian
penyakit. Ukuran badan anakan buaya yang ditangkap umumnya >80 cm sehingga
menyalahi ketentuan yang berlaku. Kualifikasi sumberdaya manusia (SDM)
pengelola juga masih terbatas dan belum memenuhi ketentuan tentang keharusan
adanya tenaga ahli penangkaran. Implikasi dari penguasaan dan penerapan
teknologi penangkaran yang masih sederhana dan tergolong sedang tersebut yakni
masih tingginya tingkat kematian anakan buaya mencapai 10-30%, dan lambatnya
pertumbuhan anakan buaya mencapai usia potong ekonomis. Standar waktu
optimal pembesaran buaya di penangkaran adalah 3-4 tahun (lebar dada rata 37.8
cm), namun di dalam praktek penangkaran ini diperlukan waktu 4-5 tahun.
Kewajiban pengembalian (restocking) sebesar 10% dari jumlah buaya hasil
penangkaran siap panen ke habitat alaminya untuk menjaga kelestarian populasi
di alam juga belum dilaksanakan. Penerapan manajemen pencatatan berupa
studbook dan penandaan (tagging) buaya sebagai salah satu instrumen
pengendalian juga belum dilaksanakan dengan baik oleh unit usaha penangkaran.
Hasil penilaian keberhasilan penangkaran berdasarkan prinsip dan kriteria
penilaian yakni (1) kriteria teknis pengelolaan dan kriteria biologis, dan (2)
kriteria sarana perasarana dan sosial/lingkungan diperoleh indeks keberhasilan
penangkaran sebesar 0.622 atau dengan angka tingkat keberhasilan penangkaran
buaya muara sebesar 62.2% dan termasuk kategori cukup (B). Artinya secara
teknis praktek manajemen penangkaran buaya muara pola pembesaran di Papua
dapat dianggap cukup berhasil dan secara sosial/lingkungan juga dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat meskipun belum signifikan terutama dalam
hal penyerapan tenaga kerja. Dilihat dari segi manfaat penangkaran sebagai
tempat rekreasi dan sarana pendidikan bagi pelajar/mahasiswa/umum dapat
dinyatakan cukup berhasil.
Hasil analisis terhadap persepsi dan dukungan parapihak (stakeholders)
menunjukkan bahwa, secara umum parapihak menyatakan dukungan bagi upaya
peningkatan keberhasilan dan keberlanjutan penangkaran buaya di Provinsi
Papua. Ada dua hal penting yang menjadi penekanan dari parapihak untuk
ditingkatkan agar pengelolaan penangkaran buaya muara di Propinsi Papua dapat
lebih berhasil, yakni : (1) penguatan kerjasama pengelolaan penangkaran, dan (2)
peningkatan kapasitas pengetahuan konservasi dan keterampilan teknis
pengelolaan penangkaran buaya. Secara teknis ada beberapa harapan aksi yang
perlu dilakukan ke depan, yakni : (a) peningkatan kerjasama pengawasan
pemanfaatan buaya, termasuk peningkatan kesadaran masyarakat agar ikut
berperan aktif didalam pengawasan peredaran pemanfaatan buaya; (b) perbaikan
manajemen penangkaran terkait status buaya dalam perdagangan internasional
(Appendix II CITES); (c) pengembangan penangkaran buaya dengan sistem PIR
secara benar, konsisten dan bertanggungjawab; dan (d) perubahan dan
peningkatan manajemen penangkaran buaya muara dari pola pembesaran
(ranching) menjadi pola pengembangbiakkan (captive breeding).
Berdasarkan hasil penelitian sebagai diuraikan di atas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan, yakni : (1) Penguasaan pengetahuan dan praktek teknologi
penangkaran buaya muara pola pembesaran di Papua tergolong sedang. Ukuran
panjang anakan buaya yang ditangkap untuk penangkaran umumnya lebih panjang
dari ukuran yang ditetapkan pemerintah (<80 cm), masa pembesaran untuk
mencapai ukuran potong ekonomis lebih lama (4-5 tahun) dengan tingkat
kematian 10-30 % (kategori sedang), kapasitas sumber daya manusia (SDM)
pengelola masih rendah dengan sarana prasana memadai; (2) Tingkat keberhasilan
pengelolaan penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran di Papua
termasuk kategori cukup (B) dengan nilai persentase keberhasilan 62.2%, dan (3)
parapihak (stakeholders) menyatakan dukungan bagi upaya peningkatan
keberhasilan dan keberlanjutan penangkaran buaya di Papua, dengan beberapa
harapan aksi yang perlu dilakukan ke depan, yakni : (a) peningkatan kerjasama
pengawasan pemanfaatan buaya, termasuk peningkatan kesadaran masyarakat
agar ikut berperan aktif didalam pengawasan peredaran pemanfaatan buaya; (b)
perbaikan manajemen penangkaran terkait status buaya dalam perdagangan
internasional (Appendix II CITES); (c) pengembangan penangkaran buaya dengan
sistem PIR secara benar, konsisten dan bertanggungjawab; dan (d) perubahan dan
peningkatan manajemen penangkaran buaya muara dari pola pembesaran
(ranching) menjadi pola pengembangbiakkan (captive breeding).

Kata kunci: Pengelolaan penangkaran buaya, tingkat keberhasilan penangkaran,


dukungan parapihak.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
KEBERHASILAN PENANGKARAN BUAYA MUARA
Crocodylus porosus Schneider, 1801
DENGAN POLA PEMBESARAN:
Studi Kasus Penangkaran Buaya di Provinsi Papua

LUSIANA DYAH RATNAWATI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi pada
Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada ujian Tesis : Dr. Ir. Nyoto Santoso, M.S.
PRAKATA

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat


Allah SWT karena hanya dengan rahmat dan hidayah-Nya, penyusunan tesis ini
dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati di Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor.
Tesis berjudul “Keberhasilan Penangkaran Buaya Muara Crocodylus
porosus Schneider, 1801 dengan Pola Pembesaran: Studi Kasus Penangkaran
Buaya di Provinsi Papua ini disusun berdasarkan keprihatinan kondisi
pengelolaan penangkaran pola pembesaran buaya di Provinsi Papua dan
keberlanjutannya dalam mewujudkan tujuan penangkaran yang sesungguhnya.
Penulisan ini menguraikan penguasaan pengetahuan dan penerapan teknis
pengelolaan pengelolaan penangkaran buaya muara pola pembesaran, tingkat
keberhasilan serta dukungan para pihak (stakeholder) bagi keberhasilan dan
keberlanjutan pengelolaan penangkaran buaya muara di Provinsi Papua.
Akhirnya, disadari tulisan ini masih banyak kekurangan dan kelemahan.
Oleh karena itu kritik/saran yang kontruktif sangat diharapkan untuk perbaikan
dan penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat sebagai bahan
kajian pengambilan kebijakan pengelolaan penangkaran buaya muara guna
menunjang konservasi buaya khususnya di Provinsi Papua.

Bogor, Nopember 2012


Lusiana Dyah Ratnawati
NRP E.353100205
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas


perkenanNya penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan Pascasarjana
di Intitut Pertanian Bogor, mendapat perlindungan dan berkah selama masa
perkuliahan, mendapat sayang dan cinta Allah SWT pada tahap akhir
penyelesaian studi.
Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada
dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Kedua orangtuaku yang telah berpulang (mama dan papi) atas bekal iman, budi
dan ilmu. Suami tercinta Bambang Hartanto Lakuy dan anak-anakku sayang
(abang Dhyto, mbak Diva dan dede Daffa) atas dukungan semangat, pengertian
dan pengorbanan. Ibunda Suharti Lakuy dan keluarga Wibowo atas dukungan
tenaga dan doa terutama saat penulis menitipkan anak-anak selama studi juga
pada keluarga besarku (Djoko Slamet S dan S. Lakuy) untuk doa, dukungan
semangat dan perhatian.
2. Komisi pembimbing: Dr. Ir. Burhanuddin Masy’ud, M.S. selaku ketua komisi
dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. selaku anggota komisi, atas curahan
pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk selama
pembimbingan “Sungguh berharga dan tak mungkin terlupa pelajaran hidup”.
3. Dr.Ir. Nyoto Santoso, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian sidang tesis,
juga kepada Dr. Ir. Harnios Arief, M.Sc.F selaku ketua sidang dalam ujian
tesis. Terimakasih atas kesediaan waktu dan tenaganya serta masukannya bagi
perbaikan penulisan.
4. Dr. Ir. Yanto Santosa DEA dan Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si dan selaku
Ketua Program Studi Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati
Institut Pertanian Bogor (lama dan baru), juga pada para dosen pengajar di PS
KKH atas kebijaksanaan, dorongan semangat, kesabaran, didikan, bimbingan,
saran dan ilmu yang diberikan selama penulis mengikuti perkuliahan.
5. Kementerian Kehutanan, atas kesempatan dan sponsor biaya bagi penulis
mengikuti pendidikan pada Program Magister Profesi di Institut Pertanian
Bogor IPB.
6. Ir. M.G Nababan dan Ir. IGNN Sutedja, MM selaku pimpinan Balai Besar
Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua (baru dan lama) serta
Muhammad Tuharea, S.Sos selaku atasan langsung penulis, terima kasih atas
dukungan semangat, rekomendasi pada penulis mengenyam pendidikan
Pascasarjana S2 dan ijin melaksanakan penelitian di wilayah kerja BBKSDA
Papua. Juga kepada rekan-rekan sekerja di BBKSDA Papua atas bantuan dan
kerjasamanya.
7. Pihak pengelola penangkaran buaya CV. Bintang Mas (Jayapura) atas ijin
lokasi penelitian di unit usaha penangkaran buayanya serta bantuan selama
pelaksanaan penelitian.
8. Kawan-kawan seperjuangan KKH 2010 (mbak Min, mbak Len, mbak Lin,
mbak Vi, mbak Mir, mbak Imas, mbak Des, mbak Sep, mas Par, mas Nyoto,
le Ca’Yo, ade Yar, le Teguh, mas Buday, mas Fer, mas Hend, mas Yusuf dan
mas Ndoko) yang selalu seru dan ‘makan-makan’nya, semoga kebersamaan
dan persaudaraan yang indah tak lekang oleh waktu dan jarak. Juga pada
Forum Mahasiswa Papua dan rekan-rekan mahasiswa pascasarjana lainnya atas
kerjasama dan tali kasihnya.
9. Tim yang selalu disibukkan (pak Sofwan, mbak Dara, bi Uum dan pak Udin),
Tim penasihat metode (kak Ida Sinaga, kang Mamat, mbak Teti dan mas
Wenda) dan tim data lapangan (pak Dahlan, om Kris, om Paul, om Keke, mbak
Yanti, Pak Tobing, Pak Marcel, Bu Helen, Bu Faustina, Pak Entis, Om Anis,
Om Ebed, Mbak Kristin, pak Agus Kokom, Pak Bram Kaya dan pak Wens),
serta pihak lainnya penulis ucapkan terima kasih atas saran, bantuan dan
kerjasamanya.
Akhirnya apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tugas akhir ini, maka
hanya penulislah yang bertanggung jawab. Kiranya hanya Allah SWT yang
mampu memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak
membantu penulis. Aamiin.

Bogor, Nopember 2012


Penulis
“Rabbigh-fir lii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa ‘aafinii
wa’fu ‘annii”

(Ya Tuhanku, ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkanlah segala


kekuranganku, tinggikanlah derajatku, berilah aku rezeki, berilah aku petunjuk,
sehatkanlah aku dan maafkanlah diriku)
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Jayapura, Provinsi Papua pada tanggal 31 Oktober


1972 sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan bapak Djoko
Slamet S. (Alm) dan ibu Rr. J. Soedarmilah (Almh).
Pada tahun 1985 penulis menamatkan sekolah dari Sekolah Dasar Negeri
Kotaraja, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP YPK Diaspora Kotaraja di
Jayapura selama tiga tahun. Tamat dari sekolah lanjutan pertama, langsung
diterima bersekolah pada SMA Negeri 1/414 Abepura-Jayapura dari tahun 1988-
1991. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih di Manokwari yang kini berubah
menjadi Universitas Papua hingga lulus tahun 1996.
Awal pengabdian dimulai tahun 1997 sebagai fasilitator tenaga kontrak pada
proyek Pengelolaan Kawasan Lindung (PKL) Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Provinsi Irian Jaya, yang ditempatkan bekerja pada wilayah Kabupaten Yapen
Waropen dibawah koordinasi kerja Kantor Dinas Cabang Dinas XV Kehutanan
Yapen Waropen selama dua tahun. Tahun 1999 proyek tersebut dialihkan
koordinatornya pada Bappeda Kabupaten Yapen Waropen. Tahun 2000, penulis
berhasil lulus pada tes masuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Departemen
Kehutanan dan ditempatkan pada Balai Taman Nasional Teluk Cenderawasih di
Manokwari. Berselang tujuh tahun bertugas di Manokwari, kemudian penulis
dipromosikan menjadi Kepala Seksi Perencanaan dan Kerjasama pada Balai Besar
Konservasi Sumber daya Alam (BBKSDA Papua) di Jayapura hingga kemudian
tahun 2010 mendapat mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan atas
beasiswa dari Kementerian Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam di Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor pada
Program Studi Magister Profesi Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH).
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN vi

I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran Penelitian ............. 3
1.3. Tujuan ........................................................................................... 6
1.4. Manfaat ......................................................................................... 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 9


2.1. Buaya Muara di Papua................................................................. 9
2.1.1. Penangkaran Buaya dengan Pola Pembesaran................. 10
2.1.2. Kegiatan Teknis di Penangkaran Buaya dengan Pola 11
Pembesaran.........................................................................
2.2. Keberhasilan Penangkaran Buaya Muara dengan Pola 16
Pembesaran .................................................................................
2.2.1. Pedoman Penilaian Penangkaran ………………………... 17
2.2.2. Penilaian Keberhasilan Penangkaran Buaya Muara 18
Pola Pembesaran ...............................................................
2.3. Peningkatan Keberhasilan dan Keberlanjutan Penangkaran 20
Pola Pembesaran di Wilayah Papua............................................

III. KONDISI UMUM ................................................................................. 23


3.1. Wilayah Kerja Balai Besar Konservasi Sumber daya Alam 23
Papua ...........................................................................................
3.2. Kondisi Umum CV Bintang Mas, Entrop-Jayapura Provinsi 24
Papua ...........................................................................................
3.2.1. Lokasi Penangkaran, Sejarah dan Struktur Organisasi . 24
3.2.2. Proses Pengelolaan dan Pengolahan Produk 27
Penangkaran ......................................................................

IV. METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 29


4.1. Lokasi dan waktu .......................................................................... 29
4.2. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ................................ 29
4.2.1. Jenis Data ........................................................................... 29
4.2.2. Metode Pengumpulan Data ............................................... 33
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data ....................................... 33
4.3.1. Penguasaan Pengetahuan dan Penerapan Teknis 33
Pengelolaan .....................................................................

i
4.3.2. Tingkat Keberhasilan Penangkaran...................................... 35
4.3.3. Dukungan Parapihak bagi Keberhasilan dan Keber- 42
lanjutan Penangkaran Buaya Muara Pola Pembesaran ...

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 43


5.1. Deskripsi Implementasi Teknik Penangkaran Buaya Muara 43
dengan Pola Pembesaran ...............................................................
5.1.1. Praktek Teknik Penangkaran di Tingkat Plasma............. 44
5.1.2. Teknik Pemeliharaan/Pembesaran Anakan Buaya di 55
Penangkaran Inti ................................................................
5.2. Tingkat Keberhasilan Penangkaran Buaya Muara dengan Pola 72
Pembesaran ...................................................................................
5.2.1. Perkembangan Jumlah dan Pertumbuhan Buaya di 72
Penangkaran ......................................................................
5.2.2. Hasil Penilaian Tingkat Keberhasilan Penangkaran …..... 76
5.3. Pandangan dan Dukungan Parapihak untuk Keberhasilan dan 79
Keberlanjutan Penangkaran Buaya Muara di Papua .....................
5.3.1. Pandangan Parapihak Terkait Peningkatan Keberhasilan 80
Penangkaran Buaya di Provinsi Papua .............................
5.3.2. Harapan Parapihak bagi Keberhasilan dan Keberlanjutan 88
Program Pembesaran Buaya di Provinsi Papua ................
5.4. Implikasi Hasil Penelitian Bagi Upaya Pengelolaan 91
Penangkaran Buaya Muara di Provinsi Papua ..............................
5.4.1. Pemanfaatan Buaya dari Alam untuk Keperluan 91
Penangkaran ......................................................................
5.42. Pemanfaatan Buaya dari Penangkaran .............................. 92

VI. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 95


6.1. Simpulan ........................................................................................ 95
6.2. Saran .............................................................................................. 95

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 97

ii
DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Kebutuhan data terkait penguasaan pengetahuan dan penerapan 30


teknis pengelolaan penangkaran ............................................................
2. Kriteria dan indikator penilaian tingkat keberhasilan penangkaran 30
pola pembesaran di Provinsi Papua .....................................................
3. Jenis data penelitian terkait dukungan para pihak bagi keberhasilan 31
dan keberlanjutan penangkaran pola pembesaran di Provinsi Papua.
4. Penilaian tingkat keberhasilan penangkaran buaya muara dengan 37
pola pembesaran di Provinsi Papua .......................................................
5. Kondisi kandang anakan buaya muara di tingkat plasma ..................... 49
6. Kapasitas tampung dan lama waktu penampungan anakan buaya 50
muara di tingkat plasma ........................................................................
7. Jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan pada anakan buaya di 51
tingkat plasma ........................................................................................
8. Tindakan penyesuaian anakan buaya di penangkaran inti .................... 57
9. Kandang buaya muara di penangkaran CV Bintang Mas di Papua ...... 58
10. Ukuran, bentuk dan fasilitas kandang muara di penangkaran CV 62
Bintang Mas Papua ................................................................................
11. Pakan buaya muara di penangkaran CV Bintang Mas Papua ............. 66
12. Jumlah individu buaya muara di CV Bintang Mas periode 2009-2012 72
13. Kondisi mutasi buaya muara di penangkaran CV Bintang Mas 74
periode 2009-2012 .................................................................................
14. Jumlah kematian buaya buaya muara di CV Bintang Mas periode 75
2009-2012 ..............................................................................................
15. Hasil penilaian keberhasilan penangkaran berdasarkan prinsip 76
kegiatan pembesaran di CV Bintang Mas tahun 2012 .........................

iii
iv
DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ............................................................... 8


2. Lokasi unit usaha penangkaran buaya di Provinsi Papua .................... 24
3. Struktur organisasi CV Bintang Mas .................................................... 26
4. Alat tradisional penangkapan anakan buaya oleh plasma penangkap .. 47
5. Kolam penampungan anakan buaya muara di tingkat plasma ............. 48
6. Jenis kandang pada penangkaran pola pembesaran di CV Bintang 59
Mas .......................................................................................................
7. Fasilitas jembatan kayu dalam kandang di penangkaran buaya muara 64
pola pembesaran CV Bintang Mas .......................................................
8. Jumlah individu buaya muara berdasar kelompok ukuran panjang 73
badan di penangkaran CV Bintang Mas tahun 2012 ............................

v
vi
DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Kualitas air di penangkaran buaya muara pola pembesaran di CV 103


Bintang Mas ..........................................................................................
2.a. Pengukuran panjang badan anakan buaya (dari moncong hingga 104
ujung ekor .............................................................................................
2.b. Pengukuran lebar badan anakan buaya ................................................. 104
3. Tenaga kerja pada unit penangkaran buaya muara pola pembesaran 105
CV Bintang Mas periode 2008-2009 ....................................................
4. Daftar penilai dari lingkup non kehutanan dan lingkup kehutanan ...... 106

vii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Buaya muara (Crocodylus porosus Schneider, 1801) merupakan salah satu


potensi keanekaragaman hayati yang telah dimanfaatkan. Pemanfaatan buaya di
Indonesia telah dilakukan sejak lama sebagai bahan pangan sumber protein
hewani oleh masyarakat di Provinsi Papua (Kurniati 2008). Produk lainnya berupa
lemak/minyak, tangkur dan empedu dimanfaatkan sebagai bahan obat sedangkan
kuku, tengkorak, tulang, kulit dan gigi sebagai bahan aksesoris (Prianto 2011).
Kulit buaya menjadi tujuan perburuan secara besar-besaran bagi industri kulit
internasional terutama sejak tahun 1960-an (Webb 1977; Bolton 1989).
Permintaan pasar dan harga jual kulit buaya yang cukup mahal menjadi
pendorong utama perburuan buaya dan jika berlangsung secara terus menerus
tanpa kendali dapat menjadi ancaman kepunahan buaya di alam. Dilaporkan tahun
2010 harga kulit buaya per lembar bernilai 500 hingga 1 000 US$
(http://www.suaramedia.com). Pola pemanfaatan dengan menangkap langsung
dari alam secara terus-menerus tanpa kendali dapat berdampak negatif pada
ancaman kepunahan buaya. Oleh karena itu perlu ada upaya pengendaliannya.
Upaya pengendalian terhadap ancaman kepunahan buaya antara lain
dilakukan melalui penetapan buaya sebagai satwa dilindungi sejak 1976. Dalam
perdagangan internasional, pada tahun 1985 buaya muara khususnya di negara
Australia, Papua New Guinea dan Indonesia telah dimasukkan ke dalam Appendix
II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora). Pemerintah Indonesia telah ikut meratifikasi CITES
(Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 43 Tahun 1978).
Konsekuensinya, Indonesia harus berperan aktif menerapkan prinsip-prinsip
CITES di dalam mengontrol pemanfaatan buaya muara pada perdagangan
internasional yang hanya berasal dari hasil penangkaran (Ditjen PHKA 2001).
Penangkaran merupakan salah satu bentuk pemanfaatan satwa liar secara
berkelanjutan berupa perbanyakan populasi melalui usaha pembiakan (breeding)
dan pembesaran (ranching) di luar habitat alaminya dengan tetap
mempertahankan kemurnian genetiknya (Dephut 2006). Penangkaran juga dapat
2

memberikan keuntungan/pendapatan ekonomi dan sosial budaya bagi masyarakat


(Masy’ud 2001).
Manifestasi kebijakan pengembangan penangkaran buaya yang diatur di
dalam Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
(PHPA) Nomor: 93/Kpts/DJ-VI/96 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian
Pemanfaatan Buaya, antara lain dinyatakan bahwa ada dua kategori penangkaran
buaya yakni pembesaran (ranching) dan pembiakan (captive breeding). Kebijakan
ini juga menggariskan bahwa penangkaran buaya dengan pola pembesaran hanya
diberlakukan di wilayah Irian Jaya (kini Papua) sedangkan pola lainnya terfokus
di luar wilayah Papua (Messel et al. 1997). Penangkaran buaya pola pembesaran
dilakukan dengan cara mengumpulkan telur dan/atau anakan dari alam kemudian
ditetaskan, dipelihara dan dibesarkan hingga mencapai usia dan/atau ukuran
potong ekonomis untuk dimanfaatkan/diperdagangkan sesuai aturan yang
ditetapkan pemerintah.
Penangkaran buaya pola pembesaran di Provinsi Papua ini sudah
berlangsung lebih dari 15 tahun, dirintis oleh 13 pengusaha yang menangkarkan
sebanyak 3 251 ekor buaya (Kanwil Dephut 1986). Namun kini kondisi penangka-
ran pola pembesaran di Provinsi Papua tidak seperti pada awal perintisannya,
dimana jumlah unit usaha penangkaran makin berkurang. Prianto (2011)
menyatakan, penangkaran buaya pada tahun 2003 sebanyak lima perusahaan
namun di akhir tahun 2012 hanya tiga perusahaan yang masih aktif dan berlokasi
di Provinsi Papua. Kemampuan membesarkan buaya dalam penangkaran pun
mengalami penurunan, terlihat dari realisasi kuota tangkap anakan buaya pada
perusahaan penangkaran buaya muara di Provinsi Papua (BBKSDA 2012).
Realisasi hasil tangkapan anakan buaya tahun 2010 sebanyak 567 ekor dari 1 000
ekor anakan buaya yang ditetapkan dalam kuota tangkap, bahkan tahun 2011 tidak
terdapat realisasi dari penetapan kuota tangkap 700 ekor anakan buaya.
Ketidakmampuan merealisasikan penetapan kuota tahunan tersebut diduga
karena terbatasnya kemampuan plasma penangkap atau pengumpul mendapatkan
sejumlah anakan buaya dari alam sesuai ketentuan dan/atau kurangnya
kemampuan memelihara/membesarkan anakan buaya hingga usia dan/atau ukuran
potong ekonomis. Ditjen PHKA (2001) menyatakan bahwa kemampuan
3

pengelolaan penangkaran dalam memelihara dan membesarkan anak buaya


hingga mencapai usia potong ekonomis sesuai standar yang telah ditetapkan oleh
pemerintah dan/atau standar ukuran dalam perdagangan buaya merupakan
keberhasilan penangkaran buaya pola pembesaran.
Kondisi pengelolaan penangkaran buaya muara di Provinsi Papua sejauh ini
belum diketahui kategori keberhasilannya sebab belum ada informasi dan
penentuan tingkat keberhasilan. Oleh karena itu perlu dilakuan penelitian untuk
mengetahui secara tepat kondisi pengelolaan penangkaran buaya di Papua atas
beberapa pertanyaan penelitian yaitu: sejauh mana penguasaan pengetahuan dan
bagaimana praktek teknologi penangkaran yang dilakukan di unit-unit
penangkaran buaya di Papua dan seberapa besar tingkat keberhasilan
penangkarannya? Selain itu, untuk menjamin keberlanjutan pengembangan
penangkaran dan keberhasilannya ke depan, perlu ada upaya yang lebih intensif
dan komprehensif melalui perbaikan dan peningkatan penguasaan teknologi
penangkaran, kebijakan maupun dukungan parapihak (stakeholders). Berdasarkan
pemikiran ini, dalam penelitian ini juga dikaji tentang pandangan dan dukungan
parapihak terhadap keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan penangkaran
buaya di Propinsi Papua ke depan.

1.2. Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran Penelitian

Penangkaran buaya muara sebagai satwa liar merupakan bagian tidak


terpisahkan dari strategi konservasi keanekaragaman hayati didalam menunjang
pelestarian populasi melalui pengembangbiakan atau perbanyakan populasi buaya
muara di luar habitat alaminya dan pemanfaatannya secara berkelanjutan bagi
kesejahteraan masyarakat. Ini berarti dituntut adanya keberhasilan pengelolaan
penangkaran penangkaran buaya muara sebab yang memberikan dampak positif
terhadap pengurangan pemanfaatan buaya muara secara langsung dari habitat
alaminya sehingga populasinya di alam diharapkan dapat tetap lestari. Sebaliknya
ketidakberhasilan penangkaran buaya muara dapat mendorong terus
meningkatnya eksploitasi buaya muara dari alam yang berdampak negatif
terhadap ancaman kelestarian populasi tersebut di alam.
4

Keberhasilan suatu unit usaha penangkaran berdasarkan aspek teknis


biologis, sangat ditentukan oleh ketepatan penguasaan pengetahuan dan
penerapan teknologi penangkaran oleh pengusaha penangkar pada pengelolaan
individu buaya untuk keperluan penangkaran. Pengelolaan perkandangan,
pemberian pakan, perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit sebagai
kegiatan teknis. Kegiatan teknis ini merupakan pengelolaan penangkaran mulai
dari tahapan memperoleh sumber bibit untuk keperluan penangkaran yang berasal
sebagai hasil tangkapan dari alam atau hasil pengembangbiakan dari dalam
penangkaran, selanjutnya tindakan pemeliharaan dan pembesaran dan pengem-
bangbiakannya. Masy’ud (2001) menyebutkan, keberhasilan suatu unit
manajemen penangkaran buaya pada dasarnya merupakan resultante dari banyak
faktor yang terkait dengan penguasaan dan penerapan aspek teknis pengelolaan
penangkaran yang baik dan handal. Terkait dengan prinsip ini, timbul pertanyaan
tentang sejauh mana penguasaan pengetahuan dan bagaimana praktek teknologi
penangkaran buaya muara yang dilakukan oleh unit-unit usaha penangkaran buaya
di Papua ? Untuk menjawab pertanyaan inilah perlu dilakukan penelitian praktek
pengelolaaan penangkaran secara deskriptif kualitatif.
Kebijakan pengembangan penangkaran buaya muara di Indonesia dilakukan
melalui dua pola yakni pola pembesaran (ranching) dan pola pembiakan (captive
breeding). Untuk Propinsi Papua, berdasarkan pertimbangan bahwa populasi
buaya di alamnya masih melimpah dan secara kultural masyarakat Papua
memiliki kekhasan pola interaksi dengan buaya dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya maka kebijakan penangkaran buaya yang berlaku adalah penangkaran
dengan pola pembesaran. Artinya unit manajemen penangkaran diberikan ijin
untuk memungut anakan buaya dari alam dengan ukuran tertentu untuk dipelihara/
dibesarkan hingga mencapai usia dan/atau ukuran potong ekonomi yang diukur
dari panjang badan dan lingkar dada/perut. Dengan demikian ukuran keberhasilan
penangkaran buaya pola pembesaran ditunjukkan oleh keberhasilan unit
manajemen penangkaran di dalam memelihara dan membesarkan anakan buaya
yang dipungut dari alam hingga mencapai ukuran dan/atau umur potong ekonomis
sesuai ketentuan pemerintah dan/atau standar perdagangan buaya. Selain itu,
dalam penangkaran pola pembesaran ini, setiap unit manajemen penangkaran juga
5

dikenakan kewajiban menyisihkan sebagian (10%) dari buaya siap panen (potong)
untuk dilepaskan kembali ke habitat alamnya (restocking) dalam rangka
mempertahankan kondisi populasi lestari di alam. Pertanyaannya, sejauh mana
tingkat keberhasilan unit-unit manajemen penangkaran buaya dengan pola
pembesaran ? Keberhasilan dimaksud meliputi pengelolaan penangkaran buaya
muara sekaligus pelaksanaan kewajiban konservasi seperti restocking, studbook
dan tagging sebagaimana diatur didalam ketentuan ijin penangkarannya.
Penilaian dan penetapan kategori tingkatan keberhasilan penangkaran pada
dasarnya bermanfaat sebagai acuan didalam upaya pembinaan, pengendalian
sekaligus motivasi bagi setiap unit manajemen penangkaran buaya untuk
meningkatkan dan memperbaiki manajemen penangkarannya sehingga dapat
mencapai tujuan penangkaran. Acuan yang dapat digunakan sebagai dasar di
dalam melakukan penilaian tentang praktek pengelolaan penangkaran dan
menentukan tingkat keberhasilan penangkaran buaya adalah Peraturan Menteri
Kehutanan (Permenhut) Nomor: P.19/Menhut-II/2005 dan Peraturan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Nomor:
P.5/IV-SET/2011, juga peraturan perundangan terkait penangkaran buaya.
Mengingat ketentuan ini lebih dimaksudkan untuk penilaian keberhasilan suatu
unit manajemen penangkaran buaya pola pembiakan (captive breeding), maka
dalam penggunaannya untuk melakukan penilaian terhadap penangkaran buaya
pola pembesaran perlu dilakukan penyesuaian pada kriteria dan indikatornya.
Secara umum penilaian keberhasilan dilakukan paling tidak ada pada dua prinsip
yakni prinsip keberhasilan kegiatan pembesaran buaya dalam penangkaran dan
keberhasilan pengembangan pengelolaan penangkaran buaya muara. Prinsip-
prinsip ini dibangun atas kriteria biologis, kriteria teknis (teknik pengelolaan dan
sarana prasarana) dan kriteria sosial, dimana masing-masing memiliki beberapa
indikatornya penilaian keberhasilan.
Keberlanjutan pengembangan penangkaran buaya muara di Provinsi Papua
dan keberhasilannya ke depan perlu dijamin sehingga diperlukan upaya yang
lebih intensif dan komprehensif, baik melalui perbaikan dan peningkatan
penguasaan teknologi penangkaran, kebijakan maupun dukungan parapihak
(stakeholders). Oleh karena itu penting juga dikaji tentang pandangan (persepsi)
6

dan dukungan parapihak terhadap kebijakan pengembangan penangkaran buaya di


Propinsi Papua.
Berdasarkan laporan pemanfaatan dan perlindungan potensi sumber daya
alam di wilayah kerja BBKSDA Papua diketahui hanya ada tiga jumlah unit
penangkaran buaya pola pembesaran di Provisni Papua yang masih aktif hingga
akhir tahun 2011 (BBKSDA 2012). Ketiga unit usaha penangkara tersebut adalah
CV Bintang Mas di Jayapura, CV Sedaro (sebelumnya bernama CV Mitra Lestari
Abadi) di Nabire dan PT Lucas Croco (sebagai perubahan dari PT Sikoway Jaya
Pratama) di Waropen. Di antara ketiga unit usaha penangkaran ini, manajemen
penangkaran buaya muara CV Bintang Mas dipandang representatif untuk
dijadikan sebagai contoh kasus didalam mengkaji praktek manajemen
penangkaran buaya yang dilakukan di Papua.
Secara keseluruhan, keberhasilan penangkaran buaya pola pembesaran
tersebut bermuara pada pencapaian tujuan dan fungsi penangkaran sebagai bagian
dari strategi konservasi keanekaragaman hayati, yakni kelestarian buaya muara di
Provinsi Papua dan pemanfaatannya secara berkelanjutan bagi kesejahteraan
masyarakat. Berdasarkan keseluruhan uraian di atas, maka secara skematis dapat
dirumuskan kerangka pemikiran penelitian seperti disajikan pada Gambar 1.

1.3. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran maka tujuan penelitian


ini adalah:
1. Mendeskripsi penguasaan pengetahuan dan implementasi teknologi
penangkaran buaya di unit penangkaran buaya di Provinsi Papua.
2. Mengukur tingkat keberhasilan pengelolaan penangkaran buaya muara dengan
pola pembesaran yang dikembangkan di Papua.
3. Mengidentifikasi dukungan para pihak bagi keberhasilan dan keberlanjutan
penangkaran buaya pola pembesaran di Provinsi Papua.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi upaya perbaikan
dan peningkatan pengelolaan penangkaran buaya muara (C.porosus Schneider,
7

1801) di Provinsi Papua baik oleh setiap unit usaha itu sendiri maupun
pemerintah. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penangkaran satwa pada
umumnya dan penangkaran buaya pada khususnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan ruang lingkup, sebagai berikut:


1. Mengkaji praktek teknologi penangkaran buaya muara pola pembesaran
dengan fokus mendeskripsikan aspek teknis penangkaran buaya muara yang
mencakup manajemen sumber anakan buaya muara untuk pembesaran,
perkandangan, pemberian pakan, dan perawatan kesehatan.
2. Menilai tingkat keberhasilan penangkaran buaya muara pola pembesaran
dengan fokus pada dua prinsip penilaian kegiatan pembesaran buaya dalam
penangkaran dan pengembangan pengelolaan penangkaran buaya yang
dibangun atas dua prinsip penilaian keberhasilan dan kriteria (biologis, teknis
dan sosial) menurut standar penilaian keberhasilan penangkaran buaya
(reptil).
3. Mengidentifikasi pandangan dan dukungan dari parapihak (stakeholders)
yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan keberlanjutan
penangkaran buaya muara di Provinsi Papua.
8

Pelestarian populasi buaya muara (Crocodylus porosus


Schneider, 1801) di habitat alami Provinsi Papua

Penangkaran Buaya Muara dengan Pola Pembesaran di


Provinsi Papua Peratu-
ran dan
kebija-
kan
penge-
lolaan
Keberhasilan Penangkaran penang
Aspek teknis Pengelolaan karan
penangkaran Pola Pembesaran penangka- buaya
ran buaya

Pelaksanaan Prinsip Prinsip Keberhasilan


kegiatan Keberhasilan Pengembangan
pokok Pembesaran Buaya Penangkaran
pengelolaan
penangkaran
Analisis
deskriptif
Penilaian Kriteria dan Indikator
kualitatif
keberhasilan Penangkaran
Analisis
deskriptif
kualitatif
TINGKAT KEBERHASILAN Persepsi
PENANGKARAN POLA parapihak
PEMBESARAN BUAYA terhadap
PENGUASAAN MUARA DI PROVINSI penangka-
& PENERAPAN PAPUA ran buaya
KEGIATAN pola
TEKNIS pembesaran
PENGELOLAAN
PENANGKA- Kondisi penangkaran pola
RAN POLA pembesaran buaya muara
PEMBESARAN di Provinsi Papua
BUAYA MUARA

DUKUNGAN BAGI KEBERLANJUTAN DAN


KEBERHASILAN PENANGKARAN BUAYA
MUARA DI PROVINSI PAPUA

= Fokus penelitian
Rekomendasi
= Tujuan penelitian

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Buaya Muara di Papua

Salah satu jenis buaya yang ada di Provinsi Papua adalah buayamuara,
tersebarmulai darihabitat pantaihingga sungai utama yang masih dipengaruhi oleh
aktivitas pasang surut laut.Spesiesinimenyukai habitat yang
memberikemungkinanmencapaiperairan yang lebihluasdanterbuka.Buaya muara
di habitat alami menyukai daerah berawapayau sebagai
daerahpertemuanantarasungaidanlaut(muara), sedikit tertutup oleh
vegetasipenutupsebagaitempatberlindungdan memiliki
tempatterbukauntukberjemur (Solmu& Sine 2009; Cox 1985). Ikan, rusa dan babi
hutanyangmendekatisungaiuntukminummenjadi mangsabuaya muara di alam
(Iskandar2000).
Pulau Papua memiliki wilayah penyebaran buaya,
berdasarkanperhitunganplanimetris,luashabitatbuayadiPapua mencapai6250000ha
yangmenyebarsecararelatif
padadaerahaliransungai(IPB1990).Penyebaranbuayadipulau
Papuasecaramakrodikelompokkanmenjaditigazonayaitu:zonaMeraukedi wilayah
selatan pulau Papua (3654474ha),zonaMamberamo(982500ha)dan
zonaKepalaBurung(701875ha). Hasilsurveimenunjukkanbahwapopulasibuaya
muara yang cukup banyak di wilayah Papua yaitu di beberapasungaipasangsurut
di zone Kepala Burung dan zone Merauke (PulauKimaam)(Frazier 1988;Kurniati
et al.1999; Kurniati 2002).
Maraknya perburuan buaya di alam akibat tingginya permintaan kulit buaya
di pasar Internasional menyebabkan populasi satwa ini di alam semakin terancam.
CITES telah memasukkannya ke dalam kategori satwa yang harus dikontrol
dalam perdagangan internasional. Buaya muara di Indonesia masuk ke dalam
kategori Appendix CITES pada tahun 1985 (Ditjen PHPA 1985). Penetapan
staatus ini menguntungkanIndonesia karena buaya muara dapat dimanfaatkan
tetapi harus sebagai hasil penangkaran dengan cara pembesaran buaya yang
bersumber dari alam. Hal ini didasari pertimbangan rendahnya resiko dan cukup
10

aman, populasi yang masih tinggi dan luasnya habitat alaminya (Ditjen PHPA
1985).Konsekuensinya, kegiatan monitoring populasi langsung di alam melalui
surveisecara berulang dan kontinyu harus dilaksanakan agar dapat
mengidentifikasi kecenderungan populasi serta kondisi daerah
nesting.Konsekuensi lainnya, harus dilakukan pemantauan populasi di lokasi
pembesaran melalui monitoring implementasi sistem pelaporan dan perijinan di
penangkaran (Ditjen PHKA 2001).

2.1.1. Penangkaran Buayadengan Pola Pembesaran

Penangkaran buaya muara(C.porosusSchneider, 1801) dengan pola


pembesaran merupakan salah satu bentuk penangkaran yang berlangsung di
Indonesia danhanya berlaku di wilayah Papua berdasarkan beberapa
pertimbangan. Salah satunya adalah secarakulturalmasyarakat Papua telah lama
memilikipolainteraksikhasdalampemanfaatanbuayabagi
pemenuhankebutuhanhidup. Kebijakan pengembanganpenangkaranbuayamuara
dengan polapembesaran di Provinsi Papua telah diakui secara internasional oleh
CITES yang dikenal denganranching programme.
Dephut (2006) menyatakan,kegiatan penangkaran pembesaran dimulai
dengan penangkapan anakan dan atau telur buaya dari alam yang ditetaskan
danatau dibesarkan di dalam lingkungan terkontrol.Ada empat hal penting terkait
kegiatan penangkaran yakni perolehan telur/anakan yang ditangkap dari habitat
alaminya, adaptasi dan aklimatisasi, pengelolaan bentuk dan sistem penangkaran
dan ketenagakerjaan (Thohari 1987).Kegiatan penangkapan anakan maupun telur
sebagai sumber pembesaran dalam penangkaran harus mempertimbangkan
kemudahan serta jaminan kuantitas dan kualitas produksi penangkaran, tindakan
adaptasi dan aklimatisasi diperlukan sebagai penyesuaian sumber buaya yang
diambil dari alam pada perubahan lingkungan di habitat alami kepada habitat
tiruan. Pengelolaan penangkaran berupa penerapan teknis penangkaran meliputi
perkandangan, pengelolaan pakan, perawatan kesehatan dan pengendalian
penyakit, pengembangbiakandan pemanfaatan hasil
penangkaran(barangataupunjasa) baikuntuktujuan sosial ekonomi
budayamaupununtukpelestarianjenisdan plasma nutfah (Masy’ud 2001).
11

Penangkaran buaya dengan pola pembesaran bersumber dari anakan buaya


yang ditangkap dari alam maupun telur buaya. Tujuannya untuk membantu
meningkatkan kemampuan bertahan hidup anakan maupun telur dari serangan
predator di alam. Buaya yang dibesarkan di penangkaran selanjutnya
dilepasliarkan kembali ke alam untuk menjaga keseimbangan populasi di alam
(restocking) sebagai kewajiban pengelolaan penangkaran untuk menjaga
keseimbangan populasi di alam (Ditjen PHPA 1985).

2.1.2. Kegiatan Teknis di Penangkaran Buaya dengan Pola Pembesaran

Kegiatan teknis penangkaran buaya pola pembesaran umumnya sama


dengan kegiatan pengelolaan buaya di penangkaran pola mengembangbiakan.
Rangkaian kegiatan teknis atau disebut juga sebagai kegiatan pokok penangkaran
berupa perolehan bibit yang akan dipelihara di dalam penangkaran, pembesaran
yang memperhatikan pengelolaan pakan, kandang, kesehatan dan tahap akhir
adalah pemanenan.

a. Penangkapan Anakan Buaya dari Alam

Lokasi tangkapan anakan buaya dari alam hanya dapat dilakukan dalam
wilayah penangkapan yang ditetapkan yaitu di zone Mamberamo, zone Kepala
Burung dan zone Merauke (Dephut 2006). Anakan buaya atau telur buaya untuk
keperluan pembesaran dalam penangkaran tersebut dapat berasal dari alam dan
atau berasal dari sumber lain yang sah (hasil penangkaran, luar negeri, rampasan,
penyerahan dari masyarakat, temuan dan Lembaga Konservasi (LK) (Dephut
2006). Persyaratan sumber buaya untuk keperluan penangkaran berupa anakan
buaya hanya pada buaya yang berukuran panjang badan <80 cm. Bila
pembesarannya berupa telur yang diambil dari alam maka jumlah telur yang
diijinkan sebanyak 50% dari jumlah telur dari persarangan yang rata-rata berisi 30
butir, sedangkan jika daerah persarangan terancam banjir atau ancaman predator
maka jumlah telur dapat diambil lebih besar dari 50% (Ditjen PHPA 1987).

b. PembesaranBuaya

Pembesaran anakan buaya di penangkaran inti merupakan kelanjutan


12

kegiatan dari penangkapan anakan buaya di alam. Umumnya pembesaran anakan


hingga mencapai umur/usia dan ukuran badan buaya berlangsung selama jangka
waktu pemeliharaan sekitar 3-4 tahun.Adapun ukuran potong ekonomis buaya
hasil pembesaran adalah lebar dada perut 30-46 cm atau rata-rata 37.8 cm dan
panjang tubuh minimum 150 cm. Namun bila buaya yang dibesarkan tersebut
telah mencapai ukuran lebar dada di atas 46 cm tidak boleh dipotong tetapi
dijadikan induk.
Kecepatan pertumbuhan buaya di penangkaran memerlukan fasilitas dan
sarana pendukung, tenaga kerja yang ahli dan terampil serta lingkungan sekitar
lokasi penangkaran sebagai potensi yang mendukung. Adapun kegiatan selama
masa pembesaran buaya muara dalam penangkaran berupa:

1. Perkandangan

Kandang sebagai habitat tiruan harus memenuhi prinsip utama kandang


yaitu aman, nyaman, sehat, sesuai perilaku satwa, konstruksi kandang
(Simanungkalit 1994). Perkandangan perlu mempertimbangkan macam dan
bentuk kandang, ukuran kandang, sistem perkandangan, pemeliharaan dan
pengelolaan kandang. Persyaratan dasar kandang berupa ukuran kandang relatif
luas dan memenuhi keamanan dan kenyamanan untuk bertumbuh buaya dan
ketersediaan air dan ukuran kedalaman air bagian kolam sesuai kebutuhan
perilaku buaya (Bolton 1990).
Kurniati (2008) mengemukakan, ada tiga komponen penting dalam
infrastuktur kegiatan pembesaran yakni kandang karantina, kandang pembesaran
dan kandang isolasi. Ketiga pembagian kandang tersebut merupakan pembagian
jenis kandang berdasarkan fungsi atau peruntukkan kandang. Kandang
pembesaran buayaumumnya berdasarkan ukuran panjang badan buaya, seperti
yang disebutkan dalam Bolton (1990) dan Kanwil Dephut (1986) bahwa kandang
pembesaran buaya harus memperhatikan ukuran dan peruntukannya. Umumnya
kandang pembesaran dibedakan sebagai kadang anakan, kandang remaja, kandang
dewasa muda dan kandang dewasa.
Pada proses pembesaran buaya dalam penangkaran, kandang sebagai habitat
tiruan membutuhkan fasilitas yang mendukung suasana kandang menyerupai
habitat alami buaya. Fasilitas kandang berupa kolam air untuk berendam yang
13

ketinggian airnya disesuaikan dengan kebutuhan buaya di tiap kandang.


Ketinggian air dan luas kolam kandang yaitu setengah sampai dua per tiga bagian
kandang. Fasilitas lainnya pada kandang berupa naungan atau pelindung serta
daerah kering (lantai/teras) sebagai bagian yang tidak tergenangi air untuk
berjemur (Kanwil Dephut 1986). Fungsi daerah kering dan kolam dalam kandang
sebagai penyeimbang/penyesuaian suhu yang dibutuhkan bagi pertumbuhan
buaya. Suhu optimum buaya berada pada 30-37°C (Collen et al. 2008;Brien et al.
2012).

2. Pengelolaan pakan

Bolton (1990) mengemukakan,prinsippengelolaan pakan terletak pada


kesesuaian kesukaan pakan bagi buaya. Pakan diperlukan bagi pertumbuhan
badan buaya sehingga perlu disesuaikan dalam hal bentukmakanan (alami atau
buatan), pertimbangan dayacerna, konversi pakan,teknis ekonomis(harga),dan
non-kompetitif.Masy’ud et al. (1993) menyebutkan, syaratpakanadalah
palatable/preferensi, jumlah (cukup), kualitas (giziterpenuhi), pemberianpakan
(frekuensi, ad libitum), dan ada pemberian pakan tambahan (feed aditive).
Kebutuhan pakan bagi buaya di penangkaran berbeda-beda tergantung pada
beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur, aktivitas dan keadaan lingkungan
(Taylor 1979). Apabila buaya mendapatkan kecukupan kebutuhan maka buaya
akan cepat pertumbuhannya. Pada anakan buaya dengan kebutuhan 50% pakan
tercukupi akan menambah berat badan 1 kg dari 2 kg berat pakan yang
dikonsumsi pada 2 tahun pertama pemeliharaan dalam penangkaran, setelah itu
akan lambat secara perlahan. Pada tahun ke-3 jumlah pakan yang dibutuhkan akan
turun 25-30% dari sejumlah pakan yang dibutuhkan membuat buaya paling efisien
menyerap nutrien. Tingkat konversi pakan buaya makin besar badannya makin
besar kebutuhannya namun laju metabolismenya rendah membuat buaya menjadi
hewan sangat malas dan banyak menghabiskan waktunya untuk berjemur.
Perilaku berjemur ini juga dilakukan buaya untuk menjaga suhu tubuhnya agar
dengan bantuan sinar matahari tanpa harus mengeluarkan energi dari pembakaran
kalori tubunya(Bolton 1989).

3. Perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit


14

Kurniati (2008) dan Beyeler (2011)mengemukakan tentang penyakityang


sering terjadi pada buayadi penangkaran adalah penyakitinfeksi,
kekurangannutrisipentingpadamakanan (malnutrisi)
danpenyakitkarenaketidaksesuaian lingkungan (faktorsuhulingkunganminimum

pada kisaran 25-26℃dan suhu lingkungan maksimum pada kisaran 35-

36℃).Salah satu jenis penyakit akibat bakteridari sisamakananmembusuk

menyebabkan penyakit pada mata yang menyerang anakanbuaya (Suzzana 2000).


Kesehatan buaya dapat diupayakan dengan pembersihan kandang,tempat
makan, air minum, pengelolaan limbah. Pembersihan standar pada lingkungan
sebagai upaya sanitasi penangkaran berupa menguraskolam yang
sudahkotordanmenyemprotkandangdengandesinfektansecara regular.

4. Restocking

Sebagai kegiatan mengembalikan ke habitat alaminya atau sebagai upaya


pemulihanpolulasi di alam yang dilakukan agar kondisipopulasi di
alamtetaplestari(Harjanto&Masy’ud 1991). Sebelum release/pelepasliaran atau
pengembalian ke alam maka harus dilakukan persiapan agar dapat bertahan hidup
di alam. Selanjutnya monitoring untuk mengetahui kemampuan bertahan hidup,
beradaptasi dan berkembangbiak. Stokingpopulasi atau penyediakanbuayabagi
kegiatan pelepasliaran dengan memperhatikan seks ratio jantan-betina(1 : 4) dari
10% buaya hasil penangkaran, nilai genetik yang tinggi, populasi di alam rendah,
bebas dari penyakit, tidak cacat fisik,
berumurseragamuntukmenghindarikanibalismedanmemudahkanperkembangbiaka
n di alam (Hardjanto& Masy’ud 1991). Selain itu juga terjaminnya
kondisikesehatandanberperilaku normal (tidakaktif/agresifataulamban) pada
buaya muara yang akan dilepasliarkan.
Sejauhini restockingbelumdapat dilaksanaannya, umumnya karena kendala
anggarandanteknispengembalian ke lokasiasal,
sikap/penerimaanmasyarakatsetempatdanperkembangandaerah yang
telahterjadiperubahanpembangunan.

c. Pemanfaatan Hasil Penangkaran


15

Kegiatan pemotongan atau pemanenan dilakukan ketika buaya telah


mencapai ukuran potong komersial. Idealnya kegiatan ini berlangsung ketika
ukuran badan buaya telah memenuhi ukuran potong ekonomis yang dicapai dalam
masa pembesaran standar ukuran yakni 3-4 tahun.Ketika telah mencapai ukuran
dan umur potong/panen maka unit penangkaran mengajukan permohonan ijin
potong kepada instansi Unit Pelaksana Teknis (UPT) KSDA yaitu Balai Besar
KSDA (BBKSDA) atau Balai KSDA (BKSDA).
Pemanfaatan buaya hasil pembesaran di penangkaran pada umumnya masih
berupa kulit buaya setengah jadi (wet blue) sampai crustedbahkan ada yang hanya
sebatas kulit mentahnya.

d. Pendukung Kegiatan Penangkaran

Kegiatan penangkaran ditunjang oleh sumber daya manusia yang memiliki


kemampuan atau keahlian di bidang tertentu dalam kegiatan penangkaran, antara
lain tenaga ahli, tenaga administrasi dan tenaga lapangan hewan
(animalkeeper)serta didukung sarana prasarana penangkaran seperti
perkandangan, kendaraan operasional, dan gudang. Spesifikasi sumber daya
manusia dalam kegiatan penangkaran telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor:8 tahun 1999. Dalam Kemenhut (2011) dan Dephut (2006) telah
dinyatakan penangkaran wajib memiliki dan memperkerjakan tenaga ahli di
bidang penangkaran atau sesuai dengan satwa yang ditangkarkan berupa
pekerjaan sesuai keahlian (dokter hewan atau tenaga kesehatan satwa, petugas
kesehatan, pawang buaya, teknisi yang menangani kegiatan teknis penangkaran,
tenaga lapangan yang bertugas memberi makan, membersihkan kandang, merawat
kesehatan)serta tenaga administrasi yang mengelola pelaporan maupun
administrasi lainnya.
Sarana dan fasilitas di penangkaran pola pembesaran merupakan suatu
komponen dalam perusahaan atau unit usaha yang sangat vital dan dapat
mendukung kegiatan usaha penangkaran pola pembesaran buaya muara (CV BM
2009).Sarana prasarana merupakan kegiatan awal pendirian unit usaha
penangkaran. Pemilihan lokasi (sites)penangkaran terkait fasilitas yang akan
disediakan sebagai penunjang kegiatan (Masy’ud 2001). Persyaratan lokasi
16

dimaksud antara lain pertimbangan lokasi berdasar ketinggian tempat dari


permukaan laut. Hal ini berkaitan dengan suhu dan kelembaban udara pendukung
pembesaran buaya, lokasi yang memudahkan akses perolehan obat-obatan dalam
perawatan dan perlindungan kesehatan serta rencana tata ruang daerah yang
mendukung rencana pengembangannya (Ditjen PHPA 1987). Selain itu
persyaratan ketersediaan air bersih yang selalu mengalir cukup banyak, luasan
tempat usaha dan dekat dengan sumber pakan untuk menjamin ketersediaan pakan
yang cukup secara kontinyu (Bolton 1990;Simanungkalit 1994).
Ketersediaan sarana prasarana tersebut juga dilengkapi dengan bangunan
yang berfungsi mengurus administrasi/perkantoran, perumahan karyawan dan
peralatan mesin operasional unit usaha penangkaran. Seluruh fasilitas tersebut
harus menerapkan standar keamanan, keselamatan dan kenyamanan kerja bagi
para pekerja juga standar kenyamanan bagi satwa buaya muara di penangkaran.

2.2. Keberhasilan Penangkaran Buaya Muara dengan Pola Pembesaran

Penangkaran satwa liar sebagai perkembangbiakan dan pemeliharaan dalam


keadaan terkurung oleh manusia dilakukan untuk mencapai tujuan konservasi,
sosial, ekonomi dan budaya, sesuai pernyataan Helvort (1986) dalam Alikodra
(2010). Tujuan konservasi menitikberatkan pada perolehan spesimen tumbuhan
satwa liar dalam jumlah, mutu, kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik
yang terjamin. Tujuan sosialekonomi dan budaya lebih menitikberatkan pada
pemenuhan kebutuhan hidup manusia seperti pada penangkaran buaya untuk
kepentingan industri kulit, obat, daging dan estetika/hiburan (Masy’ud 2001).
Penangkaran dengan pola pembesaran dinyatakan berhasil dikatakan
berhasil bilamana penangkaran mampu mengupayakan percepatan pertumbuhan
untuk mencapai ukuran potong ekonomis dalam waktu yang relatif singkat.
Indikator keberhasilannya berdasarkan penilaian pertumbuhan buaya tersebut
yakni ukuran panjang tubuh dan lebar perut (Ditjen PHKA 2001). Percepatan
pertumbuhan buaya dimulai dari ketepatan saat penangkapan anakan buaya,dan
penerapan pengetahuan pada kegiatan teknis pengelolaan penangkaran pada
pemilihan lokasi penangkaran yang memperhatikan rasa nyaman buaya termasuk
perlindungan pada kesehatan buaya dalam penangkaran.
17

Alikodra (2010)mengemukakan,empat kriteria dalam pengembangan


komoditi satwa liar di dalam penangkaranyaitu obyek, penguasaan ilmu dan
teknologi, tenaga terampil dan masyarakat.Obyek dimaksud adalah buaya,
dimana yang diupayakan untuk mencapai ukuran ekonomis yang ditandai dengan
panjang badan minimal 150 cm dan lebar perut/dada cm rata-rata 37.8 cm.
Kondisi ini dapat dicapai bila ada dukungan kriteria penguasaan ilmu dan
teknologi termasuk ketersediaan sarana prasarana (kriteria teknis). Kriteria teknis
dapat diterapkan bila didukung pengelola sebagai sumber daya manusia yang
memiliki kemampuan pengusaan dan penerapan teknis memenuhi syarat. Selain
itu dukungan masyarakat dalam lingkungan sosial dan budaya sangat dibutuhkan
dalam kegiatan penangkaran.

2.2.1. Pedoman Penilaian Penangkaran

Keberhasilan kegiatan pembesaran pada unit usaha penangkaran dinilai


dengan melakukan audit penangkaran untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan
penangkaran buaya berdasarkanketentuan yang berlaku.Kegiatan penilaian
sebagai monitoring pelaksanaan pengelolaan penangkaran sebagai tupoksi
BBKSDA dalam pengawasan dan pembinaan. Kegiatan audit yang pernah
dilakukan Papua berdasarkan Surat Keputusan Kepala BBKSDA Papua Nomor:
PT.686/IV-15/2010 tanggal 12 Agustus 2010 untuk melaksanakan audit
penangkaran dan pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL)mengacu pada
peraturan penangkaran dalam Peraturan Menteri Kehutanan(Permenhut) Nomor:
P.19/Menhut-II/2005 dan
PeraturanDirekturJenderalPerlindunganHutandanKonservasiAlam (Dirjen PHKA)
Nomor: P.5/IV-SET/2011 tentang Pedoman Audit atau Penilaian Keberhasilan
Penangkaran Reptil. Selain itu juga mengacu pada beberapa peraturan lainnya
antara lain Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 7/1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Liar (TSL), PP Nomor: 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis
TSL, Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) Nomor: 447/Kpts-II/2003
tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran TSL, dan
Permenhut Nomor: P.02/Menhut-II/2007 jo P.51/Menhut-II/2009 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Konservasi Sumber Daya Alam.
18

Dephut (2006) menyebutkan, tim penilai audit penangkaran terbagi atas


kelompok tim penilai yang melibatkan otoritas keilmuan bentukan Dirjen PHKA
dan kelompok tim penilai secara independen yang dinilai mampu untuk
melaksanakan penilaian kegiatan pengelolaan penangkaran. Pada peraturan
penangkaran (Permehut Nomor: P.19/Menhut-II/2005) disebutkan standar kriteria
tiga sebagai dasar pertimbangan yang dilakukan dalam standar kualifikasi
penangkaran yaitu (1) kriteria batas dan jumlah populasi jenis tumbuhan dan
satwa liar (TSL) hasil penangkaran, yaitu jenis yang ditangkarkan, kemampuan
reproduksi, kecepatan pertumbuhan, laju kematian, (2) kriteria profesionalisme
kegiatan penangkaran, yaitu ketersediaan tenaga ahli, kelayakan sarana prasarana
penangkaran, legalitas asal induk, ketersediaan buku induk/stuudbook, penandaan
dan atau sertifikasi, pencatatan dan pelaporan serta pemerikasaan silang terhadap
catatan dan laporan),dan (3) kriteria tingkat kelangkaan jenis TSL yang
ditangkarkan yaitu status perlindungan endemisitas, ketersediaan populasi di alam
dan keadaan di dalam penangkaran (Dephut 2006). Penilaian pengelolaan
penangkaran mendukung Keputusan Menhut Nomor: 447/Kpts-II/2003 tentang
Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa
Liar yang mengharuskan adanya pemeriksaan kelayakan unit usaha penangkaran
dalam pemanfaatan TSL.

2.2.2. Penilaian Keberhasilan Penangkaran Buaya Muara Pola Pembesaran

Penilaian keberhasilan penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran


sebagai penilaian terukur pada kondisi pengelolaan penangkaran buaya muara
sekaligus menjadi sarana monitoring pengelolaan penangkaran (Ditjen PHPA
1987). Penilaian keberhasilan penangkaran buaya berpedoman pada Permenhut
Nomor: P.19/Menhut-II/2005.Ditjen PHPA (1987) menyebutkan keberhasilan
penilaian penangkaran dengan pola pembesaran buaya ditandai dengan kondisi
buaya yang dibesarkan dari pengambilan anakan dari alam,danpengelolaan
penangkaran dalam rangka pembesaran hingga layak untuk dipotong/panen
(Ditjen PHPA 1987). Oleh sebab itu kriteria penilaian keberhasilan penangkaran
menyangkut kondisi, aspek atau ukuran serta pengelolaannya. Terkait dengan hal
tersebut dalam kriteria biologis (obyek) terdapat indikator pengukuran yaitu
19

kecepatan pertumbuhan anakan, laju kematian dan keseragaman ukuran badan


buaya yang dipotong/panen (Ditjen PHKA 2001;Kemenhut 2011).
Kriteria kedua berdasarkan penggunaan ilmu dan teknologi sebagai kriteria
teknik yang membutuhkan tenaga terampil. Alikodra (2010), bahwa tenaga kerja
sebagai sumber daya manusia dapat diperoleh dari lingkungan sosial sebagai
dampak keberadaan unit usaha penangkaran. Hal yang sama tentang kriteria
penilaian keberhasilan penangkaran dalam Masy’ud (1991) bahwa kriteria yang
dibangun sebagai dampak yang ditimbulkan oleh penangkaran yaitu pada aspek
sosial dan ekonomi yang lebih mengedepankan pemanfaatan untuk kebutuhan
manusia. Lingkungan atau sosial sebagai dukungan bagi keberadaan usaha
penangkaran dari masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai kriteria sosial.
Penilaian pengelolaan penangkaran menggunakan penilaian bobot dan
skoring indikator. Bobot indikator merupakan angka yang diberikan untuk
masing-masing indikator penilaian berdasarkan tingkat kepentingan atas penilaian
keberhasilan penangkaran. Pembobotannya berupa nilai paling tinggi untuk
indikator penilaian sangat penting, penting dan cukup penting masing-masing
dicontohkan dengan pemberian nilai 5, 4 dan 3. Begitu juga dengan penetapan
skoring penilaian. Skoring merupakan nilai yang diberikan untuk masing-masing
indikator penilaian berdasarkan tingkat kelengkapan dan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh unit penangkaran. Pemberian nilai skoring terdiri atas penilaian
angka paling tinggi untuk kategori sangat baik (contoh: angka 5), angka untuk
penilaian paling tinggi hingga rendah sebagai kategori cukup baik (contoh: 3), dan
angka paling rendah untuk penilaian kategori kurang baik (contoh: 1) (Kemenhut
2011).
Indeks keberhasilan dalam penilaian pengelolaan penangkaran merupakan
perhitungan hasil penilaian yang telah dilakukan pada kondisi penangkaran yang
diprosentasekan sesuai kisaran prosentase kategori keberhasilan.Kisaran
prosentase dari indeks penilaian adalah antara 0-100%, yaitu kriteria penilaian
baik (80-100%), penilaian cukup (60-<80%;), dan kisaran penilaian kurang
(<60%). Penilaian pada kategori baik (80-100%) dan cukup (60-80%) artinya unit
usaha penangkaran buaya tersebut dianggap sudah berhasil dan sudah dapat
memanfaatkan hasil penangkaran. Sebaliknya, bagi kategori penilaian kurang
20

maka perusahaan penangkaran dianggap belum berhasil dan belum dapat


memanfaatkan hasil penangkarannya.
Penilaian keberhasilan penangkaran menjadi ukuran unit usaha penangkaran
buaya untuk memperbaiki sistem pengelolaan penangkaran yang juga menjadi
persyaratan dalam pengajuan perpanjangan ijin usaha penangkaran tiap lima
tahun. Oleh sebab itu penilaian penangkaran untuk memperoleh ukuran komersial
melalui pertumbuhan dan pembesaran buaya dalam waktu yang cepat menjadi
patokan dalam pola pembesaran (Ditjen PHKA 2001).

2.3. Peningkatan Keberhasilan dan Keberlanjutan Program Penangkaran


Pola Pembesaran di Wilayah Papua

Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan, sejauh ini ada belum ada
herpetologist yang dapat membuktikan secara obyektif bahwa pemanenan reptil
termasuk buaya pada skala besar dan terus menerus yang selama ini dapat
dilakukan di Indonesia telah mengakibatkan penurunan populasi di habitatnya.
Namun bukan berarti suatu pembenaran untuk pemanfaatan langsung dari alam,
kekurangan data mengenai populasi buaya di alam diakibatkan terbatasnya
kemampuan tenaga kerja dan biaya survei dan monitoring di habitat alami di
Papua yang masih sulit dan beresiko (Ditjen PHKA 2001).
Upaya menjaga populasi buaya muara di alam dengan mengembangkan
penangkaran guna pemenuhan kebutuhan bahan baku kulit buaya di Papua telah
dicanangkan BBKSDA Papua dalam rencana aksi pengelolaan buaya yang
diharapkan menjadi arah pengelolaan buaya yang ideal di Papua.Program
pengelolaan populasi di dalam penangkaran merupakan bagian integral dari
pengelolaan populasi alam yang bertujuan membantu menjaga populasi di alam
melalui pemanfaatan yang lestari. Program pengelolaan populasi buaya yang
ditangkarkan didasarkan pada tiga hal pokok yaitu: (1) mekanisme monitoring
populasi, (2) sistem pelaporan, dan (3) pemeriksaan dan pengawasan (Ditjen
PHKA 2001). Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam (Dirjen PHPA) Nomor: 93/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Petunjuk
Teknis Pengendalian Pemanfaatan Buaya dinyatakan bahwa penangkaran buaya
21

terbagi atas dua kategori kegiatan/bentuk yaitu penangkaran pola pembesaran dan
pola pengembangbiakan.
Kegiatan pokok yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan penangkaran
adalah monitoring populasi sebagai kegiatan pertama dengan cara penandaan
buaya salah satunya dengan memotong sirip ekor sesuai dengan tanda resmi yang
diterbitkan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA),
tujuannya untuk mengetahui setiap jenis dan individu. Kegiatan kedua adalah
kegiatan pembuatan laporan pengelolaan penangkaran merupakan kewajiban
penangkar mengenai jenis buaya, jumlah atau mutasi stok penangkaran dan
produk yang dihasilkan penangkaran, bertujuan untuk mengetahui populasi dan
perkembangan buaya hasil penangkaran maupun penangkapan dari alam.
Kegiatan terakhir adalah pemeriksaan dan pengawasan untuk mengetahui
pelaksanaan kegiatan penangkaran sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.Peraturan dan kebijakan tentang pemanfaatan buaya dan perlindungannya
menjadi tempat pertimbangan antara tindakan eksploitasi dan tindakan konservasi
yang bermuara pada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Hal ini perlu
ditunjang oleh kemampuan berpikir dan bertindak bagi kepentingan masa kini,
dan masa yang akan datang.
22
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1. Wilayah Kerja Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Papua

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua memiliki


wilayah kerja pengawasan dan pembinaan unit pengelola konservasi tumbuhan
dan satwa liar (TSL) hanya pada wilayah administrasi Provinsi Papua. Buaya
muara sebagai satwa liar yang mendapat pengawasan dalam pemanfaatan dan
perlindungan terutama pada perdagangannya sebagai hasil dari penangkaran.
Berdasarkan data statistik dan teknis pada kantor BBKSDA tahun 2010 diketahui
bahwa di seluruh wilayah Propinsi Papua terdapat delapan unit usaha penangkaran
buaya yang terdaftar aktif beroperasi (BBKSDA 2010). Unit usaha penangkaran
sebanyak 8 unit tersebut, kini hanya tiga unit usaha penangkaran buaya yang
berada di Provinsi Papua sedangkan lima perusahaan penangkaran lainnya
meskipun terdaftar namun kantor pusatnya berada di luar Papua. Kantor
perusahaan yang ditempatkan di wilayah Provinsi Papua adalah kantor perwakilan
untuk mengurus administrasi, menampung dan atau mengumpulkan buaya
berdasarkan kuota tangkap perusahaan di Provinsi Papua.
Unit usaha penangkaran buaya muara yang masih aktif hingga kini di
Provinsi Papua sebanyak tiga perusahaan yaitu: CV Bintang Mas di Jayapura, CV
Sedaro di Nabire dan PT Lucas Croco di Waropen Di antara ketiga unit usaha ini,
diketahui bahwa CV Bintang Mas merupakan unit usaha yang paling lama
beroperasi, dengan skala usaha jumlah buaya terbanyak dibanding unit usaha
penangkaran lainnya di Provinsi Papua. Peta keberadaan ketiga unit usaha
penangkaran buaya tersebut di Provinsi Papua, disajikan pada Gambar 2.
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa dengan mempertimbangkan masa
beroperasi yang lebih lama dengan skala penangkaran memelihara buaya >10 000
ekor dan manajemen penangkarannya yang lebih baik sehingga dipandang lebih
representatif untuk menggambarkan kondisi umum praktek penerapan teknologi
penangkaran buaya di Papua, maka dalam penelitin ini CV Bintang Mas dipilih
sebagai lokasi studi kasus. Oleh karena itu, uraian kondisi umum lokasi penelitian
hanya difokuskan pada unit usaha penangkaran ini.
24

B
C
A.

Keterangan :
A. CV. Sedaro (di
di Nabire)
B. CV. Lucas Croco
co (di Waropen)
Waropen
C. CV. Bintang Mas (di Jayapura)
Jayapu

Gambar 2 Lokasi unit usaha


u penangkaran buaya di Provinsi Papua.

3.2. Kondisi Umum CV. Bintang Mas,


Mas Entrop - Jayapura Provinsi Papua

3.2.1. Lokasi Penangkaran,, Sejarah dan Struktur Organisasi

Secara administratif pemerintahan, CV Bintang Mas (CV BM) berada


dalam wilayah Kotamadya Jayapura
Jayapura, tepatnya di sebelah selatan wilayah
Kelurahan Entrop Kecamatan
ecamatan Jayapura Selatan. Jarak tempuh lokasi penangkaran
inti milik perusahaan CV BM dari pusat kota Jayapura sekitar 5 km. Wilayah ini
termasuk dalam wilayah kerja pengelolaan Balai Besar Konservasi Sumber Daya
Alam Papua (BBKSDA
SDA Papua).
Papua)
Unit usaha penangkaran buaya CV BM didirikan sebagai perluasan dari
usahanya sebagai pemasok kebutuhan di bidang perikanan yang dikembangkan
sejak tahun 1977. Dalam usaha ini CV BM sebenarnya juga telah melakukan
usaha jual beli kulit buaya yang diperoleh dengan cara berburu atau menangkap
langsung dari alam sebagai andalan
andala usahanya. Sejalan dengan diberlakukan
annya
peraturan perundangan oleh pemerintah tentang konservasi buaya mengenai
perburuan, penetapan kuota, dan keharusan penangkaran maka pada tahun 1998
mulai dikembangkan penangkaran buaya oleh CV BM secara serius. Usaha ini
persiapannya mulai dirintis tahun 1983.
1983
Setelah lima tahun usaha penangkaran CV BM berlangsung, perkembangan
usahanya menunjukkan kondisi usaha yang cukup baik dalam membesarkan
buaya di penangkaran. Kondisi ini memungkinkan CV BM mengajuka
mengajukan
25

perpanjangan ijin usaha penangkaran pada tahun 2003 untuk masa usaha jangka
waktu lima tahun berikutnya. Periode 2003-2008 merupakan tahun emas bagi
pelaksanaan usaha penangkaran buaya dimana kemampuan memelihara buaya
dalam penangkaran lebih banyak dibandingkan tahun-tahun usaha setelahnya
(BBKSDA 2012).
Tahun 2008 CV BM kembali mendapatkan perpanjangan ijin usaha dengan
Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor: SK.57/IV/Set-3/2008 tanggal
28 Mei 2008 dan Surat Keputusan Pengedar Luar Negeri (LN) Nomor:
117/IV/Set-3/2004. Berdasarkan keputusan tersebut, CV BM sebagai unit usaha
penangkaran buaya mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi yaitu membuat
Rencana Karya Tahunan (RKT) dan laporan bulanan sebagai cara untuk
memonitoring pelaksanaan penangkaran pola pembesaran (CV BM 2009).
Sebagai suatu unit usaha, CV BM mendapat surat ijin pendirian usaha dari
Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Ijin Tempat Usaha
(SITU) Nomor: 503/898/INDAG, dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP)
Nomor: 501/008/PB/INDAG. Selain itu juga memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) seri: 01-127-588-0952-000 dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Nomor:
2608301004460, serta surat keterangan domisili usaha Nomor: 503/01/XI/2007
untuk menguatkan pendiriannya dengan dikeluarkannya ijin lokasi di daerah
Entrop.
Perusahaan ini didirikan oleh pemiliknya atas nama keluarga Gan.
Bertindak sebagai Direktur Perusahaan adalah Gandhi Gan, kemudian
melimpahkan kuasa direktur kepada Raymond Gan dan Petrillo Gan sebagai
pengurus usaha penangkaran buaya. Manajemen perusahaannya dikelola
berdasarkan struktur organisasi CV BM yang ditetapkan dimana organisasi
pengelolaan penangkaran ini dibagi pada tiga bagian besar organisasi yakni
bagian teknik, bagian keuangan dan bagian umum dibawah kuasa direktur.
Masing-masing bagian dilengkapi dengan staf yang profesional dan proporsional.
Jumlah pegawai sebanyak 51 orang, tidak termasuk para pimpinan (direksi)
perusahaan. Para pekerja ini terdistribusi di tiga wilayah kerja sebagai unit kerja
perusahaan, yakni unit plasma di daerah Mamberamo, unit inti di Jayapura dan
unit pengolahan produk di Jakarta. Sistem manajemen pengusahaan penangkaran
26

ini dikembangkan dengan pola PIR (Penangkaran Inti Rakyat) melibatkan plasma
yang berasal dari masyarakat lokal (Hardjanto & Masy’ud 1991). Adapun struktur
organisasi yang terbentuk pada sistem kerja CV BM disajikan pada Gambar 3.

DIREKTUR KOMANDITER

KUASA DIREKTUR

BAGIAN TEKNIK BAGIAN KEUANGAN BAGIAN UMUM

PELAKSANA EKSPORT STAF OPERASIONAL

Gambar 3 Struktur organisasi CV Bintang Mas.

Pekerja di unit plasma adalah pekerja yang ditempatkan di lapangan atau


wilayah penangkapan/pengumpulan buaya anakan. Pekerja pada tingkat ini
sebagian besar adalah masyarakat lokal di sekitar wilayah zona Mamberamo yang
diberdayakan sebagai plasma (pengumpul dan penangkap). Pekerja tersebut
terdaftar sebagai karyawan CV BM tetapi ada juga yang berstautus sebagai tenaga
lepas maupun tenaga kontrakan.
Pekerja di tingkat unit penangkaran inti, terdiri dari pekerja di bagian
administrasi dan animal keeper, bebeda dengan pekerja di unit pengolahan produk
terdiri dari tenaga ahli. Unit pengolahan produk ini berada di Jakarta didasarkan
pada banyak pertimbangan terutama kemudahan dalam perolehan bahan baku
industri pengolahan kulit buaya menjadi produk jadi atau setengah jadi yang
dikirim ke luar negeri.
Visi awal didalam merintis usaha penangkaran buaya ini adalah
mengembangkan penangkaran buaya pola pembiakan (captive breeding),
sehingga sejak awal areal penangkaran yang cukup luas mencapai 4.5 ha sudah
disiapkan, juga penyediaan kolam penangkaran sebanyak 78 buah dengan ukuran
dan fungsi sesuai tujuan pemeliharaannya. Selain itu juga sudah disiapkan fasilitas
lainnya berupa perkantoran, gudang dan perumahan karyawan, serta peralatan
mesin pengolahan kulit buaya dan peralatan operasional penangkaran lainnya.
27

3.2.2. Proses Pengelolaan dan Pengolahan Produk Penangkaran

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa visi awal pengembangan usaha


penangkaran buaya ini oleh manajemen CV BM, dimaksudkan untuk
mengembangkan penangkaran buaya pola pembiakan (captive breeding).
Melalui pola ini diharapkan dapat dihasilkan telur dan/atau anakan sebagai hasil
perkawinan atau reproduksi induk buaya di dalam penangkaran. Telur-telur yang
dihasilkan buaya selanjutnya ditetaskan dengan bantuan mesin penetas, kemudian
anakan buaya hasil tetasan ini dibesarkan dalam penangkaran untuk dimanfaatkan
hasilnya setelah mencapai usia atau ukuran potong ekonomis. Oleh karena itu
sejak awal pendiriannya, manajemen CV BM telah menyiapkan mesin tetas telur
berkapasitas tampung dalam jumlah yang banyak.
Dalam perkembangannya, ternyata usaha penetasan telur dengan mesin tetas
belum berhasil. Salah satu faktor yang diduga sebagai penyebab kegagalan
tersebut adalah tipisnya cangkang telur tersebut sehingga mudah pecah (Abraham
K. 23 April 2012, komunikasi pribadi). Akibat dari kegagalan penetasan telur
tersebut, maka unit manajemen CV BM mengambil keputusan untuk
memfokuskan pengembangan penangkarannya dengan pola pembesaran, yakni
menangkap/mengumpulkan anakan buaya dari alam kemudian dibesarkan hingga
mencapai usia atau ukuran panen ekonomis sesuai standar perdagangannya.
Ada dua jenis buaya yang direncanakan untuk ditangkarkan oleh CV BM,
yakni buaya muara (C.porosus) dan buaya irian (C. novaguinea), dimana proporsi
buaya muara yang lebih banyak dipelihara. Khususnya buaya muara ditangkap
dari zona Mambaremo sebagai daerah yang ditetapkan pemerintah sebagai areal
penangkapan (CV BM 2009). Penangkapan anakan buaya dilakukan oleh plasma
penangkap dan dikumpulkan oleh plasma pengumpul. Plasma pengumpul
mengumpulkan anakan dan kulit buaya dari masyarakat (plasma penangkap)
setelah adanya kesepakatan harga. Pengumpulan kulit buaya dibatasi pada ukuran
lebar 30.48-50.8 cm atau 12-20 inchi, sedangkan anakan untuk pembesaran
berukuran panjang badan <80 cm. Anakan tersebut selanjutnya dikirimkan oleh
plasma pengumpul ke penangkaran inti di Entrop Jayapura untuk selanjutnya
dibesarkan hingga mencapai usia potong ekonomis yakni dengan panjang badan
minimal 150 cm.
28

Untuk keperluan pemanenan saat buaya hasil pembesaran dalam


penangkaran telah mencapai usia dan/atau ukuran ekonomis, unit manajemen CV
BM mengajukan permohonan ijin potong kepada BBKSDA Papua. Pengajuan
surat permohonan sebagi ijin potong ini sebagai dokumen resmi untuk pengiriman
kulit buaya tersebut ke unit produksi pengolahan kulit CV BM di Jakarta. Pada
unit produksi pengolahan, kulit buaya selain diproduksi sebagai wet blue (kulit
setengah jadi), juga diolah lagi menjadi barang jadi seperti sepatu, tas, dan ikat
pinggang, untuk kemudian diekspor ke luar negeri sebagai komoditas bernilai
ekonomi tinggi.
IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di penangkaran buaya muara CV Bintang Mas


(CV BM) di Jayapura, Papua. Pemilihan lokasi ini didasarkan pada pertimbangan
bahwa unit usaha ini sudah cukup lama beroperasi, memiliki manajemen lebih
baik dibanding dua unit penangkaran lainnya (CV Sedaro dan PT Lucas Croco)
dengan skala usaha pemeliharaan buaya dalam penangkarannya yakni <10 000
ekor (Hardjanto & Masy’ud 1991). Berdasarkan pertimbangan tersebut, CV BM
secara teknis dipandang representatif menjadi subyek penelitian ini untuk
mendapatkan gambaran umum tentang praktek pelaksanaan penangkaran buaya
muara pola pembesaran di Provinsi Papua.
Penelitian dilaksanakan selama empat bulan terhitung bulan Maret–Juni
2012, mulai dari tahap survei pendahuluan, pengumpulan data, pengolahan dan
analisis data serta penyusunan hasil penelitian.

4.2. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

4.2.1. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dibedakan menjadi kelompok data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang dibutuhkan langsung untuk
keperluan analisis, mencakup dua kelompok data utama yakni data yang terkait
dengan praktek penangkaran buaya pola pembesaran (Tabel 1) dan data yang
terkait dengan keberhasilan penangkaran buaya muara pola pembesaran (Tabel 2).
Kebutuhan adalah data dukungan parapihak (stakeholders) untuk meningkatkan
keberhasilan dan keberkeberlanjutan usaha penangkaran buaya muara di Propinsi
Papua (Tabel 3). Data sekunder diperoleh dari dokumen yang dipublikasikan
pihak-pihak terkait berupa buku, laporan hasil penelitian, serta data pendukung
lainnya terkait pengelolaan penangkaran buaya muara (peraturan perundangan,
kebijakan dan praktek-praktek penangkaran satwa reptil).
Jenis data primer untuk tujuan mendeskripsikan penguasaan dan praktek
pengelolaan penangkaran buaya muara di Provinsi Papua disajikan pada Tabel 1.
30

Tabel 1 Kebutuhan data terkait penguasaan pengetahuan dan penerapan teknis


pengelolaan penangkaran

No. Kebutuhan Data

1. Pengumpulan bibit Jumlah perolehan anakan, ukuran badan anakan,


buaya meliputi: pengelolaan anakan dari plasma hingga penangkaran
inti
2. Perkandangan meliputi: Bentuk perkandangan, jenis kandang, bahan/materi
penyusun kandang, jumlah kandang, fasilitas kandang,
ukuran kandang, kapasitas tampung kolam/kandang
3. Pengelolaan pakan Jenis, jumlah, waktu, frekuensi, cara penyediaan,
meliputi: bentuk penyajian, penambahan suplemen dan vitamin.
4. Perawatan kesehatan Jenis penyakit, penyebab penyakit, cara pencegahan,
dan pengendalian cara pengobatan, frekuensi tindakan pencegahan
penyakit meliputi: penyakit, tenaga ahli
5. Jumlah individu dan Distribusi kelompok umur, jumlah individu buaya
kelompok umur mati, jumlah individu buaya bertahan hidup, pertum-
meliputi: buhan badan buaya tangkar
6 Kewajiban Restocking Bentuk tindakan penyiapan buaya dalam rangka release
7 Sarana pendukung - Ketenagakerjaan (sumberdaya manusia) : Jenis
meliputi: pekerjaan, jumlah tenaga kerja, latar belakang
pendidikan, asal tenaga kerja,
- Sarana prasarana : jumlah dan kondisinya

Jenis data yang dibutuhkan untuk tujuan kedua, disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Kriteria dan indikator penilaian tingkat keberhasilan penangkaran pola


pembesaran di Propinsi Papua

Prinsip (P), Kriteria (K) dan Indikator (I)


No Bobot
1. P.1 Keberhasilan kegiatan pembesaran buaya dalam
penangkaran (Nilai total = 65%)

K.1.1 Teknis 35%


I.1. Manajemen penangkapan anakan buaya untuk keperluan
pembesaran di penangkaran (penangkapan anakan, pengelolaan
di penampungan plasma, pengiriman ke penangkaran inti)
I.2 Pengelolaan pakan
I.3 Pengelolaan kesehatan

K.1.2. Biologis 30%


I.4. Tingkat prosentase kematian dari anakan hingga umur panen
(data time series tiga tahun)
I.5. Lama pemeliharaan/pembesaran dari anakan hingga umur
panen (data time series tiga tahun)
I.6. Ukuran Panjang badan buaya dan lebar kulit pada usia panen
(data time series tiga tahun)
31

Tabel 2 Lanjutan
Prinsip (P), Kriteria (K) dan Indikator (I)
No Bobot
2. P.2 Keberhasilan pengembangan pengelolaan penangkaran
buaya (Nilai Total = 35%)

K.2.1 Sarana Prasana 25%


I.7. Kelayakan sarana prasarana
I.8. Ketersediaan tenaga inti penangkaran
I.9. Penandaan dan pelaporan

K.2.2. Sosial/lingkungan 10%


I.10. Prosentase serapan tenaga kerja dari masyarakat sekitar lokasi
penangkaran (data time series 3 tahun)
I.11. Dukungan lingkungan sekitar lokasi penangkaran berupa
dukung keamanan usaha maupun lingkungan unit usaha
penang-karan (data time series 3 tahun)
I.12. Prosentase terbukanya lapangan kerja di lingkungan sekitar
lokasi penangkaran (time series)

Jumlah total bobot 100%

Jenis data yang dibutuhkan untuk tujuan ketiga, disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis data penelitian terkait dukungan para pihak bagi keberhasilan dan
keberlanjutan penangkaran pola pembesaran di Propinsi Papua

No. Jenis Data


1. Tindakan kerjasama, peningkatan pengetahuan dan kesadaran konservasi,
2. Harapan bentuk pengelolaan dan pemanfaatan lestari

4.2.2. Metode Pengumpulan Data

1. Penguasaan pengetahuan dan penerapan teknis pengelolaan penangkaran


Kebutuhan data penguasaan pengetahuan dan penerapan teknis pengelolaan
penangkaran (Tabel 1), dikumpulkan melalui observasi lapang dan wawancara
pada animal keeper dan petugas lainnya yang berkompeten dengan pelaksanaan
teknis penangkaran tersebut.
Wawancara berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan.
Untuk melengkapi data dan informasi yang ada dilakukan studi literatur dan
telaahan dokumen berupa laporan pelaksanaan pengelolaan penangkaran
(perusahaan), laporan hasil penelitian, buku serta dokumen lainnya terkait
pelaksanaan aspek teknis pengelolaan penangkaran khususnya buaya muara.
32

2. Tingkat keberhasilan penangkaran


Kebutuhan data tingkat keberhasilan penangkaran pola pembesaran di
Propinsi Papua, dikumpulkan dengan cara melakukan observasi langsung
terhadap praktek penangkaran yang dilakukan pada unit manajemen di lapang dan
wawancara mengenai pengelolaan penangkaran serta telaah dokumen (laporan-
laporan) berupa jumlah anakan buaya yang ditangkarkan, jumlah kematian,
ukuran pertumbuhan badan dan lingkar dada, serta rata-rata lama waktu untuk
mencapai ukuran potong ekonomis. Wawancara dilakukan dengan berpedoman
pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Data tersebut menjadi penilaian
tingkat keberhasilan kegiatan pembesaran dan keberhasilan pendukung
penangkaran, kedua penilaian keberhasilan itu merupakan keberhasilan
penangkaran. Penilaian ini berdasarkan kriteria dan indikator penilaian yang telah
disusun.
Penilaian tingkat keberhasilan penangkaran melibatkan responden sebagai
penilai yang berasal dari dua lingkungan untuk mendapatkan penilaian
keberhasilan penangkaran secara proporsional dari lingkungan yang berbeda.
Adapun responden penilai tersebut adalah: (1) unsur non kehutanan meliputi
unsur pemerintah diwakili Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Jayapura,
unsur dunia usaha dari APPBI dan peneliti; dan (2) unsur Kehutanan diwakili oleh
Dinas Kehutanan dan Konservasi (Dishutkon) Provinsi Papua, pemerhati
konservasi buaya dan BBKSDA Papua. Pemilihan perwakilan penilai ini
dilakukan dengan pertimbangan bahwa penilai-penilai tersebut sebagai responden
yang dinilai memahami kondisi penangkaran buaya muara dan pertimbangan
keterkaitannya dengan tugas pokok dan fungsi (Dephut 2006).

3. Dukungan para pihak pada keberhasilan dan keberlanjutan progam


pembesaran buaya
Data dan informasi ini dikumpulkan dengan cara wawancara indepth
interview terhadap para pihak (stakeholders). Identifikasi dan pemilihan para
pihak sebagai responden ditetapkan secara bersengaja (purposive sampling) yakni
mereka yang dipandang memiliki keterkaitan langsung dan tidak langsung dengan
pengembangan penangkaran buaya di Provinsi Papua baik dari unsur pengelola,
masyarakat maupun pemerintah.
33

Kelompok responden tersebut meliputi: masyarakat plasma (plasma


penangkap dan plasma pengumpul), pengelola unit penangkaran buaya muara
(animal keeper dan koordinator lapang) dan masyarakat sekitar lokasi
penangkaran (berdasar jarak tiap 300 m dari lokasi penangkaran yaitu jarak 300 m
dan jarak 600 m). Selain itu juga dari pihak pengambil kebijakan terkait aturan
mengenai pelaksanaan penangkaran di Provinsi Papua yakni Dinas Kehutanan dan
Konservasi (Dishutkon) Propinsi, BBKSDA Papua sebagai unit pelaksana teknis
(UPT) Direktorat Jenderal Pelestarian Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen
PHKA), Sub Diretorat Penangkaran Jenis Ditjen PHKA, Dinas Kelautan dan
Perikanan (DKP) Kota Jayapura, Asosiasi Pengusaha dan Penangkar Buaya
Indonesia (APPBI) dan pemerhati konservasi buaya.
Substansi pertanyaan disusun didalam daftar panduan wawancara dalam
kerangka pemikiran pemanfaatan lestari buaya dan menciptakan kesejahteraan
masyarakat guna peningkatan keberhasilan dan keberlanjutan penangkaran buaya
dengan pola pembesaran. Adapun pertanyaan tersebut dibawah ini:
a. Pelaksanaan pengawasan penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran
buaya di Provinsi Papua
b. Kerja sama dan koordinasi antar para pihak terkait penangkaran buaya dan
pemanfaatannya.
c. Pembinaan usaha penangkaran dan kesadaran konservasi masyarakat.
d. Bentuk pengelolaan penangkaran yang berpihak kepada kepentingan
masyarakat dan kelestariannya di alam.
e. Persepsi pada pengelolaan penangkaran dengan pola pembesaran bagi
kelestarian populasi buaya di alam,
f. Harapan masyarakat untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan dari potensi
buaya yang lestari berdampingan dengan tujuan konservasi buaya.

4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data

4.3.1. Penguasaan Pengetahuan dan Penerapan Teknis Pengelolaan Penang-


karan

Data dan informasi yang telah dikumpulkan terkait dengan penguasaan dan
penerapan teknis penangkaran dianalisis secara deskripsi kualitatif dengan
34

mengacu pada landasan teori dan model praktek penangkaran buaya dan satwa liar
pada umumnya. Hasil analisis diuraikan secara sistematis disertai dengan gambar
dan tabel untuk menunjukkan gambaran tingkat penguasaan pengetahuan dan
praktek teknologi penangkaran buaya yang dilakukan di unit usaha penangkaran.
Uraian ini selanjutnya juga menjadi patokan tentang kondisi umum penguasaan
pengetahuan dan praktek penangkaran buaya muara di Propinsi Papua.
Kelengkapan gambaran praktek penangkaran yang dilakukan, juga
dilakukan analisis terhadap beberapa peubah penting seperti strukur populasi
menurut kelas umur di penangkaran, tingkat mortalitas kasar, kepadatan populasi
dan kecepatan pertumbuhan badan buaya di penangkaran. Analisis yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
a) Struktur populasi menurut kelas ukuran buaya
Seluruh individu buaya muara dalam penangkaran dikelompokkan ke
dalam kelas umur. Kelas-kelas umur ini membantu analisis dan perhitungan
dalam pengolahan data untuk menyusun struktur umur. Pengelompokkan
kelas umur buaya tangkar mengacu pada Keputusan Dirjen PHPA Nomor:
93/Kpts/DJ-VI/96, yaitu berdasarkan ukuran panjang badan meliputi: (1)
anakan (panjang badan <50 cm), (2) remaja (panjang badan 50-<100 cm), (3)
dewasa muda (panjang badan 100-200 cm), dan (4) dewasa (panjang badan
>200 cm).

b) Kematian buaya
Angka kematian dihitung menggunakan data jumlah total individu yang
mati dari semua sebab dengan total populasi selama satu periode tertentu
dengan formula :
Keterangan :
d = angka kematian
D
D = jumlah individu yang mati d 
N = jumlah seluruh anggota populasi N

c) Kepadatan populasi
Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu per
luas unit kandang pada tiap unit usaha penangkaran. Adapun rumus yang
digunakan adalah :
35

Keterangan : =
P = Populasi buaya (ekor); dan A = Luas areal pengamatan kandang (m²)
D = Daya dukung per luasan kandang

d) Kecepatan pertumbuhan buaya muara di penangkaran


Umur panen buaya yakni mulai dari anakan hingga mencapai usia panen
ekonomis distandarkan antara 3-4 tahun masa pemeliharaan, dengan ukuran
lingkar dada 30-46 cm atau rata-rata 37.8 cm dan panjang tubuh minimum
150 cm. Untuk menghitung rata-rata kecepatan pertumbuhan buaya muara di
unit penangkaran digunakan data time series periode tahun 2009-2012.

4.3.2. Tingkat Keberhasilan Penangkaran


Kecepatan pertumbuhan buaya mencapai ukuran badan komersial untuk
masa pembesaran ekonomis merupakan keberhasilan kegiatan pembesaran dalam
penangkaran. Kondisi ini dapat dicapai karena adanya kemampuan teknis dalam
pengelolaan penangkaran serta dukungan sosial atas kehadiran unit usaha
penangkaran buaya terutama dari lingkungan sekitar lokasi unit usaha
penangkaran. Oleh karena itu tingkat keberhasilan penangkaran dinilai
berdasarkan susunan kriteria dan indikator dibangun berdasarkan acuan standar
kualifikasi penangkaran, kriteria keberhasilan pengembangan komoditi
penangkaran dan pedoman audit penangkaran reptil (Dephut 2006; Alikodra
2010; Kemenhut 2011).
Adapun tahapan kerja yang dilakukan dalam rangka penilaian tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data penilaian keberhasilan penangkaran:
Kegiatan pengolahan dan analisa data dilakukan pada beberapa tahapan:
a. Tahapan persiapan yaitu memeriksa kelengkapan daftar pertanyaan
sebagai instrumen pelaksanaan kegiatan dan memeriksa data yang
diperoleh dari dokumen pelaporan serta pemeriksaan kondisi fisik obyek
pemeriksaan di penangkaran.
b. Tahap tabulasi yaitu mengelompokkan data dalam tabel frekuensi guna
mempermudah dalam menganalisa data. Kegiatan ini berupa: (1)
pemeriksaan data terkait kelengkapan kriteria teknis kegiatan penangkaran
36

dalam menunjang kecepatan pertumbuhan buaya (teknik pengelolaan dan


sarana prasarana fisik penangkaran), (2) pemeriksaan data kondisi biologis
dalam penilaian kriteria biologis, (3) pemeriksaan data terkait dukungan
lingkungan atas kehadiran unit usaha penangkaran dalam kriteria sosial.
c. Tahapan analisa data yaitu melakukan analisis data yang digunakan berupa
analisa data kualitatif dan kuantitatif deskriptif dengan menggunakan
teknik tabulasi dan menyajikan hasil analisis berupa deskriptif. Tujuannya
untuk memberikan deskripsi mengenai keberhasilan kegiatan pembesaran
berdasarkan data dari kriteria dan indikator penilaian.

2. Penetapan kriteria dan indikator penilaian keberhasilan penangkaran:


Penilaian keberhasilan kegiatan penangkaran ini terbagi pada dua prinsip
yaitu keberhasilan kegiatan pembesaran buaya dalam penangkaran dan prinsip
penilaian keberhasilan pengembangan pengelolaan penangkaran buaya. Masing-
masing prinsip ini memiliki kritera penilaian yaitu ada empat kriteria yang
memiliki indikator penilaian beserta parameter penilaian yang dibangun
menggunakan acuan dari peraturan-peraturan, pedoman dan dokumen terkait
pengelolaan penangkaran buaya muara dan standar kualifikasi penangkaran. Tiap
kriteria memiliki indikator penilaian yang dibangun oleh pengukur yang
menunjukkan suatu kondisi diinginkan dari suatu indikator dengan pemberian
skoring mulai dari angka terbesar (nilai 5) dan sebagai kondisi tidak diinginkan
hingga angka terkecil (nilai 1).
Pada penilaian prinsip pertama yakni keberhasilan kegiatan pembesaran
buaya, keriteria penilaian tertuju pada kemampuan mempercepat pertumbuhan
buaya mencapai ukuran badan komersial pada umur potong ekonomis. Kriteria
penilaian tersebut adalah kriteria teknis yang mendukung pelaksanaan kegiatan
untuk mempercepat pertumbuhan buaya dan kriteria biologis. Untuk penilaian
prinsip kedua yakni keberhasilan pengembangan pengelolaan penangkaran buaya
dinilai dari kriteria sarana prasarana dan kriteria sosial.
Tiap kriteria memiliki indikator penilaian, dan diberi pembobotan yang
kemudian disebut sebagai bobot indikator. Penetapan bobot indikator sebagai
angka yang diberikan untuk tiap indikator penilaian didasarkan pada tingkat
kepentingannya didalam menentukan keberhasilan penangkaran buaya muara.
37

Indikator merupakan atribut kuantitatif dan kualitatif dan atau deskriptif


yang apabila diukur atau dipantau secara periodik menunjukkan arah perubahan.
Bobot indikator pada kriteria paling penting yaitu kriteria biologis mendapat
bobot paling tinggi, hingga pada bobot indikator pada kriteria sosial. Tiap
indikator diberikan penilaian atas skoring yang telah dibangun. Skoring
merupakan nilai yang diberikan untuk masing-masing indikator penilaian
berdasarkan tingkat kelengkapan dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh unit
usaha penangkaran buaya. Pemberian nilai skoring terdiri atas penilaian angka
atas kesesuaian persyaratan yang dipenuhi dalam tiap indikator penilaian
(Kemenhut 2011). Bobot dan skoring pada penilaian tingkat keberhasilan
penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Penilaian tingkat keberhasilan penangkaran buaya muara dengan pola pembe-
besaran di Provinsi Papua

No Indikator Bo- Pengukur Skor


bot
Kriteria Teknis
1. Indikator 1. 0.17 a. Menangkap anakan buaya pada zone 5
Manajemen tangkap pada ukuran panjang badan 50-
penangkapan anakan 80 cm, pengelolaan di penampungan
buaya untuk keperluan terlaksana baik
pembesaran di b. Menangkap anakan buaya pada zone 4
penangkaran tangkap pada ukuran panjang badan 50-
(penangkapan anakan, 80 cm, pengelolaan di penampungan
pengelolaan di tidak terlaksana dengan baik
penampungan plasma, c. Menangkap anakan buaya pada zone 3
pengiriman ke tangkap pada ukuran panjang badan <50
penangkaran inti) cm, pengelolaan di penampungan
terlaksana baik
d. Menangkap anakan buaya pada zone 2
tangkap pada ukuran panjang badan >80
cm, pengelolaan di penampungan
terlaksana baik
e. Menangkap anakan buaya pada zone 1
tangkap pada ukuran panjang badan <50
cm, pengelolaan di penampungan tidak
terlaksana dengan baik
2. Indikator 2. 0.13 a. Pakan memenuhi prinsip kecukupan, 5
Pengelolaan pakan keberlanjutan, ekonomis
b. Pakan memenuhi 2 persyaratan prinsip 4
pakan
c. Pakan memenuhi 1 persyaratan prinsip 3
pakan
d. Pakan tidak memenuhi semua persya- 2
ratan prinsip pakan
e. Tidak ada pilihan 1
38

Tabel 4 Lanjutan
No Indikator Bo- Pengukur Skor
bot
3. Indikator 3. 0.10 a. Melaksanakan pemeriksaan kesehatan 5
Pengelolaan kesehatan pada awal masuk penangkaran dan
berkala selama pembesaran dan
pembersihan kandang kontinu
b. Melaksanakan pemeriksaan kesehatan 4
awal masuk penangkaran tetapi tidak
melakukan pemeriksaan berkala selama
pembesaran, melakukan pembersihan
kandang
c. Tidak melaksanakan pemeriksaan kese- 3
hatan awal masuk penangkaran, tetapi
melakukan pembersihan kandang
d. Tidak pengelolaan kandang masa 2
pembesaran
e. Tidak ada pilihan 1
Kriteria Biologis
4. Indikator 4. 0.15 a. Tingkat kematian buaya <10 % 5
Tingkat prosentase b. Tingkat kematian buaya 10-<30 % 4
kematian dari anakan c. Tingkat kematian buaya 30-<40 % 3
hingga umur panen d. Tingkat kematian buaya 40–50 % 2
(data time series tiga e. Tingkat kematian buaya >50% 1
tahun)
5. Indikator 5. 0.13 a. Masa pembesaran anakan 3-4 tahun 5
Lama pemeliharaan b. Masa pembesaran anakan 4-5 tahun 4
/pembesaran dari c. Masa pembesaran anakan 5-6 tahun 3
anakan hingga umur d. Masa pembesaran anakan 6-7 tahun 2
panen (data time e. Masa pembesaran anakan >7 tahun 1
series tiga tahun)
6. Indikator 6. 0.12 a. Jumlah buaya yang dipanen 100% 5
Ukuran Panjang berukuran panjang badan rata-rata buaya
badan buaya dan lebar > 200 cm atau lebar kulit rata-rata 37.8
kulit pada usia panen cm 4
(data time series tiga b. Jumlah buaya yang dipanen 80%
tahun) berukuran panjang badan rata-rata buaya
>200 cm atau lebar kulit rata-rata 37.8
cm 3
c. Jumlah buaya yang dipanen 100%
berukuran panjang badan rata-rata buaya
100-200 cm atau lebar kulit rata-rata
37.8 cm
d. Jumlah buaya yang dipanen 80% 2
berukuran panjang badan rata-rata buaya
100-200 cm atau lebar kulit rata-rata
37.8 cm
e. Jumlah buaya yang dipanen <80% 1
berukuran panjang rata-rata buaya <101
cm atau lebar kulit rata-rata
perekor/tahun 30-35 cm
39

Tabel 4 Lanjutan
No Indikator Bo- Pengukur Skor
bot
Kriteria Sarana Prasarana
7 Indikator 7. 0.07 a. Memiliki kelayakan komponen utama 5
Kelayakan sarana infrastruktur kandang (kandang karan-
prasarana tina, kandang pembesaran pada tiap
kelompok ukuran panjang badan, dan
kandang isolasi)
b. Hanya memiliki kandang karantina dan 4
kandang pembesaran pada tiap ke-
lompok ukuran panjang badan tetapi
belum memenuhi persyaratan ukuran 3
panjang badan.
c. Hanya memiliki kandang pembesaran 2
untuk anakan dan dewasa
d. Hanya memiliki satu kandang tanpa ada 1
kandang pemisahan antar KU
e. Tidak ada pilihan
8 Indikator 8. 0.07 a. Memiliki semua persyaratan keterse- 5
Ketersediaan tenaga diaan tenaga inti (tenaga ahli, tenaga
inti penangkaran teknis dan administrasi)
b. Hanya memiliki tenaga teknis dan 4
tenaga administrasi
c. Hanya memiliki tenaga teknis 3
d. Tidak ada tenaga inti 2
e. Tidak ada jawaban 1
9 Indikator 9. 0.04 a. Semua kandang ditandai, spesimen 5
Penandaan dan tangkar ditandai, memiliki kelengkapan
pelaporan isi buku induk/harian sesuai fisik
penangkaran, & melaksanakan pela-
poran scr lengkap
b. Tidak semua kandang ditandai, sebagian 4
isi buku induk/harian sesuai fisik
penangkaran, & hanya memenuhi salah
satu bentuk laporan.
c. Hanya memenuhi kewajiban pembuatan 3
laporan
d. Hanya memenuhi sebagian dari 2
kewajiban pembuatan laporan
e. Tidak melaksanakan penandaan, buku 1
harian/buku induk dan semua pelaporan
tidak dilaksanakan.
Kriteria Sosial/lingkungan
10 Indikator 10. 0.06 a. Memiliki >50 % serapan tenaga kerja 5
Prosentase serapan masyarakat lokal
tenaga kerja dari b. Memiliki 40-50 % serapan tenaga kerja 4
masyarakat sekitar masyarakat lokal
lokasi penangkaran c. Memiliki 20-30 % serapan tenaga kerja 3
(data time series 3 masyarakat lokal
tahun) d. Hanya 10% serapan tenaga kerja 2
masyarakat lokal
e. Tidak memiliki serapan tenaga kerja 1
masyarakat lokal
40

Tabel 4 Lanjutan

No Indikator Bo- Pengukur Skor


bot
11 Indikator 11. 0.04 a. Masyarakat sangat mendukung dan 5
Dukungan lingkungan berpartisipasi aktif menjaga keamanan.
pada penangkaran b. Masyarakat mendukung dan berparti- 4
berupa dukungan sipasi aktif menjaga keamanan.
keamanan lingkungan c. Masyarakat kurang mendukung dan 3
unit usaha penangkaran berpartisipasi aktif menjaga keamanan.
(data time series 3 tahun) d. Masyarakat tidak mendukung dan 2
berpartisipasi aktif menjaga keamanan.
e. Masyarakat sangat tidak mendukung 1
dan berpartisipasi aktif menjaga
keamanan.
12 Indikator 12. 0.02 a. Terbukanya >10 usaha baru sekitar 5
Prosentase terbukanya lokasi unit usaha penangkaran
lapangan kerja di b. Terbukanya 8–10 usaha baru sekitar 4
lingkungan sekitar lokasi unit usaha penangkaran
lokasi penangkaran c. Terbukanya 5- 8 usaha baru sekitar lokasi 3
(time series) unit usaha penangkaran
d. Terbukanya <5 usaha baru sekitar lokasi 2
unit usaha penangkaran
e. Tidak ada usaha baru yang tumbuh di 1
sekitar lokasi unit usaha penangkaran

3. Perhitungan penilaian tingkat keberhasilan penangkaran:


Penilaian keberhasilan penangkaran buaya muara pola pembesaran
menggunakan perhitungan indeks keberhasilan kegiatan pembesaran buaya.
Indeks keberhasilan penangkaran menggunakan penilaian berdasarkan bobot dan
skoring kepentingan dengan membandingkan penilaian pada beda kondisi yakni
kondisi pengelolaan penangkaran maksimum dan kondisi pengelolaan
penangkaran yang saat penilaian.
Adapun langkah-langkah penilaiannya sebagai berikut:
1. Memberikan penilaian berdasarkan kondisi aktual pengelolaan penangkaran
berdasarkan skor tingkat pemenuhan persyaratan setiap indikator. Tingkat
pemenuhan persyaratan ini sebagai parameter penilaian. Ada lima pengukur
tiap indikator yakni pengukur dengan tingkat pemenuhan kelengkapan dan
persyaratan sangat lengkap atau baik diberi skoring angka 5, pengukur
dengan tingkat pemenuhan kelengkapan dan persyaratan lengkap skoringnya
angka 4, pengukur dengan tingkat pemenuhan kelengkapan dan persyaratan
cukup lengkap skoringnya angka 3, pengukur dengan tingkat pemenuhan
41

kelengkapan dan persyaratan kurang lengkap skoringnya angka 2, dan


skoring paling rendah yakni pengukur dengan tingkat pemenuhan
kelengkapan dan persyaratan sangat kurang lengkap skoringnya angka 1.
2. Penetapan skoring pada langkah 1, di hitung dengan bobot indikator menjadi
penilaian bobot dikalikan dengan skor untuk tiap indikator. Ada 3 (tiga)
penilaian bobot indikator pada tiap kriteria.
3. Total bobot pada penilaian keberhasilan adalah 1 (satu) yang dibagikan
dengan jumlah responden yang terlibat dalam penilaian untuk mendapatkan
rata-rata penilaian indeks keberhasilan.
4. Untuk mendapatkan kategori keberhasilan maka indeks keberhasilan pada
langkah 4 dibuat nilai prosentase dengan mengalikannya dengan 100%.
Prosentase tersebut kemudian disesuaikan berdasarkan kelompok prosentase
keberhasilan yang telah dibuat. Adapun kategori tersebut adalah yaitu: (1)
Baik (huruf A) apabila Indeks Keberhasilan Penangkaran (IKP) 80-100%,
(2), Cukup (huruf B) apabila IKP 60-80%, (3) Kurang (huruf C) apabila IKP
<60%. Kategori keberhasilan penangkaran pada kategori keberhasilan “Baik
dan Cukup”, bahwa penangkaran tersebut dianggap sudah berhasil melakukan
pengelolaan penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran dan sudah
dapat memanfaatkan hasil penangkarannya. Untuk Kategori keberhasilan
penangkaran pada kategori keberhasilan “Kurang” maka penangkaran
tersebut dianggap belum dapat melaksanakan pengelolaan penangkaran buaya
muara dengan pola pembesaran. Artinya penangkaran belum berhasil dan
belum dapat memanfaatkan hasil penangkaran.
5. Formula yang digunakan dalam penilaian keberhasilan pembesaran adalah :

∑(Bi x Si)
Indeks KPP =
n
Keterangan :
Indeks KPP : Indeks Keberhasilan Penangkaran Pembesaran
Spi : Skor yang dicapai pada indikator ke-i
Bi : Bobot indikator ke-i
n : Jumlah responden
42

4.3.3. Dukungan Parapihak bagi Keberhasilan dan Keberlanjutan Penang-


karan Buaya Muara dengan Pola Pembesaran

Data dan informasi yang terkumpul berdasarkan hasil wawancara dianalisis


secara deskriptif kualitatif pada dukungan parapihak berdasarkan persepsi yang
terbangun dalam kerangka pemikiran pemanfaatan lestari buaya dan menciptakan
kesejahteraan masyarakat guna peningkatan keberhasilan dan keberlanjutan
penangkaran buaya dengan pola pembesaran.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Deskripsi Implementasi Teknik Penangkaran Buaya Muara dengan


Pola Pembesaran

Kebijakan pengembangan penangkaran buaya muara pola pembesaran di


Propinsi Papua dilakukan dengan pola Penangkaran Inti Rakyat (PIR). Sistem PIR
pada penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran mulai dioperasikan
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDH (Kepala Daerah) Tingkat I Irian
Jaya Nomor: 66 tahun 1987 tentang Penerapan Pola Perusahaan Inti Rakyat
Penangkaran Buaya (PIR) di wilayah Provinsi Irian Jaya (sekarang Papua).
Manajemen sistem PIR penangkaran buaya terdiri dari dua unit pengelola yakni
penangkaran inti dan penangkaran plasma. Plasma terdiri dari dua unsur yakni
plasma penangkap dan plasma pengumpul. Plasma penangkap berperan didalam
kegiatan penangkapan anakan buaya dari alam dan memelihara dalam beberapa
waktu, sedangkan plasma pengumpul berperan di dalam pengumpulan dan
pemeliharaan anak buaya hasil tangkapan plasma penangkap selanjutnya diangkut
ke penangkaran inti.
Plasma merupakan anggota masyarakat berupa usaha perorangan ataupun
kelompok yang memiliki keterbatasan modal, berperan didalam kegiatan
penangkapan dan pengumpulan anakan buaya di daerah-daerah yang berdekatan
dengan wilayah penangkapan. Hasil tangkapan anakan buaya tersebut diangkut ke
penangkaran inti untuk proses pembesaran hingga mencapai usia potong
ekonomis sesuai ketentuan yang berlaku. Adapun penangkaran inti adalah
pengusaha yang memiliki kemampuan modal, teknologi dan manajemen
penangkaran, bertugas didalam membeli dan/atau menampung serta membesarkan
anakan buaya yang berasal dari plasma hingga mencapai usia potong ekonomis
sesuai ketentuan yang berlaku. Selain itu penangkaran inti juga bertugas
memberikan bantuan bimbingan teknis dan permodalan kepada plasma.
Kebijakan pola PIR ini dikembangkan sebagai upaya untuk memperkuat
kerjasama antara pengusaha dan masyarakat dengan tujuan membantu
peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sekaligus membina
44

masyarakat agar ikut berperan dalam usaha melestarikan buaya di alam sebagai
sumber pendapatannya (Hardjanto & Masy’ud 1991; CV BM 2009; PT LC 2012).
Berdasarkan sistem PIR tersebut, maka keberhasilan pengembangan penangkaran
buaya di Provisni Papua pada prinsipnya ditentukan oleh praktek teknologi
penangkaran yang dilakukan baik di tingkat plasma maupun inti.
Berdasarkan hasil penelitian lapang diketahui adanya perbedaan penguasaan
pengetahuan dan keterampilan yang ditunjukkan dalam praktek teknis
penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran yang dilakukan oleh masing-
masing unsur baik plasma maupun inti. Penelitian praktek pengelolaan
penangkarang buaya muara dengan pola pembesaran merupakan studi kasus yang
dilakukan dengan sistem PIR oleh CV Bintang Mas pada praktek teknologi
penangkaran di tingkat plasma dan inti.

5.1.1. Praktek Teknik Penangkaran di Tingkat Plasma

Sesuai perannya, ada tiga hal prinsip sebagai tahapan kegiatan utama yang
dilakukan oleh plasma, yakni (a) penangkapan anakan buaya dari alam, (b)
pemeliharaan selama masa penampungan sebelum dikirim ke penangkaran inti,
dan (c) pengiriman (teknis pengepakan dan angkutan/transporasi) anakan buaya
ke penangkaran inti.

a. Penangkapan/Pengumpulan Anakan Buaya dari Alam


Penangkapan anakan buaya untuk keperluan penangkaran dilakukan oleh
anggota plasma penangkap yakni anggota masyarakat baik secara individual
maupun kelompok. Ada dua aspek penting yang terkait dengan penangkapan
anakan buaya untuk penangkaran yakni (1) persyaratan ukuran dan jumlah anakan
buaya yang ditangkap serta wilayah penangkapan, dan (2) metode/teknik
penangkapan.

1. Persyaratan ukuran dan jumlah anakan buaya muara yang ditangkap

Berdasarkan ketentuan tentang ijin penangkapan anakan buaya untuk


penangkaran pola pembesaran, maka persyaratan ukuran panjang badan anakan
buaya yang diijinkan untuk ditangkap adalah <80 cm. Jumlah kuota tangkap dan
wilayah penangkapan juga telah diatur sesuai ketetapan Kementerian Kehutanan
45

Cq Direktorat Jenderal PHKA yang secara teknis operasional dibawah koordinasi


Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Papua dan disesuaikan dengan
rekomendasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Hasil penelitian diketahui, bahwa ijin wilayah tangkap yang diberikan
kepada CV Bintang Mas sebagai penangkar inti adalah di daerah Dabra sebagai
salah satu habitat utama buaya di zona Memberamo. Penetapan daerah ini
didasarkan pada pertimbangan sebagai salah satu kantong populasi buaya sesuai
hasil survei populasi yang dilakukan secara berulang oleh BKSDA Papua dan
juga rekomenadasi LIPI (BBKSDA 2012). Pertimbangan penetapan menjadi
daerah penangkapan anakan buaya bila daerah potensial buaya tersebut
merupakan daerah rawan banjir, air pasang maupun predator (Dephut 2006).
Bolton (1989) menyatakan pertimbangan masyarakat penangkar lokal di Papua
New Guinea (PNG) dan Australia dalam penetapan daerah tangkapan buaya yaitu
jarak lokasi penangkapan dengan lokasi penangkaran. Jarak tersebut harus relatif
dekat agar memudahkan transportasi dan menjamin kenyamanan selama masa
transportasi dari lokasi tangkap ke penangkaran inti, meskipun dengan fasilitas
yang minim.
Dabra ditetapkan menjadi wilayah yang diijinkan melakukan kegiatan
penangkapan anakan buaya muara untuk keperluan penangkaran buaya CV BM.
Jayapura sebagai lokasi penangkaran inti dengan lokasi penangkapan anakan
buaya di Dabra jaraknya cukup jauh, namun karena Dabra berada dalam zona
Mamberamo yang berdasarkan survei diketahui sebagai daerah kantong populasi
buaya maka inilah yang menjadikannya ditetapkan sebagai wilayah tangkap
buaya. Frazier (1988) dan Kurniati et al.(1999) menyatakan populasi buaya muara
terbanyak dijumpai di beberapa sekitar sungai pasang surut di zone Kepala
Burung dan zone Merauke yakni di pulau Kimaam. Artinya perlu ada kajian
kembali penetapan penangkapan anakan buaya muara di zone Mamberamo bila
dilakukan untuk jangka waktu panjang.
Berdasarkan ketentuan ukuran panjang badan anakan buaya muara yang
ditangkap, hasil wawancara dan data lapang menunjukkan bahwa umumnya
ukuran panjang badan anakan buaya muara yang ditangkap oleh plasma
penangkap berkisar pada ukuran 50-100 cm, dengan jumlah terbesar berukuran
46

panjang badan >80 cm. Hal ini berarti bahwa secara umum praktek penangkapan
anakan buaya untuk penangkaran pola pembesaran menyalahi ketentuan tentang
persyaratan ukuran panjang badan anakan buaya muara tangkapan yang diijinkan.
Ada dua faktor yang diduga sebagai penyebab dari praktek penangkapan
anakan buaya yang menyimpang dari ketentuan ijin ukuran badan yang ditetapkan
tersebut, yakni: (1) ketidakpahaman penangkap tentang prinsip ketentuan tersebut
dan dampaknya terhadap perkembangan kondisi populasi buaya di alam, dan (2)
rangsangan memperoleh hasil penjualan anakan buaya yang besarnya nilai jualnya
dihitung harganya berdasarkan ukuran panjang badan buaya yakni Rp5 000.00/cm
(Marcelino Maniagasi, 23 September 2012, komunikasi pribadi). Artinya
kemungkinan tindakan ini karena adanya asumsi bahwa makin panjang badan
anakan buaya yang ditangkap maka pendapatan yang diperoleh makin lebih besar.
Adapun jumlah anakan buaya yang diijinkan untuk ditangkap didasarkan
pada penetapan kuota tangkap yang diberikan oleh pemerintah cq Ditjen PHKA
dengan daerah tangkap diijinkan khusus di Papua. Dalam prakteknya, ketentuan
penetapan kuota tangkap tersebut diterima dan diterjemahkan oleh penangkar inti
sebagai pemegang ijin tangkap dan dilaksanakan oleh anggota plasma (penangkap
dan pengumpul). Hasil wawancara lapang dengan anggota plasma diketahui
bahwa kemampuan setiap plasma di dalam penangkapan anakan buaya muara
masih terbatas sebanyak 2-3 ekor per hari. Dengan kemampuan jumlah tangkapan
tersebut, ternyata berdampak pada kecenderungan tidak tercapainya jumlah kuota
tangkap yang ditetapkan.

b. Metode/Teknik Penangkapan

Hasil wawancara dan penelaahan laporan tentang kegiatan penangkapan


buaya yang dilakukan masyarakat umumnya di Papua, diketahui bahwa metode
/teknik penangkapan anakan buaya yang dilakukan oleh anggota plasma masih
sederhana (tradisional). Alat yang digunakan berupa tongkat panjang yang
ujungnya diberi alat seperti penjepit dan beberapa tongkat panjang sebagai
penahan tangkapan (Gambar 4) serta jaring-jaring tangkap seperti jala-jala
penangkap serangga atau “serok” untuk menciduk anakan buaya yang berukuran
kecil (bayi buaya) (BBKSDA 2009b).
47

Sumber : Dokumentasi BBKSDA Papua 2009 Sumber: Dokumentasi BBKSDA Papua 2009
Gambar 4 Alat tradisional penangkapan anakan buaya muara oleh plasma
penangkap.

Kegiatan penangkapan anakan buaya muara dilakukan pada malam hari


menggunakan sarana angkutan air berupa perahu dayung berukuran kecil.
Pencahayaan yang digunakan untuk kegiatan penangkapan yakni dengan obor
atau senter yang memudahkan penangkapan anakan buaya (BBKSDA 2009a).
Menurut Bolton (1989), pada malam hari anakan buaya berada di pinggiran
daerah air atau sedang berendam akan bergerak mendekati cahaya karena tertarik
pada sumber cahaya (senter atau obor) sehingga memudahkan penangkapannya.
Perahu dayung ukuran kecil dan tanpa mesin menjadi pembatas sebagai sarana
angkut pengumpulan anakan dalam jumlah diluar kapasitas perahu, juga
berdampak bagi mengurangi kepanikan yang dapat menimbulkan strees pada saat
kegiatan penangkapan anakan buaya bagi yang berhasil ditangkap maupun lolos.
Ditinjau dari kemampuan penangkapan, sebenarnya kegiatan penangkapan
buaya oleh masyarakat anggota plasma tersebut sudah dilakukan sejak lama
sebagai kegiatan berburu buaya untuk diambil kulit dan dagingnya sebagai
sumber protein hewani (Kurniati 2008). Artinya secara umum anggota plasma
sudah memiliki keterampilan tradisional di dalam kegiatan penangkapan buaya.
Teknik penangkapan tradisional tersebut mempunyai peluang terjadinya dampak
negatif pada anakan buaya tangkapan berupa luka bahkan kematian. Sebab resiko
terjadinya luka bahkan kematian anakan buaya muara yang ditangkap dari segi
kepentingan penangkaran dapat dikatakan kurang aman, selain itu juga dari segi
peluang mendapatkan anakan buaya yang ukuran badannya sesuai ketentuan agak
sulit dipenuhi dari penggunaan alat tradisional seperti yang biasa digunaka.
Bolton (1989) menyatakan masyarakat lokal di Papua New Guinea biasa
48

menggiring anakan buaya ke arah jaring-jaring yang telah dipasang pada daerah
yang bebas cabang atau ranting tumbuhan agar jaring tidak rusak karena terkait
cabang juga tidak menimbulkan luka bagi anakan buaya yang ditangkap.
Berdasarkan uraian tentang praktek penangkapan anakan buaya untuk
penangkaran tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penguasaan teknis
penangkapan dan kepatuhan terhadap peraturan tentang persyaratan ukuran badan
anakan buaya yang boleh ditangkap oleh plasma masih rendah dan dilakukan
secara tradisional. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa
praktek penangkapan anakan buaya muara di Papua cenderung menyalahi
ketentuan yang berlaku tentang persyaratan ukuran badan anakan buaya yang
diijinkan untuk ditangkap yakni <80 cm, dan teknik penangkapannya berpeluang
terjadinya luka dan kematian pada anakan buaya tangkapan.

c. Teknik Pemeliharaan Anakan Buaya di Kolam Penampungan Plasma

Hasil pengamatan lapang dan wawancara dengan plasma diketahui bahwa


secara umum teknik pemeliharaan anakan buaya muara di tingkat plasma
(penangkap dan pengumpul) masih sangat sederhana dan dapat dikategorikan
kurang baik. Hal ini terlihat dari belum diterapkannya secara maksimal prinsip-
prinsip kesejahteraan satwa (animal walfare) pada pengelolaan penangkaran
anakan buaya selama dalam penampungan di tingkat plasma yaitu aspek
perkandangan/kolam sebagai habitat tempat hidup, penyediaan pakan dan
kesehatan. Kolam pemeliharaan di tingkat plasma disajikan pada Gambar 5.

(a) Kolam/kandang di plasma penangkap (b) Kolam/kandang di plasma pengumpul


(Sumber:DokumentasiBBKSDAPapua, 2009) (Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2012)

Gambar 5 Kandang/kolam penampungan anakan buaya muara di tingkat plasma.


49

Perbedaan kondisi pengelolaan pada kandang anakan buaya muara di


tingkat plasma (penangkap dan pengumpul) disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Kondisi kandang anakan buaya muara di tingkat plasma

Perlengakapan
Jenis
No. Kandang/Ukuran
Vegetasi /
kolamkolam p x Kondisi Daratan Kondisi Air
naungan
l x t (m)
I. Kandang penampungan di plasma penangkap
1. Kandang 2x4x Tidak ada (lumpur) √
Sementara 1.5
II. Kandang penampungan di plasma pengumpul
1 Kandang 3 x 4 x 3 - Teras berlantai semen - Berupa kolam beisi √
Tahap Awal setinggi 0.5 m dari dasar air setinggi ±0.25 m
daerah berair dari dasar daerah
- Pemisahan antara bagian berair
kering dan berair berupa - Ukuran daerah berair
lantai makin landai ke 4 m x 1 m x 0.25 m
arah bagian berair - Dilakukan penggantian
- Ukuran teras 4 m x 2 m x air sebanyak 3 kali per
0.5 m minggu

2 Kandang 4 x 5 x 3 - Teras berlantai semen - Berupa kolam beisi √


Tahap setinggi 0.5 m dari dasar air setinggi ±0.50 m
Lanjutan daerah berair dari dasar daerah
- Pemisahan antara bagian berair
kering dan berair berupa - Ukuran daerah berair
lantai makin landai ke 5 m x 2 m x 0.50 m
arah bagian berair - Dilakukan penggantian
- Ukuran teras 5 m x 2 m x air sebanyak 3 kali per
0.75 m minggu

3 Kandang 4 x 5 x 3 - Teras berlantai semen - Berupa kolam beisi √


Tahap Akhir setinggi 0.75 m dari air setinggi ±0.50 m
dasar daerah berair dari dasar daerah
- Pemisahan antara bagian berair
kering dan berair berupa - Ukuran daerah berair
lantai makin landai ke 5 m x 2 m x 0.50 m
arah bagian berair - Dilakukan penggantian
- Ukuran teras 5 m x 2 m x air sebanyak 3 kali per
0.75 m minggu

Sumber : Wawancara dan Pengamatan Fisik di tingkat Plasma Pengumpul.

Kapasitas tampung dan lama penampungan tiap kandang di tingkat plasma


disajikan pada Tabel 6.
50

Tabel 6 Kapasitas tampung dan lama waktu penampungan anakan buaya muara
di tingkat plasma

Kapasitas Lama
Jenis
No tampung Penam- Alasan Penempatan Keterangan
Kandang
(ekor) pungan
I. Kandang penampungan di plasma penangkap
1. Kandang 15 - 20 1 bulan Bersifat penampungan sementara Lokasi di
Sementa- sebelum dijual ke plasma pengumpul sekitar
ra daerah
penangkapan
II. Kandang penampungan di plasma pengumpul
1 Kandang3 0 - 40 1 bulan - Penampungan awal hingga siap - Bersifat
Tahap atau ditempatkan pada kolam lanjutan sementara
Awal < 1 bulan - Sebagai kandang karantina bagi anakan sebelum
buaya menyesuaikan dengan lingkungan dikirim ke
baru salah satunya jika terlihat tenang penangkaran
(maksimal 3 hari) sebagai aklimasi inti
2 Kandang 3 0 - 40 1 bulan - Penampungan lanjutan setelah kolam
Tahap awal
Lanjutan - Bila telah terdapat individu anakan baru
- Berdasarkan kelompok ukuran panjang
badan
3 Kandang 3 0 - 40 1 bulan - Penampungan tahap akhir sebelum
Tahap dikirim ke penangkaran inti
Akhir - Berdasarkan kelompok ukuran panjang
badan
Sumber : Wawancara dan Pengamatan Fisik di tingkat Plasma Pengumpul.

Hasil wawancara dan pengamatan lapang diketahui bahwa umumnya


anakan buaya yang ditangkap oleh plasma penangkap terlebih dahulu ditampung
di kolam sementara sampai jumlah tertentu sesuai kapasitas kolam, kemudian
dijual ke plasma pengumpul, dan selanjutnya dibawa ke penangkaran inti (CV
BM) di Jayapura. Pemeliharaan anakan buaya oleh plasma penangkap hanya
ditampung dalam suatu kolam sementara atau darurat berukuran 2 x 4 x 1.5 m3
berlantai lumpur, dengan jumlah anakan yang ditampung cukup banyak (15-20
ekor), tanpa pembedaan ukuran tubuh, sanitasi rendah, kondisi pakan seadanya.
Pengelolaan dilakukan sesuai pengalaman masyarakat tradisional, sehingga pada
kenyataannya sering terjadi kematian anakan dalam jumlah cukup banyak.
Kondisi pemeliharaan sementara di tingkat plasma penangkap seperti ini
berdampak lanjut pada kondisi buaya selama masa penampungan di plasma
pengumpul maupun perkembangan pembesarannya di penangkaran inti. Meskipun
demikian, kolam sederhana dengan lantai lumpur seperti itu menurut Bolton
(1989) dapat membantu anakan buaya menjaga suhu badannya, dan model kolam
51

sederhana ini juga telah dilakukan oleh masyarakat di Papua New Guinea. Bolton
(1989) bahkan juga menyatakan bahwa lumpur tersebut berfungsi membantu
proses pencernaan karena ternyata di dalam perut buaya dewasa diketahui ada
batu atau pasir. Kemungkinan di dalam lumpur juga akan terikut udang halus atau
hancuran bahan makanan untuk bayi atau anakan buaya. PT LC (2012) juga
menyatakan bahwa kolam alami berlumpur selain sederhana dan ekonomis juga
membantu proses pencernaan buaya.
Dibandingkan dengan pemeliharaan di tingkat plasma penangkap, maka
praktek pemeliharaan anakan buaya di tingkat plasma pengumpul dapat
dinyatakan relatif lebih baik, karena sudah ada pembedaan pada tiga unit
penggunaan kolam penampungan berdasarkan ukuran panjang badan anakan
buaya dan tujuan penyesuaian dari alam (Tabel 5 dan Tabel 6). Kandang
pemeliharaan di plasma pengumpul umumnya sudah berkonstruksi semi
permanen berupa tembok semen setinggi 2 m dan ditambahkan kawat pengaman
jaring-jaring setinggi 1 m. Fasilitas yang ada di dalam masing-masing kandang
berupa bagian berair seluas ⅓ dari luasan satu unit kolam penampungan, dan
sisanya sebagai daerah kering (teras) berbentuk datar dan melandai ke arah bagian
berair. Air di dalam kolam selalu diganti oleh petugas pengelola yang disesuaikan
dengan kondisi kekeruhannya (kotor). Ketinggian air di bagian berair disesuaikan
dengan ukuran panjang anakan buaya muara, sekaligus untuk memenuhi
kebutuhan perilaku berendam dan berjemur dari buaya.
Selama masa penampungan baik di tingkat plasma penangkap maupun
plasma pengumpul, pakan yang diberikan pada anakan buaya seperti yang
disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan pada anakan buaya muara di
tingkat plasma

No. Tingkat Frekuensi Pemberian


pengumpulan Jenis Pakan Pakan (kali/minggu)
1. Plasma Ikan kecil, burung atau crustaceae 1
Penangkap
2. Plasma 2
pengumpul
a. Kandang - Usus ayam, daging burung/ayam/ikan
tahap awal (ukuran ¼ lebar telapak tangan orang
dewasa).
52

Tabel 7 Lanjutan

No. Tingkat Frekuensi Pemberian


pengumpulan Jenis Pakan Pakan (kali/minggu)
b. Kandang - Daging burung/ayam dan ikan
tahap (ukuran ¼ lebar telapak tangan orang
lanjutan dewasa).
c. Kandang - Daging burung/ayam dan ikan
tahap akhir selebar ukuran ½ lebar telapak
tangan orang dewasa.

Sumber : Wawancara dan observasi lapang di tingkat Plasma Pengumpul.

Buaya sebagai pemakan daging (carnivora), pakan yang diberikan tersebut


dapat dinyatakan telah sesuai dengan kebiasaan (habit) buaya dan sistem
pencernaannya, namun jumlah pakan yang diberikan dilakukan dengan kira-kira
(perkiraan kasar) sehingga kemungkinan belum memenuhi kebutuhan minimum
per ekor buaya per hari. Frekuensi pemberian pakan pada anakan buaya di plasma
penangkap juga tidak teratur seperti halnya pemberian pakan pada kandang
penampungan di plasma pengumpul. Umumnya pakan yang diberikan di kandang
plasma penangkap diperoleh dari sekitar daerah tangkapan berupa ikan kecil,
burung dan udang-udangan sehingga sesuai dengan kebiasaan buaya di alam
dengan fekuensi pemberian satu kali per minggu. Berbeda dengan pemberian
pakan pada anakan buaya di kolam penampungan plasma pengumpul. Pakan yang
diberikan selain ikan-ikan kecil juga diberikan daging dan usus ayam dengan
frekuensi pemberian 2 kali per minggu. Pakan yang diberikan umumnya tidak
dalam keadaan segar, sehingga diduga berpengaruh terhadap tingkat kesukaan
buaya. Menurut Bolton (1989) makanan yang diberikan dalam keadaan tidak
segar atau tidak hidup diketahui kurang disukai dan tidak memberikan stimulus
gerakan bagi perkembangan buaya.
Rata-rata jumlah pakan yang diberikan per individu anakan buaya muara di
plasma sebanyak 0.5 kg/minggu sehingga setiap plasma yang menampung
anakan buaya sekitar 20 ekor/kolam, harus menyediakan pakan sekitar 100
kg/minggu. Pakan ini diperoleh dari masyarakat maupun pasokan ikan dari kapal
pencari ikan sekitar lokasi plasma pengumpul.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara teknis,
penguasaan pengetahuan dan keterampilan pemeliharaan anakan buaya muara di
53

tingkat plasma penangkap dan pengumpul masih sederhana sesuai pengalaman


tradisional yang dimiliki setiap anggota plasma.

d. Pengepakan dan pengiriman anakan ke penangkaran inti

Setelah mencapai target jumlah untuk sekali pengangkutan/pengiriman,


maka anakan buaya di plasma pengumpul tersebut dibawa ke penangkaran inti di
Jayapura. Pada awal usaha unit penangkaran CV Bintang Mas melakukan
pengiriman dengan menggunakan kapal laut pencari ikan miliknya yang secara
bergilir mengunjungi lokasi plasma pengumpul. Namun sejak beberapa tahun
belakangan armada kapal CV Bintang Mas kondisinya kurang menunjang
pengiriman anakan buaya sehingga alternatif transport kebanyakan menggunakan
pesawat udara yang menyebabkan makin tingginya biaya perolehan anakan buaya
untuk keperluan penangkaran. Untuk efisiensi biaya, maka pengiriman dilakukan
ketika jumlah anakan buaya yang terkumpul pada plasma pengumpul sudah cukup
banyak yakni 30-40 ekor. Umumnya pengiriman anakan buaya dari plasma ke
penangkaran inti berlangsung sebanyak 3-4 kali pertahun atau tiap 2-3 bulan atas
dasar pertimbangan efesiensi biaya pengiriman.
Pertimbangan efesiensi biaya ini menyebabkan plasma pengumpul dalam
pengiriman anakan buaya ke penangkaran inti melakukan praktek pengepakan
yang kurang memenuhi kenyamanan dan jaminan kualitas hidup anakan buaya
yang dikirim. Adapun praktek pengepakan yang dilakukan adalah menggunakan
kotak-kotak tersebut berisikan anakan buaya tanpa membedakan ukuran panjang
badan, jumlahnya cenderung melebihi kapasitas kotak angkut dan penyusunan
kotak secara bertumpuk. Selain itu, kondisi kesehatan anakan buaya tersebut juga
tidak diperhatikan sebagai syarat untuk menetapkan pengiriman anakan buaya.
Berdasarkan praktek pengepakan dan pengiriman anakan buaya dari plasma
pengumpul ke penangkaran inti tersebut, akibatnya kesalahan teknis yakni
menyumbang besarnya kematian anakan buaya hingga di penangkaran inti.
Berdasarkan analisis data, diketahui angka kematian selama pengiriman atau
perjalanan dari tingkat plasma ke penangkaran inti untuk setiap pengiriman
sebesar 10-15% dari sejumlah 30-40 ekor. Prosentase angka kematian tersebut
masih bertambah ketika berada di kandang karantina di penangkaran inti yaitu
54

rata-rata 5-10%. Penyebabnya diduga karena penanganan yang kurang baik dalam
mempersiapkan anakan buaya selama masa pengiriman yang membutuhkan waktu
menunggu jadwal terbang alat transportasi yang digunakan mengangkut serta
waktu yang dibutuhkan selama penerbangan ±½ jam penerbangan. Dengan
demikian penguasaan teknik yang kurang baik/tepat selama masa pemeliharaan di
tingkat plasma penangkap, pengumpul dan pengiriman ternyata menimbulkan
kematian yang cukup besar (15-25%).
Bolton (1990) menyatakan, angka kematian anakan buaya pada tahap
pengirimannya ke penangkaran inti dapat diminimalis dengan teknis pengepakan
yang tepat yaitu memisahkan anakan buaya saat pengiriman berdasarkan
kelompok ukuran panjang badan anakan buaya. Kelompok ukuran panjang badan
>70 cm dimuat pada satu kantong terpisah dari anakan buaya yang lebih kecil,
agar menghindari luka akibat perkelahian atau persinggungan fisik yang berakibat
cacat atau kematian. Selain teknis pengiriman juga pertimbangan jarak antara
daerah tangkap dan penangkaran inti, menurut Bolton (1989) jika pada jarak
pengiriman yang pendek dapat digunakan karung goni basah yang diberi
tumpukan dedaunan atau jerami di dalamnya untuk menjaga kelembaban dan
goncangan saat pengiriman. Tetapi bila jaraknya jauh sebaiknya menggunakan
kotak yang didalamnya diberikan rumput basah dengan ukuran yang sesuai
dengan ukuran badan anakan buaya muara dan kapasitas tampung kotak untuk
pengiriman.
Berdasarkan uraian di atas, maka ke depan perlu ada upaya perbaikan
manajemen pemeliharaan dan pengiriman anakan buaya dari plasama ke inti. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni : (1) perbaikan teknik pemeliharaan
meliputi kandang/kolam, pemberian pakan, dan perawatan kesehatan, (2)
penetapan syarat kesehatan dan ukuran badan anakan buaya yang diijinkan untuk
diangkut ke penangkaran inti, dan (3) perbaikan teknik dan manajemen
pengangkutan anakan buaya mencakup pemilihan alat angkut berupa kotak atau
karung goni basah, penetapan kapasitas optimum kotak angkut, dan
pengelompokan anakan buaya sesuai ukuran panjang badan per kotak angkutan.
55

5.1.2. Teknik Pemeliharaan/Pembesaran Anakan Buaya di Penangkaran Inti

Berdasarkan hasil kajian terhadap peraturan perundangan maupun prinsip-


prinsip yang terkait praktek pengembangan penangkaran buaya muara dengan
pola pembesaran, maka dapat diidentifikasi paling tidak ada lima aspek penting
yang terkait dengan praktek pengelolaan penangkaran yang ingin diuraikan untuk
memberikan gambaran tentang tingkat penguasaan pengetahuan dan keterampilan
serta kepatuhan unit manajemen penangkaran terhadap peraturan yang berlaku.
Kelima aspek penangkaran tersebut, adalah (1) pengelolaan kandang, (2)
pengelolaan pakan, (3) perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit, (4)
sumberdaya manusia (SDM) dan sarana-prasarana pendukung, dan (5)
pelaksanaan pemulihan populasi buaya ke habitat alaminya (restocking). Hasil
penelitian terhadap kelima aspek tersebut melalui studi kasus di CV Bintang Mas
(CV BM) sebagai penangkar inti, diperoleh gambaran umum tentang praktek
pemeliharaan atau pembesaran anakan buaya muara yang dilakukan sebagai
berikut:

a. Pengelolaan Kandang

Kandang atau kolam penangkaran buaya merupakan habitat buatan


(artificial habitat) yang berfungsi sebagai tempat hidup dan pertumbuhan buaya
di luar habitat alaminya. Keberhasilan dan ketepatan unit manajemen penangkaran
di dalam menyediakan berbagai unsur habitat yang dibutuhkan untuk menunjang
kelangsungan hidup dan perkembangan anakan buaya yang dipelihara perlu
mendapat perhatian pengelolaannya, karena akan menentukan tingkat
keberhasilan upaya pembesaran anakan buaya yang ditangkarkan. Secara teknis
ada beberapa aspek penting dari pengelolaan kandang yang perlu diperhatikan
yakni macam, bentuk, ukuran, dan kapasitas tampung kandang, pemeliharaan dan
sistem kandang (Masy’ud & Hardjanto 1991). Kurniati (2008) menyatakan ada
tiga kategori penting dari infrastruktur kandang yaitu kandang karantina, kandang
pembesaran dan kandang isolasi.

1. Kategori Kandang

Berdasarkan hasil pengamatan lapang, wawancara dan telaah pustaka


diketahui bahwa secara fungsional di penangkaran inti CV Bintang Mas terdapat
56

tiga kategori kandang penangkaran buaya menurut fungsinya, yakni kandang


karantina, kandang pembesaran dan kandang isolasi. Kandang karantina berfungsi
untuk pemeliharaan anakan buaya yang baru datang ke penangkaran inti sekaligus
berfungsi untuk adaptasi buaya terhadap lingkungan baru serta mencegah
terjadinya stress. Adapun kandang pembesaran berfungsi untuk pemeliharaan dan
pembesaran anakan hingga mencapai usia panen atau ukuran potong ekonomis,
sedangkan kandang isolasi berfungsi untuk memelihara buaya yang tertular
penyakit sekaligus mencegah terjadinya penularan penyakit kepada buaya lainnya.
Pengkategorikan tujuan dan fungsi penggunaan kandang tersebut sesuai dengan
pernyataan Kurniati (2008), Suzanna (2000) dan Beyeler (2011).

2. Pengelolaan di Kandang Karantina

Pada dasarnya buaya yang hidup di alam bersifat penakut, sehingga apabila
dipindahkan ke habitat buatan di luar habitat alaminya kemungkinan dapat terjadi
stress. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian (adaptasi) terlebih dahulu
didalam kandang karantina untuk meminimalkan stress terutama dari faktor
kebisingan ataupun aktivitas pengelola yang dapat mengganggu pertumbuhan dan
pembesarn anakan buaya di penangkaran (Kurniati 2008; Beyeler 2011).
Sesuai dengan fungsinya sebagai media adaptasi, maka dalam praktek
pengelolaannya, CV Bintang Mas menempatkan kandang karantina di tempat
terpisah dari kandang pemeliharaan lainnya dengan tujuan meminimalisasi
kemungkinan gangguan yang berdampak pada terjadinya stress, disamping juga
mengisolasi kemungkinan tertularnya penyakit dari buaya-buaya yang baru datang
ke buaya-buaya yang sudah ada di lokasi penangkaran.
Ada tiga aspek adaptasi yang dilakukan unit manajemen CV Bintang Mas
selama masa karantina, yakni (1) penyesuaian terhadap kandang sebagai habitat
barunya, (2) penyesuaian terhadap kebisingan (suara) dan aktivitas di sekitar
lingkungan penangkaran, dan (3) penyesuaian terhadap pakan. Waktu yang
dibutuhkan sebagai masa adaptasi tiap aspek berbeda tergantung pada tingkat
perkembangan buaya merespon setiap tindakan manajemen yang dilakukan. Masa
adaptasi terlama dilakukan untuk penyesuaian terhadap kandang (1-2 bulan),
sedangkan penyesuaian terhadap pakan terlihat lebih cepat (3 hari), meskipun
secara bertahap terus dilakukan hingga mencapai masa 1 bulan (Tabel 8).
57

Meskipun secara fungsional masa karantina juga dimaksudkan sebagai masa


pengisolasian awal terhadap buaya dari kemungkinan terjadinya penyebaran
penyakit, sehingga secara prinsipal harus juga dilakukan pemeriksaan terhadap
kondisi kesehatan buaya yang baru datang dan selama masa karantina. Tindakan
pemeriksaan kesehatan secara detail anakan buaya pada masa karantina belum
dipraktekkan secara maksimal oleh CV BM. Akibatnya perkembangan kondisi
kesehatan anakan buaya tidak terpantau dengan baik. Dampaknya, seperti
kejadian tahun 2010, ketika anakan buaya tersebut dipindahkan ke kandang
pembesaran ternyata terjadi kematian sejumlah 100 ekor masing-masing 75 ekor
pada anakan buaya berukuran <50 cm dan 25 ekor pada anakan buaya berukuran
50-<100 cm (CV BM 2011).
Fenomena ini menunjukkan bahwa praktek pengelolaan anakan buaya
selama masa karantina tidak/belum dilakukan dengan standar operasional yang
baik, seperti dalam hal pemantauan kondisi kesehatan, penetapan kriteria anakan
buaya yang sudah adaptif terhadap lingkungan penangkaran (aspek kandang,
suara dan pakan), maupun kriteria anakan buaya yang boleh dipindahkan dari
kandang karantina ke kandang pembesaran. Bolton (1990) menyatakan bahwa
ketepatan penanganan anakan buaya pada tahap awal di penangkaran akan sangat
menentukan keberhasilan dalam proses pembesaran anakan buaya di penangkaran.

Tabel 8 Tindakan penyesuaian anakan buaya muara di penangkaran inti

Waktu
Aspek
No. penyesuaian Bentuk tindakan
Penyesuaian
1 Kandang 1-2 bulan Penempatan anakan buaya baru dari plasma pada tempat
karantina yang terpisah dari kandang lainnya pada dua
lokasi berdasarkan tingkat keramaian suara dan aktivitas
kegiatan penangkaran
2 Suara / 1bulan - Lokasi karantina yang terletak tersembunyi di belakang
keramaian gudang yakni lokasi yang jauh dari suara/keramaian.
1 bulan - Lokasi karantina yang terletak dekat dengan daerah yang
terdapat aktivitas penangkaran (aktivitas pekerja dan
kendaraan)
3 Pakan 3 hari - Menunda pemberian pakan pada awal masuknya buaya
baru ke penangkaran
1 bulan - Pemberian pakan diatur frekuensi pemberiannya
secara berangsur pada frekuensi normal selama masa adaptasi.
bertahap

Sumber : Wawancara dan pengamatan fisik anakan buaya di penangkaran inti


58

3. Pengelolaan di Kandang Pembesaran

Berdasarkan ukuran kandang, CV Bintang Mas menerapkan enam kategori


ukuran kandang pembesaran disesuaikan dengan ukuran panjang badan buaya dan
fungsi kandang, yakni: (1) kandang anakan untuk buaya berukuran <50 cm; (2)
kandang pembesaran I untuk buaya berukuran 50-<100 cm (buaya remaja); (3)
kandang pembesaran II untuk buaya berukuran 100-200 cm (buaya dewasa
muda); (4) kandang pembesaran III untuk buaya berukuran >200 cm (buaya
dewasa); (5) kandang indukan (universal) untuk buaya berukuran >200 cm; dan
(6) kandang displai untuk buaya berukuran 100-200 cm (buaya dewasa muda).
Luas lantai untuk masing-masing kategori kandang ini disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Kandang buaya muara di penangkaran CV Bintang Mas di Papua

Kolam/kandang Luas *)
teritori Standar
Jumlah
Luas indi- kebutu-
indivi-
Jenis Jum- Lantai vidu han luas
No. Ben- p du
Kolam/Kandang l (m) t (m) lah kolam buaya lantai
tuk (m) buaya
unit muara (m2) (m²/ kolam
ekor) (m²/
ekor)
K. Anakan (< 50 Segi
1 1.5 1.5 0.5 1 3 2.25 0.75 0.25
cm) empat
K . Pembesaran I Segi
2 6.2 14 2 1 215 86.8 0.4 1
(50 - <100 cm) empat
K. Pembesaran II Segi
3 14.5 6.5 2 2 74 94.25 1.27 1
(100 -200 cm) empat
K. Pembesaran III Segi
4 7.5 11 2 1 10 82.5 8.25 1
(>200 cm) empat

K. Indukan Segi
5 20 29 3 1 30 580 19.33 40
(Universal) empat

Segi
6 K. Display 20 29 3 1 66 580 8.88 1
empat
Sumber: *) Hardjanto dan Masy’ud (1991); K= Kandang; p=panjang; l=lebar; t=tinggi.

Berdasarkan analisi data mengenai ukuran dan peruntukan kandang tersebut


secara teknis telah sesuai dengan standar ukuran kandang penangkaran yang
ditetapkan untuk dapat menunjang pembesaran buaya. Namun, dilihat dari
kapasitas tampung ternyata jumlah buaya yang dipelihara di dalam setiap unit
kandang melebihi kapasitas tampung optimum. Akibatnya sering terjadi
persaingan atau perkelahian yang berdampak pada luka bahkan kematian.
59

Kategori kandang penangkaran buaya CV Bintang Mas terdapat 6 jenis


kandang yang disesuailkan ukuran badan dan tindakan sesuai peruntukan
kandang, disajikan pada Gambar 6.

(a) Kandang anakan ukuran panjang badan (b) Kandang pembesaran ukuran panjang
buaya muara <50 cm badan buaya muara 50-<100 cm (remaja)

(c) Kandang pembesaran Individual (d) Kandang pembesaran Individual ukuran


ukuran panjang badan buaya muara panjang badan buaya muara >200 cm
100 -200 cm (dewasa muda) (dewasa)

(e) Kandang indukan (universal) ukuran (f) Kandang display ukuran panjang badan
panjang badan >200 cm buaya muara 100-200 cm (dewasa muda)

Gambar 6 Jenis kandang pada penangkaran pola pembesaran di CV Bintang Mas.


(Sumber : Gambar (a,b,c,d dan f) Dok.Pribadi 2012 ; Gambar (e) Dok. Paul B 2012).

Kurniati (2008) menyatakan bahwa kebutuhan kepadatan kandang ideal


untuk pembesaran buaya sesuai ukuran panjang badannya, yakni setiap satu meter
persegi kandang hanya diperuntukan bagi dua ekor berukuran panjang badan satu
60

meter (diukur dari kepala sampai ekor). Sedangkan Bolton (1989) menyatakan
bahwa kandang buaya yang ideal adalah kandang yang apabila terpenuhinya
ruang gerak bagi buaya sebagai rangsangan untuk pertumbuhan badan buaya.
Bolton (1990) juga menyatakan bahwa sifat teritori buaya mulai ditunjukkan pada
kelompok umur remaja dengan terjadinya perkelahian sesama buaya yang dapat
berakibat pada terjadinya luka atau infeksi, maka luas lantai dan kapasitas
tampung kandang yang ideal harus mendapat perhatian. Selain itu Bolton (1990)
juga menyatakan buaya pada kelompok umur remaja dan dewasa muda
merupakan kelompok umur yang pertumbuhannya cukup pesat, sehingga untuk
mendapatkan percepatan perkembangan badan yang baik, seharusnya individu
buaya pada kelompok umur tersebut harus dipelihara tersendiri dalam satu unit
kandang agar tidak terjadi perkelahian karena persaingan perebutan tempat atau
teritori maupun pakan.
Berdasarkan pertimbangan inilah, dalam praktek pembesaran buaya muara
pengelompokkan bagi kelompok buaya dewasa muda dan buaya dewasa di
penangkaran CV BM mulai ditempatkan di dalam kandang-kandang individual
yaitu kandang yang dipisahkan oleh sekat-sekat menjadi bilik-bilik kandang
berukuran cukup untuk satu ekor buaya. Praktek ini juga dapat dilihat sebagai
bagian dari penerapan prinsip kesejahteraan satwa (animal welfare) yakni
mencegah terjadi luka, sakit dan stress pada kelompok buaya yang dipelihara di
penangkaran. Juga sekaligus sebagai tindakan mempercepat pertumbuhannya
pada ruang gerak yang menjadikan individu buaya tersebut menjadi seolah-olah
‘malas’ bergerak sehingga dapat menyimpan lemak bagi pembesaran badannya.

4. Pengelolaan di kandang isolasi

Kandang isolasi berfungsi untuk mengisolasi buaya buaya sakit agar tidak
tertular pada buaya lainnya di kandang-kandang penangkaran. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, di dalam pengelolaan penangkaran buaya di CV BM telah
tersedia unit kandang isolasi, namun hasil pengamatan lapang maupun wawancara
diketahui bahwa kandang isolasi ini belum difungsikan secara maksimal. Alasan
utama dari tidak difungsikannya kandang isolasi karena tidak ada tenaga ahli
khusus untuk pemeriksaan penyakit secara berkala.
61

Ketiadaannya tenaga ahli dalam perawatan dan perlindungan penyakit pada


buaya dalam penangkaran CV Bintang Mas membuat kondisi buaya dalam
penangkaran tidak mendapat perawatan dan perlindungan yang maksimal. Hal ini
ditunjukkan pada kenyataan di penangkaran yaitu ditemukan ada buaya yang
mengalami sakit, luka atau infeksi pada kulit akibat perkelahian namun buaya
tersebut tetap dibiarkan di dalam kandang pembesaran walaupun pada kandang
individual. Seharusnya buaya yang mengalami sakit dipindahkan ke dalam
kandang isolasi untuk dilakukan tindakan pengobatan dan perawatan kesehatan
secara khusus. Artinya secara teknis operasional, unit manajemen penangkaran
CV Bintang Mas belum menerapkan teknologi penangkaran secara baik sesuai
prinsip-prinsip kesejahteraan satwa dengan memfungsikan kandang isolasi secara
maksimal.

b. Konstruksi dan Fasilitas Kandang Penangkaran Buaya

Tujuan penangkaran buaya pola pembesaran buaya adalah untuk


menghasilkan kulit buaya sebagai bahan baku industri dengan kualitas tinggi.
Kulit yang berkualitas salah satunya bila terbebas dari jamur atau bakteri dengan
bantuan matahari seperti pernyataan Bolton (1990) bahwa sinar matahari mampu
mematikan bakteri atau jamur yang berkembangbiak pada air kolam yang
kotor. Sinar matahari juga membantu menjaga kondisi kelembaban lingkungan
kandang yang mendukung lingkungan pertumbuhan buaya dari perubahan suhu
dan kelembaban udara yang ekstrim. Power (2010) menyatakan kondisi
lingkungan kandang berkelembaban tinggi dapat menyebabkan timbulnya
penyakit, dan sebaliknya pada kondisi kelembaban rendah ternyata dapat
mengakibatkan terjadinya dehidrasi. Pernyataan ini didukung oleh Bolton (1990)
bahwa pada kondisi suhu lingkungan maksimum dapat menyebabkan buaya
menjadi stress, akibatnya sistem syaraf dan kelenjar endokrinnya bekerja
bersama-sama merangsang buaya mempersiapkan fisiknya untuk menghilangkan
tekanan tersebut dengan memanfaatkan energi dan cairan dari timbunan lemak
tubuhnya, sehingga merusak jaringan kulit buaya. Hal inilah yang menyebabkan
kulit buaya mudah robek atau rusak.
62

Pemanfaatan potensi lingkungan menjadi pertimbangan pemilihan


konstruksi dan bentuk kandang penangkaran buaya dalam manajemen
penangkaran. Dalam hal konstruksi dan bentuk kandang dikenal sistem kandang
terbuka, tertutup atau semi terbuka. Masing-masing sistem kandang tersebut
memiliki kekurangan dan kelebihan, seperti pada kandang dengan konstruksi
terbuka akan mendapatkan sinar matahari dalam waktu lebih panjang dan panas
sinar matahari yang masuk ke kandang berlebihan yang membuat suhu
lingkungan kandang lebih tinggi dari kondisi suhu normal seperti di habitat
alaminya. Biasanya buaya akan melakukan penyesuaian terhadap kondisi suhu
tubuhnya dengan mengeluarkan energi tubuhnya lebih banyak, akibatnya
pertumbuhan badan buaya dapat terganggu atau terhambat, bahkan juga
berdampak pada kualitas kulit buaya yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam
pembangunan kandang penangkaran harus memperhatikan konstruksi
kandangnya. Rekapitulasi ukuran, bentuk dan konstruksi kandang penangkaran
buaya di CV Bintang Mas disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Ukuran, bentuk dan fasilitas kandang buaya muara di penangkaran


CV Bintang Mas Papua
Jenis Kandang (p x l x t)
Kandang Kandang Kandang Kandang Kandang Kandang
Aspek
No. Anakan Remaja Dewasa Dewasa Indukan Displai
Kandang
(p x l x t) (p x l x t)Muda (p x l x t) (p x l x t)
(p x l x t)
1. Ukuran 1.5 m x 1.5 6.2 m x 14.5 m x 7.5 m x 11 20 m x 20 m x
kandang m x 0.5 m 14 m x 2 6.5 m x mx2m 29 m x 3 29 m x
m 2m m 3m
2. Bentuk segi empat segi segi segi empat segi segi
Kandang empat empat empat empat

3. Daerah
√ √ √ √ √ √
berair
4. Daratan
(teras) / √ √ √ √ √ √
Shelter
5. Cover Atap dari Atap bahan Cover Cover
(atap/penut bangunan asbes dan berupa berupa
up atas) utama - - seng vegetasi vegetasi
(sebagian
rusak
6. Jembatan
kayu antar
- √ - - - √
kolam air

Sumber :Wawancara dan fisik kandang di penangkaran inti; √ = ada/disediakan.


63

Hasil pengamatan lapang diketahui bahwa konstruksi kandang yang


dikembangkan di CV BM termasuk kandang sistem terbuka yang berbentuk segi
empat. Dinding kandang terbuat dari beton dengan konstruksi yang kuat dengan
tinggi standart >1.5 m. Khusus bagi kandang individual yang dpisahkan atas
beberapa sub-unit kandang individual dengan menggunakan sekat berupa kawat
ram sebagai sekat pemisah. Beberapa kandang kondisinya kurang terawat, seperti
pada kandang individual dewasa beberapa atap (pelindung) telah rusak. Begitupun
pada sekat kandang individual dewasa muda, kondisi kawat telah berkarat dan
beberapa diantaranya telah rusak.
Selain itu, di dalam maupun di sekitar kandang juga tidak banyak terdapat
pohon-pohon yang dapat berfungsi sebagai pelindung (cover) dan mengurangi
tekanan sinar matahari langsung, akibatnya suhu di dalam kandang penangkaran
cenderung lebih tinggi dari kondisi alaminya. Dampaknya buaya menjadi stress
dan berakibat pada gangguan perkembangan buaya, meskipun secara alami buaya
mempunyai mekanisme menstabilkan suhu badannya dengan perilaku berendam
(mandi). Hasil pengukuran suhu dan kelembaban selama Maret-April 2012
misalnya, diketahui rata-rata suhu dan kelembaban di kandang penangkaran CV
Bintang Mas masing-masing suhu 27-32 °C dan kelembaban 79.3-84%. Kondisi
suhu dan kelembaban ini diperkirakan semakin meningkat pada saat musim
kemarau atau panas, artinya panas yang diterima buaya juga lebih tinggi.
Meskipun demikian kondisi suhu dan kelembaban masih dipandang normal yakni
o
29-34 C sesuai suhu lingkungan yang disukai buaya (Preferred Body
Temperatures-PBT), (Frye 1991) dengan kelembaban 80-90% (Briton 1993).
Perlu diperhatikan bahwa, suhu lingkungan yang tinggi (>35 °C) dapat
menyebabkan kematian buaya karena stress sedangkan suhu <28 °C dapat
mengurangi nafsu makan dan tingkat metabolisme (Huchzermeyer 2003). Oleh
karena itu konstruksi kandang yang dibangun harus menjadi perhatian. Salah satu
cara untuk mengatasinya adalah pemberian atap (cover) dan penanaman pohon di
sekitar (tepi) kandang yang berfungsi menciptakan kondisi suhu dan kelembaban
kandang penangkaran yang sesuai, juga berfungsi sebagai penahan angin (Bolton
1990). Dalam hal penanaman pohon di sekitar tepi kandang, perlu diperhatikan
jarak tanam untuk tetap memberikan ruang yang cukup bagi masuknya sinar
64

matahari pagi dan sore hari yang dibutuhkan untuk hidup dan perkembangan
buaya di penangkaran. Selain itu, pemilihan jenis tanaman untuk tanaman tepi di
sekitar kandang penangkaran sebaiknya yang berdaun lebar agar tidak menjadi
sampah yang mengotori dan menimbulkan penyakit, sebagaiamana dikemukan
oleh Huchzermeyer (2003) dan Bolton (1990) bahwa tanaman tepi berdaun lebar
lebih sesuai sebagai penahan angin sekaligus dapat menyesuaikan suhu pada
daerah kandang yang terbuka.
Salah satu aspek penting dari konstruksi kandang penangkaran buaya yang
harus juga diperhatikan sesuai dengan kebiasaan buaya adalah ketersediaan areal
atau fasilitas penunjang di dalam kandang yang berfungsi sebagai tempat
berjemur dan berendam (basking). Collen et al. (2008) dan Brien et al, (2012),
menyatakan bahwa aktivitas berendam pada buaya dilakukan sebagai bagian dari
penyesuaian suhu badan buaya muara sebelum beraktivitas yaitu berendam di pagi
hari dan berjemur pada siang hari.
Secara teknis untuk memenuhi kebutuhan berendam dan berjemur tersebut,
di dalam kandang penangkaran buaya di CV Bintang Mas disediakan fasilitas
tersebut pada semua unit kandang penangkarannya yakni berupa bagian kolam
yang berair, bagian teras (daratan), serta pembuatan balok kayu sebagai jembatan
antar kolam berair yang berfungsi untuk jalan untuk melakukan pematauan buaya
di setiap kolam (Gambar 7).

(a) Fasilitas daerah daratan (teras) dan daerah (b) Fasilitas jembatan kayu dalam kandang
berair (kolam) dalam kandang di penang- pembesaran buaya muara di CV Bintang
karan CV Bintang Mas Mas
Gambar 7 Fasilitas jembatan kayu dalam kandang di penangkaran buaya mua-
ra pola pembesaran di CV Bintang Mas (Dok.Pribadi 2012).

Luasan kolam berendam dan areal berjemur tergantung ukuran badan buaya
yang ada tiap kandang. Collen et al. (2008) menyatakan perbandingan daerah
65

kolam air dan teras disesuaikan dengan ukuran tubuh buaya dan kebutuhan dalam
pengaturan suhu badan buaya muara. Kedalaman air di dalam kandang tersebut
tidak lebih dari 50 cm dan pembedaan batasan kedua daerah yaitu daerah kolam
berair dengan daerah teras dibuat berbentuk landai di bagian tepinya agar
memudahkan naik dan turunnya buaya ke kolam untuk berendam dan berjemur di
daratan atau teras.
Hasil pengamatan lapang diketahui, bahwa pada saat siang hari ketika sinar
matahari panas, maka terlihat banyak buaya berlindung di bawah jembatan kayu
tersebut. Hasil pengamatan lapang juga menunjukkan bahwa umumnya aktivitas
berjemur dilakukan buaya pada pukul 08:00-11:00, sedangkan aktvitas berendam
biasa dilakukan pada pukul 11:00-17:00 ketika suhu lingkungan kandang
meningkat mencapai >32 oC.
Berdasarkan uraian-uraian terkait aspek pengelolaan kandang tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa dari segi ketersediaan sarana-prasarana kandang
sudah memadai, baik dilihat dari ukuran, bentuk dan konstruksi serta fasilitas
kandang, namun dilihat dari segi kenyamanan dan prinsip-prinsip terkait
kesejahteraan satwa maka pengelolaan perkandangan yang dilakukan di CV BM
belum berjalan optimal.

c. Pengelolaan Pakan

Pakan mempunyai peranan sangat vital baik secara teknis biologis sebagai
sumber energi yang menentukan kelangsungan hidup dan keberhasilan
pertumbuhan buaya di penangkaran, maupun secara ekonomi merupakan
komponen biaya terbesar dari keseluruhan komponen biaya (produksi)
penangkaran. Paling tidak ada tiga prinsip yang menjadi patokan didalam
pengelolaan pakan di penangkaran. Pertama, prinsip kecukupan yakni jumlah
pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan buaya; kedua,
prinsip keberlanjutan ketersediaan, yakni pakan harus selalu tersedia sesuai masa
kebutuhan; dan ketiga, prinsip ekonomis, yakni pakan harus murah harganya dan
tidak kompetitif dengan kebutuhan manusia ataupun penangkaran satwa lain.
Oleh karena itu ketepatan pengelolaan pakan menjadi sangat penting dan
menentukan keberhasilan penangkaran buaya.
66

Pakan buaya di alam lebih beragam, berupa pakan segar maupun bangkai
hasil buruan yang dibenamkan beberapa hari dalam endapan lumpur (Bolton
1990). Pakan buaya di penangkaran berupa ikan, udang, ayam bebek, daging atau
karkas babi, sapi atau mamalia ternak lainnya (Kurniati 2008). Beberapa
penelitian menyebutkan jenis pakan yang disukai dan membantu percepatan
tumbuh fisik buaya adalah pakan yang mengandung lipid, protein dan kalsium
yang tinggi (Beyeler 2011). Komposisi pakan yang mempercepat perkembangan
buaya adalah daging ayam 75% ditambah ikan kembung 25% atau pilihan ikan
kecil dan udang bagi kelompok buaya usia remaja dan dewasa muda, sedangkan
anakan buaya lebih menyukai udang kecil basah (Izzudin 1989). Menurut
Suwandi (1991) dalam Masy’ud et al. (1993) bahwa pemberian pakan ikan kecil-
kecil atau teri tanpa campuran lainnya sebagai pakan lebih disukai dibandingkan
pakan pilihan yang dicampur teri dan udang. Berdasarkan hasil pengamatana
lapang, wawancara dan penelaahan terhadap berbagai dokumen, diketahui praktek
pemberian pakan di penangkaran CV Bintang Mas yang disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Pakan buaya muara di penangkaran CV Bintang Mas Papua

Kebutuhan pakan
berdasar Kebutuhan Pakan (gr)
pendekatan umur Jumlah
Individu Standar Konsumsi
Kelas Umur Rata-Rata
Perki- buaya Pakan Berdasarkan
Σ Pakan
raan (ekor) Berdasarkan Pendekatan
perhari/
Umur*) Kapasitas Perkiraan
ekor (gr)*)
Kolam Umur
Kolam anakan 1-2 125 3 375 150.75
Kolam Pembesaran Ukuran
2-3 175 215 37 625 21 608.19
Panjang Badan 50-<100 cm
Kolam Pembesaran (I) Ukuran
Panjang Badan 100 - 200
a. Ukuran panjang badan
2-3 175 27 4 725 4 070.38
100-< 140 cm
b. Ukuran panjang badan
3-4 255 6 1 530 1 206.04
140-160 cm
Kolam Pembesaran (II)
Ukuran Panjang Badan 100 -
200 cm
a. Ukuran panjang badan
2-3 175 14 2 450 2 110.57
100-< 140 cm
b. Ukuran panjang badan
3-4 255 19 4 845 3 819.12
140-160 cm
Kolam Pembesaran Ukuran
4-5 330 10 3 300 2 512.58
Panjang Badan >200 cm
Kolam Indukan >5 353 30 10 590 7 537.74
67

Tabel 11 Lanjutan

Kebutuhan pakan
berdasar Kebutuhan Pakan (gr)
pendekatan umur Jumlah
Individu Standar Konsumsi
Kelas Umur Rata-Rata
Perki- buaya Pakan Berdasarkan
Σ Pakan
raan (ekor) Berdasarkan Pendekatan
perhari/
Umur*) Kapasitas Perkiraan
ekor (gr)*)
Kolam Umur
Kolam Displai Panjang Badan
> 200 cm
a. Ukuran panjang badan
2-3 175 5 875 753 .77
100-< 140 cm
b. Ukuran panjang badan
3-4 255 38 9 690 7 638.24
140-160 cm
c. Ukuran panjang badan
4-5 330 23 7 590 5 778.93
>180 cm
Sumber : Data olahan dari wawancara & pustaka , *) Soewarto in Sarwono 1993

Sebagian besar pakan yang diberikan di penangkaran buaya CV BM


tersebut berupa daging bekuan (frozen) dari daging ayam, sapi dan bebek yang
diperoleh dari toko swalayan. Jumlah dan mutu daging ini tergolong kurang baik,
dengan harga yang relatif mahal dan kontinuitas ketersediaannya terbatas. Hanya
sebagian kecil pakan yang diberikan berupa ikan segar hasil tangkapan dari
armada kapal CV BM sendiri. Kondisi ini menunjukkan keterbatasan sumber
ketersediaan pakan dalam jumlah yang cukup, sehingga dalam prakteknya jumlah
pakan yang diberikan masih belum cukup memenuhi kebutuhan untuk
pertumbuhan atau pembesaran buaya secara optimal mencapai usia potong
ekonomisnya. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan perbaikan manajemen pakan,
misalnya melalui pengembangan dan pemberian pakan buatan berupa butiran
(pellet) (Masy’ud et al. 1993; Bayeler 2011), terutama diberikan pada buaya sejak
umur anakan sehingga secara alami buaya tersebut mulai dibiasakan dengan
karakteristik pakan buatan tersebut seperti dalam hal kekhasan bau dan rasanya
(Davis 2001).
Terkait dengan pakan buatan berupa pellet tersebut di atas, maka secara
teknis dapat dikembangkan dengan memanfaatkan berbagai bahan pakan sisa-sisa
berupa daging ternak atau ikan yang dijual di pasar-pasar tradisional atau dari
usaha peternakan dan perikanan. Bolton (1990) merekomendasikan penggunaan
bahan pakan terutama daging merah karena dapat menghasilkan pertumbuhan
yang lebih cepat, dibandingkan jenis pakan lainnya. Bahan pakan untuk pembuaan
68

pellet untuk buaya dapat juga menggunakan bagian tubuh unggas berupa usus,
kepala dan kaki karena diketahui berhasil memberi efek pertumbuhan yang baik
dari buaya di penangkaran (Elmir 2008; Masy’ud et al. 1993; Bolton 1990).
Meskipun pembuatan pakan buatan merupakan salah satu alternatif yang
dapat dikembangkan, namun di penangkaran saat ini belum menjadi prioritas
karena memerlukan kesiapan teknis yang cukup kompleks, baik dari segi
pembuatan, pemilihan bahan maupun bentuk dan kompisisi bahan pembuatan
pellet tersebut agar bertahan dalam air (tidak mudah larut), mudah dibuat, bahan
mudah diperoleh dan harganyai murah. Sebagai alternatif untuk mengatasi
kekurangan pakan yang selama ini dirasakan dapat diantisipasi dengan
membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak di dalam satu wilayah yang
bergerak dalam usaha peternakan, perikanan ataupun unit usaha penangkaran
buaya lainnya, sehingga dapat saling mendukung pengembangan usaha
penangkarannya, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pakan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa praktek pengelolaan
pakan yang dilakukan di CV Bintang Mas belum berjaln optimal, baik dilihat dari
manajemen ketersediaan sumber dan jenis pakan, maupun dari segi jumlah dan
mutu pakan yang diberikan, serta aspek ekonomi dari pakan tersebut. Dengan
demikian diperlukan upaya perbaikan dan peningkatan pengelolaannya, agar
memberikan dampak yang lebih positif terhadap pertumbuhan anakan buaya di
penangkaran.

d. Perawatan Kesehatan dan Pengendalian Penyakit


Bolton (1990) menyatakan bahwa di alam buaya termasuk satwa yang kuat
atau tahan terhadap gangguan penyakit, namun ketika di dalam lingkungan
penangkaran terjadi kontak dengan organisme patogen sehingga mudah terkena
penyakit, dan dapat dengan mudah pula menyebar dan mempengaruhi buaya
lainnya. Oleh karena itu penting dilakukan tindakan pengamanan biologis
(biosecurity) untuk mencegah masuk dan menyebarnya organisme patogen ke
buaya dan dari antar kandang.
Praktek pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit di penangkaran
buaya CV Bintang Mas dapat dikatakan belum berjalan baik. Praktek yang
dilakukan termasuk kegiatan pencegahan hanya berupa pembersihan kandang
69

dengan menyemprot dan menyikat serta menggantikan air, dilakukan seminggu


sekali secara bergilir antar kandang. Air yang digunakan bersumber dari sungai
Anafre, dengan kondisi kualitas air termasuk dalam kisaran ukuran ideal bagi
kehidupan akuatik yaitu pada baku mutu kelas II menurut PP Nomor: 28 Tahun
2001, yakni dengan kondisi air : pH 7.2 – 7.6; DO 4.7 mg/l dan TSS 68 mg/l
karena banyak partikel tersuspensi artikel-partikel tersuspensi akibat kikisan tanah
(erosi) di daerah sekitar lokasi penangkaran (BPSDALH 2010).
Ditjen PHPA (1987) menyatakan tentang kualitas air kolam yang disukai
buaya adalah yang berwarna coklat yang menjadi indikator adanya senyawa-
senyawa yang berasal dari organisme nabati antara plankton dan tanaman air.
Dalam pengamatan terhadap kondisi air kolam di penangkaran ternyata diketahui
bahwa air kolam di penangkaran CV Bintang Mas selalu berubah warna menjadi
hijau atau keruh 3 hari setelah penggantian air kolam. Kemungkinan penyebabnya
adalah penumpukkan kotoran sisa makanan pada pori-pori dinding kandang yang
tidak tuntas dibersihkan. Oleh karena itu perlu ditingkatkan kualitas pembersihan
kandang dengan menyikat dan pemberian desinfektan dan frekuensi penggantian
air yang lebih tinggi. Perlu diperhatikan bahwa penggantian air kandang selain
berfungsi menjaga kebersihan kandang juga menstabilkan suhu dan kelembaban
kandang. Pembersihan kandang di CV Bintang Mas dilakukan seminggu sekali
secara bergilir pada kandang yang dipergunakan dan atau setelah pemberian
pakan. Pembersihan ini dilakukan pada pagi hari (pukul 09:00) oleh animal
keeper tanpa menggunakan sepatu boot atau memperhatikan hiegenitas, sehingga
dapat diperkirakan dapat menjadi penyebab menyebarkan penyakit antar kandang
ketika animal keeper tersebut berpindah membersihkan kandang lainnya.
Meskipun secara umum, kondisi sanitasi kandang dan lingkungannya cukup
stabil dan bersih, sehingga terjamin dari kemungkinan serangan penyakit infeksi,
namun pada kenyataannya masih ditemukan buaya yang terserang penyakit
infeksi. Penyakit infeksi ini terutama terjadi pada buaya kelompok umur remaja
dan dewasa, yang diketahui dapat berakibat pada penurunan kualitas kulit hasil
penangkaran. Hasil penelitian ini juga diketahui bahwa kematian buaya di CV
Bintang Mas masih sering terjadi, dan umumnya sebagai akibat infeksi luka. Luka
terjadi karena perkelahian akibat persaingan, ataupun akibat kanibalisme dari
70

buaya yang lebih tua (besar dan kuat) terhadap buaya anakan dan remaja yang
memiliki kondisi tubuh lemah akibat kekurangan pakan (CV BM 2011). Kematian
buaya juga dapat terjadi karena kondisi sanitasi kandang dan lingkungan yang
jelek, makanan, sistem perairan dalam kandang serta kelainan metabolisme yang
kurang mendukung pemeliharaan (IPB 1990).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa praktek perawatan
kesehatan dan pengendalian penyakit yang dilakukan di penangkaran CV Bintang
Mas belum berjalan optimal, antara ditandai dengan masih tingginya tingkat
kematian baik disebabkan oleh infeksi luka akibat perkelahian maupun akibat
kanibalisme. Dengan demikian diperlukan upaya peningkatan pengelolaan
kesehatan dan pengendalian penyakit untuk lebih memberikan jaminan
keberhasilan usaha penangkaran mencapai tujuannya.

e. Sumber Daya Manusia (SDM) dan Sarana Prasarana Pendukung


Penangkaran

Jumlah tenaga kerja sebagai pemelihara satwa (animal keeper) sebanyak 4


orang (aktif) dari 10 orang yang terdaftar sebagai pekerja harian. Umumnya
tingkat pendidikan pekerja adalah sekolah dasar, dan bekerja berdasarkan
pengalaman sendiri (autodidact) sesuai kebiasaan mereka didalam menangkap
dan memelihara buaya secara tradisional. Tenaga kerja yang ada belum/tidak
memiliki pendidikan dan latihan keterampilan khusus tentang penangkaran.
Dilihat dari segi jumlah tenaga kerja tersebut dapat dinyatakan memenuhi
standar kebutuhan pekerja sesuai ukuran skala usaha penangkaran <10 000 ekor
buaya, karena asumsinya satu orang pekerja (animal keeper) mampu melakukan
pekerjaannya untuk 300 ekor buaya (Hardjanto & Masy’ud 1991). Namun dilihat
dari kualitasnya, SDM di CV Bintang Mas tergolong rendah. Mengacu pada
ketentuan kualifikasi pendidikan SDM di suatu unit penangkaran buaya, maka
sejatinya tiap unit penangkaran diperlukan seorang tenaga ahli atau tenaga teknis,
salah satunya dokter hewan serta petugas lapang yang dibekali dengan
keterampilan/keahlian khusus penangkaran. Faktanya di unit usaha penangkaran
CV Bintang Mas belum memenuhi standar ketenagakerjaan sesuai kualifikasi
keahlian yang ditetapkan pada suatu unit penangkaran yang dikategorikan baik.
71

Sarana prasarana penangkaran buaya di CV Bintang Mas cukup memadai,


yakni berupa satu areal unit penangkaran seluas + 4.5 hektar, sejumlah kandang
/kolam penangkaran (78 unit), fasilitas perkantoran, peralatan mesin termasuk
untuk pengolahan kulit, dan peralatan operasional lainnya. Tidak seluruh fasilitas
penangkaran aktif digunakan secara optimal, karena jumlah individu buaya muara
yang ditangkarkan tidak banyak. Sebagai contoh, jumlah unit kandang
penangkaran yang digunakan saat ini hanya 22 unit dari 78 unit yang tersedia,
masing-masing untuk buaya muara sebanyak 10 unit dan pembesaran buaya irian
12 unit. Kondisi kandang yang tidak digunakan bahkan terancam rusak karena
tidak ada pemeliharaan yang memadai.
Berdasarakan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dilihat kualifikasi
SDMdan ketersediaan sarana-prasarana pendukung penangkaran di CV Bintang
Mas dapat dinyatakan belum memenuhi standar sebagai suatu unit penangkaran
yang dikategorikan baik. Dengan demikian diperlukan upaya perbaikan dan
peningkatan kapasitas dan kualita SDM serta sarana-prasarana penangkaran agar
usaha penangkaran yang dikembangkan menjadi lebih baik.

f. Pengembalian ke alam (restocking)

Salah satu kewajiban dari unit manajemen penangkaran buaya pola


pembesaran adalah keharusan melakukan pelepasan kembali buaya hasil
penangkaran ke alam (restocking) yakni sebanyak 10% dari jumlah buaya hasil
penangkaran yang telah memenuhi standar kualifikasi penangkaran atau siap
panen (Dephut 2006). Tujuannya untuk menjaga kesimbangan populasi buaya di
alam terutama di daerah penangkapan buaya sekaligus menjamin kelestarian
populasi di alam. Kriteria individu buaya yang dilepas ke alam adalah individu
buaya yang mampu hidup dan berkembangbiak setelah kembali ke alam.
Hasil penelitian diketahui bahwa kewajiban ini belum dilaksanakan oleh
unit manajemen penangkaran buaya CV Bintang Mas. Salah satu alasannya,
adalah karena unit manajemen tidak memiliki tenaga teknis yang secara khusus
melaksanakan penyiapan buaya untuk dilepas liarkan (release). Dengan secara
legal, unit usaha penangkaran CV Bintang Mas belum dapat memenuhi
kewajibannya dalam rangka mendukung upaya pelestarian buaya.
72

5.2. Tingkat Keberhasilan Penangkaran Buaya dengan Pola Pembesaran

Keberhasilan penangkaran buaya muara pola pembesaran pada dasarnya


ditentukan oleh kecepatan keberhasilan didalam membesarkan anakan buaya
muara untuk mencapai ukuran potong ekonomis atau usia panen yang telah
ditetapkan, yakni sekitar 3-4 tahun masa pembesaran dengan tingkat kematian
yang rendah (<10%). Dalam hal ini ada dua prinsip penilaian keberhasilan dan
beberapa kriteria yang digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan penangkaran
yakni prinsip keberhasilan kegiatan pembesaran buaya dalam penangkaran dan
prinsip pengembangan penangkaran yang terdiri dari beberapa kriteria penilaian.
Prinsip-prinsip ini terdiri dari kriteria teknis (teknik pengelolaan
penangkaran, biologis, sarana prasarana penangkaran) yang terkait dengan
perkembangan jumlah dan pertumbuhan anak buaya di penangkaran. Berikutnya
adalah kriteria sosial terkait kontribusinya terhadap kehidupan sosial ekonomi
masyarakat seperti terbukanya lapangan kerja dan peluang usaha bagi masyarakat
sekitar sebagai pengembangan kegiatan penangkaran. Secara keseluruhan ada 12
indikator yang digunakan untuk menilai tingkat keberhasilan penangkaran. Uraian
pada bagian ini dibagi menjadi dua aspek yakni : (1) perkembangan jumlah dan
pertumbuhan buaya di penangkaran, dan (2) penilaian tingkat keberhasilan
penangkaran buaya.

5.2.1. Perkembangan Jumlah dan Pertumbuhan Buaya di Penangkaran

Perkembangan jumlah individu buaya yang ditangkarkan di CV Bintang


Mas dalam periode 2009 sampai 2012 (Mei 2012) seperti disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Jumlah individu buaya muara di CV Bintang Mas Periode 2009-2012

Jumlah Individu pada Awal Tahun Jumlah Individu pada Akhir Tahun
(ekor/cm) per Kelompok Umur (ekor/cm) per Kelompok Umur
Tahun 50- 50 -
< 50 100-200 > 200 Jumlah < 50 100-200 >200 Jumlah
<100 <100
2009 4 271 365 74 714 0 150 184 74 408
2010 0 150 184 74 408 0 75 129 50 254
2011 0 75 129 50 254 5 213 130 50 398
2012 5 213 130 50 398 3 215 130 50 398
Sumber: Rekapitulasi data Rencana Karya Tahunan (RKT) CV Bintang Mas tahun 2009 -
2012
73

Jumlah total individu buaya muara pada bulan Mei 2012 menurut kategori
umur dan ukuran tubuh adalah 398 ekor, terdiri dari anakan (<50 cm) 3 ekor,
buaya remaja (50-<100
<100 cm) 215 ekor, buaya dewasa muda (100-200
200 cm) 130
ekor, dan buaya
ya dewasa (>200 cm) 50 ekor. Gambaran kondisi prosentase jjumlah
individu buaya berdasarkan
berdasarka kelompok ukuran badan pada tahun 2012 disajikan
pada Gambar 8.

1%
12% anakan < 50

remaja 50 - <100
33% 54%
Dewasa Muda
100 - 200
Dewasa > 200

Gambar 8 Jumlah individu buaya muara


m berdasarkan kelompok ukuran panjang
badan di penangkaran CV. Bintang
B Mas Tahun 2012.

Berdasarkan hasil telaahan dokumen dan wawancara diketahui bahwa


jumlah individu buaya yang ada di penangkaran pada tahun 2012 merupakan
pembesaran dari anakan buaya tahun 2007 (165 ekor) dan 2008 (79 ekor) yang
masuk dalam kelompok ukuran panjang badan 50-<100 cm dan empat ekor
berukuran <50 cm atau total sebanyak 248 ekor. Jumlah individu buaya pada
kelompok umur anakan dan remaja (<50 cm dan 50-<100 cm) ini menjadi dasar
analisis keberhasilan pembesaran anakan buaya untuk mencapai ukuran panen
ekonomis.
Hasil analisis menunjukkan,
menunjuk rata-rata pertumbuhan anakan buaya tahun
2007/2008 tersebut tergolong lambat. Data menunjukkan bahwa upaya
pembesaran selama
elama jangka waktu 2007/2008 hingga 2012 atau sekitar 4-5 tahun
ternyata hanya berhasil membesarkan anak buaya mencapai ukuran potong
ekonomis (panjang badan 100-200 cm) sebanyak 130 ekor atau sekitar 52.42 %
dari jumlah anakan buaya (248 ekor). Berdasarkan ket
ketentuan Dirjen PHKA (1987)
secara teknis biologis,, kriteria suatu penangkaran pola pembesaran dipandang
berhasil apabila mampu membesarkan anakan buaya mencapai usia potong pada
74

ukuran minimal panjang badan 150 cm dan lebar perut/dada buaya 37.8 cm
dengan jangka waktu terbaik adalah 3-4 tahun. Bolton (1990) dan Huchzermeyer
(2003) menyatakan bahwa pertumbuhan buaya pada sistem pengelolaan
penangkaran yang dilakukan dengan tepat, baik dan benar jauh lebih cepat
dibanding dengan pertumbuhan buaya liar di alam.
Pembesaran buaya dalam penangkaran pada kelompok umur dewasa muda
hingga dewasa memiliki daya tahan tubuh lebih stabil, dan kelompok umur 50-
<100 cm dan 100-200 cm merupakan masa pertumbuhan buaya yang sangat pesat.
Izzudin (1989) menyebutkan bahwa pada usia dua tahun pertama pertumbuhan
anakan buaya cenderung pada pertambahan berat tubuh bukan ukuran panjang
badan. Berdasarkan masa pembesaran buaya dalam penangkaran milik CV
Bintang Mas, jelas bahwa laju pertumbuhan anakan buaya tersebut tergolong
lambat, sehingga menunjukkan bahwa manajemen penangkaran buaya muara
yang dilakukan di CV Bintang Mas belum tergolong baik.
Perkembangan jumlah individu buaya di penangkaran yang dicatat sebagai
perkembangan mutasi individu, terjadi baik pengurangan karena mati,
dipotong/dipanen ataupun penambahan karena perolehan anakan baru dari alam.
Kondisi jumlah individu buaya pada penangkaran CV Bintang Mas periode data
tahun 2009-2012 disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Kondisi mutasi individu buaya muara di penangkaran CV Bintang


Mas Periode 2009-2012
Mutasi Individu
(-) Stok
Stok Awal
Tahun (+) Mati Potong Akhir
(ekor)
ekor Jumlah Jumlah (ekor) (ekor)
(Ekor) (%)
2009 714 0 6 0.84 300 408
2010 408 0 100 24.50 54 254
2011 254 146 2 0.79 0 398
2012 398 0 0 0 0 398
Jumlah - 146 108 26.13 354 -
Sumber : Rekap data Laporan RKT CV Bintang Mas 2009 – Mei 2012.

Pengurangan jumlah individu buaya akibat kematian buaya pada


pengelompokkan buaya berdasar ukuran panjang badan disajikan pada Tabel 14.
75

Tabel 14 Jumlah kematian buaya muara di CV Bintang Mas Periode 2009-2012

Kematian individu buaya mati


Tahun Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok
Jumlah
Umur <50 Umur 50- Umur 100- Umur
individu
cm <100 cm 200 cm >200 cm
2009 4 2 0 0 6
2010 75 20 5 0 100
2011 0 2 0 0 2
2012 0 0 0 0 0
Sumber : Rekap data Laporan RKT CV Bintang Mas 2009 – Mei 2012

Selain itu, diketahui pula bahwa persentase kematian buaya selama masa
pemeliharaan tahun 2009-2012 berfluktuatif dengan total persentase kematian
26.13% (Tabel 13 dan Tabel 14). Persentase kematian ini termasuk dalam kisaran
10-<30% yang tergolong sedang menurut Pedoman Audit Penangkaran Reptil
(Kemenhut 2011). Umumnya kematian ini terjadi pada kelompok buaya
berukuran <50 cm dan 50-<100 cm sebagai usia kritis dengan resiko kematian
tinggi (Suzzana 2000). Penyebab yang lain atas kematian buaya adalah
kekurangan pakan, dimana dalam kenyataannya pemberian pakan per kandang
hanya mampu dipenuhi sebanyak 2 400.8 gr/kolam/hari pemberian pakan dari ke-
butuhan normal. Kurangnya stok pakan menimbulkan perkelahian pada sesama
buaya untuk memperebutkan pakan yang terbatas, ini mengakibatkan luka yang
dapat menjadi infeksi yang dapat menyebabkan kematian pada buaya dalam
penangkaran. Terkadang akibat kekurangan pakan bahkan dapat terjadi
kanibalisme dengan memburu/memangsa individu buaya yang lemah (sakit) atau
kelainan fisik (cacat atau kerdil). Biasanya terjadi pada ukuran remaja yang
penempatannya secara universal dan membutuhkan pakan lebih banyak untuk
kebutuhan pertumbuhan yang sangat pesat di tahapan kelompok ukuran ini
(Bolton 1990; Huchzermeyer 2003).
Kematian jarang terjadi pada kelompok umur dewasa muda hingga dewasa
sebab pada kelompok umur ini sudah memiliki kemampuan mempertahankan diri
dan kondisi fisiknya sudah lebih stabil dibandingkan kelompok umur lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa dilihat dari perkembangan
jumlah populasi dan pertumbuhan anakan buaya di penangkaran, maka unit
manajemen penangkaran buaya CV Bintang Mas termasuk dalam kategori sedang.
76

Artinya secara teknis manajemen penangkaran buaya muara pola pembesaran


yang dilakukan di CV Bintang Mas sebagai representase dari gambaran praktek
penangkaran buaya di Papua masih tergolong rendah sampai sedang.

5.2.2. Hasil Penilaian Tingkat Keberhasilan Penangkaran

Penilaian tingkat keberhasilan penangkaran dilakukan dengan melibatkan


parapihak yang ditetapkan sebagai responden penilai (R1, R2, R3, R4,R5 dan R6).
Secara keseluruhan ada 12 indikator yang digunakan untuk menentukan penilaian
tersebut, dimana masing-masing mempunyai bobot nilai berbeda sesuai tingkat
urgensinya dalam memberikan kontribusi terhadap keberhasilan penangkaran.
Adapun skor untuk penilaian terhadap setiap indikator ditentukan mulai dari 1-5.
Data dan informasi yang digunakan sebagai acuan didalam memberikan penilaian
didasarkan pada data seri selama tiga tahun (time series data).
Berdasarkan hasil perhitungan terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh
parapihak terhadap unit penangkaran buaya muara pola pmbesaran yang
dilakukan di CV Bintang Mas diperoleh hasil penilaian seperti disajikan pada
Tabel 15.

Tabel 15 Hasil penilaian keberhasilan penangkaran buaya muara pola


pembesaran di CV Bintang Mas tahun 2012

Indi- Skor Penilai


No Pengukur Bobot ∑
kator
R1 R2 R3 R4 R5 R6
1. I.1. Manajemen 0.14 4 4 4 4 4 4 0.560
penangkapan anakan
buaya untuk keperluan
pembesaran di
penangkaran
(penangkapan anakan,
pengelolaan di
penampungan plasma,
pengiriman ke
penangkaran inti)
2. I.2. Pengelolaan pakan 0.13 4 3 4 4 4 4 0.498
3. I.3. Pengelolaan kesehatan 0.08 4 3 4 4 4 4 0.307
4. I.4. Tingkat prosentase 0.12 4 4 4 4 4 4 0.480
kematian dari anakan
hingga umur panen
5 I.5. Lama pemeliharaan 0.11 4 4 4 4 4 4 0.440
/pembesaran dari
anakan hingga umur
panen
77

Tabel 15 Lanjutan

Indi- Skor Penilai


No Pengukur Bobot ∑
kator
R1 R2 R3 R4 R5 R6
6. I.6. Ukuran Panjang badan 0.07 5 4 5 4 4 5 0.315
buaya dan lebar kulit
pada usia panen
7. I.7. Kelayakan sarana 0.09 5 5 5 5 5 5 0.450
prasarana
8. I.8. Ketersediaan tenaga inti 0.06 4 3 4 4 4 4 0.230
penangkaran
9. I.9. Manajemen Penandaan 0.05 4 3 4 3 3 4 0.175
dan pelaporan
10 I.10 Prosentase serapan 0.04 3 3 2 2 3 3 0.107
tenaga kerja dari
masyarakat sekitar
lokasi penangkaran
11. I.11 Dukungan lingkungan 0.03 3 3 3 3 3 3 0.09
sekitar lokasi
penangkaran berupa
dukung keamanan
usaha maupun
lingkungan unit usaha
penang-karan
12 I.12 Prosentase terbukanya 0.03 3 3 2 3 2 3 0.08
lapangan kerja di
lingkungan sekitar
lokasi penangkaran
Jumlah total bobot 1.00
Jumlah Skor akhir 3.732
Indeks keberhasilan 0.622
Prosentase keberhasilan penangkaran 62.2 %
Kategori keberhasilan penangkaran = 60-80 % = CUKUP = (B)
Keterangan: R=Responden (R1,R2,R3,R4,R5,R6); n= jumlah responden penilai (6 orang)

Dari Tabel 15 tersebut dapat dilihat bahwa persentase tingkat keberhasilan


penangkaran buaya muara pola pembesaran di CV Bintang Mas sebesar 62.2%.
Mengacu pada standar kategori tingkat keberhasilan penangkaran reptile, maka
angka 62.2% termasuk dalam kategori cukup (60-80%) atau bernilai mutu B.
Artinya CV Bintang Mas dipandang cukup berhasil didalam melakukan kegiatan
penangkaran buaya muara pola pembesaran, yakni membesarkan anakan buaya
muara yang dikumpulkan dari alam hingga mencapai usia atau ukuran potong
ekonomis menurut ketentuan yang berlaku ((Ditjen PHKA 2001; Kemenhut
2011).
Selain itu dari Tabel 15 juga dapat dilihat adanya perbedaan skor penilaian
yang diberikan oleh masing-masing responden. Dari ke-12 indikator penilaian
78

diketahui bahwa hampir semua indikator yang terkait dengan aspek teknis
penangkaran dinilai dengan nilai cukup, kecuali untuk indikator ketersediaan
tenaga inti penangkaran (I.8) dinilai masih kurang dengan bobot nilai 0.23 (23 %)
dan indikator manajemen penandaan dan pelaporan (I.9) juga masih kurang
dengan bobot nilai 0.175 atau 17.5%.
Adapun untuk indikator yang terkait dengan aspek sosial yakni presentase
serapan tenaga kerja (I.10), dukungan lingkungan sekitar lokasi (I.11) dan
persentase terbukanya lapangan kerja (I.12) semua responden memberikan
penilaian dengan bobot nilai rendah yakni masing-masing 0.107 (10.7%), 0.09
(9%) dan 0.08 (8%). Hal ini menunjukkan bahwa pada aspek teknis maupun aspek
sosial tersebut di atas dalam kegiatan pengembangan penangkaran buaya muara
pola pembesaran di Papua ini masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Sebagai
contoh, persyaratan yang mengharuskan suatu unit usaha penangkaran buaya
mempekerjakan seorang tenaga ahli penangkaran harus dipenuhi, sehingga
diharapkan dapat berperan penting didalam meningkatkan keberhasilan usaha
penangkaran.
Meskipun dari segi teknis khususnya terkait indikator tentang lama
pemeliharaan/pembesaran dari anakan hingga umur panen (I.5) dinilai cukup baik
yakni 0.44 atau 44%, namun fakta menunjukkan bahwa masa pembesaran buaya
untuk mencapai usia potong ekonomis dilakukan di penangkaran CV Bintang Mas
dapat dipandang masih cukup lama yakni sekitar 4-5 tahun. Untuk itu perlu
dilakukan usaha perbaikan manajemen pembesarannya, karena pada manajemen
penangkaran buaya yang tergolong baik apabila kecepatan pembesaran anakan
buaya mencapai usia panen ekonomis dapat dicapai dalam waktu 3-4 tahun.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian terkait dengan hasil penilaian di atas
adalah masih kecilnya bobot penilaian terhadap aspek sosial yang ditunjukkan
oleh bobot nilai pada indikator I.10, I.11 dan I.12. Artinya, pada aspek sosial,
keberadaan usaha penangkaran buaya di Papua ini dinilai belum memberikan
kontribusi signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dilihat dari
serapan tenaga kerja, dukungan masyarakat maupun peluang terbukanya
lapangan usaha. Meskipun demikian, fakta lapang menunjukkan bahwa secara
umum keberadaan unit usaha penangkaran buaya CV Bintang Mas telah diterima
79

keberadaannya oleh masyarakat karena sejauh ini telah dimanfaatkan sebagai


salah satu tempat rekreasi maupun sarana pendidikan bagi pelajar SD sampai
SMA dan mahasiswa perguruan tinggi di Papua. Beberapa wisatawan nusantara
yang berkunjung Jayapura bahkan juga telah menjadikan lokasi penangkaran
buaya ini sebagai tempat rekreasinya. Dengan demikian, ada potensi dan prospek
terbukanya peluang usaha seperti usaha jasa boga, laundry dan angkutan
/transportasi bagi pekerja ataupun wisatawan, sebagai bagian dari dampak positif
keberadaan penangkaran buaya di CV Bintang Mas sebagai tempat rekreasi.
Fakta ini tentu harus terus dibenahi, agar secara sosial unit usaha
penangkaran makin dinilai positif dan berhasil memberikan kontribusi signifikan
terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitar dan pembangunan
ekonomi daerah secara lebih luas, sebagaimana dinyatakan oleh Masy’ud (2001)
bahwa suatu unit usaha penangkaran dikatakan berhasil apabila unit usaha
penangkaran tersebut dapat memberikan kontribusi nyata terhadap perbaikan
kondisi sosial-ekonomi masyarakat sekitar dan menunjang pembangunan ekonomi
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

5.3. Pandangan dan Dukungan Parapihak untuk Keberhasilan dan


Keberlanjutan Penangkaran Buaya Muara di Papua

Buaya sebagai salah satu sumberdaya alam yang telah ditetapkan sebagai
jenis yang dilindungi dan dalam perdagangan internasional dimasukkan dalam
daftar Appendix II CITES, maka tanggungjawab pelestariannya di habitat alami
maupun pengembangan pemanfaatannya secara berkelanjutan bagi kesejahteraan
masyarakat pada dasarnya menjadi bagian dari tanggungjawab bersama semua
pihak, baik pemerintah, dunia usaha, penggiat konservasi, maupun masyarakat
pada umumnya. Oleh karena itu, dalam mendorong upaya pengembangan
penangkaran buaya ke depan dipandang penting untuk mendapatkan pandangan
dan dukungan parapihak. Dukungan parapihak ini sangat diperlukan guna
merealisasikan inti tujuan penangkaran yakni keseimbangan antara pemanfaatan
dan pelestarian (konservasi) buaya di Provinsi Papua.
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan parapihak diperoleh
gambaran umum tentang pandangan dan dukungan yang diperlukan bagi upaya
peningkatan keberhasilan dan keberlanjutan penangkaran buaya muara di Propinsi
80

Papua. Gambaran tentang pandangan dan dukungan parapihak tersebut disajikan


dalam uraian umum di bawah ini.

5.3.1. Pandangan Parapihak Terkait Peningkatan Keberhasilan


Penangkaran Buaya di Provinsi Papua

Pada prinsipnya dapat dinyatakan bahwa keberhasilan program pengelolaan


populasi di penangkaran merupakan bagian integral dari keberhasilan pengelolaan
populasi di alam. Ini berarti bahwa pelaksanaan pengelolaan penangkaran yang
kurang tepat dan tidak berhasil akan berdampak pada ancaman kelestarian
populasi di alam, karena ketergantungan jangka panjang dalam pengambilan
anakan dari alam ataupun pemanenan langsung dari alam akan terus terjadi.
Dengan demikian keberhasilan penangkaran buaya menjadi hal mutlak untuk
mengurangi bahkan menghindari ancaman pemanfaatan langsung dari alam.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap implementasi pengelolaan
penangkaran buaya seperti diuraikan pada bagian terdahulu, diketahui bahwa ada
tiga hal pokok dalam pengelolaan penangkaran pola pembesaran yang masih
memerlukan perbaikan pengelolaannya, yakni: (1) penangkapan anakan dari alam,
(2) pengelolaan kegiatan teknis dalam upaya mempercepat pembesaran buaya di
dalam penangkaran, dan (3) jumlah buaya yang dapat dimanfaatkan sebagai hasil
penangkaran. Secara teknis, dari ketiga hal pokok tersebut ditemukan bahwa
dalam praktek penangkapan anakan masih dilakukan secara tradisional dengan
ukuran panjang badan anakan buaya yang ditangkap umumnya menyalahi standar
ukuran yang ditetapkan pemerintah yakni <80 cm. Adapun pada hal yang kedua
terkait dengan pengelolaan kegiatan teknis penangkaran ternyata masih ditemukan
permasalahan utama adalah terkait dengan pengelolaan pakan baik jumlah
maupun mutunya, sehingga berdampak pada lambatnya kecepatan pertumbuhan
anakan buaya untuk mencapai usia atau ukuran potong ekonomi yakni
membutuhkan waktu 4-5 tahun. Ketersediaan kapasitas sumberdaya manusia
sebagai pengelola yang masih rendah baik di tingkat plasma maupun penangkaran
inti juga merupakan bagian dari permasalahan teknis yang dihadapi dalam
pengelolaan penangkaran di Papua. Oleh karena itu pembahasan pandangan
81

parapihak terhadap upaya peningkatan keberhasilan penangkaran lebih ditekankan


hal-hal tersebut di atas.
Hasil analisis terhadap berbagai pandangan parapihak yang diperoleh dari
hasil wawancara dan diskusi, diketahui setidaknya ada dua hal penting yang
menjadi penekanan dari parapihak untuk ditingkatkan agar pengelolaan
penangkaran buaya muara di Propinsi Papua dapat lebih berhasil. Kedua hal
pokok yang menjadi penekanan dari pandangan parapihak tersebut, adalah: (a)
penguatan kerjasama pengelolaan penangkaran, dan (b) peningkatan kapasitas
pengetahuan konservasi dan keterampialn teknis pengelolaan penangkaran buaya.
Deskripsi umum dari kedua hal tersebut sebagai berikut:

a. Penguatan Kerjasama Pengelolaan Penangkaran Buaya di Provinsi Papua

Pada dasarnya keberhasilan pengelolaan dan pengembangan penangkaran


buaya di Propinsi Papua merupakan bagian dari tanggungjawab bersama
parapihak. Untuk itu diperlukan penguatan kerjasama dengan fokus pada
perbaikan beberapa hal teknis yang masih menjadi permasalahan dalam
pengelolaan penangkaran buaya seperti disebutkan di atas, yakni terkait dengan
pengawasan terhadap penangkapan anakan buaya muara, dukungan penyediaan
pakan buaya di penangkaran dan pengangkutan/transportasi anakan buaya dari
plasma ke penangkaran inti di Jayapura. Rangkuman pandangan parapihak terkait
upaya penguatan kerjasama pengelolaan penangkaran terhadap ketiga hal tersebut
sebagai berikut:

(1) Penguatan kerjasama pengawasan lalu lintas pemanfaatan buaya muara dari
alam di Provinsi Papua

Parapihak berpandangan bahwa dalam rangka menjamin kelestarian


populasi buaya di habitat alaminya, maka salah satu langkah penting yang harus
dilakukan sebagai bagian dari pengembangan penangkaran buaya adalah
kerjasama pengawasan terhadap kegiatan penangkapan anakan buaya di alam dan
lalu lintas pemanfaatan buaya muara di Propinsi Papua. Hasil penelitian di atas
menunjukkan bahwa didalam kegiatan penangkapan anakan buaya untuk
penangkaran oleh plasma penangkap maupun pengumpulannya ternyata
menyalahi aturan tentang ketentuan batas ukuran panjang badan anakan buaya
82

yang boleh ditangkap yakni < 80 cm. Selain itu, penangkapan anakan buaya juga
harus dilakukan di wilayah-wilayah yang telah ditetapkan dengan jumlah
tangkapan pun harus sesuai dengan ketentuan kuota tangkap yang ditetapkan
pemerintah. Oleh karena itu untuk menghindari peluang terjadinya penyimpangan
dalam proses penangkapan diperlukan penguatan kerjasama pengawasan dari
berbagai pihak.
Terkait dengan upaya mengatasi atau mencegah kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam proses penangkapan anakan buaya secara terus menerus,
maka parapihak berpendapat bahwa perlu diusahakan penguatan dukungan
berbagai pihak yang selama ini sudah terlibat aktif didalam kegiatan pemanfaatan
buaya muara di Papua. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses penangkapan
anakan buaya untuk penangkaran para plasma penangkap lebih memperhatikan
dan mematuhi secara konsistem semua peraturan atau ketentuan tentang batas
ukuran badan anakan buaya yang boleh ditangkap serta jumlah kuota tangkap dan
wilayah tangkapnya.
Upaya penguatan dukungan kerjasama parapihak tersebut dapat dijelaskan
secara singkat sebagai berikut:

 Penguatan dukungan berdasarkan kearifan masyarakat lokal didalam


pemanfaatan buaya muara di Provinsi Papua. Sebagaimana diketahui, selama
ini masyarakat lokal di Papua secara tradisional dan turun temurun telah
melakukan kegiatan pemanfaatan buaya dengan cara berburu buaya pada
waktu-waktu tertentu sebagai wujud kearifan masyarakat lokal (BBKSDA
2009). Secara tidak langsung kearifan lokal tersebut berkaitan dengan
pengaturan pembatasan pemanfaatan buaya dari alam. Oleh karena itu
kearifan ini dapat bermanfaat sebagai modal dasar didalam memperkuat
kerjasama pengawasan penangkapan anakan buaya yang dapat menjamin
kelestarian populasinya di alam.

 Penguatan dukungan kerjasama dari masyarakat yang tergabung sebagai


anggota plasma dalam sistem PIR penangkaran buaya. Dalam pengembangan
penangkaran buaya dengan sistem PIR, masyarakat sebagai anggota plasma
baik plasma penangkap maupun plasma pengumpul memiliki peranan sangat
penting dan menentukan terhadap jaminan kelestarian populasi buaya di
83

alam, karena merekalah yang secara langsung maupun tidak langsung


melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengumpulan anakan buaya dari
alam. Buaya di alam merupakan sumber pendapatan masyarakat. Oleh karena
itu pelibatan masyarakat khususnya yang menjadi anggota plasma didalam
pengawasan langsung terhadap kegiatan penangkapan tentu sangat penting
dan menentukan keberhasilan usaha pelestarian populasi buaya di alam dan
pemanfaatannya secara berkelanjutan. Dengan demikian, upaya menjadikan
anggota plasma sebagai karyawan/pegawai ataupun menjadi bagian tak
terpisah dari pelaku usaha pengembangan penangkaran buaya tentu akan
berdampak positif terhadap pengamanan kelestarian potensi sumber daya
buaya di habitat alaminya.

 Penguatan peran pemerintah melalui peningkatan tindakan pengawasan dan


penegakan peraturan pemanfaatan buaya. Untuk menjamin kelestarian
populasi buaya di alam dan keberlanjutan pemanfaatannya, maka sesuai tugas
pokok dan fungsinya (tupoksi), pemerintah khususnya instansi kehutanan di
daerah harus secara konsisten dan bertanggungjawab meningkatkan tindakan
pengawasan dan penegakan hukum yang terkait dengan ketentuan
pemanfaatan buaya khususnya dalam hal penangkapan anakan buaya di alam.
Instansi-instansi Kehutanan daerah seperti Dinas Kehutanan Mamberamo
Raya di tingkat kabupaten, Unit Pelaksana Terpadu Daerah Wilayah I
Jayapura, dan BBKSDA Papua (Bidang KSDA Wilayah II Nabire dan Seksi
Konservasi Wilayah IV Sarmi serta dibantu oleh Resort-resort yang
terbentuk) termasuk aparat Kepolisian Sektor di daerah Kecamatan dan
petugas karantina hewan, perlu ditingkatkan koordinasi dan kerjasamanya
dalam melakukan pengawasan dan penegakan aturan yang berlaku. Upaya
pengawasan dan penegakan aturan main yang terjadi selama ini dapat
dinyatakan masih belum optimal dan tidak memberikan dampak positif
terhadap keseluruhan upaya konservasi buaya khususnya, maupun konservasi
sumberdaya alam hayati secara luas. Oleh karena itu, ke depan diperlukan
penguatan peran pemerintah seperti dimaksudkan di atas.

 Penguatan dukungan kerjasam monitoring populasi buaya muara di daerah-


daerah potensi buaya melalui kerjasama parapihak baik lembaga-lembaga
84

penelitian seperti LIPI, perguruan tinggi maupun lembaga swadaya


masyarakat dengan BBKSDA sebagai pemegang otoritas konservasi
sumberdaya alam. Pada prinsipnya, pelaksanaan kegiatan penangkapan akan
menjadi benar dan tidak berdampak negatif terhadap kondisi populasi di
alam, apabila didasarkan pada dukungan data dan informasi yang akurat
tentang kondisi populasi buaya di alam. Oleh karena itu penguatan dukungan
kerjasama monitoring populasi buaya menjadi penting dan harus ditingkatkan
pada masa mendatang.

(2) Transportasi dan teknik pengiriman anakan buaya dari alam

Transportasi anakan buaya dari plasma ke penangkaran inti diketahui


mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberhasilan kegiatan penangkaran di
penangkaran inti, karena ternyata banyak terjadi kematian dan luka pada buaya
baik selama transporasi maupun masa-masa awal di penangkaran inti. Di antara
faktor penyebabnya adalah kekurangan kuantitas dan kualitas sarana transportasi
serta jauhnya jarak transportasi dari plasma ke penangkaran inti. Oleh karena itu
diperlukan penguatan kerjasama parapihak terutama pemerintah daerah di dalam
meningkatkan perbaikan sarana-prasarana transportasi. Selain itu juga perlu
dilakukan usaha penyempurnaan teknik pengangkutan terutama terkait dengan
pengepakan buaya dalam proses pengangkutannya.
Pembangunan sarana transportasi oleh Pemda juga dimaksudkan untuk
dapat membantu mempercepat pembangunan daerah sekitar. Selain itu, terkait
dengan kepentingan pengangkutan buaya dari plasma ke inti, maka pembangunan
sarana transportasi tersebut juga sekaligus menjawab permasalahan masyarakat
anggota plasma penangkap maupun pengumpul yang harus berkorban tenaga dan
waktu yang cukup besar untuk mengirim anakan dari plasma pengumpul ke
penangkaran inti. Besarnya pengorbanan tersebut ternyata tidak seimbang dengan
hasil atau besarnya pendapatan yang diperoleh karena banyak anakan buaya yang
mati dan kulit buaya yang dihasilkan mempunyai kualitas rendah bahkan menjadi
rusak. Bolton (1990), mengemukakan bahwa dalam pengepakan dan pengiriman
buaya hendaknya diupayakan dilakukan sebaik mungkin untuk menghindari luka
akibat persinggungan fisik yang berakibat kematian pada buaya. Berdasarkan hal
85

itu, maka pandangan parapihak ini menjadi penting dan harus mendapat perhatian
perbaikannya agar usaha penangkaran buaya ke depan menjadi lebih berhasil.

(3) Peningkatan kerjasama penyediaan kebutuhan pakan buaya di penangkaran

Pakan merupakan unsur penting yang memerlukan perhatian karena


ketidakcermatan penanganannya berdampak besar terhadap keberhasilan dan
keberlanjutan pengelolaan usaha penangkaran buaya muara pola pembesaran.
Hasil penelitian seperti telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa salah satu
permasalahan yang terkait dengan pengelolaan penyediaan pakan adalah
kontinuitas penyediaan pakan baik jumlah maupun mutu yang sesuai dengan
kebutuhan buaya di penangkaran.
Berdasarkan wawancara parapihak diperoleh kesatuan pendapat bahwa
untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan penguatan koordinasi dan
kerjasama antar berbagai pihak agar usaha penyediaan pakan tersebut dapat
dipenuhi. Salah satunya dari sektor peternakan dan perinakan dimana belum
dimanfaatkannya secara optimal sisa produksi daging hasil usaha peternakan dan
perikanan terutama untuk mengatasi penyediaan pakan untuk penangkaran buaya.
Laporan Tahunan dari Dinas Kelautan dan Perikanan mengenai pasokan daging
dan ikan beku (frozen) untuk memenuhi kebutuhan ikan di Kota Jayapura ternyata
tidak seluruhnya habis dimanfaatkan dimana pada data akhir tahun diketahui
masih ada sisa ikan beku yang tidak dimanfaatkan (DKP 2012).
Jumlah pasokan ikan beku tahun 2011 sebanyak 36 653 kg namun hanya
dimanfaatkan sebanyak 35 070 kg, sehingga terdapat sisa sekitar 1 583 kg atau
1.583 ton per tahun. Pada nilai pertumbuhan sektor perikanan menunjukkkan ada
peningkatan produksi perikanan selama periode tahun 2006-2011 sebesar 2.36%
atau sebanyak 278.58 kg ikan (DKP 2012). Selain itu DKP telah berupaya
menggalakkan program penambahan armada kapal penangkap ikan, penerapan
teknologi tangkap yang lebih baik, serta menggalakkan peningkatan usaha
budidaya perikanan darat melalui penambahan jumlah kolam-kolam tambak dan
luasan wilayah pengembangan sektor perikanan di beberapa wilayah potensi
perikanan (DKP 2012).
86

Artinya sektor perikanan sebenarnya memberikan harapan pada pemenuhan


kebutuhan pakan penangkaran buaya apabila ada koordinasi dan kerjasama yang
terbangun dengan baik antar parapihak terhadap keberhasilan dan keberlanjutan
pengembangan usaha penangkaran buaya di Papua dapat terwujud dengan baik.

b. Peningkatan kapasitas pengetahuan konservasi sebagai landasan


pemanfaatan buaya muara

Hal kedua yang menjadi penekanan pandangan parapihak terkait dengan


keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan usaha penangkaran buaya di Papua
adalah peningkatan kapasitas pengetahuan masyarakat tentang konservasi dalam
arti luas, khususnya yang terkait dengan pemanfaatan buaya secara berkelanjutan.
Dikemukakan, bahwa penyadartahuan masyarakat tentang pengetahuan
konservasi akan sangat membantu usaha-usaha pengembangan penangkaran
buaya termasuk pengawasan peredaran pemanfaatan buaya sebagai satwa liar
yang dilindungi dan bernilai ekonomi tinggi. Dengan penguasaan pengetahuan
konservasi yang memadai, maka akan timbul kesadaran dan pemahaman yang
benar tentang batasan-batasan yang harus diperhatikan seseorang atau kelompok
masyarakat di dalam mengambil tindakan pemanfaatan yang berpijak pada
prinsip-prinsip pemanfaatan lestari (Alikodra 2010).
Terkait dengan upaya peningkatan kapasitas pengetahuan konservasi
tersebut, maka sebenarnya telah banyak upaya yang dilakukan berbagai pihak
untuk meningkatkan pengetahuan konservasi dari masyarakat. Di antara upaya-
upaya tersebut yang perlu terus didorong peningkatannya ke depan, sebagai
berikut:
 Pembentukan dan pembinaan kader konservasi, penggalakan penyuluhan dan
pendidikan konservasi bagi masyarakat di daerah-daerah yang dinilai sebagai
kantong potensial populasi buaya. Berdasarkan data BBKSDA (2012)
kegiatan-kegiatan tersebut sudah dilakukan oleh BBKSDA dari Unit
Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Wilayah I Jayapura dan Dinas Kehutanan
Mamberamo Raya maupun instansi Pemda setempat lainnya.

 Pembinaan Asosiasi Pengusaha Penangkar Buaya Indonesia (APPBI).


APPBI sebagai organisasi para pengusaha penangkar buaya, pada dasarnya
87

mempunyai peranan penting dalam menjembatani keinginan dan memfasilitas


upaya pemecahan permasalahan yang dihadapi pengusaha dan penangkar
dengan industri serta menggali potensi pasar internasional (Ditjen PHKA
2001). Oleh karena itu, untuk memperkuat peran dan tanggungjawabnya
diperlukan upaya pembinaan dan penguatan kapasitasnya agar dapat
berfungsi lebih optimal.

 Pembinaan kapasitas SDM pengelola penangkaran di tingkat plasma


penangkap dan plasma pengumpul, terutama terkait dengan peningkatan
pengetahuan dan keterampilan teknik penangkapan anakan buaya dan
pemeliharaannya sebelum diangkut ke penangkaran inti. Beberapa aspek
teknis yang perlu diperkuat kemampuannya pada anggota plasma adalah
berupa pengetahuan konservasi tentang memilih anakan yang berkualitas di
alam dan sesuai dengan ketentuan ukuran badan yang ditetapkan, dan
pembuatan catatan asal-usul daerah tangkap anakan sebagai langkah awal
registrasi buaya di penangkaran baik dalam bentuk stuudbook maupun
logbook (catatan harian di lapangan). Upaya pembinaan ini diharapkan dapat
berdampak positif terhadap penguatan ikatan kerjasama dalam pengelolaan
penangkaran sehingga upaya pengembangan penangkaran buaya ke depan
menjadi lebih berbahasil.

 Pembinaan mental dan tanggung jawab petugas di lapangan. Secara umum


telah diketahui bahwa kendala yang dihadapi di lapangan dalam usaha
menjaga konservasi menurut Supriatna (2008) terkait dengan kekurangan
jumlah dan kemampuan SDM, dukungan pendanaan yang tidak merata,
degradasi moral dan disiplin para petugas, tidak adanya perhatian dan
penghargaan untuk petugas di lapangan, serta kurangnya penegakan hukum
dan dukungan pusat. Kelemahan ini membuka peluang terjadinya
pelanggaran-pelanggaran, dan apabila pelanggaran tersebut terus dibiarkan
maka dapat berdampak luas terhadap keberhasilan usaha pelestarain buaya
dan pengembangan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat. Bentuk
pembinaan mental dan tanggungjawab petugas dan aparat pemerintah dapat
juga ditekankan pada usaha penyegaran penguasaan peraturan perundangan
88

dan penegakannya, serta ketegasan pemberian sanksi bagi siapa saja yang
melanggar.

5.3.2. Harapan Parapihak bagi Keberhasilan dan Keberlanjutan Program


Penangkaran Buaya di Provinsi Papua

Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan parapihak, dapat dicatat


ada beberapa harapan yang perlu diperhatikan bagi keberhasilan dan keberlanjutan
program pengembangan penangkaran buaya di Papua. Hal ini dipandang penting,
karena secara tradisional pemanfaatan buaya sudah melekat sebagai bagian dari
kultur masyarakat lokal, sementara dari segi kebijakan pemerintah, pengem-
bangan penangkaran buaya muara di Papua juga ditetapkan sebagai salah satu
upaya strategis pemanfaatan sumberdaya alam hayati bagi dukungan
pembangunan ekonomi daerah, penyediaan lapangan usaha dan perbaikan
kesejahteraan masyarakat. Adapun beberapa harapan parapihak yang perlu
mendapat perhatian tersebut, sebagai berikut:

a. Perbaikan pengelolaan penangkaran buaya dengan pola pembesaran

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan


penangkaran buaya pola pembesaran di Propinsi Papua masih tergolong dalam
kategori cukup (bernilai mutu B), sehingga secara teknis masih diperlukan upaya
perbaikan pengelolaannya agar tingkat keberhasilannya menjadi lebih baik. Secara
spesifik minimal ada dua harapan terkait perbaikan pengelolaan penangkaran yang
perlu dilakukan, yakni:
 Perbaikan sistem manajemen pelaporan pelaksanaan penangkaran buaya.
Sebagai jenis satwa yang dilindungi dan termasuk dalam kategori Appendix II
CITES, mengharuskan adanya system pelaporan yang jelas dan teratur
tentang realisasi dan perkembangan pemanfaatannya (Kemenhut 2011).
Kealpaan didalam memenuhi kewajiban pelaporan tersebut dapat berakibat
buruk pada kemungkinan terjadinya perubahan status buaya dalam Appendix
II ditransfer menjadi Appendix I yang berarti larangan penuh untuk
memanfaatkan buaya dalam perdagangan internasional sebagaimana diatur
didalam resolusi 11.16 CITES mengenai Ranching and trade in ranched
specimens of species transfered from Appendix I to Appendix II (Dirjen
89

PHKA 2001). Apabila hal ini terjadi maka pemberlakuan kebijakan


pengembangan penangkaran buaya pola pembesaran menjadi terlarang.
Artinya tidak lagi diperbolehkan pemanfaatan buaya secara langsung dari
alam, atau hanya diijinkan dari hasil captive breeding sebagaimana dimaksud
dalam resolusi 10.16. Oleh karena itu, perlu dibenahi system manajemen
pelaporan dan monitoring pelaksanaan penangkaran pola pembesaran, baik
pada setiap unit usaha penangkaran maupun oleh pemerintah yakni Ditjen
PHKA sebagai pemegang otoritas pengelolaan (management authority).

 Perbaikan manajemen data pemanenan buaya dari habitat alam melalui


perbaikan monitoring manajemen data buaya tangkapan di setiap unit usaha
penangkaran buaya pola pembesaran. Secara teknis pemantauan data kondisi
populasi di alam menghadapi banyak kesulitan dan memerlukan dukungan
sumberdaya yang besar baik dana, waktu maupun SDM. Oleh karena itu
system manajemn data buaya hasil tangkapan secara akurat di setiap unit
usaha penangkaran dapat dijadikan sebagai indikator untuk melihat gambaran
perkembangan kondisi populasi buaya di habitat alam sekaligus sebagai salah
satu sarana untuk survei populasi buaya (Ditjen PHKA 2001). Dengan
demikian, upaya perbaikan sistem manajemen data hasil tangkapan buaya di
setiap unit usaha penangkaran buaya akan sangat membantu ketersediaan data
dan informasi yang akurat, sekaligus dapat digunakan sebagai data dan
informasi ilmiah mengenai gambaran kondisi populasi buaya, habitat buaya
dan dasar penetapan kuota tangkap untuk pemanfaatan buaya secara langsung
maupun untuk keperluan penangkaran.

b. Perbaikan Manajemen Pemanfaatan Buaya Secara Lestari atau


Berkelanjutan (sustainable use)

Harus diakui bahwa masih banyak anggota masyarakat kita di desa-desa


khususnya di Papua yang menggantungkan pemenuhan kebutuhan protein
hewaninya dari memanfaatkan daging segar (bush meat) dari satwaliar dengan
cara berburu di habitat alaminya, begitu pula halnya dengan pemanfaatan buaya.
Sebagai sumberdaya alam maka buaya juga dipandang sebagai sumberdaya yang
memiliki sifat terbuka untuk diakses (open access) oleh masyarakat luas, sehingga
90

secara umum setiap pemanfaat cenderung berperilaku bebas untuk


memanfaatkannya dengan bebas memanen semua buaya yang ditemukannya di
alam (Prianto 2011). Meskipun buaya juga telah ditetapkan sebagai jenis yang
dilindungi, sehingga dalam pemanfaatannya pun telah diatur dengan peraturan
tertentu seperti penetapan batas ukuran yang boleh dipanen dan jumlah kuota serta
wilayah penangkapannya.
Fakta menunjukkan masih terjadi penyimpangan praktek pemanfaatannya di
lapangan, yang dapat berdampak luas terhadap ancaman kelestarian populasi di
alam dan keberlanjutan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat seperti
fenomena penyimpangan penangkapan anakan buaya yang ditemukan dalam
penelitian ini. Oleh karena itu diperlukan usaha perbaikan manajemen
pemanfaatan buaya secara lestari, melalui peningkatan kesadaratahuan
masyarakat, penguatan pengetahuan dan keterampilan pelaku pemanfaatan buaya
(plasma dan penagkar), penegakan hukum dan aturan main pemanfaatan buaya.
Hal ini menjadi penting karena pemanfaatan secara benar sesuai prinsip-
prinsip pemanfaatan lestari, selain membuka harapan tersedianya lapangan
pekerjaan dan peluang usaha yang luas, secara berkelanjutan juga dapat menjamin
kelestarian populasinya di alam. Nilai komersil buaya tersebut memberi manfaat
bagi banyak pihak, sehingga upaya perbaikan manajemen pemanfaatannya secara
lestari menjadi hal mutlak. Penguatan kapasitas pengetahuan dan pelibatan aktif
masyarakat lokal dengan sistem PIR didalam pengembangan manajemen
pemanfaatan buaya secara lestari, diharapkan dapat mengendalikan pola
pemanfaatan langsung buaya di alam yang cenderung tanpa kendali dan
menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Juga menjadi bentuk penghargaan dan
pengakuan keberadaannya untuk secara bersama-sama berperan didalam usaha
menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat dan pembangunan nasional. Peran
pemerintah sebagai pemegang otoritas pengelolaan (management authority)
sumberdaya alam terutama didalam merumuskan kebijakan, menentukan aturan
(regulasi) yang tepat dan pengawasan serta penegakan hukum (law enformcment)
terkait pemanfaatan buaya, akan berdampak positif terhadap jaminan kelestarian
populasi buaya di alam dan keberlanjutan pemanfaatannya bagi kesejahteraan
masyarakat dan pembangunan nasional.
91

5.4. Implikasi Hasil Penelitian bagi Upaya Pengelolaan Penangkaran


Buaya Muara di Provinsi Papua

Berdasarkan hasil penelitian sebagaiman diuraikan di atas, maka timbul


pertanyaan, apa implikasi penting bagi upaya perbaikan pengelolaan penangkaran
dan pemanfaatan buaya di Propinsi Papua. Minimal ada dua implikasi penting
yang perlu menjadi perhatikan yakni perbaikan manajemen pemanfaatan buaya
dari alam, dan perbaikan manajemen pemanfaatan buaya dari penangkaran.

5.4.1. Pemanfaatan Buaya dari Alam untuk Keperluan Penangkaran

Terkait dengan pemanfaatan atau penangkapan buaya muara dari alam


untuk keperluan penangkaran, hasil penelitian ini sebagaimana diuraikan di atas
menunjukkan masih adanya keterbatasan penguasaan teknik penangkapan dan
pengumpulan anakan di tingkat plasma yang berdampak pada banyaknya
kematian buaya serta menurunnya kualitas kulit buaya yang dihasilkan. Selain itu
juga masih ditemukan adanya penyimpangan penangkapan anakan buaya yang
berukuran lebih besar dari ketentuan yang telah ditetapkan (<80 cm). Kewajiban
penangkar untuk melakukan restocking sebesar 10% dari jumlah buaya siap panen
di penangkaran juga belum dipenuhi. Ketidakberhasilan penangkaran buaya yang
dimulai dari tahapan penangkapan dapat berdampak luas terhadap kelestarian
populasi di alam. Ketika hasil penangkaran belum dapat diharapkan maka
pemanfaatan langsung dari alam menjadi keterpaksaan pilihan dengan melakukan
kegiatan penangkapan dan perdaganagn secara ilegal (Prianto 2011).
Penangkapan buaya dari alam secara terus menerus tanpa mengindahkan
batasan penangkapan anakan buaya pada ukuran panjang badan yang telah
ditetapkan (<80 cm), tidak dilakukannya restocking sebagai salah satu cara untuk
menjaga keseimbangan dan kelestarian populasi di alam menjadi permasalahan
serius kelestarian populasi buaya di alam. Oleh karea itu diperlukan langkah-
langkah pembenahan secara lebih konsisten dan bertanggungjawab oleh berbagai
pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap
kelestarian populasi buaya dan pemanfaatannya bagi kehidupan ekonomi
masyarakat.
Berdasarkan pemikiran tersebut tindakan yang perlu dilakukan terkait
pemanfaatan buaya di alam untuk keperluan penangkaran sebagai berikut:
92

 Program penyadartahun masyarakat (social awareness), dapat dilakukan


melalui kegiatan: (1) pendidikan formal, informsal dan non-formal untuk
menanamkan rasa cinta dan kesadaran lingkungan dari masyarakat, termasuk
dalam hal kepatuhan terhadap aturan pemanfaatan buaya dari alam sesuai
batasan jumlah dan ukuran panjang badan anakan buaya yang telah
ditetapkan; (2) penyebarluasan informasi tentang pentingnya upaya
pemanfaatan buaya di alam secara lestari, dan keharusan menjaga kelestarian
daerah-daerah yang diketahui sebagai potensial populasi buaya agar
keberadaan buaya sebagai salah satu sumber matapencaharian penduduk tidak
hilang.

 Program pengawasan pemanfaatan buaya dari alam, dapat dilakukan melalui


kegiatan: (1) peningkatan kerjasama pengawasan antar berbagai pihak dan
instansi pemerintah termasuk penegakan hukum dan aturan main yang terkait
dengan perlindungan dan pemanfaatan buaya; (2) peningkatan kerjasama
pengawasan di daerah-daerah rawan pelanggaran dan mempermudah
birokrasi perijinan pemanfaatan buaya; (3) pengendalian perdagangan liar
dengan mengontrol kuota pemanfaatan, survei potensi di alam untuk
memperkecil terjadinya perburuan liar bagi perdagangan ilegal.

 Program peningkatan kesejahteraan masyarakat, dapat dilakukan melalui


kegiatan: (1) mengembangkan ekonomi alternatif bagi masyarakat yang
berada di daerah kantong populasi buaya agar tidak terlalu tergantung pada
pemanfaatan buaya dari alam; (2) penguatan implementasi system PIR secara
konsisten dan bertanggungjawab dengan menjadikan posisi dan peran
parapihak baik plasma maupun inti sebagai adil, proporsional dan transparan.

5.4.2. Pemanfaatan buaya dari penangkaran

Pelaksanaan penangkaran buaya muara pola pembesaran memerlukan


keberanian untuk belajar dari pengalaman beberapa unit usaha penangkaran di
luar Provinsi Papua terutama di negara-negara yang diberlakukan sistem ranching
(pola pembesaran). Unit usaha penangkaran di luar Indonesia dan di beberapa
tempat di luar Propinsi Papua, mulai bergeser secara perlahan dari pola
pembesaran (ranching) ke pola pengembangbiakan (captive breeding) seperti
93

penangkaran buaya di Australia dan Papua New Guinea. Awalnya pola


penangkaran yang dilakukan berupa pengambilan telur dari alam, karena
pengambilan bibit telur dapat menekan beberapa biaya, antara lain pembangunan
kandang pengembangbiakan, pakan dan biaya pengiriman (Cox 2010; Beyeler
2011).
Kekurangan pada pilihan pengambilan telur dari alam terletak pada jaminan
kualitas individu dari telur yang tidak diketahui induknya secara tepat. Buaya
betina muda menghasilkan telur yang kecil yang menunjukkan rendahnya kualitas
anakan hidup dan ukuran tubuh anakan hasil tetas telur dari alam (Maree & Casey
1993; PWSNT 2008). Pemilihan pengambilan telur dari alam memiliki
konsekuensi penyiapan tenaga teknis dan tehnologi yang menjamin keberhasilan
penetasan dan daya hidup anakan dari telur tersebut. Pengumpulan telur di alam
juga memerlukan waktu lebih lama dan banyak tenaga mencari persarangan buaya
di alam (Huchzermeyer 2003). Provinsi Papua dan Negara Papua New Guinea
berada pada satu daratan besar yang kemungkinannya memiliki kesamaan kondisi
alam. Untuk itu penggabungan pola penangkaran antara pola pengembangbiakan
berbarengan dengan pola pembesaran menjadi penting dan perlu segera
diupayakan pelaksanaannya. Langkah ini mengharuskan ketersediaan tenaga
profesional dan dan penguasaan teknologi penangkaran buaya secara baik.
Apabila kedua hal pokok ini belum tersedia dengan baik, maka alternatif
pembesaran dengan cara pengambilan telur dari alam belum menjadi pilihan yang
baik saat ini.
Pilihan pada pola pengembangbiakan untuk menjamin perolehan kualitas
produksi penangkaran yang baik dan mengurangi beban biaya pengiriman anakan
dari alam dapat dilakukan secara bertahap sambil menyiapkan kebutuhan tenaga
ahli maupun teknologi penangkarannya. Hal ini juga dilakukan oleh unit usaha
penangkaran buaya di Afrika Selatan (Bolton 1990), Thailand dan Filipina (CSG
2005), yakni mengembangkan penangkaran buaya yang ditujukan untuk
menghasilkan kulit dan secara bersama-sama mengembangkan unit usaha
penangkaran sebagai unit usaha jasa wisata dan pendidikan.
Ada beberapa program yang dapat dilakukan untuk memperkuat usaha
pemanfaatan buaya melalui usaha penangkaran. Berkaitan dengan hasil penelitian
94

ini, maka minimal ada dua program utama yang perlu dilakukan untuk
memperkuat pengembangan penangkaran sebagai unit usaha pemanfaatan buaya
secara berkelanjutan, yakni:
a. Program Penguatan Sistem PIR penangkaran buaya melalui Pola “bapak
angkat” sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat local:
Melalui program ini masyarakat lokal secara luas akan dilibatkan secara aktif
didalam usaha penangkaran buaya. Harapannya masyarakat dapat memiliki
kepedulian dengan memperbaiki kebiasaannya yang mengandalkan budaya
subsisten atau peramu dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya kepada sikap
dan tindakan yang lebih teratur dan terencana di dalam kegiatan
penangkapan, pengumpulan dan pemeliharaan buaya. Sistem kerja yang
teratur dengan menerapkan teknologi penangkaran memerlukan bimbingan
penangkar inti sebagai ‘bapak asuh’. Dengan pola demikian, secara bertahap
menimbulkan rasa memiliki pada masyarakat lokal untuk juga melakukan
usaha-usaha pelestarian buaya di habitat alaminya.
b. Program perubahan pola penangkaran buaya dari pola pembesaran (ranching)
ke pola pengembangbiakan (captive breeding):
Penangkaran pola pembesaran selama ini kurang berjalan sebagaimana
mestinya sehingga akan menjurus pada pembenaran tindakan pemanfaatan
langsung dari alam. Jika kejadian ini berlangsung berkepanjangan akan
berdampak negatif terhadap jaminan kelestarian populasi buaya muara di
alam. Oleh karena itu harus ada upaya secara bertahap untuk memulai
menggeser pengembangan usaha penangkaran buaya pola pembesaran di
Papua kepada pola pengembangbiakan. Penangkaran pola pengembangbiakan
sebenarnya telah berlangsung bahkan ada yang telah berhasil dilaksanakan
oleh unit usaha penangkaran diluar wilayah Papua. Oleh karena itu, perlu ada
langkah-langkah nyata untuk memulai usaha penangkaran pola
pengembangbiakan berupa penegasan di tingkat kebijakan pemerintah,
bimbingan dan pendampingan oleh pemerintah, fasilitasi kerjasama antara
unit usaha penangkaran buaya di Papua dengan unit usaha penangkaran
buaya yang telah berhasil di luar Papua, dan penetapan sistem insentif bagi
unit usaha yang berhasil mengembangbiakan buaya di penangkaran.
VI. SIMPULAN DAN SARAN

6.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Penguasaan pengetahuan dan praktek teknologi penangkaran buaya muara
pola pembesaran di Provinsi Papua tergolong sedang. Ukuran panjang anakan
buaya yang ditangkap untuk penangkaran umumnya lebih panjang dari
ukuran yang ditetapkan pemerintah (<80 cm), masa pembesaran untuk
mencapai ukuran potong ekonomis lebih lama (4-5 tahun) dengan tingkat
kematian 10-30%, kapasitas sumber daya manusia (SDM) pengelola masih
rendah dengan sarana prasana memadai.
2. Tingkat keberhasilan pengelolaan penangkaran buaya muara dengan pola
pembesaran di Papua termasuk kategori cukup (B) dengan nilai persentase
keberhasilan 62.2%.
3. Secara umum parapihak (stakeholders) menyatakan dukungan bagi upaya
peningkatan keberhasilan dan keberlanjutan penangkaran buaya di Provinsi
Papua, dengan beberapa harapan aksi yang perlu dilakukan ke depan, yakni:
(a) peningkatan kerjasama pengawasan pemanfaatan buaya, termasuk
peningkatan kesadaran masyarakat agar ikut berperan aktif didalam
pengawasan peredaran pemanfaatan buaya; (b) perbaikan manajemen
penangkaran terkait status buaya dalam perdagangan internasional (Appendix
II CITES); (c) pengembangan penangkaran buaya dengan sistem PIR secara
benar, konsisten dan bertanggungjawab; dan (d) perubahan dan peningkatan
manajemen penangkaran buaya muara dari pola pembesaran (rearing atau
ranching) menjadi pola pengembangbiakkan (captive breeding).

6.2. Saran

Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjamin kelestarian populasi buaya di habitat alaminya dimana


penangkaran sebagai bagian integral dari strategi konservasi buaya in situ,
maka perlu ketegasan pemerintah didalam penegakan peraturan perundangan
96

(law enfrocement) yang terkait dengan: (a) ukuran panjang anakan buaya
yang ditangkap dari alam untuk penangkaran yakni <80 cm; dan (b)
kewajiban unit manajemen penangkaran untuk mengembalikan buaya ke
alam (restocking) sebesar 10% dari jumlah buaya hasil penangkarannya.
2. Dalam rangka mempertinggi tingkat keberhasilan penangkaran buaya di
Provinsi Papua, sekaligus sebagai upaya mengurangi ancaman pemanfaatan
langsung dari alam secara terus-menerus, maka segera dilakukan perbaikan
manajemen penangkaran buaya, antara lain melalui: (a) penyediaan tenaga
ahli penangkaran sesuai ketentuan yang berlaku; (b) peningkatan kapasitas
SDM pengelola termasuk animal keeper baik di tingkat penangkaran inti
maupun plasma, (c) perbaikan sarana prasarana penangkaran di penangkaran
inti dan plasma; (d) mulai melakukan perubahan manajemen penangkaran
dari pola pembesaran (ranching atau rearing) menuju pola
pengembangbiakan (captive breeding).
3. Agar pengembangan penangkaran buaya lebih berhasil secara sinergis dan
berkelanjutan (sustainable) baik dari aspek sosial-budaya, ekonomi dan
ekologi, yang ditandai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka
manajemen penangkaran buaya dengan pola PIR harus diterapkan secara
benar dan konsisten oleh para pihak dan diawasi secara bertanggungjawab
oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas pengelolaan (management
authority).
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada semua unit usaha penangkaran
buaya di Provinsi Papua untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih
komprehensif agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan kebijakan
keberlanjutan pengelolaan penangkaran buaya pola pembesaran dan
kemungkinan perubahannya menuju penangkaran pola pengembangbiakan
sebagai bagian dari strategi konservasi buaya jangka panjang di wilayah
Papua.
DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Mempertahankan


Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: PT Penerbit IPB Pres.
[BBKSDA Papua] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. 2009a.
Survey Monitoring Populasi Buaya Zona Mamberamo Kampung Totoberi
2009. Jayapura: BBKSDA Papua.
[BBKSDA Papua] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. 2009b.
Survey Monitoring Populasi Buaya di Pulau Dolok/Kimam 2009. Jayapura:
BBKSDA Papua.
[BBKSDA Papua] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. 2010.
Laporan Tahunan 2009. Jayapura: BBKSDA Papua.
[BBKSDA Papua] Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. 2012.
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Balai Besar
KSDA Papua Tahun 2011. Jayapura: BBKSDA Papua.
Beyeler PM. 2011. Protein requirements of juvenile Nile crocodiles (Crocodylus
niloticus) in an intensive production systems. [Submititted in partial
fulillment of the requirements for the degre Animal Nutrition (M.Sc)].
South Africa: In the Faculty of Natural and Agriculturel Sciences University
of Pretoria.
Bolton M. 1981. Crocodille Husbandry in Papua New Guinea. Port Moresby:
FAO.
Bolton M. 1989. The management of crocodiles in captivity. Rome: Food and
Agriculture Organization of the United Nation.
Bolton M. 1990. The management of crocodiles in captivity (FAO: Conservation
1990) – Publisher, FAO, Rome (Italy). Date of publication, 1990. AGRIS
Categories, Animal husbandry. http://fao.org/docrep/006/T0226E/t0226e13.
htm. [08/03/2012]
[BPSDALH Papua] Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Hidup Provinsi Papua. 2010. Laporan Akhir Pemantauan Kualitas Air Di
Provinsi Papua. Jayapura: BPSDALH Provinsi Papua.
Brien ML, Webb GJ, Gienger CM, Lang JW, Christian KA. 2012. Thermal
preferences of hatchling saltwater crocodiles (Crocodylus porosus) in
response to time of day, social aggregation and feeding Original Research
Article. J.Thermal Biol. 37: 625-630.
Briton A. 1993. Crocodile Captive Care FAO. www.crocodile.com. [11 Januari
2012
Collen DT, Greaver C, Taylor R. 2008. Body temperature and basking behaviour
of Nile crocodiles (Crocodylus niloticus) during winter. J. Thermal Biol. (33
92008):185-192.
98

Cox JH. 1985. Crocodile Nesting Ecology in Papua New Guinea. Field Document
No. 5 of the FAO/UNDP, PNG/74/029, Assisten to the Crocodile Skin
Industry Project. Port Moresby. Wildlife Division: Papua New Guinea.
Cox JH. 2010. New Guinea Freshwater Crocodile Crocodylus novaeguinea in
Crocodiles: Status Survey and Conservation Action Plan. Third Edition Ed
by Manolis SC. and Stevenson C: 90-93. Darwin: CSG
[CSG] Crocodile Specialist Group Newsletter. 2005. Regional Repport. IUCN-
World Conservation Union. Species Survival Commision. CSG Australia::
24(3): 10-18.
[CV BM] CV Bintang Mas. 2009. Rencana Kerja Tahunan Penangkaran Buaya
CV Bintang Mas Tahun 2010. Jayapura: CV Bintang Mas.
[CV BM] CV Bintang Mas. 2011. Rencana Kerja Tahunan Penangkaran Buaya
CV Bintang Mas Tahun 2012. Jayapura: CV Bintang Mas.
Davis BM. 2001. Improved nutrion and management of farmed crocodile : from
hatchling to harvest. Rural Industries research and development
coorporation, Australia: RIRDC Publication 01/138:1-95.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Jakarta: Dirjen PHKA-Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.
[Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
2001. Kebijakan Konservasi Buaya dalam Rangka Pengembangan
Penangkaran dan Industri Kulit. Disampaikan Ditjen PHKA: Bahan
Lokakarya dan Konsultasi “Investasi dan Peluang Usaha Industri Buaya”
tanggal 14-15 Nop 2001, di Hotel Wisata. Jakarta: Ditjen PHKA dan
Direktorat KKH.
[Ditjen PHPA] Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1985.
Pedoman Pelaksanaan Usaha Penangkaran Buaya Sebagai Salah Satu
Bentuk Pemanfaatan Untuk Menunjang Perekonomian. BKSDA III.
Direktorat Jenderal PHPA. Bogor: Departemen Kehutanan.
[Ditjen PHPA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
1987. Pedoman Pelaksanaan Usaha Penangkaran Buaya. Bogor: Direktorat
PHPA dan Hexa Buana Conserve.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Jayapura. 2012. Laporan Tahunan
Pelaksanaan Program/Kegiatan Tahun Anggaran 2011. Jayapura: DKP
Kota Jayapura.
Elmir MY. 2008. Studi pengaruh pemberian makanan terhadap pertumbuhan
buaya muara (Crocodylus porosus) pada penangkaran PT Ekanindya Karsa
di Cikande Kabupaten Serang [Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor
Frye FL. 1991. Reptile Care: An Atlas of Disease and Treatment. Volume ke-I.
New Jersey: Napture City.
Hardjanto, Masy’ud B. 1991. Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Buaya
di Irian Jaya. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
99

Huchzermeyer F. 2003. Crocodiles-Biologi, husbandry and disease. CABI


Publishing wallingford, 352pp. ISBN 85199 656. 0038-2809 Tydskr.
S.Afr.vet, 74(4):111-116.
[IPB] Institut Pertanian Bogor. 1990. Studi Kelayakan Industri Pengusahaan
Buaya di Irian Jaya. Intitut Pertanian Bogor dan PT. Persero INHUTANI II.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Iskandar DT. 2000. Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini.
Bandung: IUCN-ITB-WORLD BANK.
Izzuddin. 1989. Pengaruh Jenis dan komposisi ransum terhadap pertumbuhan
anak-anak buaya muara (Crocodylus porosus). [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
[Kanwil Dephut] Kantor Wilayah Depatemen Kehutanan. 1986. Studi Kelayakan
Industri Kulit Buaya di Irian Jaya. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
dan Intitut Pertanian Bogor. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2010. Handbook Cites
– CITES. Jakarta: Direktorat Jenderal Konservasi Keanekaragaman Hayati.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. 2011. Peraturan
Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor:
P.5/IV-SET/2011 tentang Pedoman Audit atau Penilaian Keberhasilan
Penangkaran Reptil. Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.
Jakarta: Ditjen PHKA.
Kurniati H, Rumabar Y, Mumpuni, Semiadi G. 1999. Status populasi buaya
Crocodylus porosus di daerah Kaimana dan Teluk Arguni, Irian Jaya.
Berkala Penelitian Hayati. Surabaya: PBI Komisariat 4 : 51-60.
Kurniati H. 2002. Spotlight Survey of New Guinea Freshwater Crocodile
(Crocodylus novaeguineae) in Mid-Zone Memberamo River (Memberamo
and Rouffaer River System), Papua Province. J. Zoo Indonesia 29.
Kurniati H. 2008. Buku Panduan Pembesaran dan Penangkaran Buaya Jenis
Buaya Muara Crocodylus porosus dan Buaya Air Tawar Crocodylus
novaguinea. Cibinong: Bidang Zoolologi Pusat Penelitian Biologi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Manalu J. 2012. Model pengelolaan Teluk Youtefa terpadu secara berkelanjutan.
[Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL). Institut Pertanian Bogor.
Marre, Casey NH. 1993. Livestock Production System: Principals and Practise.
Agri-Development Foundation. South Africa: Brooklyn, Pretoria.
Masy’ud B, Ginoga LN, Muntasib HEKS. 1993. Percobaan Pemberian Beberapa
Ransum Pellet Yang disusun dari beberapa bahan penyusun pada buaya
muara (Crocodylus porosus). Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat.
Institut Pertanian Bogor.
Masy’ud B. 2001. Dasar-dasar Penangkaran Satwa Liar. Laboratorium
Penangkaran Satwa Liar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas
Kehutanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
100

Messel H, Broad S, Samedi, Dwiatmo, Sutedja. 1997. Crocodile Management


Program for Indonesia (revised). Report for Ministry of Forestry. Jakarta:
Directorate General of Forest Protection & Nature Coservation.
Power T. 2010. Dehydration in reptiles : Guidelines for offering fluids FAQ.
Tricia’s Chinese Water Dragon, Reptile and Amphibian Care Page.
http://www.tricaswaterdragon.com/hydrate.htm. [11 Januari 2012]
Prianto. 2011. Analisis kebijakan konservasi buaya muara Crocodylus porosus di
Kabupaten Mimika Provinsi Papua. [Tesis]. Bogor: Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.
[PT LC] PT Lucas Croco. 2012. Rencana Kerja Tahunan (RKT) 2012. Waropen:
PT Lucas Croco.
[PWSNT] Parks and Wildlife Service of the Northern Territory. 2008. A Draft
Management Plan For Crocodylus porosus In the Northern Terrytory.
Departemen of Infrastructure, Planning and Environment. Australia:
Palmerson
Sandjojo I. 1982. Studi kemungkinan usaha penangkaran buaya [Skripsi]. Bogor:
Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Bogor: Institut
Pertanian
Simanungkalit S. 1994. Tinjauan aktifitas penangkaran satwa buaya milik KSDA
Wilayah I Irian Jaya di Sorong. [Skripsi]. Manokwari: Fakultas Kehutanan
Universitas Cenderawasih.
Soehartono T, Mardiastuti A. 2003. Pelaksanaan Cites di Indonesia. Jakarta:
JICA.
Solmu GC, Sine RW. 2009. An Update to the PNG Country Report on C.porosus
and C.novaeguineae Conservation and Management 1982-2008.
Proceedings of the 19th; Working Meeting of the IUCN-SSC CSG IUNC:
309-316.
Suara Media. 2010. Ekonomi dan bisnis: Wow, kulit buaya hasilkan omzet
puluhan miliar tiap bulan! http://www.suaramedia.com/ekonomi-
bisnis/strategi-bisnis/18296-wow-kulit-buaya-hasilkan-omzet-puluhan-
miliar-tiap-bulan.html [03/10/2012]
Supriatna J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Suzanna E. 2000. Status kesehatan anakan buaya muara (Crocodylus porosus) di
penangkaran. Media Konservasi, VI: 99-104.
Taylor JA. 1979. The foods and feeding habits in Northern Australia. Australia
Wildlife Resources 6:347-359.
Thohari M. 1987. Upaya penangkaran satwa liar. Media Konservasi I:3-10.
Webb G. 1977. Abnormalitis and injuries in the estuarine crocodile (Crocodylus
porosus). Australia. Wildlife Resources 4: 311-319.
LAMPIRAN
103

Lampiran1Kualitas air di penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran di


CV Bintang Mas

Parameter Analisis Satuan Baku Hasil Analisis Keterangan.


Mutu
Suhu Air °C Suhu 25.4 ***)
Udara
Zat padat tersuspendi mg/l 50 68 **)
(TSS)
pH - 6.0 – 9.0 7.6 ***)
Oksigen terlarut (DO) mg/l 4 4.7 *)
Oksigen biokimia mg/l 3 5.3 *)
(BOD)
Nitrat mg/l 0.5 0.0135 *)
Chlorine µg/l 0.03 0.025 **)
Amonia mg/l 0.5 0.1 *)
Fospat mg/l 0.2 0.15 *)
Fenol µg/l 1 3 **)
Keterangan : *) Sumber BPSDALH Provinsi Papua (2010) ;**) Sumber : Manalu (2012)
***) Pengukuran langsung (2012).
104

Lampiran 2a Pengukuran panjang badan anakan buaya (dari moncong hingga


ujung ekor)

Sumber : Izzuddin (1989)

Lampiran 2b Pengukuran lebar badan anakan buaya

Sumber : Izzuddin (1989)


105

Lampiran 3 Tenaga kerja pada unit penangkaran buaya muara pola pembesa-
ran CV. Bintang Mas periode 2008-2012

Jumlah Tenaga Kerja


No Bidang Tugas
2008 2009 2010 2011 2012
1. Kepala Teknik Penangkaran 1 1 1 1 1
2. Tenaga Teknis 4 4 4 4 4
3. Administrasi 2 2 2 2 2
4. Keuangan 2 2 2 2 2
5. Tenaga Produksi 4 4 4 4 4
6. Tenaga Lapangan 10 10 10 10 10
7. Staf Eksport 2 2 2 2 2
8. Bagian Umum 2 2 2 2 2
9. Sopir 2 2 2 2 2
10. Plasma Pengumpul 8 8 8 8 1
11. Penangkap Penangkar (Plasma 10 10 14 14 1
Penangkap)
Jumlah 47 47 51 51 31
Sumber : Rekapitulasi Laporan RKT CV Bintang Mas Tahun 2008 – 2012
106

Lampiran 4. Daftar responden penilai keberhasilan penangkaran dari lingkup


non kehutanan dan lingkup kehutanan

Responden Jumlah
No Asal Lingkup Instansi
penilai
Unsur penilai lingkup Non-Kehutanan
1 Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Responden 1 1 orang
Jayapura
2. Peneliti Responden 2 1 orang
3. Asosiasi Pengusaha Penangkar Buaya Responden 3 1 orang
Indonesia
Unsur penilai lingkup Kehutanan
4 Pemerhati konservasi buaya Responden 4 1 orang
5 BBKSDA Papua Responden 5 1 orang
6 Dinas Kehutanan dan Konservasi Provisni Responden 6 1 orang
Papua

You might also like