Professional Documents
Culture Documents
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi pada
Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada ujian Tesis : Dr. Ir. Nyoto Santoso, M.S.
PRAKATA
Halaman
DAFTAR ISI i
DAFTAR TABEL iii
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN vi
I. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran Penelitian ............. 3
1.3. Tujuan ........................................................................................... 6
1.4. Manfaat ......................................................................................... 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 7
i
4.3.2. Tingkat Keberhasilan Penangkaran...................................... 35
4.3.3. Dukungan Parapihak bagi Keberhasilan dan Keber- 42
lanjutan Penangkaran Buaya Muara Pola Pembesaran ...
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 97
ii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
iii
iv
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
v
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
vii
I. PENDAHULUAN
dikenakan kewajiban menyisihkan sebagian (10%) dari buaya siap panen (potong)
untuk dilepaskan kembali ke habitat alamnya (restocking) dalam rangka
mempertahankan kondisi populasi lestari di alam. Pertanyaannya, sejauh mana
tingkat keberhasilan unit-unit manajemen penangkaran buaya dengan pola
pembesaran ? Keberhasilan dimaksud meliputi pengelolaan penangkaran buaya
muara sekaligus pelaksanaan kewajiban konservasi seperti restocking, studbook
dan tagging sebagaimana diatur didalam ketentuan ijin penangkarannya.
Penilaian dan penetapan kategori tingkatan keberhasilan penangkaran pada
dasarnya bermanfaat sebagai acuan didalam upaya pembinaan, pengendalian
sekaligus motivasi bagi setiap unit manajemen penangkaran buaya untuk
meningkatkan dan memperbaiki manajemen penangkarannya sehingga dapat
mencapai tujuan penangkaran. Acuan yang dapat digunakan sebagai dasar di
dalam melakukan penilaian tentang praktek pengelolaan penangkaran dan
menentukan tingkat keberhasilan penangkaran buaya adalah Peraturan Menteri
Kehutanan (Permenhut) Nomor: P.19/Menhut-II/2005 dan Peraturan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Nomor:
P.5/IV-SET/2011, juga peraturan perundangan terkait penangkaran buaya.
Mengingat ketentuan ini lebih dimaksudkan untuk penilaian keberhasilan suatu
unit manajemen penangkaran buaya pola pembiakan (captive breeding), maka
dalam penggunaannya untuk melakukan penilaian terhadap penangkaran buaya
pola pembesaran perlu dilakukan penyesuaian pada kriteria dan indikatornya.
Secara umum penilaian keberhasilan dilakukan paling tidak ada pada dua prinsip
yakni prinsip keberhasilan kegiatan pembesaran buaya dalam penangkaran dan
keberhasilan pengembangan pengelolaan penangkaran buaya muara. Prinsip-
prinsip ini dibangun atas kriteria biologis, kriteria teknis (teknik pengelolaan dan
sarana prasarana) dan kriteria sosial, dimana masing-masing memiliki beberapa
indikatornya penilaian keberhasilan.
Keberlanjutan pengembangan penangkaran buaya muara di Provinsi Papua
dan keberhasilannya ke depan perlu dijamin sehingga diperlukan upaya yang
lebih intensif dan komprehensif, baik melalui perbaikan dan peningkatan
penguasaan teknologi penangkaran, kebijakan maupun dukungan parapihak
(stakeholders). Oleh karena itu penting juga dikaji tentang pandangan (persepsi)
6
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi upaya perbaikan
dan peningkatan pengelolaan penangkaran buaya muara (C.porosus Schneider,
7
1801) di Provinsi Papua baik oleh setiap unit usaha itu sendiri maupun
pemerintah. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi penangkaran satwa pada
umumnya dan penangkaran buaya pada khususnya.
= Fokus penelitian
Rekomendasi
= Tujuan penelitian
Salah satu jenis buaya yang ada di Provinsi Papua adalah buayamuara,
tersebarmulai darihabitat pantaihingga sungai utama yang masih dipengaruhi oleh
aktivitas pasang surut laut.Spesiesinimenyukai habitat yang
memberikemungkinanmencapaiperairan yang lebihluasdanterbuka.Buaya muara
di habitat alami menyukai daerah berawapayau sebagai
daerahpertemuanantarasungaidanlaut(muara), sedikit tertutup oleh
vegetasipenutupsebagaitempatberlindungdan memiliki
tempatterbukauntukberjemur (Solmu& Sine 2009; Cox 1985). Ikan, rusa dan babi
hutanyangmendekatisungaiuntukminummenjadi mangsabuaya muara di alam
(Iskandar2000).
Pulau Papua memiliki wilayah penyebaran buaya,
berdasarkanperhitunganplanimetris,luashabitatbuayadiPapua mencapai6250000ha
yangmenyebarsecararelatif
padadaerahaliransungai(IPB1990).Penyebaranbuayadipulau
Papuasecaramakrodikelompokkanmenjaditigazonayaitu:zonaMeraukedi wilayah
selatan pulau Papua (3654474ha),zonaMamberamo(982500ha)dan
zonaKepalaBurung(701875ha). Hasilsurveimenunjukkanbahwapopulasibuaya
muara yang cukup banyak di wilayah Papua yaitu di beberapasungaipasangsurut
di zone Kepala Burung dan zone Merauke (PulauKimaam)(Frazier 1988;Kurniati
et al.1999; Kurniati 2002).
Maraknya perburuan buaya di alam akibat tingginya permintaan kulit buaya
di pasar Internasional menyebabkan populasi satwa ini di alam semakin terancam.
CITES telah memasukkannya ke dalam kategori satwa yang harus dikontrol
dalam perdagangan internasional. Buaya muara di Indonesia masuk ke dalam
kategori Appendix CITES pada tahun 1985 (Ditjen PHPA 1985). Penetapan
staatus ini menguntungkanIndonesia karena buaya muara dapat dimanfaatkan
tetapi harus sebagai hasil penangkaran dengan cara pembesaran buaya yang
bersumber dari alam. Hal ini didasari pertimbangan rendahnya resiko dan cukup
10
aman, populasi yang masih tinggi dan luasnya habitat alaminya (Ditjen PHPA
1985).Konsekuensinya, kegiatan monitoring populasi langsung di alam melalui
surveisecara berulang dan kontinyu harus dilaksanakan agar dapat
mengidentifikasi kecenderungan populasi serta kondisi daerah
nesting.Konsekuensi lainnya, harus dilakukan pemantauan populasi di lokasi
pembesaran melalui monitoring implementasi sistem pelaporan dan perijinan di
penangkaran (Ditjen PHKA 2001).
Lokasi tangkapan anakan buaya dari alam hanya dapat dilakukan dalam
wilayah penangkapan yang ditetapkan yaitu di zone Mamberamo, zone Kepala
Burung dan zone Merauke (Dephut 2006). Anakan buaya atau telur buaya untuk
keperluan pembesaran dalam penangkaran tersebut dapat berasal dari alam dan
atau berasal dari sumber lain yang sah (hasil penangkaran, luar negeri, rampasan,
penyerahan dari masyarakat, temuan dan Lembaga Konservasi (LK) (Dephut
2006). Persyaratan sumber buaya untuk keperluan penangkaran berupa anakan
buaya hanya pada buaya yang berukuran panjang badan <80 cm. Bila
pembesarannya berupa telur yang diambil dari alam maka jumlah telur yang
diijinkan sebanyak 50% dari jumlah telur dari persarangan yang rata-rata berisi 30
butir, sedangkan jika daerah persarangan terancam banjir atau ancaman predator
maka jumlah telur dapat diambil lebih besar dari 50% (Ditjen PHPA 1987).
b. PembesaranBuaya
1. Perkandangan
2. Pengelolaan pakan
4. Restocking
Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan, sejauh ini ada belum ada
herpetologist yang dapat membuktikan secara obyektif bahwa pemanenan reptil
termasuk buaya pada skala besar dan terus menerus yang selama ini dapat
dilakukan di Indonesia telah mengakibatkan penurunan populasi di habitatnya.
Namun bukan berarti suatu pembenaran untuk pemanfaatan langsung dari alam,
kekurangan data mengenai populasi buaya di alam diakibatkan terbatasnya
kemampuan tenaga kerja dan biaya survei dan monitoring di habitat alami di
Papua yang masih sulit dan beresiko (Ditjen PHKA 2001).
Upaya menjaga populasi buaya muara di alam dengan mengembangkan
penangkaran guna pemenuhan kebutuhan bahan baku kulit buaya di Papua telah
dicanangkan BBKSDA Papua dalam rencana aksi pengelolaan buaya yang
diharapkan menjadi arah pengelolaan buaya yang ideal di Papua.Program
pengelolaan populasi di dalam penangkaran merupakan bagian integral dari
pengelolaan populasi alam yang bertujuan membantu menjaga populasi di alam
melalui pemanfaatan yang lestari. Program pengelolaan populasi buaya yang
ditangkarkan didasarkan pada tiga hal pokok yaitu: (1) mekanisme monitoring
populasi, (2) sistem pelaporan, dan (3) pemeriksaan dan pengawasan (Ditjen
PHKA 2001). Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam (Dirjen PHPA) Nomor: 93/Kpts/DJ-VI/1996 tentang Petunjuk
Teknis Pengendalian Pemanfaatan Buaya dinyatakan bahwa penangkaran buaya
21
terbagi atas dua kategori kegiatan/bentuk yaitu penangkaran pola pembesaran dan
pola pengembangbiakan.
Kegiatan pokok yang harus dilaksanakan dalam pengelolaan penangkaran
adalah monitoring populasi sebagai kegiatan pertama dengan cara penandaan
buaya salah satunya dengan memotong sirip ekor sesuai dengan tanda resmi yang
diterbitkan oleh Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA),
tujuannya untuk mengetahui setiap jenis dan individu. Kegiatan kedua adalah
kegiatan pembuatan laporan pengelolaan penangkaran merupakan kewajiban
penangkar mengenai jenis buaya, jumlah atau mutasi stok penangkaran dan
produk yang dihasilkan penangkaran, bertujuan untuk mengetahui populasi dan
perkembangan buaya hasil penangkaran maupun penangkapan dari alam.
Kegiatan terakhir adalah pemeriksaan dan pengawasan untuk mengetahui
pelaksanaan kegiatan penangkaran sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.Peraturan dan kebijakan tentang pemanfaatan buaya dan perlindungannya
menjadi tempat pertimbangan antara tindakan eksploitasi dan tindakan konservasi
yang bermuara pada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Hal ini perlu
ditunjang oleh kemampuan berpikir dan bertindak bagi kepentingan masa kini,
dan masa yang akan datang.
22
III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
B
C
A.
Keterangan :
A. CV. Sedaro (di
di Nabire)
B. CV. Lucas Croco
co (di Waropen)
Waropen
C. CV. Bintang Mas (di Jayapura)
Jayapu
perpanjangan ijin usaha penangkaran pada tahun 2003 untuk masa usaha jangka
waktu lima tahun berikutnya. Periode 2003-2008 merupakan tahun emas bagi
pelaksanaan usaha penangkaran buaya dimana kemampuan memelihara buaya
dalam penangkaran lebih banyak dibandingkan tahun-tahun usaha setelahnya
(BBKSDA 2012).
Tahun 2008 CV BM kembali mendapatkan perpanjangan ijin usaha dengan
Surat Keputusan Direktur Jenderal PHKA Nomor: SK.57/IV/Set-3/2008 tanggal
28 Mei 2008 dan Surat Keputusan Pengedar Luar Negeri (LN) Nomor:
117/IV/Set-3/2004. Berdasarkan keputusan tersebut, CV BM sebagai unit usaha
penangkaran buaya mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi yaitu membuat
Rencana Karya Tahunan (RKT) dan laporan bulanan sebagai cara untuk
memonitoring pelaksanaan penangkaran pola pembesaran (CV BM 2009).
Sebagai suatu unit usaha, CV BM mendapat surat ijin pendirian usaha dari
Departemen Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Ijin Tempat Usaha
(SITU) Nomor: 503/898/INDAG, dan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP)
Nomor: 501/008/PB/INDAG. Selain itu juga memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) seri: 01-127-588-0952-000 dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Nomor:
2608301004460, serta surat keterangan domisili usaha Nomor: 503/01/XI/2007
untuk menguatkan pendiriannya dengan dikeluarkannya ijin lokasi di daerah
Entrop.
Perusahaan ini didirikan oleh pemiliknya atas nama keluarga Gan.
Bertindak sebagai Direktur Perusahaan adalah Gandhi Gan, kemudian
melimpahkan kuasa direktur kepada Raymond Gan dan Petrillo Gan sebagai
pengurus usaha penangkaran buaya. Manajemen perusahaannya dikelola
berdasarkan struktur organisasi CV BM yang ditetapkan dimana organisasi
pengelolaan penangkaran ini dibagi pada tiga bagian besar organisasi yakni
bagian teknik, bagian keuangan dan bagian umum dibawah kuasa direktur.
Masing-masing bagian dilengkapi dengan staf yang profesional dan proporsional.
Jumlah pegawai sebanyak 51 orang, tidak termasuk para pimpinan (direksi)
perusahaan. Para pekerja ini terdistribusi di tiga wilayah kerja sebagai unit kerja
perusahaan, yakni unit plasma di daerah Mamberamo, unit inti di Jayapura dan
unit pengolahan produk di Jakarta. Sistem manajemen pengusahaan penangkaran
26
ini dikembangkan dengan pola PIR (Penangkaran Inti Rakyat) melibatkan plasma
yang berasal dari masyarakat lokal (Hardjanto & Masy’ud 1991). Adapun struktur
organisasi yang terbentuk pada sistem kerja CV BM disajikan pada Gambar 3.
DIREKTUR KOMANDITER
KUASA DIREKTUR
Jenis data yang dikumpulkan dibedakan menjadi kelompok data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang dibutuhkan langsung untuk
keperluan analisis, mencakup dua kelompok data utama yakni data yang terkait
dengan praktek penangkaran buaya pola pembesaran (Tabel 1) dan data yang
terkait dengan keberhasilan penangkaran buaya muara pola pembesaran (Tabel 2).
Kebutuhan adalah data dukungan parapihak (stakeholders) untuk meningkatkan
keberhasilan dan keberkeberlanjutan usaha penangkaran buaya muara di Propinsi
Papua (Tabel 3). Data sekunder diperoleh dari dokumen yang dipublikasikan
pihak-pihak terkait berupa buku, laporan hasil penelitian, serta data pendukung
lainnya terkait pengelolaan penangkaran buaya muara (peraturan perundangan,
kebijakan dan praktek-praktek penangkaran satwa reptil).
Jenis data primer untuk tujuan mendeskripsikan penguasaan dan praktek
pengelolaan penangkaran buaya muara di Provinsi Papua disajikan pada Tabel 1.
30
Jenis data yang dibutuhkan untuk tujuan kedua, disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Lanjutan
Prinsip (P), Kriteria (K) dan Indikator (I)
No Bobot
2. P.2 Keberhasilan pengembangan pengelolaan penangkaran
buaya (Nilai Total = 35%)
Jenis data yang dibutuhkan untuk tujuan ketiga, disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Jenis data penelitian terkait dukungan para pihak bagi keberhasilan dan
keberlanjutan penangkaran pola pembesaran di Propinsi Papua
Data dan informasi yang telah dikumpulkan terkait dengan penguasaan dan
penerapan teknis penangkaran dianalisis secara deskripsi kualitatif dengan
34
mengacu pada landasan teori dan model praktek penangkaran buaya dan satwa liar
pada umumnya. Hasil analisis diuraikan secara sistematis disertai dengan gambar
dan tabel untuk menunjukkan gambaran tingkat penguasaan pengetahuan dan
praktek teknologi penangkaran buaya yang dilakukan di unit usaha penangkaran.
Uraian ini selanjutnya juga menjadi patokan tentang kondisi umum penguasaan
pengetahuan dan praktek penangkaran buaya muara di Propinsi Papua.
Kelengkapan gambaran praktek penangkaran yang dilakukan, juga
dilakukan analisis terhadap beberapa peubah penting seperti strukur populasi
menurut kelas umur di penangkaran, tingkat mortalitas kasar, kepadatan populasi
dan kecepatan pertumbuhan badan buaya di penangkaran. Analisis yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
a) Struktur populasi menurut kelas ukuran buaya
Seluruh individu buaya muara dalam penangkaran dikelompokkan ke
dalam kelas umur. Kelas-kelas umur ini membantu analisis dan perhitungan
dalam pengolahan data untuk menyusun struktur umur. Pengelompokkan
kelas umur buaya tangkar mengacu pada Keputusan Dirjen PHPA Nomor:
93/Kpts/DJ-VI/96, yaitu berdasarkan ukuran panjang badan meliputi: (1)
anakan (panjang badan <50 cm), (2) remaja (panjang badan 50-<100 cm), (3)
dewasa muda (panjang badan 100-200 cm), dan (4) dewasa (panjang badan
>200 cm).
b) Kematian buaya
Angka kematian dihitung menggunakan data jumlah total individu yang
mati dari semua sebab dengan total populasi selama satu periode tertentu
dengan formula :
Keterangan :
d = angka kematian
D
D = jumlah individu yang mati d
N = jumlah seluruh anggota populasi N
c) Kepadatan populasi
Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu per
luas unit kandang pada tiap unit usaha penangkaran. Adapun rumus yang
digunakan adalah :
35
Keterangan : =
P = Populasi buaya (ekor); dan A = Luas areal pengamatan kandang (m²)
D = Daya dukung per luasan kandang
Tabel 4 Penilaian tingkat keberhasilan penangkaran buaya muara dengan pola pembe-
besaran di Provinsi Papua
Tabel 4 Lanjutan
No Indikator Bo- Pengukur Skor
bot
3. Indikator 3. 0.10 a. Melaksanakan pemeriksaan kesehatan 5
Pengelolaan kesehatan pada awal masuk penangkaran dan
berkala selama pembesaran dan
pembersihan kandang kontinu
b. Melaksanakan pemeriksaan kesehatan 4
awal masuk penangkaran tetapi tidak
melakukan pemeriksaan berkala selama
pembesaran, melakukan pembersihan
kandang
c. Tidak melaksanakan pemeriksaan kese- 3
hatan awal masuk penangkaran, tetapi
melakukan pembersihan kandang
d. Tidak pengelolaan kandang masa 2
pembesaran
e. Tidak ada pilihan 1
Kriteria Biologis
4. Indikator 4. 0.15 a. Tingkat kematian buaya <10 % 5
Tingkat prosentase b. Tingkat kematian buaya 10-<30 % 4
kematian dari anakan c. Tingkat kematian buaya 30-<40 % 3
hingga umur panen d. Tingkat kematian buaya 40–50 % 2
(data time series tiga e. Tingkat kematian buaya >50% 1
tahun)
5. Indikator 5. 0.13 a. Masa pembesaran anakan 3-4 tahun 5
Lama pemeliharaan b. Masa pembesaran anakan 4-5 tahun 4
/pembesaran dari c. Masa pembesaran anakan 5-6 tahun 3
anakan hingga umur d. Masa pembesaran anakan 6-7 tahun 2
panen (data time e. Masa pembesaran anakan >7 tahun 1
series tiga tahun)
6. Indikator 6. 0.12 a. Jumlah buaya yang dipanen 100% 5
Ukuran Panjang berukuran panjang badan rata-rata buaya
badan buaya dan lebar > 200 cm atau lebar kulit rata-rata 37.8
kulit pada usia panen cm 4
(data time series tiga b. Jumlah buaya yang dipanen 80%
tahun) berukuran panjang badan rata-rata buaya
>200 cm atau lebar kulit rata-rata 37.8
cm 3
c. Jumlah buaya yang dipanen 100%
berukuran panjang badan rata-rata buaya
100-200 cm atau lebar kulit rata-rata
37.8 cm
d. Jumlah buaya yang dipanen 80% 2
berukuran panjang badan rata-rata buaya
100-200 cm atau lebar kulit rata-rata
37.8 cm
e. Jumlah buaya yang dipanen <80% 1
berukuran panjang rata-rata buaya <101
cm atau lebar kulit rata-rata
perekor/tahun 30-35 cm
39
Tabel 4 Lanjutan
No Indikator Bo- Pengukur Skor
bot
Kriteria Sarana Prasarana
7 Indikator 7. 0.07 a. Memiliki kelayakan komponen utama 5
Kelayakan sarana infrastruktur kandang (kandang karan-
prasarana tina, kandang pembesaran pada tiap
kelompok ukuran panjang badan, dan
kandang isolasi)
b. Hanya memiliki kandang karantina dan 4
kandang pembesaran pada tiap ke-
lompok ukuran panjang badan tetapi
belum memenuhi persyaratan ukuran 3
panjang badan.
c. Hanya memiliki kandang pembesaran 2
untuk anakan dan dewasa
d. Hanya memiliki satu kandang tanpa ada 1
kandang pemisahan antar KU
e. Tidak ada pilihan
8 Indikator 8. 0.07 a. Memiliki semua persyaratan keterse- 5
Ketersediaan tenaga diaan tenaga inti (tenaga ahli, tenaga
inti penangkaran teknis dan administrasi)
b. Hanya memiliki tenaga teknis dan 4
tenaga administrasi
c. Hanya memiliki tenaga teknis 3
d. Tidak ada tenaga inti 2
e. Tidak ada jawaban 1
9 Indikator 9. 0.04 a. Semua kandang ditandai, spesimen 5
Penandaan dan tangkar ditandai, memiliki kelengkapan
pelaporan isi buku induk/harian sesuai fisik
penangkaran, & melaksanakan pela-
poran scr lengkap
b. Tidak semua kandang ditandai, sebagian 4
isi buku induk/harian sesuai fisik
penangkaran, & hanya memenuhi salah
satu bentuk laporan.
c. Hanya memenuhi kewajiban pembuatan 3
laporan
d. Hanya memenuhi sebagian dari 2
kewajiban pembuatan laporan
e. Tidak melaksanakan penandaan, buku 1
harian/buku induk dan semua pelaporan
tidak dilaksanakan.
Kriteria Sosial/lingkungan
10 Indikator 10. 0.06 a. Memiliki >50 % serapan tenaga kerja 5
Prosentase serapan masyarakat lokal
tenaga kerja dari b. Memiliki 40-50 % serapan tenaga kerja 4
masyarakat sekitar masyarakat lokal
lokasi penangkaran c. Memiliki 20-30 % serapan tenaga kerja 3
(data time series 3 masyarakat lokal
tahun) d. Hanya 10% serapan tenaga kerja 2
masyarakat lokal
e. Tidak memiliki serapan tenaga kerja 1
masyarakat lokal
40
Tabel 4 Lanjutan
∑(Bi x Si)
Indeks KPP =
n
Keterangan :
Indeks KPP : Indeks Keberhasilan Penangkaran Pembesaran
Spi : Skor yang dicapai pada indikator ke-i
Bi : Bobot indikator ke-i
n : Jumlah responden
42
masyarakat agar ikut berperan dalam usaha melestarikan buaya di alam sebagai
sumber pendapatannya (Hardjanto & Masy’ud 1991; CV BM 2009; PT LC 2012).
Berdasarkan sistem PIR tersebut, maka keberhasilan pengembangan penangkaran
buaya di Provisni Papua pada prinsipnya ditentukan oleh praktek teknologi
penangkaran yang dilakukan baik di tingkat plasma maupun inti.
Berdasarkan hasil penelitian lapang diketahui adanya perbedaan penguasaan
pengetahuan dan keterampilan yang ditunjukkan dalam praktek teknis
penangkaran buaya muara dengan pola pembesaran yang dilakukan oleh masing-
masing unsur baik plasma maupun inti. Penelitian praktek pengelolaan
penangkarang buaya muara dengan pola pembesaran merupakan studi kasus yang
dilakukan dengan sistem PIR oleh CV Bintang Mas pada praktek teknologi
penangkaran di tingkat plasma dan inti.
Sesuai perannya, ada tiga hal prinsip sebagai tahapan kegiatan utama yang
dilakukan oleh plasma, yakni (a) penangkapan anakan buaya dari alam, (b)
pemeliharaan selama masa penampungan sebelum dikirim ke penangkaran inti,
dan (c) pengiriman (teknis pengepakan dan angkutan/transporasi) anakan buaya
ke penangkaran inti.
panjang badan >80 cm. Hal ini berarti bahwa secara umum praktek penangkapan
anakan buaya untuk penangkaran pola pembesaran menyalahi ketentuan tentang
persyaratan ukuran panjang badan anakan buaya muara tangkapan yang diijinkan.
Ada dua faktor yang diduga sebagai penyebab dari praktek penangkapan
anakan buaya yang menyimpang dari ketentuan ijin ukuran badan yang ditetapkan
tersebut, yakni: (1) ketidakpahaman penangkap tentang prinsip ketentuan tersebut
dan dampaknya terhadap perkembangan kondisi populasi buaya di alam, dan (2)
rangsangan memperoleh hasil penjualan anakan buaya yang besarnya nilai jualnya
dihitung harganya berdasarkan ukuran panjang badan buaya yakni Rp5 000.00/cm
(Marcelino Maniagasi, 23 September 2012, komunikasi pribadi). Artinya
kemungkinan tindakan ini karena adanya asumsi bahwa makin panjang badan
anakan buaya yang ditangkap maka pendapatan yang diperoleh makin lebih besar.
Adapun jumlah anakan buaya yang diijinkan untuk ditangkap didasarkan
pada penetapan kuota tangkap yang diberikan oleh pemerintah cq Ditjen PHKA
dengan daerah tangkap diijinkan khusus di Papua. Dalam prakteknya, ketentuan
penetapan kuota tangkap tersebut diterima dan diterjemahkan oleh penangkar inti
sebagai pemegang ijin tangkap dan dilaksanakan oleh anggota plasma (penangkap
dan pengumpul). Hasil wawancara lapang dengan anggota plasma diketahui
bahwa kemampuan setiap plasma di dalam penangkapan anakan buaya muara
masih terbatas sebanyak 2-3 ekor per hari. Dengan kemampuan jumlah tangkapan
tersebut, ternyata berdampak pada kecenderungan tidak tercapainya jumlah kuota
tangkap yang ditetapkan.
b. Metode/Teknik Penangkapan
Sumber : Dokumentasi BBKSDA Papua 2009 Sumber: Dokumentasi BBKSDA Papua 2009
Gambar 4 Alat tradisional penangkapan anakan buaya muara oleh plasma
penangkap.
menggiring anakan buaya ke arah jaring-jaring yang telah dipasang pada daerah
yang bebas cabang atau ranting tumbuhan agar jaring tidak rusak karena terkait
cabang juga tidak menimbulkan luka bagi anakan buaya yang ditangkap.
Berdasarkan uraian tentang praktek penangkapan anakan buaya untuk
penangkaran tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penguasaan teknis
penangkapan dan kepatuhan terhadap peraturan tentang persyaratan ukuran badan
anakan buaya yang boleh ditangkap oleh plasma masih rendah dan dilakukan
secara tradisional. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa
praktek penangkapan anakan buaya muara di Papua cenderung menyalahi
ketentuan yang berlaku tentang persyaratan ukuran badan anakan buaya yang
diijinkan untuk ditangkap yakni <80 cm, dan teknik penangkapannya berpeluang
terjadinya luka dan kematian pada anakan buaya tangkapan.
Perlengakapan
Jenis
No. Kandang/Ukuran
Vegetasi /
kolamkolam p x Kondisi Daratan Kondisi Air
naungan
l x t (m)
I. Kandang penampungan di plasma penangkap
1. Kandang 2x4x Tidak ada (lumpur) √
Sementara 1.5
II. Kandang penampungan di plasma pengumpul
1 Kandang 3 x 4 x 3 - Teras berlantai semen - Berupa kolam beisi √
Tahap Awal setinggi 0.5 m dari dasar air setinggi ±0.25 m
daerah berair dari dasar daerah
- Pemisahan antara bagian berair
kering dan berair berupa - Ukuran daerah berair
lantai makin landai ke 4 m x 1 m x 0.25 m
arah bagian berair - Dilakukan penggantian
- Ukuran teras 4 m x 2 m x air sebanyak 3 kali per
0.5 m minggu
Tabel 6 Kapasitas tampung dan lama waktu penampungan anakan buaya muara
di tingkat plasma
Kapasitas Lama
Jenis
No tampung Penam- Alasan Penempatan Keterangan
Kandang
(ekor) pungan
I. Kandang penampungan di plasma penangkap
1. Kandang 15 - 20 1 bulan Bersifat penampungan sementara Lokasi di
Sementa- sebelum dijual ke plasma pengumpul sekitar
ra daerah
penangkapan
II. Kandang penampungan di plasma pengumpul
1 Kandang3 0 - 40 1 bulan - Penampungan awal hingga siap - Bersifat
Tahap atau ditempatkan pada kolam lanjutan sementara
Awal < 1 bulan - Sebagai kandang karantina bagi anakan sebelum
buaya menyesuaikan dengan lingkungan dikirim ke
baru salah satunya jika terlihat tenang penangkaran
(maksimal 3 hari) sebagai aklimasi inti
2 Kandang 3 0 - 40 1 bulan - Penampungan lanjutan setelah kolam
Tahap awal
Lanjutan - Bila telah terdapat individu anakan baru
- Berdasarkan kelompok ukuran panjang
badan
3 Kandang 3 0 - 40 1 bulan - Penampungan tahap akhir sebelum
Tahap dikirim ke penangkaran inti
Akhir - Berdasarkan kelompok ukuran panjang
badan
Sumber : Wawancara dan Pengamatan Fisik di tingkat Plasma Pengumpul.
sederhana ini juga telah dilakukan oleh masyarakat di Papua New Guinea. Bolton
(1989) bahkan juga menyatakan bahwa lumpur tersebut berfungsi membantu
proses pencernaan karena ternyata di dalam perut buaya dewasa diketahui ada
batu atau pasir. Kemungkinan di dalam lumpur juga akan terikut udang halus atau
hancuran bahan makanan untuk bayi atau anakan buaya. PT LC (2012) juga
menyatakan bahwa kolam alami berlumpur selain sederhana dan ekonomis juga
membantu proses pencernaan buaya.
Dibandingkan dengan pemeliharaan di tingkat plasma penangkap, maka
praktek pemeliharaan anakan buaya di tingkat plasma pengumpul dapat
dinyatakan relatif lebih baik, karena sudah ada pembedaan pada tiga unit
penggunaan kolam penampungan berdasarkan ukuran panjang badan anakan
buaya dan tujuan penyesuaian dari alam (Tabel 5 dan Tabel 6). Kandang
pemeliharaan di plasma pengumpul umumnya sudah berkonstruksi semi
permanen berupa tembok semen setinggi 2 m dan ditambahkan kawat pengaman
jaring-jaring setinggi 1 m. Fasilitas yang ada di dalam masing-masing kandang
berupa bagian berair seluas ⅓ dari luasan satu unit kolam penampungan, dan
sisanya sebagai daerah kering (teras) berbentuk datar dan melandai ke arah bagian
berair. Air di dalam kolam selalu diganti oleh petugas pengelola yang disesuaikan
dengan kondisi kekeruhannya (kotor). Ketinggian air di bagian berair disesuaikan
dengan ukuran panjang anakan buaya muara, sekaligus untuk memenuhi
kebutuhan perilaku berendam dan berjemur dari buaya.
Selama masa penampungan baik di tingkat plasma penangkap maupun
plasma pengumpul, pakan yang diberikan pada anakan buaya seperti yang
disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Jenis pakan dan frekuensi pemberian pakan pada anakan buaya muara di
tingkat plasma
Tabel 7 Lanjutan
rata-rata 5-10%. Penyebabnya diduga karena penanganan yang kurang baik dalam
mempersiapkan anakan buaya selama masa pengiriman yang membutuhkan waktu
menunggu jadwal terbang alat transportasi yang digunakan mengangkut serta
waktu yang dibutuhkan selama penerbangan ±½ jam penerbangan. Dengan
demikian penguasaan teknik yang kurang baik/tepat selama masa pemeliharaan di
tingkat plasma penangkap, pengumpul dan pengiriman ternyata menimbulkan
kematian yang cukup besar (15-25%).
Bolton (1990) menyatakan, angka kematian anakan buaya pada tahap
pengirimannya ke penangkaran inti dapat diminimalis dengan teknis pengepakan
yang tepat yaitu memisahkan anakan buaya saat pengiriman berdasarkan
kelompok ukuran panjang badan anakan buaya. Kelompok ukuran panjang badan
>70 cm dimuat pada satu kantong terpisah dari anakan buaya yang lebih kecil,
agar menghindari luka akibat perkelahian atau persinggungan fisik yang berakibat
cacat atau kematian. Selain teknis pengiriman juga pertimbangan jarak antara
daerah tangkap dan penangkaran inti, menurut Bolton (1989) jika pada jarak
pengiriman yang pendek dapat digunakan karung goni basah yang diberi
tumpukan dedaunan atau jerami di dalamnya untuk menjaga kelembaban dan
goncangan saat pengiriman. Tetapi bila jaraknya jauh sebaiknya menggunakan
kotak yang didalamnya diberikan rumput basah dengan ukuran yang sesuai
dengan ukuran badan anakan buaya muara dan kapasitas tampung kotak untuk
pengiriman.
Berdasarkan uraian di atas, maka ke depan perlu ada upaya perbaikan
manajemen pemeliharaan dan pengiriman anakan buaya dari plasama ke inti. Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni : (1) perbaikan teknik pemeliharaan
meliputi kandang/kolam, pemberian pakan, dan perawatan kesehatan, (2)
penetapan syarat kesehatan dan ukuran badan anakan buaya yang diijinkan untuk
diangkut ke penangkaran inti, dan (3) perbaikan teknik dan manajemen
pengangkutan anakan buaya mencakup pemilihan alat angkut berupa kotak atau
karung goni basah, penetapan kapasitas optimum kotak angkut, dan
pengelompokan anakan buaya sesuai ukuran panjang badan per kotak angkutan.
55
a. Pengelolaan Kandang
1. Kategori Kandang
Pada dasarnya buaya yang hidup di alam bersifat penakut, sehingga apabila
dipindahkan ke habitat buatan di luar habitat alaminya kemungkinan dapat terjadi
stress. Oleh karena itu perlu dilakukan penyesuaian (adaptasi) terlebih dahulu
didalam kandang karantina untuk meminimalkan stress terutama dari faktor
kebisingan ataupun aktivitas pengelola yang dapat mengganggu pertumbuhan dan
pembesarn anakan buaya di penangkaran (Kurniati 2008; Beyeler 2011).
Sesuai dengan fungsinya sebagai media adaptasi, maka dalam praktek
pengelolaannya, CV Bintang Mas menempatkan kandang karantina di tempat
terpisah dari kandang pemeliharaan lainnya dengan tujuan meminimalisasi
kemungkinan gangguan yang berdampak pada terjadinya stress, disamping juga
mengisolasi kemungkinan tertularnya penyakit dari buaya-buaya yang baru datang
ke buaya-buaya yang sudah ada di lokasi penangkaran.
Ada tiga aspek adaptasi yang dilakukan unit manajemen CV Bintang Mas
selama masa karantina, yakni (1) penyesuaian terhadap kandang sebagai habitat
barunya, (2) penyesuaian terhadap kebisingan (suara) dan aktivitas di sekitar
lingkungan penangkaran, dan (3) penyesuaian terhadap pakan. Waktu yang
dibutuhkan sebagai masa adaptasi tiap aspek berbeda tergantung pada tingkat
perkembangan buaya merespon setiap tindakan manajemen yang dilakukan. Masa
adaptasi terlama dilakukan untuk penyesuaian terhadap kandang (1-2 bulan),
sedangkan penyesuaian terhadap pakan terlihat lebih cepat (3 hari), meskipun
secara bertahap terus dilakukan hingga mencapai masa 1 bulan (Tabel 8).
57
Waktu
Aspek
No. penyesuaian Bentuk tindakan
Penyesuaian
1 Kandang 1-2 bulan Penempatan anakan buaya baru dari plasma pada tempat
karantina yang terpisah dari kandang lainnya pada dua
lokasi berdasarkan tingkat keramaian suara dan aktivitas
kegiatan penangkaran
2 Suara / 1bulan - Lokasi karantina yang terletak tersembunyi di belakang
keramaian gudang yakni lokasi yang jauh dari suara/keramaian.
1 bulan - Lokasi karantina yang terletak dekat dengan daerah yang
terdapat aktivitas penangkaran (aktivitas pekerja dan
kendaraan)
3 Pakan 3 hari - Menunda pemberian pakan pada awal masuknya buaya
baru ke penangkaran
1 bulan - Pemberian pakan diatur frekuensi pemberiannya
secara berangsur pada frekuensi normal selama masa adaptasi.
bertahap
Kolam/kandang Luas *)
teritori Standar
Jumlah
Luas indi- kebutu-
indivi-
Jenis Jum- Lantai vidu han luas
No. Ben- p du
Kolam/Kandang l (m) t (m) lah kolam buaya lantai
tuk (m) buaya
unit muara (m2) (m²/ kolam
ekor) (m²/
ekor)
K. Anakan (< 50 Segi
1 1.5 1.5 0.5 1 3 2.25 0.75 0.25
cm) empat
K . Pembesaran I Segi
2 6.2 14 2 1 215 86.8 0.4 1
(50 - <100 cm) empat
K. Pembesaran II Segi
3 14.5 6.5 2 2 74 94.25 1.27 1
(100 -200 cm) empat
K. Pembesaran III Segi
4 7.5 11 2 1 10 82.5 8.25 1
(>200 cm) empat
K. Indukan Segi
5 20 29 3 1 30 580 19.33 40
(Universal) empat
Segi
6 K. Display 20 29 3 1 66 580 8.88 1
empat
Sumber: *) Hardjanto dan Masy’ud (1991); K= Kandang; p=panjang; l=lebar; t=tinggi.
(a) Kandang anakan ukuran panjang badan (b) Kandang pembesaran ukuran panjang
buaya muara <50 cm badan buaya muara 50-<100 cm (remaja)
(e) Kandang indukan (universal) ukuran (f) Kandang display ukuran panjang badan
panjang badan >200 cm buaya muara 100-200 cm (dewasa muda)
meter (diukur dari kepala sampai ekor). Sedangkan Bolton (1989) menyatakan
bahwa kandang buaya yang ideal adalah kandang yang apabila terpenuhinya
ruang gerak bagi buaya sebagai rangsangan untuk pertumbuhan badan buaya.
Bolton (1990) juga menyatakan bahwa sifat teritori buaya mulai ditunjukkan pada
kelompok umur remaja dengan terjadinya perkelahian sesama buaya yang dapat
berakibat pada terjadinya luka atau infeksi, maka luas lantai dan kapasitas
tampung kandang yang ideal harus mendapat perhatian. Selain itu Bolton (1990)
juga menyatakan buaya pada kelompok umur remaja dan dewasa muda
merupakan kelompok umur yang pertumbuhannya cukup pesat, sehingga untuk
mendapatkan percepatan perkembangan badan yang baik, seharusnya individu
buaya pada kelompok umur tersebut harus dipelihara tersendiri dalam satu unit
kandang agar tidak terjadi perkelahian karena persaingan perebutan tempat atau
teritori maupun pakan.
Berdasarkan pertimbangan inilah, dalam praktek pembesaran buaya muara
pengelompokkan bagi kelompok buaya dewasa muda dan buaya dewasa di
penangkaran CV BM mulai ditempatkan di dalam kandang-kandang individual
yaitu kandang yang dipisahkan oleh sekat-sekat menjadi bilik-bilik kandang
berukuran cukup untuk satu ekor buaya. Praktek ini juga dapat dilihat sebagai
bagian dari penerapan prinsip kesejahteraan satwa (animal welfare) yakni
mencegah terjadi luka, sakit dan stress pada kelompok buaya yang dipelihara di
penangkaran. Juga sekaligus sebagai tindakan mempercepat pertumbuhannya
pada ruang gerak yang menjadikan individu buaya tersebut menjadi seolah-olah
‘malas’ bergerak sehingga dapat menyimpan lemak bagi pembesaran badannya.
Kandang isolasi berfungsi untuk mengisolasi buaya buaya sakit agar tidak
tertular pada buaya lainnya di kandang-kandang penangkaran. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, di dalam pengelolaan penangkaran buaya di CV BM telah
tersedia unit kandang isolasi, namun hasil pengamatan lapang maupun wawancara
diketahui bahwa kandang isolasi ini belum difungsikan secara maksimal. Alasan
utama dari tidak difungsikannya kandang isolasi karena tidak ada tenaga ahli
khusus untuk pemeriksaan penyakit secara berkala.
61
3. Daerah
√ √ √ √ √ √
berair
4. Daratan
(teras) / √ √ √ √ √ √
Shelter
5. Cover Atap dari Atap bahan Cover Cover
(atap/penut bangunan asbes dan berupa berupa
up atas) utama - - seng vegetasi vegetasi
(sebagian
rusak
6. Jembatan
kayu antar
- √ - - - √
kolam air
matahari pagi dan sore hari yang dibutuhkan untuk hidup dan perkembangan
buaya di penangkaran. Selain itu, pemilihan jenis tanaman untuk tanaman tepi di
sekitar kandang penangkaran sebaiknya yang berdaun lebar agar tidak menjadi
sampah yang mengotori dan menimbulkan penyakit, sebagaiamana dikemukan
oleh Huchzermeyer (2003) dan Bolton (1990) bahwa tanaman tepi berdaun lebar
lebih sesuai sebagai penahan angin sekaligus dapat menyesuaikan suhu pada
daerah kandang yang terbuka.
Salah satu aspek penting dari konstruksi kandang penangkaran buaya yang
harus juga diperhatikan sesuai dengan kebiasaan buaya adalah ketersediaan areal
atau fasilitas penunjang di dalam kandang yang berfungsi sebagai tempat
berjemur dan berendam (basking). Collen et al. (2008) dan Brien et al, (2012),
menyatakan bahwa aktivitas berendam pada buaya dilakukan sebagai bagian dari
penyesuaian suhu badan buaya muara sebelum beraktivitas yaitu berendam di pagi
hari dan berjemur pada siang hari.
Secara teknis untuk memenuhi kebutuhan berendam dan berjemur tersebut,
di dalam kandang penangkaran buaya di CV Bintang Mas disediakan fasilitas
tersebut pada semua unit kandang penangkarannya yakni berupa bagian kolam
yang berair, bagian teras (daratan), serta pembuatan balok kayu sebagai jembatan
antar kolam berair yang berfungsi untuk jalan untuk melakukan pematauan buaya
di setiap kolam (Gambar 7).
(a) Fasilitas daerah daratan (teras) dan daerah (b) Fasilitas jembatan kayu dalam kandang
berair (kolam) dalam kandang di penang- pembesaran buaya muara di CV Bintang
karan CV Bintang Mas Mas
Gambar 7 Fasilitas jembatan kayu dalam kandang di penangkaran buaya mua-
ra pola pembesaran di CV Bintang Mas (Dok.Pribadi 2012).
Luasan kolam berendam dan areal berjemur tergantung ukuran badan buaya
yang ada tiap kandang. Collen et al. (2008) menyatakan perbandingan daerah
65
kolam air dan teras disesuaikan dengan ukuran tubuh buaya dan kebutuhan dalam
pengaturan suhu badan buaya muara. Kedalaman air di dalam kandang tersebut
tidak lebih dari 50 cm dan pembedaan batasan kedua daerah yaitu daerah kolam
berair dengan daerah teras dibuat berbentuk landai di bagian tepinya agar
memudahkan naik dan turunnya buaya ke kolam untuk berendam dan berjemur di
daratan atau teras.
Hasil pengamatan lapang diketahui, bahwa pada saat siang hari ketika sinar
matahari panas, maka terlihat banyak buaya berlindung di bawah jembatan kayu
tersebut. Hasil pengamatan lapang juga menunjukkan bahwa umumnya aktivitas
berjemur dilakukan buaya pada pukul 08:00-11:00, sedangkan aktvitas berendam
biasa dilakukan pada pukul 11:00-17:00 ketika suhu lingkungan kandang
meningkat mencapai >32 oC.
Berdasarkan uraian-uraian terkait aspek pengelolaan kandang tersebut di
atas, dapat disimpulkan bahwa dari segi ketersediaan sarana-prasarana kandang
sudah memadai, baik dilihat dari ukuran, bentuk dan konstruksi serta fasilitas
kandang, namun dilihat dari segi kenyamanan dan prinsip-prinsip terkait
kesejahteraan satwa maka pengelolaan perkandangan yang dilakukan di CV BM
belum berjalan optimal.
c. Pengelolaan Pakan
Pakan mempunyai peranan sangat vital baik secara teknis biologis sebagai
sumber energi yang menentukan kelangsungan hidup dan keberhasilan
pertumbuhan buaya di penangkaran, maupun secara ekonomi merupakan
komponen biaya terbesar dari keseluruhan komponen biaya (produksi)
penangkaran. Paling tidak ada tiga prinsip yang menjadi patokan didalam
pengelolaan pakan di penangkaran. Pertama, prinsip kecukupan yakni jumlah
pakan yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan buaya; kedua,
prinsip keberlanjutan ketersediaan, yakni pakan harus selalu tersedia sesuai masa
kebutuhan; dan ketiga, prinsip ekonomis, yakni pakan harus murah harganya dan
tidak kompetitif dengan kebutuhan manusia ataupun penangkaran satwa lain.
Oleh karena itu ketepatan pengelolaan pakan menjadi sangat penting dan
menentukan keberhasilan penangkaran buaya.
66
Pakan buaya di alam lebih beragam, berupa pakan segar maupun bangkai
hasil buruan yang dibenamkan beberapa hari dalam endapan lumpur (Bolton
1990). Pakan buaya di penangkaran berupa ikan, udang, ayam bebek, daging atau
karkas babi, sapi atau mamalia ternak lainnya (Kurniati 2008). Beberapa
penelitian menyebutkan jenis pakan yang disukai dan membantu percepatan
tumbuh fisik buaya adalah pakan yang mengandung lipid, protein dan kalsium
yang tinggi (Beyeler 2011). Komposisi pakan yang mempercepat perkembangan
buaya adalah daging ayam 75% ditambah ikan kembung 25% atau pilihan ikan
kecil dan udang bagi kelompok buaya usia remaja dan dewasa muda, sedangkan
anakan buaya lebih menyukai udang kecil basah (Izzudin 1989). Menurut
Suwandi (1991) dalam Masy’ud et al. (1993) bahwa pemberian pakan ikan kecil-
kecil atau teri tanpa campuran lainnya sebagai pakan lebih disukai dibandingkan
pakan pilihan yang dicampur teri dan udang. Berdasarkan hasil pengamatana
lapang, wawancara dan penelaahan terhadap berbagai dokumen, diketahui praktek
pemberian pakan di penangkaran CV Bintang Mas yang disajikan pada Tabel 11.
Kebutuhan pakan
berdasar Kebutuhan Pakan (gr)
pendekatan umur Jumlah
Individu Standar Konsumsi
Kelas Umur Rata-Rata
Perki- buaya Pakan Berdasarkan
Σ Pakan
raan (ekor) Berdasarkan Pendekatan
perhari/
Umur*) Kapasitas Perkiraan
ekor (gr)*)
Kolam Umur
Kolam anakan 1-2 125 3 375 150.75
Kolam Pembesaran Ukuran
2-3 175 215 37 625 21 608.19
Panjang Badan 50-<100 cm
Kolam Pembesaran (I) Ukuran
Panjang Badan 100 - 200
a. Ukuran panjang badan
2-3 175 27 4 725 4 070.38
100-< 140 cm
b. Ukuran panjang badan
3-4 255 6 1 530 1 206.04
140-160 cm
Kolam Pembesaran (II)
Ukuran Panjang Badan 100 -
200 cm
a. Ukuran panjang badan
2-3 175 14 2 450 2 110.57
100-< 140 cm
b. Ukuran panjang badan
3-4 255 19 4 845 3 819.12
140-160 cm
Kolam Pembesaran Ukuran
4-5 330 10 3 300 2 512.58
Panjang Badan >200 cm
Kolam Indukan >5 353 30 10 590 7 537.74
67
Tabel 11 Lanjutan
Kebutuhan pakan
berdasar Kebutuhan Pakan (gr)
pendekatan umur Jumlah
Individu Standar Konsumsi
Kelas Umur Rata-Rata
Perki- buaya Pakan Berdasarkan
Σ Pakan
raan (ekor) Berdasarkan Pendekatan
perhari/
Umur*) Kapasitas Perkiraan
ekor (gr)*)
Kolam Umur
Kolam Displai Panjang Badan
> 200 cm
a. Ukuran panjang badan
2-3 175 5 875 753 .77
100-< 140 cm
b. Ukuran panjang badan
3-4 255 38 9 690 7 638.24
140-160 cm
c. Ukuran panjang badan
4-5 330 23 7 590 5 778.93
>180 cm
Sumber : Data olahan dari wawancara & pustaka , *) Soewarto in Sarwono 1993
pellet untuk buaya dapat juga menggunakan bagian tubuh unggas berupa usus,
kepala dan kaki karena diketahui berhasil memberi efek pertumbuhan yang baik
dari buaya di penangkaran (Elmir 2008; Masy’ud et al. 1993; Bolton 1990).
Meskipun pembuatan pakan buatan merupakan salah satu alternatif yang
dapat dikembangkan, namun di penangkaran saat ini belum menjadi prioritas
karena memerlukan kesiapan teknis yang cukup kompleks, baik dari segi
pembuatan, pemilihan bahan maupun bentuk dan kompisisi bahan pembuatan
pellet tersebut agar bertahan dalam air (tidak mudah larut), mudah dibuat, bahan
mudah diperoleh dan harganyai murah. Sebagai alternatif untuk mengatasi
kekurangan pakan yang selama ini dirasakan dapat diantisipasi dengan
membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak di dalam satu wilayah yang
bergerak dalam usaha peternakan, perikanan ataupun unit usaha penangkaran
buaya lainnya, sehingga dapat saling mendukung pengembangan usaha
penangkarannya, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan pakan tersebut.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa praktek pengelolaan
pakan yang dilakukan di CV Bintang Mas belum berjaln optimal, baik dilihat dari
manajemen ketersediaan sumber dan jenis pakan, maupun dari segi jumlah dan
mutu pakan yang diberikan, serta aspek ekonomi dari pakan tersebut. Dengan
demikian diperlukan upaya perbaikan dan peningkatan pengelolaannya, agar
memberikan dampak yang lebih positif terhadap pertumbuhan anakan buaya di
penangkaran.
buaya yang lebih tua (besar dan kuat) terhadap buaya anakan dan remaja yang
memiliki kondisi tubuh lemah akibat kekurangan pakan (CV BM 2011). Kematian
buaya juga dapat terjadi karena kondisi sanitasi kandang dan lingkungan yang
jelek, makanan, sistem perairan dalam kandang serta kelainan metabolisme yang
kurang mendukung pemeliharaan (IPB 1990).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa praktek perawatan
kesehatan dan pengendalian penyakit yang dilakukan di penangkaran CV Bintang
Mas belum berjalan optimal, antara ditandai dengan masih tingginya tingkat
kematian baik disebabkan oleh infeksi luka akibat perkelahian maupun akibat
kanibalisme. Dengan demikian diperlukan upaya peningkatan pengelolaan
kesehatan dan pengendalian penyakit untuk lebih memberikan jaminan
keberhasilan usaha penangkaran mencapai tujuannya.
Tabel 12. Jumlah individu buaya muara di CV Bintang Mas Periode 2009-2012
Jumlah Individu pada Awal Tahun Jumlah Individu pada Akhir Tahun
(ekor/cm) per Kelompok Umur (ekor/cm) per Kelompok Umur
Tahun 50- 50 -
< 50 100-200 > 200 Jumlah < 50 100-200 >200 Jumlah
<100 <100
2009 4 271 365 74 714 0 150 184 74 408
2010 0 150 184 74 408 0 75 129 50 254
2011 0 75 129 50 254 5 213 130 50 398
2012 5 213 130 50 398 3 215 130 50 398
Sumber: Rekapitulasi data Rencana Karya Tahunan (RKT) CV Bintang Mas tahun 2009 -
2012
73
Jumlah total individu buaya muara pada bulan Mei 2012 menurut kategori
umur dan ukuran tubuh adalah 398 ekor, terdiri dari anakan (<50 cm) 3 ekor,
buaya remaja (50-<100
<100 cm) 215 ekor, buaya dewasa muda (100-200
200 cm) 130
ekor, dan buaya
ya dewasa (>200 cm) 50 ekor. Gambaran kondisi prosentase jjumlah
individu buaya berdasarkan
berdasarka kelompok ukuran badan pada tahun 2012 disajikan
pada Gambar 8.
1%
12% anakan < 50
remaja 50 - <100
33% 54%
Dewasa Muda
100 - 200
Dewasa > 200
ukuran minimal panjang badan 150 cm dan lebar perut/dada buaya 37.8 cm
dengan jangka waktu terbaik adalah 3-4 tahun. Bolton (1990) dan Huchzermeyer
(2003) menyatakan bahwa pertumbuhan buaya pada sistem pengelolaan
penangkaran yang dilakukan dengan tepat, baik dan benar jauh lebih cepat
dibanding dengan pertumbuhan buaya liar di alam.
Pembesaran buaya dalam penangkaran pada kelompok umur dewasa muda
hingga dewasa memiliki daya tahan tubuh lebih stabil, dan kelompok umur 50-
<100 cm dan 100-200 cm merupakan masa pertumbuhan buaya yang sangat pesat.
Izzudin (1989) menyebutkan bahwa pada usia dua tahun pertama pertumbuhan
anakan buaya cenderung pada pertambahan berat tubuh bukan ukuran panjang
badan. Berdasarkan masa pembesaran buaya dalam penangkaran milik CV
Bintang Mas, jelas bahwa laju pertumbuhan anakan buaya tersebut tergolong
lambat, sehingga menunjukkan bahwa manajemen penangkaran buaya muara
yang dilakukan di CV Bintang Mas belum tergolong baik.
Perkembangan jumlah individu buaya di penangkaran yang dicatat sebagai
perkembangan mutasi individu, terjadi baik pengurangan karena mati,
dipotong/dipanen ataupun penambahan karena perolehan anakan baru dari alam.
Kondisi jumlah individu buaya pada penangkaran CV Bintang Mas periode data
tahun 2009-2012 disajikan pada Tabel 13.
Selain itu, diketahui pula bahwa persentase kematian buaya selama masa
pemeliharaan tahun 2009-2012 berfluktuatif dengan total persentase kematian
26.13% (Tabel 13 dan Tabel 14). Persentase kematian ini termasuk dalam kisaran
10-<30% yang tergolong sedang menurut Pedoman Audit Penangkaran Reptil
(Kemenhut 2011). Umumnya kematian ini terjadi pada kelompok buaya
berukuran <50 cm dan 50-<100 cm sebagai usia kritis dengan resiko kematian
tinggi (Suzzana 2000). Penyebab yang lain atas kematian buaya adalah
kekurangan pakan, dimana dalam kenyataannya pemberian pakan per kandang
hanya mampu dipenuhi sebanyak 2 400.8 gr/kolam/hari pemberian pakan dari ke-
butuhan normal. Kurangnya stok pakan menimbulkan perkelahian pada sesama
buaya untuk memperebutkan pakan yang terbatas, ini mengakibatkan luka yang
dapat menjadi infeksi yang dapat menyebabkan kematian pada buaya dalam
penangkaran. Terkadang akibat kekurangan pakan bahkan dapat terjadi
kanibalisme dengan memburu/memangsa individu buaya yang lemah (sakit) atau
kelainan fisik (cacat atau kerdil). Biasanya terjadi pada ukuran remaja yang
penempatannya secara universal dan membutuhkan pakan lebih banyak untuk
kebutuhan pertumbuhan yang sangat pesat di tahapan kelompok ukuran ini
(Bolton 1990; Huchzermeyer 2003).
Kematian jarang terjadi pada kelompok umur dewasa muda hingga dewasa
sebab pada kelompok umur ini sudah memiliki kemampuan mempertahankan diri
dan kondisi fisiknya sudah lebih stabil dibandingkan kelompok umur lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa dilihat dari perkembangan
jumlah populasi dan pertumbuhan anakan buaya di penangkaran, maka unit
manajemen penangkaran buaya CV Bintang Mas termasuk dalam kategori sedang.
76
Tabel 15 Lanjutan
diketahui bahwa hampir semua indikator yang terkait dengan aspek teknis
penangkaran dinilai dengan nilai cukup, kecuali untuk indikator ketersediaan
tenaga inti penangkaran (I.8) dinilai masih kurang dengan bobot nilai 0.23 (23 %)
dan indikator manajemen penandaan dan pelaporan (I.9) juga masih kurang
dengan bobot nilai 0.175 atau 17.5%.
Adapun untuk indikator yang terkait dengan aspek sosial yakni presentase
serapan tenaga kerja (I.10), dukungan lingkungan sekitar lokasi (I.11) dan
persentase terbukanya lapangan kerja (I.12) semua responden memberikan
penilaian dengan bobot nilai rendah yakni masing-masing 0.107 (10.7%), 0.09
(9%) dan 0.08 (8%). Hal ini menunjukkan bahwa pada aspek teknis maupun aspek
sosial tersebut di atas dalam kegiatan pengembangan penangkaran buaya muara
pola pembesaran di Papua ini masih perlu diperbaiki dan ditingkatkan. Sebagai
contoh, persyaratan yang mengharuskan suatu unit usaha penangkaran buaya
mempekerjakan seorang tenaga ahli penangkaran harus dipenuhi, sehingga
diharapkan dapat berperan penting didalam meningkatkan keberhasilan usaha
penangkaran.
Meskipun dari segi teknis khususnya terkait indikator tentang lama
pemeliharaan/pembesaran dari anakan hingga umur panen (I.5) dinilai cukup baik
yakni 0.44 atau 44%, namun fakta menunjukkan bahwa masa pembesaran buaya
untuk mencapai usia potong ekonomis dilakukan di penangkaran CV Bintang Mas
dapat dipandang masih cukup lama yakni sekitar 4-5 tahun. Untuk itu perlu
dilakukan usaha perbaikan manajemen pembesarannya, karena pada manajemen
penangkaran buaya yang tergolong baik apabila kecepatan pembesaran anakan
buaya mencapai usia panen ekonomis dapat dicapai dalam waktu 3-4 tahun.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian terkait dengan hasil penilaian di atas
adalah masih kecilnya bobot penilaian terhadap aspek sosial yang ditunjukkan
oleh bobot nilai pada indikator I.10, I.11 dan I.12. Artinya, pada aspek sosial,
keberadaan usaha penangkaran buaya di Papua ini dinilai belum memberikan
kontribusi signifikan terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat dilihat dari
serapan tenaga kerja, dukungan masyarakat maupun peluang terbukanya
lapangan usaha. Meskipun demikian, fakta lapang menunjukkan bahwa secara
umum keberadaan unit usaha penangkaran buaya CV Bintang Mas telah diterima
79
Buaya sebagai salah satu sumberdaya alam yang telah ditetapkan sebagai
jenis yang dilindungi dan dalam perdagangan internasional dimasukkan dalam
daftar Appendix II CITES, maka tanggungjawab pelestariannya di habitat alami
maupun pengembangan pemanfaatannya secara berkelanjutan bagi kesejahteraan
masyarakat pada dasarnya menjadi bagian dari tanggungjawab bersama semua
pihak, baik pemerintah, dunia usaha, penggiat konservasi, maupun masyarakat
pada umumnya. Oleh karena itu, dalam mendorong upaya pengembangan
penangkaran buaya ke depan dipandang penting untuk mendapatkan pandangan
dan dukungan parapihak. Dukungan parapihak ini sangat diperlukan guna
merealisasikan inti tujuan penangkaran yakni keseimbangan antara pemanfaatan
dan pelestarian (konservasi) buaya di Provinsi Papua.
Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi dengan parapihak diperoleh
gambaran umum tentang pandangan dan dukungan yang diperlukan bagi upaya
peningkatan keberhasilan dan keberlanjutan penangkaran buaya muara di Propinsi
80
(1) Penguatan kerjasama pengawasan lalu lintas pemanfaatan buaya muara dari
alam di Provinsi Papua
yang boleh ditangkap yakni < 80 cm. Selain itu, penangkapan anakan buaya juga
harus dilakukan di wilayah-wilayah yang telah ditetapkan dengan jumlah
tangkapan pun harus sesuai dengan ketentuan kuota tangkap yang ditetapkan
pemerintah. Oleh karena itu untuk menghindari peluang terjadinya penyimpangan
dalam proses penangkapan diperlukan penguatan kerjasama pengawasan dari
berbagai pihak.
Terkait dengan upaya mengatasi atau mencegah kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam proses penangkapan anakan buaya secara terus menerus,
maka parapihak berpendapat bahwa perlu diusahakan penguatan dukungan
berbagai pihak yang selama ini sudah terlibat aktif didalam kegiatan pemanfaatan
buaya muara di Papua. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses penangkapan
anakan buaya untuk penangkaran para plasma penangkap lebih memperhatikan
dan mematuhi secara konsistem semua peraturan atau ketentuan tentang batas
ukuran badan anakan buaya yang boleh ditangkap serta jumlah kuota tangkap dan
wilayah tangkapnya.
Upaya penguatan dukungan kerjasama parapihak tersebut dapat dijelaskan
secara singkat sebagai berikut:
itu, maka pandangan parapihak ini menjadi penting dan harus mendapat perhatian
perbaikannya agar usaha penangkaran buaya ke depan menjadi lebih berhasil.
dan penegakannya, serta ketegasan pemberian sanksi bagi siapa saja yang
melanggar.
ini, maka minimal ada dua program utama yang perlu dilakukan untuk
memperkuat pengembangan penangkaran sebagai unit usaha pemanfaatan buaya
secara berkelanjutan, yakni:
a. Program Penguatan Sistem PIR penangkaran buaya melalui Pola “bapak
angkat” sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat local:
Melalui program ini masyarakat lokal secara luas akan dilibatkan secara aktif
didalam usaha penangkaran buaya. Harapannya masyarakat dapat memiliki
kepedulian dengan memperbaiki kebiasaannya yang mengandalkan budaya
subsisten atau peramu dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya kepada sikap
dan tindakan yang lebih teratur dan terencana di dalam kegiatan
penangkapan, pengumpulan dan pemeliharaan buaya. Sistem kerja yang
teratur dengan menerapkan teknologi penangkaran memerlukan bimbingan
penangkar inti sebagai ‘bapak asuh’. Dengan pola demikian, secara bertahap
menimbulkan rasa memiliki pada masyarakat lokal untuk juga melakukan
usaha-usaha pelestarian buaya di habitat alaminya.
b. Program perubahan pola penangkaran buaya dari pola pembesaran (ranching)
ke pola pengembangbiakan (captive breeding):
Penangkaran pola pembesaran selama ini kurang berjalan sebagaimana
mestinya sehingga akan menjurus pada pembenaran tindakan pemanfaatan
langsung dari alam. Jika kejadian ini berlangsung berkepanjangan akan
berdampak negatif terhadap jaminan kelestarian populasi buaya muara di
alam. Oleh karena itu harus ada upaya secara bertahap untuk memulai
menggeser pengembangan usaha penangkaran buaya pola pembesaran di
Papua kepada pola pengembangbiakan. Penangkaran pola pengembangbiakan
sebenarnya telah berlangsung bahkan ada yang telah berhasil dilaksanakan
oleh unit usaha penangkaran diluar wilayah Papua. Oleh karena itu, perlu ada
langkah-langkah nyata untuk memulai usaha penangkaran pola
pengembangbiakan berupa penegasan di tingkat kebijakan pemerintah,
bimbingan dan pendampingan oleh pemerintah, fasilitasi kerjasama antara
unit usaha penangkaran buaya di Papua dengan unit usaha penangkaran
buaya yang telah berhasil di luar Papua, dan penetapan sistem insentif bagi
unit usaha yang berhasil mengembangbiakan buaya di penangkaran.
VI. SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Penguasaan pengetahuan dan praktek teknologi penangkaran buaya muara
pola pembesaran di Provinsi Papua tergolong sedang. Ukuran panjang anakan
buaya yang ditangkap untuk penangkaran umumnya lebih panjang dari
ukuran yang ditetapkan pemerintah (<80 cm), masa pembesaran untuk
mencapai ukuran potong ekonomis lebih lama (4-5 tahun) dengan tingkat
kematian 10-30%, kapasitas sumber daya manusia (SDM) pengelola masih
rendah dengan sarana prasana memadai.
2. Tingkat keberhasilan pengelolaan penangkaran buaya muara dengan pola
pembesaran di Papua termasuk kategori cukup (B) dengan nilai persentase
keberhasilan 62.2%.
3. Secara umum parapihak (stakeholders) menyatakan dukungan bagi upaya
peningkatan keberhasilan dan keberlanjutan penangkaran buaya di Provinsi
Papua, dengan beberapa harapan aksi yang perlu dilakukan ke depan, yakni:
(a) peningkatan kerjasama pengawasan pemanfaatan buaya, termasuk
peningkatan kesadaran masyarakat agar ikut berperan aktif didalam
pengawasan peredaran pemanfaatan buaya; (b) perbaikan manajemen
penangkaran terkait status buaya dalam perdagangan internasional (Appendix
II CITES); (c) pengembangan penangkaran buaya dengan sistem PIR secara
benar, konsisten dan bertanggungjawab; dan (d) perubahan dan peningkatan
manajemen penangkaran buaya muara dari pola pembesaran (rearing atau
ranching) menjadi pola pengembangbiakkan (captive breeding).
6.2. Saran
Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
(law enfrocement) yang terkait dengan: (a) ukuran panjang anakan buaya
yang ditangkap dari alam untuk penangkaran yakni <80 cm; dan (b)
kewajiban unit manajemen penangkaran untuk mengembalikan buaya ke
alam (restocking) sebesar 10% dari jumlah buaya hasil penangkarannya.
2. Dalam rangka mempertinggi tingkat keberhasilan penangkaran buaya di
Provinsi Papua, sekaligus sebagai upaya mengurangi ancaman pemanfaatan
langsung dari alam secara terus-menerus, maka segera dilakukan perbaikan
manajemen penangkaran buaya, antara lain melalui: (a) penyediaan tenaga
ahli penangkaran sesuai ketentuan yang berlaku; (b) peningkatan kapasitas
SDM pengelola termasuk animal keeper baik di tingkat penangkaran inti
maupun plasma, (c) perbaikan sarana prasarana penangkaran di penangkaran
inti dan plasma; (d) mulai melakukan perubahan manajemen penangkaran
dari pola pembesaran (ranching atau rearing) menuju pola
pengembangbiakan (captive breeding).
3. Agar pengembangan penangkaran buaya lebih berhasil secara sinergis dan
berkelanjutan (sustainable) baik dari aspek sosial-budaya, ekonomi dan
ekologi, yang ditandai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka
manajemen penangkaran buaya dengan pola PIR harus diterapkan secara
benar dan konsisten oleh para pihak dan diawasi secara bertanggungjawab
oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas pengelolaan (management
authority).
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada semua unit usaha penangkaran
buaya di Provinsi Papua untuk mendapatkan data dan informasi yang lebih
komprehensif agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan kebijakan
keberlanjutan pengelolaan penangkaran buaya pola pembesaran dan
kemungkinan perubahannya menuju penangkaran pola pengembangbiakan
sebagai bagian dari strategi konservasi buaya jangka panjang di wilayah
Papua.
DAFTAR PUSTAKA
Cox JH. 1985. Crocodile Nesting Ecology in Papua New Guinea. Field Document
No. 5 of the FAO/UNDP, PNG/74/029, Assisten to the Crocodile Skin
Industry Project. Port Moresby. Wildlife Division: Papua New Guinea.
Cox JH. 2010. New Guinea Freshwater Crocodile Crocodylus novaeguinea in
Crocodiles: Status Survey and Conservation Action Plan. Third Edition Ed
by Manolis SC. and Stevenson C: 90-93. Darwin: CSG
[CSG] Crocodile Specialist Group Newsletter. 2005. Regional Repport. IUCN-
World Conservation Union. Species Survival Commision. CSG Australia::
24(3): 10-18.
[CV BM] CV Bintang Mas. 2009. Rencana Kerja Tahunan Penangkaran Buaya
CV Bintang Mas Tahun 2010. Jayapura: CV Bintang Mas.
[CV BM] CV Bintang Mas. 2011. Rencana Kerja Tahunan Penangkaran Buaya
CV Bintang Mas Tahun 2012. Jayapura: CV Bintang Mas.
Davis BM. 2001. Improved nutrion and management of farmed crocodile : from
hatchling to harvest. Rural Industries research and development
coorporation, Australia: RIRDC Publication 01/138:1-95.
[Dephut] Departemen Kehutanan. 2006. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar.
Jakarta: Dirjen PHKA-Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati.
[Ditjen PHKA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
2001. Kebijakan Konservasi Buaya dalam Rangka Pengembangan
Penangkaran dan Industri Kulit. Disampaikan Ditjen PHKA: Bahan
Lokakarya dan Konsultasi “Investasi dan Peluang Usaha Industri Buaya”
tanggal 14-15 Nop 2001, di Hotel Wisata. Jakarta: Ditjen PHKA dan
Direktorat KKH.
[Ditjen PHPA] Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. 1985.
Pedoman Pelaksanaan Usaha Penangkaran Buaya Sebagai Salah Satu
Bentuk Pemanfaatan Untuk Menunjang Perekonomian. BKSDA III.
Direktorat Jenderal PHPA. Bogor: Departemen Kehutanan.
[Ditjen PHPA] Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam.
1987. Pedoman Pelaksanaan Usaha Penangkaran Buaya. Bogor: Direktorat
PHPA dan Hexa Buana Conserve.
[DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Jayapura. 2012. Laporan Tahunan
Pelaksanaan Program/Kegiatan Tahun Anggaran 2011. Jayapura: DKP
Kota Jayapura.
Elmir MY. 2008. Studi pengaruh pemberian makanan terhadap pertumbuhan
buaya muara (Crocodylus porosus) pada penangkaran PT Ekanindya Karsa
di Cikande Kabupaten Serang [Skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan. Institut Pertanian Bogor
Frye FL. 1991. Reptile Care: An Atlas of Disease and Treatment. Volume ke-I.
New Jersey: Napture City.
Hardjanto, Masy’ud B. 1991. Analisis Kelayakan Finansial Pengusahaan Buaya
di Irian Jaya. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
99
Lampiran 3 Tenaga kerja pada unit penangkaran buaya muara pola pembesa-
ran CV. Bintang Mas periode 2008-2012
Responden Jumlah
No Asal Lingkup Instansi
penilai
Unsur penilai lingkup Non-Kehutanan
1 Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Responden 1 1 orang
Jayapura
2. Peneliti Responden 2 1 orang
3. Asosiasi Pengusaha Penangkar Buaya Responden 3 1 orang
Indonesia
Unsur penilai lingkup Kehutanan
4 Pemerhati konservasi buaya Responden 4 1 orang
5 BBKSDA Papua Responden 5 1 orang
6 Dinas Kehutanan dan Konservasi Provisni Responden 6 1 orang
Papua