Professional Documents
Culture Documents
HUKUM ISLAM PADA PERIODE MURRAJIHIN Revisi 2
HUKUM ISLAM PADA PERIODE MURRAJIHIN Revisi 2
Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur pada mata
kuliah Sejarah Hukum Islam
Disusun oleh :
Kelompok 5
FAKULTAS SYARIAH
PURWOKERTO
2022
i
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ii
KATA PENGANTAR iii
BAB I 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. TUJUAN 2
C. RUMUSAN MASALAH 2
BAB II 3
A. Faktor Tertutupnya Pintu Ijtihad 3
B. Usaha Para Ulama Dalam Mengatasi Masa Talid dan Jumud 5
C. Tingkatan Ulama Dalam Madzhab 5
D. Pengaruh Aliran dan Sistem Hukum 7
BAB III 9
A. KESIMPULAN 9
Daftar Pustaka 10
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdulillah kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua. Sehingga kami dapat menyusun
makalah ini yang berjudul "Hukum Islam Pada Periode Murrajin (Masa
Taqlid dan Jumud)" tepat pada waktunya. Dan tidak lupa pula kita curahkan
sholawat serta salam kepada Nabi Agung Muhamad SAW yang telah membawa
kita dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang ini.
Kami menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Periode ini dimulai dari abad 10-11 M (310 H) 1 sejak berakhirnya kekuasaan
Bani Abbas sampai abad ke 19. Periode ini, ditandai dengan menyebarkan pusat-pusat
kekuasaan Islam di beberapa wilayah, sehingga umat Islam sendiri dapat dikatakan dalam
kondisi yang lemah dan berada dalam kegetiran 2. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan
negara (daulah) lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah, sehingga hilanglah
pesaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam dan sebaliknya menjadi
permusuhan. 3Pada masa ini, hukum Islam mulai mengalami stagnasi (jumud). Hukum
Islam tidak lagi digali dari sumber utamanya (al-Qur’an dan Sunnah), para ulama pada
masa ini lebih banyak sekedar mengikuti dan mempelajari pikiran dan pendapat dalam
mazhab yang sudah ada (taqlid). Dari sini terlihat mulai ada kecenderungan baru, yakni
mempertahankan kebenaran mazhabnya dengan mengabaikan mazhab lain, seolah-olah
kebenaran merupakan hak prerogatif mazhab yang di anutnya, sehingga tak salah jika
masa ini merupakan fase pergeseran orientasi dari al-Qur’an dan Sunnah menjadi
orientasi kepada pendapat ulama.Sebagaimana diketahui, pada masa abad ke IV telah
terbentuk mazhab-mazhab fiqh. Namun kecenderungan yang tidak begitu baik segar
dalam perkembangan fiqh yakni munculnya ketergantungan kepada mazhab dan
tumbuhnya perasaan berkecukupan secara meluas dan mendalam. 4 Para ulama berupaya
menjaga pendapat mazhab fiqhnya dengan mengembangkan pemikiran mazhabnya secara
internal melalui pembuatan ringkasan-ringkasan (mukhtasyar) terhadap kitab-kitab fiqh
yang terlalu tebal. Bahkan, mazhab ada yang disebut mukhtasyar jiddan yang merupakan
ringkasan dari ringkasan. Selain itu, para ulama pada fase ini melakukan ulasan-ulasan
dan penjelasan-penjelasan (syarah) serta penjelasan dari kitab yang sudah dibuat
penjelasannya (khasiyyah) terhadap kitab-kitab fiqh yang ringkas atau kurang luas,
sehingga dalam proses belajar fiqh menjadi berat, yakni harus menguasai, menghafal dan
menjaga seluruh isi kitab fiqh dan menjaga cara-cara (istinbath ahkam) yang ditempuh.
1
Para ahli sejarah hukum Islam menyatakan bahwa setelah tahun 310 H yakni setelah Ibn Jarir at-
Thabari meninggal merupakan awal dari periode jumud.
2
Di Mosul dan Halb terdapat Bani Hamdan, di Yaman terdapat Syiah Zaidiyyah, Daulah al-
Dailamy (Daulah Bu-
waihy) di Baghdad, Daulah Samaniyyah di Masyriq. Hudhari Bik, Tarikh tasyri’ Islamy, h. 519.
3
Ali Al-Sayyyis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 111; lihat pula, Philip K. Hitti¸The History of Arab,
h. 570.
4
Nurcholis Madjid, Tradisi Syarah dan Hasyiyah dalam Fiqh dan Masalah Stagnasi Pemikiran
Hukum Islam, dalam Budhy Munawwar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah,
(Jakarta: Paramadina, 995), cet. II, h. 313
1
Selain itu, aktifitas ulama juga terfokus pada pentarjihan terhadap pendapat yang
berbeda-beda dalam suatu mazhab, baik itu dari segi riwayah atau pun dirayah. 5
B. TUJUAN
Berdasarkan pada latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat diketahui
tujuan dari makalah ini. Yaitu :
1. Mengetahui apa-apa saja yang menjadi faktor penyebab terhentinya ijtihad pada
periode murajihin (masa taqlid dan jumud).
2. Mengetahui usaha-usaha ulama pada periode murajihin (masa taqlid dan jumud).
3. Mengetahui pengaruh aliran dan sistem hukum pada periode murajihin (masa taqlid
dan jumud).
C. RUMUSAN MASALAH
3. Bagaimana pengaruh aliran dan system hukum pada masa taqlid dan jumud?
5
Tarjih secara riwayat dinukilkan kepada imam-imam yang berbeda dalam satu mazhab, seperti
halnya pendapat
2
BAB II
PEMBAHASAN
Masalah inilah yang menambah rumitnya posisi hukum Islam dan parahnya
kondisi umat Islam ketika “dideklarasikan” bahwa pintu ijtihad tertutup. Dalam catatan
sejarah tidak dapat dilacak, baik individu maupun kelompok yang mendeklarasikan,
penutupan pintu ijtihad. Tidak ada seorangpun yang benar-benar mengetahui kapan pintu
ijtihad itu ditutup, dan siapa sesungguhnya yang menutupnya, 6 baik oleh ulama secara
individu, atau kolektif. Yang aneh, wacana ini begitu cepat berkembang, dan lambat laun
dipercaya bahwa pintu ijtihad itu benar-benar tertutup. Peristiwa itu terjadi pada abad IV
H, dengan berpatokan pada ulama terakhir yang melakukan ijtihad mustaqil adalah Ibn
Jarir at-Thabari (310 H). Setelah masa ini, para ulama lebih cenderung mengikatkan
dirinya pada mazhab fiqh tertentu.
Meskipun pada praktiknya klaim tertutupnya pintu ijtihad ini menjadikan umat
Islam stagnan, tetapi ada beberapa ulama yang tetap menyatakan bahwa pintu ijtihad
tidak pernah tertutup. Pernyataan inilah yang dipegang oleh Imam al-Syaukani pada abad
ke XIII Hijrah, yang kemudian dilanjutkan oleh al-Maraghi. Menurut Ibrahim Hosen,
mereka yang berpendapat bahwa pintu ijtihad tertutup beralasan, bahwa:
1. Hukum Islam, baik dalam bidang ibadah, muamalah, munakahat, jinayat, dan
sebagainya, seluruhnya telah lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi,
sehingga tidak tidak perlu lagi adanya ijtihad baru.
2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui mazhab empat, oleh karenanya tiap-tiap
yang menganut mazhab Ahl al-Sunnah haruslah memilih salah satu mazhab saja. Ia
pun harus terikat dengan satu mazhab tersebut.
3. Membuka pintu ijtihad, selain merupakan suatu yang sia-sia juga membuang-buang
waktu.
4. Sejak abad ke IV tidak ada seorangpun ulama yang berani menonjolkan diri sebagai
mujtahid mutlak.
Hal ini menunjukkan bahwa mulai saat itu syarat-syarat seorang mujtahid mutlak tidak
mungkin terpenuhi.Selain itu, golongan yang tetap berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap
terbuka memiliki pendapat yang berbeda, di antaranya:
1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang semestinya lincah dan
dinamis menjadi kaku dan beku, sehingga Islam akan ketinggalanzaman, karena
6
Fazrur Rahman, Islamic Methodology in History, (Karachi, 1965), h. 227
3
beberapa permasalahan yang muncul justru terkadang tidak ada dalam al-Qur’an,
hadis, atau kitab-kitab fiqh.
2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama Islam untuk menciptakan
pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil
hukum Islam.
3. Dengan terbukanya pintu ijtihad, maka setiap permasalahan umat dapat diatasi dan
diselesaikan. Dengan demikian, hukum Islam akan selalu berkembang dan sesuai
dengan kondisi masyarakat. 7
Menurut pendapat az zarqa, ada tiga faktor yang memicu penutupan pintu ijtihad,
sehingga menjadi gejala awal dari tasyri’ pada masa ini, yaitu 8 :
Dengan tertutupnya pintu ijtihad ini, maka timbul dampak positif dan negatif
pula. Dampak positifnya adalah meminimalisir konflik politik dan perpecahan umat islam
dengan berpegang teguh pada hasil ijtihad madzhab sebelumnya. Namun tak sedikit pula
dampak negatif yang ditimbulkan, antar lain; melemahnya semangat keilmuan, stagnasi
pemikiran, pudarnya sikap independensi berfikir, dan kecenderungan untuk taqlid.
Banyak cendekiawan muda berfikir bahwa usaha dan pemikiran mereka tidak akan dapat
menyamai ulama-ulama sebelumnya. Dengan adanya situasi tersebut maka setiap orang
lebih memilih satu madzhab tertentu, untuk mendapat kepuasan atas masalahnya,
sandaran hidup atau sekedar penetapan kebijakan politik.
7
Ibrahim Hosen, Taqlid dan Ijtihad: Beberapa Pengertian Dasar, dalam Budhy Munawwar
Rahman, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, h. 320-321
8
Team penyusun. Mencermati tarikh tasyri’ dan perkembangannya. Hal 120
9
Taqlid : mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui alasannya (qabul, qawl man la yadri min
ayna yaqul).
4
B. Usaha Para Ulama Dalam Mengatasi Masa Talid dan Jumud
Setelah menjelaskan berbagai penyebab terjadinya taqlid sepanjang fase ini yang
lebih lanjut berakibat pada kemunduran dan kekakuan fiqh islam, maka perlu dijelaskan
beberapa upaya dan kontribusi yang sudah dilakukan oleh para ulama untuk
mengembangkan fiqih islam pada periode ini, dengan begitu kita tidak menzalimi karya
fiqh mereka yang berputar disekeliling mazhab-mazhab yang ada, walaupun upaya ini
tidak sampai melahirkan mazhab baru yang memiliki prinsip sendiri seperti yang pernah
dilakukan oleh pendahulunya. Dan upaya mereka hanya sebatas memperluas pemahaman
mazhab yang diikuti mereka, sebuah khidmat yang patut disyukuri sehingga membuat
kajian fiqh mazhab semakin dalam dan terinci, luas, dan sistematik.
Walaupun ulama diperiode ini telah mengekang dirinya dengan taklid, dan
mengikat dirinya dengan mengikut imam tertentu dalam hokum dan fatwa, namun ada
juga usaha-usaha mereka harus kita ketahui dan ini membuktikan bahwa roh taklid buta
belum merata benar. Mereka masih mengumpulkan hadis-hadis atau atsar-atsar,
mentarjihkan riwayat-riwayat yang berlawanan, mengeluarkan illah-illah hukum,
menetapkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok tauhid dengan jalan memperhatikan
memperhatikan hokum yang telah ditentukan oleh imam-imam itu. Mereka berusaha
mencari keterangan untuk mempertahankan pendapat-pendapat imam, menyusun kitab-
kitab khilafiyah (kitab yang menerangkan hukum yang diperselisihkan) seperti Al-
Majmu’ karya Imam Nawawi dan Ihya’ Ulumuddin karya Al-Ghazali, Bidayatul
Mujtahid karya Ibnu Rusyd, al-I’tisam karya Assyatibi, Al-mizan Karya Al-Sya’rani.
Dengan demikian menyatakan bahwa ulama pada masa ini adalah ulama
penyempurna mazhab dengan jalan tarjih, oleh karenanya mereka diberi gelar ulama
murajihin.
10
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri'…, h. 36.
5
Ibnu al-Qasim (191 H/) dan Asyhab (204 H/820 M) dari Mazhab Maliki, dan
al-Buwaithiy (231 H) dan al-Muzanny (264 H) dari Mazhab Syafi’i. Dasar-
dasar para imam merekalah yang digunakan sebagai dasar-dasar dalam
pengembangan hukum-hukum.
2. Tingkatan Kedua: Ahli Ijtihad Mengenai Beberapa Masalah yang Tidak Ada
Riwayat dari Imam Mazhabnya.
Mereka ini tidak menyalahi para imam mereka dalam berbagai hukum cabang
dan juga tidak menyalahi dasar-dasar ijtihad yang mereka gunakan. Mereka
hanya mengistinbathkan hukum-hukum mengenai berbagai masalah yang
tidak ada riwayatnya sesuai dasar-dasar yang digunakan para imam mereka
dan dengan mengqiyaskan kepada cabang-cabang hukum mereka. Mereka
yang termasuk dalam tingkatan kedua ini adalah al-Khashshaf (261 H), al-
Thahawiy (lahir 230 H), dan al-Karkhiy (340 H) dari penganut Mazhab
Hanafi. Al-Lakhamiy(498 H), Ibnu al-Arabiy (542 H) dan Ibnu Rusyd (1198
M) dari penganut Mazhab Maliki. Abu Hamid al-Ghazaliy (505 H/1111 M)
dan Abu Ishaq al-Isfirayiniy (418 H) dari penganut Mazhab Syafi’i.
3. Tingkatan Ketiga: Ahli Takhrij.
Mereka ini tidak berijtihad dalam mengistinbathkan hukum mengenai
berbagai masalah. Akan tetapi, karena keterikatan mereka kepada dasar-dasar
dan rujukan mazhab yang dianutnya, maka mereka tidak berusaha
mengeluarkan illah-illah hukum dan prinsipnya. Dengan dasar inilah mereka
membatasi diri hanya pada memberi interpretasi terhadap pendapat-pendapat
imamnya yang masih bersifat global atau menentukan arah tertentu bagi suatu
hukum yang mengandung kemungkinan dua arah. Yang termasuk dalam
tingkatan ketiga ini ialah seperti al-Jahshash (370 H) dan rekan-rekannya dari
Mazhab Hanafi.
4. Tingkatan Keempat: Ahli Tarjih
Mereka ini mampu membandingkan di antara beberapa riwayat yang
bermacam-macam yang bersumber dari para imam mazhab mereka dan
sekaligus mampu mentarjih, menetapkan mana yang kuat antara satu riwayat
dengan riwayat lainnya. Mereka yang termasuk dalam tingkatan ini adalah al-
Qadury (428 H) dan pengarang kitab al Hidayah, serta rekan-rekannya
sesama penganut Mazhab Hanafi.
5. Tingkatan Kelima: Ahli Taqlid
Mereka ini mampu membeda-bedakan antara riwayat-riwayat yang jarang
dikenal dan riwayat yang sudah terkenal dan jelas, dan mampu membeda-
bedakan antara dalil-dalil yang kuat dan yang lemah. Mereka yang termasuk
dalam tingkatan kelima ini adalah pengarang kitab matan-matan yang
6
terkenal dan mu’tabar di kalangan Mazhab Hanafi, seperti pengarang
kitab al-Kanz dan al-Wiqoyah.
11
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), h.163-164.
12 ]
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, (Bandung: Nusamedia,
2005), h. 141.
7
pendapat-pendapatnya, serta kesungguhan meraka hanya sampai pada memahami
ucapan para imamnya atau menggali kaidah-kaidahnya. Sedang ijtihad telah
mereka lupakan hingga selesai dengan penutupan pintunya pada awal abad
keempat. Pada periode ini, dari golongan ulama terdapat pula orang yang tidak
kalah dengan imam-imam sebelumnya dalam pengetahuan tentang pokok-
pokok syari’at dan cara-cara istinbath, namun mereka tidak cukup untuk berani
muncul secara bebas seperti yang dirasakan oleh para pendahulunya yang
mengikat dirinya dengan kekuatanya sendiri serta menyelesaikan kesulitan-
kesulitan dengan jalan ijtihad. Seperti Abu Muhammad Abdillah bin Yusuf al-
Juwaini telah menyatakan dalam penyusunan kitab al-Muhith, tidak mau terikat
dengan satu mazhab dan mendasarkan pada nash-nash syara’ yang tidak terhitung
serta menjauhi sikap fanatik mazhab. Kitab al-Juwaini tersebut sampai kepada al-
Hafidz Abi Bakar al-Baihaqi sebanyak tiga juz lalu beliau mengkritiknya tentang
kelemahan hadist-hadistnya dan menjelasakan padanya bahwa yang mengambil
hadist yang ada pada dirinya adalah Syafi’i, dan ketidaksukaannya terhadap
hadist-hadist yang dikeluarkan al-Juwaini dalam kitabnya adalah karena terdapat
kecacatan yang diketahuinya sebagai orang yang menekuni kreasi para ahli hadist.
Ketika risalah al-Baihaqi sampai pada al-Juwaini, ia berkata: “ Ini adalah
keberkahan Ilmu.” Dan ia mendoakan al-Baihaqi serta ia tidak menyempurnakan
karangannya. Dari sini dapat anda lihat bahwa al-Juwaini berhenti berijtihad
karena ia bukan tokoh dalam hadist, padahal Imam Syafi’i sendiri bersandar
dalam pentashihan hadist-hadist kepada ahli hadist yang dapat memutuskan dan
membedakan antara hadist shahih dan cacatnya. 13
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa ijtihad pada masa itu tidak mati secara
sekaligus, tetapi secara berangsur-angsur dengan semakin hilangnya ruh ijtihad
dalam hati para ulama kala itu, hilangnya persatuan daerah-daerah Islam, dan
semakin banyaknya perpecahan dalam tubuh Islam.
13
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam…, h.165-166.
8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menurut pendapat az zarqa, ada tiga faktor yang memicu penutupan pintu ijtihad,
sehingga menjadi gejala awal dari tasyri’ pada masa ini, yaitu:
2. Tingkatan Kedua: Ahli Ijtihad Mengenai Beberapa Masalah yang Tidak Ada
Riwayat dari Imam Mazhabnya.
9
Daftar Pustaka
Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri'…, h. 36.
Muhammad Ali, Sejarah Fiqh Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), h.163-
164.
Abu Ameenah Bilal Philips, Asal Usul dan Perkembangan Fiqh, (Bandung:
Nusamedia, 2005), h. 141.
10