You are on page 1of 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/314112148

Status Penelitian Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) di Indonesia

Article  in  Buletin Plasma Nutfah · October 2016


DOI: 10.21082/blpn.v12n1.2006.p9-15

CITATIONS READS

8 2,480

2 authors:

Ireng Darwati Ika Roostika


Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute (ISMCRI) ICABIOGRAD-Indonesia
43 PUBLICATIONS   106 CITATIONS    49 PUBLICATIONS   125 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Aplikasi teknologi kultur jaringan dan cryotherapy untuk produksi benih tebu bebas virus dalam mendukung program swasembada gula View project

All content following this page was uploaded by Ika Roostika on 04 July 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Status Penelitian Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) di Indonesia

Ireng Darwati1 dan Ika Roostika2


1
Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor
2
Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Bogor

ABSTRACT nologi yang mantap. Teknologi yang mendukung dan informa-


si yang lengkap diharapkan akan meningkatkan pengembangan
Purwoceng was a commercial medicinal plant that could be komoditas tersebut, terutama dalam skala industri.
used as aphrodisiac, diuretic, and body fit enhancer. The plant Kata kunci: Status penelitian, Pimpinella alpina Molk., kon-
was indigenous of Indonesia that grew endemically at Dieng servasi.
Plateau in Central Java, Pangrango Mountain in West Java,
and mountaineos area in East Java. Recently the population
was getting rare because of high genetic erosion. Based on the PENDAHULUAN
erosion level, the purwoceng was categorized as endangered
species. In order to prevent from extinction, the conservation Purwoceng merupakan tanaman herba komer-
has to be done. The efforts of conservation could be conducted
together with the efforts of its utilization optimally and sus- sial yang akarnya dilaporkan berkhasiat obat seba-
tainably. So far there were not many researches on purwoceng. gai afrodisiak (meningkatkan gairah seksual dan
Several aspects that had been reported were on agronomy, in menimbulkan ereksi), diuretik (melancarkan saluran
vitro culture, phytochemistry, and pharmacology. However, air seni), dan tonik (mampu meningkatkan stamina
the results of those researches had not been optimal and tubuh) (Gambar 1). Tanaman tersebut merupakan
satisfying. Breeding research had not even been reported. This
condition opened large opportunities for researchers to develop tanaman asli Indonesia yang hidup secara endemik
the researches that had been conducted to obtain the new di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng
technology. The supported technologies and the completed in- di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Barat,
formation would enhance the development of this commodity dan area pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini
especially at industrial scale.
populasi purwoceng sudah langka karena meng-
Key words: Status report, Pimpinella alpina Molk., conserva- alami erosi genetik secara besar-besaran, bahkan
tion. populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan
area pegunungan di Jawa Timur dilaporkan sudah
ABSTRAK musnah. Rahardjo (2003) dan Syahid et al. (2004)
melaporkan bahwa saat ini tanaman tersebut hanya
Purwoceng adalah tanaman obat komersial yang dapat diguna- terdapat di dataran tinggi Dieng, bukan di habitat
kan sebagai afrodisiak, diuretic, dan tonik. Tanaman tersebut aslinya melainkan di areal budi daya yang sangat
adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh secara endemik
di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah, Gunung Pangrango Jawa sempit di Desa Sekunang.
Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini, popu- Berdasarkan status erosi genetiknya, tanaman
lasinya sangat jarang yang disebabkan oleh erosi genetik se- purwoceng dapat dikelompokkan ke dalam kategori
cara besar-besaran. Berdasarkan tingkat erosinya, purwoceng genting (endangered) atau hampir punah (Rivai et
dikategorikan sebagai spesies yang hampir punah. Untuk
al. 1992). Kegentingan tersebut terutama disebab-
menghindari kepunahan, tindakan konservasi harus dikelola
dengan baik. Upaya pelestarian sebaiknya dilakukan secara kan oleh tindakan eksploitasi yang berlebihan tanpa
bersama dengan upaya pemanfaatannya secara optimal dan diimbangi oleh upaya konservasi. Sebagian besar
berkelanjutan. Hingga saat ini tidak banyak laporan penelitian perusahaan obat tradisional (jamu) mengambil atau
tentang purwoceng. Beberapa aspek yang sudah dilaporkan memanen bahan tanaman purwoceng secara lang-
adalah aspek agronomi, kultur in vitro, fitokimia, dan farmako-
logi. Namun demikian, hasil penelitian tersebut belum me-
sung dari habitatnya tanpa usaha peremajaan.
muaskan. Penelitian pemuliaan bahkan belum pernah dilapor- Mengingat bahan utama tanaman yang dipanen
kan. Kondisi demikian membuka peluang bagi pengembangan adalah akarnya, maka tindakan pemanenan secara
penelitian yang sudah pernah dilakukan hingga diperoleh tek- otomatis merusak tanaman secara keseluruhan.

Buletin Plasma Nutfah Vol.12 No.1 Th.2006 9


a b c

d e

Gambar 1. Tahapan pertumbuhan tanaman purwoceng. a = tanaman, b = bunga kuncup, c = bunga mekar, d = buah, dan
e = akar dari tanaman berumur 6 bulan.

Menurut Rahardjo (2003), kegentingan tersebut ju- lengkap dan penguasaan teknologi. Oleh karena itu,
ga disebabkan oleh rusaknya hutan konservasi yang diperlukan penelitian dari berbagai aspek keilmuan.
menjadi habitat asli purwoceng. Selain itu, kegen- Lengkapnya informasi dan mantapnya teknologi
tingan juga disebabkan oleh langkanya budi daya akan sangat membantu pengembangan komoditas
purwoceng di tingkat petani karena adanya pencuri- purwoceng, terutama untuk skala industri.
an yang terkait dengan mahalnya komoditas terse- Hingga saat ini tidak banyak dijumpai lapor-
but. Kendala lain adalah mahalnya harga bibit yang an penelitian purwoceng. Penelitian umumnya ter-
dapat mencapai Rp 4.000-Rp 10.000 per batang, batas pada aspek budi daya, kultur in vitro (untuk
bahkan harga benih dapat mencapai jutaan rupiah perbanyakan dan konservasi), fitokimia, dan farma-
setiap ons. Untuk tetap memelihara kelestarian ta- kologi.
naman purwoceng maka pemerintah melalui Badan
Pengawas Obat dan Makanan mengeluarkan edaran PENELITIAN BUDI DAYA
kepada industri jamu untuk tidak menggunakan
bahan tanaman tersebut, kecuali dari sumber budi Sudah diketahui purwoceng dapat dibudida-
daya. yakan di luar habitatnya. Rahardjo (2003) melapor-
Mengingat tingkat erosi genetik yang sangat kan budi daya purwoceng tidak sulit. Pendapat yang
besar maka upaya konservasi purwoceng mutlak di- mengatakan bahwa biji purwoceng tidak dapat tum-
perlukan. Selain regulasi, upaya konservasi lain ju- buh di luar habitatnya sengaja dibangun untuk ke-
ga perlu diterapkan. Upaya konservasi tersebut se- perluan monopoli para petani di Desa Sekunang.
baiknya diiringi dengan berbagai upaya pemanfaat- Untuk mengklarifikasi pendapat tersebut Balai Pe-
annya secara optimal dan berkelanjutan karena nelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) be-
prospek pengembangannya yang sangat cerah. kerja sama dengan Pemda Kabupaten Banjarnegara
Konservasi dapat dilakukan secara in situ dan Wonosobo melakukan penelitian yang dimulai
(dalam habitatnya) atau ex situ (luar habitat, baik di pada tahun 2003. Hasil penelitian menunjukkan
lapang maupun laboratorium sebagai kultur in bahwa tanaman purwoceng dapat tumbuh di luar
vitro). Untuk menunjang upaya konservasi dan pe- habitatnya walaupun tidak seoptimal di habitat sen-
manfaatannya diperlukan berbagai informasi yang

10 Buletin Plasma Nutfah Vol.12 No.1 Th.2006


diri. Di Kebun Percobaan Balittro di Gunung Putri secara in vitro. Upaya induksi perakaran kultur pur-
Kabupaten Cianjur pada ketinggian 1.400 m dpl, ta- woceng pernah dilakukan oleh Hening (1991). Ha-
naman mampu menghasilkan bunga dan biji, se- sil penelitiannya menunjukkan bahwa pengenceran
dangkan di daerah dengan ketinggian 600-800 m media dasar (½ MS) yang dikombinasikan dengan
dpl, tanaman hanya mampu tumbuh selama 3 bulan. penambahan IBA 5 mg/l dapat menginduksi per-
Pembibitan dilakukan dengan memindahkan ke- akaran, namun akar yang terbentuk abnormal se-
cambah yang tumbuh dari biji-biji yang jatuh ke ta- hingga planlet tidak dapat diaklimatisasi. Dalam hal
nah (umur 2-3 bulan) secara langsung ke lahan budi ini diduga kondisi lingkungan pada saat aklimatisasi
daya atau ke polybag terlebih dahulu. Pupuk orga- tidak cocok bagi pertumbuhan planlet purwoceng,
nik diaplikasikan sebelum tanam sebagai pupuk da- sehingga perlu dilakukan studi optimasi kondisi
sar dan pupuk buatan diberikan sebagai pupuk su- lingkungan terlebih dahulu. Pada kesempatan lain,
sulan. Pupuk organik berupa pupuk kotoran ayam Mariska et al. (1995) melaporkan bahwa formulasi
atau kotoran sapi dengan takaran 20 t/ha, diberikan media dasar sangat mempengaruhi pertumbuhan
2 minggu sebelum tanam. Pupuk urea, SP36, dan kultur purwoceng. Tingkat multiplikasi tunas ter-
KCl berturut-turut diberikan dengan takaran 200, tinggi yang mencapai 4,25 tunas per eksplan diper-
100, dan 200 kg/ha. Urea diberikan dua kali, sete- oleh dari perlakuan media dasar MS, namun tingkat
ngah takaran pada saat tanaman berumur 1 bulan kelayuan daun terendah diperoleh dari media dasar
setelah tanam (BST) dan setengahnya lagi pada DKW dengan jumlah daun layu rata-rata 0,46 helai
umur 6 BST. Umur panen optimal adalah pada saat pada kultur umur 14 minggu (Tabel 1). Perakaran
tanaman telah berumur sekitar satu tahun (Rahardjo gagal diinduksi walaupun digunakan pengenceran
2003). Penelitian ini perlu dikembangkan di daerah- media dasar MS (¾ MS) dengan penambahan suk-
daerah yang mempunyai kondisi agroklimat yang rosa hingga 4% dan IBA 5 mg/l. Kegagalan induksi
mirip dengan Desa Sekunang sehingga diperoleh perakaran menyebabkan kegagalan aklimatisasi
hasil optimal. tanaman di rumah kaca dan pemindahan ke lapang.
Dilaporkan bahwa usahatani purwoceng di- Penelitian konservasi/penyimpanan purwo-
nilai fisibel dan menguntungkan. Menurut Yuhono ceng secara in vitro juga memberikan hasil yang
(2004), penerapan teknologi budi daya purwoceng kurang memuaskan karena kultur tidak dapat di-
secara sederhana untuk luasan 1.000 m2 dapat mem- simpan dalam waktu yang relatif lama walaupun
berikan pendapatan sebesar Rp 34.000.000. Anali- dengan perlakuan zat penghambat tumbuh, seperti
sis usahatani juga perlu diterapkan di daerah lain paclobutrazol dan ancymidol (Rahayu dan Sunarlim
yang kemungkinan dapat dijadikan sebagai sentra 2002). Periode simpan terlama hanya mencapai 4
produksi purwoceng. bulan dari perlakuan ancymidol 1,5 mg/l pada
media dasar DKW (Tabel 2).
PENELITIAN KULTUR IN VITRO Penelitian Syahid et al. (2004) memberikan
hasil yang cukup baik, di mana respon in vitro pur-
Penelitian kultur in vitro purwoceng dimulai woceng tampak lebih baik yang ditunjukkan oleh
pada tahun 1990. Mariska et al. (1990) melaporkan vigoritas yang baik dan tingkat pelayuan daun yang
bahwa purwoceng cukup sulit untuk dimanipulasi rendah serta kemampuan kultur untuk berakar. Per-

Tabel 1. Pengaruh media dasar terhadap pertumbuhan tunas purwoceng umur 14 minggu setelah tanam.
Media dasar Jumlah daun segar Jumlah daun layu Waktu inisiasi tunas (minggu) Jumlah tunas
MS 20,42 a 2,25 a 6,33 a 4,25 a
DKW 7,25 b 0,46 b 12,83 b 1,46 b
Fossard 0c 0c 0c 0c
Angka-angka dalam satu lajur yang diikuti oleh huruf sama tidak berbeda pada taraf nyata 1% menurut uji DMRT.
Sumber: Mariska et al. (1995).

Buletin Plasma Nutfah Vol.12 No.1 Th.2006 11


akaran mampu terinduksi dengan menggunakan dapat tumbuh optimal karena lebih banyak energi
IBA dan NAA. Penggunaan NAA 1,5 mg/l. lebih yang digunakan untuk adaptasi suhu daripada per-
baik daripada perlakuan lainnya karena menghasil- tumbuhannya. Pada suhu yang lebih tinggi, proses
kan jumlah akar terbanyak yang mencapai 18,3 respirasi meningkat sehingga kurang efisien diban-
buah, panjang akar 1,7 cm, dan struktur akar lebih dingkan dengan proses fotosintesis. Oleh karena itu,
tebal (Tabel 3). saat ini sedang dilakukan penelitian tentang optima-
Hasil-hasil penelitian tersebut mengindikasi- si lingkungan tumbuh kultur purwoceng untuk men-
kan adanya faktor lingkungan lain yang sangat ber- dukung penelitian mikropropagasi yang bertujuan
pengaruh terhadap pertumbuhan kultur purwoceng, untuk meningkatkan multiplikasi tunas melalui pro-
selain formulasi media dasar dan kombinasinya liferasi tunas aksilar dan embriogenesis somatik.
dengan zat pengatur tumbuh. Hal itu didukung oleh Selain itu, juga sedang dilakukan penelitian enkap-
fakta yang menunjukkan bahwa secara alamiah ta- sulasi tunas beserta aklimatisasinya untuk tujuan
naman purwoceng tumbuh di dataran tinggi dengan produksi benih sintetik. Penelitian produksi metabo-
suhu rendah. Diduga perbedaan kondisi lingkungan/ lit sekunder melalui kultur kalus dan kultur akar
inkubasi kultur dengan lingkungan habitatnya, ter- rambut dilakukan dengan memanfaatkan Agrobac-
utama suhu, menyebabkan kultur purwoceng tidak terium rhizogenes.

Tabel 2. Pengaruh konsentrasi ancymidol dua macam media dasar terhadap pertumbuhan dan periode
simpan kultur purwoceng.
Perlakuan Jumlah tunas Waktu subkultur (bulan) Visual
MS + ancymidol 0 mg/l 1,2 2,0 Normal
MS + ancymidol 0,5 mg/l 1,4 2,0 Normal
MS + ancymidol 1,0 mg/l 1,6 3,2 Normal
MS + ancymidol 1,5 mg/l 1,0 3,5 Agak roset
DKW + ancymidol 0 mg/l 1,2 2,0 Normal
DKW + ancymidol 0,5 mg/l 2,0 2,3 Normal
DKW + ancymidol 1,0 mg/l 1,4 3,2 Normal
DKW + ancymidol 1,5 mg/l 1,4 4,0 Agak roset
Sumber: Rahayu dan Sunarlim (2002).

Tabel 3. Rata-rata jumlah akar, panjang akar, dan jumlah daun layu kultur purwoceng pada media MS dengan berbagai taraf
IBA dan NAA, empat minggu setelah tanam.
Perlakuan (mg/l) Rata-rata jumlah akar Rata-rata panjang akar (cm) Rata-rata jumlah daun layu
Kontrol 0,0k 0,0 e 0,3 cd
IBA 0,1 1,0 i 0,0 e 1,3 abcd
0,2 0,7 ij 0,5 de 0,4 cd
0,4 0,0 k 0,0 e 0,5 cd
0,6 1,7 h 1,0 bcd 1,5 abc
0,8 0,3 jk 0,7 cde 2,0 ab
1,0 1,0 i 1,2 bcd 2,0 ab
1,5 2,3 g 1,2 bcd 1,5 abc
2,0 3,3 f 1,5 ab 2,0 ab
NAA 0,1 2,3 g 1,3 abc 1,0 bcd
0,2 13,7 b 1,5 ab 0,4 cd
0,4 6,7 e 1,0 bcd 1,0 bcd
0,6 2,4 g 2,0 a 1,7 ab
0,8 13,7 b 1,3 abc 2,3 a
1,0 10,3 c 1,3 abc 2,0 ab
1,5 18,3 a 1,7 ab 2,0 ab
2,0 8,6 d 1,0 bcd 1,0 bcd
Angka-angka dalam satu lajur yang diikuti huruf sama tidak berbeda pada taraf nyata 5% menurut uji Duncan.
Sumber: Syahid et al. (2004).

12 Buletin Plasma Nutfah Vol.12 No.1 Th.2006


PENELITIAN FITOKIMIA kan bahwa ekstrak akar purwoceng sebanyak 50 mg
mampu meningkatkan kadar hormon LH (Luteini-
Penelitian yang mempelajari fitokimia pur- zing hormone) dan testosteron dibandingkan dengan
woceng sudah cukup banyak. Sidik et al. (1975) kontrol (tanpa pemberian ekstrak) pada tikus
melaporkan bahwa akar purwoceng mengandung Sprague Dawley. Menariknya, efek purwoceng ter-
bergapten, isobergapten, dan sphondin yang semua- sebut juga dibandingkan dengan efek bahan obat
nya termasuk ke dalam kelompok furanokumarin. alami lain yang berkhasiat serupa, yaitu pasak bu-
Caropeboka dan Lubis (1975) melaporkan pula bah- mi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dosis
wa akar purwoceng mengandung senyawa kumarin, 25 mg, pasak bumi mempunyai efek peningkatan
saponin, sterol, alkaloid, dan beberapa macam se- kadar LH yang lebih tinggi dibandingkan dengan
nyawa gula (oligosakarida). Penelitian yang dilaku- purwoceng, namun sebaliknya jika dosis ditingkat-
kan oleh Suzery et al. (2004) menunjukkan adanya kan menjadi 50 mg. Pada dosis 50 mg, purwoceng
senyawa stigmasterol dalam akar purwoceng berda- juga memberikan efek peningkatan kadar testoste-
sarkan data spektroskopi dengan UV-Vis, FTIR, ron yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasak
dan GC-MS. Hernani dan Rostiana (2004) melapor- bumi. Namun ketika purwoceng dicampurkan de-
kan pula adanya senyawa kimia yang teridentifikasi ngan pasak bumi pada dosis yang sama (masing-
secara kualitatif, yaitu bergapten, marmesin, 4- masing 25 mg), maka efek peningkatan kadar tes-
hidroksi kumarin, umbeliferon, dan psoralen. tosteron lebih tinggi dibandingkan dengan perlaku-
an lainnya (Tabel 4).
PENELITIAN FARMAKOLOGI Juniarto (2004) melaporkan bahwa ekstrak
akar purwoceng yang diberikan pada tikus Spraque
Studi farmakologi juga menjadi topik yang Dawley juga dapat meningkatkan derajat spermato-
menarik untuk diketahui. Data yang dihasilkan da- genesis dalam testis, jumlah maupun motilitas sper-
pat menjadi acuan dalam penggunaannya secara matozoa dibandingkan dengan kontrol (tanpa pem-
klinis bagi manusia. Beberapa peneliti telah meng- berian purwoceng), namun cenderung tidak berbeda
uji efek penggunaan akar purwoceng pada tikus. dengan perlakuan pasak bumi (Tabel 5).
Salah satu teknik yang digunakan oleh Caropeboka Berdasarkan studi farmakologi, telah diuji
(1980) adalah dengan mengebiri tikus jantan dan secara praklinik dan klinik oleh tim peneliti yang
menyuntiknya dengan ekstrak akar purwoceng da- diketuai oleh Prof. Dr. Susilo Wibowo dan mem-
lam minyak zaitun (dosis 20-40 mg). Efek yang ter- buat paten ekstrak purwoceng sebagai afrodisiak
amati adalah adanya peningkatan kelenjar prostat (Anonim 2003).
dan kelenjar seminalis secara nyata dibandingkan
dengan kontrol. Fakta tersebut memberi petunjuk PROSPEK PENELITIAN DAN
adanya aktivitas androgenik dari ekstrak akar pur- PENGEMBANGAN PURWOCENG
woceng. Sebaliknya, ketika tikus betina tanpa in-
dung telur disuntik dengan ekstrak akar purwoceng Purwoceng merupakan komoditas komersial
dalam minyak zaitun pada dosis yang sama, maka namun belum banyak diteliti secara mendalam, se-
tampak adanya peningkatan yang sangat nyata pada hingga masih terbuka peluang penelitian lanjutan
bobot rahim. Fakta tersebut memberi petunjuk ada- untuk memperoleh teknologi yang mantap pada ber-
nya aktivitas estrogenik dari ekstrak akar purwo- bagai aspek keilmuan. Penelitian budi daya perlu
ceng. Pengujian terhadap anak ayam jantan mem- dilanjutkan hingga diperoleh paket teknologi budi
perlihatkan adanya efek androgenik dari ekstrak daya dengan hasil optimal. Penelitian kultur in vitro
akar purwoceng pada dosis 30% yang ditandai oleh juga perlu dilanjutkan untuk memperoleh teknik
peningkatan ukuran jengger yang ditunjang dengan mikropropagasi dengan tingkat multiplikasi tunas
adanya peningkatan bobot testis (Kosin 1992). dan formasi akar yang tinggi dan teknik konservasi
Hasil penelitian tersebut didukung oleh hasil dengan periode konservasi yang lama, baik meng-
penelitian Taufiqqurrachman (1999) yang melapor- gunakan teknik pertumbuhan minimal maupun krio-

Buletin Plasma Nutfah Vol.12 No.1 Th.2006 13


Tabel 4. Pengaruh beberapa macam ekstrak terhadap rerata peningkatan kadar LH dan testosteron.
Perlakuan Peningkatan kadar LH (%) Peningkatan kadar testosteron (%)
Kontrol (aquades 2 ml) - -
Ekstrak PWC 1 ml (25 mg) 4,5 85,5
Ekstrak PWC 2 ml (50 mg) 29,2 125,0
Ekstrak PB 1 ml (25 mg) 17,8 99,5
Ekstrak PB 2 ml (50 mg) 17,3 93,2
Ekstrak PWC + PB @ 1 ml (25 mg) 2,5 196,3
PWC = purwoceng, PB = pasak bumi, LH = luteotropic hormone.
Sumber: Taufiqqurrachman (1999).

Tabel 5. Pengaruh ekstrak purwoceng dan pasak bumi terhadap jumlah spermatozoa, motilitas, dan derajat
spermatogenesis tikus Spraqul Dawly.
Rata-rata jumlah Rata-rata motilitas Rata-rata derajat
Perlakuan
spermatozoa spermatozoa spermatogenesis
Kontrol (aquades 2 ml) 98,2+18,5 38,7+6,7 7,3+1,8
Purwoceng 2 ml (25 mg) 156,2+19,3 62,7+14,2 9,6+0,5
Pasak bumi 2 ml (25 mg) 162,6+8,3 64,8+7,3 9,7+0,5
Sumber: Juniarto 2004.

preservasi. Bahan yang disimpan dengan teknik secara fisik atau secara kimia) dan hibridisasi inter-
kriopreservasi bermanfaat sebagai koleksi dasar de- spesies maupun hibridisasi somatik. Manipulasi ta-
ngan periode simpan yang tidak terbatas sehingga naman dengan Agrobacterium rhizogenes juga da-
tanaman menjadi aman dari ancaman kepunahan. pat menghasilkan tanaman baru. Pada tanaman pule
Teknologi produksi metabolit sekunder juga pandak, transformasi dengan Agrobacterium rhizo-
perlu diteliti supaya penyediaan bahan baku obat ti- genes 15834 menghasilkan tanaman baru dengan
dak dibatasi oleh sumber di alam yang sangat terba- kandungan biomasa yang lebih tinggi dan kompo-
tas (langka). Selain itu, teknologi pemrosesan/pe- sisi metabolit sekunder yang berbeda dengan ta-
nyediaan simplisia yang baik juga perlu ditingkat- naman asalnya (Benjamin et al. 1993).
kan supaya diperoleh standar mutu yang berkuali- Purwoceng merupakan komoditas yang ma-
tas. Studi fitokimia perlu lebih diperluas dengan hal dan banyak dicari oleh industri-industri jamu.
mengisolasi bahan aktif yang berperan sebagai afro- Selain dalam bentuk segar atau kering (bahan baku
disiak. Studi farmakologi perlu dilakukan secara jamu), bibitnya juga banyak dicari terutama oleh
mendalam terutama untuk mengetahui pengaruhnya industri jamu dengan permintaan 200-800 kg/bulan,
terhadap konsumen wanita berdasarkan efeknya padahal petani hanya mampu memasok 40-50 kg/
yang telah diteliti oleh Caropeboka (1980). Bahan bulan. Oleh karena itu, peluang pengembangan pur-
yang diuji dapat berupa bahan tunggal atau campur- woceng masih terbentang luas (Yuhono 2004).
an dengan bahan obat lainnya.
Hal yang tidak kalah penting adalah pemulia- KESIMPULAN DAN SARAN
an tanaman untuk memperoleh galur-galur purwo-
ceng dengan kandungan bahan aktif yang lebih Purwoceng merupakan komoditas komersial.
tinggi dan dapat dibudidayakan di dataran rendah Status kegentingannya menyebabkan tindakan kon-
atau dengan sifat-sifat menarik lainnya. Kegiatan servasi mutlak diperlukan. Penelitian dari berbagai
tersebut dapat dilakukan secara konvensional, na- aspek keilmuan harus dilakukan sehingga diperoleh
mun mengingat keterbatasan sumber plasma nutfah paket teknologi yang mantap.
di alam maka bioteknologi diharapkan dapat lebih Tanaman purwoceng dapat dibudidayakan di
berperan. Peningkatan keragaman genetik dapat di- luar habitatnya dan menguntungkan. Perbanyakan
lakukan dengan variasi somaklonal (dengan mutasi secara kultur in vitro melalui proliferasi tunas aksi-

14 Buletin Plasma Nutfah Vol.12 No.1 Th.2006


lar masih memberikan tingkat multiplikasi yang Kosin, A.M. 1992. Efek androgenik dan anabolik ekstrak
rendah sehingga perlu diterapkan teknik regenerasi akar Pimpinella alpina Molk. (purwoceng) terhadap
lainnya, yaitu melalui jalur embriogenesis somatik. anak ayam jantan. Skripsi. FMIPA, Universitas
Pakuan Bogor. 61 hlm.
Penyimpanan in vitro tunas purwoceng perlu di- Mariska, I., E.G. Lestari, dan D. Sukmadjaja. 1990. Upaya
kembangkan untuk memperoleh teknik penyimpan- pelestarian tumbuhan obat langka purwoceng (Pim-
an dengan periode simpan yang lebih lama, misal- pinella pruatjan Molk.). Dalam Prosiding Seminar
nya dengan menggunakan zat penghambat lainnya Nasional Tumbuhan Obat: Pelestarian Pemanfaatan
atau dengan menerapkan teknik kriopreservasi. Tumbuhan Obat dari Hutan Tropis Indonesia.
Studi fitokimia purwoceng sebaiknya meng- Fahutan Institut Pertanian Bogor-The Indonesian
Wildlife Fund, Bogor. hlm. 243-247.
gunakan isolasi senyawa-senyawa murni yang dapat
Mariska, I., R. Purnamaningsih, and M. Kosmiatin. l995.
dimanfaatkan untuk studi farmakologi. Beberapa The growth of culture of purwoceng on several basal
aspek yang masih perlu dilakukan untuk studi far- media. In Proceeding of Congress of National Sci-
makologi adalah penelitian tentang jenis bahan aktif ence VI. September 11-15th, Jakarta. p. 250-256.
yang berperan langsung untuk meningkatkan fungsi Rahardjo, M. 2003. Purwoceng tanaman obat aprodisiak
reproduksi, baik pria maupun wanita, dan efek pur- yang langka. Warta Penelitian dan Pengembangan
woceng pada manusia secara biomolekuler. Tanaman Industri 9(2):4-7.
Rahayu, S. dan N. Sunarlim. 2002. Konservasi tumbuhan
obat langka purwoceng melalui pertumbuhan mini-
DAFTAR PUSTAKA mal. Buletin Plasma Nutfah 8(1):29-33.
Rivai, M.A., Rugayah, and E.A. Widjaja. 1992. Thirty
Anonim. 2003. Tanaman penakluk disfungsi seksual. years of the eroded species medicinal crops. Flori-
Http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0503/25/1002. bunda. Pioneer of Indonesian Plant Taxonomy,
htm. Bogor. 28 p.
Benjamin, B.D., G. Roja, and M.R. Heble. 1993. Agrobac- Sidik, Sasongko, E. Kurnia, dan Ursula. 1975. Usaha isolasi
terium rhizogens mediated transformation of Rau- turunan kumarin dari akar purwoceng (Pimpinella
volfia serpentina: Regeneration and alkaloid syn- alpina Molk.) asal dataran tinggi Dieng. Dalam
thesis. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 35:253-257. Simposium Tanaman Obat I, 8-9 Desember, Bagian
Caropeboka, A.M. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella Farmakologi. FKH, Institut Pertanian Bogor.
alpina Koord. terhadap sistem reproduksi tikus. Suzery, M., B. Cahyono, Ngadiwiyana, dan H. Nurhasna-
Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hlm. wati. 2004. Senyawa stigmasterol dari Pimpinella
Caropeboka, A.M. dan I. Lubis. 1975. Pemeriksaan penda- alpina Molk. Suplemen 39(1):39-41.
huluan kandungan kimia akar Pimpinella alpina Syahid, S.F., O. Rostiana, dan M. Rohmah. 2004. Pengaruh
(purwoceng). Dalam Simposium Tanaman Obat I, 8- NAA dan IBA terhadap perakaran purwoceng (Pim-
9 Desember, Bagian Farmakologi. FKH, Institut pinella alpina Molk.) in vitro. Makalah poster pada
Pertanian Bogor. Indonesian Biopharmaca Excibition and Conference.
Hening, H. 1991. Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap Yogyakarta, 14-19 Juli.
pembentukan tunas dan akar purwoceng (Pimpinella Taufiqqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella
pruatjan) dengan kultur in vitro. Skripsi Jurusan alpina Molk. (purwoceng) dan akar Eurycoma longi-
Biologi. FMIPA, Institut Pertanian Bogor. folia Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar
Hernani dan O. Rostiana. 2004. Analisis kimia akar pur- testosteron, LH, dan FSH serta perbedaan peningkat-
woceng (Pimpinella pruatjan). Makalah disampai- annya pada tikus jantan Spragul Dawley. Tesis.
kan pada Seminar Indonesian Biopharmaca and Pascasarjana Ilmu Biomedik, Universitas Dipone-
Excibition Conference. Yogyakarta, 14-15 Juli. goro, Semarang. 119 hlm.
Juniarto, A.Z. 2004. Perbedaan pengaruh pemberian ekstrak Yuhono, J.T. 2004. Usahatani purwoceng (Pimpinella pru-
Eurycoma longifolia dan Pimpinella alpina pada atjan Molkenb., potensi, peluang, dan masalah
spermatogenesis tikus Spragul Dawley. Tesis. Pasca- pengembangannya. Buletin Penelitian Tanaman
sarjana Ilmu Biomedik Universitas Diponegoro, Rempah dan Obat 15(1):25-32.
Semarang. 63 hlm.

Buletin Plasma Nutfah Vol.12 No.1 Th.2006 15

View publication stats

You might also like