You are on page 1of 5

Ratu Friska Renalita Dr. Neng Dara Affiah, M.

Si
11211110000128 Teori Sosial Modern

REVIEW BUKU “ISLAM KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DAN SEKSUALITAS”

KARYA NENG DARA AFFIAH

Buku ini merupakan rekaman suatu jejak gerakan perempuan indonesia dengan penanda Era
Reformasi. Jejak tersebut dimulai dengan substansi dan topik yang diperdebatkan, bentuk-bentuk dan aktor-
aktor gerakannya serta irisan dengan dinamika perjalanan agama dan negara. Buku ini menjelaskan secara
panjang lebar tentang bagaimana Islam memandang beberapa segi kepemimpinan perempuan. Membaca
buku ini membuat banyak hal menjadi jelas dan mudah dipahami. Buku ini terdapat tiga bab. Bab pertama
yaitu tentang islam dan kepemimpinan, Bab kedua tentang islam dan seksualitas perempuan dan bab ketiga
tentang perempuan, islam dan negara.

A. Islam dan Kepemimpinan Perempuan

Pada bab pertama ini membahas tentang Islam dan Kepemimpinan Perempuan. Islam menganggap
semua orang sama dan tidak membeda-bedakan berdasarkan status sosial (kasta), ras, atau jenis
kelamin. Dalam Islam yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan seseorang dan perbuatan baik
yang telah dia lakukan selama hidupnya. Sejarah islam mencatat, orang yang kali pertama menangkap
dan menghayati kebenaran islam adalah seorang perempuan yaitu Khadijah. Dialah yang meyakinkan
Nabi bahwa ia adalah utusan Allah yang harus menyampaikan ajaran-Nya kepada umat manusia.
Konsep dasar islam harus dimaknai bersama adalah Allah menciptakan manusia, laki-laki, dan
perempuan untuk menjadi pemimpin. Pemimpin disini memiliki makna dan cakupan yang luas yaitu
bisa menjadi pemimpin pemerintah, pemimpin pendidikan, pemimpin keluarga, dan pemimpin untuk
diri sendiri. Dari konsep ini maka tidak ada satu konsep dalam Alquran yang membatasi perempuan
untuk menjadi pemimpin. Bahkan Alquran mendorong manusia untuk menjadi pemimpin.

Atas dasar perintah Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 34 yang berbunyi: “Laki-laki adalah
qawwam dan bertanggung jawab atas perempuan”, sebagian individu menentang hal tersebut dan
menolak perempuan dalam posisi kepemimpinan. Istilah "qawwam" telah ditafsirkan oleh beberapa
ahli tafsir klasik dan kontemporer untuk mengartikan berbagai hal, termasuk penanggung jawab,
memiliki kemampuan untuk mendidik wanita, pemimpin, merawat mereka sepenuhnya secara fisik dan
moral, penguasa, yang memiliki keuntungan atas yang lain, dan laki-laki mengelola urusan perempuan.
Penafsiran ini membuat tampak jelas bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan. Fazrul-Rahman menegaskan bahwa dia percaya "kelebihan" laki-
laki bersifat fungsional daripada inheren. Menurut Amina Wadud Muhsin, yang sependapat dengan
pandangan Fazlur, laki-laki Rahman tidak qowwamun atas perempuan karena wanprestasi karena hal
Ratu Friska Renalita Dr. Neng Dara Affiah, M. Si
11211110000128 Teori Sosial Modern

itu hanya terjadi jika yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat Al-Qur'an. Wanita juga dapat
memiliki standar ini karena mereka juga memiliki manfaat.

Kesalahpahaman prinsip-prinsip Islam adalah salah satu dari beberapa alasan yang menghambat
kemampuan perempuan untuk memimpin. Aspek lainnya adalah norma patriarki berlebihan yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat Muslim secara keseluruhan, yang memandang laki-laki sebagai
karakter utama dan perempuan sebagai pemeran pendukung. Sosialisasi ke dalam politik menurut teori,
orang tua dan keluarga memainkan peran utama dalam menentukan aktif tidaknya anak dalam politik.
Ada stigma sosial yang kuat yang melekat pada gagasan bahwa pemimpin perempuan hanya berasal
dari kelompok-kelompok istimewa tertentu dan tidak memiliki keterampilan yang diperlukan. Karena
begitu banyak mullah (ulama konservatif) menentang perempuan menjadi pemimpin, ada hambatan
agama untuk pertumbuhan perempuan dalam kepemimpinan dalam Islam itu sendiri. Diskriminasi
gender dan kesulitan agama sering menjadi hambatan bagi perempuan dalam kepemimpinan.

Cara ini di bawah kediktatoran orde baru, mengendalikan perempuan sebuah negara yang dikenal
sebagai Dharma Wanita. Jika ada pemimpin wanita terkemuka, dia akan digulingkan. Juga pada saat
ini, kepemimpinan ditentukan secara terpusat. Tidak ada tempat bagi orang untuk mengekspresikan
kreativitas dan impian mereka. Tak disangka, banyak warga setempat yang mengalami tekanan dari
berbagai kebijakan pemerintah selama 30 tahun sistem ini berjalan, sehingga sering terjadi konflik
antara masyarakat dan pemerintah. Politisi, cendekiawan, dan intelektual sering terlibat dalam diskusi
untuk mencoba dan menghasilkan kerangka kerja bagaimana struktur pemerintahan yang sebenarnya
terlihat untuk menciptakan ruang bagi rakyat. Tatanan pertama yang muncul adalah persyaratan
federalisme dalam pemerintahan di Indonesia.

Namun hal ini diberikan banyak hal karena kepedulian terhadap stabilitas Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Akhirnya, konsep baru otonomi daerah muncul. Tujuan otonomi daerah adalah untuk
menciptakan kondisi bagi terciptanya proses pemilihan kepala daerah yang demokratis, memungkinkan
terselenggaranya pemerintahan yang tanggap terhadap kebutuhan masyarakat luas, dan untuk
menegakkan proses pengambilan keputusan yang akuntabel. kepada publik. Potensi dan kreativitas
perempuan, khususnya di daerah, belum sepenuhnya diberdayakan dalam penemuan-penemuan
perempuan. Ruang diskusi komunitas yang berbeda hampir seluruhnya ditempati oleh pria. Potensi dan
kreativitas perempuan harus dimanfaatkan bersama-sama dengan kemajuan agama sebagaimana
mestinya, dan bangsa Indonesia, dalam semangat otonomi daerah, sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

B. Islam dan Seksualitas Perempuan


Ratu Friska Renalita Dr. Neng Dara Affiah, M. Si
11211110000128 Teori Sosial Modern

Bagian kedua kemudian membahas tentang Islam dan Seksualitas Perempuan. Ada empat poin
pembahasan pada bagian kedua ini. Mengklarifikasi dan menjelaskan bagaimana konsep pernikahan
berfungsi dalam tiga agama yang berbeda, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, pada poin pertama. Lalu
membahas fungsi dan tujuan perkawinan, tata cara perkawinan beda agama, perkawinan poligami di
Indonesia dan dunia Islam, hijab, dan aurat perempuan masing-masing pada poin ketiga

Point pertama menurut salah satu pemahaman agama, salah satu tujuan perkawinan adalah untuk
membina kerukunan dan kedamaian antara dua anak manusia, laki-laki dan perempuan, melalui ikrar
suci yang dibuat atas nama Tuhan. Penafsiran agama, di sisi lain, sering menempatkan perempuan
sebagai wali di ranah domestik untuk mempromosikan perdamaian dan ketenangan. “Tujuan”
kebahagiaan rumah tangga, yang diwujudkan dengan mengasuh anak dan mendukung serta melayani
suami di mana pun dan kapan pun mereka pergi. Ayat dari Allah SWT yang menyatakan, “Dan
tinggallah di rumah-rumahmu, dan janganlah kamu menghiasi dirimu, dan berperilaku seperti orang-
orang bodoh sebelumnya,” menegaskan bahwa bahkan dalam Islam wanita dianggap demikian (Surat
al-Ahzab: 73). Menurut otoritas agama tradisional, frasa ini memerintahkan wanita untuk tetap tinggal
di rumah dan hanya meninggalkan rumah jika ada keperluan yang sangat mendesak.

Serupa dengan Kristen, Katolik juga kadang-kadang memajukan interpretasi dalam ajaran mereka
yang memandang pasangan (istri) hanya sebagai pelengkap suami mereka (laki-laki), yang harus
menaati mereka sebagaimana mereka menaati Yesus. Sudut pandang ini didasarkan pada ayat-ayat dari
kitab sucinya, seperti "Laki-laki-laki menerangi citra Tuhan sementara perempuan menerangi citra laki-
laki," dan "Perempuan menerangi citra laki-laki." Istri harus tunduk kepada suaminya karena dia adalah
kepala istri, sama seperti Kristus adalah kepala jemaat (Korintus 11: 7-9).

Mendapatkan keturunan adalah tujuan lain dari pernikahan. Selain bersifat biologis, hereditas juga
berfungsi untuk melestarikan ajaran agama. Misalnya, Yahudi memperjelas bahwa peran ini ada karena
anak-anak berfungsi sebagai sarana untuk mewariskan pemahaman dari satu generasi ke generasi
berikutnya, yang penting untuk kegigihan teologinya serta sejarah orang-orang Yahudi. Islam juga
melihat ini memiliki tujuan yang sama dengan Taurat, yang menyatakan: "Melahirkan, berbuah dan
berkembang biak, penuhi tanah dan kuasai" (Kejadian 1:28). Keberlanjutan ajaran Islam sangat
ditentukan oleh keturunannya, dan keturunan yang lahir dari keluarga muslim diwajibkan untuk
menjunjung tinggi agamanya, menurut Al-Qur'an Islam. Salah satu keberatan yang dilontarkan oleh
para ahli hukum feminis terhadap hukum keluarga Islam adalah bahwa status perempuan dalam sistem
hukum hanya dianggap sebagai topik pembahasan regulasi daripada subjek yang dapat mengatur
dirinya sendiri. Wanita dalam posisi ini sengaja dibungkam dengan berusaha membuktikan bahwa
Ratu Friska Renalita Dr. Neng Dara Affiah, M. Si
11211110000128 Teori Sosial Modern

suara mereka adalah kedua tubuh Aurat dan pendengaran publiknya harus dijauhkan dari pandangan
dan pendengaran.

Perempuan harus melawan stigma negatif yang ditimbulkan oleh praktik poligami. Misalnya, suami
mungkin memutuskan untuk menikah lagi karena merasa istri sebelumnya tidak mampu memenuhi
kebutuhannya. Laki-laki penentang poligami seringkali menegaskan bahwa beristri banyak adalah
ibadah dan sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW. Padahal, jika dicermati lebih dekat, poligami
bukanlah satu-satunya doktrin, sikap, atau cara pandang yang harus diadopsi dari kehidupan Nabi.
Ketika poligami dijadikan sebagai pembenaran untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW, hal itu
sangat merugikan karena berfungsi untuk memuaskan hasrat pribadi dan keinginan yang bertentangan
dengan ajaran Al-Qur'an. Gunakan landasan Al-Qur'an sebagai "perisai" untuk melindungi hasratnya.
Ini memiliki kecenderungan untuk menodai ajaran Islam.

Pemahaman tradisi Islam tentang pentingnya menutup aurat. Hijab adalah sebutan untuk pakaian
Islami yang menutupi seluruh tubuh wanita. Awalnya berpakaian minim, para wanita yang mengikuti
pengajian atau pengajian akhirnya mulai menutupi tubuh mereka dengan hijab dan cadar. Keinginan
untuk membentuk “identitas” Islam saat ini sangat kuat, akibatnya para pemimpin era Soeharto merasa
terancam dengan simbol-simbol yang digunakan kelompok ini. Akibatnya, mereka terpaksa
memaksakan tekanan sosial dengan cara tertentu. Misalnya, siswa perempuan dilarang mengenakan
jilbab di sekolah atau tempat belajar lainnya.

C. Perempuan, Islam dan Negara

Pada bagian terakhir buku ini, berbicara tentang Perempuan, Islam, dan Negara. Membicarakan
tentang feminisme, feminisme adalah filosofi yang menyelidiki berbagai interpretasi budaya tentang
apa artinya menjadi seorang wanita serta keadaan yang memengaruhi kehidupan wanita. Teori ini
pertama kali ditujukan untuk menjawab tujuan politik gerakan perempuan, termasuk kebutuhan untuk
memahami penaklukan dan pengucilan perempuan dalam banyak konteks sosial dan budaya. Teori
feminisme dan Islam membantu menutup kesenjangan antara konsep keadilan yang mendukung dan
mempengaruhi pemahaman umum tentang syariah dan hak asasi manusia. Ini pertama kali muncul pada
1990-an dengan penekanan pada bagaimana modernitas dapat hidup berdampingan dengan Islam dan
bagaimana interpretasi kitab-kitab suci Islam oleh manusia bersifat terbuka, memungkinkan untuk
mempromosikan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, dan kesetaraan gender. Al-Qur'an, Hadits,
dan kitab suci hukum Islam utama lainnya berfungsi sebagai kerangka kerja feminisme Islam.

Setidaknya ada dua metode yang digunakan untuk melembagakan Islam dan feminisme sebagai
gerakan intelektual dan sosial dalam organisasi Islam. Langkah pertama adalah memasukkan
Ratu Friska Renalita Dr. Neng Dara Affiah, M. Si
11211110000128 Teori Sosial Modern

paradigma feminis ke dalam organisasi Islam progresif di Indonesia. Kedua, aktivitas kelompok yang
berkonsentrasi pada feminisme dan Islam, menerjemahkannya ke dalam istilah awam,
mempopulerkannya melalui berbagai media pendidikan, dan memberikan layanan dukungan bagi
perempuan korban kekerasan. Kelompok-kelompok perempuan di lembaga swadaya masyarakat dan
organisasi berbasis massa Islam mampu berinteraksi dan bekerja sama dengan gerakan perempuan
sekuler berkat adopsi perspektif keadilan gender. Masalah yang menghubungkan mereka adalah
subordinasi, marginalisasi, dan kemiskinan perempuan, yang harus ditangani secara kolektif dan
didorong ke dalam kebijakan negara.

Terlepas dari kenyataan bahwa gerakan perempuan membuat langkah yang signifikan selama Era
Reformasi, kekerasan dan marginalisasi perempuan masih terjadi hingga saat ini, terutama terhadap
mereka yang berasal dari minoritas agama. 1) Membatasi kebebasan berekspresi perempuan dalam
berpakaian dengan mewajibkan mereka mengenakan pakaian yang sesuai dengan kriteria agama
mayoritas membatasi hak mereka atas kebebasan berekspresi dalam berpakaian. 2) Pembatasan akses
terhadap pekerjaan dan ekonomi, seperti kebijakan yang melarang perempuan keluar rumah setelah
pukul 22.00, seperti yang terjadi di salah satu wilayah di Sumatera Barat. 3) pengesahan undang-undang
pornografi, yang cenderung mengabaikan multiplisitas nilai-nilai yang menentukan bangsa Indonesia
berpihak pada standar moral agama dominan negara.

You might also like