You are on page 1of 2

1.

Budaya Kesehatan yang dapat dipertahankan, negoisasi dan resrtukturisasi dalam


budaya “Tarak” untuk ibu hamil di Jawa
Furilta, A. E., Rosjidi, C. H., & Icha, F. (2020). Praktik Perawatan Kehamilan di Desa
Pohijo, Kecamatan Sampung Ponorogo: Analisis Transkultural. Gaster, 18(1), 21-36.
a. Dipertahankan
Budaya Trimester I : selama hamil mereka tidak makan buah nanas, buah
durian, buah salak, makanan pedas, minum jamu, mie instant.
Fakta : Hasil wawancara dengan bidan desa mengatakan bahwa
makan nanas dan durian lebih baik dihindari, minum jamu lebih baik juga
dihindari, mie instan juga dihindari karena tidak baik untuk kesehatan.
b. Dinegoisasi
Budaya Trimester II : dua partisipan mengatakan bahwa mereka tidak makan
sayur nangka dan kluweh, dan tidak minum es
Fakta : Hasil wawancara bidan desa mengatakan bahwa sayur kluweh
atau nangka tidak berpengaruh pada kehamilan, minum es diperbolehkan hanya
saja kandungan dalam esnya yang harus diperhatikan.
c. Direstrukturisasi
Budaya Selama Hamil : Tidak makan sayur nangka nanti katanya bayinya
sawanen..
Fakta : Makan sayur nangka dan kluweh dipercaya dapat
menyebabkan rasa tidak nyaman di rahim. Menurut Sukatiningsih (2005) buah
kluwih banyak mengandung karbohidrat, tingginya kandungan karbohidrat dalam
kluwih disebabkan tingginya kandungan pati yang tersimpan dalam sel parenkim
daging buah, yang kadarnya mencapai 67,5 %. Menurut Dyah (2016) makanan
berkarbohidrat tinggi dapat menghasilkan gas tinggi di dalam perut. Kandungan
gas yang tinggi akan mengakibatkan rasa kembung dan tidak nyaman diperut.
Mengkonsumsi nangka dan kluweh tidak bertentangan dengan kesehatan karena
tidak mempengaruhi rahim. Namun konsumsi nagka dan kluweh sebaiknya
dibatasi untuk menghindari kembung dan rasa tidak nyaman di perut.
2. Perawat perlu memiliki kompetensi kultural agar dapat memberikan asuhan
keperawatan yang peka terhadap kebutuhan pasien termasuk kebutuhan yang sesuai
dengan kebudayaannya. Kompetensi kultural merupakan sekumpulan keterampilan
dan perilaku yang memungkinkan perawat bekerja secara efektif di dalam konteks
kebudayaan pasien (Lampley, Little, Beck Little, & Yu Xu, 2008). Menurut Shearer
dan Davidhizar (2003), bahwa kompetensi kultural merupakan suatu kemampuan
untuk merawat pasien secara peka budaya dan cara yang sesuai dengan kebudayaan
pasien. Kemampuan memberikan asuhan keperawatan secara peka budaya merupakan
salah satu kompetensi yang wajib dimiliki oleh seluruh perawat di dunia termasuk di
Indonesia (PP-PPNI, 2010).
Pelatihan asuhan keperawatan peka budaya yang diberikan pada perawat dapat
meningkatkan aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan budaya perawat secara
bermakna. Hal ini sejalan dengan model konsep keperawatan yang dikemukakan oleh
Campinha Bacote (2002) yaitu bahwa kompetensi kultural merupakan suatu proses
dimana pemberi pelayanan profesional secara terus menerus berjuang dalam
mencapai kemampuan untuk bekerja secara efektif di dalam konteks budaya klien
(baik secara individu, keluarga, atau masyarakat). Menurutnya, kompetensi kultural
merupakan suatu proses “becoming culturally competent” dan bukanlah “being
culturally competent".
Novieastari, E., Gunawijaya, J., & Indracahyani, A. (2018). Pelatihan asuhan
keperawatan peka budaya efektif meningkatkan kompetensi kultural perawat. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 21(1), 27-33.

You might also like