You are on page 1of 1

5

SETELAH naik ke kamarku malam itu, aku mengganti bajuku dengan daster panjang. Jendela kamarku
terbuka, dan angin lembut memasuki ruangan.

Aku memandang ke luar jendela. Bayangan sebuah pohon apel besar kelihatan jelas pada pekarangan
rumput.

Di balik pekarangan itu, ladang-ladang jagung tampak membentang di bawah sinar bulan purnama.
Cahayanya yang pucat menyebabkan tanaman-tanaman jagung berkilau keemasan.

Orang-orangan sawah tampak menyembul di mana-mana di tengah ladang, bagaikan serdadu-serdadu


berseragam gelap. Lengan-lengan mantel berdesir-desir terkena tiupan angin lembut. Wajah-wajah
mereka yang pucat seakan-akan memandang ke arahku.

Aku merinding.

Begitu banyak orang-orangan sawah. Paling tidak ada selusin, berbaris lurus, seperti pasukan yang siap
maju ke medan tempur.

"Orang-orangan sawah jalan-jalan tengah malam."

Itu yang dikatakan Stanley dengan nada rendah dan menakutkan, yang belum pernah kudengar
sebelumnya.

Aku melirik weker di samping tempat tidurku. Pukul sepuluh lewat beberapa menit.

Aku pasti sudah tertidur lelap pada waktu mereka berjalan-jalan nanti, aku berkata dalam hati.

Pikiran yang tak masuk akal.

Aku bersin. Rupanya baik siang maupun malam aku alergi terhadap udara di tanah pertanian.

Aku memperhatikan bayangan-bayangan panjang orang-orangan sawah. Tiupan angin yang mendadak
bertambah kencang membuat semua tonggak membungkuk ke depan, sehingga bayangan-bayangan itu
tampak maju bergulung-gulung, bagaikan ombak di laut.

Dan kemudian aku melihat semua orang-orangan sawah mulai bergerak-gerak.

"Mark!" aku memekik. "Mark... ke sini! Cepat!"

You might also like