You are on page 1of 19

A.

Pengertian
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan Luka di kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan j aringa otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis. (Ayu, 2010)
Menurut lokasi trauma, cedera kepala dapat dibagi menjadi trauma kulit
kepala, tengkorak dan otak. Cedera kepala yang paling sering teijadi dan menyebabkan
penyakit neurologhik yag cukup serius diakibatkan oleh kecelakaan di jalan raya.
Risiko utama pasien dengan cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan
atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan memnyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. (Smeltzer dan Bar e, 2002).
Cedera kulit kepala menyebabkan infeksi intrakranial. Trauma di bagian ini
dapat menyebabkan abrasi, kontusio, laserasi atau avulsi. Suntikan prokain melalui
subkutan dapat membuat luka menjadi mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka
diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan meminimalisir masuknya
mikroorganisme yang menyebabkan infeksi.
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak yang
disebabkan oleh trauma. Hal ini dapat teijadi disertai atau tanpa kerusakan otak.
Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat.
Fraktur tengkorak diklasifikasikan menjadi terbuka dan tertutup. Jika teijadi fraktur
tengkorak terbuka dipastikan lapisan duramater otak rusak, namun jika fraktur
tengkorak tertutup, duramater kemungkinan tidak rusak. ((Smeltzer dan Bare, 2002).
Jenis cedera kepala berdasarkan lokasi teijadinya yang terakhir adalah cedera
otak. Otak merupakan salah satu bagian terpenting dalam tubuh kita dan kejadian
minor dapat membuat otak mengalami kerusakan yang bermakna. Otak menjadi tidak
dapat menyimpan oksigen dan glukosa jika mengalami kerusakan yang cukup
bermakna. Sel-sel serebral membutuhkan suplai darah terus-menerus untuk
memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati diakibatkan
karena darah yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja, dan kerusakan neuron
tidak dapat mengalami regenerasi.
Menurut tingkat keparahannya, cedera kepala dibagi menjadi tiga (Kapita
Selekta Kedokteran, 2000), antara lain :
a. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientatif, atentif)
- Tidak kehilangan kesadaran
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh pusing dan nyeri kepala
- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, dan hematoma kulit kepala
- Tidak ada kriteria cedera sedang atau berat
b. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)
- Skor skala koma Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor) -Konkusi
- Amnesia pasca trauma
-Muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium
-Kejang
c. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
- Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

Anatomi otak

Sumber : brainfunctionz.com/brain-anatomy-pictures/
Anatomi lapisan otak

Skin of scalp-----------------------------
Periosteum
Bone of skull---------------——
r-Oura mater
L-Periosteai layer —— .4
^Meningeal layer
Subdural space
Arachnoid----------(
Subarachnoid —\---------—
space
Pia mater ----------

prey matter -------


[cerebral cortex)
J

Sumber : www.ahliwasir.com/image-upload/detail_brain_layers.jpg

B. Etiologi
1. Trauma tajam
Kerusakan teijadi hanya terbatas pada daerah yang menyebabkan robeknya otak.
Misalnya tertembak peluru atau benda tajam
2. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
3. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
yang bukan pukulan.
4. Kontak benturan. Biasanya teijadi karena suatu benturan atau tertabrak suatu
obyek.
5. Kecelakaan lalu lintas
6. Jatuh
7. Kecelakaan keija
8. Serangan yang disebabkan karena olahraga
9. Perkelahian
(Smeltzer, Bare, 2002 & Long, 1996)
C. Patofisiologi

Cedera kepala yang teijadi waktu benturan, memungkinkan teijadinya memar


pada permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan teijadi
kemampuan autoregulasi cerebral yang menyebabkan hiperemia. Peningkatan salah
satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak ada
aliran cairan otak dan sirkulasi dalam otak, sehingga lesi akan mendorong jaringan
otak. Bila tekanan terus meningkat akibatnya tekanan dalam ruang kranium juga akan
meningkat. Maka teijadilah penurunan aliran darah dalam otak dan perfusi jaringan
yang tidak adekuat, sehingga teijadi masalah perubahan perfusi serebral. Perfusi yang
tidak adekuat dapat menimbulkan vasodilatasi dan edema otak. Edema akan menekan
jaringan saraf sehingga teijadi peningkatan tekanan intrakranial (Price, 2005).

Dampak edema jaringan otak terhadap sistem tubuh lain, antara lain :

1. Sistem Kardiovaskuler
Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup
aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T, P dan
disritmia, vibrilisi atrium serta ventrikel takikardia. Akibat adanya perdarahan otak
akan mempengaruhi tekanan vaskuler, di mana penurunan tekanan vaskuler
pembuluh darah arteriol berkontraksi. Aktivitas miokardium berubah termasuk
peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work di mana pembacaan
pembacaan CVP abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpati s
mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan
teijadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh
akan berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya
peningkatan tekanan atrium kiri adalah teijadinya edema paru.
2. Sistem Respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi
paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Teijadinya pernafasan
chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang meningkat pada
mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apneu.
Konsenterasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran

darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena teijadi
vasodilatasi, jika teijadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan
alkalosis sehingga teijadi vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood
Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan
akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan
penambahan CBF yang kemudian teijadi peningkatan tingginya TIK.
Edema otak akibat trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak teijadi
robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein
yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapatkan.
Edema otak teijadi karena penekanan pembuluh darah dan jaringan sekitarnya.
Edema otak ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya TIK
yang dapat menyebabkan teijadinya hemiasi dan penekanan batang otak atau
medula oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan
pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas
tidak efektif.

3. Sistem Genito-Urinaria
Pada trauma kepala teij adi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium juga disebabkan
karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan
ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik
ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan natrium. Setelah tiga sampai 4 hari
retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan pasca trauma dapat timbul
hiponatremia. Untuk itu, selama 3-4 hari tidak perlu dilakukan pemberian hidrasi.
Hal tersebut dapat dilihat dari haluaran urin. Pemberian cairan harus hati- hati
untuk mencegah TIK. Demikian pula sangatlah penting melakukan pemeriksaan
serum elektrolit. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak teijadi kelainan pada
kardiovaskuler.
Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dengan respon metabolic
terhadap trauma, karena dengan adanya trauma tubuh memerlukan energi untuk
menangani perubahan-perubahan seluruh sistem tubuh. Namun masukan makanan
kurang, maka akan teijadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen
utama. Hal ini menambah teijadinya asidosis metabolik karena adanya
metabolisme anaerob glukosa. Dalam hal ini diperlukan masukan makanan yang
disesuaikan dengan perubahan metabolisme yang teijadi pada trauma. Pemasukan
makanan pada trauma kepala harus mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien
atau kemampuan melakukan reflek menelan.

4. Sistem Pencernaan
Setelah trauma kepala terdapat respon tubuh yang merangsang aktivitas
hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung untuk teijadi
hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan
steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral,
namun pengaruhnya terhadap lambung adalah teijadinya peningkatan ekskresi
asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas teijadi
karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang
mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera
ditangani, akan menyebabkan perdarahan lambung.

5. Sistem Muskuloskeletal
Akibat utama dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer
atau hemiplegia dapat teijadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak.
Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam
menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari - hari yang
berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.
Gerakan volunter teijadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok
neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian posterior
lobus frontalis yang disebut girus presentral atau “strip motorik “. Di sini kedua
bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah yang
beijalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot-otot tertentu. Masing-
masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada
gerakan. Sehingga pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari
jaras neuron ini cedera.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat
kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan
tonus otot dan penamilan postur abnormal, yang pada saatnya dapat membuat
komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur.
Pathway
Benturan Kepala

Trauma ---------------► Robekan


jaringai^sekitar tertekan
Cederaj
T
0,ak
Gangguan rasa nyaman nyeri
Vasodilatasi Hematoma
l
TIK meningkat d
oedem
l
Aliran darah ke otak menurun
1
Perubahan perfusi jaringan cerebral

Hipoksia ---------- * penurunan kesadaran


Gangguan persepsi
Kerusakan pertukaran gas sensori Kekacauan pola bahasa
Nafas dangkal Tak mampu berkata dengan baik
Gangguan komunikasi verbal
Pola nafas tidak efektif
D. Manifestasi Klinis
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal dan sebagian besar
pasien mengalami penyembuhan total dalam jam atau hari
b. Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya
berkurang dan cemas,kesulitan belajar dan kesulitan bekeija.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan bahkan
koma
b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungdi
sensorik, kejang oto, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan. (Smeltzer
& Bare, 2002)
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia dan tidak dapat lagi mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
teijadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak ekual, pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.

E. Pemeriksaan Penunjang

a. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.

b. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Menggunakan medan magnetik kuat dan frekuensi radio. Bila bercampur


gelombang yang dipancarkan tubuh, akan menghasilkan citra MRI yang dapat
digunakan unutk mendiagnosis tumor, infark atau kelainan lain di pembuluh darah.

c. Angiografi serebral

Untuk menunjukkan kelainan lain sirkulasi serebral, seperti pergeseran


jaringan otak akibat edema, pendarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi
dan menentukan kelainan serebral vaskuler.

d. Angiografi Substraksi Digital


Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik
komputerisasi untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang
dan jaringan lunak di sekitarnya.

e. ENG (Elektronistagmogram)
Pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.

f. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6
jam dari saat teijadinya trauma

g. EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis
yang berkaitan dengan adanya lesi di kepala.

h. BAEK ( Brain Auditi on Euoked Tomografi)


Untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak
i. Rontgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak

j. GDA (Gas Darah Arteri)


Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang meningkatkan
TIK

F. Pengkajian Primer
๐ Pertanyaan mengenai riwayat teijadinya cedera, meliputi :
- Kapan cedera teijadi
- Apa penyebab cedera? Apakah obyek membentur kepala? Apakah pasien
sampai teijatuh?
- Dari mana arah dan kekuatan pukulan?
- Apakah sempat kehilangan kesadaran? Durasi periode tidak sadar? Apakah
pasien dapat dibangunkan? Adakah amnesia setelah cedera?

๐ Fokus Pengkajian
a. Tingkat kesadaran dan responsivitas. Tingkat kesadaran dan responsivitas
dikaji secara teratur karena perubahan pada tingkat kesadaran mendahului
semua perubahan tanda vital dan neurologik lain. Skala koma Glasgow
digunakan untuk mengkaji tingkat kesadaran berdasarkan tiga kriteria
pembukaan mata, respons verbal, dan respon motorik terhadap perintah verbal
atau stimulus nyeri.
b. Pemantauan tanda vital. Meskipun penyimpangan tingkat kesehatan pasien
adalah indikasi neurologik paling sensitif tentang ancaman bahaya, tanda vital
dipantau dalam interval sering untnuk mengkaji status intrakranial.
- Tanda peningkatan TIK meliputi pelambatan nadi, peningkatan tekanan
darah sistolik, dan pelebaran tekanan nadi.
- Pada saat kompresi otak meningkat, tanda vital cenderung sebaliknya.
Nadi dan pernafasan semakin cepat dan tekanan darah menurun.
- Peningkatan suhu drastis dianggap hal yang tidak menguntungkan, karena
hipertermia meningkatkan kebutuhan metabolisme otak dan merupakan
indikasi kerusakan batang otak. Suhu harus dipertahankan dibawah 38
derajat Celcius.
- Takikardia dan hipotensi arteri dapat mengindikasikan perdarahan sedang
teijadi di tempat lain di tubuh.
c. Fungsi motorik. Fungsi motorik sering dikaji melalui observasi gerakan-
gerakan spontan, memerintahkan pasien meninggikan dan menurunkan
ekstremitas, dan membandingkan kekuatan dan kualitas genggaman tangan
dalam periodik waktu yang teratur.
- Jika pasien tidak menunjukkan gerakan spontan, maka respons stimulus
nyeri dikaji. Respons abnormal (respon motorik berkurang) mengarah pada
prognosis buruk.
- Kemampuan pasien untuk bicara dan kualitas bicara juga dikaji. Kapasitas
untuk bicara merupakan indikasi tingkat fungsi otak yang tinggi.
- Pembukaan mata secara spontan pada pasien dievaluasi.
- Ukuran dan kualitas pupil dan reaksinya terhadap cahaya. Dilatasi
unilateral dan respons pupil yang buruk merupakan indikasi adanya
pembentukan hematoma dengan tekanan lanjut pada syaraf kranial ketiga
karena pergeseran otak. Jika kedua pupil kaku dan berdilatasi, maka
diindikasikan ada cedera berlebihan dan kerusakan intrinsik pada batang
otak atas, yang merupakan tanda prognostik buruk.

๐ Pengkajian Primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah
actual/potensial dari kondisi life threatening (berdampak terhadap kemampuan
pasien untuk mempertahankan hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan. Prioritas penilaian
dilakukan berdasarkan :
a. Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
Kaji :
1) Bersihkan jalan nafas
2) Adanya/tidaknya sumbatan jalan nafas
3) Distress pernafasan
4) Tanda-tanda perdarahan dijalan nafas, muntahan, edema laring
b. Breathing dan ventilasi
Kaji :
1. Frekuensi nafas, usaha nafas dan pergerakan dinding dada
2. Suara pernafasan melalui hidung atau mulut
3. Udara yang dikeluarkan dari j alan nafas
c. Circulation dengan kontrol perdarahan
Kaji :
1) Denyut nadi karotis
2) Tekanan darah
3) Warna kulit, kelembaban kulit
4) Tanda-tanda perdarahan eksternal dan internal
d. Disability
Kaji :
1) Tingkat kesadaran
2) Gerakan ekstremitas
3) Glasgow coma scale (GCS), atau pada anak tentukan : Alert (A), Respon
verbal (V), Respon nyeri/pain (P), tidak berespons/unresponsive (U)
4) Ukuran pupil dan respons pupil terhadap cahaya

e. Exposure control
Kaji :
1) Tanda-tanda trauma yang ada
๐ Pengkajian Sekunder
1. F ahrenheit (suhu tubuh)
Kaji :
1. Suhu tubuh
2. Suhu lingkungan
2. Get Vital Sign/ Tanda-tanda vital secara kontiny
Kaji :
1. Tekanan darah
2. Irama dan kekuatan nadi
3. Irama, kekuatan dan penggunaan otot bantu
4. Saturasi oksigen
3. Head to assesment (pengkajian dari kepala sampai kaki)
Pengkajian Head to toe
a. Riwayat Penyakit
๐ Keluhan utama dan alasan klien ke rumah sakit
๐ Lamanya waktu kejadian sampai dengan dibawah ke rumah sakit
๐ Tipe cedera, posisi saat cedera, lokasi cedera
๐ Gambaran mekanisme cedera dan penyakit seperti nyeri pada organ tubuh
yang mana, gunakan : provoked (P), quality (Q), radian (R), severity (S)
dan time (T)
๐ Kapan makan terakhir
๐ Riwayat penyakit lain yang pernah dialami/operasi
pembedahan/kehamilan
๐ Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit sekarang,
imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi klien.
๐ Riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama dengan klien
c. Pengkajian kepala, leher dan wajah
๐ Periksa wajah, adakah luka dan laserasi, perubahan tulang wajah dan
jaringan lunak, adakah perdarahan serta benda asing.
๐ Periksa mata, telinga, hidung, mulut. Adakah tanda-tanda perdarahan,
benda asing, deformitas, laserasi, perlukaan serta adanya keluaran
๐ Amati bagian kepala, adakah depresi tulang kepala, tulang wajah,
kontusio/jejas, hematom, serta krepitasi tulang.
๐ Kaji adanya kaku leher
๐ Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, deviasi trachea, distensi vena
leher, perdarahan, edema, kesulitan menelan, emfisema subcutan dan
krepitas pada tulang.
d. Pengkajian dada
1. Pernafasan : irama, kedalaman dan karakter pernafasan
2. Pergerakan dinding dada anterior dan posterior
3. Palpasi krepitas tulang dan emfisema subcutan
4. Amati penggunaan otot bantu nafas
5. Perhatikan tanda-tanda injuri atau cedera : petekiae, perdarahan, sianosis,
abrasi dan laserasi.
e. Abdomen dan pelvis
Hal-hal yang dikaji pada abdomen dan pelvis :
1) Struktur tulang dan keadaan dinding abdomen
2) Tanda-tanda cedera eksternal, adanya luka tusuk, laserasi, abrasi,
distensi abdomen, jejas.
3) Masa : besarnya, lokasi dan mobilitas
4) Nadi femoralis
5) Nyeri abdomen, tipe dan lokasi nyeri (gunakan PQRST)
6) Bising usus
7) Distensi abdomen
8) Genitalia dan rectal : perdarahan, cedera, cedera pada meatus,
ekimosis, tonus spinkter ani
f. Ekstremitas
Pengkajian di ekstremitas meliputi :
1) Tanda-tanda injuri eksternal
2) Nyeri
3) Pergerakan dan kekuatan otot ekstremitas
4) Sensasi keempat anggota gerak
5) Warna kulit
6) Denyut nadi perifer
g. Tulang belakang
Pengkajian tulang belakang meliputi :
1. Jika tidak didapatkan adanya cedera/fraktur tulang belakang, maka pasien
dimiringkan untuk mengamati :
- Deformitas tulang belakang
-Tanda-tanda perdarahan
-Laserasi
-Jejas
-Luka
2. Palpasi deformitas tulang belakang

G. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan
neurovaskuler ditandai dengan kelemahan atau poaralisi otot pernafasan. (Doenges,
1999)
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral
dan edema otak ditandai dengan wajah menahan nyeri dan adanya perubahan
tanda-tanda vital.
3. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral ditandai
dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motorik atau sensorik,
gelisah, dan perubahan tanda vital.

H. Intervensi Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan
neurovaskuler ditandai dengan kelemahan atau poaralisi otot pernafasan. Kriteria
hasil :
• Pernafasan reguler, dalam dan kecepatannya teratur
• Pengembangan dada kiri dan kanan simetris
• Tanda dan gejala obstruksi pernafasan tidak ada : stridor (-), sesak nafas
(-), wheezing (-)
• Suara nafas : vaskuler kiri dan kanan
• Trakhea midline
• Analisa gas darah dalam batas normal : PaC)2 80-100 mmHg, Saturasi O2 >
95 %, PaCO2 35-45 mmHg, pH 7,35-7,45
Intervensi :
Mandiri
๐ Observasi frekuensi, kecepatan, kedalaman dan irama pernafasan. ๐
Observasi penggunaan otot bantu pernafasan
๐ Berikan posisi semi fowler bila tidak ada kontra indikasi ๐ Ajarkan dan
anjurkan nafas dalam serta batuk efektif ๐ Perhatikan pengembangan dada
simetris atau tidak
๐ Kaji fokal fremitus dengan meletakkan tangan di punggung pasien
sambil pasien menyebutkan angka 99 atau 77
๐ Bantu pasien menekan area yang sakit saat batuk
๐ Lakukan fisiotherapi dada jika tidak ada kontra indikasi
๐ Auskultasi bunyi nafas, perhatikan bila tidak ada ronkhi, wheezing dan
erackles.
๐ Lakukan suction bila perlu
๐ Lakukan pendidikan kesehatan.
Kolaborasi
๐ Pemberian O2 sesuai kebutuhan pasien
๐ Pemeriksaan laboratorium / analisa gas darah
๐ Pemeriksaan rontgen thorax
๐ Intubasi bila pernafasan makin memburuk
๐ Pemasangan oro paringeal
๐ Pemasangan water seal drainage / WSD
๐ Pemberian obat-obatan sesuai indikasi

2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral


dan edema otak ditandai dengan wajah menahan nyeri dan adanya perubahan
tanda-tanda vital.
Kriteria hasil :

๐ Menurunnya derajat nyeri baik daripada respon verbal maupun pengukuran


skala nyeri.

๐ Hilangnya indikator fisiologi nyeri : takhikardia (-), takipnoe (-), diaporesis (-),
tekanan darah normal
๐ Hilangnya tanda-tanda non verbal karena nyeri : tidak meringis, tidak menangis,
mampu menunjukkan posisi yang nyaman
๐ Mampu melakukan pemerintah yang tepat.
Intervensi :
Mandiri
๐ Kaji karakteristik nyeri dengan PQRST
๐ Bantu melakukan teknik relaksasi
๐ Batasi aktivitas
Kolaborasi
๐ Pemberian O2
๐ Perekaman EKG
๐ Pemberian therapi sesuai indikasi
๐ IVFD sesuai indikasi

3. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral ditandai


dengan perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motorik atau sensorik,
gelisah, dan perubahan tanda vital.

Kriteria Hasil :
๐ Mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesadaran
๐ Tanda-tanda vital kembali normal
๐ Tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra kranial
Intervensi :
Mandiri
๐ Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan koma atau penurunan perfusi
jaringan otak dan potensial peningkatan TIK
๐ Pantau status neurologik secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
menggunakan GCS
๐ Pantau TTV
๐ Pertahankan kepala agara posisinya tetap netral atau di tengah ๐ Perhatikan
adanya peningkatan kegelisahan pada klien
Kolaborasi :
๐ Berikan cairan sesuai indikasi
๐ Berikan obat sesuai indikasi
DAFTAR PUSTAKA

• Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius.
• Nanda International. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 20092011.
Jakarta :EGC
• Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses
Penyakit II Edisi 4. Jakarta : EGC
• Smeltzer, Suzzane C. dan Brenda G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Volume 3 Edisi 8. Jakarta : EGC.
• Syaifuddin. 201E Anatomi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2.
Jakarta : Salemba Medika.

You might also like