You are on page 1of 44

Kepadatan dan Kesesakan

KEPADATAN

A. Pengertian Kepadatan

Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi
lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan
(dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau
wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstradan McFarling, 1978; Stokols
dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah
manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya
(Sarwono, 1992).

Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang
dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak
negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah
tikus (dalamWorchel dan Cooper, 1983). Secara terinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setiadi,
1991) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus
berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang,
melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.

Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali,
ternyata memberikan dampak negatif terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada
ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif,
homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan
kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba
memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi;
bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task
performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal-hal yang negatif
akibat dari kepadatan.

Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah,
hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

Kedua, peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva linear) atau
menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial
density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-rnenolong sesama
anggota kelompok.
Ketiga, terjadi penurunan ketekuuan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan
hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh
terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative. pada kepadatan
tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok,
baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota
kelompoknya pada kepadatan tinggi.

B. Kategori Kepadatan

Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indikator
kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi :

 Jumlah individu dalam sebuah kota


 Jumlah individu pada daerah sensus
 Jumlah individu pada unit tempat tinggal
 Jumlah ruangan pada unit tempat tinggal
 Jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain.

Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh
unsur-unsur yaitu :

 Jumlah individu pada setiap ruang


 Jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal
 Jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian
 Jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman.

Kepadatan dapat dibedakan ke dalam beberapa kategori. Holahan (1982) menggolongkan


kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu :

 Kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi
lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan
meningkat sejalan menurunnya besar ruang.
 Kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan
penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan
dengan bertambahnya individu.

Sedangkan Altman (1975) membagi kepadatan menjadi :

 Kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau
tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar.
 Kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah
tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang
berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada
setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai
kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.

Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua
dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:

1. Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam
yang rendah.
2. Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah.
3. Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar
tinggi.
4. Perkampungan Kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang
tinggi.

C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi

Rumah dan lingkungan pemukiman akan memberi pengaruh psikologis pada individu yang
menempatinya. Taylor (dalam Gifford, 1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat
merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal
individu di suatu tempat tinggal, Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan
kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan
memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya. Schorr (dalam ittelson, 1974)
mempercayai bahwa macam dan kualitas pemukiman dapat memberikan pengaruh penting
terhadap persepsi diri penghuninya, stres dan kesehatan fisik, sehingga kondisi pemukiman ini
tampaknya berpengaruh pada perilaku dan sikap-sikap orang yang tinggal di sana (lttelson,
1974).

Penelitian Valins dan Baum (dalam Heimstra dan McFarling, 1978) menunjukkan adanya
hubungan yang erat antara kepadatan dengan interaksi sosial. Para mahasiswa yang bertempat
tinggal di asrama yang padat sengaja mencari dan memilih tempat duduk yang jauh dari orang
lain, tidak berbicara dengan orang lain yang berada di tempat yang sama. Dengan kata lain
mahasiswa yang tinggal di tempat padat cenderung untuk menghindari kontak sosial dengan
orang lain.

Penelitian yang diadakan oleh Karlin dkk, (dalam Sears dkk., 1994) mencoba membandingkan
mahasiswa yang tinggal berdua dalam satu kamar dengan mahasiswa yang tinggal bertiga dalam
dalam satu kamar. Kesemuanya itu tinggal dalam kamar yang dirancang untuk dua orang.
Temyata mahasiswa yang tinggal bertiga melaporkan adanya stres dan kekecewaan yang secara
nyata lebih besar dari pada mahasiswa yang tinggal berdua. Selain itu mereka yang tinggal
bertiga juga lebih rendah prestasi belajamya. Pengaruh ini ternyata lebih berat dihadapi pada
mahasiswi yang lebih banyak mengubah lingkungan untuk menyesuaikan diri, sebaliknya pada
mahasiswa pada umumnya lebih banyak mengubah perilaku untuk menyesuaikan diri. Para
mahasiswi berusaha membuat bagian ruang yang sudah sempit tersebut agar dapat menjadi ruang
yang menyenangkan, sementara para mahasiswa lebih banyak menggunakan waktunya di luar.

Penelitian terhadap kehidupan dalam penjara juga membuktikan tentang pengaruh kepadatan
tempat tinggal. Penelitian D’Atri dan McCain (dalam Sears dkk., 1994) membuktikan bahwa
narapidana yang ditempatkan seorang diri di dalam sel ternyata memiliki tekanan darah yang
lebih rendah bila dibandingkan dengan narapidana yang tinggal dalam penjara tipe asrama.

Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas apabila dihuni oleh sejumlah besar individu
umumnya akan menimbulkan pengaruh negatif pada penghuninya (Jain, 1987). Hal ini terjadi
karena dalarn rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat
yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu sering
harus bertemu dan berhubungan dengan orang lain baik secara fisik maupun verbal, sehingga
individu memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan individu
merasa tidak mampu rnengolah dan mengatur masukan yang diterima. Individu menjadi
terhambat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Keadaan tersebut pada akhimya
menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni rumah tinggal tersebut.

Menurut Heimstra dan McFarling (1978) kepadatan memberikan akibat bagi manusia baik secara
fisik, sosial maupun psikis.

 Akibat secara fisik yaitu reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung,
tekanan darah, dan penyakit fisik lain (Heimstra dan Mefarling, 1978).

 Akibat secara sosial antara lain adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti
meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja (Heimstra dan McFarling, 1978; Gifford, 1987).

 Akibat secara psikis antara lain:


1. Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres (Jain, 1987)
dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982).
2. Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang
mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982;
Gifford, 1987).
3. Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu
untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang
yang tidak dikenal (Holahan 1982; Fisher dkk., 1984).
4. Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk
mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
5. Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan
kemarahan, serta pada akhimya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan McFarling, 1978;
Holahan, 1982).

Di pemukiman padat, individu umumnya akan dihadapkan pada keadaan yang tidak
menyenangkan. Di samping keterbatasan ruang, individu juga mengalarni kehidupan sosial yang
lebih rumit. Keadaan padat ini memungkinkan individu tidak ingin mengetahui kebutuhan
individu lain di sekitamya tetapi lebih memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan
kepentingannya serta kurang memperhatikan isyarat-isyarat sosial yang muncul. Salah satu
akibat negatif yang terjadi sebagai respon individu terhadap stresor lingkungan seperti
lingkungan padat yaitu menurunnya intensi prososial individu.

Penelitian-penelitian tentang hubungan kepadatan dan perilaku prososial di daerah perkotaan dan
pedesaan telah banyak dilakukan. Hasil penelitian yang dilakukan Milgram (1970) ditemukan
bahwa orang yang tinggal di kota sedikit dalam memberi bantuan dan informasi bagi orang yang
tidak dikenal dari pada orang yang tinggal di daerah pedesaan. Begitu pula dalam mengizinkan
untuk menggunakan telepon bagi orang lain yang memerlukan (Fisher, 1984).

Adapun proses tersebut dapat menunjukkan bahwa kepadatan mempunyai hubungan terhadap
perilaku prososial seseorang. Hal ini dapat dijelaskan oleh teori beban stimulus dari Milgram
(dalam Wrightsman & Deaux, 1984). Dalam teori ini menjelaskan bahwa kondisi kota yang
padat yang dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor seperti faktor perbedaan individu, situasi
dan kondisi sosial di kota mengakibatkan individu mengalami stimulus overload (stimulus yang
berlebihan), sehingga individu harus melakukan adaptasi dengan cara memilih stimulus-stimulus
yang akan diterima, memberi sedikit perhatian terhadap stimulus yang masuk. Hal ini dilakukan
dengan menarik diri atau mengurangi kontak dengan orang lain, yang akhimya dapat
mempengaruhi perilaku menolong pada individu. Proses tersebut diatas dapat digambarkan
dengan skema sebagai berikut :
 

KESESAKAN

A. Pengertian Kesesakan

Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan
interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil, Perbedaan
pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah
dibahas terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian
yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu
kesatuan ruang.

Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1978) antara kepadatan dan kesesakan
memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat
menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan.
Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling,
1978; Holahan, 1982).

Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai
kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:

 Karakteristik seting fisik


 Karakteristik seting sosial
 Karakteristik personal
 Kemampuan beradaptasi

Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial dan kesesakan sosial :

 Kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding) yaitu di mana faktor-faktor fisik menghasilkan
perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit.
 Kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang
lain yang terlalu banyak.

Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar


 Kesesakan molar (molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala
luas, populasi penduduk kota, sedangkan
 Kesesakan molekuler (moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai
individu, kelompok keeil dan kejadian-kejadian interpersonal.

Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal
ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per
meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang.
Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan
yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan
suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.

Besar kecilnya ukuran rumah menentukan besarnya rasio antara penghuni dan tempat (space)
yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar
rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil rurnah dan makin banyak penghuninya, maka akan
semakin kecil rasio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak (crowding) (Ancok, 1989).

Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor
spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap
keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan
berupa hal-hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang di sini kemudian diartikan sebagai
suatu kekurangan.

Pendapat lain datang dari Rapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan
kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi,
sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasamya batasan kesesakan melibatkan persepsi
seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana
ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terIalu banyak.

B. Teori-teori Kesesakan

Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga.model teori, yaitu beban
stimulus, kendala perilaku dan teori ekologi (Bell dkk., 1978; Holahan, 1982).

1. Teori Beban Stimulus.

kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya
sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan
Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang
beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang
menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena
beberapa faktor, seperti :

 Kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan


 Jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat
 Suatu percakapan yang tidak dikehendaki
 Terlalu banyak mitra interaksi
 Interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama

Individu akan melakukan penyaringan atau pemilahan terhadap informasi yang berlebihan
tersebut. Stimulus yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingannya

akan diabaikan. Stimulus yang penting dan bermanfaat bagi dirinyalah yang akan diperhatikan
(Bell dkk., 1978; Holahan, 1982).

2.   Teori Ekologi.

Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia :

1. Teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal batik antara orang dengan
lingkungannya.
2. Unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang
peranan sangat penting.
3. Menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.

Wicker (1976) mengemukakan teorinya tentang manning. Teori ini berdiri atas pandangan
bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana hal itu terjadi, misalnya
pertunjukan kethoprak. atau pesta ulang tahun.

Analisis terhadap seting meliputi :

1. Maintenance Minimum, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar
suatu aktivitas dapat berlangsung. Agar pembicaraan menjadi lebih jelas, akan digunakan kasus
pada sebuah rumah sebagai contoh suatu seting. Dalam hal ini, yang dinamakan maintenance
setting adalah jumlah penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4 x 3 meter bisa
dipakai oleh anak-anak supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar.
2. Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut
(jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan).
3. Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian dalam suatu seting. Applicant dalam
seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

 Performer, yaitu jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami dan isteri.
 Non-performer, yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini
anak-anak atau orang lain dalam keluarga.

3.   Teori Kendala Perilaku.

Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang
berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini
didasari oleh teori reaktansi psikologis (psychological reactance) dari Brehm (dalam Schmidt
dan Keating, 1979) yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting
dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka
individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang
tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya.

C. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku

Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak, sumber-sumber yang ada di dalamnya pun bisa
menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas orang lain, interaksi
interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan
personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan gejolak dan
ketidaknyamanan (Epstein, 1982) serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara
psikologis, dan menurunnya kualitas hidup (freedman, 1973).

Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan psikologis, fisiologis,


dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan oleh kesesakan antara lain
adalah perasaan kurang nyaman, stress, kecemasan, suasana hati yang kurang baik, prestasi kerja
dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan bahkan juga gangguan mental yang
serius.

Individu yang berada dalam kesesakan juga akan mengalami malfungsi fisiologis seperti
meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-
penyakit fisik yang serius (Worchel dan Cooper, 1983).

Perilaku sosial yang seringkali timbul karena situasi yang sesak antara lain adalah kenakalan
remaja, menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan
sosial,.berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan
sosial (Holahan, 1982).

Gove dan Hughes (1983) mendapatkan adanya korelasi antara kesesakan dalam rumah tangga
dengan hubungan perkawinan dan hubungan sosial dengan tetangga yang kurang harmonis, serta
kurangnya perhatian terhadap anak. Ditambahkan oleh Ancok (1989), perasaan sesak (crowding)
di dalam rumah akan menimbulkan beberapa permasalahan antara lain:

1. Menurunnya frekuensi hubungan sex.


2. Memburuknya interaksi suami isteri.
3. Mcmburuknya cara pengasuhan anak.
4. Memburuknya hubungan dengan orang-orang di luar rumah.
5. Meningkatnya ketegangan dan gangguan jiwa.

Penyebab terjadinya kelima permasalahan di atas adalah karena kebutuhan ruangan yang sifatnya
personal tidak terpenuhi. Hal ini menyebabkan banyak perilaku untuk memenuhi keinginan (goal
directed behavior) tidak terselesaikan.

Selanjutnya oleh Ancok dijelaskan bahwa rumah yang dalam keadaan sesak akan berakibat stres
pada orang tua, selanjutnya akan berakibat pada perlakuan buruk terhadap anak, sehingga anak
akan merasa tidak aman. Perasaan tidak aman itu selanjutnya besar kemungkinannya berakibat
pada perkembangan kepribadian yang patologis pada anak.

Pertumbuhan kecerdasan anak sangat dipengaruhi pada stimulasi mental yang dapat diperoleh
anak dalam lingkungannya. Pada fase balita atau perkembangan awal, anak-anak sangat
memerlukan ruangan yang dapat digunakan untuk berlari, bergerak, dan bermain. Dalam
bermain, anak-anak pada hakikatnya melakukan beberapa eksperimen untuk memperkaya
pengalaman pribadinya. Hasil penelitian Gump menunjukkan bahwa anak-anak yang bertempat
tinggal di rumah yang sesak akan mengalami keterlambatan kemampuan membaca, sering bolos
sekolah, dan mengalami ketegangan yang menyebabkan apatis hingga membuat mereka menjadi
malas (dalam Ancok, 1989).

Sementara itu beberapa penelitian lain juga mencoba menunjukkan pengaruh negatif kesesakan
terhadap perilaku. Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan
dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks,
menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan
menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979).

Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut 
Altman (1975) dan Watson dkk.(1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dan
kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu,
serta seting kejadian, Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan,
misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olah raga atau menghadiri reuni
atau resepsi.

Artikel yang berhubungan dengan dampak kesesakan dan kepadatan penduduk, khususnya di
lingkungan tempat tinggal terhadap perilaku individu.

“Bentrokan Antarpemuda di Tanahtinggi”

 
 

Joharbaru, Warta Kota

BENTROKAN antarpemuda yang terjadi di Kelurahan Tanahtinggi, Joharbaru, Jakarta Pusat,


Minggu (26/9) tengah malam, bukan baru kali ini terjadi. Tawuran sudah menjadi bagian dari
keseharian warga salah satu kawasan permukiman padat dan kumuh di Jakarta Pusat tersebut,
sebagaimana diungkapkan Ketua RW 12 Samsudin.

Menurut Samsudin, bentrokan terjadi di Jalan Tanah Tinggi 12 dan melibatkan pemuda dari RT
13 RW 7 dan RW 6,8, serta 12. “Saya sendiri nggak tahu penyebab pastinya apa dan dari
kelompok mana yang memulai duluan. Tetapi biasanya karena masalah sepele seperti salah
paham saat futsal atau saling ejek saja,” katanya.

Samsudin menambahkan bahwa kerapnya terjadi bentrokan bisa jadi lantaran tingkat pendidikan
warga yang rendah dan masalah ekonomi. Pasalnya, orangtua dari kalangan miskin sibuk
mencari nafkah sehingga tidak sempat memberikan pendidikan kepada anak-anaknya yang
banyak berkeliaran di malam hari. Apalagi kondisi rumah umumnya hanya berukuran sekitar 3
meter x 4 meter dan didiami dua keluarga.

Samsudin berharap masalah bentrokan itu ditangani langsung oleh polisi, camat, lurah, dan wali
kota dengan langsung turun menyentuh tingkat sosial masyarakat terendah. Selama ini yang
didekati hanyalah RT dan RW serta kelurahan, namun pemuda dan ABG tidak disentuh. “Jadi
seharusnya dilakukan pendekatan sosiologis. Ajak pemuda dan ABG di sini untuk berorganisasi
atau adakan kegiatan bersama. Jadi mereka merasa terlibat dalam satu kelompok. Sehingga
saling mengenal,” terangnya.

Selain itu, kata Samsudin, diharapkan polisi meningkatkan razia di malam hari, seperti razia
senjata tajam atau yang lainnnya sehingga membuat segan para pemuda dan ABG untuk
nongkrong di pinggir jalan. “Jangan cuma mendekati pemimpin di tingkat struktural saja, tapi
turun langsung ke masyarakat,” tutur Samsudin. Kelurahan Tanahtinggi seluas 62,40 ha
tergolong wilayah padat dengan jumlah penduduk sekitar 38.000 jiwa.

Pengajar Antropologi Perkotaan dari Universitas Indonesia, Rusli Cahyadi, mengatakan, konflik
di wilayah permukiman padat dan kumuh kerap melibatkan banyak pihak dan kepentingan.
Untuk mengatasi itu, aparat wilayah harus bisa memetakan para pemangku kepentingan yang
kemungkinan memiliki motif ekonomi dan politik di wilayah tersebut.

“Bandar narkoba misalnya, selalu punya kepentingan untuk memicu konflik. Karena itu dengan
pendekatan motif politik-ekonomi pada berbagai tingkatan di masyarakat, dapat dicapai solusi
yang tepat. Untuk jangka pendek, polisi dan bila perlu tentara turun tangan menangani para
pemangku kepentingan yang terlibat,” tuturnya.
Rusli juga melihat Operasi Yustisi yang digelar Pemprov DKI tepat bila diterapkan di kantong
permukiman padat penduduk seperti Tanahtinggi untuk merapikan sistem administrasi wilayah.

Tawuran kemarin terjadi hampir sepanjang malam dan baru dapat dihentikan polisi dari
Polsektro Joharbaru dan Porestro Jakarta Pusat sekitar pukul 03.00.

Solusi penanganan konflik Tanah Tinggi

 Pemetaan sosial-politik-ekonomi wilayah setempat


 Tetapkan siapa saja pemangku kepentingan yang berpotensi memicu konflik
 Pembenahan sistem administrasi kependudukan wilayah
 Perbanyak kegiatan yang melibatkan unsur pemuda setempat
 Optimalisasi peran RT-RW dan tokoh masyarakat dengan insentif yang layak
 Penegakan hukum yang tegas terhadap pengedar narkoba dan pemicu konflik

sumber :

Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Jakarta : penerbit Gunadarma.
http://www.wartakota.co.id/detil/berita/30632/Bentrokan-Antarpemuda-di-Tanahtinggi

Share this:

 Reddit

Like this:
Suka

Be the first to like this post.

Ditulis dalam TUGAS

« Tugas Psikologi Lingkungan

Privasi, Personal Space (Ruang Personal) dan  Teritorialitas »


Tinggalkan Balasan
Enter your comment here...

 Guest
 Masuk
 Masuk
 Masuk

Email (wajib) (Belum diterbitkan)

Nama (wajib)

Situs web

Beritahu saya balasan komentar lewat surat elektronik.

Beritahu saya tulisan baru lewat surat elektronik.

Kategori
 MATERI
 TUGAS
 Uncategorized

Cari

Halaman
 PSIKOLOGI

 
Maret 2011

S S R K J S M

« Feb   Apr »

  1 2 3 4 5 6

7 8 9 10 11 12 13

14 15 16 17 18 19 20

21 22 23 24 25 26 27

28 29 30 31  

Tulisan Terkini
 Definisi Stres, Keterkaitan Antara Stres Dengan Lingkungan Dan Pengaruh Stres Terhadap
Perilaku Individu Dalam Lingkungan..
 Privasi, Personal Space (Ruang Personal) dan  Teritorialitas
 Kepadatan dan Kesesakan
 Tugas Psikologi Lingkungan
 Artikel Perilaku Agresif
 Tugas psikologi kelompok
 TUGAS REVIEW JURNAL
 PENANGANAN DAN RELOKASI KORBAN BENCANA GUNUNG MERAPI  YOGYAKARTA
 PENANGANAN DAN RELOKASI KORBAN BENCANA GUNUNG MERAPI  YOGYAKARTA
 TUGAS REVIEW JURNAL PSIKOLOGI KELOMPOK
 Qosidahan Ibu-ibu di Majlis Ta’lim Al-Barokah Kebantenan – Jati  Asih
 CIRI-CIRI ANAK YANG MENDERITA GANGGUAN RESEPTIF
 GEJALA DAN KRITERIA DIAGNOSTIK GANGGUAN  FONOLOGIS
 PENYEBAB GANGGUAN FONOLOGIS PADA ANAK
 GANGGUAN FONOLOGIS PADA ANAK
 Teripang “Imunomodulator Hingga Anti-tumor”
 PROPOLIS
 MANFAAT DAN CARA PIJAT BAYI
 3 OBAT ALAMI UNTUK DIABETES
 KECEMASAN PADA ANAK AKAN PERPISAHAN DENGAN FIGURE  TERDEKAT
 PHOBIA SEKOLAH
 Gangguan berbahasa campuran reseptif-ekspretif
 PENYEBAB GANGGUAN BICARA DAN BERBAHASA
 GANGGUAN BAHASA RESEPTIF
 PENYAKIT IKAN DI AKUARIUM DAPAT DIOBATI
 MEDIA PEMBIBITAN NON TANAH
 IKAN SALMON PENCEGAH JANTUNG KORONER
 CARA UNTUK MENGATASI GAGAP
 CARA MENGHADAPI ANAK GAGAP
 JENIS-JENIS GAGAP

Blogroll
 BAAK sITEss
 goes to google
 Gunadarma Campuss
 Psicology under screen
 sTaFF sITeS

BULAN
Komentar Terakhir

fajar yanuar on PELECEHAN SEKSUAL PADA AN…

syahrudy on PSIKOPAT

devianggraeni90 on JENIS-JENIS GAGAP

GANGGUAN BELAJAR … on Cara Mengatasi Gangguan Menuli…

GANGGUAN BELAJAR … on Faktor Penyebab Gangguan Menul…

Kategori
Penyebaran Populasi Satwa
A. Penyebaran

Organisme atau kumpulan organisme tersebar di permukaan


bumi sesuai kemampuan pergerakannya atau kondisi lingkungan seperti adanya pengaruh luas
kawasan (luas pulau), ketinggian tempat dan letak geografis. Penyebaran organisme dari satu
wilayah ke wilayah lain dapat dilakukan melalui salah satu dari tiga jalan, yaitu:

1. Lorong (koridor); jalan yang memberikan peluang yang sama kepada semua jenis untuk
pindah melalui koridor.
2. Tapisan; jalan yang hanya meliputi beberapa habitat, sehingga mencegah jenis-jenis
tertentu untuk pindah, karena habitatnya yang tidak sesuai.
3. Jalan undian; jalan perpindahan yang melalui lautan. Misalnya perpindahan organisme
dari satu pulau ke pulau lainnya dengan cara mengikuti benda yang terapung di atas
lautan.

B. Pola Penyebaran

Pola penyebaran satwa liar dapat berbentuk acak, berkelompok dan sistematik. Pola penyebaran
ini merupakan strategi individu ataupun kelompok organisme untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya. Bentuk-bentuk pola sebaran:

1. Acak, contoh: pada rusa sambar (Cervus unicolor).


2. Berkelompok, contoh: banteng.
3. Sistematik, contoh: burung pinguin yang sedang bersarang, burung kuntul yang sedang
berserang.

C. Pengaruh Luas Pulau

Pengaruh ukuran luas pulau terhadap jumlah jenis dapat dipelajari dari ilmu biografi. Biografi
adalah ilmu yang mempelajari penyebaran dan ekologi jenis berdasarkan ilmu bumi, sedang
zoogeografi ialah biografi tentang hewan.

Menurut teori biogeografi pulau, jumlah jenis yang ditampung oleh sebuah pulau akan
ditentukan oleh titik keseimbangan antara lain laju kepunahan lokal dan laju migrasi.

Kepunahan lokal merupakan pencerminan dari faktor luas pulau dan mutu habitat. Untuk pulau-
pulau yang mutunya sama, hubungan antara luas dan jumlah jenis bersifat logaritmis, yaitu pulau
yang luasnya sepuluh kali lipat atau menampung dua kali lipat lebih banyak jenis.
Laju kepunahan jenis dapat dikaitkan dengan tingkat keterpencilan, yaitu ditinjau dari jaraknya
terhadap pulau lainnya yang lebih besar atau dari daratan utamanya yang menjadi sumber asal
jenis mendatang.

Pengaruh luas pulau terhadap derajat kelimpahan endemik lokal juga sangat nyata. Pada
umumnya pulau-pulau yang lebih besar mempunyai daftar jenis endemik (jenis yang tidak
dijumpai di tempat lain) jauh lebih banyak dari pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil yang
letaknya terpencil, mempunyai tingkat endemisme yang tinggi untuk burung, tetapi tingkat
endemisme untuk tumbuhannya rendah.

D. Ketinggian Tempat

Kenaikan ketinggian suatu tempat, diikuti dengan penurunan dalam kekayaan jenis. Perubahan
besar dalam komposisi jenis terjadi bersamaan dengan adanya peralihan dari habitat dataran
rendah ke habitat pegunungan. Semakin tinggi letaknya, komposisi jenis dan struktur hutan
berubah menjadi terbatas. Kebanyakan vertebrata dataran rendah dapat mencapai ketinggian
yang lebih tinggi daripada flora dataran rendah, akan tetapi jumlah jenisnya menurun pada
ketinggian yang lebih tinggi.

E. Letak Geografis

Letak geografis pulau dapat menentukan pula jumlah jenis penghuninya. Kepulauan Indonesia
berada diantara dua wilayah geografis utama,yaitu wilayah Oriental dan Australia.

Sumber: Balai Diklat Kehutanan Pematang Siantar

http://www.ideelok.com/sumber-daya-alam/penyebaran-populasi-satwa

Prinsip-Prinsip Ekologi

Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen
penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktora biotik antara lain suhu, air,
kelembapan, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang
terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat
dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan
ekosistem yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan
kesatuan.

Faktor Biotik

Faktor biotik adalah faktor hidup yang meliputi semua makhluk hidup di bumi, baik
tumbuhan maupun hewan. Dalam ekosistem, tumbuhan berperan sebagai produsen, hewan
berperan sebagai konsumen, dan mikroorganisme berperan sebagai dekomposer.
Faktor biotik juga meliputi tingkatan-tingkatan
organisme yang meliputi individu, populasi,
komunitas, ekosistem, dan biosfer. Tingkatan-
tingkatan organisme makhluk hidup tersebut dalam
ekosistem akan saling berinteraksi, saling
mempengaruhi membentuk suatu sistemyang
menunjukkan kesatuan. Secara lebih terperinci,
tingkatan organisasi makhluk hidup adalah sebagai
berikut. Perhatikan Gambar.

Gbr. Tingkatan Organisasi Makhluk Hidup

A. Individu
Individu merupakan organisme tunggal seperti : seekor tikus, seekor kucing, sebatang
pohon jambu, sebatang pohon kelapa, dan seorang manusia. Dalam mempertahankan
hidup, seti jenis dihadapkan pada masalah-masalah hidup yang kritis. Misalnya, seekor
hewan harus mendapatkan makanan, mempertahankan diri terhadap musuh alaminya,
serta memelihara anaknya. Untuk mengatasi masalah tersebut, organisme harus memiliki
struktur khusus seperti : duri, sayap, kantung, atau tanduk. Hewan juga memperlihatkan
tingkah laku tertentu, seperti membuat sarang atau melakukan migrasi yang jauh untuk
mencari makanan. Struktur dan tingkah laku demikian disebut adaptasi. Perhatikan Gambar
6.4.

Ada bermacam-macam adaptasi makhluk hidup terhadap lingkungannya, yaitu: adaptasi


morfologi, adaptasi fisiologi, dan adaptasi tingkah laku.

1. Adaptasi morfologi
Adaptasi morfologi merupakan penyesuaian bentuk tubuh untuk kelangsungan hidupnya.
Contoh adaptasi morfologi, antara lain sebagai berikut.
a. Gigi-gigi khusus
Gigi hewan karnivora atau pemakan daging beradaptasi menjadi empat gigi taring besar
dan runcing untuk menangkap mangsa, serta gigi geraham dengan ujung pemotong yang
tajam untuk mencabik-cabik mangsanya. Lihat Gambar 6.5.

b. Moncong
Trenggiling besar adalah hewan menyusui yang hidup di hutan rimba Amerika Tengah dan
Selatan. Makanan trenggiling adalah semut, rayap, dan serangga lain yang merayap. Hewan
ini mempunyai moncong panjang dengan ujung mulut kecil tak bergigi dengan lubang
berbentuk celah kecil untuk mengisap semut dari sarangnya. Hewan ini mempunyai lidah
panjang dan bergetah yangdapat dijulurkan jauh keluar mulut untuk menangkap serangga.
Lihat Gambar 6.6.
c. Paruh
Elang memiliki paruh yang kuat dengan rahang atas yang melengkung dan ujungnya tajam.
Fungsi paruh untuk mencengkeram korbannya. Perhatikan Gambar 6.7

d. Daun
Tumbuhan insektivora (tumbuhan pemakan serangga), misalnya kantong semar, memiliki
daun yang berbentuk piala dengan permukaan dalam yang licin sehingga dapat
menggelincirkan serangga yang hinggap. Dengan enzim yang dimiliki tumbuhan insektivora,
serangga tersebut akan dilumatkan, sehingga tumbuhan ini memperoleh unsur yang
diperlukan.

e. Akar
Akar tumbuhan gurun kuat dan panjang,berfungsi untuk menyerap air yang terdapat jauh
di dalam tanah. Sedangkan akar hawa pada tumbuhan bakau untuk bernapas.
(LihatGambar 6.9).

2. Adaptasi fsiologi
Adaptasi fisiologi merupakan penyesuaian fungsi fisiologi tubuh untuk mempertahankan
hidupnya. Contohnya adalah sebagai berikut.

a. Kelenjar bau
Musang dapat mensekresikan bau busukdengan cara menyemprotkan cairan melalui sisi
lubang dubur. Sekret tersebut berfungsi untuk menghindarkan diri dari musuhnya.

b. Kantong tinta
Cumi-cumi dan gurita memiliki kantong tinta yang berisi cairan hitam. Bila musuh datang,
tinta disemprotkan ke dalam air sekitarnya sehingga musuh tidak dapat melihat kedudukan
cumi-cumi dan gurita. (LihatGambar 6.1 0).

c. Mimikri pada kadal


Kulit kadal dapat berubah warna karena pigmen yang dikandungnya. Perubahan warna ini
dipengaruhi oleh faktor dalam berupa hormon dan faktor luar berupa suhu serta keadaan
sekitarnya. Lihat Gambar 6.11.

3. Adaptasi tingkah laku


Adaptasi tingkah laku merupakan adaptasi yang didasarkan pada tingkah laku. Contohnya
sebagai berikut :

a. Pura-pura tidur atau mati


Beberapa hewan berpura-pura tidur atau mati, misalnya tupai Virginia. Hewan ini sering
berbaring tidak berdaya dengan mata tertutup bila didekati seekor anjing.

b. Migrasi
Ikan salem raja di Amerika Utara melakukan migrasi untuk mencari tempat yang sesuai
untuk bertelur. Ikan ini hidup di laut. Setiap tahun, ikan salem dewasa yang berumur empat
sampai tujuh tahun berkumpul di teluk disepanjang Pantai Barat Amerika Utara untuk
menuju ke sungai. Saat di sungai, ikan salem jantan mengeluarkan sperma di atas telur-
telur ikan betinanya. Setelah itu ikan dewasa biasanya mati. Telur yang telah menetas
untuk sementara tinggal di air tawar. Setelah menjadi lebih besar mereka bergerak ke
bagian hilir dan akhirnya ke laut. Perhatikan Gambar 6.12.
B. Populasi
Kumpulan individu sejenis yang hidup padasuatu daerah dan waktu tertentu disebut
populasi Misalnya, populasi pohon kelapa dikelurahan Tegakan pada tahun 1989 berjumlah
2552 batang.

Ukuran populasi berubah sepanjang waktu. Perubahan ukuran dalam populasi ini disebut
dinamika populasi. Perubahan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus perubahan
jumlah dibagi waktu. Hasilnya adalah kecepatan perubahan dalam populasi. Misalnya, tahun
1980 populasi Pinus di Tawangmangu ada 700 batang. Kemudian pada tahun 1990 dihitung
lagi ada 500 batang pohon Pinus. Dari fakta tersebut kita lihat bahwa selama 10 tahun
terjadi pengurangan pohon pinus sebanyak 200 batang pohon. Untuk mengetahui
kecepatan perubahan maka kita membagi jumlah batang pohon yangberkurang dengan
lamanya waktu perubahan terjadi :

700 - 500 = 200batang


1990-1980 10 tahun

= 20 batang/tahun

Dari rumus hitungan di atas kita dapatkan kesimpulan bahwa rata-rata berkurangnya pohon
tiap tahun adalah 20 batang. Akan tetapi, perlu diingat bahwa penyebab kecepatan rata-
rata dinamika populasi ada berbagai hal. Dari alam mungkin disebabkan oleh bencana alam,
kebakaran, serangan penyakit, sedangkan dari manusia misalnya karena tebang pilih.
Namun, pada dasarnya populasi mempunyai karakteristik yang khas untuk kelompoknya
yang tidak dimiliki oleh masing-masing individu anggotanya. Karakteristik iniantara lain :
kepadatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), potensi biotik,
penyebaran umur, dan bentuk pertumbuhan. Natalitas danmortalitas merupakan penentu
utama pertumbuhan populasi.

Dinamika populasi dapat juga disebabkan imigrasi dan emigrasi. Hal ini khusus untuk
organisme yang dapat bergerak, misalnyahewan dan manusia. Imigrasi adalahperpindahan
satu atau lebih organisme kedaerah lain atau peristiwa didatanginya suatu daerah oleh satu
atau lebih organisme; didaerah yang didatangi sudah terdapat kelompok dari jenisnya.
Imigrasi ini akan meningkatkan populasi.

Emigrasi adalah peristiwa ditinggalkannya suatu daerah oleh satu atau lebih organisme,
sehingga populasi akan menurun. Secara garis besar, imigrasi dan natalitas akan
meningkatkan jumlah populasi, sedangkan mortalitas dan emigrasi akan menurunkan
jumlah populasi. Populasi hewan atau tumbuhan dapat berubah, namun perubahan tidak
selalu menyolok. Pertambahan atau penurunan populasi dapat menyolok bila ada gangguan
drastis dari lingkungannya, misalnya adanya penyakit, bencana alam, dan wabah hama.

C. Komunitas
Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah
tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memiliki
derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi.

Dalam komunitas, semua organisme merupakan bagian dari komunitas dan antara
komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya.

D. Ekosistem
Antara komunitas dan lingkungannya selalu terjadi interaksi. Interaksi ini menciptakan
kesatuan ekologi yang disebut ekosistem. Komponen penyusun ekosistem adalah produsen
(tumbuhan hijau), konsumen (herbivora, karnivora, dan omnivora), dan
dekomposer/pengurai (mikroorganisme).

Faktor Abiotik
Faktor abiotik adalah faktor tak hidup yang meliputi faktor fisik dan kimia. Faktor fisik
utama yang mempengaruhi ekosistem adalah sebagai berikut.

a. Suhu
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan
organisme untuk hidup. Ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran
suhu tertentu.

b. Sinar matahari
Sinar matahari mempengaruhi ekosistem secara global karena matahari menentukan suhu.
Sinar matahari juga merupakan unsur vital yang dibutuhkan oleh tumbuhan sebagai
produsen untuk berfotosintesis.

c. Air
Air berpengaruh terhadap ekosistem karena air dibutuhkan untuk kelangsungan hidup
organisme. Bagi tumbuhan, air diperlukan dalam pertumbuhan, perkecambahan, dan
penyebaran biji; bagi hewan dan manusia, air diperlukan sebagai air minum dan sarana
hidup lain, misalnya transportasi bagi manusia, dan tempat hidup bagi ikan. Bagi unsur
abiotik lain, misalnya tanah dan batuan, air diperlukan sebagai pelarut dan pelapuk.

d. Tanah
Tanah merupakan tempat hidup bagi organisme. Jenis tanah yang berbeda menyebabkan
organisme yang hidup didalamnya juga berbeda. Tanah juga menyediakan unsur-unsur
penting bagi pertumbuhan organisme, terutama tumbuhan.

e. Ketinggian
Ketinggian tempat menentukan jenis organisme yang hidup di tempat tersebut, karena
ketinggian yang berbeda akan menghasilkan kondisi fisik dan kimia yang berbeda.

f. Angin
Angin selain berperan dalam menentukan kelembapan juga berperan dalam penyebaran biji
tumbuhan tertentu.

g. Garis lintang
Garis lintang yang berbeda menunjukkan kondisi lingkungan yang berbeda pula. Garis
lintang secara tak langsung menyebabkan perbedaan distribusi organisme di permukaan
bumi. Ada organisme yang mampu hidup pada garis lintang tertentu saja.

Biogeografi dan Persebaran Hewan di Muka Bumi

Biogeografi adalah ilmu yang mempelajari penyebaran organisme di muka bumi. Organisme
yang dipelajari mencakup organisme yang masih hidup dan organisme yang sudah punah.
Dalam biogeografi dipelajari bahwa penyebaran organisme dari suatu tempat ke tempat lainnya
melintasi berbagai faktor penghalang. Faktor-faktor penghalang ini menjadi pengendali
penyebaran organisme. Faktor penghalang yang utama adalah iklim dan topografi. Selain itu,
faktor penghalang reproduksi dan endemisme menjadi pengendali penyebaran organisme.

Akibat dari hal tersebut di atas maka di permukaan bumi ini terbentuk kelompok-kelompok
hewan dan tumbuhan yang menempati daerah yang berbeda-beda. Sebagai contoh bunga sakura
tumbuh di Jepang, bunga tulip di Belanda, kera bekantan hidup di Kalimantan, burung maleo di
Sulawesi dan Maluku. Sehingga tanaman dan hewan menjadi ciri khas pada suatu daerah di
belahan bumi. Tanaman nanas yang berasal dari Amerika Utara tumbuh subur di Hawaii dan di
Asia. Pohon bambu banyak yang hidup di sekitar Asia Barat. Luas daerah yang dapat ditempati
tumbuhan maupun hewan, berkaitan dengan kesempatan dan kemampuan mengadakan
penyebaran. Biogeografi mempelajari penyebaran hewan maupun tumbuhan di permukaan
bumi. Ilmu yang mempelajari peyebaran hewan di permukaan bumi disebut zoogeografi.

Penyebaran hewan berdasarkan luas cakupannya dapat dibedakan menjadi cakupan geografis,
cakupan geologis, dan cakupan ekologis. Cakupan geografis yaitu daerah penyebarannya
meliputi daratan dan sistem perairan. Cakupan geologis, yaitu keadaan daratan dan lautan di
masa lampau. Cakupan ekologis adalah daerah penyebarannya dengan kondisi lingkungan yang
sesuai.

Faktor-faktor yang mempengaruhi biota tersebut adalah adanya tekanan dari individu lain yang
mendominasi suatu tempat tertentu. Faktor lain adanya kompetisi, predator, penyakit,
kekurangan persediaan makanan, perubahan musim dan kurangnya tempat untuk berlindung.

Penyebaran hewan dari protozoa sampai mamalia sebagian terjadi secara dinamis. Penyebaran
secara dinamis artinya hewan melakukan penyebaran oleh dirinya sendiri. Faktor luar yang
mempengaruhi penyebaran hewan maupun tumbuhan dan biasanya menghambat dinamakan
“barier” atau “sawar”. Sawar ini dapat dibedakan menjadi sawar fisik, sawar iklim, dan sawar
biologis.

Sawar fisik air menjadi penghambat penyebaran hewan darat dan sebaliknya sawar fisik darat
menjadi penghambat penyebaran hewan air. Misalnya katak tidak apat hidup pada air asin. Jadi
salinitas merupakan penghambat bagi penyebaran hewan katak. Adapun luas benua menjadi
hambatan bagi penyebaran hewan air.

Sawar iklim seperti temperatur rata-rata, musim, kelembapan, kuat lemahnya penyinaran serta
lamanya peyinaran sinar matahari. Sedangkan sawar biologis adalah tidak adanya makanan,
adanya predator, competitor, pesaing atau adanya penyakit. Penyebaran suatu jenis serangga
dibatasi penyebarannya oleh jenis tanaman sebagai makanan, tempat berlindung, dan tempat
untuk reproduksi. Pada kenyataannya, ketiga jenis sawar tersebut bekerja secara terpadu untuk
mempengaruhi atau menghambat penyebaran suatu biota. Hal lain yang dapat menghambat
penyebaran biota adalah rendahnya toleransi terhadap kondisi faktor lingkungan yang maksimum
atau minimum. Hukum toleransi minimum Liebig yang menyatakan bahwa ketahanan makhluk
hidup disebabkan oleh adanya faktor esensil tetapi berada dalam kondisi yang minimum dan
individu tersebut memiliki daya toleransi yang rendah untuk dapat beradaptasi. Bintang laut
hidup pada berbagai kadar garam tetapi bintang laut hanya dapat berkembangbiak pada air yang
kadar garamnya sangat rendah.

Persebaran Hewan di Muka Bumi

Ilmuwan kenamaan Inggris yang bernama Alfred Russel Wallace, pada tahun 1867 melakukan
peyelidikan tentang persebaran hewan di muka bumi. Wallace mengemukakan bahwa
permukaan bumi dapat dibagi menjadi enam kawasan persebaran hewan yang masing-masing
ditandai dengan spesies-spesies yang unik. Enam kawasan tersebut adalah kawasan Neartik,
Paleartik, Ethiopia, Oriental, Neotropik, dan Australia. Masing-masing daerah mempunyai ciri
khas. Kekhasan ini disebabkan oleh faktor geografis, cuaca, iklim, dan lain sebagainya. Fauna
yang ditemukan di daerah Paleartik dan Neartik adalah serupa, sehingga para pakar sering
menyebutnya sebagai daerah Holartik. Masing-masing daerah biogeografi tersebut mencakup
sebagian besar daratan benua. Antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dipisahkan
oleh suatu sawar atau rintangan.

Kepadatan Populasi
Senin, 17 Agustus 2009 | By AFRIZA

I.PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Kepadatan populasi satu jenis atau kelompok hewan dapat dinyatakan dalam dalam bentuk jumlah atau
biomassa per unit, atau persatuan luas atau persatuan volume atau persatuan penangkapan. Kepadatan
pupolasi sangat penting diukur untuk menghitung produktifitas, tetapi untuk membandingkan suatu
komunitas dengan komnitas lainnya parameter ini tidak begitu tapat. Untuk itu biasa digunakan
kepadatan relative. Kepadatan relative dapat dihitung dengan membandingkan kepadatan suatu jenis
dengan kepadatan semua jenis yang terdapat dalam unit tersebut. Kepadatan relative biasanya
dinyatakan dalam bentuk persentase.(Suin.N.M.1989)

Rataan populasi biasanya dilambangkan dengan μ (Mui). Rumus metematikanya adalah μ=∑ X / n
dengan μ = rataan sutau populasi ∑= penjumlahan X= nilai-nilai pengamatan dalam suatu populasi, dan n
adalah jumlah individu.

Pada kenyataannya suatu populasi dapat sangat besar sehingga tidak memungkinkan untuk semua
individu yang ada dalam populasi tersebut. Pada kasus seperti ini sample yang digunakan untuk
menghitung rataan populasi. Lambang yang digunakan untuk sample ini adalah X. Rumus
matematikanya sama dengan matematika untuk rataan populasi. Individu-individu yang diambil sebagai
sample haruslah acak sehingga dapat mewakili populasi. Ukuran besar kecilnya sa,pel sangatlah penting.
Dalam hal ini semakin besar sample maka semakin mewakili populasi.(Rachman.R.1996)
Populasi ditafsirkan sebagai kumpulan kelompok makhluk yang sama jenis (atau kelompok lain yang
individunya mampu bertukar informasi genetic) yang mendiami suatu ruangan khusus, yang memiliki
berbagai karakteristik yang walaupun paling baik digambarkan secara statistic, unik sebagai milik
kelompok dan bukan karakteristik individu dalam kelompok itu (Soetjipta.1992)

B.Tujuan Penelitian:

Menerapkan metode Capture-mark-realease-Recapture untuk memperkirakan besatnya populasi


simulan (Objek simulasi) dan membandingkan hasil estimasi dari 2 rumus yaitu rumus Petersen dan
schanabel.

II.TINJAUAN PUSTAKA

Setelah meninjau keanekaragaman yang tinggi dari spesies di daerah tropika, sekarang kita dapat
meninjau corak dari populasi. Walaupun istilah populasi itu dapat mencakup varietas, ekosipe /
kelompok lain yang mungkin saja merupakan satuan ekologi, populasi merupakan berbagai ciri khas
tambahan yang berbeda dari dan ciri lainnya yang merupakan tambahan pada, ciri umum individunya
yang membentuk kelompok itu.

Diantaranya ciri yang sama-sama dimiliki oleh populasi dan individu ialah kenyataan bahwa populasi
mempunyai riwayat hidup sebagaimana tampak dari kenyataan bahwa populiasi tumbuh,
mengkhususkan dan memelihara dirinya dan bahwa populasi memiliki susunan di struktur yang pasti
yang dapat diberikan dalam hubungan yang sama seperti individu.

Ciri kelompok mencakup berbagai corak seperti angka kelahiran/ laju berbiak angka kematian, susunan
kelamin/ sistem reproduksi, struktur umur, sebaran dan stuktur sosial.(Ewusie.Y.1990)

Pengetahuan tentang pertumbuhan dan pengaruh individu populasi merupakan dasar untuk memahami
struktur dan dinamika ekologi. Semua spesies memiliki potensi tumbuh yang tinggi pada kondisi
optimum.

Jumlah kelahiran dan kematian mungkin berfluktasi secara luas sebagai respon terhadap pengaruh
lingkungan yang berbeda, tetapi jumlah itu mendekati seimbang dalam waktu yang lama.

Interaksi species seperti predasi, kompetisi dan herbivore akan mengatup naik turunnya pertumbuhan
populasi.

Populasi terdiri dari banyak individu yang tersebar pada rentangan goegrafis. Tetapi individu itu tidak
selalu tersebar merata. Ada pola penyebaran, yaitu menggerombol, acak dan tersebar.

Pola distribusi ini disebabkan oleh tipe tingkah laku individu yang berbeda. Disatu pihak, menggerombol
sebagai akibat dari tertariknya individu-individu pada tempat yang sama, apakah karna lingkungan yang
cocok atau tempat berkumpul untuk fungsi sosial. Misalnya perkawinan, dipihak lain tersebar sebagai
interaksi antagonis antar individu. Dalam hal tidak adanya daya tarik bersama/penyebaran sosial
individu-individu lain dalam populasi.

Contoh pertumbuhan potensial populasi manusia yang terdiri dari banyak wanita umur 15-35 tahun
adalah lebih besar pada populasi yang terdiri dari kebanyakan laki-laki tua/anak-anak.

Tingkat pertumbuhan populasi yaitu sebagai hasil akhir dari kelahiran dan kematian, juga
mempengaruhi struktur umur dan populasi.(Hadisubroto.T.1989)

Ukuran populasi umumnya bervariasi dari waktu, biasanya mengikuti dua pola. Beberapa populasi
mempertahankan ukuran poulasi mempertahankan ukuran populasi, yang relative konstan sedangkan
pupolasi lain berfluktasi cukup besar. Perbedaan lingkungan yang pokok adalah suatu eksperimen yang
dirangsang untuk meningkatkan populasi grouse itu. Penyelidikan tentang dinamika populasi, pada
hakekatnya dengan keseimbangan antara kelehiran dan kematian dalam populasi dalam upaya untuk
memahami pada tersebut di alam.(Naughton.Mc.1973)

Suatu populasi dapat juga ditafsirkan sabagai suatu kelompok yang sama. Suatu populasi dapat pula
ditafsirkan sebagai suatu kolompok makhuk yang sama spesiesnya dan mendiami suatu ruang khusus
pada waktu yang khusus. Populasi dapat dibagi menjadi deme, atau populasi setempat, kelompok-
kelompok yang dapat saling membuahi, satuan kolektif terkecil populasi hewan atau tumbuhan.

Populasi memiliki beberapa karakteristik berupa pengukuran statistic yang tidak dapat diterapkan pada
individu anggota opulasi. Karakteristik dasar populasi adalah besar populasi atau kerapatan.

Kerapatan populasi ialah ukuran besar populasi yang berhubungan dengan satuan ruang, yang
umumnya diteliti dan dinyatakan sabagai cacah individu atau biomassa per satuan luas per satuan isi.
Kadang kala penting untuk membedakan kerapatan kasar dari kerapatan ekologik (=kerapatan spesifik).

Kerapatan kasar adalah cacah atau biomassa persatuan ruang total, sedangkan kerapatan ekologik
adalah cacah individu biomassa persatuan ruang habitat.

Dalam kejadian yang tidak praktis untuk menerapkan kerapatan mutklak suatu populasi. Dalam pada itu
ternyata dianggap telah cukup bila diketahui kerapan nisbi suatu populasi.

Pengukuran kerapatan mutlak ialah dengan cara :

1. Penghitungan menyeluruh yaitu cara yang paling langsung untuk mengerti berapakah makhluk yang di
pertanyakan di sutau daerah adalah menghitung makhluk tersebut semuanya.

2. Metode cuplikan yaitu dengan menghitung proporsil kecil populasi.(PETERSON). (Soetjipta.1992)


Untuk metode sampling biotik hewan bergerak biasanya digunakan metode CAPTURE-RECAPTURE.
Merupakan metode yang sudah popular untuk menduga ukuran populasi dari suatu spesies hewan yang
bergerak cepat seperti ikan, burung dan mamalia kecil. Metoda ini ada beberapa cara yaitu:

1. Metoda Linceln-Peterson

Metoda ini pada dasrya menangkap sejumlah individu dari suatu populasi hewan yang akan dipelajari.
Individu yang ditangkap kemudian diberi tanda yang mudah di baca, kemudian dilepaskan kembali
dalam periode waktu yang pendek. Setelah beberapa hari ditangkap kembali dan dihitung yang
bertanda yang tertangkap.

Dari dua kali hasil penangkapan dapat diduga ukuran atau besarnya populasi (N) dengan rumus:

N/M=n/R atau N=(M)(n)/R

Dengan:

N= besarnya populasi total.

M=jumlah induvidu yang tertangkap pada penangkapan pertama.

n= jumlah induvidu yang tertangkap pada penangkapan kedua.

R=Individu yang bertanda dari penangkapan pertama yang tertangkap kembali pada penangkapan
kedua.

Pada metode pendugaan populasi yang dilakukan dengan menarik sample, selalu ada kesalahan (Error).
Untuk menghitung kesalahan metode capture-recapture dapat dilakukan dengan cara menghitung
kesalahan baku (Standart Errror = SE nya)

SE= √(M)(n)(M-R)(n-R) : R3

Setelah diketahui SE nya dapat ditentukan selang kepercayaannya:

N=(1)(SE)

Dengan catatan, t=(df) Dalam table distribusi t

Α(tingkat signifikasi)=0,05
Untuk menghitung kepadatan (d) populasi pada hewan disuatu habitat tertentu (A) maka dihitung
dengan rumus :

D=N/A

2. Metode Schnabel

Untuk memperbaiki keakuratan metode Lincon-Peterson (Karena sample relatif kecil), dapat digunakan
schanabel.

Metode ini selain membutuhkan asumsi yang sama dengan metode lincon-peterson, juga ditambahkan
dengan asumsi bahwa ukuran populasi harus konstan dari satu periode sampling dengan periode yang
berikutnya.

Pada metode ini penangkapan dan pelepasan hewan lebih dari 2 kali. Untuk periode setiap sampling,
semua hewan yang belum bertanda diberi tanda dan dilepaskan kembali. Dengan cara ini populasi dapat
diduga dengan rumus:

N=∑(ni Mi)/∑Ri

Dengan catatan:

Mi = adalah jumlah total hewan yang tertangkap period eke I ditambah periode sebelumnya,

Ni = adalah hewan yang tertangkap pada periode i

Ri = adalah hewan yang tertangkap kembali pada periode ke i

KArena pengambilan sample diatas akan mengurangi kesalahan sampling.

Maka Standar Error pada metode ini dapat dihitung dengan rumus:

SE = 1/√1(N-Mi)=(k-1)/N -∑(1/N-ni))

Dengan catatan:
K = jumlah periode sampling

Mi=Jumlah total hewan yang bertanda.(Sugianto.A.1994)

III.BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat

A.WAKTU : Kamis

B.TEMPAT : Laboratorium Universitas Jambi

Lantai II Ruangan Labor Biologi-Unja

Jambi- Mendalo Darat

Alat dan Bahan :

Alat:

Dua buah toples

Bahan:

Kancing baju berwanna putih berjumlah ± setengah dari tinggi toples.

Kancing baju berwarna hitam berjumlah ± setengah dari tinggi toples.

Prosedur Kerja:

1. Diambil segenggam kancing baju hitam dalam toples, dan menukarkan kancing tersebut dengan
kancing berwarna putih sebagai hewan yang ditandai.

2. Dikocok toples agar kancing homogen.

3. Diambil cuplikan yang kedua dengan cara yang sama, apabila terdapat sejumlah kancing berwarna
lain dianggap sebagai (Ri).

4. Dilakukan cuplikan tersebut sebanyak 10 kali.


5. Dihitung dengan rumus Scanabel dan Peterson.

6. Data yang didapat diisi di dalam table yang telah tersedia dibuku penuntun praktikum.

IV.HASIL BAN PEMBAHASAN

A.Hasil

a. Peterson: Untuk kancing warna hitam

knRMN

33 2

33

545

Schanabel: Untuk kancing warna hitam

K Ni Ri ∑Hewan bertanda Mi Mi ni

1 35 - 35 - -

2 40 7 33 35 1400

3 38 8 30 68 2584

4 36 7 29 98 3276

5 39 10 29 127 4095

b. Peterson: Untuk kancing warna putih

knRMN

1
27

27

209

Schanabel: Untuk kancing warna putih

K ni Ri ∑Hewan bertanda Mi Mi ni

1 30 - 30 - -

2 37 5 32 30 1110

3 28 7 21 62 1736

4 28 5 23 83 2324

5 37 11 26 106 3922

B.Pembahasan

Dari praktikum yang telah dilakukan mengenai simulasi estimasi populasi hewan. Kami mendapatkan
Hasil yang sudah tertera diatas.Hasil perhitungan menggunakan rumus SCHANABEL, maka didapat hasil
301 dan standart errornya adalah 22,9 dan selang kepercayaannya 260 < N <346. Sedangkan pada data
yang dilakukan perhitungan dengan PETERSON didapat hasil 770 dan standart errornya adalah 131 dan
selang kepercayaannya 1 < N < 513.Dan selisih yang didapat adalah 44 maka dapat dipastikan bahwa
selang kepercayaannya dapat diterima karna selisih dari dua perhitungan rumus ini adalah kecil dari 50.

Menurut Sugianto,agus. Model Peterson menangkap sejumlah individu dari sujumlah populasi hewan
yang akan dipelajari. Individu yang ditangkap itu diberi tanda kemudian dilepaskan kembali dalam
beberapa waktu yang singkat. Setelah itu dilakukan pengambilan ( Penangkapan Ke 2 terhadap sejulah
individu dari populasi yang sama. Dari penangkapan kedua inilah diidentifikasi indifidu yang bertanda
yang berasal dari penangkapan pertama dan individu yang tidak bertanda dari hasil penangkapan ke
dua. Kami mendapatkan rumus Peterson dari hasil praktikun yang kami lakukan yaitu :

N/M=n/R atau N=(M)(n)/R


Dengan:

N= besarnya populasi total.

M=jumlah induvidu yang tertangkap pada penangkapan pertama.

n= jumlah induvidu yang tertangkap pada penangkapan kedua.

R=Individu yang bertanda dari penangkapan pertama yang tertangkap kembali pada penangkapan
kedua.

Dan hasil dari standar errernya menggunakan rumus:

SE= √(M)(n)(M-R)(n-R) : R3

= 131

Sedangkan hasil model scanabel yang kami dapati yaitu menggunakan rumus :

N=∑(ni Mi)/∑Ri

=301

Dan untuk kesalahan Baku (SE),dapat dihitung engan rumus :

SE = 1/√1(N-Mi)=(k-1)/N -∑(1/N-ni))

= 22,9

Setelah menentukan standar errornya kemudian ditentukan selang kepercayaannya menggunakan


rumus :

N=(1)(SE)

=260 < N < 346

Metode schanebel ini dapat digunakan untuk mengurangi ke tidak valitan dalam metode PETERSON.
Metode ini membutuhkan asumsi yang sama dengan metode Peterson yang ditambahkan dengan
asumsi bahwa ukuran populasi harus konstan dari suatu periode sampling dengan periode berikutnya.
Pada metode ini penangkapan penandaan dan pelepasan hewan dilakukan lebih dari 2 kali. Untuk setiap
periode sampling semua hewan yang belum bertanda diberi tanda dan dilepaskan kembali. (Agus.1994)
KESIMPULAN:

1. Dengan menggunakan rumus SCHANABEL maka didapat hasil 301

2. Sedangkan dalam rumus PETERSON didapat hasil 257

3. Dan selisih antara SCHANABEL dan PETERSON adalah 301-257=44

4. PETERSON dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

N/M=n/R atau N=(M)(n)/R

Dengan:

N= besarnya populasi total.

M=jumlah induvidu yang tertangkap pada penangkapan pertama.

n= jumlah induvidu yang tertangkap pada penangkapan kedua.

R=individu yang bertanda dari penangkapan pertama yang tertangkap kembali pada penangkapan
kedua.

5. SCHANABEL dapat dihitung dengan mengunakan rumus :

N=∑(ni Mi)/∑Ri

Dengan catatan:

Mi = adalah jumlah total hewan yang tertangkap period eke I ditambah periode sebelumnya,

Ni = adalah hewan yang tertangkap pada periode i

Ri = adalah hewan yang tertangkap kembali pada periode ke i

DAFTAR PUSTAKA

Ewusie,yanney.1990. Ekologi Tropika.ITB Press:Bandung

Hadisubroto,tisno.1989. Ekologi Dasar.DeptDikBud : Jakarta

Naughhton.1973. Ekologi Umum edisi Ke 2. UGM Press : Yogyakarta

Rachaman,ronny.1996.Genetika Ternak.Penebar Swadaya: Jakarta


Soegianto,agus.1994,Ekologi Kwantatif. Usaha Nasional : Surabaya

Soetjipta.1992.Dasar-dasar Ekologi Hewan.DeptDikBud DIKTI : Jakarta

Suin,nurdin Muhammad.1989. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara : Jakarta

Populasi

Pengertian populasi

Populasi adalah kumpulan individu-individu yang tergolong dalam spesies yang sama yang
mendiami suatu wilayah tertentu, dan pada suatu saat tertentu. Berdasarkan konsep tentang spesie
yang telah dianut sampai saat ini, maka ditetapkan bahwa suatu makhluk dapat dikatakan satu spesies
dengan yang lain adalah bila diantaara mereka saling mengadakan perkawinan dan menghasilkan
keturunan yang fertile. Disamping itu makhluk-makhluk yang ada dalam satu spesies biasanya morfologi
dan anatomi yang relative sama, atau kalaupun ada variasi maka perbedaannya tidak begitu banyak.

Sedikit lebih khusus dari populasi adalah deme yang didefenisikan sebagai populasi setempat
atau local yang dapat saling mengadakan perkawinan diantara angota-anggotanya secara alamiah.
Untuk dapat mengadakan perkawinan, maka peluang bertemunya jantan dan betina haruslaj cukup
memadai. Hal ini terwujud bila secara spatial posisi diantara mereka saling berdekatan.

Ciri-ciri populasi

Suatu populasi memiliki cirri-ciri atau sifat tertentu yang tidak dimiliki oleh masing-masing
individu yang menjadi anggotanya. Cirri atau sifat yang dimiliki oleh populasi dapat digolongkan menjadi
dua yaitu sifat statistic dan sifat genetic. Sifat statistic meliputi densitas, natalitas, mortalitas, agihan
umur, sex ratio, potensi biotic, pencaran dan bentuk pertumbuhan. Sifat genetic meliputi keadaptifan,
ketegaran, reproduktif dan peristensi.

1.      Densitas (kepadatan)

Densitas adalah suatu istilah untuk menyatakan jumlah individu yang menjadi anggota populasi
dalam suatu satuan luas wilayah atau volume ruang yang ditempati oleh populasi tersebut. Kepadatan
populasi untuk hewan yang terdistribusi hanya horizontak atau hanya vertical biasa dinyatakan dalam
satuan individu per luas bidang, sedangkan kepadatan populasi hewan yang terdistribusi secara
horizontal dan vertical bisa dinyatakan dalam satuan individu per volume ruang.

Atas dasar skup dan wilayah atau ruangnya, kepadatan populasi hewan dapat dibedakan
menjadi dua macam yaitu kepadatan kasar dan kepadatan ekologik. Kepadatan kasar adalah istilah
untuk menyatakan jumlah individu anggota populasi per satuan luas atau volume ruang yang
sesungguhnya dihuni oleh populasi itu. Sebagai contoh, bila disebutkan tentang kepadatan populasi
biawak komodo ( Varamus komodoensis ) di NTT, maka ini termasuk kepadatan kasar karena tidak
seluruh wilayah NTT dihuni oleh biawak komodo ini. Berbeda halnya bila disebutkan tentang kepadatan
populasi biawak komodo di pulau komodo yang mana ini termasuk kepadatan ekologik karena di pulau
komodo inilah sesungguhnya biawak komodo berada.

Atas dasar tingkat kapasitasnya maka kepadatan populasi dapat dibedakan menjadi dua macam
yaitu kepadatan absolute dan kepadatan nisbi. Kepadatan absolute merupakan nilai kepadatan suatu
populasi yang diperoleh dengan perhitungan rasio antara jumlah individu dengan satuan luas atau
volume ruang yang dihuni. Kepadatan nisbi merupakan kepadatan populasi yang diperoleh dengan
membandingkan jumlah individu pada suatu tempat atau pada suatu wwaktu dengan jumlah individu
sejenis pada tempat atau waktu yang lain.

Untuk mengetahui kepadatan absolute suatu populasi maka ada dua cara yang dapat dilakukan
yaitu perhitungan total dan dengan pengambilan sampel. Metode penghitungan total merupakan
metode dengan kepastian paling tepat karena dapat menghitung seluruh anggota populasi satu demi
satu tanpa kecuali. Kelemahan dari metode ini adalah banyak menghabiskan waktu, tenaga dan biaya
dan teknis kadang-kadang tidak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, metode ini jarang dilakukan kecuali
untuk populasi-populasi yang jumlahnya sedikit, penyebarannya tidak luas dan tingkat mobilitas
hewannya cukup rendah. Sehubungan dengan kelemahan metode perhitumgan total tersebut, maka
metode yang sering dipakai adalah pengambilan sampel. Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan
dua cara yaitu metode kuadrat dan metode tangkap lepas ( metode Peterson ). Dalam, menggunakan
metode kuadrat, maka agar hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, ada tiga ketentuan
yang harus dipenuhi yaitu, 1) jumlah individu di dalam kuadrat harus dapat dihitung secara tepat. 2) luas
kuadrat harus diketahui 3) peempatan kuadrat harus acak. Berbeda dengan metode kuadrat, maka
metode tangkap lepas terdiri atas empat tahapan kegiatan yaitu 1) menangkap sejumlah hewan untuk
ditandai 2) menandai hewan yang telah ditangkap agar dapat dibedakan dari yang lainnya 3) melepas
kembali hewan yang telah ditandai itu dengan maksud memberikan kesempatan untuk berbaur dengan
hewan yang tidak bertanda 4) melakukan penangkapan secara acak sehingga yang tertangkap terdiri
atas hewan yang bertanda dan tidak bertanda. Dengan berakhirnya langkah keempat ini, maka
diperoleh nilai proporsi antara hewan bertanda dengan yang tidak bertanda, dan untuk selanjutnya nilai
proporsi ini dipakai dasar perhitungan untuk mengetahui jumlah proporsi sesungguhnya. Dalam
menerapkan metode tangkap lepas ini dipergunakan tiga asumsi yaitu 1) hewan yang bertanda dan tidak
bertanda dapat tertangkap secara acak 2) hewan yang bertanda dan tidak bertanda memiliki peluang
untuk mati yang sama, 3) tanda yang pernah diberikan kepada hewan tidak pernah hilang.

Berbicara tentang kepadatan nisbi (relatif) maka cara-cara yang dapat ditempuh untuk
mengetahuinya 1) memasang jebakan 2) menghitung cacah butir tinja 3) menghitung frekuensi
vokalisasi 4) melihat catatan kulit 5) menghitung sepintas di jalanan 6) menyebar kuisioner untuk para
pemburu, pengail 7) menghitung jumlah tangkapan persatuan usaha penangkapan 8) menghitung
frekuensi permunculan dalam kuadrat.

Terlepas dari metode untuk mengetahu kepadatan populasi suatu hewan, maka kiranya cukup
menarik untuk dibicarakan tentang bagaimana kepadatan populasi hewan yang ada di ala mini diatur.
Kenyataan menunjukkan bahwa kepadatan populasi di alam tidaklah meningkat secara terus-menerus
tanpa batas, melainkan memiliki suatu batas maksimum yang tidak dapat dilampaui lagi. Adanya batas
maksimum ini adalah sebagai akibat adanya mekanisme yang mengatur kepadatan itu mekanisme yang
mengatur kepadatan ini dua macam yaitu mekanisme yang etrgantung pada kepadatan itu sendiri, dan
mekanisme yang tidak tergantung pada kepadatan itu. Untuk lebih jelasnya, berikut diuraikan satu demi
satu .

a.       Mekanisme yang tergantung pada kepadatan ( density dependent ). Mekanisme ini menggambarkan
bahwa kepadatan suatu populasi dikendalikan oleh kepadatan populasi itu sendiri dengan segala
konsekuensi dari kepadatan lain. Hal ini dapat terjadi melalui beberapa cara yaitu : 1) kompetisi 2)
penularan penyakit 3) parasitisme 4) akumulasi ampas metabolisme beracun 5) polusi termal 6)
penurunan fertilitas 7) perubahan perilaku.

b.      Mekanisme yang tidak bergantung pada kepadatan ( density independent ). Mekanisme ini
menggambarkan bahwa kepadatan suatu populasi tidak dipengaruhi oleh kepadatan itu, tetapi
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang biasanya bersifat geofisik-kimiawi. Beberapa faktor yang dapat
berpengaruh antara lain 1) bencana alam 2) kondisi lingkungan yang krisis atau ekstrim 3) adanya
pencemaran lingkungan 4) pengaruh tak langsung dari suatu faktor lingkungan (misalnya kelembaban
dapat memacu pertumbuhan jamur pathogen yang dapat mengganggu populasi serangga).

Parameter Utama Suatu Populasi

Jumlah anggota suatu populasi secara temporal dapat berfluktuasi sebagai akibat adanya empat
fenomen yaitu natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), imigrasi dan emigrasi. Keempat fenomena ini
merupakan parameter utama suatu populasi.

1.         Natalitas (kelahiran)

Natalitas merupakan istilah untuk menyatakan jumlah kelahiran yang terjadi di dalam suatu populasi
dalam kurun waktu tertentu. Secara ekologis, istilah kelahiran dapat bermakna luas yaitu segala jenis
produksi keturunan yang mengakibatkan terbentuknya individu baru sebagai hasil kegiatan reproduktif.
Jenis produksi keturunan ini dapat meliputi vivipar (beranak), ovipar (bertelur), ovovivipar ( bertelur
beranak), bertunas (bagi hydra), fragmentasi (bagi cacing pita), dan pembelahan sel (bagi protozoa). Bagi
tumbuhan, produksi keturunan dapat berwujud pembentukan biji, spora, tunas adventif, tunas daun,
akar tunggal, dan pembelahan sel (bagi bakteri dan alga uniseluler).

Natalitas memiliki dua pengertian yaitu kelahiran fisiologis dan kelahiran ekologis. Kelahiran
fisiologis merupakan jumlah kelahiran maksimum dalam kondisi yang ideal tanpa adanya faktor
pembatas. Karena sulitnya menemukan kondisi yang ideal tanpa faktor pembatas, maka kelahiran
fisiologis hanyalah bersifat teoritis. Kelahiran ekologis adalah jumlah kelahiran nyata dalam kondisi
lingkungan yang sesungguhnya.

Dalam kaitannya dengan angka kelahiran, maka ada dua parameter yang cukup berpengaruh
yaitu fertilitas dan kfekunditas. Fertilitas merupakan istilah untuk menyatakan kemampuan nyata bagi
suatu populasi untuk melahirkan anak selama usia subur. Fekunditas merupakan istilah untuk
menyatakan kemampuan maksimum bagi suatu populasi untuk melahirkan anak selama usia subur.

2.         Mortalitas

Mortalitas merupakan istilah untuk menyatakan jumlah kematian yang terjadi di dalam suatu
populasi dalam kurun waktu tertentu. Istilah mortalitas mengandung dua pengertian yaitu kematian
minimum dan kematian ekologis. Kematian maksimum merupakan istilah untuk menytakan jumlah
kematian terkecil yang terjadi dalam suatu populasi apabila populasi hidup dalam kondisi yang ideal
tanpa factor pembatas. Kematian ekologis merupakan istilah untuk menyatakan jumlah kematian nyata
yang terjadi dalam suatu populasi bila populasi hidup dalam kondisi lingkungan yang sesungguhnya.

Meskipun sekitarnya populasi selalu dihadapkan pada kondisi dan sumber daya yang optimum,
namu peristiwa kematian di dalam populasi secara pasti akan terjadi juga sebagai akibat proses
penuaan. Kematian sebagai proses penuaan disebut kematian fisiologis, sedangkan rata-rata umur yang
dicapai oleh hewan yang mati secara fisiologis disebut umur fisiologis. Umur fisiologis ini tidak lain
merupaka umum maksimum yang dicapai hewan-hewan yang hidup dalam kondisi optimum. Mengingat
sulitnya memperoleh kondisi optimum secara terus menerus maka hewan biasanya hanya berhasil
memperoleh umur ekologis yaitu rata-rata umur yang dicapai oleh hewan-hewan dalam kondisi
lingkungan yang sesungguhnya.
Mortalitas di dalam suatu populasi mungkin dapat dipengaruhi oleh kepadatannya. Berdasarkan ada
atau tidaknya pengaruh kepadatan terhadap kematian ini maka Neave (1953) menggolongkan ada 3 tipe
populasi hewan yaitu:
a.       Compensatory, yaitu suatu populasi yang kepadatannya berbanding lurus dengan angka kematiaanya.
Ini berarti jika kepadatan naik, maka angka kematian juga naik. Begitu pula sebaliknya. Ini umumnya
dialami oleh sebagian hewan-hewan vertebrata.
b.      Depensatory yaitu suatu populasi yang kepadatannya berbanding terbalik dengan kematiannya. Ini
berarti jika kepadatannya naik maka angka kematiaanya turun. Begitu pula sebaliknya. Hal ini dialami
oleh hewan-hewan yang menggunakan pengelompokkan sebagai cara untuk menatkuti dan mengusir
predatornya. Contohnya jenis udang dan ikan tertentu yang hidup di laut.

c.       Ekstrapensatory yaitu suatu populasi yang kepadatannya tidak berpengaruh pada angka kematiaanya.
Hal ini biasa dijumpai pada serangga umumnya.

3. Imigrasi

         Imigrasi: istilah untuk menyatakan masuknya suatu inividu atau sekelompok individu sejenis dari luar
populasi ke dalam suatu populasi untuk kemudian menjadi anggota dari populasi yang didatangi.
         Imigrasi ini dapat terjadi secara aktif maupun pasif.
         Imigrasi secara aktif dilakukan oleh hewan akibat adanya kemampuan bergerak pindah tempat,
         sedangkan imigrasi pasif dapat terjadi karena beberapa factor seperti hanyut terbawa air, terbawa
angin topan dan terbawa oleh orang
4. Emigrasi
         Emigrasi : istilah untuk menyatakan keluarnya suatu individu atau sekelompok individu dari suatu
populasi.
         Emigrasi juga dapat terjadi secara aktif dan pasif.
         Emigrasi aktif dilakukan karena adanya kemampuan bergerak pindah tempat yang biasanya dilakukan
untuk tujuan mencari makanan, menghindari kondisi lingkungan yang buruk, meluaskan wilayah
territorial, atau karena tersisih akibat kalah berkompetisi.
         Emigrasi pasif dapat terjadi karena terbawa arus asir, terbawa angin topan dan terbawa oleh orang
secara sengaja.

Agihan Umur dalam Populasi

         Agihan umur: merupakan suatu istilah untuk menyatakan komposisi umur dari individu- individu dalam
suatu populasi
         Agihan umur di dalam suatu populasi merupakan parameter yang sangat menentukan besarnya angka
kelahiran dan angka kematian di dalam suatu populasi. Suatu populasi yang didominasi oleh individu-
individu yang berusia muda merupaan tanda bahwa populasi itu sedang mengalami banyak kelahiran
atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa populasi itu sedang mengalami pertumbuhan. Pada
populasi yang agihan umurnya relative merata biasanya angka kelahiran dan angka kematiannya relative
seimbang sehingga populasi itu dalam keadaan stasioner (stabil). Pada populasi yang didominasi oleh
individu-individu berusia tua, biasanya memiliki angka kematian yang tinggi, sehingga pada saat ini
populasi sedang mengalami penyusutan (pengurangan).

         Dalam kaitannya degan pengelolaan satwa liar, maka pengetahuan tentang agihan umur dari populasi
satwa liar tersebut sangatlah berarti. Pengetahuan tentang agihan umur ini merupakan penentu tentang
kapan perburuan boleh dilakukan dan kapan perburuan tidak boleh dilakukan. Bila populasinya sedang
didominasi oleh individu-individu berusia tua, maka perburuan tidak boleh dilakukan karena saat itu
populasi sedang menyusut. Perburuan baru boleh dilakukan bila populasi sedang didominasi oleh
individu-individu berusia muda, karena pada saat ini populasi sedang berkembang namun demikian,
perburuan yang selektif, tetap diterapkan.
Sex Rasio dalam Suatu Populasi

         Sex rasio: istilah untuk menyatakan perbandingan jumlah individu jantan dengan individu betina di
dalam suatu populasi. Dengan demikian sex ratio hanya dimiliki oleh populasi dari spesies yang bersifat
uniseksual (berkelamin tunggal). Populasi dari spesies yang bersifat biseksual tidak mengenal individu
jantan dan individu betina.
         Dalam kaitannya dengan keanekaragaman spesies, maka sex rasio dari berbagai spesies pun cukup
bervariasi. Ada spesies yang didominasi oleh individu jantan, ada yang didominasi oleh betina, dan ada
yang seimbang. Dalam kaitannya dengan waktu, maka sex rasio suatu spesies uatu saat dapat
didominasi oleh individu jantan dan pada saat yang lain dapat seimbang atau didominasi oleh individu
betina.
         Menyinggung kaitannya dengan angka kelahiran, maka sex ratio sangat menentukan angka kelahiran.
Sebagai contoh populasi itik dengan betina 30 ekor dan jantan 2 ekor akan menghasilkan jumlah
keturunan yang berbeda dengan populasi itik yang betinanya 2 ekor dan jantannya 30 ekor. Berbeda
dengan pengaruh sex rasio terhadap kelahiran , maka pengaruh sex ratio terhadap kematian belumlah
diketahui secara pasti. Meskipun diperkirakan ada, namun perlu penelitian lebih lanjut.

PENGERTIAN HEWAN LANGKA

Meskipun secara kuantitatif tidak ada pedoman yang tegas mengenai jumlah anggota suatu
populasi yang dapat dikatakan langka, namun kelangkaan suatu spesies hewan adalah mengacu pada
rendahnya prevalensi dan densitas dari spesies hewan tersebut.

         Dengan demikian hewan langka dapat didefinisikan sebagai spesies hewan yang prevalensinya adalah
istilah yang menyatakan cacah dan besarnya luas daerah yang dihuni oleh suatu spesies hewan
dalamwaktu tertentu. Sebagai contoh, jika spesies A menghuni wilayah seluas 1000 km 2 dan spesies B
menghuni wilayah seluas 500 km2, maka spesies A dikatakan memiliki prevalensi yang lebih tinggi
dibandingkan spesies B. Densitas adalah suatu istilah untuk menyatakan kepadatan suatu spesies hewan
dalam sutu wilayah atau ruang tertentu.
         Dalam kaitannya dengan prevalensi dan densitas, maka agihan hewan di alam memiliki empat
kemungkinan yaitu:
1). Prevelensi tinggi dan densitas tinggi
2). Prevalensi tinggi dan densitas rendah
3). Prevalensi rendah (setempat) dan densitas tinggi
4). Prevalensi rendah (setempat) dan densitas rendah

Faktor-faktor Penyebab langkanya suatu spesies hewan


Kelangkaan suatu spesies hewan dapat diakibatkan oleh beberapa sebab yaitu:
1.      Habitat yang layak huni sangat sempit, sehingga memiliki daya dukung yang terbatas.
2.      Habitat yang layak huni berlangsung sebentar, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada populasi
untuk berkembang.
3.      Adanya spesies lain yang menguasai habitat, sehingga masukan energy untuk pertumbuhan dan
perkembangan populasi sangat terbatas.
4.      Sedikitnya sumber daya, sehingga masukan energy untuk pertumbuhan dan perkembangan populasi
sangat terbatas.
5.      Rendahnya keragaman genetic di antara anggota-anggotanya, sehingga kisaran daerah yang dihuni
sangat sempit.
6.      Plastisitas fenotif rendah sehingga kisaran daerah yang dapat dihuni sangat sempit.
7.      Adanya kompetitor (pesaing) tangguh yang dapat menekan pertumbuhan suatu populasi, sehingga
populasi sulit berkembang.
8.      Tidak terkendalinya predator alami dari populasi, sehingga dapat menekan pertumbuhan populasi
tersebut
9.      Adanya parasit dan penyakit yang menekan pertumbuhan populasi
10.  Adanya perburuan yang tidak selektif dan tidak terbatas untuk tujuan konsumsi dan koleksi yang
dilakukan oleh manusia.

Struktur populasi

Merupakan gambaran ttng susunan individu2 dlm kaitannya dengan individu lain dalam klmpk
nya di dalam ruang. Kajian tentang struktur populasi dapat dilihat melalui beberapa hal yaitu dispersi,
agregasi, isolasi, dan teritorialitas.

1.      Dispersi yaitu pola agihan individu2 dlam kaitannya dgn individu yang lain dalam suatu ruang. Pola
agihan makhluk dalam suatu ruang ada 3 macam yaitu acak, seragam, dan mengelompok.
2.      Agregasi yaitu istilah untuk menyatakan kumpulan individu2 dlm berbagai tingkat kepentingan. Agregasi
yang paling sederhana adalah kumpulan individu2 tanpa adanya interaksi satu sama lainnya. Agregasi
dapat juga berupa sekelompok individu yg memiliki cirri klmpk yg khas. Demi pertumbuhan dan
kelangsungan hidup suatu populasi, maka antara individu2 anggota populasi haruslah ada dlm jarak
tertentu. Dalam kaitannya dengan agregasi ini, maka Allee (1963) menyatakan secara tegas bahwa
kurangnya pengelompokn (saling berjayhan) atau sangat rapatnya individu2 anggota populasi adalah
bersifat menghambat pertumbuhan dan kelangsungan hidup suatu populasi. Pernyataan inilah yang
dikenal sbg “prinsip Allee”.
3.      Isolasi (keterpencilan) yaitu istilah untuk menyatakan adanya individu atau sekelompok individu yang
bmenghuni wilayah yang cukup berjauhan atau terpisah dari wilayah yg dihuni oleh mayoritas individu
dr spesies yg sama. Isolasi dapat terjadi krn 3 sebab yaitu persainagn antar individu untuk
memperebutkan smber daya dan ruang, adanya antagonism scra langsung shg menimbulkan respon
perilaku yang saling menjauhi, adanya barier geofisik seperti laut, lembah, gunung, sungai, danau
4.      Teritorialitas yaitu istilah ntk menyatakan adanya usaha dan kemampuan suatu individu atau sklmpk
individu untuk memiliki dan mempertahankan suatu wilayah kekuasaan yang dpt dipakai sbg wilayah
untuk mencari makanan, bersarang, dan berbiak.

Dinamika populasi

Merupakan istilah untuk menyatakan fluktuasi jumlah individu di dalam suatu populasi sebagai
akibat adanya kelahiran, kematian, imigrasi, dan emigrasi. Imigrasi dan emigrasi seringkali tdk dpt
dikontrol scra cermat. Oleh krn itu diasumsikan bhwa imigrasi dan emigrasi jumlahnya seimbang. Dgn
demikian, fluktuasi suatu populasi diasumsikan hanya dipengaruhi oleh dua variable yaitu kelahiran dan
kematian. Jika jumlah kelahiran lbh besar dr kematian maka populasi dikatakan mengalami
pertumbuhan. Jika jumlah kelahiran lebih kecil maka populasi dikatakan mengalami penyusutan. Jika
jmlh kelahiran= kematian maka populasi dikatakan dalam keadaan stabil (tetap).

Pertumbuhan Populasi

Jumlah populasi dari waktu ke waktu dpt meningkat scr tajam dan dapat pula mengalami
peningkatan kecil. Besar dan kecilnya peningkatan anggota suatu populasi dalam kurun waktu tertentu
adalah menunjukkan laju pertumbuhan dari populasi tsb, yg dlm perhitungan statistic sering
disimbulkan dgn r (rate=laju). Untuk dpt mengetahui seberapa besar laju pertumbuhan (r) dlm kurun
wktu tertentu, maka terlebih dahulu harus diketahui laju kelahiran (b=birth) dan laju kjematian
(d=death). Laju kelahiran dan laju kematian dpt dicari dgn rumus sbg berikut.

Laju kelahiran (b) = jmlh klahiran / total anggota populasi x 100%

Laju kematian (d)= jmlh kematian/ total anggota populasi x 100 %

Laju pertumbuhan (r) dapat dicari dgn rumus r=b-d

Dalam kaitannya dgn pertumbuhan populasi, dikenal 2 macam pola pertumbuhan populasi yaitu
pertumbuhan eksponensial (geometri) dan pertumbuhan logistik (sigmoid).

1. Pertumbuhan eksponensial (geometri)


Adalah bentuk pertumbuhan populasi yg meningkat scra terus menerus tanpa batas.
Pertumbuhan eksponensial akan terjadi bila populasi hidup dalam kondisi lingkungan yg ideal dan
sumber daya yg tdk terbatas. Secara grafisasi, pertumbuhan eksponensial membentuk kurva J yang
persamaan garisnya adalah ∆ N/ ∆t = r. N

2. Pertumbuhan logistic (sigmoid)


Adalah pertumbuhan populasi yg terbatas akibat adanya keterbatasan daya dukung lingkungan.
Dgn demikian, pertumbuhan logistic memiliki batas maksimal yang sesuai dengan batas daya dukung
lingkungan. Secara grafisasi, pertumbuhan logistic membentuk kurva S (sigmoid) yang persamaan
garisnya adalah ∆ N/ ∆t = r x N (K-N)/K

Survivorship (kelangsungan kehidupan)

adalah suatu istilah untuk menyatakan tingkat ketahanan anggota2 suatu populasi untuk
bertahan hidup dalam kurun waktu tertentu. Dgn kata lain dapat dikatakan survivorship adalah tingkat
kelangsunghidupan anggota2 suatu populasi dlm kurun wktu tertentu. Suatu populasi yg memiliki
tingkat kematian yg tinggi dpt dikatakn memiliki tingkat survivorship yang rendah. Begitu pula
sebaliknya. Pada suatu jenis hewan, daya tahan hidup pada berbagai jenjang umur dapat berbeda-beda.
Ada hewan yg memiliki survivorship yg rendah di usia muda, kemudian sejalan dgn pertambahan umur
survivorship meningkat. Sementara pada hewan lain survivorship pada usia muda cukup tinggi kemudian
turun sangat drastic pada usia tua.

I.         Kurva cembung (negative rectangular). Kurva ini menunjukan bahwa survivorship tinggi diusia muda,
kemudian menurun secara drastic pada usia tua.. cth vertebrata tingkat tinggi, hewn yg mendapat
perlakuan istimewa di lab. Sebagoian besar hewan ini dapat mencapai usia fisiologisa. Manusia, kera
harimau dan kuda
II.      Kurva diagonal. Kurva ini menunjukkan penurunan survivorship terjadi secar merata pada berbagai
jenjang umur. Cth burung. Hewan yang memiliki kurva ini sangat sedikit yang mencapai usia fisiologis
III.   Kurva cekung. Penurunan survisorship terjaddi drastic pada usia muda, kemudian sejalan dengan
pertambahan umur terjadi peningkatan survivorship secara perlahan. Cth udang ikan invertebrate.
Hewan yg memiliki kurva ini sangat sedikityang mencapai usia fisiologis

Strategi r dan strategi K

Factor-fakrot yang mebatasi keberadaan dan pertumbuhan suatu populasi amatlah banyak dan
bervariasi. Kondisi yang buruk dan ekstrim keterbatasan sumber daya, kompetisi dan predasi, parsitisme
dan infeksi penyakit adalah sejumlah factor penyebab mortalitas yang dapat membatasi pertumbuhan
populasi. Berdasarkan adanya beberapa factor penyebab mortalitas ini, maka hewan ini mewmilih
stategi agar dapat mengatasi factor penyebab mortalitas tersebut. Strategi yang dipilih oleh hewan ada
sua macam yaitu strategi r da K.

Strategi r adalah cara hewan untuk mengantisipasi factor-faktor mortalitas dengan jalan mengalokasikan
sebagain besar energinya untuk berbiak sebanyak-banyaknya. Intinya strategi f mengutamakan
kuantiatas (jumlah)keturunana

Strategi K adalah cara hewan untuk mengantisipasi factor mortalitas dengan jalan mengalokasikan
sebgaian besar energinya untuk membangun keturunan yang bertubuh besar,kuat,lebih tahan, dan lebih
kompetitif. . intinya strategi K mengutamakan kualitas (mutu) keturunan

Perbedaan antara strategi r dan strategi K

Perihal Atrategi r Atrategi K

reproduksi Cepat dan dapat berulang Lambat, pengulangn sedikit


banyak kali, keturunan banyak sekali, kadang2 tunggal,
keturunan sedikit

Ukuran tubuh Ukuran relative lebih kecil Ukuran relative lebih besar

Umur hewan Relative lebih pendek (kurang Relative lebih panjang (lebih dari
dari 1 tahun) 1 thn)

Mortalitas Sering mengalami kematian Jarang mengalami kematian


missal, density independent missal, density dependent

Survivorship Kurva cekung III Kurva cembung (I), krva diagonal


(II)

Pertumbuhan Cepat deasa (prekoksitas) Lambat dewasa (penangguhan)

Contoh hewan Udang,ikan,serangga Manusia, harimau, kera, gajah,


kuda, burunbg,dll

You might also like