orang yang sedang menghabiskan hari di ladang desa. Guntur menyambut isyarat bahwa beberapa detik kemudian akan turun rintikan hujan. Tampak jelas di atas angkasa awan tebal hitam mengerikan. Menyudahi aktivitas sore hari di desa ini. Ladang, jalanan, sungai, sawah dan perkebunan serempak senyap menyepi, masing-masing sibuk mengahangatkan diri dari dinginnya hujan. Rumah kayu sederhana beratapkan ilalarang kini terguyur dengan derasnya rintikan hujan. Atapnya mungkin tidak kuat menahan air yang begitu deras. Menerobos celah-celah kecil dari ilalang yang sedikit tergeser oleh deraian air hujan.
Tangisan awan ini gagal membawa tentram pada
hati salah seorang gadis desa yang belum lagi berumur 11 tahun . Aini bergegas pulang ke rumahnya yang tidak jauh dari tempat ia bermain, ladang. Usahanya berlari sekuat tenaga untuk sampai ke rumah tidak membuahkan hasil. Baru saja setengah perjalanan, baju yang di kenakannya basah kuyup tertetesi air hujan. Alih-alih bersorak sorain bahagia bersama teman sebayanya, malah cemas mengampiri.
Suhu dingin menyapa kulit yang baru saja dua
bersihkan dari lumpur yang aku injak bergegas pulang ke rumah sederhanaku. Tak lama, pun sisa cahaya surya yang perlahan redup turut menyulut api bimbang. Kini seisi rumah redup dak terlihat. Awan semakin menghitam. Rintikan hujan semakin keras. Angin berhembus semakin kencang memukul rumah tua ini. Untungnya, lampu teplok menyelamatkan ruangan kecil ini dari pekatnya suasana. Sedikit memberikan penyinaran sehingga pandangan tidak lagi buram.
Setelah beberapa saat, pandangan tidak lagi
terperangkap dalam gelapnya keadaan, gadis kecil itu memutuskan untuk duduk di pangkuan ibuku dengan segala kehangatan yang ada.
“Ibu, abah di mana?” .Ungkapnya dengan suara
lirih.
"Abah masih di sawah nak. Mungkin abah tidak
ada waktu untuk bergegas pulang dalam waktu dekat karena hujan terlalu deras”. Jawab ibunya sambil mengelus halus kepala anak perempuan itu.
“Abah pasti baik-baik aja kok nak”. Lanjutnya
dengan suara yang menyakinkan.
“tapi bu, langit sudah petang, hujan masih deras.
Gimana keadaan abah di sana sendirian?”. Ucapnya dengan suara sendu.
Kepolosan Aini membuatnya begitu khawatir
dengan keadaan ayahnya yang masih berada di sawah ladang. Bukan karena ayahnya berada di sawah seorang diri, tapi perihal kepulangannya nantinya. Jalannya yang licin, jempatan kecil terbuat dari bambu yang di bentangkan di atas sungai. Iya, jika hari ini tidak hujan mungkin dia tidak sekhawatir seperti sekarang ini. Bagaimana nantinya kalau hujan tidak kunjung reda. Bahkan semakin kencang?. Apalagi matahari hampir tenggelam. Sinarnyapun lenyap dari pandangan akibat cuaca yang sangat mencekam. Tapi, ibu berusaha meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Nak. Ucap ibunya sebari mengelus rambut
setengah ikal perempuan kecil itu.
“ Abah pasti baik-baik aja di sana. Sekarang
matahari sudah tenggelam. Waktunya shalat magrib. Do’akan abah agar Allah menjaga abah di sana”. Ujar ibunya mencoba menenangkan
Tanpa basa-basi diapun langsung bergegas
menuju pancoran untuk membersihkan badan yang sedikit kotor akibat lumpur sore hari tadi. Setelah itu mengambil air wudhu kemudian mendirikan shalat. Gadis polos itu berusaha khusuk di dalam shalat agar Allah mendengarkan isi hatinya yang sedang cemas memikirkan keadaan ayahnya. Dia berusaha menyempurnakan setiap gerakan shalat agar Allah melihat bahwa dia memang sedang membutuhkan alunan kasih_Nya. Setelah dia menolehkan wajah ke kiri dan kanan sebagai isyarat salam kemudian mengangkat kedua tangannya sebari merajut kalimat asa sebagai do’a atas keselamatan orang tuanya. Aini yang masih kecil dengan segala kepolosan dengan sendirinya mengeluarkan air mata.
“Ya Allah!. Ucapnya dengan sedikit serak.
“ Engkau pasti sedang melihat abahku. Engkau tau kesusahannya. Maka permudahlah langkahnya agar dia pulang dengan selamat”. Sambil menitikkan air mata.
Hujan berangsur-angsur reda. Suara petir tak lagi
terdengar. Angin sudah mulai meyapa dengan tenang. Tapi, suhu dingin tak kunjung turun menusuk tulang. Semua itu sedikit memberi ketenangan karena dengan itu ayahnya,bisa bergegas pulang menuju rumah beratap illang ini.
“ Ibu!.
“Aini!. Abah udah pulang!. Suara laki-laki paruh
baya itu terdengar dari luar rumah.
“Ibu! Ibu! Abah udah pulang. Ucap Aini sebari
membukakan pintu untuk abahnya.
Sekarang kekhawatiran itu tidak lagi ada. Suasana
rumah kembali ceria. Alam juga mencoba bersahabat walaupun suara rintikan hujan masih terdengar dari dalam rumah bambu itu. Ternyata Allah mengabulkan permintaan anak gadis itu. Ayahnya pulang dengan selamat.
Tak lama setelah kepulangan ayahnya, anak gadis
berambut setengah ikal itu mendekati ayahnya yang sedang duduk di atas tikar pandan untuk bersistirahat sebari menikamati kopi hangat yang dibuatkan oleh isterinya. Anak gadis itu penasaran dengan ayahnya yang kala itu berada di sawah sendirian. “Abah?. Tutur anak gadis itu sambil memijit kaki ayahnya yang tengah kelelahan.
“Aini khawatir dengan kondisi abah yang
sendirian di sawah. Hujan petir membuat aini risau sampai membuat Aini menangis bah!. Ungkapnya dengan suara lirih.
“Hah?. Yang bener nak?. Beberapa saat setelah
itu ayahnya langsung tertawa melihat tingkah anak gadis polosnya itu.
“hahahahahaha.... nak Aini ada-ada aja”. Ujarnya.
“lah kenapa abah tertawa?. Emangnya ada yang
lucu dari pertanyaan Aini?”. Ucapnya sambil terheran heran.
“Hah. Dasar anak abah, sini sini duduk !”
ucapnya dengan penuh kelembutan sambil meraih anak gadis itu ke pangkuannya.
“ Adududu ....anak abah ada-ada aja”.
“ Abah udah pulang dari tadi sore, tapi mampir
sebentar di rumah pakdemu”.
“ Pakde Adi maksud abah?”,tanya Aini.
Pakde Adi adalah salah seorang paman dari gadis
polos itu. Bapaknya memiliki satu orang saudara. Dia tinggal tidak jauh dari rumah bambu itu. Di sebuah rumah sederhana juga bekas peninggalan orang tua mereka dulu. Sekarang dia sedang nyantri di salah satu pondok pesantren yang ada di lombok. Semester akhir. Mungkin dalam waktu 6 bulan ke depan pakdenya itu akan menyelesaian halaqahnya di sana.
“Iya...Pakde Adi yang sekolah di lombok itu, dia
baru baru kemarin pulang. Sebenarnya sebelum itu, pakdemu sudah mengirim pesan sama abah kalau dia akan pulang beberapa hari lagi.
“Emang ada keperluan apa abah di sana?”
“ Tumben ke sana ndak ngajak Aini?”
“ Biasanya kalau pakde Adi pulang kampung,
abah ngajak Aini sama ibu kesana?”, lanjut Aini penasaran.
“Abah lupa ngasih tau Aini sama Ibu. Katanya
lagi libur semester. Abah juga makan malam di sana abis itu cepet-cepet abah balik ke rumah pas hujan udah agak reda”.
“pakdemu bilang mau ke sini besok sore. Mau
ketemu sama keponakannya yang cantik itu”.
“siapa bah?. Aini?, lantunnya dengan bibir yang
senyum melebar.
“iyalah . Emangnya siapa lagi keponakan pakde
Adi selain Aini ”, sambil memegang dagu anak gadisnya itu. Aini penasaran dan tidak sabar ingin bertemu dengan pakdenya. Karena Aini terakhir bertemu dengan pakdenya saat libur semester 2 tahun yang lalu. Mungkin itu yang membuat Aini sekangen itu. Setelah beberapa lama percakapan itu, mata indah yang dimiliki Aini kini mulai sayup. Aura kelelahan sudah nampak pada wajah anggun anak gadis ini. Aini yang duduk di pangkuan ayahnya tertidur nyenyak dengan sedikit pelukan hangat dari sosok ayah yang sangat menyayanginya.
========================================
Senja hari ini membawa Aini pada nestapa.
Bingung perihal kepergiannya meninggalkan orang tuanya jauh di rumah bambu sederhana ini. Aini memang bukanlah orang yang dewasa untuk saat ini. Jiwa polos masih melekat dalam pribandinya. Tapi, siapa kira anak sekecil itu bisa mengiba akan ketiadaan orang tuanya di sisinya. Aini sangat merasakan kasih sayang orang tuanya sehingga iapun bercita-cita untuk membahagiakan kedua orang tuanya bagaimanapun caranya.
Sekarang dia masih duduk di kelas 5 SD Harapan
Bangsa di desa terpencil di Jawa Timur PPPPPPPPPPP. Satu tahun yang akan datang bisa dipastikan dia sudah tidak bisa lagi merasakan pelukan hangat dari kedua orang tuanya. Pamannya yang bernama Adi yang mondok di Lombok menyuruh kakaknya pak Akmal yang tidak lain adalah ayahnya Aini untuk memondokkan anak gadis berhidung mancung itu di sana bersamanya.
“Assalamualikum!”, sebari mengetok pintu
pondok itu dengan membawa bingkisan di tangan kirinya.
“ wa’alaikumuusalam! Pakdenya Aini kan?
Ujarnya kaget.
“iya ini pakde Adi”
“ Mari masuk!” , mempersilahkan pamannya
duduk di atas tikar pandan yang terlihat lusuh.
“ Silahkan duduk pakde, Ibu lagi mempersiapkan
hidangan untuk pakde. Aini ke belakang dulu” ,lanjutnya. Anak gadis polos itu segera ke dapur mengambil hidangan yang telah disiapkan oleh ibunya. Setelah semua hidangan disantap, anak gadis itu kembali membawa empat cangkir teh untuk disuguhkan untuk seisi rumah. Aini duduk di tempat semula kemudian mendengarkan mereka yang berbincang- bincang dengan seksama. Tiba-tiba Aini tertegun dengan perkataan ibunya.
“Ibu sih tidak masalah kalau Aini mondok di
pesantren. Mungkin abah juga akan menyetujuinya. Tapi, ini tergantung nak Aini juga” , ungkap ibunya serius.
“Iya.....abah juga setuju-setuju aja kalau Aini
mondok sama pakdenya di sana. Nak Aini gimana”, sambil menoleh ke wajah polos anak gadis itu.
“Mondok?”
“Pesantren?”, responnya dengan raut wajah yang
kebingungan.
Apa mungkin anak sekecil itu bisa menerima apa
adanya segala perbincangan mereka. Perbincangan yang mengibakan jiwa. Membuat gundah gulana hati yang akan jauh dengan pahlawan dalam hidupnya.
“Apa mungkin Aini akan Jauh sama Ibu dan
abah?”
“ Aini akan tetap bersama ibu dan abah di sini” ,
tuturnya dengan wajah mengiba menghadap bawah.
“ Aini juga masih kecil, ga bisa apa-apa. Yang
aini bisa Cuma bantu-bantu beres rumah setiap hari. Kalau Aini pergi siapa yang akan nemenin ibu kalau Abah lagi di sawah?. Siapa yang bakal bantu ibu nyuci piring selain Aini?. Siapa yang bakal rawat dan menyiapkan hidangan jika salah satu di antara ibu sama abah sakit?, siapa?” ujar gadis kecil itu.
Sedewasa itu pemikiran anak gadis itu.
Sebenarnya bukan perihal jarak yang dia maksudkan. Perkataannya itu hanyalah sebagai dalih agar ia bisa merasakan aura kasih sayang dari orang tuanya setiap hari. Karena masa yang sedang dijalani adalah masa dimana seorang anak menikmati segenap rasa kasih sayang yang datang dari pelukan hangat dari orang tua mereka. Begitu pula dengan pribadi Aini. Anak yang masih gadis, kepolosan masih menyertainya tidak mungkin luput dari semua itu.
“Aini?, sekarang pakde tanya nih. Cita-cita
terbesar Aini apa?” , ujar pamannya yang berada tepat di hadapannya. Aini yang masih menghadap bawah merespon.
“Cita-cita terbesar Aini cuma ingin agar Ibu sama
abah bahagia”
“kira-kira dengan apa Aini akan membahagiakan
keduanya”, lanjutnya.
“Dengan apa saja yang Aini bisa”
“Salah satunya?”, pertanyaan terakhir ini
membuat Aini diam seribu bahasa. Aini tidak bisa menjawab pertanyaan singkat dari pakdenya. Ia hanya termenung dan mulai berfikir bahwa membahagiakan kedua orang tua bukan hanya masalah bisa menyuci piring dan beres-beres masalah rumah lainnya, tapi lebih dari itu.
“ Kata guru pakde gini ‘orang yang tidak
memiliki harta, tidak akan pernah bisa memberi’, coba menjelaskan.
“ Aini kalau misalkan udah gede mau ngasih apa
sama ibu dan abah?”
“Mmm.......”,gumamnya.
“ Ilmu adalah hal yang paling dicintai oleh Allah
karena itu Allah juga Maha Mengetahui dan memberi pengetahuan bagi siapa saja dari hambanya. Ilmu agama akan menjadi tameng untuk menghadapi segala siksaan di hari akhir nanti”.
Sebenarnya Aini memiliki dua saudara. Kakak
perempuan dan adik laki-laki yang meninggal beberapa minggu setelah lahir. Kakak perempuannya Yanti tinggal jauh di Sumatra mengikuti suaminya. Diapun jarang balik kampung. Bahkan pernah dalam satu tahun, kakak perempuannya tidak pernah pulang sama sekali untuk menengok keadaan penghuni rumah bambu yang reot itu. Arif si bungsu yang malang meninggal beberapa minggu setelah lahir. Kehilangan sosok arif satu setengah tahun lalu membawa mereka pada noktak kesedihan yang tak bertepi. “Cuma Aini yang bisa diandalkan sekarang. Kakakmu jauh di tanah Sumatra bersama suaminya. Adikmu meninggal beberapa tahun yang lalu. Lalu Aini masih berdiam di sini. Aini anak-satunya yang akan mengubah segala keadaan yang ada nanti, insayaallah!”.
Ucapan pamannya itu sangat menusuk sampai ke
relung hati terdalam. Anak polos itu terdiam seribu bahasa bak seorang yang tak tau arah kemana jasad ini akan di bawa. Kedewasaan seakan-akan datang mengetuk pintu hati anak gadis ini menyuruh memutuskan suatu hal yang mungkin tidak bisa difikirkan oleh anak seusianya.
“ Ya Allah....berikanlah kemudahan untuk segala
urusan Aini”, ucapnya dalam hati.
“ Tapi...pakde tahun ini mau lulus, terus siapa
yang jaga Aini nanti?”.
“ Kalau masalah itu tidak perlu difikirkan. Pakde
tahun ini memang akan menyelesaikan halaqah pakde, tapi setelah itu pakde bakal lanjutin sekolah di salah satu perguruan tinggi di sana. Tenang aja Aini!” ,mencoba meyakinkan.
Walaupun pamannya berusaha meyakinkan, tidak
tau kenapa gadis itu senantiasa termenung seolah-olah ada sesuatu yang membuat hatinya terasa tidak nyaman. Selama satu tahun kedepan mungkin Aini akan menguras fikirannya untuk memutuskan semua itu. “ Ibu menyerahkan semuanya kepada Aini, Aini yang berhak memutuskan”.
“ Ehh...kemarin Ibu dengar-dengar juga, katanya
Fatin anaknya pak haji Suwandi akan di sekolahkan juga di salah satu pondok pesantren di Lombok. Tapi ibu ndak tau posisi pondoknya di mana”, kata ibu Ayuni.
Ibu Ayuni sebagai orang tua memang
menyerahkan semuanya mutlak keputusan dari Aini anaknya. Siapa yang tidak tau kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Melepaskan satu-satunya anak kesayangan merupakan hal yang tidak mudah. Merelakannya pergi jauh dari pelukannya.
“Aini bukannya sering main sama Fatin?”, tanya
ibunya.
“Iya pastilah...dia sahabat Aini sedari dulu di
kampung ini”.
“ Nah, apalagi kalau udah kayak gitu. Fatin juga
akan disekolahkan di pondok pesantren sama seperti Aini. Lalu apalagi yang Aini permasalahkan?” , sahut pamannya.
“ Emang iya si...tapi kan kita semua ndak tau
Fatin akan di sekolahkan di mana. Kita kan Cuma taunya di lombok saja. Lombok pasti lebih luas dari pada desa kita kan”, uangkapnya agak ketus.
“iya pakde tau, tapi pondok yang paling terkenal
di lombok cuma satu Aini. Pondok tempat pakde sekolah. Kemungkinan besar Fatin akan disekolahkan di sana juga”.
“ Iya udah bah...ibu...Pakde...”
“ Aini pasti akan memberikan yang terbaik untuk
abh sama ibu. Aini ga bakal ngecewain Abah sama ibu kecewa dengan keputusan Aini yang masih ragu. Doakan Aini agar semuanya bisa Aini lalui” ungkapnya.
Mungkin kata-kata Aini yang terakhir ini menjadi
akhir dari pembicaraan mereka di dalam pondok bambu itu. Keadaan mulai tenang setalah pembicaraan yang cukup panjang. Kini sang surya sudah memberikan isyarat bahwa tidak lama lagi petang akan menemani penduduk kampung. Semua bergegas mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangan malam. Pamannya juga tidak lama setelah itu pamit pulang ke rumahnya. Aini menjalani hari-hari yang kurang mengenakkan setelah dia dihadapkan dengan suatu pilihan yang membingungkan. Meninggalkan orang tua di rumah mungkin bagi Aini merupakan hal yang tidak mudah. Dia juga masih butuh banyak kasih sayang dari orang tuanya. Tapi apalah daya, di sisi lain memaksa Aini harus meninggalkan kedua orang tuanya berhijrah ke daerah orang untuk menuntut ilmu.
“Ya allah...Engkau yang lebih mengetahui apa
yang lebih baik untuk hambamu. Kepadamu harap ku sandarkan. Di mana Engkau menempatkanku itulah yangterbaik untukku. Aku bertawakkal kepadamu. Aku serahkan segalanya kepadamu”, untaian doa itu keluar dari mulut mungil anak gadis itu di saat malam mulai menyingsing.
Setelah kejadin tadi sore membuat Aini tidak
merasa tenang. Malam yang membuat Aini tidak tertidur dengan nyeyak. Entah apa yang masih mengganjal di dalam hati anak gadis ini. Memutuskan untuk bangun kemudian mendirikan shalat untuk bermunajat kepada Allah bukan perkara yang yang aneh dalam diri Aini. Ada atau tidaknya masalah menghampiri , anak gadis ini tetap menghidupkan malam-malamnya untuk menundukkan diri sejenak kepada Yang Maha Kuasa. Hal ini mungkin menjadi hal yang sedikit ganjil jika dibandingkan dengan teman sebayanya. Tapi begitulah kehidupannya. Itulah ma’unah dari Allah yang diperuntukkan khusus untuk anak gadis itu. “Ya Allah...allahummagfirli waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sagira. Rabbana atina fiddunya hasnah wafiil akhirati hasanah waqina azabannar. Aminn.......”. mulut itu kembali tergerak.
Doa terakhir itu teruntai rapi dengan penuh ikhlas
dari diri seorang anak yang penuh bakti kepada orang tuanya. Itulah pilihan Aini. Meninggalkan kedua orang tua sejenak demi kebahagian mereka sepanjang hidup, itulah yang membuat Aini memilih untuk mengikuti pamannya untuk sekolah di pondok pesantren. Pagi cerah penuh simfoni alam tampak menggugah fikiran Aini yang duduk termenung di halaman kecil depan rumahnya. Matahari pagi menyinari kebun dengan lembutnya. Burung-burung riang bercuit- cuit pada dahan-dahan pohon yang rindang. Hari memang masih pagi sekali. Burung-burung masih belum berlalu, bunga-bunga pun belum mengatup kepanasan. Semuanya menambah meriahnya keindahan dengan warna-warna warni mereka yang elok. Taman bunga sederhana yang disusun rapi oleh ibu Ayuni memang membuat mata sedikit tersita oleh susunan tanaman yang tertata rapi dihalaman rumah sederhana itu.
“ Nak Aini...” ,suara panggilan terdengar dari
dalam rumah.
“ Nak Aini....”, suara itu terdengar kembali.
Ibu Ayuni yang sedang berada di dalam rumah
sedikit heran. Biasanya Aini sudah bersiap-siap membantu ibunya untuk membereskan rumah.
“ Abah....”, ucapnya kepada suaminya yang
sedang bersiap-siap menuju ke sawah.
“ Iya buk ada apa?”.
“Abah ada lihat Aini ndak? Ibu panggil-panggil
kok ga ada yang nyahut. Masih pagi lagi, biasanya Aini masih ada di dalam beres-beres rumah” “ ooo Nak Aini... itu lagi duduk di halaman rumah. Mungkin terlalu khusuk melihat tarian bunga yang di depan”, sambil menunjuk ke belakang.
“ ndak biasanya nak Aini seperti itu bah...”,
ungkap ibunya sebari memutar sendok untuk membuat kopi untuk suaminya.
“ Iya memang, abah juga akhir-akhir ini melihat
nak Aini sering melamun sendirian di halaman, bukan hari ini saja. Sore hari juga sering”.
“Bah...”, ungkapnya dengan suara yang sedikit
pelan. ‘Apa karena nak Aini mau dipondokkan jadi sebab dia sering melamun?”
“ Menurut abah gimana?. Apa perlu di
pertimbangkan sekali lagi?.
“ Abah sebenarnya menyerahkan keputusan itu
kepada nak Aini. Tapi mungkin, ini pilihan yang berat bagi anak kita. Tapi ini juga untuk kebaikan Aini, masa depannya kelak”.
“iya sudah, abah mau berangkat dulu”, sebari
mengambil peralatan sawah.
“ iya sudah abah hati-hati”
Sebelum keluar dari pagar rumah, Pak Akmal
menghampiri anak gadisnya yang tak kunjung berpindah dari tempat semula. Masih saja memperhatikan tarian- tarian bunga dihadapannya. Tapi sebenarnya dia tidak sedang menikmati suasana, dia hanya sedang melamun.
“ hey...”, sambil menepuk punggung anaknya.
“eehh abah...ngagetin Aini aja. Ada apa bah?
Sambil menggeser sedikit badannya memberikan tempat duduk untuk bapaknya.
“ Nak Aini kok pagi-pagi udah melamun aja.
Ndak bantu-bantu ibu tuh di dalam? ”, sambil mengelus lembut kepala anak gadisnya.
“ hehe, iya abah. Ini Aini mau siap-siap”,
mencoba mencari alasan.
Ayahnya mencoba untuk mencari celah untuk
menanyakan hal yang sedang menggertu di hati anaknya. Jiwa akan mengetahui dari jiwa lainnya. Mungkin ini juga berlaku bagi hubungan orang tua dan anak. Firasat orang tua terhadap anak sering kali tepat dan jarang sekali melenceng. Hal itulah yang terjadi saat ini.
“ Nak Aini sering melamun karena tahun depan
Aini ndak lagi tinggal di sini kan?”, tanya ayahnya.
“ Aduh sayang, Nak Aini ndak perlu mikirin abah
sama ibu di sini nantinya. Abah sama ibu asti bisa jaga diri, abah sama ibu kan udah besar hhe”, ungkapnya dengan sedikit mengeluarkan tawa. Anak gadis itu hanya duduk termenung mendengarkan perkataan ayahnya yang cukup meyakinknnya.
“ Jangan terlalu difikirkan , orang banyak fikiran
itu cepet tua”, ungkap ayahnya berusaha menenagkan. sambil mengelus rambut setengah ikal dari anak gadisnya. Perpisahan merupakan momentum di mana masing-masing orang harus merelakan kepergian yang lain. Dan itu lumrah dari setiap pertemuan. Tidak adapun satu pertemuan yang tetap selamanya. Walaupun setiap orang tidak banyak yang menginkan adanya perpisahan, tapi kenyataannya itu akan tetap terjadi. Pengibaan yang timbul karenanya pun merupakan suatu yang biasa. Bersedih atas kepergian seseorang setelah adanya pertemuan panjang itu juga hal yang biasa.