You are on page 1of 22

AINI’S STORY (INSPIRASI GADIS PESANTREN)

=========================================

Mendung hari ini memberi peringatan bagi setiap


orang yang sedang menghabiskan hari di ladang desa.
Guntur menyambut isyarat bahwa beberapa detik
kemudian akan turun rintikan hujan. Tampak jelas di atas
angkasa awan tebal hitam mengerikan. Menyudahi
aktivitas sore hari di desa ini. Ladang, jalanan, sungai,
sawah dan perkebunan serempak senyap menyepi,
masing-masing sibuk mengahangatkan diri dari dinginnya
hujan. Rumah kayu sederhana beratapkan ilalarang kini
terguyur dengan derasnya rintikan hujan. Atapnya
mungkin tidak kuat menahan air yang begitu deras.
Menerobos celah-celah kecil dari ilalang yang sedikit
tergeser oleh deraian air hujan.

Tangisan awan ini gagal membawa tentram pada


hati salah seorang gadis desa yang belum lagi berumur 11
tahun . Aini bergegas pulang ke rumahnya yang tidak jauh
dari tempat ia bermain, ladang. Usahanya berlari sekuat
tenaga untuk sampai ke rumah tidak membuahkan hasil.
Baru saja setengah perjalanan, baju yang di kenakannya
basah kuyup tertetesi air hujan. Alih-alih bersorak sorain
bahagia bersama teman sebayanya, malah cemas
mengampiri.

Suhu dingin menyapa kulit yang baru saja dua


bersihkan dari lumpur yang aku injak bergegas pulang ke
rumah sederhanaku. Tak lama, pun sisa cahaya surya yang
perlahan redup turut menyulut api bimbang. Kini seisi
rumah redup dak terlihat. Awan semakin menghitam.
Rintikan hujan semakin keras. Angin berhembus semakin
kencang memukul rumah tua ini. Untungnya, lampu
teplok menyelamatkan ruangan kecil ini dari pekatnya
suasana. Sedikit memberikan penyinaran sehingga
pandangan tidak lagi buram.

Setelah beberapa saat, pandangan tidak lagi


terperangkap dalam gelapnya keadaan, gadis kecil itu
memutuskan untuk duduk di pangkuan ibuku dengan
segala kehangatan yang ada.

“Ibu, abah di mana?” .Ungkapnya dengan suara


lirih.

"Abah masih di sawah nak. Mungkin abah tidak


ada waktu untuk bergegas pulang dalam waktu dekat
karena hujan terlalu deras”. Jawab ibunya sambil
mengelus halus kepala anak perempuan itu.

“Abah pasti baik-baik aja kok nak”. Lanjutnya


dengan suara yang menyakinkan.

“tapi bu, langit sudah petang, hujan masih deras.


Gimana keadaan abah di sana sendirian?”. Ucapnya
dengan suara sendu.

Kepolosan Aini membuatnya begitu khawatir


dengan keadaan ayahnya yang masih berada di sawah
ladang. Bukan karena ayahnya berada di sawah seorang
diri, tapi perihal kepulangannya nantinya. Jalannya yang
licin, jempatan kecil terbuat dari bambu yang di
bentangkan di atas sungai. Iya, jika hari ini tidak hujan
mungkin dia tidak sekhawatir seperti sekarang ini.
Bagaimana nantinya kalau hujan tidak kunjung reda.
Bahkan semakin kencang?. Apalagi matahari hampir
tenggelam. Sinarnyapun lenyap dari pandangan akibat
cuaca yang sangat mencekam. Tapi, ibu berusaha
meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Nak. Ucap ibunya sebari mengelus rambut


setengah ikal perempuan kecil itu.

“ Abah pasti baik-baik aja di sana. Sekarang


matahari sudah tenggelam. Waktunya shalat magrib.
Do’akan abah agar Allah menjaga abah di sana”. Ujar
ibunya mencoba menenangkan

Tanpa basa-basi diapun langsung bergegas


menuju pancoran untuk membersihkan badan yang sedikit
kotor akibat lumpur sore hari tadi. Setelah itu mengambil
air wudhu kemudian mendirikan shalat. Gadis polos itu
berusaha khusuk di dalam shalat agar Allah mendengarkan
isi hatinya yang sedang cemas memikirkan keadaan
ayahnya. Dia berusaha menyempurnakan setiap gerakan
shalat agar Allah melihat bahwa dia memang sedang
membutuhkan alunan kasih_Nya. Setelah dia menolehkan
wajah ke kiri dan kanan sebagai isyarat salam kemudian
mengangkat kedua tangannya sebari merajut kalimat asa
sebagai do’a atas keselamatan orang tuanya. Aini yang
masih kecil dengan segala kepolosan dengan sendirinya
mengeluarkan air mata.

“Ya Allah!. Ucapnya dengan sedikit serak.


“ Engkau pasti sedang melihat abahku. Engkau
tau kesusahannya. Maka permudahlah langkahnya agar dia
pulang dengan selamat”. Sambil menitikkan air mata.

Hujan berangsur-angsur reda. Suara petir tak lagi


terdengar. Angin sudah mulai meyapa dengan tenang.
Tapi, suhu dingin tak kunjung turun menusuk tulang.
Semua itu sedikit memberi ketenangan karena dengan itu
ayahnya,bisa bergegas pulang menuju rumah beratap
illang ini.

“ Ibu!.

“Aini!. Abah udah pulang!. Suara laki-laki paruh


baya itu terdengar dari luar rumah.

“Ibu! Ibu! Abah udah pulang. Ucap Aini sebari


membukakan pintu untuk abahnya.

Sekarang kekhawatiran itu tidak lagi ada. Suasana


rumah kembali ceria. Alam juga mencoba bersahabat
walaupun suara rintikan hujan masih terdengar dari dalam
rumah bambu itu. Ternyata Allah mengabulkan
permintaan anak gadis itu. Ayahnya pulang dengan
selamat.

Tak lama setelah kepulangan ayahnya, anak gadis


berambut setengah ikal itu mendekati ayahnya yang
sedang duduk di atas tikar pandan untuk bersistirahat
sebari menikamati kopi hangat yang dibuatkan oleh
isterinya. Anak gadis itu penasaran dengan ayahnya yang
kala itu berada di sawah sendirian.
“Abah?. Tutur anak gadis itu sambil memijit kaki
ayahnya yang tengah kelelahan.

“Aini khawatir dengan kondisi abah yang


sendirian di sawah. Hujan petir membuat aini risau sampai
membuat Aini menangis bah!. Ungkapnya dengan suara
lirih.

“Hah?. Yang bener nak?. Beberapa saat setelah


itu ayahnya langsung tertawa melihat tingkah anak gadis
polosnya itu.

“hahahahahaha.... nak Aini ada-ada aja”. Ujarnya.

“lah kenapa abah tertawa?. Emangnya ada yang


lucu dari pertanyaan Aini?”. Ucapnya sambil terheran
heran.

“Hah. Dasar anak abah, sini sini duduk !”


ucapnya dengan penuh kelembutan sambil meraih anak
gadis itu ke pangkuannya.

“ Adududu ....anak abah ada-ada aja”.

“ Abah udah pulang dari tadi sore, tapi mampir


sebentar di rumah pakdemu”.

“ Pakde Adi maksud abah?”,tanya Aini.

Pakde Adi adalah salah seorang paman dari gadis


polos itu. Bapaknya memiliki satu orang saudara. Dia
tinggal tidak jauh dari rumah bambu itu. Di sebuah rumah
sederhana juga bekas peninggalan orang tua mereka dulu.
Sekarang dia sedang nyantri di salah satu pondok
pesantren yang ada di lombok. Semester akhir. Mungkin
dalam waktu 6 bulan ke depan pakdenya itu akan
menyelesaian halaqahnya di sana.

“Iya...Pakde Adi yang sekolah di lombok itu, dia


baru baru kemarin pulang. Sebenarnya sebelum itu,
pakdemu sudah mengirim pesan sama abah kalau dia
akan pulang beberapa hari lagi.

“Emang ada keperluan apa abah di sana?”

“ Tumben ke sana ndak ngajak Aini?”

“ Biasanya kalau pakde Adi pulang kampung,


abah ngajak Aini sama ibu kesana?”, lanjut Aini
penasaran.

“Abah lupa ngasih tau Aini sama Ibu. Katanya


lagi libur semester. Abah juga makan malam di sana abis
itu cepet-cepet abah balik ke rumah pas hujan udah agak
reda”.

“pakdemu bilang mau ke sini besok sore. Mau


ketemu sama keponakannya yang cantik itu”.

“siapa bah?. Aini?, lantunnya dengan bibir yang


senyum melebar.

“iyalah . Emangnya siapa lagi keponakan pakde


Adi selain Aini ”, sambil memegang dagu anak gadisnya
itu.
Aini penasaran dan tidak sabar ingin bertemu
dengan pakdenya. Karena Aini terakhir bertemu dengan
pakdenya saat libur semester 2 tahun yang lalu. Mungkin
itu yang membuat Aini sekangen itu. Setelah beberapa
lama percakapan itu, mata indah yang dimiliki Aini kini
mulai sayup. Aura kelelahan sudah nampak pada wajah
anggun anak gadis ini. Aini yang duduk di pangkuan
ayahnya tertidur nyenyak dengan sedikit pelukan hangat
dari sosok ayah yang sangat menyayanginya.

========================================

Senja hari ini membawa Aini pada nestapa.


Bingung perihal kepergiannya meninggalkan orang tuanya
jauh di rumah bambu sederhana ini. Aini memang
bukanlah orang yang dewasa untuk saat ini. Jiwa polos
masih melekat dalam pribandinya. Tapi, siapa kira anak
sekecil itu bisa mengiba akan ketiadaan orang tuanya di
sisinya. Aini sangat merasakan kasih sayang orang tuanya
sehingga iapun bercita-cita untuk membahagiakan kedua
orang tuanya bagaimanapun caranya.

Sekarang dia masih duduk di kelas 5 SD Harapan


Bangsa di desa terpencil di Jawa Timur PPPPPPPPPPP.
Satu tahun yang akan datang bisa dipastikan dia sudah
tidak bisa lagi merasakan pelukan hangat dari kedua orang
tuanya. Pamannya yang bernama Adi yang mondok di
Lombok menyuruh kakaknya pak Akmal yang tidak lain
adalah ayahnya Aini untuk memondokkan anak gadis
berhidung mancung itu di sana bersamanya.

“Assalamualikum!”, sebari mengetok pintu


pondok itu dengan membawa bingkisan di tangan kirinya.

“ wa’alaikumuusalam! Pakdenya Aini kan?


Ujarnya kaget.

“iya ini pakde Adi”

“ Mari masuk!” , mempersilahkan pamannya


duduk di atas tikar pandan yang terlihat lusuh.

“ Silahkan duduk pakde, Ibu lagi mempersiapkan


hidangan untuk pakde. Aini ke belakang dulu” ,lanjutnya.
Anak gadis polos itu segera ke dapur mengambil hidangan
yang telah disiapkan oleh ibunya.
Setelah semua hidangan disantap, anak gadis itu
kembali membawa empat cangkir teh untuk disuguhkan
untuk seisi rumah. Aini duduk di tempat semula kemudian
mendengarkan mereka yang berbincang- bincang dengan
seksama. Tiba-tiba Aini tertegun dengan perkataan ibunya.

“Ibu sih tidak masalah kalau Aini mondok di


pesantren. Mungkin abah juga akan menyetujuinya. Tapi,
ini tergantung nak Aini juga” , ungkap ibunya serius.

“Iya.....abah juga setuju-setuju aja kalau Aini


mondok sama pakdenya di sana. Nak Aini gimana”,
sambil menoleh ke wajah polos anak gadis itu.

“Mondok?”

“Pesantren?”, responnya dengan raut wajah yang


kebingungan.

Apa mungkin anak sekecil itu bisa menerima apa


adanya segala perbincangan mereka. Perbincangan yang
mengibakan jiwa. Membuat gundah gulana hati yang akan
jauh dengan pahlawan dalam hidupnya.

“Apa mungkin Aini akan Jauh sama Ibu dan


abah?”

“ Aini akan tetap bersama ibu dan abah di sini” ,


tuturnya dengan wajah mengiba menghadap bawah.

“ Aini juga masih kecil, ga bisa apa-apa. Yang


aini bisa Cuma bantu-bantu beres rumah setiap hari. Kalau
Aini pergi siapa yang akan nemenin ibu kalau Abah lagi di
sawah?. Siapa yang bakal bantu ibu nyuci piring selain
Aini?. Siapa yang bakal rawat dan menyiapkan hidangan
jika salah satu di antara ibu sama abah sakit?, siapa?” ujar
gadis kecil itu.

Sedewasa itu pemikiran anak gadis itu.


Sebenarnya bukan perihal jarak yang dia maksudkan.
Perkataannya itu hanyalah sebagai dalih agar ia bisa
merasakan aura kasih sayang dari orang tuanya setiap hari.
Karena masa yang sedang dijalani adalah masa dimana
seorang anak menikmati segenap rasa kasih sayang yang
datang dari pelukan hangat dari orang tua mereka. Begitu
pula dengan pribadi Aini. Anak yang masih gadis,
kepolosan masih menyertainya tidak mungkin luput dari
semua itu.

“Aini?, sekarang pakde tanya nih. Cita-cita


terbesar Aini apa?” , ujar pamannya yang berada tepat di
hadapannya. Aini yang masih menghadap bawah
merespon.

“Cita-cita terbesar Aini cuma ingin agar Ibu sama


abah bahagia”

“kira-kira dengan apa Aini akan membahagiakan


keduanya”, lanjutnya.

“Dengan apa saja yang Aini bisa”

“Salah satunya?”, pertanyaan terakhir ini


membuat Aini diam seribu bahasa.
Aini tidak bisa menjawab pertanyaan singkat dari
pakdenya. Ia hanya termenung dan mulai berfikir bahwa
membahagiakan kedua orang tua bukan hanya masalah
bisa menyuci piring dan beres-beres masalah rumah
lainnya, tapi lebih dari itu.

“ Kata guru pakde gini ‘orang yang tidak


memiliki harta, tidak akan pernah bisa memberi’, coba
menjelaskan.

“ Aini kalau misalkan udah gede mau ngasih apa


sama ibu dan abah?”

“Mmm.......”,gumamnya.

“ Ilmu adalah hal yang paling dicintai oleh Allah


karena itu Allah juga Maha Mengetahui dan memberi
pengetahuan bagi siapa saja dari hambanya. Ilmu agama
akan menjadi tameng untuk menghadapi segala siksaan di
hari akhir nanti”.

Sebenarnya Aini memiliki dua saudara. Kakak


perempuan dan adik laki-laki yang meninggal beberapa
minggu setelah lahir. Kakak perempuannya Yanti tinggal
jauh di Sumatra mengikuti suaminya. Diapun jarang balik
kampung. Bahkan pernah dalam satu tahun, kakak
perempuannya tidak pernah pulang sama sekali untuk
menengok keadaan penghuni rumah bambu yang reot itu.
Arif si bungsu yang malang meninggal beberapa minggu
setelah lahir. Kehilangan sosok arif satu setengah tahun
lalu membawa mereka pada noktak kesedihan yang tak
bertepi.
“Cuma Aini yang bisa diandalkan sekarang.
Kakakmu jauh di tanah Sumatra bersama suaminya.
Adikmu meninggal beberapa tahun yang lalu. Lalu Aini
masih berdiam di sini. Aini anak-satunya yang akan
mengubah segala keadaan yang ada nanti, insayaallah!”.

Ucapan pamannya itu sangat menusuk sampai ke


relung hati terdalam. Anak polos itu terdiam seribu bahasa
bak seorang yang tak tau arah kemana jasad ini akan di
bawa. Kedewasaan seakan-akan datang mengetuk pintu
hati anak gadis ini menyuruh memutuskan suatu hal yang
mungkin tidak bisa difikirkan oleh anak seusianya.

“ Ya Allah....berikanlah kemudahan untuk segala


urusan Aini”, ucapnya dalam hati.

“ Tapi...pakde tahun ini mau lulus, terus siapa


yang jaga Aini nanti?”.

“ Kalau masalah itu tidak perlu difikirkan. Pakde


tahun ini memang akan menyelesaikan halaqah pakde,
tapi setelah itu pakde bakal lanjutin sekolah di salah satu
perguruan tinggi di sana. Tenang aja Aini!” ,mencoba
meyakinkan.

Walaupun pamannya berusaha meyakinkan, tidak


tau kenapa gadis itu senantiasa termenung seolah-olah ada
sesuatu yang membuat hatinya terasa tidak nyaman.
Selama satu tahun kedepan mungkin Aini akan menguras
fikirannya untuk memutuskan semua itu.
“ Ibu menyerahkan semuanya kepada Aini, Aini
yang berhak memutuskan”.

“ Ehh...kemarin Ibu dengar-dengar juga, katanya


Fatin anaknya pak haji Suwandi akan di sekolahkan juga
di salah satu pondok pesantren di Lombok. Tapi ibu ndak
tau posisi pondoknya di mana”, kata ibu Ayuni.

Ibu Ayuni sebagai orang tua memang


menyerahkan semuanya mutlak keputusan dari Aini
anaknya. Siapa yang tidak tau kasih sayang seorang ibu
kepada anaknya. Melepaskan satu-satunya anak
kesayangan merupakan hal yang tidak mudah.
Merelakannya pergi jauh dari pelukannya.

“Aini bukannya sering main sama Fatin?”, tanya


ibunya.

“Iya pastilah...dia sahabat Aini sedari dulu di


kampung ini”.

“ Nah, apalagi kalau udah kayak gitu. Fatin juga


akan disekolahkan di pondok pesantren sama seperti Aini.
Lalu apalagi yang Aini permasalahkan?” , sahut
pamannya.

“ Emang iya si...tapi kan kita semua ndak tau


Fatin akan di sekolahkan di mana. Kita kan Cuma taunya
di lombok saja. Lombok pasti lebih luas dari pada desa
kita kan”, uangkapnya agak ketus.

“iya pakde tau, tapi pondok yang paling terkenal


di lombok cuma satu Aini. Pondok tempat pakde sekolah.
Kemungkinan besar Fatin akan disekolahkan di sana
juga”.

“ Iya udah bah...ibu...Pakde...”

“ Aini pasti akan memberikan yang terbaik untuk


abh sama ibu. Aini ga bakal ngecewain Abah sama ibu
kecewa dengan keputusan Aini yang masih ragu. Doakan
Aini agar semuanya bisa Aini lalui” ungkapnya.

Mungkin kata-kata Aini yang terakhir ini menjadi


akhir dari pembicaraan mereka di dalam pondok bambu
itu. Keadaan mulai tenang setalah pembicaraan yang
cukup panjang. Kini sang surya sudah memberikan isyarat
bahwa tidak lama lagi petang akan menemani penduduk
kampung. Semua bergegas mempersiapkan diri untuk
menyambut kedatangan malam. Pamannya juga tidak lama
setelah itu pamit pulang ke rumahnya.
Aini menjalani hari-hari yang kurang
mengenakkan setelah dia dihadapkan dengan suatu pilihan
yang membingungkan. Meninggalkan orang tua di rumah
mungkin bagi Aini merupakan hal yang tidak mudah. Dia
juga masih butuh banyak kasih sayang dari orang tuanya.
Tapi apalah daya, di sisi lain memaksa Aini harus
meninggalkan kedua orang tuanya berhijrah ke daerah
orang untuk menuntut ilmu.

“Ya allah...Engkau yang lebih mengetahui apa


yang lebih baik untuk hambamu. Kepadamu harap ku
sandarkan. Di mana Engkau menempatkanku itulah
yangterbaik untukku. Aku bertawakkal kepadamu. Aku
serahkan segalanya kepadamu”, untaian doa itu keluar dari
mulut mungil anak gadis itu di saat malam mulai
menyingsing.

Setelah kejadin tadi sore membuat Aini tidak


merasa tenang. Malam yang membuat Aini tidak tertidur
dengan nyeyak. Entah apa yang masih mengganjal di
dalam hati anak gadis ini. Memutuskan untuk bangun
kemudian mendirikan shalat untuk bermunajat kepada
Allah bukan perkara yang yang aneh dalam diri Aini. Ada
atau tidaknya masalah menghampiri , anak gadis ini tetap
menghidupkan malam-malamnya untuk menundukkan diri
sejenak kepada Yang Maha Kuasa. Hal ini mungkin
menjadi hal yang sedikit ganjil jika dibandingkan dengan
teman sebayanya. Tapi begitulah kehidupannya. Itulah
ma’unah dari Allah yang diperuntukkan khusus untuk
anak gadis itu.
“Ya Allah...allahummagfirli waliwalidayya
warhamhuma kama rabbayani sagira. Rabbana atina
fiddunya hasnah wafiil akhirati hasanah waqina
azabannar. Aminn.......”. mulut itu kembali tergerak.

Doa terakhir itu teruntai rapi dengan penuh ikhlas


dari diri seorang anak yang penuh bakti kepada orang
tuanya. Itulah pilihan Aini. Meninggalkan kedua orang tua
sejenak demi kebahagian mereka sepanjang hidup, itulah
yang membuat Aini memilih untuk mengikuti pamannya
untuk sekolah di pondok pesantren.
Pagi cerah penuh simfoni alam tampak
menggugah fikiran Aini yang duduk termenung di
halaman kecil depan rumahnya. Matahari pagi menyinari
kebun dengan lembutnya. Burung-burung riang bercuit-
cuit pada dahan-dahan pohon yang rindang. Hari memang
masih pagi sekali. Burung-burung masih belum berlalu,
bunga-bunga pun belum mengatup kepanasan. Semuanya
menambah meriahnya keindahan dengan warna-warna
warni mereka yang elok. Taman bunga sederhana yang
disusun rapi oleh ibu Ayuni memang membuat mata
sedikit tersita oleh susunan tanaman yang tertata rapi
dihalaman rumah sederhana itu.

“ Nak Aini...” ,suara panggilan terdengar dari


dalam rumah.

“ Nak Aini....”, suara itu terdengar kembali.

Ibu Ayuni yang sedang berada di dalam rumah


sedikit heran. Biasanya Aini sudah bersiap-siap membantu
ibunya untuk membereskan rumah.

“ Abah....”, ucapnya kepada suaminya yang


sedang bersiap-siap menuju ke sawah.

“ Iya buk ada apa?”.

“Abah ada lihat Aini ndak? Ibu panggil-panggil


kok ga ada yang nyahut. Masih pagi lagi, biasanya Aini
masih ada di dalam beres-beres rumah”
“ ooo Nak Aini... itu lagi duduk di halaman
rumah. Mungkin terlalu khusuk melihat tarian bunga yang
di depan”, sambil menunjuk ke belakang.

“ ndak biasanya nak Aini seperti itu bah...”,


ungkap ibunya sebari memutar sendok untuk membuat
kopi untuk suaminya.

“ Iya memang, abah juga akhir-akhir ini melihat


nak Aini sering melamun sendirian di halaman, bukan hari
ini saja. Sore hari juga sering”.

“Bah...”, ungkapnya dengan suara yang sedikit


pelan. ‘Apa karena nak Aini mau dipondokkan jadi sebab
dia sering melamun?”

“ Menurut abah gimana?. Apa perlu di


pertimbangkan sekali lagi?.

“ Abah sebenarnya menyerahkan keputusan itu


kepada nak Aini. Tapi mungkin, ini pilihan yang berat
bagi anak kita. Tapi ini juga untuk kebaikan Aini, masa
depannya kelak”.

“iya sudah, abah mau berangkat dulu”, sebari


mengambil peralatan sawah.

“ iya sudah abah hati-hati”

Sebelum keluar dari pagar rumah, Pak Akmal


menghampiri anak gadisnya yang tak kunjung berpindah
dari tempat semula. Masih saja memperhatikan tarian-
tarian bunga dihadapannya. Tapi sebenarnya dia tidak
sedang menikmati suasana, dia hanya sedang melamun.

“ hey...”, sambil menepuk punggung anaknya.

“eehh abah...ngagetin Aini aja. Ada apa bah?


Sambil menggeser sedikit badannya memberikan tempat
duduk untuk bapaknya.

“ Nak Aini kok pagi-pagi udah melamun aja.


Ndak bantu-bantu ibu tuh di dalam? ”, sambil mengelus
lembut kepala anak gadisnya.

“ hehe, iya abah. Ini Aini mau siap-siap”,


mencoba mencari alasan.

Ayahnya mencoba untuk mencari celah untuk


menanyakan hal yang sedang menggertu di hati anaknya.
Jiwa akan mengetahui dari jiwa lainnya. Mungkin ini juga
berlaku bagi hubungan orang tua dan anak. Firasat orang
tua terhadap anak sering kali tepat dan jarang sekali
melenceng. Hal itulah yang terjadi saat ini.

“ Nak Aini sering melamun karena tahun depan


Aini ndak lagi tinggal di sini kan?”, tanya ayahnya.

“ Aduh sayang, Nak Aini ndak perlu mikirin abah


sama ibu di sini nantinya. Abah sama ibu asti bisa jaga
diri, abah sama ibu kan udah besar hhe”, ungkapnya
dengan sedikit mengeluarkan tawa.
Anak gadis itu hanya duduk termenung
mendengarkan perkataan ayahnya yang cukup
meyakinknnya.

“ Jangan terlalu difikirkan , orang banyak fikiran


itu cepet tua”, ungkap ayahnya berusaha menenagkan.
sambil mengelus rambut setengah ikal dari anak gadisnya.
Perpisahan merupakan momentum di mana
masing-masing orang harus merelakan kepergian yang
lain. Dan itu lumrah dari setiap pertemuan. Tidak adapun
satu pertemuan yang tetap selamanya. Walaupun setiap
orang tidak banyak yang menginkan adanya perpisahan,
tapi kenyataannya itu akan tetap terjadi. Pengibaan yang
timbul karenanya pun merupakan suatu yang biasa.
Bersedih atas kepergian seseorang setelah adanya
pertemuan panjang itu juga hal yang biasa.

You might also like