You are on page 1of 26

RINGKASAN MATERI KULIAH

KONSEP DASAR PPH BADAN, LABA FISKAL, KOMPENSASI KERUGIAN DAN


PENGHASILAN KENA PAJAK WAJIB PAJAK BADAN
EKA321/A4

Dosen Pengampu :
Dr. Gerianta Wirawan Yasa, S.E., M.Si.

Disusun Oleh:
Made Widananda Vira Suksma Paramachintya (2107531256)
I Gusti Ayu Dianita Martha Kamalini (2107531257)
Ni Ketut Trisna Ardani (2107531258)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ringkasan yang berjudul Konsep Dasar PPh Badan,
Laba Fiskal, Kompensasi Kerugian Dan Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Badan. Adapun
tujuan penulisan dari ringkasan ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Dr. Gerianta
Wirawan Yasa, S.E., M.Si. Selain itu, ringkasan ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Konsep Dasar PPh Badan, Laba Fiskal, Kompensasi Kerugian Dan
Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Badan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Gerianta Wirawan Yasa, S.E., M.Si
selaku Dosen Mata Kuliah Perpajakan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan mata kuliah Perpajakan. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan ringkasan ini.
Kami menyadari, ringkasan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan dan perbaikan ringkasan ini pada masa
yang akan datang.

Jimbaran, 15 Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................................................... 1
1.3. Tujuan ............................................................................................................................ 2
BAB II ....................................................................................................................................... 3
2.1. Konsep Dasar PPh Badan............................................................................................... 3
2.2. Laba Fiskal ................................................................................................................... 11
2.3. Kompensasi Kerugian .................................................................................................. 12
2.4. Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Badan ............................................................... 15
BAB III .................................................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pajak memilki peranan yang sangat penting di Indonesia karena penerimaan pendapatan
terbesar berasal dari pajak. Pajak dapat dikatakan sebagai salah satu sumber penerimaan
negara yang sangat penting untuk mendukung pembiayaan pembangunan yang bersumber
dari dalam negeri. Maka salah satu jenis pajak yang ditekankan adalah pajak penghasilan.
Pajak Penghasilan dapat dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh orang pribadi
maupun badan dalam tahun pajak.
Dalam perpajakan di Indonesia, badan dapat diartikan sebagai sekumpulan orang atau
modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha (sekutu aktif) maupun tidak
melakukan usaha (sekutu pasif). Pengertian badan meliputi perseroan terbatas (PT), perseroan
komanditer (CV), BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, yayasan, organisasi masal, organisasi sosial politik , atau organisasi lainnya,
lembaga, badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Perusahaan/badan sebagai salah satu Wajib Pajak harus memahami dengan baik peraturan
perpajakan agar dapat memenuhi kewajiban pajak dengan benar dan tepat waktu. Salah
satunya adalah tata cara perhitungan pajak penghasilan badan. Dalam perhitungan pajak
penghasilan badan seringkali terjadi perbedaan antara pajak penghasilan yang telah dihitung
(komersial) dengan menurut fiskus (fiskal). Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
mengenai pengakuan pendapatan, biaya dan laba dalam laporan keuangan perusahaan
(komersial) dengan laporan keuangan yang ditetapkan oleh fiskus (fiskal). Akibat dari adanya
perbedaan pengakuan pendapatan, biaya dan laba antara menurut perusahaan (komersial)
dengan fiskus (fiskal), maka perlu dilakukan penilaian mengenai cara perhitungan pajak
penghasilan yang dilakukan oleh perusahaan dengan fiskus (fiskal). Hal ini dimaksudkan
untuk dapat menentukan pajak penghasilan badan (terutang) menurut UU Perpajakan No. 36
tahun 2008.

1.2. Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana konsep dasar PPh badan?
1.2.2. Apa itu laba fiskal?
1.2.3. Apa saja kompensasi kerugian?

1
1.2.4. Apa saja penghasilan kena pajak wajib pajak badan?

1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengatahui konsep dasar PPh badan
1.3.2. Untuk mengetahui laba fiskal
1.3.3. Untuk mengetahui kompensasi kerugian
1.3.4. Untuk mengetahui penghasilan kena pajak wajib pajak badan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Konsep Dasar PPh Badan


2.1.1. Konsep Dasar Pajak Penghasilan Badan
Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
CaraPerpajakan, Badan merupakan sekumpulan orang atau modal yang merupakan satu
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha. Bentuk badan dapat
berupa Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV), perseroan lainnya, Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masyarakat, organisasi sosial
politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dan Bentuk
Usaha Tetap (BUT). Pengertian BUT dalam hal Badan Usaha adalah bentuk usaha yang
dipergunakan oleh badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk usaha yang
dipergunakan oleh badan ini dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang
perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel, gudang, ruang untuk
promosi dan penjualan, pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja
pertambangan minyak dan gas bumi, perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau
kehutanan, proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk
apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka
waktu 12 bulan Badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas, agen
atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia,
komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Dasar pemotongan pajak bagi suatu badan usaha dibedakan menjadi penghasilan
bruto dan penghasilan neto. Dasar pemotongan pajak berdasarkan penghasilan bruto adalah
dividen, bunga, royalti, hadiah atau penghargaan, dan bunga simpanan yang telah
dibayarkan oleh koperasi. Sedangkan dasar pemotongan pajak berdasarkan penghasilan neto
adalah sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta dan imbalan

3
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan dan jasa
lain selain yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pajak Penghasilan Badan atau PPh Badan adalah pajak yang dikenakan atas
penghasilan suatu perusahaan. Sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh), penghasilan suatu badan atau perusahaan yang dimaksud adalah
“Setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib
Pajak Badan, baik dari dalam maupun luar negeri, dengan keperluan apa pun termasuk
misalnya menambah kekayaan, konsumsi, investasi, dan lain sebagainya.”

2.1.2. Subjek dan Bukan Subjek Pajak Penghasilan Badan


Pajak Penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam tahun pajak. Dalam PPh Badan, yang menjadi subjek pajak adalah
badan dan bentuk usaha tetap. Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Subjek pajak dibedakan menjadi
subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
a Subjek Pajak Dalam Negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Subjek pajak dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi
kriteria:
• Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
• Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
• Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat (Pempus) atau
Pemerintah Daerah (Pemda)
• Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara
• Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
b Subjek Pajak Luar Negeri, yaitu badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia; dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari
Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.
c Sementara itu yang Tidak Termasuk Subjek Pajak Badan meliputi

4
1) kantor perwakilan negara asing;
2) organisasi-organisasi internasional dengan syarat
• Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
• tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota.
3) unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
• pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
• pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
• penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah; dan
• pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

2.1.3. Objek Pajak Penghasilan Badan


Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan. Bagi
Subjek Badan dalam negeri yang menjadi objek PPh adalah semua penghasilan baik dari
dalam maupun dari luar negeri. Penghasilan yang sebagai objek PPh Badan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 4 Ayat Undang-Undang PPh ini meliputi:
a penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau
diperoleh;
b hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c laba usaha;
d keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta (selain tanah dan
bangunan);
e penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan
pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g dividen;
h royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

5
k keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n premi asuransi;
o iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
q penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s surplus Bank Indonesia.

2.1.4. Jenis PPh Badan


Secara umum, ada dua jenis pajak yang harus dibayar dan dilaporkan oleh Wajib
Pajak Badan, yakni Pajak Penghasilan Badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kedua
pajak Badan tersebut terbagi lagi menjadi beberapa jenis.
1 Jenis Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan pada Badan atau PPh Badan
Ada beberapa jenis pajak penghasilan badan atau PPh Badan yang harus dibayar dan
dilaporkan oleh perusahaan atau WP Badan, di antaranya:
a Pajak Penghasilan Pasal 21
PPh Pasal 21 mengatur tentang pemotongan dari hasil pekerjaan jasa atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
atau karyawan Anda, dan harus dibayarkan setiap bulannya. Perusahaan melakukan
pemotongan langsung atas penghasilan para karyawan untuk selanjutnya
disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi. Saat ini, pengelolaan untuk pajak
karyawan termasuk hitung dan setor maupun lapor dapat dilakukan melalui fitur e-
Filing Klikpajak.
b Pajak Penghasilan Pasal 22
PPh 22 mengatur atas pemungutan pajak dari Wajib Pajak yang dibebankan pada
badan usaha tertentu karena melakukan aktivitas perdagangan terkait dengan
ekspor, impor, maupun re-impor. Untuk lebih spesifik aturan PPh Impor, hal ini
diatur dalam pasal 22 ayat 1

6
c Pajak Penghasilan Pasal 23
PPh Pasal 23 adalah pajak yang mengatur atas pemotongan pajak yang dilakukan
oleh pemungut pajak dari Wajib Pajak ketika terjadi transaksi yang merujuk pada:
• Transaksi dividen atau pembagian keuntungan saham
• Royalti, bunga, hadiah dan penghargaan
• sewa, dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan aset selain
tanah dan transfer bangunan atau jasa.
d Pajak Penghasilan Pasal 25
PPh Pasal 25 mengatur atas angsuran pajak yang berasal dari jumlah pajak
penghasilan terutang menurut SPT PPh dikurangi PPh yang telah dipungut serta
PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan boleh dikreditkan.
e Pajak Penghasilan Pasal 26
PPh Pasal 26 mengatur pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber
dari Indonesia dan diterima Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap
(BUT) di Indonesia.
f Pajak Penghasilan Pasal 29
PPh Pasal 29 mengatur atas jumlah pajak terutang suatu perusahaan dalam satu
tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak
lain, serta telah disetorkan. Maka nilai lebih pajak terutang tersebut harus
dibayarkan sebelum SPT PPh Badan dilaporkan.
g Pajak Penghasilan Pasal 15
PPh Pasal 15 mengatur atas laporan pajak yang berhubungan dengan Norma
Perhitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, termasuk Wajib Pajak
Badan yang bergerak pada:
• Sektor pelayaran atau penerbangan internasional
• Perusahaan asuransi luar negeri
• Pengeboran minyak, gas dan geothermal
• Perusahaan dagang asing
• Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangunan serah guna.
h Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)
PPh Pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan pajak yang dipungut dari penghasilan yang
dipotong dari:
• Bunga deposito dan tabungan lainnya
7
• Bunga obligasi dan surat utang negara
• Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi
• Hadiah undian
• Transaksi saham dan sekuritas lainnya
• Serta transaksi lain sebagaimana diatur dalam peraturan yang ditetapkan.
2 Jenis Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Berikut jenis pajak badan dari PPN:
a Pajak Pertambahan Nilai
PPN adalah merupakan pajak yang dibebankan untuk transaksi atas Barang Kena
Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP). Nilai PPN biasanya ditambahkan pada
harga pokok barang atau jasa yang diperjualbelikan tersebut.
b Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan atas
barang atau produk yang dianggap bukan sebagai barang kebutuhan pokok.
Barang tersebut biasanya dikonsumsi oleh masyarakat kalangan tertentu yang
pada umumnya merupakan masyarakat berpenghasilan tinggi.

2.1.5. Dasar Hukum Pajak Penghasilan Badan


1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
3 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan
Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu.
4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan
Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu.

2.1.6. Ketentuan Perhitungan Pajak Penghasilan Badan


Ketentuan yang berlaku terdapat dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 28 Ayat (1) bahwa Wajib Pajak Badan diwajibkan untuk
mengadakan pembukuan agar mengetahui besar Penghasilan Kena Pajak yang dikenakan.
Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan yaitu melalui proses
sebagai berikut:

8
1 Menghitung penghasilan selama setahun
Perhitungan selama setahun secara keseluruhan dari penghasilan yang diperoleh
dalam satu tahun pajak kecuali penghasilan yang bukan objek pajak dan yang
dikenakan PPh Final.
2 Mengurangi dari biaya-biaya
Pengurangan biaya-biaya yang dikeluarkan yaitu pengeluaran langsung atau tidak
langsung dan berhubungan dengan kegiatan usaha. Biaya yang dimaksud seperti
biaya sewa, pembelian barang, biaya yang terkait dengan pekerjaan atau jasa, biaya
bunga, biaya perjalanan, royalti, premi asuransi, biaya penyusutan/amortisasi, biaya
promosi dan penjualan, biaya pengelolaan limbah, administrasi, dan biaya sejenis
lainnya.
3 Biaya yang tidak dapat dikurangi
Wajib Pajak Badan juga harus mengeluarkan biaya yang tidak dapat dikurangi
diantaranya pembagian laba/dividen, sisa hasil usaha koperasi atau biaya
kepentingan pribadi pemegang saham, maupun biaya lain dalam aturan perpajakan.
Apabila biaya yang tidak dapat dikurangi sudah masuk dalam pembukuan, maka
harus dikeluarkan lebih dahulu melalui koreksi fiskal.
Jika penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya hasilnya rugi dan tidak
dikenakan Penghasilan Kena Pajak, maka kerugian dapat dikompensasi dengan penghasilan
Tahun Pajak berikutnya yang berlaku 5 tahun berturut-turut.

2.1.7. Tarif Pajak Penghasilan Badan


Untuk besaran tarif yang dikenakan PPh Badan telah diatur dalam Undang-Undang
Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 17. Tarif dalam Pasal 17 ayat (2a) secara umum Wajib
Pajak Badan Dalam Negeri dan BUT dikenakan sebesar 25%. Penjelasan lebih lanjut
mengenai tarif PPh Badan yaitu sebagai berikut:
1 Penurunan tarif PPh Badan untuk Perusahaan Tbk
Berdasarkan tarif umum PPh Badan sebesar 25% terdapat penurunan tarif dengan
ketentuan khusus yang diatur PPh Pasal 17 Ayat (2) b yaitu bagi Wajib Pajak Dalam
Negeri yang bentuknya Perseroan Terbuka (Tbk) dan memenuhi ketentuan maka
mendapat penurunan tarif PPh sebesar 5% lebih rendah. Syarat Penggunaan Tarif PPh
Badan Perusahaan Tbk

9
a) Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham
(IPO/Initial Public Offering), sesuai dengan peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal sesuai PP 77 tahun 2013 sampai dengan PP 56 tahun 2015
yaitu
b) Saham yang dimaksud huruf a harus dimiliki paling sedikit 300 pihak.
c) Masing-masing pihak yang dimaksud huruf b hanya dapat memiliki saham kurang
dari 5% dari seluruh saham yang ditempatkan.
d) Ketentuan yang dimaksud dalam huruf a, b, dan c harus dipenuhi dalam waktu
paling singkat dalam jangka waktu satu tahun pajak.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka cara menghitung pajak penghasilan badan adalah
sebagai berikut:
PT AAA memiliki jumlah Penghasilan Kena Pajak badan adalah senilai
Rp2.000.000.000, maka tarif PPh badan yang harus dibayarkan adalah 25% x
Rp2.000.000.000 = Rp500.000.000.
Dan perlu diketahui, penghasilan yang dipotong dengan Pajak Penghasilan yang
bersifat final, tidak termasuk dalam ketentuan ini. Tarif pajak final diatur dalam aturan
tersendiri berdasarkan Peraturan Pemerintah.

2 Penurunan Tarif PPh Badan untuk Peredaran Bruto Tertentu


Wajib Pajak berupa badan yang berdomisili di dalam negeri dan memiliki peredaran
bruto hingga Rp50 miliar berhak menerima pengurangan tarif 50% dari tarif yang
termaktub dalam Undang-Undang PPh Pasal 17 Ayat (1) Huruf b dan Ayat (2a).
Pemberlakuan pengurangan dikenakan untuk perusahaan dengan bruto hingga Rp4,8
miliar. Penurunan tarif PPh Wajib Pajak Badan dalam negeri selain diatur dalam Pasal
17 Ayat (1) b dan ayat (2) a yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari
peredaran bruto sampai dengan 4,8 miliar. Maka dari itu, jika badan dalam negeri
memiliki peredaran bruto tidak lebih dari 50 miliar penghitungan PPh Badan yang
dilakukan ialah pertama Penghasilan Kena Pajak dari peredaran bruto sampai dengan
4,8 miliar dikenakan tarif sebesar 50% x 25% sedangkan untuk kena pajak sisanya
dikenakan sebesar 25%.

10
2.2. Laba Fiskal
Laba fiskal (taxable profit) dalam akuntansi pajak merupakan laba atau rugi dalam suatu
perusahaan selama satu periode pajak yang umumnya meliputi satu tahun pajak (dihitung
berdasarkan aturan perpajakan). Laba fiskal dapat dihitung berdasarkan pada aturan
perpajakan dan laba fiskal itu sendiri Laba fiskal ini dapat menjadi acuan dasar perhitungan
pajak penghasilan (PPh) pada sebuah perusahaan nantinya. Pada umumnya, laba fiskal dapat
disebut juga dengan penghasilan kena pajak atau rugi pajak (tax loss).
Laba fiskal atau penghasilan kena pajak (PKP) dapat dihitung dengan cara laba akuntansi
atau laba komersial yang dikurangi atau ditambah dengan koreksi fiskal. Laba komersial
dalam akuntansi perpajakan dapat diartikan sebagai laba atau rugi bersih yang terjadi pada
sebuah perusahaan selama satu periode. Laba ini belum dikurangi atas suatu beban pajak
yang diterima atau beban pajak penghasilan yang terutang. Pada laba komersial, semua
pendapatan dan biaya pada suatu perusahaan telah dihitung atau dilaporkan, termasuk
pendapatan yang merupakan objek maupun bukan objek pajak penghasilan, juga biaya yang
boleh dan tidak boleh dikurangkan dari penghasilan kena pajak. Dengan adanya laba
komersial, maka sebuah perusahaan dapat mengetahui apakah bisnis yang dijalankan oleh
perusahaan tersebut memberikan keuntungan atau malah memberikan kerugian bagi
perusahaan itu sendiri.
Laba fiskal diperoleh dari laba komersial yang telah melalui koreksi fiskal. Koreksi
fiskal atau yang biasa disebut dengan Rekonsiliasi fiskal adalah penyesuaian ataupun koreksi
yang dilakukan oleh wajib pajak atas tanggungan pajaknya sebelum melakukan perhitungan
Pajak Penghasilan (PPh). Koreksi fiskal dapat terjadi dikarenakan adanya perbedaan
pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi komersial dengan akuntansi pajak.
Perbedaan tersebut biasanya terdiri dari:
1. Beda Tetap
Penghasilan dan biaya yang diakui pada perhitungan laba neto dalam akuntansi
komersial namun tidak diakui dalam perhitungan akuntansi pajak. Contoh dari
penghasilan adalah bunga yang didapatkan dari deposito, sumbangan, dan hibah,
sedangkan contoh dari biaya adalah biaya pajak penghasilan, biaya sanksi perpajakan,
dan biaya sumbangan.
2. Beda Waktu
Penghasilan dan biaya yang diakui oleh akuntansi komersial ataupun sebaliknya namun
tidak diakui sekaligus oleh akuntansi pajak, biasanya dikarenakan perbedaan metode

11
pengakuan. Contoh dari penghasilan adalah pendapatan laba selisih kurs dan contoh dari
biaya adalah biaya sewa serta biaya penyusutan.
Adapun koreksi fiskal dibedakan menjadi 2 macam, yaitu
1. Koreksi fiskal positif, yaitu koreksi fiskal yang dapat menyebabkan penambahan
penghasilan kena pajak dan pajak penghasilan (PPh) terutang. Contoh dari koreksi fiskal
positif adalah biaya pajak penghasilan.
2. Koreksi fiskal negatif, yaitu koreksi fiskal yang dapat menyebabkan pengurangan
penghasilan kena pajak dan pajak penghasilan (PPh) terutang. Contoh koreksi fiskal
negatif adalah penghasilan dari bunga deposito.

Contoh Perhitungan Laba Fiskal


Diketahui pada tahun 2015, PT Jaya Abadi melaporkan laba komersial sebesar
Rp 100.000.000,00. Diketahui pula bahwa perusahaan ini melaporkan adanya koreksi fiskal
positif sebesar Rp 20.000.000,00 dan koreksi negatif sebesar Rp 5.000.000,00. Maka
penghitungan laba fiskal (penghasilan kena pajak) adalah sebagai berikut.
Sehingga koreksi fiskal yang didapatkan:
Koreksi Fiskal Positif 20.000.000,00
Koreksi Fiskal Negatif (5.000.000,00)
Koreksi Fiskal Rp 15.000.000,00

Maka laba Fiskal yang disetorkan PT Jaya Abadi:


Laba Komersial 100.000.000,00
Koreksi Fiskal 15.000.000,00
Laba Fiskal Rp 85.000.000,00

2.3. Kompensasi Kerugian


Kompensasi kerugian fiskal adalah skema ganti rugi yang dilakukan oleh wajib pajak
badan maupun wajib pajak orang pribadi yang berdasarkan pembukuannya mengalami
kerugian. Kompensasi tersebut akan dilakukan pada tahun berikutnya secara berturut-turut
hingga 5 tahun. Pada umumnya, sebuah perusahaan memiliki 2 jenis perhitungan keuangan,
yaitu perhitungan komersial dan perhitungan fiskal. Pada perhitungan fiskal lebih ditekankan
ke penyusunan laporan perpajakan yang ada pada SPT dan pertimbangan konsekuensi

12
perpajakannya dalam perusahaan. Perhitungan fiskal bagi perusahaan berfungsi sebagai
informasi keuangan perusahaan yang nantinya akan ditujukan secara khusus ke otoritas pajak
sebagai salah satu bentuk kepatuhan pajak (tax compliance). Berdasarkan hasil perhitungan
tersebut akan diketahui apakah wajib pajak mengalami kerugian fiskal atau tidak.
Kompensasi kerugian fiskal dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Kompensasi Kerugian Secara Horizontal
Penjelasan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan menjelaskan bahwa
karena Undang-Undang ini menganut penghasilan dalam arti luas maka semua jenis
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk
mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak
suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali
a usaha yang menderita kerugian tersebut dikenai pajak dengan tarif yang bersifat
final atau dikecualikan dari objek pajak. Kerugian cabang di luar negeri tidak boleh
dikompensasikan dengan penghasilan dalam negeri, atau
b kerugian yang diderita di luar negeri, karena kerugian tersebut akan
dikompensasikan secara vertikal di luar negeri
Contoh:
Bu Darmi memiliki 2 toko. Toko kesatu menjalankan usaha menjual baju dan toko
kedua menjual buku. Dalam tahun 2011, usaha penjualan baju mendapatkan laba fiskal
sebesar Rp700.000.000., sedangkan penjualan buku menderita kerugian fiskal sebesar
Rp300.000.000.
Penghasilan neto fiskal Bu Darmi tahun pajak 2011 adalah
Toko baju 700.000.000
Toko buku (300.000.000)
Penghasilan Neto Fiskal Rp 400.000.000

2. Kompensasi Kerugian Secara Vertikal


Kompensasi kerugian ini pada dasarnya telah diatur dalam Undang-Undang No.36 tahun
2008 pada pasal yang ke 6 ayat 2 yang membahas mengenai Pajak Penghasilan yang
didalamnya mencantumkan ayat pertama pada pasal tersebut. Dalam UU tersebut
disebutkan bahwa: “Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan

13
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.” Ayat
pertama yang tercantum itu sendiri membahas tentang pengurangan yang antara lain :
1 Adanya pengurangan biaya langsung atau tidak terkait dengan kegiatan usaha.
2 Adanya penyusutan untuk pengeluaran agar mendapat harta berwujud dan adanya
amortisasi untuk pengeluaran agar mendapat hak, serta atas biaya lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari setahun
3 Adanya iuran dana pensiun yang disahkan oleh Menteri Keuangan.
4 Adanya kerugian akibat penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki dan dalam hal
itu digunakan dalam perusahaan terkait.
5 Adanya kerugian yang diakibatkan karena adanya selisih kurs mata uang asing.
6 Adanya pengurangan untuk biaya penelitian serta pengembangan atas perusahaan
yang dilakukan di Indonesia.
7 Adanya biaya beasiswa, pelatihan, serta magang.
8 Adanya Piutang yang ternyata tidak dapat ditagih.
9 Adanya sumbangan yang dialokasikan untuk penanggulangan bencana nasional yang
telah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Namun, terdapat perbedaan perlakuan kompensasi kerugian apabila wajib pajak
mendapat fasilitas pasal 31A UU PPh. Wajib pajak ini diberikan tambahan kompensasi
vertikal menjadi lebih dari 5 tahun hingga maksimal 10 tahun. Fasilitas yang dimaksud
adalah wajib pajak yang melakukan penanaman modal pada bidang-bidang tertentu atau
daerah-daerah tertentu, seperti jika menanam modal pada pertambangan di luar daerah
terpencil (kompensasi kerugian paling lama 8 tahun) dan penanaman modal di dalam
daerah terpencil (kompensasi kerugian paling lama 10 tahun).
Contoh Sederhana Perhitungan Kompensasi Kerugian Fiskal (Vertikal)
Pada 2014, PT Sinar Rembulan mengalami kerugian fiskal sebanyak Rp 300 juta.
Kerugian tersebut dapat dikompensasikan hingga tahun 2019, dengan uraian sebagai
berikut:

Tahun Keterangan Sisa Kompensasi

2014 Rugi (Rp 300.000.000) Rp 300.000.000


2015 Laba (Rp 100.000.000) 200.000.000
2016 Rugi (Rp 30.000.000) Rp 30.000.000
2017 Laba (Rp 75.000.000) 125.000.000

14
2018 Laba (Rp 30.000.000) 95.000.000
2019 Laba (Rp 75.000.000) 20.000.000

1 Tahun 2014 mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 300 juta.


2 Tahun 2015 mengalami laba fiskal sebesar Rp 100 juta. Nanti, kerugian fiskal tahun
2014 dapat dikurangi, sehingga hanya tersisa Rp 200 juta.
3 Tahun 2016 mengalami rugi fiskal sebesar Rp 30 juta. Pada tahun ini wajib pajak
belum perlu membayarkan pajak. Sedangkan sisa kerugian fiskal pada 2014 tetap Rp
200 juta, dan memiliki saldo kerugian fiskal tambahan sebesar Rp 30 juta pada 2016.
Kedua kerugian ini tidak dapat digabungkan.
4 Tahun 2017 mengalami laba fiskal sebesar Rp 75 juta. Maka laba tersebut akan
digunakan untuk mengurangi kerugian fiskal pada 2014. Jadi, saldo kerugian fiskal
2014 berkurang sebesar Rp 125 juta. Sedangkan saldo rugi fiskal pada 2016 tetap Rp
30 juta.
5 Tahun 2018 mengalami laba fiskal sebesar Rp 30 juta. Maka saldo rugi fiskal tahun
2014 akan dikurangkan, sehingga sisa Rp 95 juta. Sedangkan, rugi fiskal pada 2016
jumlahnya tidak berubah.
6 Tahun 2019 mengalami laba fiskal sebesar Rp 75 juta. Maka saldo rugi fiskal tahun
2014 akan dikurangkan lagi, sehingga tersisa Rp 20 juta. Sedangkan rugi fiskal
tahun 2016 tetap Rp 30 juta.
Berdasarkan contoh di atas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2015, 2017, 2018, dan
2019 PT Sinar Rembulan menghasilkan laba fiskal. Kerugian yang dialami pada tahun
2016 masih dapat dikompensasi atau diperhitungkan hingga tahun ke-5. Sedangkan
untuk kerugian yang dialami pada tahun 2014 yang telah mencapai tahun ke 5 di tahun
2019, masih terdapat sisa kompensasi kerugian sebesar Rp 20 juta. Jumlah ini tidak dapat
dikompensasikan lagi karena telah melewati batas waktu 5 tahun, sehingga sisa Rp 20
juta tersebut dikatakan hangus dan harus dihapuskan dari laporan keuangan.

2.4. Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Badan


Sebagai wajib pajak badan, subjek dan objek PPh badan adalah jenis pajak penghasilan
yang dikelola perusahaan, ketentuan tarif pajak penghasilan badan diatur dalam pasal berapa
dan berapa tarif PPh Badan terbaru sesuai UU HPP. Secara umum, ada dua jenis pajak yang

15
harus dibayar dan dilaporkan oleh Wajib Pajak Badan, yakni Pajak Penghasilan Badan dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Penghasilan Kena Pajak merupakan suatu dasar penghitungan untuk menentukan
besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Penghasilan kena pajak sebagai dasar penetapan
tarif pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan dari penghasilan seperti yang dimaksud dalam UU PPh Pasal 4 ayat (1)
dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat
(1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
• Mekanisme Perhitungan PPh Badan
Berikut adalah mekanisme perhitungan pajak penghasilan badan yang harus diketahui
sebelum cara menghitung Pajak Penghasilan Badan:
A Penghasilan Kena Pajak
1 Menghitung PKP Menggunakan Pembukuan
Untuk Wajib Pajak Badan, besarnya PKP sama dengan penghasilan netonya. Yaitu
penghasilan bruto dikurangi dengan biaya- biaya yang diperkenankan oleh undang-
undang PPh yang berlaku. Biaya yang dapat dikurangkan sebagaimana diatur dalam
ketentuan fiskal adalah biaya yang terkait dengan upaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan (3M). Biaya-biaya ini diatur dalam UU PPH
Pasal 6, diantaranya:
a) Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, contohnya biaya pembelian lahan, biaya promosi dan penjualan yang
diatur berdasarkan PMK No. 02/PMK/03/2010.
b) Biaya penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
c) Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan
d) Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta perusahaan untuk 3M
e) Kerugian selisih kurs mata uang asing
f) Biaya penelitian yang dilakukan di Indonesia
g) Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan
h) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih
i) Sumbangan penanggulangan bencana nasional, sumbangan penelitian yang
dilakukan di Indonesia, sumbangan biaya pembangunan infrastruktur sosial,
sumbangan fasilitas pendidikan, sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga

16
Sementara di dalam perusahaan, terdapat biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan
(non-deductible expense). Biaya ini diatur dalam Pasal 9 UU HPP, di antaranya:
a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen
yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi.
b) Biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu,
atau anggota.
c) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan.
d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi.
e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham
atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
g) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU HPP.
h) Pajak penghasilan.
i) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib
pajak orang pribadi atau orang yang menjadi tanggungannya.
j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. Sanksi administrasi
berupa bunga, denda, kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang
berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan
k) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau
amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A UU PPH
Biaya yang termasuk ke dalam deductible expense tidak dapat digunakan sebagai
pengurang untuk menghitung penghasilan kena pajak. Karena itu, ada baiknya
untuk memisahkan terlebih dahulu antara deductible expense dan non-deductible
expense dalam menghitung PPh Badan. Biaya-biaya yang termasuk ke dalam non-
deductible expense ini akan menimbulkan koreksi fiskal positif, dan biaya-biaya
yang termasuk ke dalam deductible expense akan menimbulkan koreksi fiskal

17
negatif. Selanjutnya, didapatkan penghasilan neto fiskal, yaitu penghasilan neto
yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri, baik dari kegiatan usaha maupun
bukan, setelah melewati proses rekonsiliasi fiskal yang berdasarkan ketentuan
perpajakan.
Rumus:
PKP WP Badan = Penghasilan Bruto – Biaya yang Diperkenankan UU PPh

2 Menghitung PKP Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto Apabila


Wajib Pajak menghitung PKP menggunakan norma penghitungan penghasilan neto,
maka besarnya penghasilan neto adalah sama besarnya dengan persentase norma
penghitungan penghasilan neto dikalikan dengan jumlah peredaran usahanya. Dan
dalam hal rugi tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan.
PKP WP Badan = (Penghasilan Bruto – Biaya yang Diperkenankan UU PPh)
– Kompensasi Kerugian
Penghasilan neto fiskal ini kemudian dikurangkan dengan kompensasi kerugian
fiskal, yaitu sisa saldo kerugian badan dari tahun sebelumnya (jika ada). Sebagai
informasi, kerugian fiskal yang akan dikompensasikan wajib dihitung berdasarkan
aturan perpajakan terlebih dahulu dan bukan merupakan kerugian komersial.
Kemudian, hasil dari pengurangan penghasilan neto fiskal dan kompensasi kerugian
fiskal tersebut adalah besaran penghasilan kena pajak yang dimaksud. Jika
penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya tersebut didapat kerugian
sehingga tidak terdapat penghasilan kena pajak, kerugian tersebut dikompensasikan
dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5
(lima) tahun berikutnya.
Untuk Menghitung Nominal PPh Terutang, dapat dicari melalui mengalikan
penghasilan kena pajak dengan tarif pajak yang berlaku. Berdasarkan Pasal 17 ayat
(1) bagian b UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak yang
dikenakan kepada badan adalah 25%. Besar tarif ini berlaku sejak tahun pajak 2010.
Tarif lebih rendah dapat dikenakan kepada wajib pajak badan dalam negeri dengan
ketentuan sebagai berikut:
a Berbentuk perseroan terbuka.
b Memiliki sedikitnya 40% jumlah keseluruhan saham yang disetor dan
diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia.

18
c Tarif yang dikenakan sebesar 5% lebih rendah daripada tarif normal.

• Perubahan Tarif Pajak Badan Selama Pandemi


Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 Tahun 2020 tentang Penurunan Tarif
Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbatas,
tarif PPh badan diturunkan. Aturan ini dikeluarkan untuk melaksanakan Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang No. 2/2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) No. 1/2020 tentang: “Kebijakan Keuangan Negara dan
Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Dalam
Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau
Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.”
Selama ini tarif PPh Badan normal adalah 25% dari Penghasilan Kena Pajak. Melalui
aturan baru ini, tarif PPh Badan turun secara bertahap yakni:
➢ 22% berlaku pada 2020 dan 2021
➢ 20% mulai berlaku pada 2022
Lebih rendah 3% untuk Perusahaan Terbuka (Tbk), menjadi:
➢ 19% pada 2020 dan 2021
➢ 17% mulai pada 2022
Syarat penurunan tarif PPh Badan lebih rendah 3% bagi Perusahaan Tbk yaitu:
a. Saham dikuasai setidaknya 300 pihak.
b. Setiap pihak di dalam Perseroan Terbuka (PT) hanya diizinkan menguasai saham di
bawah 5% dari keseluruhan saham yang diperdagangkan dan disetor penuh.
c. Saham yang diperdagangkan dan disetor pada bursa efek wajib dipenuhi dalam
kurun waktu paling sedikit 183 hari kalender selama jangka waktu 1 tahun pajak.
d. Membuat laporan kepada Direktorat Jenderal Pajak

• Ketentuan Tentang Pajak PPh Badan Usaha


Hal lain yang harus dipahami mengenai ketentuan tentang Pajak PPh Badan yaitu
peredaran bruto dan kepentingannya dalam penghitungan PPh Badan. Peredaran bruto
adalah seluruh penghasilan yang diterima, baik orang pribadi maupun badan. Jika wajib
pajak memilih untuk tidak melakukan pembukuan, PKP akan dihitung berdasarkan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Sebaliknya, jika wajib pajak melakukan

19
pembukuan yang benar, penghitungan PKP dilakukan berdasarkan catatan yang tertulis
di pembukuan. Anda dapat melihat contoh perhitungan PPh badan.
Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang dimaksud dapat Anda lihat pada pasal 14
UU No. 36 Tahun 2008 tentang PPh. Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku,
Norma Penghitungan Penghasilan Neto dibagi dalam 2 jenis berdasarkan jumlah
peredaran bruto, yaitu:
1. Peredaran Bruto hingga Rp50 Miliar
➢ Kurang dari Rp 4,8 Miliar : 50% x 25% x PKP
➢ Lebih Dari Rp 4,8 Miliar s/d Rp 50 Miliar : [(50% x 25%) x PKP memperoleh
fasilitas] + [25% x PKP tidak memperoleh fasilitas]
2. Peredaran Bruto di Atas Rp 50 Miliar
PPh badan terutang dengan peredaran bruto di atas Rp 50 miliar akan dihitung
berdasarkan ketentuan umum atau tanpa fasilitas pengurangan tarif, yaitu 25% x
PKP.

Contoh Kasus – PPh Badan dengan Fasilitas Pasal 31E:


Peredaran bruto PT ABC pada tahun sebelumnya mencapai lebih dari Rp. 4,8 miliar. Tahun
ini, peredaran brutonya mencapai Rp. 30 miliar dengan penghasilan kena pajak sebesar Rp. 3
miliar. Berikut adalah penghitungan PPh-nya:
Pertama, menghitung bagian penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas:
(Rp. 4,8 miliar/Rp. 30 miliar) x Rp. 3 miliar = Rp. 480 juta.
PPh badan: (50% x 25%) x Rp. 480 juta = Rp. 60 juta.
Kedua, menghitung bagian penghasilan kena pajak yang tidak memperoleh fasilitas:
(Rp. 3 miliar – Rp. 480 juta) = Rp. 2,52 miliar
PPh badan: 25% x Rp. 2,52 miliar = Rp. 630 juta.
Dengan demikian, total PPh badan yang harus dibayar adalah Rp. 60 juta + Rp. 630 juta =
Rp. 690 juta.
Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-02/PJ/2015 mengenai Penegasan atas
Pelaksanaan Pasal 31E ayat (1) UU PPh yang mencabut SE-66/PJ/2010 tentang perihal yang
sama, disebutkan bahwa fasilitas pengurangan tarif tersebut dilaksanakan dengan cara self
assesment pada saat penyampaian SPT tahunan PPh badan, sehingga wajib pajak badan
dalam negeri tidak perlu menyampaikan permohonan untuk memperoleh fasilitas tersebut.
Selain itu, BUT merupakan subjek pajak luar negeri, sehingga tidak mendapat fasilitas

20
pengurangan tarif menurut Pasal 31E. Fasilitas pengurangan tarif juga bukan merupakan
pilihan, sehingga wajib pajak yang memenuhi ketentuan wajib mengikuti ketentuan
pengurangan tarif tersebut.

21
BAB III
KESIMPULAN

Menurut UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan, Badan merupakan sekumpulan orang atau modal yang merupakan satu kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha. Subjek pajak dibedakan menjadi
subjek pajak dalam negeri, subjek pajak luar negeri dan tidak termasuk subjek pajak. Yang
termasuk dalam objek pajak diatur dalam Pasal 4 Ayat Undang-Undang PPh. Jenis pajak
yang harus dibayar dan dilaporkan oleh Wajib Pajak Badan, yakni Pajak Penghasilan Badan
dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketentuan Perhitungan Pajak Penghasilan Badan
terdapat dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
Pasal 28 Ayat (1). Sedangkan tarif pajak diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan
(UU PPh) Pasal 17
Laba fiskal (taxable profit) dalam akuntansi pajak merupakan laba atau rugi dalam
suatu perusahaan selama satu periode pajak yang umumnya meliputi satu tahun pajak. Laba
fiskal atau penghasilan kena pajak (PKP) dapat dihitung dengan cara laba akuntansi atau laba
komersial yang dikurangi atau ditambah dengan koreksi fiskal. Sedangkan Koreksi fiskal
adalah penyesuaian ataupun koreksi yang dilakukan oleh wajib pajak atas tanggungan
pajaknya. Kompensasi kerugian fiskal adalah skema ganti rugi yang dilakukan oleh wajib
pajak badan maupun wajib pajak orang pribadi yang berdasarkan pembukuannya mengalami
kerugian. Terdapat 2 macam kompensasi kerugian fiskal, yaitu kompensasi kerugian secara
horizontal dan kompensasi kerugian secara vertikal.
Penghasilan kena pajak sebagai dasar penetapan tarif pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan seperti
yang dimaksud dalam UU PPh Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d,
huruf e, dan huruf g. Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Badan meliputi mekanisme
perhitungan pph badan, perubahan tarif pajak badan selama pandemi, serta Ketentuan
Tentang Pajak PPh Badan Usaha

22
DAFTAR PUSTAKA

Fitriya. (2022, Agustus 29). PPh Badan: Ketahui Jenis, Tarif, Hitung, Bayar dan Lapor Pajak.
Retrieved October 16, 2022, from https://klikpajak.id/blog/pajak-penghasilan-badan-
jenis-tarif-hitung-dan-lapor-pajak/
ayopajak.com. (2021, Februari 10). Cara Menghitung PPh Badan Terutang. Retrieved
October 16, 2022, from https://ayopajak.com/cara-menghitung-pph-badan-terutang/
Kholifah, S. (2022, September 13). Laba Fiskal: Pengertian, Cara Hitung, Dan Contohnya:.
Retrieved October 16, 2022, from http://komputerisasi-akuntansi-
d4.stekom.ac.id/informasi/baca/Laba-Fiskal-Pengertian-Cara-Hitung-dan-
Contohnya/8c891b6069a0593f671d9c779513ae995bb0a8b0#:~:text=Laba%20Fiskal
%20atau%20dalam%20bahasa,perusahaan%20selama%20satu%20periode%20pembu
kuan.
Admin ZF. (2021, Februari 19). Mengenal Apa Itu Istilah Laba Fiskal Dalam Perpajakan.
Retrieved October 16, 2022, from https://flazztax.com/2021/02/19/mengenal-apa-itu-
istilah-laba-fiskal-dalam-perpajakan/
Nofalia, I. (2021, Oktober 29). Laba Fiskal: Pengertian, Cara Hitung, dan Contohnya.
Retrieved October 16, 2022, from https://www.finansialku.com/laba-fiskal-
pengertian-cara-hitung-dan-contohnya/
Handoko, C. (2016, September 14). Kompensasi Kerugian. Kabar Pajak. Retrieved October
16, 2022, from http://www.kabarpajak.com/2012/10/kompensasi-kerugian.html
Maulida, R. (2019, November 3). Pengertian Kompensasi Kerugian Fiskal. Retrieved
October 16, 2022 https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/kompensasi-
kerugian-fiskal
OnlinePajak. (2022, September 15). Tarif pph Badan Terbaru Dalam Penghitungan pajak
badan. Retrieved October 16, 2022, from https://www.online-pajak.com/tentang-
efiling/tarif-pph-
badan#:~:text=Berdasarkan%20Pasal%2017%20ayat%20(1,dikenakan%20kepada%2
0badan%20adalah%2022%25.

23

You might also like