You are on page 1of 4

Tanah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat sebagai tempat

pembangunan dan juga tempat mata pencaharian masyarakat. Tanah merupakan sarana yang
penting dalam pembangunan, maka di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) telah ditentukan
bahwa “bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara dan 2 dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Sebagai tindak lanjut
dari Pasal 33 ayat (3) tersebut pada tanggal 24 September 1960, diundangkan UU No.5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.1

Tanah pun tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi yang juga
menyangkut dengan aturan di bidang pertanahan. Permasalahan pertanahan saat ini bukan saja
tuntutan hak-hak atas tanah, tetapi juga menyangkut kewenangan dibidang pertanahan antara
pemerintah pusat, dan pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Kewenangan
pemerintah bidang pertanahan sebagaimana diatur Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), sebagai kewenangan yang bersifat
sentralistik. Berdasarkan kewenangan-kewenangan yang terdapat dalam hukum tanah nasional,
ternyata pembentukan hukum tanah nasional maupun peraturan pelaksanaanya menurut sifat dan
pada asasnya merupakan kewenangan pemerintah pusat.2 Dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terjadi perubahan
fundamental terhadap hukum agraria di Indonesia terutama di bidang pertanahan. Adapun yang
menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan konversi hak atas tanah adalah bagian kedua UUPA
tentang ketentuan-ketentuan konversi yang terdiri atas sembilan pasal yang mengatur tiga jenis
konversi yaitu; konversi hak atas tanah yang bersumber dari hak-hak Indonesia,konversi hak atas
tanah bekas Swapraja dan konversi hak atas tanah yang berasal dari hak-hak barat.3

UUPA merupakan pelaksanaan pasal 33 ayat (3) UU 1945 sebagaimana yang dinyatakan
dalam pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu atas dasar ketentuan dalam pasal 33 pasal ayat (3) undang-
undang dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa

1
Eko Supriyadi, Bambang, “Hukum Agraria Kehutanan”, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2013) Hal 7
2
Arie Sukanti Hutagalung, Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah Dibidang Pertanahan, PT Rajagrafindo,
Jakarta, 2008, hlm. 112. Lihat juga Supriyanto, Kewenangan Bidang Pertanahan dalam Pelaksanaan Otonomi
Daerah, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 9 No. 2 Mei 2009, hlm. 159-167.
3
Ulfia Hasanah, “Status Kepemilikan Tanah Hasil Konversi Hak Barat Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Dihubungkan Dengan PP No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh
negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.4

Dalam UUPA sendiri diatur pula mengenai aturan dalam penguasaan tanah dalam
pengelolaan tanah tersebut. Menurut hukum alam, negara tidak dapat memiliki tanah dalam
pengertian memiliki (eigendom) yang brisi kekuasaan mutlak atas tanah, namun negara dapat
menguasai tanah (tanpa harus memiliki) untuk kepentingan publik. Pemilikan tanah tersebut
dipergunakan untuk umum (res publica). Hubungan hukum yang terjadi dapat bersifat pemilikan
ataupun penguasaan.5 Implementasinya adalah terhadap tanah-tanah yang dipergunakan langsung
oleh negara, dapat dimiliki oleh negara. Negara juga mempunyai kewenangan untuk mengatur
tanah-tanah yang dipergunakan untuk umum yang dipandang dapat memberi manfaat lebih
dibandingkan dimiliki oleh masyarakat.6

Dengan demikian pemilikan atas tanah oleh negara mengandung kategori-kategori


sebagai berikut:

- Pertama, negara tidak memiliki tanah, tetapi secara khusus mempunyai hubungan dengan
tanah terutama yang berkaitan dengan kepentingan umum.
- Kedua, negara sebagai satu-satunya pemilik tanah baik dalam arti sepenuhnya maupun
dalam arti mempunyai.
- Ketiga, negara mempunyai tanah disamping dimiliki orang perorangan.
- Keempat, negara menjalankan kekuasaan atas tanah yang dilimiliki oleh masyarakat
seolah-olah tanah adalah miliknya.

Tanah sebagai sumber daya alam stategis bagi bangsa memerlukan campur tangan negara
untuk mengaturnya. Jadi hubungan perorangan, keluarga, dan masyarakat dengan tanah
didasarkan atas fitrahnya sebagai makhluk Tuhan untuk hidup secara individu maupun sosial
dengan menjalankan hak (kemampuan dan kecakapan) dan kewajiban (keharusan) secara
seimbang demi keadilan, dan kemanfaatan individu, keluarga dan masyarakat. Dengan demikian,
hubungan antara negara dengan tanah ialah disamping atas dasar kedaulatan negara, juga

4
Asri Agustiwi, S.H., M.H. , “Hukum Dan Kebijakan Hukum Agraria Di Indoneisa”
5
Ronald Z. Titarelu, Penetapan Asas-Asas Hukum Umum dalam Penggunaan Tanah untuk Sebesar-Besar
Kemakmuran Rakyat, Disertasi, Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm. 105-106.
6
Ria Fitri, “Hukum Agraria Bidang Pertanahan Setelah Otonomi Daerah”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 20 No. 3,
Desember 2018, hlm 425
didasarkan atas hukum pada kedaulatan rakyat demi tercapainya keseimbangan hak dan
kewajiban yang adil bagi seluruh bangsa, mendatangkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Negara bukan bertindak sebagai pemilik tetapi sebagai organ penguasa yang diberi kekuasaan
(secara hukum) untuk menjamin pelaksanaan peruntukan tanah sesuai dengan tujuannya.7

Dasar hukum yang dapat dipergunakan dalam mengatur masalah tanah di Indonesia adalah
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: “Bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Pemaknaan dari isi pasal tersebut baru dapat dipahamai dari keseluruhan maksud dan
tujuannya.

Secara teoritik kepentingan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat merupakan


dasar bagi dikuasainya tanah oleh negara. Secara tegas dinyatakan bidang pertanahan harus
dikuasai oleh negara demi terciptanya kemakmuran rakyat. 8 Berkaitan dengan tanah, untuk
terciptanya pola keteraturan dalam memenuhi kehidupan yang baik, perlu adanya kecakapan dan
kekuasaan dalam pengelolaan tanah tersebut.

Penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dituangkan dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960,
selengkapnya berbunyi:

1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, bumi air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari negara termasuk dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; c.
menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbutan
hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angka.
3. Wewenang yang bersumber dari hak menguasai dari negara tersebut pada ayat (2) pasal
ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,

7
Ibid, hlm 426.
8
Ibid, hlm 427.
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
4. Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adapt, sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.9

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa negara adalah pihak yang berkuasa dan
diberi kekuasaan oleh rakyat untuk mempergunakan dan mengelola tanah semata-mata
untuk kepentingan rakyat yang dapat digunakan sebagai keperluan bagi negara.

9
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, cetakan ketujuh belas,
Penerbit Djambatan, Jakarta, 2004, hlm. 28-29.

You might also like