You are on page 1of 8

ARTIKEL

SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL

(Masuknya Sarekat Islam di Sulawesi Tengah)

Dosen pengampu: Ismail S.pd, M.pd

DISUSUN OLEH :

ANDI TALHA (A31121056)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

UNIVRSITAS TADULAKO

2022
MASUKNYA SAREKAT ISLAM KE SELAWESI TENGAH

A. LATAR BELAKANG

SI yang awalnya merupakan sebuah organisasi bernama Rekso Rumekso yang didirikan oleh
Haji Samanhudi pada tanggal 3 Maret 1905. Rekso Rumekso adalah perkumpulan kematian yang
dikelola oleh pedagang batik Pribumi di bawah pimpinan Haji Samanhudi di Lawean, Surakarta.

Perkumpulan ini hanya bertahan 6 bulan saja karena pada tanggal 16 Oktober 1905, Haji
Samanhudi mengadakan rapat dengan beberapa orang temannya sesama kaum pedagang tentang
pembentukan sebuah perkumpulan. Orang-orang yang hadir dalam rapat tersebut antara lain;
Sumawardjojo, Hardjosumarto, Martaiko, Wirjotirto, Sukir, Suwandhi, Suraprasanto, dan
Djarmani. Dalam rapat tersebut, diputuskan untuk mendirikan sebuah perkumpulan dagang islam
yang diberi nama Sarekat Dagang Islam (SDI).

Berkat bantuan Tirto Adi Suryo, pada akhir Januari 1912, Sarekat Dagang Islam
mendapatkan status badan hukum sebagai organisasi Sarekat Islam (SI), tapi dengan tanggal
yang lebih dini pada akte notaris, 9 November 1911. Dalam dokumen itu, SI disebutkan
bertujuan untuk mengejar kemajuan bagi seluruh rakyat Hindia-Belanda, tujuan yang dianggap
merupakan kewajiban kaum Muslim untuk menyumbang ke arah kemajuan, karena Islam
merupakan pengikat rakyat Hindia-Belanda, sebagaimana Konfusianisme bagi Tiongkok, serta
Kristen bagi Belanda.

Kongres SI yang pertama diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 26 Januari 1913,


dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Dalam kongres itu ia menerangkan bahwa SI bukan
partai politik, dan SI tidak beraksi melawan pemerintahan kolonial Belanda. Walaupun
demikian, dengan Agama Islam sebagai landasan persatuan dan kesatuan penuh untuk
mempertinggi derajat pribumi, SI tersebar ke seluruh Pulau Jawa. Dan beberapa tempat berdiri
cabang-cabang SI yang jumlah anggotanya sangat besar, seperti di Jakarta misalnya, jumlah
anggotanya kurang lebih 12.000 orang. Pemerintah Belanda tidak senang melihat perkembangan
SI yang begitu pesat. SI dengan dasar keagamaannya, mempunyai potensi yang luar biasa untuk
menghimpun pengikut diantara rakyat. Meskipun tujuannya mencangkup kegiatan sosial
ekonomi, menciptakan kehidupan keagamaan Islam, mempertinggi taraf kehidupan rakyat pada
umumnya, menganjurkan kepatuhan kepada pemerintah, namun penguasa kolonial menyadari
penuh kekuatan massa dari SI.

Menghadapi situasi yang demikian dinamis dan mengandung unsur-unsur revolusioner,


pemerintah menempuh jalan yang sangat hati-hati. Di samping itu Gubenur Jenderal Idenburg
meminta nasehat dari penasehat para residennya untuk menetapkan kebijaksanaan politiknya
terhadap SI (Noegroho dan Marwati 1977 : 188). Hasilnya adalah permohonan pengurus besar SI
untuk dapat pengakuan badan hukum ditolak oleh pemerintah Belanda. Penolakan tersebut
dimuat dalam Keputusan Gubernur Jenderal pada tanggal 30 Juni 1913. Keputusan tersebut
menjelaskan bahwa yang ditolak untuk menjadi perkumpulan yang berbadan hukum adalah SI
seluruhnya sebagai suatu perkumpulan yang sentralistik. Cabang-cabang SI sebagai organisasi
tingkat lokal dan daerah masing-masing dapat diberi status badan hukum. Pemerintah kolonial
Belanda yang sudah terikat oleh kesanggupan akan memberi dan mengakui badan hukum untuk
SI lokal. Akhirnya pada tahun 1914 harus merealisasikan 56 buah cabang SI lokal sebagai
organisasi yang berbadan hukum (Tirtoprodjo, 1984 : 28).

Dalam perkembangan selanjutnya, didirikan Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya pada
1915. Pendirian CSI dimaksudkan untuk memajukan dan membantu SI di dalam menjalankan
dan memelihara hubungan serta kerjasama di antara mereka.antara mereka. Permintaan CSI
untuk diakui sebagai organisasi berbadan hukum dikabulkan oleh pemerintah kolonial Belanda
dengan Surat Keputusan tertanggal 18 Maret 1916. Dalam keputusan itu ditegaskan bahwa CSI
diwajibkan mengawasi tindakan dari pengurus serta anggota-anggota SI lokal, disusun pula
pengurus pertama CSI, H.O.S. Tjokroaminoto sebagai ketua, Abdul Muis sebagai Wakil Ketua
bersama Haji Gunawan.

Untuk menghargai jasa Samanhudi sebagai pendiri organisasi SI, maka CSI mengangkat Haji
Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan (Sitorus 1987 : 19-20). Selanjutnya SI mengadakan
Kongres di Bandung pada tanggal 17-24 Juni 1916 yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto.
Pengurus ini dinamakan Kongres Nasional pertama SI. Pada konggres SI tahun 1917 di Jakarta
muncul aliran revolusioner sosialistis yang diwakili Semaun yang pada waktu itu menjadi ketua
SI lokal Semarang. Namun kongres itu memutuskan bahwa azas perjuangan SI ialah
mendapatkan zeif bestuur atau pemerintah sendiri, selain ditetapkan pula azas yang kedua berupa
perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat, sejak itupula Tjokroaminoto dan
Abdul Muis mewakili SI dalam Volksraad (Dewan Rakyat).

Jumlah anggota SI terus meningkat dan ini terbukti dalam kongres ketiga tahun 1918 di
Surabaya. Anggotanya mencapai 450.000 yang berasal dari 87 SI lokal. Sementara itu pengaruh
Semaun semakin menjalar ketubuh SI. Tahun 1919 untuk SI adalah tahun propaganda terhadap
kapital asing. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah anggota hingga mencapai
2.000.000 orang. Pada saat itu muncul keraguan apakah SI masih bersikap damai seperti yang
disampaikan oleh Tjokroaminoto dahulu. Keraguan ini disebabkan oleh meletusnya
Pemberontakan Petani Salumpaga di Toli-toli dibawah pimpinan Imam Haji Hayun, salah
seorang pimpinan SI Toli-toli. Kemudian aksi rahasia di Garut (perkara afdeling B), suatu aksi
yang tentunya tidak diketahui oleh beberapa anggota CSI.
A. PEMABAHASAN

Sarekat Islam di Sulawesi Tengah

Sarekat Islam termasuk organisasi yang memiliki pengaruh yang cukup luas. Hal ini
ditandai dengan berdirinya cabang-cabang SI hampir di seluruh daerah di Indonesia termasuk di
Sulawesi Tengah. Sarekat Islam mulai mengembangkan pengaruhnya di Sulawesi Tengah pada
tahun 1916 di Donggala dengan Rohana Lamarauna sebagai ketuanya. Sebagai pimpinan,
Rohana Lamarauna memainkan peranan penting dalam penyebaran SI di daerah Banawa.
Rohana Lamarauna memiliki pengaruh kuat di kalangan para pengikut SI, bukan hanya di
wilayah Onderafdeling Donggala namun juga di daerah lainnya seperti Tolitoli. Rohana
Lamarauna ikut mendampingi kunjungan Cokroaminoto, Ketua Umum SI ke Tolitoli pada bulan
April 1917. Menjelang awal Mei 1917, Rohana Lamarauna merintis pembentukan SI cabang
Tolitoli dengan mengadakan rapat di kampung Nalu di rumah Syahbandar Tolitoli. Pejabat
Pemerintah Belanda setempat memberikan peringatan keras dengan menjatuhkan denda terhadap
Rohana Lamarauna dan kaum bangsawan lainnya yang mengikuti rapat itu, namun mereka tetap
melanjutkan rapat. Tindakan itu membuat pengaruh Rohana Lamarauna di Tolitoli meningkat
pesat, begitu juga di Donggala .

Selama kepemimpinan Rohana Lamarauna, Sarekat Islam mencapai keanggotaan sekitar


800 orang pada akhir tahun 1917. Pengakuan atas peranan penting Rohana Lamarauna dalam SI
diungkapkan pada saat kunjungan Cokroaminoto ke Donggala dalam rangka pertemuan Massa
Kader SI bulan Mei 1917. Rohana Lamarauna dan Ismail Marzuki diutus Cokroaminoto untuk
berangkat ke Tolitoli untuk mengurusi SI Cabang Tolitoli yang telah terbentuk sejak bulan Mei
1916 yang akan diletakkan di bawah koordinasi Rohana Lamarauna .

Penyebaran dan perkembangan SI yang sangat pesat ini menjadi perhatian serius dari
Pemerintah Belanda. Dengan sikapnya yang kritis dan menunjukkan gejala penentangan
terhadap kebijakan pemerintah, SI tampil sebagai sebuah organisasi oposisi yang berbasis pada
kekuatan arus bawah yang menampilkan corak keagamaan, Pemerintah kolonial menganggap SI
sebagai sumber ancaman yang membahayakan. Bukan hanya pemerintah kolonial, namun ada
juga kalangan elite penguasa Kerajaan Banawa melihat SI sebagai bahaya bagi pengaruh mereka.
Kondisi ini bertolak pada kenyataan bahwa para bangsawan dan elite tradisional Banawa yang
tidak puas dan tersingkir dari pusat kekuasaan bergabung dalam SI dan menggunakan program
SI untuk menyerang kelompok elite Banawa yang berkuasa .

Mempertimbangkan kondisi tersebut, pemerintah Belanda mendukung keinginan elite


penguasa Banawa membentuk suatu organisasi untuk mengimbangi SI. Raja Palu Parampasi dan
Raja Banawa Lagaga kemudian bersama-sama setuju untuk membentuk Perserikatan Raja
Banawa (PRB) sebagai organisasi tandingan SI. Perserikatan Raja Banawa terdiri dari kaum
bangsawan serta masyarakat Palu dan Banawa yang tidak setuju dan tidak bergabung dengan SI.
Pemerintah Kolonial Belanda menyetujui langkah ini dan membuat peraturan bahwa semua elite
politik yang menduduki jabatan di Kerajaan Palu dan Kerajaan Banawa wajib masuk menjadi
anggota PRB. Penerapan kerja sama antara elite penguasa Banawa dan Pemerintah Kolonial
Belanda diwujudkan setelah kesempatan muncul pada bulan Mei 1918, yakni ketika Rohana
Lamarauna diangkat sebagai madika matowa . Tetapi Rohana Lamarauna baru mengundurkan
diri sebagai pimpinan SI cabang Donggala pada tahun 1923 setelah diberlakukannya disiplin
partai sesuai hasil Kongres SI tahun 1921 tentang larangan memiliki keanggotaan ganda .

Sejak itu hubungan Rohana dengan SI tidak lagi nampak. Rohana tidak lagi aktif dalam
wadah SI sampai akhir kekuasaan Belanda, meskipun organisasi itu masih menghendaki dan
menawarkan kedudukan kepadanya. setelah mundurnya Rohana, SI mengalami kemerosotan
jumlah anggota meskipun beberapa bangsawan masih aktif di dalam wadah organisasi tersebut
hingga pada tahun 1923, ketika SI dirubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).

Perkembangan selanjutnya, banyak tokoh dan anggota SI yang lain kemudian banyak
beralih ke organisasi Muhammadiyah yang mulai banyak dibuka di Donggala pada akhir dekade
kedua abad 20. Setelah kemunduran SI, Muhammadiyah menjadi pilihan utama untuk
menyalurkan suara (pendapat). Apalagi setelah kedatangan Buya Hamka di Donggala (1932-
1934). Beliau sangat berperan dalam pembentukan dan pengembangan Muhammadiyah pada
masa awal berdirinya.

Pertentangan antara elite penguasa dan tokoh-tokoh SI juga terjadi di Lembah Palu.
Kehadiran SI di Lembah Palu pada tahun 1917 di bawah pimpinan Yoto Dg Pawindu DS
mendapat sambutan dan simpati masyarakat. Melihat situasi tersebut, Pemerintah Belanda
menganggap kehadiran SI sebagai ancaman yang berbahaya. Atas hasutan Belanda, Raja Palu
saat itu yaitu Parampasi membentuk PRP atau Persatuan Raja Palu bersama aparatnya, yang oleh
Belanda dijadikan sebagai tandingan SI. Namun bak peribahasa “anjing menggonggong kafilah
berlalu”, pengaruh SI justru meluas hingga ke wilayah Kerajaan Dolo yang mendapat dukungan
dari Raja Dolo Datu Pamusu .

Karena bergabung dengan SI, Raja Dolo Datu Pamusu, diturunkan dari tahtanya dan
dibuang ke Ternate. Kemudian Yoto Dg Pawindu DS dan Abd Rahim Pakamundi ditangkap
Belanda dan dibuang ke Bandung dan mendekam di Penjara Sukamiskin selama 3 tahun. Yoto
Dg Pawindu ditahan di Sukamiskin bersama Bung Karno sehingga sekembalinya dari
Sukamiskin, Yoto Dg Pawindu membentuk dan memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) .

Selain di Donggala dan Lembah Palu, SI juga mempengaruhi daerah Tolitoli. Pengaruh SI
di Toli-toli dapat kita lihat dari peran sentral tokoh-tokoh SI Tolitoli dalam terjadinya peristiwa
Salumpaga tahun 1919. Peristiwa Salumpaga dipimpin oleh seorang imam yang merupakan salah
seorang pimpinan SI di Tolitoli yaitu Imam Haji Hayun. Peristiwa tersebut merupakan kelima
dari pidato Abdul Muis di Donggala tahun 1918 yang kemudian dibacakan kembali di Lapangan
Nalu (Tolitoli). Isi dari pidato tersebut membakar semangat masyarakat Tolitoli termasuk
Salumpaga untuk melawan kolonialisme dan imperialisme barat yang diaktualisasikan sebagai
kaum kafir.

Peristiwa ini walaupun dapat diredam dalam waktu singkat akan tetapi gaungnya
mengguncangkan wilayah kekuasaan Belanda yang lainnya. Peristiwa tersebut menjadi
pembicaraan banyak pihak baik di Sulawesi Tengah maupun di daerah lainnya. Peristiwa
tersebut dipicu oleh sikap keras Kontroleur Belanda Johannes Petrus de Kat Angelino yang
memaksa rakyat untuk melaksanakan kerja rodi pada tahun 1919 walaupun pada saat itu
masyarakat sedang melaksanakan ibadah puasa. Haji Hayun berupaya melakukan diplomasi agar
Belanda bisa membebaskan rakyat Salumpaga dari kerja rodi selama bulan puasa .

Pertemuan tersebut kemudian diadakan di Salumpaga. Kontroleur J. P. de Kat Angelino


berangkat beserta rombongannya yakni Raja Tolitoli Haji Mohammad Ali Bantilan, Marsaoleh
Haji Mohammad Saleh Bantilan, lima anggota polisi, dan Jaksa Singko. Sementara rakyat
Salumpaga dipimpin oleh Haji Hayun.

Diplomasi tersebut pada akhirnya tidak menemui kata sepakat karena Belanda
menganggap keinginan Haji Hayun tersebut sebagai sebuah pembangkangan. Karena
permohonannya ditolak, maka sesuai hasil kesepakatan Haji Hayun dengan sejumlah tokoh
masyarakat setempat diputuskan untuk mengadakan perlawanan.

“Lebih baik mati di jalan Allah dari pada hidup di bawah pemerintahan orang kafir dan
kapan lagi jihad kalau bukan sekarang,” ujar Haji Hayun. Beliau pun memekikkan kata Allahu
Akbar untuk membakar semangat masyarakat Salumpaga. Kalimat takbir itu memantik
seseorang bernama Otto yang kemudian dia mengayunkan parangnya ke arah Kontroleur hingga
Kontroleur tersungkur dan tewas seketika. Sementara itu, salah seorang bernama Hasan
membunuh Jaksa Singko. Salah seorang penduduk lainnya yang bernama Katelebe melemparkan
tombak kepada Raja Mohammad Haji Ali Bantilan namun tidak berhasil. Raja Mohammad Haji
Ali Bantilan kemudian melemparkan kembali tongkat ke Katelebe namun tidak berhasil
mengenai Katelebe .

Melihat sengitnya perkelahian antara Katelebe dengan Raja Mohammad Haji Ali Bantilan,
Kampaeng kemudian memberikan bantuan. Raja Mohammad Haji Ali Bantilan kemudian
menyerah dan memohon untuk diampuni, namun permohonan tersebut tidak diindahkan dan
beliau kemudian tewas dibunuh oleh Kampaeng. Kelima polisi yang dibawa Kontroleur juga
tewas dibunuh rakyat sedangkan Marsaoleh Haji Mohammad Saleh Bantilan berhasil melarikan
diri. Beliaulah yang melaporkan kejadian tersebut ke Tolitoli

Peristiwa peberontakan itu membuat Haji Hayun dan 27 rakyat Salumpaga lainnya
menjalani proses persidangan hingga ke Landraad, Makassar. Haji Hayun dihukum seumur
hidup di Nusakambangan sementara Otto, Hasan dan Kombong, dijatuhi hukuman gantung.
Sedangkan 24 rakyat lainnya, dihukum penjara 2 tahun hingga 20 tahun di Nusakambangan .
Di beberapa daerah lainnya, pengaruh SI melahirkan tokoh-tokoh yang secara eksplosif
mengadakan perlawanan secara individu. Di Sindue, ada tokoh yang sangat berpengaruh,
tepatnya di Desa Enu bergelar Mangge Rante (Lasadindi). Setelah ia masuk SI, beliau diangkat
menjadi Komisaris Pertanian. Beliau berhubungan dengan masyarakat suku terasing di Pantai
Barat (Sekarang berada di Kabupaten Donggala) dan Pantai Timur (Sekarang berada di
Kabupaten Parigi Moutong), terutama Suku Tajio dan Pendau. Karena aktivitasnya dianggap
membahayakan eksistensi Pemerintah Belanda di daerah itu, pemerintah berusaha
menangkapnya dan usaha tersebut seringkali menemui kegagalan .

Di Tavaili, bangsawan bernama Mangalaulu atau Yululembah diangkat sebagai Kepala


Distrik Sirenja tahun 1918. Namun ia memilih dipecat dari jabatannya daripada tunduk kepada
Belanda. Ia lalu berangkat ke Jawa untuk mendalami SI mulai dari daerah Sukabumi sampai ke
Batavia.

KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas dapat kita lihat bahwa perkembangan Sarekat Islam di
Sulawesi Tengah sangat pesat karena SI merupakan organisasi yang berbasis pada kekuatan arus
bawah yang menampilkan corak keagamaan, tidak terbatas untuk satu golongan saja dan secara
terang-terangan menentang kolonialisme dan imperialisme barat sehingga SI dengan mudah
menarik simpati masyarakat. Kehadiran SI di Sulawesi Tengah juga mempengaruhi perlawanan
baik perlawanan bersenjata maupun melalui jalur diplomasi yang dilakukan oleh masyarakat
Sulawesi Tengah terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda. Hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya tokoh-tokoh SI yang terlibat dalam perlawanan-perlawanan menentang kolonialisme
dan imperialisme Belanda seperti keterlibatan Haji Hayun dalam peristiwa Salumpaga tahun
1919, gerakan Yoto Dg Pawindu di Palu. Rohana Lamarauna di Donggala, dsb.

Akan tetapi, dalam perkembangannya, SI mendapat hadangan dari dalam terutama dari
kalangan elite penguasa kerajaan yang merasa bahwa kehadiran SI akan mengancam eksistensi
mereka sebagai penguasa. Kemudian dengan membentuk organisasi tandingan dan bekerja sama
dengan pemerintah Belanda, mereka mencoba menekan laju pertumbuhan SI di daerah
kekuasaannya. Padahal secara tidak sadar, mereka telah termakan politik devide at impera yang
dilancarkan oleh pemerintah Belanda yang secara perlahan melemahkan kekuasaan mereka.

SI adalah organisasi besar dengan ideologi yang sangat jelas. Kekuatan organisasi ini ada
pada ideologi Islam yang digunakannya. Pe gnggunaan yang baik menyebabkan masyarakat
Islam di tanah air berbondong-bondong masuk ke organisasi SI.
DAFTAR PUSTAKA

Mamar, Sulaiman. Farid Mappalahere ,. dan P Wayong. (1984). Sejarah Sosial Sulawesi Tengah:
Jakarta.

Jefriantogie. (2010). Gerakan Serakat Islam di Sulawesi Tengah. Di akses pada 26 Desember
2010, dari https://jefriantoge.blogspot.com/2010/12/gerakan-serekat-islam-di-sulawesi.html

You might also like