You are on page 1of 38

TUGAS MEREVIEW BUKU WAJIB

(PEENGANTAR SEJARAH INDONESIA BARU:

1500-1900 DARI EMPORIUM SAMPAI IMPERIUM)

DOSEN PENGAMPU” ISMAIL S.Pd, M.Pd”

DI SUSUN OLEH :

ANDI TALHA (A31121056)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

UNIVRSITAS TADULAKO

2021
REVIEW BUKU SARTONO KARTODIRJO, SEJARAH INDONESIA BARU :
1500-1900 DARI EMPORIUM SAMPAI IMPRIUM

INDENTITAS BUKU

Judul Buku : Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900 Dari Emporium sampai
Imprium

Pengarang : Sartono Kartodirdjo

Penerbit : Gramedia 1987 / Ombak 2014

ISBN : 978-602-158-198-7

Ukuran : 14,5 x 21 cm

Halaman : xlii + 472 hlm

Harga : Rp. 75.000

Tahun Terbit : 1987/2014


ISI BUKU

BAB I PELAYARAN DAN PERDAGANGAN SEBELUM TAHUN 1500

Sebelum tahun 1500 dalam hal pelayaran dan perdagangan di nusantara cukup
banyak hal-hal penting harus di kuasai, di antaranya:

Sistem lalu lintas

Sejak zaman kuno Nusantara merupakan tempat persilangan jaringan lalu lintas
yang menghubungkan benua Timur dengan benua Barat. Dengan dikenalnya astrolabium
dan ilmu bintang serta sistem angin yang berlaku di lautan Indonesia dan lautan Cina pada
umumnya, dan lautan Nusantara khususnya, pelayaran samudra dapat di selanggarakan.
Dan hasil-hasil bumi atau barang- barang tertutama merupakan monopoli alamiah di
nusantara, menimbulkan perdagangan ramai ke dan dari Indonesia.

Sriwijaya dan Disintegrasinya

Selama beberapa abad Sriwijaya yang berfungsi sebagai pelabuhan, pusat


perdagangan, dan kekuasaan menguasai pelayaran dan perdagangan di bagian barat
Indonesia. Sriwijaya sebagai pusat perdagangan di kunjungi oleh pedagang dari Parsi,
Arab, dan China memperdagangkan barang-barang dari negrinya atau Negara yang di
laluinya, sedangkan perdagang Jawa membelinya dan mejual rempah-rempahnya. Sejak
serangan Cola dalam abad ke-12 dan kemudian terdesak oleh kekuasaan di Jawa Timur
pada akhir abad ke-13, kedudukan Sriwijaya sebagai pusat perdagangan merosot hingga
akhirnya di kuasi bajak laut. Lokasinya kemudian pindah ke daerah Jambi.

Pusat Perdagangan Abad ke-15

Sejak zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dari negeri Cina
memerlukan pelabuhan tempat singgah, mengambil bekal, dan menumpuk barang. Selama
beberapa abad fungsi emporium telah dijalankan oleh Sriwijaya Pada akhir abad ke-13
fungsi itu sementara terpancar, antara lain ada yang terpusat di pidie dan Samudra Pasai.
Pada abad berikutnya muncullah pusat-pusat kekuasaan baru sepanjang pantai timur
Sumatra dan di seberang Selat Malaka. Pada awal abad ke-16, seperti Aceh, Lamuri, Arkat,
Rupat, Siak, Kampar Tongkal, Indragiri serta Klang, Bernas, dan Perak di pantai barat
Semenanjung Malaya. Dan pada akhir abad ke-14 Malaka telah berkembang sebagai pusat
perdangangan yang paling ramai tidak hanya di wilaya itu. Untuk menciptakan kondisi
yang baik bagi pedagang itu, maka Malaka perlu menjamin keamanan dan kestabilan.

Sistem Pelayaran

Perdagangan dari Malaka sebagai emporium besar di indonesia sejak awal abad ke-
12 sangat tergantung pada sistem angin yang berlaku di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur.
Arah angin sangat menentukan jalur Navigasi tergantung pada siklus musim panas dan
dingin di daratan Asia, khususnya bagi Indonesia pada siklus di Australia. Pada periode
yang sama, dilingkungan kepulauan Nusantara berlaku musim hujan atau musim barat
sehingga tidak banyak pedangan dari Indonesia datang.

Ketergantungan pada sistem angin itu membuat waktu berlayar dan berlabuh di
Malaka berbeda-beda. Karena itu timbul kebutuhan untuk menyimpan barang dagang
selama periode antara kedatangan penjual dan pembeli. Dalam hal ini malaka dapat
menjalankan fungsinya emporium. Disitu bertemu jalur perdagangan dari Barat, Utara, dan
Timur baik perdagangan internasional maupun nasional.

Dalam sistem pelayaran dan perdagangan abad ke-15 lokasi malaka sangat
menguntungkan karena merupakan titik pertemuan antara sistem pelayaran dan
perdagangan di Samudra Indonesia dengan sistem di Nusantara. Didalam hubungan
perdagangan Malaka menjalankan peranan utama perdagangan tekstil dari Malaka dikuasai
oleh pedagang Malaka. Volume perdagangan setiap tahun di lakukan di Malaka tercermin
pada angka-angka.
Pusat-Pusat Perdagangan Daerah

Sebelum hasil daerah di angkut ke pusat perdagangan seperti Malaka, dari sana ke
Asia Barat atau ke Asia Timur, pada akhir abad ke-15 terdapat banyak kota pelabuhan di
Sumatra, Jawa, Maluku dan pulau-pulau lainnya yang berfungsi sebagai pusat perdagangan
daerah. Tujuan utama dari perdangan antara timur Timur dan Barat pada zaman Malaka dan
beberapa abad kemudian tidak lain ialah memperoleh rempah-rempah, maka dari itu
Maluku menjadi stasiun terakhir pelayaran internasional yang berpangkal di teluk parsi atau
laut Merah itu. Selama abad ke-15 dijawa, tuban memegang peranan emporium dari
perdagangan antara Barat dan jurusan Malaka dan Timur (jurusan Maluku). Dengan
munculnya penguasa-penguasa baru dalam abad ke-16 maka, Jepara, Cirebo, Sunda
Kelapa, dan Banten muncul sebagai kota pelabuhan.

Malaka

Pada akhir abad ke-15 Malaka mempunyai kedudukan sebagai pusat perdangan di
Asia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya. Golongan pedangang dari
Nusantara dan cina tinggal di sebelah selatan Sungai Malaka, yaitu di daerah Hilir,
sedangkan pedangan yang berasal dari daerah Barat tinggal di sebelah utara sungai, yaitu
daerah upih. Setiap bangsa di beri lokasi tersendiri untuk membangun tempat kediaman,
yaitu disebut Fodchi oleh bangsa Portugis.

Kedudukan Pedagang

di keluarga sultan dan pegawai tinggi di Malaka terdapat pedagang cukup kaya
mampu melengkapi 3 atau 4 kapal dagang. Dan ada dua jenis pengusaha: pemilik modal
dan pedagang penjajah. Yang perma salah satunya usaha ialah menanam modal dalam
perdagangan, sedangkan bagi kedua perdagangan menjadi pekerjaannya. Dimalaka terdapat
perdagangan, baik asing maupun pribumi, yang mempunyai kekayaan besar, antara lain
orang Gujarat dan Jawa, Parsi, Arab, dan Banggala.
Struktur Kekuasaan

Dalam hierarki di kerajaan, langsung dibawah raja adalah Patih yang lazim di sebut
Paduka Raja di Malaka. Dia membawah semua penjabat tinggi kerajaan, dari bendahara,
bupati dan seterusnya. Kemudian menyusul bendahara yang memegang jabatan sebagai
pemimpin tertinggi di pengadilan Dan Tumenggung adalah kepala pemerintahan kota di
serahi urusan penjagaan para syahbandar di atas bertugas menerima kapten jung sesuai
dengan yurisdiksi masing-masing. Diantara penduduk Malaka terdapat sekelompok kecil
golongan bangsawan berasal dari Linggam, Brunei, Pahang dan Malaka sendiri mereka
sangat di hormati dan di takuti.

Perdagangan di Malaka

Ada duaa macam perdagangan yang dijalankan: (a) pedagang memasukkan modal
dalam baraang dagangan yang di angkut dengan kapal untuk di jual di luar Negara lain: (b)
pedagang menitipkan barang pada nahkoda atau meminjamkan uang kepada nahkoda yang
akan membagi keuntugannya dengan pedagang yang memmbri modal. Barang dari malaka
yang di angkut ke banggala atau koromandel dalam bentuk commenda membri keuntungan
80% sampai 100%.

Tuban

Negeri Tuban berbatasan dengan Rembang di sebelah barat dan sedatu di sebelah
timur. Kotanya di kelilingi pleh pagar dari papan, berjarak satu tembakan panah dari laut.
Tuban merupakan kubu yang sukar di taklukkan dan perjalanan dari tuban ked aha
memakan waktu dua hari, namun kondisi jalan-jalan cukup baik dilalui oleh kereta. Rute itu
melalui daerah-daerah yang sudah cukup banyak penduduknya. Wilaya kota di bagi dua,
masing-masing mempunyai penguasa, yang seorang daerahkiri sungai, sedangkan yang lain
daerah sebelah kanan. Pedagang yang paling rameh ialah kain tenun yang datangkan dari
segala penjuru.
Masa Transasi Proses Islamisasi

Penyelenggaraan pelayaran dan perdagangan di kota-kota pelabuhan menimbulkan


jalur komunikasi terbuka sehingga terjadi mobilitas sosial baik horizontal maupun vertical,
serta perubahan gaya hidup dan nilai-nilai. Peraturan-peraturan perdagangan murupakan
sitem tersendiri terlepas dari peraturan yang menyangkut hubungan kekuasaan. Persaingan
dalam perdagangan akan menimbulkan pengolompokan di antara pedagang.

Kedudukan para pedagang pribumi di kota-kota pelabuhan cukup terkemuka.


Mereka merupakan golongan menengah, yang mempunyai tempat antara penguasa dan
rakyat kebanyakan. Dan proses pemencaran agama Islam ke Indonesia mengikuti jalan
perdagangan, dan di wilaya Indonesia sendiri demikian terjadinya .

BAB II PEKEMBANGAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM ABAD KE-16

Kerajaan-kerajaan Islam.

Struktur kekuasaan feodel menunjukkan hierarki pyramidal dengan kekuasaan


puncak di pegang oleh Suzerin, seorang raja yang mempunyai hemogoni di wilaya dimana
raja-raja kecil sebagai vasalnya mengakui suzereinitasnya. Desintegrasi kerajaan suzerain
mengakibatkan suatu poliferasi kekuasaan untuk kemudian mengalami proses integrasi di
bawah kekuasaan baru. Pada kelompok pertama tampilah Malaka sebagai yang terkemuka,
namun kemudia jatuh ke tangan portugis. Dalam kelompok kerajaan-kerajaan di Jawa,
Demak, Cirebon, dan Banten tampak dampak mengkonsolidasikan kekuasaan.

Kerajaan Demak (1518-1550)

Menurut tradisi seperti tercantum dalam historiografi tradisonal Jawa, pendiri


kerajaan Demak ialah Raden Patah, kepada Raja patah, seorang putra Raja Majapahit dari
istri Cina yang di hadiakan kepada Raja Palembang. Mengenai raja kedua, sementara ini
sumber-sumber tradisonal menyebut nama China, Cu-cu atau Sumangsa, sedang pires
menyebut Pate Rodin, maka sukar diindentifikasikan, pada masa penguasa kedua itu
Demak sudah bapat berdiri sendiri, bebas dari hegemoni Majapahit.

Espansi Demak

Ekspansi Demak ke Jawa Barat dimulai dengan ekspedisi Syeh Nurullah atau
kemudian di kenal sebagai Sunan Gunung Jati, yang berhasil berturut-turut mendirikan
Kerajaan Cirebon dan Banten. Serangan terhadap Majapahit seperti yang di ceritakan dalam
historiografi tradisional belum dapat di pastikan historitasnya. Menurut tradisi Jawa barat
(sejarah Banten) kongfrotasi berlangsung beberapa tahun baru pada 1527 Majapahit dapat
di taklukkan dan menurut tradisi Raja Majapahit terakhir, Brawijaya menghilang.

Kerajaan Cirebon

si seperti tentara dalam historiografi tradisional pendiri kerajaan Cirebon adalah


SuMenurut tradinan Gunung Jati. Dalam sumber sejarah Banten namanya ialah Feletehan
atau Tagaril. Pada awal bad ke-16 sudah mempunyai perdagangan ramai dan hubungan erat
dengan Malaka terbukti dalam keterangan Pires yang menyebutkan nama Syahbandar
koloni Cirebon di upih Malaka, ialah Pate Kadir.

Kerajaan Banten

Pada awal abad ke-16 di Jawa Barat terdapat pusat kekuasaan yang berkedudukan di
pakuan atau seperti diberitakan oleh Portugis, Dayo, sebagai ibu kota kerajaan pajajara.
Menurut historiografi Banten, Hasanudin di anggap sebagai pendiri kerajaan Banten. Dia
kawin dengan seorang putri Demak, ialah putri Sultan Trenggana, dari perkawinan ini
lahirlah dua orang putra, yang tertua Maulana Yusuf dan yang kedua pangeran Jepara.

Peranan Para Sufi Dalam Islamisasi

Faktor yang mendorong proses islamisasi di Indonesia ialah lahiran sufisme atau
mistik yang melambangkan dalam terekat-terekat serta kesusastraan suluk dijawa.
Kemudian pada awal abad ke-17, Syamsudin dari pasai muncul sebagai ulama terkemuka
dan sangat berpengaruh, meskipun tidak mempunyai jabatan resmi di istana, umumnya
mengenalnya sabagai mistikus pula serta banyak membara.

Penyebaran agama Islam ke Indonesia Timur juga melalui hubungan perdagangan,


untuk daerah Maluku khususnya ialah melalui hubungannya dengan jawa . sejak abad ke-
15 Sulawesi Selatab di islamkan oleh Dato ri Bandang dari minang kabau.

Kedatangan Bangsa Portugis dan Perlawanan Terhadapnya

Kedatangan Bangsa Portugis sabagai orang Peranggi tidak dapat di pandang terlepas
dari konteks perkembangan sistem dunia yang semakin meluas sebagai akibat ekspansi
Barat sejak akhir abad ke-15. Peta politik abad ke-16 menampilkan kerajaan-kerajaan Islam
muda dan hubungan-hubungan antara mereka yang sering kali merupakan aliansi dalam
menghadapi penetrasi portugis.

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada Agustus 1511, Sultan Mahmud
mengungsi ke Pahang kemudian tinggal di Muar dan di Pulau Bintang. Selama portugis
menduduki Malaka, kedudukan ekonominya sangat strategis dan menjadi penghalang bagi
espansinya baik aceh maupun Johor.

Perlawanan Terhadap Bangsa Portugis di Maluku

Pada akhir 1512 Albuquerque mengirim ekspedisi ke daerah Maluku dan


seanteronya, anatara lain ke Kepulauan Aru, Ambon, dan Banda. Di antara kerajaan-
kerajaan di Maluku yang menonjol ialah Ternate, Tidore, Jilol, dan Bacan. Pada 1530
terungkaplah komplotan untuk membinasakan bangsa Portugis. Pada 1575 menjadi nayata
banwa Banten di Ternate sukar di pertahankan lebih lanjut. Salah satu politik yang di
ajukan ialah bahwa orang-orang Portugis dan orang pribumi secara bebas dapat
meninggalkan banten, asal mendapat imbalan dari pembunuhan ayahnya. Sebelum 1576
Ternate di tinggalkan oleh Portugis.
Struktur Kekuasaan

Abad ke-16 menyaksikan munculnya kerajaan-kerajaan baru di Medan sejarah


terutamaa di Jawa, sedangkan di Sumatra ada beberapa di antaranya yang telah mengalami
perkembangan dalam abad ke-15 ataupun ke-14. Perkembangan kerajaan Islam di derah
Maluku, Sulawesi Selatan, dan lain-lain daerah mulai tampak dalam abad ke-16 juga.
Konsep kekuasaan raja seperti tercaantum dalam beberapa serat dan lingkungan
kebudayaan Jawa, menunjukkan bahwa pribadi raja adalah sakral dan penuh karisma.

Kekuasaan raja sering bersumber pada soal keturunan, maka silsilah raja berfungsi
sebagai dasar legimitasi otoritasnya. Raja-raja Mataram mengembalikan silsilahnya kepada
Majapahit terus jauh kemasa mistis bersambung dengan dunia mistis “zaman purwa” dari
epos Mahabarata dan Baratayuda kemudian berakhir pada para nabi.

Kekuasaan Duniawi dan Kekuasaan Rohani

Didalam sistem politik kebudayaan melayu-polinesia atau dari masa pra Hindu- Jawa
kekuasaan tertinggi sering bersifat dualistis, atau merupakan dwtunggal antara unsur
duniawi dan unsur rohani. Pada zaman Hindu-Jawaa, kultus derajawa, jawa menjadi salah
satu unsur dalam tritunggal dewa-paruhito-raja, disini dewa di wujudkan oleh lenggah.

Lambang-Lambang Kekuasaan

Setiap raja memiliki sejumlah benda-benda yang di anggap sakral atau keramat yang
melambangkan kebesaran dan kekuasaan raja. Raja adalah penjaganya dan harus seorang
keturunan dari pemiliknya pusat memberi kekuasaan kepada raja, seperti halnya Jambi. Di
kerajaan Jambi pusatkan berupa keris dan pucuk tombak, di Indrigari payung dan gendang
nobat, atau gendering tembaga, disanggu keris pedang gong, ddi kotaringin pedang kipas,
dua buah singgasana, dan tombak yang konon berasal dari Majapahit.

Hierarki Dalam Kerajaaan

Raja yang berkedudukan sebagai penguasa tertinggi (wisesa) di bantu oleh seorang
(maha) mantra atau patih. Dengan berkembang sistem politik yang berjalan bersama-sama
dengan perluasan wilaya, struktur pemerintahan serta hierarkinya menjadi lebih kompleks
seperti halnya dengan struktur kerajaan Aceh yang tercantum dalam adam mahkota alam.

Pada umumnya struktur hierarki dalam kerajaan-kerajaan melayu menunjukkan pola


yang sama, hanya ada perbedaan nama sambutan penjabat, atau ada kalanya timbul
penyimpangan karena perkembangan sejarahnya, seperti halnya dengan kasus Riau
tersebut.

Atoni

Di wilaya Liurai-Sombai terdapat beberapa kerajaan satu di sebalah timur dengan


penguasa beserta antiple lelakinya,colonel di sebelah abarat seorang penguasa beserta dua
usif dn bertempat di pusat.

Ternate-Tidore

Sultan di bantu oleh jogoyu (di ternate) atau joyu ( di tidore). Beberapa penjabat
tinggi atau orang beberapa pejabat tinggi atau orang besar lainnya yang membantu ialah
putusan utusab yang mewakili raja keluar.

Banjarmasin

Langsung di bawah raja, mangkabulah yang berwenang menjalankan pemerintah.


Dia didampingi oleh seorang pangiwadan seorang panengen. Kemudian di bawahnya ada 4
jaksa yang bertugas mengadili, khususnya memungut denda yang menyita,

Mataram-Surakarta-Yogyakarta

Raja di bantu oleh pati sebagai wadana (kepala) golongan kepatihan atau pegawai
pamong paraja, sedang untuk mengurus keagamamaan di bantu oleh penghulu gede atau
wadana kaum atau wadana mutihan atau golongan pengaulan. Golongan perajurut di
pimpin oleh seorang bupati, adakalanya oleh seorang pangeran.
Masa Transisi dan Integrasi

Di beberapa daerah, pada bagian keduaa abad ke-16 muncullah pusat-pusat


kekuasaan yang tidak hanya mampu melawan serta mengalakkan penetrasi pengaruh
portugis dab bangsa lainnya, tetapi juga berhasil memperluas wilaya atau suasana
pengaruhnya dengan mingintegrasikan daerah-daerah politik sekitarnya, dan dengaan
demoikian melekan dasar bagi kerajaan-kerajaan besar seperti Aceh, Mataram, Makassar,
dan Ternate. Kalau pada masa ini sekitar selat malaka kehadiran bangsa portugis.

Setelah Sultan Hairun terbunuh didalam benteng portugis atas perintah Mesqquita,
Baabulah Daud Syah naik takhta sebagai sulatan IV. Selama pemerintahannya kerajaan
berekspetasi dan mencapai batas-batas di utara sampai Mindano, di selatan sampai Bima, di
timur sampai Barat, dan sebelah barat sampai Makassar.

Sulawesi Selatan: Goa-Bone-Luwu-Wajo-Soppeng-Tallo

Asal mula masyarakat Sulawesi Sealatan menurut I La Galigo kembali ke dunia


mitologis. Traddisi-Bugus-Makassar menuturkan mitos asal mula kerajaannya kembali
kepada seorang dewi yang turun bumi, to manurung, yang bersedia di takhtakan oleh
rakyat. Kerajaan Bone berkembang dari gabungan tujuh unit politik inti, ialah ujung,
Tibojong, Ta, Tanete Riawang, Poceng dan Macege.

Proses integrasi di Sulawesi Selatan yang berlangsung selama bagian kedua abad ke-16
melibatkan kerajaan-kerajaan di wilaya itu serta aliansi-aliansidi antaranya yang berubah-
ubah. Pada 1563 Goa melakukan ofensif lagi dengan bantuan dari Luwu, Wajo, dan
Sidenreng. Bone memaksa Goa untuk memperbeharui perjanjian Ceppa pada 1565 itu juga,
yang menetapkan perbatasan anatara kedua Negara itu serta beberapa daerah masuk wilaya
Bone, antara lainCenrana.

Kawasan Selat Malaka

Politik di kawasan ini merupakan perjuangan segi tiga, Aceh-Johor-Portugis di Malaka.


Oleh karena itu Portugis mengutamakan perdagangan dan tidak nbertujuan merebut
hegemoni politik dikawasan itu, maka perjuangan politik disana pada bagian kedua abad-
16. Pada 1564 Sultan Alauddin Al-Kahar (1537-1568) mengadakan penyeburan ke Johor,
Kekalahan Johor pada 1564 menempatkan Johor sebagai semacam Vasal dari Aceh. Sultan
alaudin dari Johor tertawa di bawah Aceh dan kemudia terbunuh. Selama bagian pertama
abad ke-17 kawasan Selat Malaka berada di bawah dominasi Aceh dan peranan Johor
terdesar.

Di Demak dengan meninggalnya Sultan Trenggane pada 1545 pecalah perang perebutan
takhta kerajaan. dalam perang perebutan takhta di Demak, Sunan Prawata, Ratu
Kalinyamat, Jaka Tingkir, dan Ki Pajawi dari pati bersama menghadapi Arya panangsang
dari Japan. Karena proses proliferasi kekuasaan selalu terjadi apabila kekuasaan pusat
mengalami desintegrasi, maka Adiwijaya perlu Mengkonsolidasi kekuasaan panjang
sebagai pusat kekuasaan dengan mencari pengakuan penguasa-penguasa daerah, ialah para
Kiai ageng atau penembahan (gentry).

BAB III PERLUASAN KEKUASAAN ACEH-MATARAM-MAKASSAR (1600-1700)

Dengaan Bangsa portugis bercokol kokoh di Malaka dan berhasil menggagalkan


semua serangan dari Johor, Aceh, dan Jawa, penanan Malaka selaku pusat perdagangan
pulih kembali, tetapi hanya sebagian karenaa pedagang muslim berusaha menghindarinya.
Sejak jatuhnya Malaka pada 1511 ke tangan portugis, Aceh berusaha menarik perdagangan
internasional dan antra kepulauan Nusantara, salah satu jalan menghancurkan Malaka dan
Johor, jalan lain ialah mencoba menguasai pelabuhan-pelabuhan pengespor lada fan
pelabuhan transito.

Pada 1595 perseorang Amsterdam untuk pertama kali mengirim angkatan kapal
dagang terdiri dari atas 4 kapal ke Indonesia di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada
14 Agustus 1597 tiba kembali di Tessel. Menyusul kemudian pada 1 Mei 1598 angkatan
kedua di bawah pimpinan Van Nede, Van Heemskerck, dan Van Warwijck. Pada tahun ini
juga perseroan-perseroan di bawah Amsterdam bergabung, disusul oleh fusi perseroan-
perseroan di Zaeland.
Tujuan VOC untuk menguasai perdagangan di Indonesia dengan sendirinya
membangkitkan perlawanan pedagangan pribumi yang yang merasa langsung terancam
kepentingannya. Dan sistem monopoli perdagangan bertentangan dengan sistem tradisional
yang berlaku, lagi pula tindakan-tindakan dengan paksaan dan kekerasan menambahkan
kuat sikap permusuhan tersebut. Meskipun banyak tantangan, Belanda berhasil mendirikan
pos dagang (factory) di Aceh (1601), petan (1601), Gresik (1602), dan Johor (1613).
Kontrak dengan monopoli pala di Banda Neira, Bandalontor, Rozemgain, dan Ali di
peroleh pada 1602. Politik monopoli Voc ternyata tidak menjamin adanya keuntungan yang
besar sebaliknya, kondisi perdagangan di Eropa pada perode awal VOC beroperasi terbukti
menunjukan pasaran rempah-rempah yang membanjir sehingga menjahtuhkan harha
penjual disana . pada pertengahan adab ke-17 politik VOC di Banda mengakibatkan
kemorosotan Produksi rempah-rempah hingga sangat menyusut volume perdagangan.

Pada sistem perdagangan terbuka pada abad ke-16, peran pedagan Indonesia dan
pedagang Asia bersifat komplementer , hal mana bertalian erat dengan saling tergantungan
antara pedagang dan rempah-rempah, bahan makanan, dan komoditi lainnya, seperi bahan
pakaian, pecah-belah, dan lain-lainya.

Kerajaan Aceh dalam Abad ke-17

Iskandar Muda(1607-1636) yang mendalam tradisi Aceh juga di sebut mahrum


mahkota alam, melanjutkan politik ekspansiraja-raja sebelumnya, kecuali yang memegfang
hemogoni politik yang bersamaan dengan itu dominan ekonomi dari Sumatra Utara dan
wilaya sekitar Selat Malaka, menurut buntussalatin, dia yang mengembangkan kehidupan
baragama Islam di Aceh, antara lain dengan membangun banyak masjid serta melakukan
perang jihad terhadap kauk kafir

Hubungan Di Polma dan perdagangan

Dalam hakekatnya Aceh telah di sebut adanya perruntusan dari dan negri-negri Asia,
seperti Kamboja, Campa, Ciangmai, Lamer, Pashula dan China. Karena espansi aceh ke
Semenanjung melayu malaka maka pihaj siam sudah barang tentu langsung
berkepentingan, mengigat bahwa di masa sebelumnya telah ada pula gerakan espansi Siam
ke Selatan. Pada 1582 telah di kirim peruntusan dari Aceh ke Istambul (Turki) oleh sultan
Allaudin Rakyat Shah Tujuannya ialah mengadakan pertukaran perwakilan dan kerja sama.

Makassar: Perkembangan Perdagangan dan Politik Ekspansi

Kalau pada satu pihak lokasi Makassar dengan pelabuhannya dengan pelabuhannya
yang baik sangat menarik sebagai stasiun dalam pelayaran anatara Maluku dan malaka pada
pihak lainnya mundur pelabuhan jawa mendorong perkembangannya yang pesat pada
bagian kedua abad ke-17 .

Ekspansi Kerajaan Goa Sejak 1600

Antara kedudukan kerajaan kembar Goa dan tallo selaku pusat kekuasaan politik dan
peranan Makassar sebaagai pusat perdagangan ada saling ketergantungan: perdamaian dan
keamanan yang ada di Sulawesi Selatan yang dibawah hegemoni Goa Tallo memungkinkan
perkembangan perdagangan Makassar. Sejak 1600 perkembangan politik di Sulawesi
Selatan dengan perang antara kerajaan memperoleh dimensi berkoferentasi.

Akhir Peran Hegemoni dan awal kongfrentasi Lawan VOC

Setelah Bone untuk kesekian kalinya dapat ditundukkan lagi dari Sulawesi Selatan di
bawah hegemoni gao dapat di pasifikasikan, perhatian goa di arahkan kepada lawanan
utamanya ialah VOC. Ada beberapa faktor politik yang kurang menguntunglkan goa yaitu:

1. Faksinalisme di kalangam bangsawan Goa-Tallo


2. Persaingan ternate untuk menguasai Sulawesi Utara, Butung, dan beberapa
kepulauan lain
3. Kontoigen pengungsi Bugis di Batavia dalam mengahadapi tekanan-tekanan politik
diluar., didalam kalangan para bangsawan sendiri timbul kelompok-kelompok yang
bertentangan.

Perang Makassar (1660-1669)


Hubungan Makassar dengan VOC mau tak mau berkembang menjadi rivalitas,
karena tujuan VOC untuk memegang monopoli perdagangan langsung bertentangan dengan
prinsip sistem terbuka, suatu hal yang menjadi kepentingan Makassar selama berkedudukan
sebagai dukungannya. Paada pertengahan 1667 ada usaha pendekatan anatara Soppeng dan
Bone. Debgab melupakan pelanggaran perjanjian pada 1660 oleh Bone, para bangsa
bersumpah akan menjujung tinggi perjanjian Attapang serta menerima pimpinan Arung
Palaka. VOC mendapatkan dukungan dari persekutuan Soppeng-Bone dan Toaangke.

Jalannya Perang (Desember 1666-Juni 1699).

Angakatan perang Voc yang berangkat pada 24 November 1666 dari Batavia tiba
dipelabuhan Makassar pada 19 Desember berdasarkan intruksi Dewan VOC di Batavia
segera dikirimkan oleh speelman utusan menyampaikan surat kepada Karaeng Gowa berisi
tuntunan agara di berikan penggantian dan di penuhi tuntunan VOC secara memuaskan.

Seragan pasukan VOC-Bugis di sertai pertempuran sengit untuk merebut benteng di


Gelosong akhirnya dapat memukul mundur pasukan Makassar dan pada akhir Agustus
1667 Gelosong di kosongkan mereka mundur ke makasar.

Keseduhan Konfrantasi Perjanjian dan Pendudukan (1669)

Antara gencata senjata 6 November dan penandatanganan perjanjian diadakan


pertemuan antara kedua pihak, antara speelman dan sultan hasanudin tercapailah
persetujuan bahwa dari pihak Makassar karaeng karunrung bertindak sebagai wakilnya
sedang dari pihak VOC, speelman sendiri. Perundingan dilakukan dalam bahasa portugis.
Adapun tuntutan yang diajukan oleh speelman terdiri atas 26 butir. Ada sekitar 10 butir
yang langsung menjadi kepentingan VOC, baik dibidang politik, militer maupun ekonomi.
Butir-butir tersebut mencerminkan tujuan utama VOC untuk memegang monopoli di
Makassar serta memperkuat kedudukan, politik, dan militernya baik di Makassar maupun
di Indonesia timur.

Kerajaan Jambi
Di wilayah Indonesia bagian barat proliferasi perdagangan selama abad ke-16
akhirnya menimbulkan kecenderungan ke arah konsentrasi dibeberapa pusat lagi, yaitu
aceh, johor, jambi, Palembang dan banten. Disamping itu malaka dengan strategi portugis
masih cukup menarik perdagangan dari wilayah Indonesia bagian timur, Kalimantan
selatan dan jawa. Jambi muncul sebagai pengekspor lain yang penting karena daerah
pedalamannya sampai minangkabau adalah penghasil lada besar. Secara politis pernah
masuk suasana pengaruh demak dan kemudian mataram, suatu status politik yang dapat
berfungsi sebagai perisai terhadap ekspansi banten yang telah sangat berpengaruh di
Palembang. Disebelah utara, jambi menghadapi bahaya ekspansi dari aceh. Setelah kedah,
perak, Pahang dan johor ditaklukannya, kemudian tiku dan priaman di pantai barat Sumatra
sudah ditundukan pula, maka ada ancaman langsung terhadap jambi. Baik pihak portugis
maupun VOC sama sekali tidak menghendaki jambi jatuh ke tangan aceh. Pada satu pihak
jambi adalah pelabuhan ekspor lada pada pihak lain menjadi pengimpor beras dan garam,
maka masih ada ketergantungan ekonomis kepada jawa (demak – mataram) masih kuat
selama bagian pertama ke-17.

Perang Hemogoni Antara Jambi dan Johor

Meskipun berkali-kali menghadapi serbuan Aceh dan Portugis, Johor tetap tegak
berdiri bahkan dalam abad ke 17 masih berusaha melakukan ekspansi. Dalam hal ini peran
orang kaya dan orang laut sangat besar, yang pertama karena kekayaannya serta
pengaruhnya dalam dunia perdagangan edang yang kedua karena memiliki seni perang di
Dalam periode bagian pertama abad ke-17 kedudukan ekonom navigas Jambi yang kuat
menempatkannya sebagai saingan utama joho Lagi pula status Jambi sebagai vasal
Mataram merupakan fakto penghalang ekspansi Johor.

Banten Dalam Abad ke-17

Peranan Banten sebagai pusat perdagangan yang menonjol dapat dilacak kembali ke
jatuhnya Malaka (1511) ketika dalam mencari pusat baru pedagang mengalihkan
kegiatannya ke Aceh dan Banten. Kecuali itu ekspor ladanya cukup menjadi daya tarik
kuat, sampai-sampai Portugis sendiri juga mengadakan hubungan dagang dengan Banten.
Pada akhir abad ke-16 Banten menjadi salah satu tempat pelarian pedagang dari pesisir
Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berusaha menghindari cengkeraman Mataram. Banten
akhirnya juga menghadapi ancaman ekspansi Mataram dan dua kali diserang (1597-1599).
Di front lain kedua kekuatan itu juga berkonfrontasi, ialah di Palembang yang menurut
tradis adalah vasal dari Mataram.

Pantai Barat Sumatra dan Minangkabau

Selama bagian pertama abad ke-17 sepanjang pantai barat Sumatra sebagai
penghasil lada ada di bawah hegemoni Aceh. Meskipun ada tradisi lama di Sumatra Barat
bahwa para raja dan penguasa daerah mengakui suzereinitas Kerajaan Minangkabau.
Selama masa kerajaannya Aceh dapat mendesak pengaruh Johor, Jambi, Palembang,
Banten, dan Portugis. Jatuhnya Malaka di tangan Belanda (1641) menghadapkan Aceh
langsung "bertatap muka" dengan Johor dan Belanda, keduanya beraliansi untuk
menjatuhkan Aceh. Tidak mengherankan kalau beberapa tahun kemudian Belanda
berhubungan dengan Aceh, yaitu waktu Sultan Tadjul Alam memerintah. Para orang kaya
di Aceh yang sangat berkuasa itu mempertahankan monopoli.

Banjarmasin dalam Abad ke-17

Dalam sistem lalu lintas, perdagangan antara Malaka dan Maluku mempunyai
lokasi yang strategis, maka tak mengherankan kalau nama-nama Brunai, Lawe, Sambas,
dan Landak yang tercantum dalam Nagarakertanegara, suatu petunjuk bahwa tempat-
tempat itu masuk dilingkungan pengaruh Majapahit dan demikian masuk di jaringan
perdagangan Nusantara. Dalam abad ke-16 Lawe atau Sambas, terlepas dari hegemoni
ekonomi Jawa, tetapi dalam abad berikutnya Kalimantan Barat Daya ada di bawah
hegemoni Banjarmasin.

Mataram dalam Bagian Pertama Abad ke-17


Politikekspansi Matarammenggunakanstrategimenghancurkan kota-kota pesisir
sebagai lawan utama, suatu strategi yang menjadi bumerang karena kelumpuhan
perdagangan meniadakan sumber daya ekonomi yang menjadi dasar suatu struktur
kekuasaan kerajaan sebelumnya dan yang sezaman, seperti Majapahit, Sriwijaya, Aceh,
Malaka, Makassar, dan sebagainya. Akibat lain ialah bahwa banyak pedagang dari Jawa
mengungsi ke pusat-pusat perdagangan baru, seperti Makassar, Banjarmasin, Banten
sehingga timbul kompetisi dan oposisi politik terhadap Mataram.

Di dalam babad dan historiografi tradisional lainnya, pendri Mataram diselubungi


oleh mitos dan legenda sehingga fes fakta historisnya ditetapkan berdasarkan interpretasi
tertent Dari ekspedisi yang berhasil di Jawa Timur dengan kemenangand Jipang dua orang
kakak beradik, Kiai Ageng (K.A.) Pemanahan dan K.A. Panjawi muncul sebagai tokoh.
Sebagai balasan dari jasa-ja mereka diangkatlah mereka sebagai penguasa daerah, yang
pertina di Mataram dan yang kedua di Pati.

Perebutan Hegemoni antara Pajang dan Mataram

Selama zaman Demak dan Pajang peranan pesisir dengan perdagangannya


merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan. Terutama Gresik dan Surabaya dengan
perdagangannya yang ramai, mempunyai kewibawaan besar, baik di Jawa maupun luar
Jawa. Lebih-lebih pengaruh religius Sunan Giri menambah pengaruh politik yang terasa
dari Maluku sampai Malaka. Meskipun Pajang terletak di pedalaman, dijalankannya
"ostpolitik" seperti politik Demak. Dalam menghadapi Mataram, Pajang mempererat
aliansinya dengan vasal-vasal dari pesisir, antara lain Tumenggung Demak dan Tuban.

Politik Ekspansi Mataram

Polarisasi antara kekuasaan di pesisir dan di pedalaman yang sejak desintegrasi


Majapahit berkembang, sangat memengaruhi gerakan ekspansi Mataram dengan ostpolitik-
nya. Pada akhir abad ke-16 Gresik dan Surabaya mempunyai perdagangan yang maju
sehingga setiap pusat kekuasaan di Jawa Tengah, Demak, Pajang, dan Mataram hendak
menaklukkannya agar dapat dihilangkan setiap usaha perlawanan politik dan dikuasai
segala kekayaannya diperoleh dari perdagangannya.

Pada tahun berikutnya (1591) berturut-turut Kediri dan Jipang diserang oleh
Mataram, Pasuruan menyusul, Tuban pada 1598-1599. Pemberontakan Pajang terjadi oleh
karena seorang vasal Tambakbaya terhadap Dipati Pajang) tidak mengindahkan perintah
raja, di sini khususnya menyerahkan kudanya, si Domba, kepada Sultan Agung

Puncak Konfrontasi Mataram-Surabaya (1620-1625)

Kekuatan posisi Surabaya berdasarkan atas beberapa fakto Faktor utama ialah
kedudukannya sebagai pusat perdagangan serta segala kekayaan dan hubungan yang
dihasilkannya; faktor kedua kepentingan ekonomis bersama di antara kota-kota pelabuhan
Jawa Timur membentuk solidaritas yang terwujud sebagai allans pesisir. Faktor kedua itu
diperkuat oleh ideologi religius yang mempertajam perbedaan dengan Mataram. Faktor
ketiga ialah daerah pedalaman yang subur dan maju pertaniannya sehingga hasil berasnya
dapat menopang fungsi Surabaya sebagai entrepot. Dapat ditambahkan bahwa hubungan
perdagangan menciptakan ikatan politik dengan beberapa kerajaan di seberang, antara lain
Sukadana, Landak, Banjarmasin, Maluku, dan sebagainya.

Konfrontasi Mataram Lawan VOC

Sistem perdagangan serta jaringan-jaringannya dalam kaitannya dengan proses


politik dan pengaruh timbal-baliknya merupakan kompleks historis tersendiri yang terdiri
atas unsur unsur Mataram, Surabaya dan pesisir, Banten dan VOC. Sudah barang tentu
Cirebon, Priangan, dan Madura menjadi faktor yang turut mempengaruhi perkembangan
kompleks historis itu. Lagi pula kait-mengaitnya sistem ekonomi dan proses politik di Jawa
dengan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku memperbesar kompleksitas
perkembangan politik di Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Antara Mataram dan VOC timbul pendekatan, antara lain terbukti dari utusan-
utusan VOC yang sejak 1610 hampir setiap tahun pergi menghadap Raja Mataram. Seperti
di mana-mana, VOC hendak mendirikan factory sebagai basis untuk beroperasi, khususnya
di Jepara. Batavia, seperti pelabuhan sejenis membutuhkan persediaan beras. Satu faktor
yang pada suatu waktu pasti menimbulkan bentrokan yaitu tujuan VOC memegang
monopoli pada satu pihak dan politik ekspansi Mataram pada pihak lain. Penawanan orang
VOC (1616), penyerbuan loji Jepara dan pembunuhan Kumpeni (1618), kemudian serangan
balasan oleh VC (1618-1619), kesemuanya memperuncing konflik dan akselarasi terjadi
terus-menerus karena insiden-insiden sampai 1628, yaitu tahun ofensif Mataram terhadap
Batavia.

Politik Dalam dan Luar Kerajaan Mataram

Perang ekspansi yang terus-menerus berkobar tidak hanya menguras sumber daya
alamiah dan manusiawi, tetapi juga menimbulkan ketegangan politik dalam kerajaan diserta
kekuatan-kekuatan desintegratif. Pemberontakan Pati pada 1627 perlu dilacak pada
golongan pesisir dan pedalaman (Mataram) dan antara Wangsa Demak dan Wangsa
Mataram. Meskipun pemimpin pemberontakan Pragola Il sendiri termasuk warga Wangsa
Mataram dan menurut tradisi babad dan sumber Barat ada motivasi pribadi di belakang
pemberontakan itu, faktor penyebabnya ialah ketidaktaatan penguasa pesisir, Kiai Demang
Laksamana dan seorang orang kaya terhadap pemerintah Pangeran Pragola II.

Politik Dalam dan Luar Kerajaan Mataram

Perang ekspansi yang terus-menerus berkobar tidak hanya menguras sumber daya
alamiah dan manusiawi, tetapi juga menimbulkan ketegangan politik dalam kerajaan disen
kekuatan-kekuatan desintegratif. Lapisan masyarakat, golongan atau unsur etnis serta
kontra-elite yang tertekan dan menderita d bawah dominasi Dinasti Mataram menggunakan
kesempatan yang terluang untuk melancarkan gerakan memprotes, menentang ataupun
memberontak terhadap Mataram.

faktor penyebabnya ialah ketidaktaatan penguasa pesisir, Kiai Demang Laksamana


dan seorang orang kaya terhadap pemerintah Pangeran Pragola II. Pada 1636 pasukan
Mataram menyerbu Gresik di bawah pimpinan Pangeran Pekik dan Ratu Pandan Sari.
Pemberontakan di Sumedang dan Ukur (1628-1635)

Kalau selama bagian pertama dari periode pemerintahannya Sultan Agung


mengarahkan ekspansi Mataram ke Timur, dalam bagian kedua lebih mengarah ke Barat.
Banten dan VOC merupakan dua kekuatan yang melawan ekspansi tersebut. Pada
umumnya Mataram mewarisi suatu tradisi yang berupa hubungan baik dengan kerajaan-
kerajaan di luar Jawa, terutama karena hubungan perdagangan yang ramai sejak.

Karena ancaman VOC, hubungan antara Kerajaan Mataram dan Kerajaan Goa dan
Tallo berkembang sebagai suatu aliansi yang dikokohkan dalam suatu perjanjian pada
1633. Sebagai tanda hubungan erat itu ialah perkawinan antara Raja Goa dengan seorang
putri Raja Mataram. Selanjutnya, pedagang-pedagang Jawa memegang peranan penting
pula di Makassar.

Konsolidasi dalam Kerajaan Mataram

Sebagai hasil ekspansi sejak Panembahan Senopati sampai jatuhnya Surabaya,


wilayah Mataram sudah berlipat ganda luasnya, maka kebesaran kedudukan Raja Mataram
sudah tidak lagi dicerminkan oleh gelar panembahan, suatu gelar yang pantas bagi seorang
penguasa lokal di atas seorang kiai ageng.

Priangan Sebelum dan Selama Dominasi Mataram

Pakuwan sebagai tempat kedudukan Raja Pajajaran didirikan pada 1433. Kemudian
ditaklukkan oleh Sultan Hasanudin da Banten sebelum 1570. Dalam penyerangan Batavia
pada 1628 telah dikerahkan pula rakyat dari Sumedang Ukur dan Timbanganten untuk turut
berperang. Menurut tradisi, Dipati Ukur mengundurkan diri dan mengadakan pertahanan di
Lumbung (ada sementara yang menyebutkan pegunungan di selatan Banten). Ada pula
tradisi yang menuturkan bahwa ia kembali dari medan perang untuk melindungi istri-
istrinya yang akan ditawan oleh suatu pasukan.
BAB IV PERPECAHAN DAN CAMPUR TANGAN KUMPENI (1600-1700)

Pada peta pelayaran awal abad ke-16 tercantum nama salah satu kota pelabuhan di
pantai utara Jawa Barat: kelapa atau Sunda Kelapa. Jakarta pada masa kedatagan bangsa
Barat sudah kurang berarti sebagai pelabuhan, hanya tempat singgah untuk mengambil air
bersih dan bahan makanan segar. Pada pertengahan abad ke-17 telah berhasil memegang
monopoli rempah-rempah, dibagian barat Indonesia di perlukan suatu rendezvous ( tempat
pertemuan) dan factory pusat dimana kegiatan VOC dapat di atur dan di kelola.

Persaingan antara Belanda dan Inggris menambahkan proses politik, suatu faktor yang
menjadi keuntungan bagi kerajaan-kerajaan, karena pihak Inggris merupakanpotensi
berharga sebagai sekutu.

Pada akhir 1640-an mulai ada pendekatan antara Mataram dengan VOC. Dengan
pulihnya perdagangan dengan VOC di harapkan adanya keuntungan banyak dari Mataram
untuk memperlancar sistem monopoli dihapus kususnya dalam hal beras. Dalam hubungan
ini peranan VOC menjadi penting, tidak hanya sebagai pedagang tetapi kemudian juga
sebagai kreditor.

Sebagai daerah yang menjadi pangkal rute perdagangan rempah-rempah, lagi pula
yang memiliki monopoli alamiah pelbagai hasil rempah-rempah itu, maka seperti pada
bangsa Portugis, VOC segera berusaha meletakkan basisnya di wilaya itu dengan
mengadakan kontrak dengan penguasa setempat, mendirikan Factory dan loji atau benteng.
Pada 1607 VOC juga membuat perjanjian dengan Ternate dengan secara formal memegang
hegemoni di Seram Barat, termasuk Luhu, Kambelo, Lusidi, Hitu, dan Malaka Selatan pada
umumnya.

Kekuatan politik-politik dan ekonomis yang melakukan perlawanan terhadap VOC


hendak mempertahankan kepentingan ekonominyakarena pihak inilah yang terdesak oleh
ekspansi VOC, yaitu golongan Melayu, Makassar, Jawa Pesisir. Dalam mengahadapi
gabungan kekuatan itu VOC dapat bersekutu dengan Mataram khususnya partai raja
sehingga terbentuk aliansi yang terdiri atas kekuatan maritime dan ekonomi pada satu pihak
dengan kekuatan agraris serta produksi berasnya pada pihak lain.

Tanggal 10 Maret 1651 di lancarkan serangan-serangan tergadap loji-loji; di


Howemohel tinggal di loji di luhu yang dapat mempertahannya; lainnya jatuh di tangan
pemberontakan yaitu di Kambelo, Assahudi, Lessidi. Apa yang di khawatirkan oleh rakyat
benar-benar dijalankan oleh VOC, yaitu pembinasaan kebun cengke di daerah-daeraah
pemberontakan. VOC bebas dalam mendirikan benteng di mana saja, melarang semua
orang asing mengunjungi daerah tersebut. Sebagai ganti rugi Madarshah 12.000 rial setiap
tahun.

BAB V KEMUNDURAN DI JAWA DAN PENETRASI KUMPENI

Situasi politik pada awal 1667 di Jawa di liputi oleh suasana perang penuh dengan
sikap bermusuhan. Dengan didudukinya pesisir Jawa Timur oleh Trunajaya, kekuasaan
Mataram hanya meliputi Jawa Tengah dan banyak daerah mencanegara terlepas dari
pengawasannya. Untuk melemahkan kedudukan Trunajaya, Speelman berusaha untuk
menanam pengaruh kumpeni di Madura. Karena serangan pasukan kumpeni di bawah
Speelman, basis-basis pesisir di Jawa Timur dan Madura jatuh ke tangab mereka dan
Trunajaya terpaksa mengundurkan diri ke Kediri.

Dengan membangun pusat pertahanan di Kediri barisan Trunayaja masih


mempunyai pos-pos depan yang melakukan serbuan-serbuan ke daerah lawan, antara lain
pos di jagaraya (Madium) dan Berbek (Kediri). Dengan jatuhnya Kediri VOC, maka
strategi pertahanan Trunajaya di pusatkan ke daerah pengunungan di kompleks kelud dan
penanggunan. Pada 9 September 1679 tempat itu mulai di serang oleh pasukan kumpeni di
bawah Arung Palaka, hanya dengan pertempuran sengit dan banyak menjatuhkan korban,
kubu pertahanan itu dapat di kuasainya.

Pergolakan di Mataram dan pemberontakan Trunajaya memberikan keleluasaan


kepada Banten untuk meningkatkan pengaruhnya. Gerakan melawan VOC di situ di
galakan oleh semangat antikafir yang digairakan oleh para pemimpin agama, anatara lain
Syeh Ysuf dari Makassar. Fakta yang menghambat gerakan itu ialah bahwa di Banten
timbul perpecahan anatara Sultan Ageng dan Sultan Haji. Gangguan Banten terhadap VOC
menimbulkan banyak kerugian dalam bidang perdagangan. Lebih lagi Banten berhasil
menarik perdagangan bangsa Eropa lainnya: Inggris, Prancis, Denmark, Portugis.

Akhir-akhir 1730-an VOC mengalami kemunduran, beban keuangan untuk


menyelenggarakan pemerintahan di Batavia jauh melampaui penerimaan, ada defisit terus-
menurus. Pada 1727 di buat peraturan yang menentukan bahwa semua orang cina yang
telah tinggal 10 sampai 12 tahun di Batavia dan belum memiliki surat izin akan di
kembalikan ke negri Cina. Dalam tubuhnya VOC sendiri timbul kemorosotan, kecuali
menghadapi kebangkrutan dan korupsi, kualitas orang-orangnya sering diragukan.

Politik kolonial dengan sistem pemerintahan tak langsung itu memang sesuai
dengan kepentingan VOC. Meskipun dengan sistem penyerahan hasil tanaman yang di
kenal sebagai sistem priangan ( preanger stelsel ) mempunyai dampak yang besar pada
masyarakat priangan. Perubahan sistem tanam kopi dari sistem bebas ke sistem tanam
paksa pada 1723 membawa akibat bahwa beban orang pribuni menjadi lebih berat.

BAB 1V KEMUNDURAN DI LUAR JAWA DAN PENETRASI KUMPENI (1700-


1800).

Kemorosotan politik dan ekonomi Aceh tidak hanya mengakibatkan penyusutan


arena polotik dalam hubungan antara kerajaan tetapi juaga krisis di jantung kerajaan, ialah
timbulnya suatu tradisi revolusi istana. Beberapa faktor dapat di utarakan sebagai faktor
peyebabnya, antara lain:

1. Kedudukan sultan jatuh dalam pengawasan para kepala mukim, khususnya dari
ketiga Sagi, ialah Mukmin IV, XXII, dan XXVI.
2. Pertentangan dan perebutan kekuasaan kalangan orang kaya menjadi kedudukan
Dengan kedatangan pedagang dan pelayaran Barat peraairan Indonesia bertambah
banyak kontak-konta dengan papua seperti tecantum dalam berita-berita yang
berasal dari pelayaran tersebut. Baik pelayar Portugis maupun spanyol
memberintakan bahwa mereaka telah sampai dipapua atau mendapatkan kontak
dengan raja Papua. Proses integrasi daerah Maluku dan Papua di do\rong oleh
komunikasi baik yang berjalan dengan kekerasan maupun bersifat damai. VOC
sudang merintis daerah itu dan politiknya terutama di tunjukan kepada Ternate dan
Tidore yaitu memakai kedua kerajaan tersebut mencakup daerah papua ke
lingkungan monopoliny.

Dengan membangun pusat pertahanan di Kediri barisan Trunajaya masih mempunyai


pos-pos depan melakukan serbuan-serbuan di daerah lawan, antara lain pos Jagaraya
(Madium) dan Berbek (Kediri). Ekspedisi untuk mengempur kedirindipimpin oleh Antonie
Hurdt, pasukan induknya bergerak dari Jepang pada 5 September 1678 lewat Grobongan,
Gronpol, Kajang dan Madium dimana pasukan di bawah tack bergabung setelah menempuh
rute keduwang dan Ponogoro.

BAB VII SISTEM SOSIAL EKONOMIS ABAD KE-19.

Kedudukan dan sumber kehidupan

Berdasarkan sumber tertulis yang sangat langka mengenai kependudukan, ialah


buku histori of java tulisn raffles peduduk jawa pada abad XIX berjumlah 4.615.270, di
antaranya lebih dari 1,5 juta hidup di daerah kerajaan dan kira-kira 3 juta ada di daerah
yang langsung diperintah kolonial.

Perbandingan kelahiran menurut sumber itu 1 dan 40 sedang perbandinagn


kematian adalah 1,49. Selanjutnya dilaporkan bahwa satu cacah (keluarga) rata-rata terdiri
atas 4-4,5 anggota. Jarnag sekali di temukan keluarga besar yang beranggota lebih dari 10
orang.Pada awal bad XIX jawa sudah merupakan daerah agraris. Sebagian besar dari
penduduknya hidup dari pertanian, termasuk petrnakan.

Dirk van Hogendorp (1799-1808)

Hogendorp mengusulkan agar kedudukan bupati dan penguasa daerah lainnya di


atur kembali, pemilikan atau penguasaan tanah sebagai sumber pemerasan dicabut dan
tanah dikembalikan kepada rakyat. Rakyat diberi tanah untuk di tanami secara bebas, bebas
memilih jenis tanaman serta menyalurkannya dan bebas melakukan pekerjaannay. Sebagai
penganti perplichte leperanties (penyerahan wajib) diadakn pajak berupa hasil bumi dan
uang kepala.

Herman willem daendles (1808-1811)

Di jiwai oleh ideologi yang sama daendles menjalankan pemerintahannya dengan


memberantas sistem feodal yang sangat di perkuat oleh VOC. Untuk mencegah penyalah
gunaan, kekuasaan, serta hak-hak bupati mulai di batasi, terutama yang menyangkut
penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat. Baik wajib tanam dan wajib kerja hendak
dihapuskannya hal ini tidak hanya akan mengurangi pemerasan oleh para penguasa tetapi
juga lebih selaras dengan prinsip kebebasan berdagang kondisi pada waktu itu menjadi
hambatan pokok bagi pelaksanaan ide-ide bagus tersebut.

Thomas Stamford Raffles (1811-1816)

Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsip-prinsip liberal, seperti halnya pada


van Hogendorp, jadi politik kolonial yang hendak mewujudkan kebebasan dan kepastian
hukum, prinsip kebebasan mencakup kebebasan dan kepastian hukum. Politik kolonial
Raffles bertolak dari ideologi liberal dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat dengan memberikan kebebasannya. Pelaksanaan politik liberal itu berarti bahwa
struktur tradisional dan feodal perlu dirombak sama sekali dan diganti dengan sistem baru
yang didasarkan atas prinsip legal. rasionalitas. Pemerintah perlu tersusun dari suatu
birokrasi yang melepaskan fungsi-fungsi tradisional dan feodal, terutama dalam
hubungannya dengan pemungutan hasil dan pengerahan tenaga rakyat menurut sistem
VOC.

Perdagangan

Dalam sistem feodal di jawa pada awal abad XI sudah barang tentu perdagangan
terutama terdiri atas transaksi dengan tukar menukar barang; seperti kopi dengan garam
atau candu, beras dengan kapas atau indigo, kerbau dengan barang-barang, dan jarang
sekali dengan uang. Lalu lintas barang menggunakan pengangkutan tadisonal, yaitu dengan
tenaga binatang seperti kerbau dan kuda. Jarak yang di tempuh pendek karena keadaan
jalan masih buruk dan perjalanan cukup lama. Pusat-pusat VOC menjadi tujuan aliran
pengangkutan dari pedalaman berupa hasil bumi dan perkebunan.

Struktur Feodal Masyarakat Jawa pada Awal Abad ke-19

Meskipun sudah beberapa puluh tahun telah menjadi daerah di bawah kekuasaan
Kumpeni seperti Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Tuban,
Surabaya, Pasuruan, Madura, dan Banyuwangi, masyarakat di daerah-daerah ini
mempunyai struktur feodal yang kuat. Sebelum 1743 daerah-daerah itu ada dalam wilayah
kerajaan, pada waktu mana pengaruh kekuasaan raja yang despotis telah mengubah status
tanah di pedesaan.

Dengan demikian struktur feodal diperkuat, hal mana tampak pada gaya hidup para
bupati seperti tercermin dalam jumlah pengikutnya dan tanda-tanda kebesarannya, besarnya
rumah tangga, dan sebagainya. Kesemuanya itu berfungs untuk menambah kewibawaan di
mata rakyat yang bersikap serba patuh kepada perintahnya. Struktur feodal menjadi bagian
bangunan sistem kolonial. Pada masa itu VOC merupakan faktor yang menjamin produksi,
dan sesudahnya tetap menjadi faktor pendukung sistem pungutan terhadap rakyat.

Sistem Tanam Paksa

Menjelang akhir dekade ke-3 pemikiran dalam bidang ekonomi politik sekitar Jawa
sebagai daerah jajahan semakin menjurus ke arah pihak konservatif dan menjauh dari
politik liberal. Ada beberapa sebab yang mendorong perkembangan itu. Seperti telah
diuraikan di atas sistem pajak tanah dan sistem perkebunan (landelijk stelsel selama tiga
puluh tahun banyak mengalami hambatan tidak lain karena sistem liberal ternyata tidak
sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa, dengan segala ikatan-ikatan
tradisionalnya.

Menurut sistem tanam paksa pungutan dari rakyat tidak lagi berupa uang tetapi
berupa hasil tanaman yang dapat diekspor. Seperlima dari tanah garapan yang ditanami
padi dari rakyat desa wajib ditanami jenis tanaman itu dengan memakai tenaga yang tidak
melebihi tenaga untuk menggarap tanah itu bagi penanaman padi. Bagian tanah itu bebas
dari pajak tanah, sedangkan setiap surplus dari hasil penjualan yang melebihi jumlah yang
sebesar pajak tanahnya perlu diserahkan kepada desa.

Pengaruh Sistem Tanam Paksa pada Masyarakat

Menurut rencana van den Bosch sistem tanam paksa terutama akan menggunakan
organisasi desa sebagai wahana untuk mengadakan produksi. Secara teoretis sistem tanam
paksa secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa
dengan melampaul peranan bupati sebagai perantara seperti hal yang berlaku pada masa
VOC.

Luar terlambat dan bersama dengan itu proses modernisasinya. Memang gejala-
gejala komersialisasi, diferensiasi, dan spesialisasi kurang tampak, kesemuanya tidak
mungkin diharapkan dari sistem produksi feodal dan mungkin diharapkan dari sistem
produksi feodal dan ekstratif sifatnya itu; sebagian besar surplus mengalir ke luar tanpa ada
investasi kembali di tempat penghasil sendiri. Kedua, sistem tanam paksa lebih
memperkuat perkembangan desa yang terarah ke dalam karena dengan demikian dapat
berfungsi sebagai alat produksi yang efektif. Ketiga, dalam situasi seperti itu peranan
kepala desa sebagai perantara dengan dunia luar sangat penting sebagai akibat dari
kenyataan bahwa mendapat dukungan dari penguasa di atasnya, baik Belanda maupun
pribumi.

Dampak Ekonomis Sistem Tanam Paksa pada Masyarakat Agraris di Jawa

Dalam lingkungan tradisional tenaga kerja rakyat pedesaan terserap dalam pelbagai
ikatan, baik dari desa maupun yang feodal. Penyelenggaraan sistem tanam paksa memang
didasarkan sepenuhnya pada kelembagaan itu. Permintaan akan tenaga kerja baru timbul
dengan adanya pendirian pabrik-pabrik tempat memproses hasil tanaman, terutama tebu.
Pada awalnya industri gula mengalami banyak kesulitan antara lain soal transportasi yang
terasa amat membebani rakyat bila diharuskan memikulnya. Kalau dengan tenaga gugur-
gunung jalan-jalan dibangun, penanaman tanam paksa sementara itu wajib diusahakan
rakyat, maka tidak mungkin lagi mereka dituntut menyelenggarakan pengangkutan dan
pekerjaan memroses di pabrik.

Pertumbuhan Ekonomis Bagian Kedua Abad ke-19

Dengan sistem tanam paksa pemerintah Hindia Belanda menguasai produksi untuk
ekspor serta memegang monopoli perkapalan dan perdagangannya; meskipun semula hanya
dimaksud sebagai usaha komplementer dengan usaha swasta yang dijalankan oleh
pengusaha perkebunan (planter). Kemunduran antara 1878 dan 1883 disebabkan oleh
perubahan harga bahan makanan di pasaran dunia, perubahan perbandingan harga produksi
primer dan produksi sekunder atau industri, harga gula dan kopi jatuh.

Perubahan Ekonomi Politik Belanda terhadap Masalah Tanah dan Tenaga (1850-
1900)

Apabila penyelenggaraan sistem tanam paksa dapat berjalan cukup lancar dan
memberi hasil baik, perubahan berdasarkan politik liberal yang berpegangan pada
kebebasan tenaga dan kultur, tidak mungkin dilaksanakan tanpa mendobrak kelembagaan
sosio-struktural yang menghadapkan proses liberalisasi kepada hambatan
struktural.Perkembangan daerah-daerah luar Jawa (Buitengewesten) Pergolakan di daerah
sering dipergunakan sebagai kesempatan bagi Belanda untuk mempasifkasikan dan
menanam kekuasaan serta mengatur pemerintahnya.Sementara itu telah datang pengusaha
perkebunan (planter) baru Moss dan Baker dari Swis dan von Mach dari Jerman. Kecuali
perkebunan tembakau, mereka juga membuka perkebunan tembakau, mereka juga
membuka perkebunan pala dan kelapa.

LPJ. Du Bus de Gisignies (1826-1830)

Sesuai dengan politik Raja Willem I yang bercap liberal pada 1825 diangkatlah du
Bus, seorang kapitalis Belgia terkemuka, sebagai pengganti van der Capellen. Konsepnya
tentang politik kolonial sejalan dengan konsep Willem 1, ialah kebebasan penanaman
bersama dengan peningkatan produksi untuk ekspor sebagai dasar guna memajukan
perdagangan dan pajak tanah. Menurut du Bus peningkatan produksi akan menambah
kemampuan pribumi untuk membeli, berbeda dengan Raffles yang beranggapan bahwa
perbaikan kesejahteraan rakyatlah yang dapat meningkatkan daya belinya.

Perkembangan Birokrasi

Pada zaman Kerajaan Mataram, para bupati adalah pemegang dan pelaksana
pemerintahan di daerah (ministerialis) yang mendapat otoritas dari kekuasaan pusat
kerajaan. Otoritas itu tidak didasarkan atas pewarisan melainkan atas posisi yang diduduki
dalam struktur kekuasaan dalam kerajaan. Pada bagian pertama abad ke-19 belum ada
standarisasi birokrasi, yang terdapat pada waktu itu ialah suatu piramida unit-unit teritorial
yang diperintah oleh penguasa lokal." Tugas-tugasnya belum diperinci dan diberi batasan
yang jelas, kesemuanya masih serba samar-samar dan umum. Hubungan hubungan antara
atasan dan bawahan lebih bersifat pribadi.

Politik Pemerintahan Tak Langsung dan Negara negara Pribumi

Dalam pembentukan Pax Neerlandica lewat proses pasifikasi selama abad ke-19
banyak kerajaan atau negara pribumi masuk di bawah kedaulatan pemerintah Hindia
Belanda. Dasar hukum dari hubungan antara kedua pihak itu ditentukan dalam perjanjian,
terkenal sebagai Pernyataan Panjang (Longe Verklaring) dan Pernyataan Pendek (Korte
Verklaring).

Perkembangan Pendidikan Menurut Sistem Barat di Jawa dan Madura

Kalau di Indonesia bagian timur dan di Betawi telah lama ada sekolah gubernemen
bagi pribumi, di Jawa dimulai dalam 1840 an. Menurut rencana di setiap keresidenan akan
didirikan sekolah pribumi bagi anak-anak pegawai serta orang-orang terkemuka.seperti
hukum, administrasi, hukum negara, dan sebagainya.

Dalam menyusun sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia pemerintah Kolonial tidak
hanya menghadapi masalah pengajaran Kolonial tidak hanya menghadapi masalah
pengajaran umum dan kejuruan, tetapi juga masalah pendidikan elitis dan kerakyatan.
Kecenderungan sejak semula jelas-jelas menunjukkan sifat elitisnya, sedang masalah
pendidikan kerakyatan, yaitu yang mencakup lapisan rakyat luas, tidak dapat dipecahkan.
Pengajaran tradisional di beberapa daerah terutama dilakukan di pesantren atau surau.

Komunikasi

Sejak zaman kuno lautan-lautan di Indonesia telah dijelajah oleh pelayaran baik
antarbenua maupun antarpulau yang ramai Oleh VOC dengan monopolisasinya perkapalan
pribumi mulai terbatas. Dengan kemerosotan VOC pada akhir abad ke 18 pelayaran mulai
terbuka lagi, maka merupakan kesempatan baik bagi pelayar pribumi, terutama bangsa
Bugis dan Makassar untuk mengembangkan pelayaran mereka lagi. Kemudian selama masa
sistem tanam paksa dijalankan monopoli dan konsinyasi sangat membatasi perhubungan
antara Jawa dan pulau-pulau lainnya sehingga pelayaran dan perdagangan banyak
mengalihkan kegiatannya pindah ke Singapura. Perdagangan pada masa itu masih sangat
dipengaruhi Inggris, maka dalam situasi ini Singapura yang dibuka oleh Raffles pada 1819
mulai menjadi pusat pelayaran. Meskipun daerah Riau pada 1828 oleh Belanda dinyatakan.

Jalan Kereta Api

Perkembangan jalan kereta api terjadi lebih lambat daripada jalan raya dan boleh
dikata baru mulai terasa kebutuhan akan jenis transpor itu dengan adanya pertumbuhan
perkebunan, terutama di lembah-lembah sungai yang subur di pedalaman Jawa. Jenjang
perkembangannya menunjukkan jelas-jelas bahwa kebutuhan transpor ke pelabuhan sangat
utama, maka perluasan jaringan jalan kereta api bertolak dari kota-kota pelabuhan, yaitu
Semarang, Batavia, dan Surabaya. Kalau pada tahap pertama itu bergerak dari utara ke
selatan, pada tahap kedua lebih mengarah membujur pulau menurut arah barat-timur atau
sebaliknya, yaitu berfungsi untuk saling menghubungkan jaringan-jaringan terbangun pada
tahap pertama.

Urbanisasi

Di antara pelbagai faktor yang menyebabkan perubahan sosial serta proses


modernisasi yang terjadi selama abad ke-19 perlu disebut mobilitas sosial pada umumnya,
urbanisasi pada khususnya. Kota-kota dalam abad ke-19 tidak hanya merupakan pusat
perdagangan, tetapi juga menjadi pusat pemerintahan serta kemudahan dan pelayanan.
Kekuatan-kekuatan sosial yang muncul di kota akan memegang peranan penting dalam
perkembangan sosial, politik, dan kultural dalam abad ke-20. Lagi pula dualisme ekonomi
memberi peranan kepada kota sangat penting, maka perkembangan sejarah dalam masa
tersebut akan lebih terarah kepada kekotaan.

BAB VIII PERLAWANAN TERHADAP PENETRASI KOLONIAL

Selama zaman VOC kepentingan perdagangan sangat utamakan sehingga


keterlibatannya dalam perang-perang intern atau konflik-konflik politik dapat dibatasi,
maka peranannya lebih bersifat reaktif dan oleh karenanya tidak terlalu agresif. Sejarah
abad ke-19 merupakan rentetan sejarah perang atau perlawanan dalam pelbagai bentuk,
kesemuanya menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia mampu mengadakan reaksi yang
dahsyat terhadap Belanda. Pada umumnya kedatangan orang asing lebih-lebih dengan
warna kulit lain dalam masyarakat tertutup atau setengah tertutup menimbulkan situasi
konflik. Situasi itu dapat mencetuskan permusuhan dengan bangsa pendatang itu atau
konfrontasi jasmaniah; lagi pula dalam masyarakat itu sendiri timbul sikap yang berbeda-
beda, ada yang menolak seluruhnya, ada pula yang menerima kedatangan bangsa asing itu.
Dengan demikian, kedatangan bangsa Belanda mengakibatkan perpecahan dalam
masyarakat. Maka muncullah di kalangan golongan pribumi pemuka-pemuka yang mampu
menggerakkan rakyat untuk melawan.

Pemberontakan Saparua

Pergolakan di Saparua selama bagian kedua tahun 1817 (Juli Desember)


dibangkitkan oleh restorasi pemerintahan kolonial Belanda dengan penyerahan kembali
daerah Maluku dari tangan Inggris. Perubahan penguasa dengan sendirinya membawa
perubahan kebijaksanaan dan peraturan. Pada zaman pemerintahan Inggris penyerahan-
wajib dan kerja-wajib (verplichte leverantien, herendiensten) dihapus, tetapi pemerintah
Belanda mengharuskannya lagi. Tambahan pula tarif berbagai barang yang disetor
diturunkan, sedang pembayarannya ditunda-tunda. Di samping itu pengeluaran uang kertas
sebagai pengganti uang logam menambah kegelisahan rakyat. Belanda juga mulai
menggerakkan tenaga dari Kepulauan Maluku untuk menjadi serdadu dalam tentara
kolonial. Hal-hal itu diutarakan sebagai keluhan-keluhan yang menyebabkan kegelisahan
dan akhirnya menimbulkan pemberontakan. Kedatangan kembali Belanda mengingatkan
rakyat kepada zaman Kumpeni sebelum masa pemerintahan Inggris yang dianggapnya
serba berat dan penuh penderitaan.

Ada pula sebab lain yang diduga menjadi faktor pencetus pergolakan tersebut di
atas. Peristiwa yang menyangkut Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Daniel Sorbach,
yaitu percekcokan yang terjadi setelah mereka minum-minum sehingga kedua orang
tersebut terdahulu, dikenakan hukuman pukulan rotan, membangkitkan rasa dendam
terhadap residen. Mereka bertekad melawan Residen van den Berg. Secara umum peradilan
yang dijalankan residen itu dimuat juga dalam surat keluhan Matulessy. Pada 14 Mei 1817
van den Berg pergi berkuda ke tempat Patih dari Haria di mana rakyat berkerumun dan
mengancam hidupnya.

Perang Padri (1819-1832)

Pada awal abad ke-19 gerakan kaum Wahabiah dengan puritanismenya melanda
Sumatra Barat. Gerakan ini bertujuan membersihkan kehidupan agama Islam dari
pengaruh-pengaruh kebudayaan setempat yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam
yang ortodoks. Diberantasnya perjudian, adu ayam, pesta-pesta dengan hiburan yang
dianggap merusak kehidupan beragama. Pos-pos yang didirikan Belanda menghadapi
ancaman terus menerus dari kaum Padri yang tidak henti-hentinya melakukan serangan-
serangan, seperti terhadap Sumawang, Sulit Air, Rau, Enam Kota, dan Tanjung Alam.
Untuk melemahkan basis Belanda kaum Padri melakukan juga serangan ke Tanah Datar
dan juga ke Natal. Ofensif Belanda secara besar-besaran pada awal 1820 terhadap
Pagarruyung dapat dipukul mundur, dan di Maraupalam satu kompi berhasil dihancurkan.
Perundingan di antara pemuka Bonjol dan pihak Belanda pada awal 1824 mempunyai
dampak politik pada para pemuka lainnya, ada yang terus berdamai, seperti Mansiangan,
pemuka Padri dari Enam Kota, Tuanku Raja Muning dari Pagarruyung, seorang pemuka
yang sebenarnya berhak atas kedudukan penghulu utama di Minangkabau.

Perang Diponegoro (1825-1839) Perang Diponegoro merupakan pergolakan


terbesar yang terakhir dihadapi pemerintah kolonial Belanda di Jawa. Sampai selesainya
perang tersebut diperkirakan yang gugur ada kurang lebih 200.000 orang, sedang yang
mengalami penderitaan berjumlah sepertiga dari penduduk Jawa pada waktu itu, kurang
lebih 2.000.000 orang. Kecenderungan untuk mengikuti Pangeran Diponegoro perlu dilacak
kembali pada kondisi hidup rakyat, lebih lebih dalam bidang sosial-ekonomis. Sistem pajak
tradisional telah menjadi beban berat secara turun-temurun, seperti:

1. Kerig aji (heerendiensten);

2. Wilah welit (pajak tanah);

3. Pengawang-awang (pajak halaman-pekarangan);

4. Pencumpling (pajak jumlah pintu);

5. Pajigar (pajak ternak);

6. Penyongket (pajak pindah nama); bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan).

Faktor ekonomi lain yang menimbulkan kegelisahan ialah keadaan yang menjadi
akibat peraturan van der Capellen, yaitu yang menetapkan bahwa semua penyewa tanah
oleh pengusaha Eropa dari penguasa dan bangsawan pribumi di Surakarta dan Yogyakarta
dibatalkan dengan mengembalikan uang sewa atau pembayaran lain yang telah dilakukan.
Banyak kaum ningrat yang terkena peraturan serta mengalami kesulitan besar. Sebab yang
meledakkan perang ialah provokasi yang dilakukan penguasa Belanda seperti
merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah Pangeran Diponegoro dan membongkar
makam keramat.

Perang Banjarmasin
Persoalan pergantian takhta di Kerajaan Banjarmasin mendorong Belanda untuk
mengadakan intervensi dan melepaskan politik tak-campur-tangan. Sejak
ditandatanganinya perjanjian pada 1826 hubungan pemerintah kolonial dengan Sultan
Adam baik, hanya setelah ditemukan batu bara di Martapura memburuk, karena Sultan
Adam tidak bersedia memberi izin untuk penggaliannya.

Pada 1852 putra mahkota meninggal dan di antara putra putra dan keturunan sultan
lainnya, Pangeran Tamjid Ulah sebagal putra tertua lahir dari ibu seorang Cina, diakui
Belanda sebagai penggantinya. Adiknya, Pangeran Hidayat, lahir dari ibu bangsawan
ternyata yang ditunjuk dalam surat wasiat Sultan Adam. Sepeninggalnya timbullah
pemberontakan yang mendukung Pangeran Prabu Anom, seorang saudara muda Tamjid
Ulah. Hidayat yang diangkat sebagai patih di belakang mendukung pemberontakan.

Perang Aceh (1873-1912) Meskipun pada awal abad ke-19 hegemoni Kerajaan
Aceh di Sumatra bagian utara sudah sangat menurun, kedaulatannya masih diakui penuh
oleh negara-negara Barat, bahkan berdasarkan Traktat London pada 1824 menjamin
kemerdekaan dan intergritasnya. Menurut traktat itu Belanda diberi wewenag menjaga
ketentraman di perairan dalam Singkungan Kerajaan Aceh.

Sementara itu pembajakan berlangsung terus dan peristiwa di Kualabatu pada 1832
waktu kapal dagang Amerika Serikat diserang, dan yang terjadi antara Padang dan Natal
pada 1836 sangat provokatif serta memberi peluang bagi Belanda untuk mempasifikasikan
daerah dengan menduduki Barus, Tapus, dan Singkel. Kemudian pada 1844 di Meurendu
lagi-lagi beberapa kapal Inggris dibajak.

Pada tahun itu juga (November 1873) dikirimlah ekspedisi kedua di bawah van
Swieten, dengan bala tentara sebesar 13.000 orang. Serbuan kali ini berhasil menduduki
masjid. Sebelum keraton diserbu pasukan Belanda, Sultan dan seluruh penghuninya telah
diungsikan, maka berhasil diduduki, tanpa ada perlawanan sama sekali. Sultan Aceh beserta
pengikutnya mengungsi ke pedalaman jauh dari pangkalan Belanda. Usaha pendekatan
untuk mengadakan perundingan tidak dihadapi oleh pihak Aceh. Belanda memakai strategi
menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi.
Waktu diadakan operasi di Pidie, di daerah pantai Timur muncul gerakan Teuku
Tapa, seorang dari Gayo yang bertindak sebagai orang keramat dan berhasil menarik
pengikut besar-besaran. Dicanangkan pula Perang Sabil. Pada Juli 1898 diadakan rapat para
pemimpin perang di mana Teuku Umar diserahi pimpinan umumnya. Operasi van Heutz
memaksa pihak Aceh lebih bersikap defensif dengan menghindari konfrontasi. Dalam
perang gerilya itu Teuku Umar gugur. Banyak hulubalang di daerah Pase mel (menyerah)
(1899). Barisan Aceh terdesak terus, Meureudo, Semalangan, Pensangan, Batu Merah, dan
akhirnya Batu-Illie jatuh ke tangan musuh.

Catatan tentang Perlawanan lain Sejak penerimaan kembali kekuasaan atas


Indonesia dari Inggris

berdasarkan Konvensi London (1814), Belanda terus-menerus mengangkat senjata


untuk memadamkan pusat pemberontakan melawan kekuasaannya, seperti pada peristiwa
Saparua, Batipu (1839), Merambung (1850); Taikong (1858-1859) mengadakan intervensi
karena ada perang intern seperti Minangkabau (1823 1835); Bali (1841) dan Lombok
(1894) membela kepentingan ekonomis, seperti Deli Serdang, Asahan (1862-1865)
terdorong oleh the scramble for colonies (perebutan jajahan) seperti yang dijalankan
negara-negara besar, maka politik hands-off ditinggalkan, seperti di Aceh, Siak (1858-
1861) Belanda mencampuri Perang Suksesi seperti Perang Diponegoro dan Perang
Banjarmasin. Tetapi daerah yang perlu dikuasai sangat luas, peristiwa-peristiwa itu terjadi
secara terisolasi satu sama lain sehingga Belanda tidak menghadapi serangan secara
serentak. Di mana taktik gerilya dapat dijalankan, perang dapat berjalan cukup lama. Lebih-
lebih manakala ideologi religious menguasai para pengikut gerakan, daya tahan dalam
keadaan perang lebih tinggi. Ada kalanya pula organisasi yang ketat mempertinggi
semangat berjuang, seperti pada Taikong di Kalimantan Barat (1858-1859), pada tarekat
(Banjarmasin), perlawanan Si Singamangaraja (tahun 1878-1907), dan dengan puputan di
Klungkung.

Antara perang sebagai perlawanan berskala besar dengan protes yang sangat terbatas
sifatnya, tidak terdapat perbedaan kualitatif. Sering terjadi bahwa pimpinan dalam gerakan
protes lebih menonjol sifat-sifat kepahlawanannya dari pimpinan perang yang sering
menunjukkan kesediaan berunding dan bersemangat lebih radikal-revolusioner. Tujuan
gerakan mesianistis revolusioner dalam arti bahwa masyarakat perlu dirombak sehingga
ada keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.

KEKURANGAN DAN KELEBIHAN BUKU

Buku ini sangat penting yang menjadi ciri dari histrografi indonesiasentris
dikembangkan oleh Sartono Kartrodirdjo dalam buku teks ini , dalam kalimat Sartono
Kartodirdjo “ kesadaran sejarahlah yang mammpu memacu motivasi generasi mudah untuk
berperan serta membangun bangsa berdasarkan idealism nasional” . buku ini sangat
bermanfaat bagi mahasiswa dijurusan sejarah melainkan juga untuk referensi tambahan
dalam proses pembelajaran.

You might also like