Professional Documents
Culture Documents
DI SUSUN OLEH :
UNIVRSITAS TADULAKO
2021
REVIEW BUKU SARTONO KARTODIRJO, SEJARAH INDONESIA BARU :
1500-1900 DARI EMPORIUM SAMPAI IMPRIUM
INDENTITAS BUKU
Judul Buku : Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 – 1900 Dari Emporium sampai
Imprium
ISBN : 978-602-158-198-7
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Sebelum tahun 1500 dalam hal pelayaran dan perdagangan di nusantara cukup
banyak hal-hal penting harus di kuasai, di antaranya:
Sejak zaman kuno Nusantara merupakan tempat persilangan jaringan lalu lintas
yang menghubungkan benua Timur dengan benua Barat. Dengan dikenalnya astrolabium
dan ilmu bintang serta sistem angin yang berlaku di lautan Indonesia dan lautan Cina pada
umumnya, dan lautan Nusantara khususnya, pelayaran samudra dapat di selanggarakan.
Dan hasil-hasil bumi atau barang- barang tertutama merupakan monopoli alamiah di
nusantara, menimbulkan perdagangan ramai ke dan dari Indonesia.
Sejak zaman kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dari negeri Cina
memerlukan pelabuhan tempat singgah, mengambil bekal, dan menumpuk barang. Selama
beberapa abad fungsi emporium telah dijalankan oleh Sriwijaya Pada akhir abad ke-13
fungsi itu sementara terpancar, antara lain ada yang terpusat di pidie dan Samudra Pasai.
Pada abad berikutnya muncullah pusat-pusat kekuasaan baru sepanjang pantai timur
Sumatra dan di seberang Selat Malaka. Pada awal abad ke-16, seperti Aceh, Lamuri, Arkat,
Rupat, Siak, Kampar Tongkal, Indragiri serta Klang, Bernas, dan Perak di pantai barat
Semenanjung Malaya. Dan pada akhir abad ke-14 Malaka telah berkembang sebagai pusat
perdangangan yang paling ramai tidak hanya di wilaya itu. Untuk menciptakan kondisi
yang baik bagi pedagang itu, maka Malaka perlu menjamin keamanan dan kestabilan.
Sistem Pelayaran
Perdagangan dari Malaka sebagai emporium besar di indonesia sejak awal abad ke-
12 sangat tergantung pada sistem angin yang berlaku di Asia Selatan, Tenggara, dan Timur.
Arah angin sangat menentukan jalur Navigasi tergantung pada siklus musim panas dan
dingin di daratan Asia, khususnya bagi Indonesia pada siklus di Australia. Pada periode
yang sama, dilingkungan kepulauan Nusantara berlaku musim hujan atau musim barat
sehingga tidak banyak pedangan dari Indonesia datang.
Ketergantungan pada sistem angin itu membuat waktu berlayar dan berlabuh di
Malaka berbeda-beda. Karena itu timbul kebutuhan untuk menyimpan barang dagang
selama periode antara kedatangan penjual dan pembeli. Dalam hal ini malaka dapat
menjalankan fungsinya emporium. Disitu bertemu jalur perdagangan dari Barat, Utara, dan
Timur baik perdagangan internasional maupun nasional.
Dalam sistem pelayaran dan perdagangan abad ke-15 lokasi malaka sangat
menguntungkan karena merupakan titik pertemuan antara sistem pelayaran dan
perdagangan di Samudra Indonesia dengan sistem di Nusantara. Didalam hubungan
perdagangan Malaka menjalankan peranan utama perdagangan tekstil dari Malaka dikuasai
oleh pedagang Malaka. Volume perdagangan setiap tahun di lakukan di Malaka tercermin
pada angka-angka.
Pusat-Pusat Perdagangan Daerah
Sebelum hasil daerah di angkut ke pusat perdagangan seperti Malaka, dari sana ke
Asia Barat atau ke Asia Timur, pada akhir abad ke-15 terdapat banyak kota pelabuhan di
Sumatra, Jawa, Maluku dan pulau-pulau lainnya yang berfungsi sebagai pusat perdagangan
daerah. Tujuan utama dari perdangan antara timur Timur dan Barat pada zaman Malaka dan
beberapa abad kemudian tidak lain ialah memperoleh rempah-rempah, maka dari itu
Maluku menjadi stasiun terakhir pelayaran internasional yang berpangkal di teluk parsi atau
laut Merah itu. Selama abad ke-15 dijawa, tuban memegang peranan emporium dari
perdagangan antara Barat dan jurusan Malaka dan Timur (jurusan Maluku). Dengan
munculnya penguasa-penguasa baru dalam abad ke-16 maka, Jepara, Cirebo, Sunda
Kelapa, dan Banten muncul sebagai kota pelabuhan.
Malaka
Pada akhir abad ke-15 Malaka mempunyai kedudukan sebagai pusat perdangan di
Asia pada umumnya, dan di Indonesia pada khususnya. Golongan pedangang dari
Nusantara dan cina tinggal di sebelah selatan Sungai Malaka, yaitu di daerah Hilir,
sedangkan pedangan yang berasal dari daerah Barat tinggal di sebelah utara sungai, yaitu
daerah upih. Setiap bangsa di beri lokasi tersendiri untuk membangun tempat kediaman,
yaitu disebut Fodchi oleh bangsa Portugis.
Kedudukan Pedagang
di keluarga sultan dan pegawai tinggi di Malaka terdapat pedagang cukup kaya
mampu melengkapi 3 atau 4 kapal dagang. Dan ada dua jenis pengusaha: pemilik modal
dan pedagang penjajah. Yang perma salah satunya usaha ialah menanam modal dalam
perdagangan, sedangkan bagi kedua perdagangan menjadi pekerjaannya. Dimalaka terdapat
perdagangan, baik asing maupun pribumi, yang mempunyai kekayaan besar, antara lain
orang Gujarat dan Jawa, Parsi, Arab, dan Banggala.
Struktur Kekuasaan
Dalam hierarki di kerajaan, langsung dibawah raja adalah Patih yang lazim di sebut
Paduka Raja di Malaka. Dia membawah semua penjabat tinggi kerajaan, dari bendahara,
bupati dan seterusnya. Kemudian menyusul bendahara yang memegang jabatan sebagai
pemimpin tertinggi di pengadilan Dan Tumenggung adalah kepala pemerintahan kota di
serahi urusan penjagaan para syahbandar di atas bertugas menerima kapten jung sesuai
dengan yurisdiksi masing-masing. Diantara penduduk Malaka terdapat sekelompok kecil
golongan bangsawan berasal dari Linggam, Brunei, Pahang dan Malaka sendiri mereka
sangat di hormati dan di takuti.
Perdagangan di Malaka
Ada duaa macam perdagangan yang dijalankan: (a) pedagang memasukkan modal
dalam baraang dagangan yang di angkut dengan kapal untuk di jual di luar Negara lain: (b)
pedagang menitipkan barang pada nahkoda atau meminjamkan uang kepada nahkoda yang
akan membagi keuntugannya dengan pedagang yang memmbri modal. Barang dari malaka
yang di angkut ke banggala atau koromandel dalam bentuk commenda membri keuntungan
80% sampai 100%.
Tuban
Negeri Tuban berbatasan dengan Rembang di sebelah barat dan sedatu di sebelah
timur. Kotanya di kelilingi pleh pagar dari papan, berjarak satu tembakan panah dari laut.
Tuban merupakan kubu yang sukar di taklukkan dan perjalanan dari tuban ked aha
memakan waktu dua hari, namun kondisi jalan-jalan cukup baik dilalui oleh kereta. Rute itu
melalui daerah-daerah yang sudah cukup banyak penduduknya. Wilaya kota di bagi dua,
masing-masing mempunyai penguasa, yang seorang daerahkiri sungai, sedangkan yang lain
daerah sebelah kanan. Pedagang yang paling rameh ialah kain tenun yang datangkan dari
segala penjuru.
Masa Transasi Proses Islamisasi
Kerajaan-kerajaan Islam.
Espansi Demak
Ekspansi Demak ke Jawa Barat dimulai dengan ekspedisi Syeh Nurullah atau
kemudian di kenal sebagai Sunan Gunung Jati, yang berhasil berturut-turut mendirikan
Kerajaan Cirebon dan Banten. Serangan terhadap Majapahit seperti yang di ceritakan dalam
historiografi tradisional belum dapat di pastikan historitasnya. Menurut tradisi Jawa barat
(sejarah Banten) kongfrotasi berlangsung beberapa tahun baru pada 1527 Majapahit dapat
di taklukkan dan menurut tradisi Raja Majapahit terakhir, Brawijaya menghilang.
Kerajaan Cirebon
Kerajaan Banten
Pada awal abad ke-16 di Jawa Barat terdapat pusat kekuasaan yang berkedudukan di
pakuan atau seperti diberitakan oleh Portugis, Dayo, sebagai ibu kota kerajaan pajajara.
Menurut historiografi Banten, Hasanudin di anggap sebagai pendiri kerajaan Banten. Dia
kawin dengan seorang putri Demak, ialah putri Sultan Trenggana, dari perkawinan ini
lahirlah dua orang putra, yang tertua Maulana Yusuf dan yang kedua pangeran Jepara.
Faktor yang mendorong proses islamisasi di Indonesia ialah lahiran sufisme atau
mistik yang melambangkan dalam terekat-terekat serta kesusastraan suluk dijawa.
Kemudian pada awal abad ke-17, Syamsudin dari pasai muncul sebagai ulama terkemuka
dan sangat berpengaruh, meskipun tidak mempunyai jabatan resmi di istana, umumnya
mengenalnya sabagai mistikus pula serta banyak membara.
Kedatangan Bangsa Portugis sabagai orang Peranggi tidak dapat di pandang terlepas
dari konteks perkembangan sistem dunia yang semakin meluas sebagai akibat ekspansi
Barat sejak akhir abad ke-15. Peta politik abad ke-16 menampilkan kerajaan-kerajaan Islam
muda dan hubungan-hubungan antara mereka yang sering kali merupakan aliansi dalam
menghadapi penetrasi portugis.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada Agustus 1511, Sultan Mahmud
mengungsi ke Pahang kemudian tinggal di Muar dan di Pulau Bintang. Selama portugis
menduduki Malaka, kedudukan ekonominya sangat strategis dan menjadi penghalang bagi
espansinya baik aceh maupun Johor.
Kekuasaan raja sering bersumber pada soal keturunan, maka silsilah raja berfungsi
sebagai dasar legimitasi otoritasnya. Raja-raja Mataram mengembalikan silsilahnya kepada
Majapahit terus jauh kemasa mistis bersambung dengan dunia mistis “zaman purwa” dari
epos Mahabarata dan Baratayuda kemudian berakhir pada para nabi.
Didalam sistem politik kebudayaan melayu-polinesia atau dari masa pra Hindu- Jawa
kekuasaan tertinggi sering bersifat dualistis, atau merupakan dwtunggal antara unsur
duniawi dan unsur rohani. Pada zaman Hindu-Jawaa, kultus derajawa, jawa menjadi salah
satu unsur dalam tritunggal dewa-paruhito-raja, disini dewa di wujudkan oleh lenggah.
Lambang-Lambang Kekuasaan
Setiap raja memiliki sejumlah benda-benda yang di anggap sakral atau keramat yang
melambangkan kebesaran dan kekuasaan raja. Raja adalah penjaganya dan harus seorang
keturunan dari pemiliknya pusat memberi kekuasaan kepada raja, seperti halnya Jambi. Di
kerajaan Jambi pusatkan berupa keris dan pucuk tombak, di Indrigari payung dan gendang
nobat, atau gendering tembaga, disanggu keris pedang gong, ddi kotaringin pedang kipas,
dua buah singgasana, dan tombak yang konon berasal dari Majapahit.
Raja yang berkedudukan sebagai penguasa tertinggi (wisesa) di bantu oleh seorang
(maha) mantra atau patih. Dengan berkembang sistem politik yang berjalan bersama-sama
dengan perluasan wilaya, struktur pemerintahan serta hierarkinya menjadi lebih kompleks
seperti halnya dengan struktur kerajaan Aceh yang tercantum dalam adam mahkota alam.
Atoni
Ternate-Tidore
Sultan di bantu oleh jogoyu (di ternate) atau joyu ( di tidore). Beberapa penjabat
tinggi atau orang beberapa pejabat tinggi atau orang besar lainnya yang membantu ialah
putusan utusab yang mewakili raja keluar.
Banjarmasin
Mataram-Surakarta-Yogyakarta
Raja di bantu oleh pati sebagai wadana (kepala) golongan kepatihan atau pegawai
pamong paraja, sedang untuk mengurus keagamamaan di bantu oleh penghulu gede atau
wadana kaum atau wadana mutihan atau golongan pengaulan. Golongan perajurut di
pimpin oleh seorang bupati, adakalanya oleh seorang pangeran.
Masa Transisi dan Integrasi
Setelah Sultan Hairun terbunuh didalam benteng portugis atas perintah Mesqquita,
Baabulah Daud Syah naik takhta sebagai sulatan IV. Selama pemerintahannya kerajaan
berekspetasi dan mencapai batas-batas di utara sampai Mindano, di selatan sampai Bima, di
timur sampai Barat, dan sebelah barat sampai Makassar.
Proses integrasi di Sulawesi Selatan yang berlangsung selama bagian kedua abad ke-16
melibatkan kerajaan-kerajaan di wilaya itu serta aliansi-aliansidi antaranya yang berubah-
ubah. Pada 1563 Goa melakukan ofensif lagi dengan bantuan dari Luwu, Wajo, dan
Sidenreng. Bone memaksa Goa untuk memperbeharui perjanjian Ceppa pada 1565 itu juga,
yang menetapkan perbatasan anatara kedua Negara itu serta beberapa daerah masuk wilaya
Bone, antara lainCenrana.
Di Demak dengan meninggalnya Sultan Trenggane pada 1545 pecalah perang perebutan
takhta kerajaan. dalam perang perebutan takhta di Demak, Sunan Prawata, Ratu
Kalinyamat, Jaka Tingkir, dan Ki Pajawi dari pati bersama menghadapi Arya panangsang
dari Japan. Karena proses proliferasi kekuasaan selalu terjadi apabila kekuasaan pusat
mengalami desintegrasi, maka Adiwijaya perlu Mengkonsolidasi kekuasaan panjang
sebagai pusat kekuasaan dengan mencari pengakuan penguasa-penguasa daerah, ialah para
Kiai ageng atau penembahan (gentry).
Pada 1595 perseorang Amsterdam untuk pertama kali mengirim angkatan kapal
dagang terdiri dari atas 4 kapal ke Indonesia di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada
14 Agustus 1597 tiba kembali di Tessel. Menyusul kemudian pada 1 Mei 1598 angkatan
kedua di bawah pimpinan Van Nede, Van Heemskerck, dan Van Warwijck. Pada tahun ini
juga perseroan-perseroan di bawah Amsterdam bergabung, disusul oleh fusi perseroan-
perseroan di Zaeland.
Tujuan VOC untuk menguasai perdagangan di Indonesia dengan sendirinya
membangkitkan perlawanan pedagangan pribumi yang yang merasa langsung terancam
kepentingannya. Dan sistem monopoli perdagangan bertentangan dengan sistem tradisional
yang berlaku, lagi pula tindakan-tindakan dengan paksaan dan kekerasan menambahkan
kuat sikap permusuhan tersebut. Meskipun banyak tantangan, Belanda berhasil mendirikan
pos dagang (factory) di Aceh (1601), petan (1601), Gresik (1602), dan Johor (1613).
Kontrak dengan monopoli pala di Banda Neira, Bandalontor, Rozemgain, dan Ali di
peroleh pada 1602. Politik monopoli Voc ternyata tidak menjamin adanya keuntungan yang
besar sebaliknya, kondisi perdagangan di Eropa pada perode awal VOC beroperasi terbukti
menunjukan pasaran rempah-rempah yang membanjir sehingga menjahtuhkan harha
penjual disana . pada pertengahan adab ke-17 politik VOC di Banda mengakibatkan
kemorosotan Produksi rempah-rempah hingga sangat menyusut volume perdagangan.
Pada sistem perdagangan terbuka pada abad ke-16, peran pedagan Indonesia dan
pedagang Asia bersifat komplementer , hal mana bertalian erat dengan saling tergantungan
antara pedagang dan rempah-rempah, bahan makanan, dan komoditi lainnya, seperi bahan
pakaian, pecah-belah, dan lain-lainya.
Dalam hakekatnya Aceh telah di sebut adanya perruntusan dari dan negri-negri Asia,
seperti Kamboja, Campa, Ciangmai, Lamer, Pashula dan China. Karena espansi aceh ke
Semenanjung melayu malaka maka pihaj siam sudah barang tentu langsung
berkepentingan, mengigat bahwa di masa sebelumnya telah ada pula gerakan espansi Siam
ke Selatan. Pada 1582 telah di kirim peruntusan dari Aceh ke Istambul (Turki) oleh sultan
Allaudin Rakyat Shah Tujuannya ialah mengadakan pertukaran perwakilan dan kerja sama.
Kalau pada satu pihak lokasi Makassar dengan pelabuhannya dengan pelabuhannya
yang baik sangat menarik sebagai stasiun dalam pelayaran anatara Maluku dan malaka pada
pihak lainnya mundur pelabuhan jawa mendorong perkembangannya yang pesat pada
bagian kedua abad ke-17 .
Antara kedudukan kerajaan kembar Goa dan tallo selaku pusat kekuasaan politik dan
peranan Makassar sebaagai pusat perdagangan ada saling ketergantungan: perdamaian dan
keamanan yang ada di Sulawesi Selatan yang dibawah hegemoni Goa Tallo memungkinkan
perkembangan perdagangan Makassar. Sejak 1600 perkembangan politik di Sulawesi
Selatan dengan perang antara kerajaan memperoleh dimensi berkoferentasi.
Setelah Bone untuk kesekian kalinya dapat ditundukkan lagi dari Sulawesi Selatan di
bawah hegemoni gao dapat di pasifikasikan, perhatian goa di arahkan kepada lawanan
utamanya ialah VOC. Ada beberapa faktor politik yang kurang menguntunglkan goa yaitu:
Angakatan perang Voc yang berangkat pada 24 November 1666 dari Batavia tiba
dipelabuhan Makassar pada 19 Desember berdasarkan intruksi Dewan VOC di Batavia
segera dikirimkan oleh speelman utusan menyampaikan surat kepada Karaeng Gowa berisi
tuntunan agara di berikan penggantian dan di penuhi tuntunan VOC secara memuaskan.
Kerajaan Jambi
Di wilayah Indonesia bagian barat proliferasi perdagangan selama abad ke-16
akhirnya menimbulkan kecenderungan ke arah konsentrasi dibeberapa pusat lagi, yaitu
aceh, johor, jambi, Palembang dan banten. Disamping itu malaka dengan strategi portugis
masih cukup menarik perdagangan dari wilayah Indonesia bagian timur, Kalimantan
selatan dan jawa. Jambi muncul sebagai pengekspor lain yang penting karena daerah
pedalamannya sampai minangkabau adalah penghasil lada besar. Secara politis pernah
masuk suasana pengaruh demak dan kemudian mataram, suatu status politik yang dapat
berfungsi sebagai perisai terhadap ekspansi banten yang telah sangat berpengaruh di
Palembang. Disebelah utara, jambi menghadapi bahaya ekspansi dari aceh. Setelah kedah,
perak, Pahang dan johor ditaklukannya, kemudian tiku dan priaman di pantai barat Sumatra
sudah ditundukan pula, maka ada ancaman langsung terhadap jambi. Baik pihak portugis
maupun VOC sama sekali tidak menghendaki jambi jatuh ke tangan aceh. Pada satu pihak
jambi adalah pelabuhan ekspor lada pada pihak lain menjadi pengimpor beras dan garam,
maka masih ada ketergantungan ekonomis kepada jawa (demak – mataram) masih kuat
selama bagian pertama ke-17.
Meskipun berkali-kali menghadapi serbuan Aceh dan Portugis, Johor tetap tegak
berdiri bahkan dalam abad ke 17 masih berusaha melakukan ekspansi. Dalam hal ini peran
orang kaya dan orang laut sangat besar, yang pertama karena kekayaannya serta
pengaruhnya dalam dunia perdagangan edang yang kedua karena memiliki seni perang di
Dalam periode bagian pertama abad ke-17 kedudukan ekonom navigas Jambi yang kuat
menempatkannya sebagai saingan utama joho Lagi pula status Jambi sebagai vasal
Mataram merupakan fakto penghalang ekspansi Johor.
Peranan Banten sebagai pusat perdagangan yang menonjol dapat dilacak kembali ke
jatuhnya Malaka (1511) ketika dalam mencari pusat baru pedagang mengalihkan
kegiatannya ke Aceh dan Banten. Kecuali itu ekspor ladanya cukup menjadi daya tarik
kuat, sampai-sampai Portugis sendiri juga mengadakan hubungan dagang dengan Banten.
Pada akhir abad ke-16 Banten menjadi salah satu tempat pelarian pedagang dari pesisir
Jawa Tengah dan Jawa Timur yang berusaha menghindari cengkeraman Mataram. Banten
akhirnya juga menghadapi ancaman ekspansi Mataram dan dua kali diserang (1597-1599).
Di front lain kedua kekuatan itu juga berkonfrontasi, ialah di Palembang yang menurut
tradis adalah vasal dari Mataram.
Selama bagian pertama abad ke-17 sepanjang pantai barat Sumatra sebagai
penghasil lada ada di bawah hegemoni Aceh. Meskipun ada tradisi lama di Sumatra Barat
bahwa para raja dan penguasa daerah mengakui suzereinitas Kerajaan Minangkabau.
Selama masa kerajaannya Aceh dapat mendesak pengaruh Johor, Jambi, Palembang,
Banten, dan Portugis. Jatuhnya Malaka di tangan Belanda (1641) menghadapkan Aceh
langsung "bertatap muka" dengan Johor dan Belanda, keduanya beraliansi untuk
menjatuhkan Aceh. Tidak mengherankan kalau beberapa tahun kemudian Belanda
berhubungan dengan Aceh, yaitu waktu Sultan Tadjul Alam memerintah. Para orang kaya
di Aceh yang sangat berkuasa itu mempertahankan monopoli.
Dalam sistem lalu lintas, perdagangan antara Malaka dan Maluku mempunyai
lokasi yang strategis, maka tak mengherankan kalau nama-nama Brunai, Lawe, Sambas,
dan Landak yang tercantum dalam Nagarakertanegara, suatu petunjuk bahwa tempat-
tempat itu masuk dilingkungan pengaruh Majapahit dan demikian masuk di jaringan
perdagangan Nusantara. Dalam abad ke-16 Lawe atau Sambas, terlepas dari hegemoni
ekonomi Jawa, tetapi dalam abad berikutnya Kalimantan Barat Daya ada di bawah
hegemoni Banjarmasin.
Pada tahun berikutnya (1591) berturut-turut Kediri dan Jipang diserang oleh
Mataram, Pasuruan menyusul, Tuban pada 1598-1599. Pemberontakan Pajang terjadi oleh
karena seorang vasal Tambakbaya terhadap Dipati Pajang) tidak mengindahkan perintah
raja, di sini khususnya menyerahkan kudanya, si Domba, kepada Sultan Agung
Kekuatan posisi Surabaya berdasarkan atas beberapa fakto Faktor utama ialah
kedudukannya sebagai pusat perdagangan serta segala kekayaan dan hubungan yang
dihasilkannya; faktor kedua kepentingan ekonomis bersama di antara kota-kota pelabuhan
Jawa Timur membentuk solidaritas yang terwujud sebagai allans pesisir. Faktor kedua itu
diperkuat oleh ideologi religius yang mempertajam perbedaan dengan Mataram. Faktor
ketiga ialah daerah pedalaman yang subur dan maju pertaniannya sehingga hasil berasnya
dapat menopang fungsi Surabaya sebagai entrepot. Dapat ditambahkan bahwa hubungan
perdagangan menciptakan ikatan politik dengan beberapa kerajaan di seberang, antara lain
Sukadana, Landak, Banjarmasin, Maluku, dan sebagainya.
Antara Mataram dan VOC timbul pendekatan, antara lain terbukti dari utusan-
utusan VOC yang sejak 1610 hampir setiap tahun pergi menghadap Raja Mataram. Seperti
di mana-mana, VOC hendak mendirikan factory sebagai basis untuk beroperasi, khususnya
di Jepara. Batavia, seperti pelabuhan sejenis membutuhkan persediaan beras. Satu faktor
yang pada suatu waktu pasti menimbulkan bentrokan yaitu tujuan VOC memegang
monopoli pada satu pihak dan politik ekspansi Mataram pada pihak lain. Penawanan orang
VOC (1616), penyerbuan loji Jepara dan pembunuhan Kumpeni (1618), kemudian serangan
balasan oleh VC (1618-1619), kesemuanya memperuncing konflik dan akselarasi terjadi
terus-menerus karena insiden-insiden sampai 1628, yaitu tahun ofensif Mataram terhadap
Batavia.
Perang ekspansi yang terus-menerus berkobar tidak hanya menguras sumber daya
alamiah dan manusiawi, tetapi juga menimbulkan ketegangan politik dalam kerajaan diserta
kekuatan-kekuatan desintegratif. Pemberontakan Pati pada 1627 perlu dilacak pada
golongan pesisir dan pedalaman (Mataram) dan antara Wangsa Demak dan Wangsa
Mataram. Meskipun pemimpin pemberontakan Pragola Il sendiri termasuk warga Wangsa
Mataram dan menurut tradisi babad dan sumber Barat ada motivasi pribadi di belakang
pemberontakan itu, faktor penyebabnya ialah ketidaktaatan penguasa pesisir, Kiai Demang
Laksamana dan seorang orang kaya terhadap pemerintah Pangeran Pragola II.
Perang ekspansi yang terus-menerus berkobar tidak hanya menguras sumber daya
alamiah dan manusiawi, tetapi juga menimbulkan ketegangan politik dalam kerajaan disen
kekuatan-kekuatan desintegratif. Lapisan masyarakat, golongan atau unsur etnis serta
kontra-elite yang tertekan dan menderita d bawah dominasi Dinasti Mataram menggunakan
kesempatan yang terluang untuk melancarkan gerakan memprotes, menentang ataupun
memberontak terhadap Mataram.
Karena ancaman VOC, hubungan antara Kerajaan Mataram dan Kerajaan Goa dan
Tallo berkembang sebagai suatu aliansi yang dikokohkan dalam suatu perjanjian pada
1633. Sebagai tanda hubungan erat itu ialah perkawinan antara Raja Goa dengan seorang
putri Raja Mataram. Selanjutnya, pedagang-pedagang Jawa memegang peranan penting
pula di Makassar.
Pakuwan sebagai tempat kedudukan Raja Pajajaran didirikan pada 1433. Kemudian
ditaklukkan oleh Sultan Hasanudin da Banten sebelum 1570. Dalam penyerangan Batavia
pada 1628 telah dikerahkan pula rakyat dari Sumedang Ukur dan Timbanganten untuk turut
berperang. Menurut tradisi, Dipati Ukur mengundurkan diri dan mengadakan pertahanan di
Lumbung (ada sementara yang menyebutkan pegunungan di selatan Banten). Ada pula
tradisi yang menuturkan bahwa ia kembali dari medan perang untuk melindungi istri-
istrinya yang akan ditawan oleh suatu pasukan.
BAB IV PERPECAHAN DAN CAMPUR TANGAN KUMPENI (1600-1700)
Pada peta pelayaran awal abad ke-16 tercantum nama salah satu kota pelabuhan di
pantai utara Jawa Barat: kelapa atau Sunda Kelapa. Jakarta pada masa kedatagan bangsa
Barat sudah kurang berarti sebagai pelabuhan, hanya tempat singgah untuk mengambil air
bersih dan bahan makanan segar. Pada pertengahan abad ke-17 telah berhasil memegang
monopoli rempah-rempah, dibagian barat Indonesia di perlukan suatu rendezvous ( tempat
pertemuan) dan factory pusat dimana kegiatan VOC dapat di atur dan di kelola.
Persaingan antara Belanda dan Inggris menambahkan proses politik, suatu faktor yang
menjadi keuntungan bagi kerajaan-kerajaan, karena pihak Inggris merupakanpotensi
berharga sebagai sekutu.
Pada akhir 1640-an mulai ada pendekatan antara Mataram dengan VOC. Dengan
pulihnya perdagangan dengan VOC di harapkan adanya keuntungan banyak dari Mataram
untuk memperlancar sistem monopoli dihapus kususnya dalam hal beras. Dalam hubungan
ini peranan VOC menjadi penting, tidak hanya sebagai pedagang tetapi kemudian juga
sebagai kreditor.
Sebagai daerah yang menjadi pangkal rute perdagangan rempah-rempah, lagi pula
yang memiliki monopoli alamiah pelbagai hasil rempah-rempah itu, maka seperti pada
bangsa Portugis, VOC segera berusaha meletakkan basisnya di wilaya itu dengan
mengadakan kontrak dengan penguasa setempat, mendirikan Factory dan loji atau benteng.
Pada 1607 VOC juga membuat perjanjian dengan Ternate dengan secara formal memegang
hegemoni di Seram Barat, termasuk Luhu, Kambelo, Lusidi, Hitu, dan Malaka Selatan pada
umumnya.
Situasi politik pada awal 1667 di Jawa di liputi oleh suasana perang penuh dengan
sikap bermusuhan. Dengan didudukinya pesisir Jawa Timur oleh Trunajaya, kekuasaan
Mataram hanya meliputi Jawa Tengah dan banyak daerah mencanegara terlepas dari
pengawasannya. Untuk melemahkan kedudukan Trunajaya, Speelman berusaha untuk
menanam pengaruh kumpeni di Madura. Karena serangan pasukan kumpeni di bawah
Speelman, basis-basis pesisir di Jawa Timur dan Madura jatuh ke tangab mereka dan
Trunajaya terpaksa mengundurkan diri ke Kediri.
Politik kolonial dengan sistem pemerintahan tak langsung itu memang sesuai
dengan kepentingan VOC. Meskipun dengan sistem penyerahan hasil tanaman yang di
kenal sebagai sistem priangan ( preanger stelsel ) mempunyai dampak yang besar pada
masyarakat priangan. Perubahan sistem tanam kopi dari sistem bebas ke sistem tanam
paksa pada 1723 membawa akibat bahwa beban orang pribuni menjadi lebih berat.
1. Kedudukan sultan jatuh dalam pengawasan para kepala mukim, khususnya dari
ketiga Sagi, ialah Mukmin IV, XXII, dan XXVI.
2. Pertentangan dan perebutan kekuasaan kalangan orang kaya menjadi kedudukan
Dengan kedatangan pedagang dan pelayaran Barat peraairan Indonesia bertambah
banyak kontak-konta dengan papua seperti tecantum dalam berita-berita yang
berasal dari pelayaran tersebut. Baik pelayar Portugis maupun spanyol
memberintakan bahwa mereaka telah sampai dipapua atau mendapatkan kontak
dengan raja Papua. Proses integrasi daerah Maluku dan Papua di do\rong oleh
komunikasi baik yang berjalan dengan kekerasan maupun bersifat damai. VOC
sudang merintis daerah itu dan politiknya terutama di tunjukan kepada Ternate dan
Tidore yaitu memakai kedua kerajaan tersebut mencakup daerah papua ke
lingkungan monopoliny.
Perdagangan
Dalam sistem feodal di jawa pada awal abad XI sudah barang tentu perdagangan
terutama terdiri atas transaksi dengan tukar menukar barang; seperti kopi dengan garam
atau candu, beras dengan kapas atau indigo, kerbau dengan barang-barang, dan jarang
sekali dengan uang. Lalu lintas barang menggunakan pengangkutan tadisonal, yaitu dengan
tenaga binatang seperti kerbau dan kuda. Jarak yang di tempuh pendek karena keadaan
jalan masih buruk dan perjalanan cukup lama. Pusat-pusat VOC menjadi tujuan aliran
pengangkutan dari pedalaman berupa hasil bumi dan perkebunan.
Meskipun sudah beberapa puluh tahun telah menjadi daerah di bawah kekuasaan
Kumpeni seperti Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Tuban,
Surabaya, Pasuruan, Madura, dan Banyuwangi, masyarakat di daerah-daerah ini
mempunyai struktur feodal yang kuat. Sebelum 1743 daerah-daerah itu ada dalam wilayah
kerajaan, pada waktu mana pengaruh kekuasaan raja yang despotis telah mengubah status
tanah di pedesaan.
Dengan demikian struktur feodal diperkuat, hal mana tampak pada gaya hidup para
bupati seperti tercermin dalam jumlah pengikutnya dan tanda-tanda kebesarannya, besarnya
rumah tangga, dan sebagainya. Kesemuanya itu berfungs untuk menambah kewibawaan di
mata rakyat yang bersikap serba patuh kepada perintahnya. Struktur feodal menjadi bagian
bangunan sistem kolonial. Pada masa itu VOC merupakan faktor yang menjamin produksi,
dan sesudahnya tetap menjadi faktor pendukung sistem pungutan terhadap rakyat.
Menjelang akhir dekade ke-3 pemikiran dalam bidang ekonomi politik sekitar Jawa
sebagai daerah jajahan semakin menjurus ke arah pihak konservatif dan menjauh dari
politik liberal. Ada beberapa sebab yang mendorong perkembangan itu. Seperti telah
diuraikan di atas sistem pajak tanah dan sistem perkebunan (landelijk stelsel selama tiga
puluh tahun banyak mengalami hambatan tidak lain karena sistem liberal ternyata tidak
sesuai dengan struktur sosial yang sangat feodal di Jawa, dengan segala ikatan-ikatan
tradisionalnya.
Menurut sistem tanam paksa pungutan dari rakyat tidak lagi berupa uang tetapi
berupa hasil tanaman yang dapat diekspor. Seperlima dari tanah garapan yang ditanami
padi dari rakyat desa wajib ditanami jenis tanaman itu dengan memakai tenaga yang tidak
melebihi tenaga untuk menggarap tanah itu bagi penanaman padi. Bagian tanah itu bebas
dari pajak tanah, sedangkan setiap surplus dari hasil penjualan yang melebihi jumlah yang
sebesar pajak tanahnya perlu diserahkan kepada desa.
Menurut rencana van den Bosch sistem tanam paksa terutama akan menggunakan
organisasi desa sebagai wahana untuk mengadakan produksi. Secara teoretis sistem tanam
paksa secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa
dengan melampaul peranan bupati sebagai perantara seperti hal yang berlaku pada masa
VOC.
Luar terlambat dan bersama dengan itu proses modernisasinya. Memang gejala-
gejala komersialisasi, diferensiasi, dan spesialisasi kurang tampak, kesemuanya tidak
mungkin diharapkan dari sistem produksi feodal dan mungkin diharapkan dari sistem
produksi feodal dan ekstratif sifatnya itu; sebagian besar surplus mengalir ke luar tanpa ada
investasi kembali di tempat penghasil sendiri. Kedua, sistem tanam paksa lebih
memperkuat perkembangan desa yang terarah ke dalam karena dengan demikian dapat
berfungsi sebagai alat produksi yang efektif. Ketiga, dalam situasi seperti itu peranan
kepala desa sebagai perantara dengan dunia luar sangat penting sebagai akibat dari
kenyataan bahwa mendapat dukungan dari penguasa di atasnya, baik Belanda maupun
pribumi.
Dalam lingkungan tradisional tenaga kerja rakyat pedesaan terserap dalam pelbagai
ikatan, baik dari desa maupun yang feodal. Penyelenggaraan sistem tanam paksa memang
didasarkan sepenuhnya pada kelembagaan itu. Permintaan akan tenaga kerja baru timbul
dengan adanya pendirian pabrik-pabrik tempat memproses hasil tanaman, terutama tebu.
Pada awalnya industri gula mengalami banyak kesulitan antara lain soal transportasi yang
terasa amat membebani rakyat bila diharuskan memikulnya. Kalau dengan tenaga gugur-
gunung jalan-jalan dibangun, penanaman tanam paksa sementara itu wajib diusahakan
rakyat, maka tidak mungkin lagi mereka dituntut menyelenggarakan pengangkutan dan
pekerjaan memroses di pabrik.
Dengan sistem tanam paksa pemerintah Hindia Belanda menguasai produksi untuk
ekspor serta memegang monopoli perkapalan dan perdagangannya; meskipun semula hanya
dimaksud sebagai usaha komplementer dengan usaha swasta yang dijalankan oleh
pengusaha perkebunan (planter). Kemunduran antara 1878 dan 1883 disebabkan oleh
perubahan harga bahan makanan di pasaran dunia, perubahan perbandingan harga produksi
primer dan produksi sekunder atau industri, harga gula dan kopi jatuh.
Perubahan Ekonomi Politik Belanda terhadap Masalah Tanah dan Tenaga (1850-
1900)
Apabila penyelenggaraan sistem tanam paksa dapat berjalan cukup lancar dan
memberi hasil baik, perubahan berdasarkan politik liberal yang berpegangan pada
kebebasan tenaga dan kultur, tidak mungkin dilaksanakan tanpa mendobrak kelembagaan
sosio-struktural yang menghadapkan proses liberalisasi kepada hambatan
struktural.Perkembangan daerah-daerah luar Jawa (Buitengewesten) Pergolakan di daerah
sering dipergunakan sebagai kesempatan bagi Belanda untuk mempasifkasikan dan
menanam kekuasaan serta mengatur pemerintahnya.Sementara itu telah datang pengusaha
perkebunan (planter) baru Moss dan Baker dari Swis dan von Mach dari Jerman. Kecuali
perkebunan tembakau, mereka juga membuka perkebunan tembakau, mereka juga
membuka perkebunan pala dan kelapa.
Sesuai dengan politik Raja Willem I yang bercap liberal pada 1825 diangkatlah du
Bus, seorang kapitalis Belgia terkemuka, sebagai pengganti van der Capellen. Konsepnya
tentang politik kolonial sejalan dengan konsep Willem 1, ialah kebebasan penanaman
bersama dengan peningkatan produksi untuk ekspor sebagai dasar guna memajukan
perdagangan dan pajak tanah. Menurut du Bus peningkatan produksi akan menambah
kemampuan pribumi untuk membeli, berbeda dengan Raffles yang beranggapan bahwa
perbaikan kesejahteraan rakyatlah yang dapat meningkatkan daya belinya.
Perkembangan Birokrasi
Pada zaman Kerajaan Mataram, para bupati adalah pemegang dan pelaksana
pemerintahan di daerah (ministerialis) yang mendapat otoritas dari kekuasaan pusat
kerajaan. Otoritas itu tidak didasarkan atas pewarisan melainkan atas posisi yang diduduki
dalam struktur kekuasaan dalam kerajaan. Pada bagian pertama abad ke-19 belum ada
standarisasi birokrasi, yang terdapat pada waktu itu ialah suatu piramida unit-unit teritorial
yang diperintah oleh penguasa lokal." Tugas-tugasnya belum diperinci dan diberi batasan
yang jelas, kesemuanya masih serba samar-samar dan umum. Hubungan hubungan antara
atasan dan bawahan lebih bersifat pribadi.
Dalam pembentukan Pax Neerlandica lewat proses pasifikasi selama abad ke-19
banyak kerajaan atau negara pribumi masuk di bawah kedaulatan pemerintah Hindia
Belanda. Dasar hukum dari hubungan antara kedua pihak itu ditentukan dalam perjanjian,
terkenal sebagai Pernyataan Panjang (Longe Verklaring) dan Pernyataan Pendek (Korte
Verklaring).
Kalau di Indonesia bagian timur dan di Betawi telah lama ada sekolah gubernemen
bagi pribumi, di Jawa dimulai dalam 1840 an. Menurut rencana di setiap keresidenan akan
didirikan sekolah pribumi bagi anak-anak pegawai serta orang-orang terkemuka.seperti
hukum, administrasi, hukum negara, dan sebagainya.
Dalam menyusun sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia pemerintah Kolonial tidak
hanya menghadapi masalah pengajaran Kolonial tidak hanya menghadapi masalah
pengajaran umum dan kejuruan, tetapi juga masalah pendidikan elitis dan kerakyatan.
Kecenderungan sejak semula jelas-jelas menunjukkan sifat elitisnya, sedang masalah
pendidikan kerakyatan, yaitu yang mencakup lapisan rakyat luas, tidak dapat dipecahkan.
Pengajaran tradisional di beberapa daerah terutama dilakukan di pesantren atau surau.
Komunikasi
Sejak zaman kuno lautan-lautan di Indonesia telah dijelajah oleh pelayaran baik
antarbenua maupun antarpulau yang ramai Oleh VOC dengan monopolisasinya perkapalan
pribumi mulai terbatas. Dengan kemerosotan VOC pada akhir abad ke 18 pelayaran mulai
terbuka lagi, maka merupakan kesempatan baik bagi pelayar pribumi, terutama bangsa
Bugis dan Makassar untuk mengembangkan pelayaran mereka lagi. Kemudian selama masa
sistem tanam paksa dijalankan monopoli dan konsinyasi sangat membatasi perhubungan
antara Jawa dan pulau-pulau lainnya sehingga pelayaran dan perdagangan banyak
mengalihkan kegiatannya pindah ke Singapura. Perdagangan pada masa itu masih sangat
dipengaruhi Inggris, maka dalam situasi ini Singapura yang dibuka oleh Raffles pada 1819
mulai menjadi pusat pelayaran. Meskipun daerah Riau pada 1828 oleh Belanda dinyatakan.
Perkembangan jalan kereta api terjadi lebih lambat daripada jalan raya dan boleh
dikata baru mulai terasa kebutuhan akan jenis transpor itu dengan adanya pertumbuhan
perkebunan, terutama di lembah-lembah sungai yang subur di pedalaman Jawa. Jenjang
perkembangannya menunjukkan jelas-jelas bahwa kebutuhan transpor ke pelabuhan sangat
utama, maka perluasan jaringan jalan kereta api bertolak dari kota-kota pelabuhan, yaitu
Semarang, Batavia, dan Surabaya. Kalau pada tahap pertama itu bergerak dari utara ke
selatan, pada tahap kedua lebih mengarah membujur pulau menurut arah barat-timur atau
sebaliknya, yaitu berfungsi untuk saling menghubungkan jaringan-jaringan terbangun pada
tahap pertama.
Urbanisasi
Pemberontakan Saparua
Ada pula sebab lain yang diduga menjadi faktor pencetus pergolakan tersebut di
atas. Peristiwa yang menyangkut Anthony Rhebok, Philip Latumahina, dan Daniel Sorbach,
yaitu percekcokan yang terjadi setelah mereka minum-minum sehingga kedua orang
tersebut terdahulu, dikenakan hukuman pukulan rotan, membangkitkan rasa dendam
terhadap residen. Mereka bertekad melawan Residen van den Berg. Secara umum peradilan
yang dijalankan residen itu dimuat juga dalam surat keluhan Matulessy. Pada 14 Mei 1817
van den Berg pergi berkuda ke tempat Patih dari Haria di mana rakyat berkerumun dan
mengancam hidupnya.
Pada awal abad ke-19 gerakan kaum Wahabiah dengan puritanismenya melanda
Sumatra Barat. Gerakan ini bertujuan membersihkan kehidupan agama Islam dari
pengaruh-pengaruh kebudayaan setempat yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam
yang ortodoks. Diberantasnya perjudian, adu ayam, pesta-pesta dengan hiburan yang
dianggap merusak kehidupan beragama. Pos-pos yang didirikan Belanda menghadapi
ancaman terus menerus dari kaum Padri yang tidak henti-hentinya melakukan serangan-
serangan, seperti terhadap Sumawang, Sulit Air, Rau, Enam Kota, dan Tanjung Alam.
Untuk melemahkan basis Belanda kaum Padri melakukan juga serangan ke Tanah Datar
dan juga ke Natal. Ofensif Belanda secara besar-besaran pada awal 1820 terhadap
Pagarruyung dapat dipukul mundur, dan di Maraupalam satu kompi berhasil dihancurkan.
Perundingan di antara pemuka Bonjol dan pihak Belanda pada awal 1824 mempunyai
dampak politik pada para pemuka lainnya, ada yang terus berdamai, seperti Mansiangan,
pemuka Padri dari Enam Kota, Tuanku Raja Muning dari Pagarruyung, seorang pemuka
yang sebenarnya berhak atas kedudukan penghulu utama di Minangkabau.
6. Penyongket (pajak pindah nama); bekti (pajak menyewa tanah atau menerima jabatan).
Faktor ekonomi lain yang menimbulkan kegelisahan ialah keadaan yang menjadi
akibat peraturan van der Capellen, yaitu yang menetapkan bahwa semua penyewa tanah
oleh pengusaha Eropa dari penguasa dan bangsawan pribumi di Surakarta dan Yogyakarta
dibatalkan dengan mengembalikan uang sewa atau pembayaran lain yang telah dilakukan.
Banyak kaum ningrat yang terkena peraturan serta mengalami kesulitan besar. Sebab yang
meledakkan perang ialah provokasi yang dilakukan penguasa Belanda seperti
merencanakan pembuatan jalan menerobos tanah Pangeran Diponegoro dan membongkar
makam keramat.
Perang Banjarmasin
Persoalan pergantian takhta di Kerajaan Banjarmasin mendorong Belanda untuk
mengadakan intervensi dan melepaskan politik tak-campur-tangan. Sejak
ditandatanganinya perjanjian pada 1826 hubungan pemerintah kolonial dengan Sultan
Adam baik, hanya setelah ditemukan batu bara di Martapura memburuk, karena Sultan
Adam tidak bersedia memberi izin untuk penggaliannya.
Pada 1852 putra mahkota meninggal dan di antara putra putra dan keturunan sultan
lainnya, Pangeran Tamjid Ulah sebagal putra tertua lahir dari ibu seorang Cina, diakui
Belanda sebagai penggantinya. Adiknya, Pangeran Hidayat, lahir dari ibu bangsawan
ternyata yang ditunjuk dalam surat wasiat Sultan Adam. Sepeninggalnya timbullah
pemberontakan yang mendukung Pangeran Prabu Anom, seorang saudara muda Tamjid
Ulah. Hidayat yang diangkat sebagai patih di belakang mendukung pemberontakan.
Perang Aceh (1873-1912) Meskipun pada awal abad ke-19 hegemoni Kerajaan
Aceh di Sumatra bagian utara sudah sangat menurun, kedaulatannya masih diakui penuh
oleh negara-negara Barat, bahkan berdasarkan Traktat London pada 1824 menjamin
kemerdekaan dan intergritasnya. Menurut traktat itu Belanda diberi wewenag menjaga
ketentraman di perairan dalam Singkungan Kerajaan Aceh.
Sementara itu pembajakan berlangsung terus dan peristiwa di Kualabatu pada 1832
waktu kapal dagang Amerika Serikat diserang, dan yang terjadi antara Padang dan Natal
pada 1836 sangat provokatif serta memberi peluang bagi Belanda untuk mempasifikasikan
daerah dengan menduduki Barus, Tapus, dan Singkel. Kemudian pada 1844 di Meurendu
lagi-lagi beberapa kapal Inggris dibajak.
Pada tahun itu juga (November 1873) dikirimlah ekspedisi kedua di bawah van
Swieten, dengan bala tentara sebesar 13.000 orang. Serbuan kali ini berhasil menduduki
masjid. Sebelum keraton diserbu pasukan Belanda, Sultan dan seluruh penghuninya telah
diungsikan, maka berhasil diduduki, tanpa ada perlawanan sama sekali. Sultan Aceh beserta
pengikutnya mengungsi ke pedalaman jauh dari pangkalan Belanda. Usaha pendekatan
untuk mengadakan perundingan tidak dihadapi oleh pihak Aceh. Belanda memakai strategi
menunggu dan menjalankan sistem pasifikasi.
Waktu diadakan operasi di Pidie, di daerah pantai Timur muncul gerakan Teuku
Tapa, seorang dari Gayo yang bertindak sebagai orang keramat dan berhasil menarik
pengikut besar-besaran. Dicanangkan pula Perang Sabil. Pada Juli 1898 diadakan rapat para
pemimpin perang di mana Teuku Umar diserahi pimpinan umumnya. Operasi van Heutz
memaksa pihak Aceh lebih bersikap defensif dengan menghindari konfrontasi. Dalam
perang gerilya itu Teuku Umar gugur. Banyak hulubalang di daerah Pase mel (menyerah)
(1899). Barisan Aceh terdesak terus, Meureudo, Semalangan, Pensangan, Batu Merah, dan
akhirnya Batu-Illie jatuh ke tangan musuh.
Antara perang sebagai perlawanan berskala besar dengan protes yang sangat terbatas
sifatnya, tidak terdapat perbedaan kualitatif. Sering terjadi bahwa pimpinan dalam gerakan
protes lebih menonjol sifat-sifat kepahlawanannya dari pimpinan perang yang sering
menunjukkan kesediaan berunding dan bersemangat lebih radikal-revolusioner. Tujuan
gerakan mesianistis revolusioner dalam arti bahwa masyarakat perlu dirombak sehingga
ada keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.
Buku ini sangat penting yang menjadi ciri dari histrografi indonesiasentris
dikembangkan oleh Sartono Kartrodirdjo dalam buku teks ini , dalam kalimat Sartono
Kartodirdjo “ kesadaran sejarahlah yang mammpu memacu motivasi generasi mudah untuk
berperan serta membangun bangsa berdasarkan idealism nasional” . buku ini sangat
bermanfaat bagi mahasiswa dijurusan sejarah melainkan juga untuk referensi tambahan
dalam proses pembelajaran.