You are on page 1of 40

LAPORAN PRAKTIKUM

MEKANIKA STRUKTUR

DEFLEKSI DENGAN METODE


LUAS MOMEN
Oleh
Nama : Amira Nur Fadiyah
NIM : 195100907111047
Kelompok : Y5
Tgl praktikum : Senin, 15 Maret 2021

Asisten:
1. Ririe Jasmine Fadilla
2. Beatrice Vitria Prihastini
3. Aprilia Damayanti

LABORATORIUM DAYA DAN MESIN PERTANIAN

JURUSAN KETEKNIKAN PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2021
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Defleksi adalah suatu perubahan bentuk yang terjadi pada benda dalam arah vertikal dan
horisontal yang diakibatkan oleh adanya pembebanan pada benda. Pembebanan pada
suatu benda yang ditumpu pada ujungnya menyebabkan sumbu benda mengalami lenturan.
Lenturan ini akan membentuk kurva yang disebut sebagai kurva defleksi. Suatu benda akan
mengalami pembebanan transversal baik itu beban terpusat maupun terbagi merata akan
mengalami defleksi. Deformasi yang terjadi, besarnya tergantung pada bentuk penampang
lintang batang dan sifat mekanis bahan. Defleksi merupakan salah satu kriteria dalam
mendisain suatu konstruksi.
Pada kehidupan sehari–hari kita sering berjumpa dengan defleksi, yaitu defleksi pada
baja, pada besi, kayu, dan benda lainnya. Oleh karena itu, kita seorang insinyur perlu
memperhatikan perhitungan defleksi yang akan terjadi pada suatu konstruksi pembangunan.
Apabila defleksi tidak diperhitungkan maka dapat mempengaruhi hasil dari pembangunan,
dan akan mengakibatkan konstruksi tidak bagus ataupun aman apabila terjadi sesuatu.
Seorang insinyur perlu mengetahui aktivitas apa saja yang dapat menimbulkan defleksi
untuk dapat mencari solusi pada saat konstruksi, karena keamanan suatu konstruksi
bergantung pada pemenuhan persyaratan batas nilai defleksi.

1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui defleksi yang dihasilkan dari suatu pembebanan dengan metode
luas momen
b. Untuk mengetahui teori dari pembebanan dengan menggunakan metode luas
momen
c. Untuk mengetahui dan menggambarkan free body diagram serta momen lentur
d. Untuk memahami pengaruh sudut terhadap defleksi yang dihasilkan
e. Untuk memahami pengaruh jarak tumpuan terhadap defleksi yang terjadi
BAB 2 DASAR TEORI

2.1 Apakah yang dimaksud dengan Pembebanan Sederhana?


Pembebanan sederhana adalah suatu sistem yang bisa juga disebut sebagai balok
sederhana. Balok sederhana adalah balok yang disangga bebas pada dua sisi sistem
dengan penyangga dan hanya dapat menahan gaya-gaya pada batang dan tidak dapat
menghasilkan momen. Prinsip utama dasar penggunann kerangka batang untuk struktur
beban yaitu pada penyusunan elemen menjadi konfigurasi segitiga yang menghasilkan
bentuk stabil (Mufid, 2015).
Untuk setiap balok sederhana akan mengalami dua pembebanan yaitu beban luar yang
bekerja pada masing-masing balok menerus dan momen redundan yang bekerja di ujung-
ujung balok sederhana. Sudut rotasi akan dihasilkan oleh semua beban pada setiap ujung-
ujung balok sederhana. Setiap tumpuan terdapat persamaan keserasian pada dua balok
yang bersebelahan wajib memliki sudut rotasi sama. Persamaan keserasian dapat
dipecahkan untuk mendapatkan semua momen lentur redundan (Jasron, 2015).

2.2 Jelaskan Pengertian Defleksi dan Macam-Macamnya!


Defleksi adalah perubahan bentuk yang terjadi pada benda dalam arah vertikal dan
horisontal yang diakibatkan oleh adanya pembebanan pada benda. Defleksi sebuah balok di
seberang titik pada sepanjang sumbu merupakan peralihan titik tersebut dari letak semula
yang diukur dalam arah y. Pergerakkan vertikal terjadi karena benda diberi beban yang
menakibatkan pemindahan dari posisi semula. Akibat perubahan posisi terbentuk sudut yang
disebut sebagai sudut defleksi (Mufid, 2015).
Defleksi terdiri dari defleksi lateral dan radial yang memiliki rumus teoritik masing-masing
secara tersendiri. Hal tersebut dikarenakan arah defleksi yang berbeda serta dasar turunan
persamaan yang berbeda. Defleksi radial adalah Sebagian fungsi dari modulus geser dan
defleksi lateral adalah sebagian fungsi dari modulus elastis. Untuk perhitungan defleksi
lateral dan radial secara terpisah merupakan persoalan yang tidak harus dilakukan apabila
hubungan defleksi lateral dan radial dapat ditentukan (Koten dan Hasan, 2014).

2.3 Jelaskan Pengertian Momen Lentur!


Momen lentur adalah peristiwa disaat sebuah benda yang diberi beban mengalami
perubahan atau deformasi sebagai perlawanan dari material yang membentuk benda
tersebut terhadap beban luar. Pada saat deformasi tegangan yang terjadi tidak boleh untuk
melebihi tegangan lentur ijin untuk bahan tersebut. Momen eksternal harus ditahan oleh
benda sampai batas maksimum yang dapat dicapai sebelum benda mengalami keruntuhan
atau kerusakan yang sama dengan momen penahan internal dari balok. Besar dari momen
lentur sama dengan resisting momen dengan arah yang berlawanan (Pane et al., 2015).
Lentur adalah proses pembentukan di mana gaya diterapkan pada elemen struktur,
menyebabkannya menekuk pada suatu sudut dan membentuk bentuk yang diinginkan.
Momen lentur mengacu pada reaksi yang terjadi dalam elemen struktur ketika gaya atau
momen eksternal diterapkan pada elemen yang menyebabkan elemen menjadi bengkok.
Elemen struktur yang paling umum atau paling sederhana yang mengalami momen lentur
adalah balok (Jiang et al., 2017).

2.4 Sebutkan dan Jelaskan Teori Pengukuran Defleksi Metode Luas Momen!
Dalam menyelesaikan atau menghitung suatu defleksi terdapat bebrapa cara seperti
metode luas momen (momen area method). Metode luas momen atau luas bidang momen
pantas digunakan untuk mengetahui defleksi dalam satu tempat. Dapat digunakan suatu
asumsi dalam menyelesaikan persoalan yaitu defleksi yang diakibatkan oleh gaya-gaya yang
terjadi tegak-lurus terhadap sumbu balok, dan irisan yang dibentuk bidang datar akan tetap
berupa bidang datar walaupun berubah (Mufid, 2015).
Penggunaan metode luas momen dalam pengukuran defleksi juga memiliki kelemahan
apabila digunakan pada konstruksi dengan pembebanan yang sangat kompleks. Namun,
metode luas momen lebih praktis dan mudah dikarenakan hitungan dilakukan tidak secara
matematis, sedangkan bersifat numeris. Terdapat pula metode lain yang dapat digunakan
untuk mengukur defleksi yaitu metode integrasi ganda. Metode integrasi ganda pantas
digunakan untuk mengetahui defleksi sepanjang bentang sekaligus (Koten dan Hasan,
2014).

2.5 Sebutkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lendutan (Defleksi)!


Faktor yang dapat mempengaruhi lendutan atau defleksi yaitu waktu, dimana semakin
bertambahnya waktu lendutan yang terjadi akan semakin besar. Faktor waktu disebabkan
oleh rangkak (creep), susut (shrinkage), dan regangan-regangan yang bergantung pada
waktu. Oleh karena itu, perencana harus mengevaluasi lendutan sesaat maupun lendutan
jangka panjang agar lendutan ini terjamin tidak akan melebihi suatu kriteria tertentu.
Regangan-regangan tersebut menyebabkan perubahan distribusi tegangan pada benda
sehingga kelengkungan pada elemen structural bertambah untuk suatu beban luar yang
tetap tetap (Wiyono dan Trisina, 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi defleksi terdiri dari kekuatan gaya yang diberikan, sifat
dari bahan yang digunakan, jenis beban, dan tumpuan. Kekuatan gaya yang diberikan
bergantung pada besar kecilnya force yang diberikan, dimana semakin besar gaya yang
diberikan maka defleksi yang terjadi juga semakin besar, dan sebaliknya. Sifat dari bahan
yang digunakan dapat menentukan apabila benda tersebut dapat menahan besar gaya yang
diberikan. Jenis beban yang diberikan dapat berupa beban terpusat atau merata (Mufid,
2015).

2.6 Apa yang dimaksud dengan Modulus Elastisitas dan Free Body Diagram?
Modulus elastisitas adalah suatu pengukuran yang menetukan kemamapuan benda
dalam menahan perubahan bentuk atau kelenturannya yang terjadi sampai batas elastisnya.
Apa beban yang diberikan cukup besar, maka tegangan yang terjadi juga semakin tinggi dan
terdapat perubahan bentuk yang semakin besar sampai batas elastis. Perhitungan dapat
dilakukan melalui pemberian beban sebagai tegangan yang diberikan kepada benda dan
mengamati penunjukan sebagai regangan (Siagian et al., 2017).
Elastisitas sendiri adalah sifat suatu benda untuk berubah dalam waktu tertentu (tidak
permanen). Dapat dikatakan sebagai sifat untuk melawan perubahan yang terjadi. Suatu
benda dapat dikatakan elastic sempurna apabila setelah gaya yang telah diberikan
dihilangkan benda akan Kembali ke bentuk semula. Modulus elastisitas dapat dijelaskan
melalui grafik yang menunjukkan tegangan dan regangan untuk suatu benda (Souisa, 2011).
Free body diagram (FBD) adalah diagram yang mempresentasikan suatu objek dan gaya
yang diberikan padanya oleh objek lain. FBD digunakan untuk memecahkan berbagai
masalah dalam bidang mekanik dan kesulitan penggunaan dalam instruksi fisika membuat
peneliti membuat rancangan pendekatan yang efektif untuk menggambar dan menggunakan
FBD. Prosedur dalam memecahkan suatu masalah fisika dengan FBD terdiri dari 3 langkah.
Langkah pertama yaitu mengkonstruksi free body diagram, langkah kedua yaitu menentukan
vector gaya resultan pada grafik, dan langkah ketiga yaitu menemukan besarannya (Aviani
et al., 2015).
BAB 3 METODE

3.1 Alat Bahan dan Fungsi


No. Alat dan Bahan Fungsinya
1. Beban 1 dan 2 Sebagai bahan perlakuan
2. Pembebanan Sederhana Sebagai bahan perlakuan (terdiri dari plat & statif)
3. Penggaris Untuk mengukur panjang dan lebar pada plat
4. Busur Untuk mengukur sudut
5. Jangka Sorong Untuk mengukur ketebalan plat
6. Statif Sebagai penyangga alat

7. Plat Untuk menopang beban


8. Tali Untuk mengikat beban
9. Timbangan Analitik Mengukur massa beban 1 dan massa beban 2

3.2 Cara Kerja dalir

Alat dan bahan


Disiapkan

Beban 1 dan 2
Ditimbang massa

Plat
Diukur dimensi

Diukur (panjang, lebar, dan tebal)

Panjang titik 1ൗ4 l ; 1ൗ2 l; 3ൗ4l


Beban 1

Diulangi
Pada perlakuan yang sama pada
beban 2
Catat Hasil

3.3 Gambar Alat dan Bahan


No. Nama Gambar

1 Jangka sorong
2 Statif

3 Plat

4 Tali

5 Timbangan analitik

6 Beban 1 dan 2

7 Pembebanan sederhana

8 Penggaris

9 Busur
BAB 4 PEMBAHASAN

4.1 Analisa Prosedur


Pada praktikum defleksi dengan metode luas momen menggunakan alat dan bahan yang
berupa jangka sorong, statif, busur, penggaris, beban 1 dan 2, pembebanan sederhana,
timbangan analitik, tali, dan plat. Untuk langkah-langkah prosedur praktikum yang pertama
yaitu menyiapkan alat dan bahan. Kemudian langkah kedua yaitu menimbang beban 1 dan 2
dengan timbangan analitik untuk mengetahui massanya. Langkah ketiga yaitu mengukur
dimesi plat yang terdiri dari panjang, lebar dan tebal menggunakan penggaris dan jangka
sorong. Panjang plat diukur pada kesuluruhan panjang dan pada titik-titik tertentu yaitu ¼L,
1/2L, dan 3/4L. Diukur pula ketinggian awal (y0) pada setiap titik. Selanjutnya beban 1
diletakkan pada plat pada titik-titik yang telah ditentukan dan diukur ketinggian plat pada
setiap titik. Diukur pula sudut yang terbentuk pada setiap titik. Langkah-langkah tersebut
diulang Kembali untuk beban 2. Catatlah hasil yang didapatkan.

4.2 Analisa Hasil


4.2.1 Data Hasil Praktikum + FBD, Diagram Momen Lentur, Grafik Defleksi

PERHITUNGAN DEFLEKSI DENGAN METODE LUAS MOMEN


Data dan pengamatan:
M1 : 0,216 kg
M2 : 0,269 kg
E : 70. 109 N/m2
L : 0,59 m
b : 0,035 m
g : 9,81 m/s2
h : 0,0007 m
I : 1/12 b h3 = 1,0004. 10-12

PRAKTIKUM
1. Untuk M1
P1 = m1 . g = 2,119 N
L1 (1/4) = 0,147 m, Sudut = 1,5o
L2 (1/2) = 0,297 m, Sudut = 2o
L3 (3/4) = 0,446 m, Sudut = 1o

y1 = 0,327 m YL1 = 0,319 m


y2 = 0,326 m YL2 = 0,315 m
y3 = 0,327 m YL3= 0,32 m

y0 = (y1 + y2 + y3) / 3
= 0,3267 m

yl1 = (y0 - YL1) = 0,0077 m


yl2 = (y0 - YL2) = 0,0117 m
yl3 = (y0 - YL3) = 0,0067 m

A. L1 : 0,147 m
m1 : 0,216 kg
P1 : 2,119 N

• ∑Mo =0
(P1 . L1) - (Rb . L) =0
Rb = (0,3144) / 0,59 = 0,5277 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 1,5913 N

B. L2 : 0,297 m
m1: 0,216 kg
P1: 2,119 N

• ∑Mo =0
(P1 . L2) - (Rb . L) =0
Rb = 0,629343 / 0,59 = 1,0667 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 1,0523 N

C. L3 : 0,446 m
m1 : 0,216 Kg
P1 : 2,119 N

• ∑Mo =0
(P1 . L3) - (Rb . L) =0
Rb = 0,945074 / 0,59 = 1,6018 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 0.5172 N

2. Untuk M2

P2 = m2 . g = 2,6389 N
L1 (1/4) = 0,147 m Sudut = 1,5o
L2 (1/2) = 0,297 m Sudut = 2o
L3 (3/4) = 0,446 m Sudut = 1o

y1 = 0,327 m YL1 = 0,319 m


y2 = 0,326 m YL2 = 0,315 m
y3 = 0,327 m YL3 = 0,32 m

y0 = (y1 + y2 + y3) / 3
=0,3267 m
yl1 = (y0 - YL1) = 0,0077 m
yl2 = (y0 - YL2) = 0,0117 m
yl3 = (y0 - YL3) = 0,0067 m

A. L1 : 0,147 m
m1 : 0,269 kg
P1 : 2,6389 N

• ∑Mo =0
(P1 . L1) - (Rb . L) =0
Rb = 0,6575 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 1,9814 N

B. L2 : 0,297 m
m1 : 0,269 kg
P1 : 2,6389 N

• ∑Mo =0
(P1 . L2) - (Rb . L) =0
Rb = 1,3284 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 1,3105 N

C. L3 : 0,446 m
m1 : 0,269 Kg
P1 : 2,6389 N

• ∑Mo =0
(P1 . L3) - (Rb . L) = 0
Rb = 1,9948 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 0,6441 N

ANALITIK
A. m1 : 0,216 Kg
P1 : 2,119 N

▪ L1 (1/4)
𝑃𝑎𝑏
M = 𝐿
= 2,119 . 0,1475. (0,59-0,1475) / (0,59)
= 0,2344 Nm
𝑃𝑎𝑏
A1 =
2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,147) (0,59-0,147) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 0,9874 N

𝐿+𝑎
X = 3
= (0,59 + 0,1475) / 3
= 0,2458 m

tB / A = A1 . X
= 0,9874 . 0,2458
= 0, 2427 Nm

𝑡𝐵+𝑎
θA= 𝐿
= 0,2427 / 0,59 = 0,4114 N
DD1 = a . θ A
= 0,1475 . 0,4114
= 0,0607

Menghuting δ max (δD)


X = a/3
= 0,1475 / 3
= 0, 0492 N

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 = 2𝐸𝐼𝐿
= 2,119 (0,1475)2 (0,59-0,1745) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)
= 0,2319 m2

tD / A = A2 . X
= 0,2319 . 0,0492
= 0,0114

δD = DD1 – tD / A
= 0,0607 – 0,0114
= 0,0493

▪ L2 (1/2)
𝑃𝑎𝑏
M = 𝐿
= 2,119 . 0,297. (0,59-0,297) / (0,59)
= 0,3125 Nm

𝑃𝑎𝑏
A1 = 2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,297) (0,59-0,297) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 1,3166 m2

𝐿
X =2
= 0,59 / 2
= 0,295 m

tB / A = A1 . X
= 1,3166 . 0,295
= 0,3884

𝑡𝐵/𝐴
θA= 𝐿
= 0,3884 / 0,59
= 0,6583 N

DD1 = a . θ A
= 0,297 . 0,6599 = 0,1955

Menghuting δ max (δD)


X = a/3
= 0,297 / 3
= 0,099 m

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 = 2𝐸𝐼𝐿
= 2,119 (0,297)2 (0,59-0,297) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)
= 0,6628 m2

tD / A = A2 . X
= 0,6628 . 0,099
= 0,0656

δD = DD1 – tD / A
= 0,1955 – 0,0656
= 0,1299 Pa

▪ L3 (3/4) = 0,446 m
𝑃𝑎𝑏
M = 𝐿
= 2,119 . 0,446. (0,59-0,446) / (0,59)
= 0,2307 Nm

𝑃𝑎𝑏
A1 =
2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,446) (0,59-0,446) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 0,9717 N

𝐿+𝑏
X = 3
= (0,59 + (0,59 - 0,446)) / 3
= 0,2447 m

tB/A = A1 . X
= 0,9717 . 0,2447
= 0,2377 Nm

𝑡𝐵/𝐴
θA = 𝐿
= 0,2377 / 0,59
= 0,403 N

DD1 = a . ѲA
= 0,446 . 0,5687
= 0,1797

Menghuting δ max (δD)


X = a/3
= 0,446 / 3
= 0,1487 N

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 = 2𝐸𝐼𝐿
= 2,119 (0,446)2 (0,59-0,446) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)
= 0,7345 m2

tD / A = A2 . X
= 0,7345 . 0,1487 = 0,1092

δD = DD1 - tD / A
= 0,1797 – 0,1092
= 0,0705 Pa

B. m1 : 0,269 Kg
P1 : 2,6389 N

▪ L1 (1/4)
𝑃𝑎𝑏
M = 𝐿
= 2,6389 . 0,147 (0,59-0,147) / (0,59)
= 0,2913

𝑃𝑎𝑏
A1 =
2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,147) (0,59-0,147) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 1,2270 m2
X = (L+a) / 3
= (0,59 + 0,147) / 3
= 0,2457

tB/A = A1 . X
= 1,227 . 0,2457

= 0,3014 Nm
𝑡𝐵/𝐴
θA= 𝐿
= 0,3014 / 0,59
= 0,5110 N

DD1 = a . ѲA
= 0,147 . 0,5110 = 0,0751

Menghuting δ max (δD)


X = a/3
= 0,147 / 3
= 0, 049 N

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 =
2𝐸𝐼𝐿
= 2,6389 (0,147)2 (0,59-0,147) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)
= 0,3057 m2

tD / A = A2 . X
= 0,3057 . 0,049
= 0,0149

δD = DD1 - tD / A
= 0,0751 – 0,0149
= 0,0602 Pa

▪ L2 (1/2)
𝑃𝑎𝑏
M = 𝐿
= 2,6389 . 0,297 (0,59-0,297) / (0,59)
= 0,3892

𝑃𝑎𝑏
A1 =
2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,297) (0,59-0,297) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 1,6396 m2

𝐿
X =2
= 0,59 / 2
= 0,295

tB/A = A1 . X
= 1,6396 . 0,295
= 0,4837 Nm

𝑡𝐵/𝐴
θA= 𝐿
= 0,4837 / 0,59 = 0,8198 N

DD1 = a . θ A
= 0,297 . 0,8198
= 0,2435
Menghuting δ max (δD)
X =a/3
= 0,297 / 3
= 0,099 N

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 = 2𝐸𝐼𝐿
= 2,6389 (0,297)2 (0,59-0,297) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)
= 0,8254 m2
tD / A = A2 . X
= 0,8254 . 0,099
= 0,0817

δD = DD1 - tD / A
= 0,2435 – 0,0817
= 0,1618

▪ L3 (3/4)
𝑃𝑎𝑏
M = 𝐿
= 2,6389 . 0,446 (0,59-0,446) / (0,59)
= 0,2873

𝑃𝑎𝑏
A1 = 2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,446) (0,59-0,446) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 1,2101 m2

𝐿+𝑏
X =
3
= (0,59 + (0,59 - 0,446) / 3
= 0,2447

tB / A = A1 . X
= 1,2101 . 0,2447
= 0,2961 Nm

𝑡𝐵/𝐴
θA= 𝐿
= 0,2961 / 0,59 = 0,5018 N

DD1 = a . ѲA
= 0,446 . 0,5018 = 0,2238

Menghuting δ max (δD)


X =a/3
= 0,446 / 3
= 0,1487 N

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 = 2𝐸𝐼𝐿
= 2,6389 (0,446)2 (0,59-0,446) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)
= 0,9148 m2

tD / A = A2 . X
= 0,9148 . 0,1487 = 0,1360

δD = DD1 - tD / A
= 0,2238 – 0,136
= 0,0878

Free Body Diagram

Gambar 4.1 Free Body Diagram


Sumber: Data Diolah, 2021
Penggunaan free body diagram yaitu untuk menunjukkan defleksi yang terjadi pada
pembebanan sederhana. Pada gambar 4.1 terdapat informasi yang berupa Ra, Rb, dan P
pada masing-masing beban untuk setiap perlakuan. Untuk beban 1 pada perlakuan ¼L
didapatkan Ra sebesar 1,5913 N dan Rb sebesar 0,5277 N. Pada perlakuan ½L didapatkan
Ra sebesar 1,0523 N dan Rb sebesar 1,0667 N. Pada perlakuan ¾L didapatkan Ra sebesar
0,5172 N dan Rb sebesar 1,6081 N. Pada beban 1 untuk semua perlakuan besar nilai P
sama yaitu 2,119 N. Untuk beban 2 pada perlakuan ¼L didapatkan Ra sebesar 1,9814 N
dan Rb sebesar 0,6575 N. Pada perlakuan ½L didapatkan Ra sebesar 1,3105 N dan Rb
sebesar 1,3284 N. Pada perlakuan ¾L didapatkan Ra sebesar 0,6441 N dan Rb sebesar
1,9948 N. Pada beban 2 untuk semua perlakuan besar nilai P sama yaitu 2,6389 N.
Diagram Momen Lentur

Gambar 4.2 Diagram Momen Lentur


Sumber: Data Diolah, 2021
pada diagram momen lentur menggambarkan beberapa data mengenai panjang dari
panjang beban 1 dan 2 saat sebelum dan sesudah perlakuan. Didapatkan gambar
momen lentur untuk setiap perlakuan pada masing-masing beban. Pada beban 1 sudut
yang didapatkan untuk perlakuan ¼L, ½L, dan ¾L secara urut yaitu 1,5°, 2°, 1° dan
untuk panjang ¼L sebelum perlakuan yaitu 0,147 m dan setelah yaitu 0,443 m. Untuk
panjang ½L sebelum perlakuan yaitu 0,297 m dan setelah yaitu 0,293 m. Untuk panjang
¾L sebelum perlakuan yaitu 0,446 m dan setelah yaitu 0,144 m. Pada beban 2 sudut
yang didapatkan untuk perlakuan ¼L, ½L, dan ¾L secara urut yaitu 1,5°, 2°, 1° dan
untuk panjang ¼L sebelum perlakuan yaitu 0,147 m dan setelah yaitu 0,443 m. Untuk
panjang ½L sebelum perlakuan yaitu 0,297 m dan setelah yaitu 0,293 m. Untuk panjang
¾L sebelum perlakuan yaitu 0,446 m dan setelah yaitu 0,144 m.

Grafik Defleksi

Gambar 4.3 Grafik Defleksi dengan Beban


Sumber: Data Diolah, 2021
Gambar 4.4 Grafik Defleksi dengan Jarak
Sumber: Data Diolah, 2021

Gambar 4.5 Grafik Defleksi dengan Sudut


Sumber: Data Diolah, 2021
Grafik defleksi menggambarkan tiga hubungan antara defleksi dengan beban, jarak,
dan sudut. Pada grafik yang menggambarkan hubungan antara defleksi dengan beban
didapatkan suatu hubungan yang berbanding lurus dimana semakin besar beban rata-
rata maka semakin besar juga nilai defleksi maksimum yang dihasilkan. Kemudian pada
grafik yang menggambarkan defleksi dengan jarak memiliki hubungan yang kurang lebih
dapat dikatakan berbanding lurus, karena semakin jauh jarak suatu beban dari
penyangga statif maka nilai defleksi yang dihasilkan juga semakin besar. Pada grafik
yang terakhir menggambarkan defleksi dengan sudut yang memiliki hubungan
berbanding lurus, dimana semakin besar sudut yang didapatkan maka semakin besar
juga nilai defleksi yang dihasilkan.

4.2.2 Isi Tabel di bawah ini dan Jelaskan!


Defleksi (y) Defleksi Maksimum (y)
Letak Letak
Beban 1 Beban 2 Beban 1 Beban 2

I1 0,0607 0,0751 I1 0,0493 0,0602

I2 0,1955 0,2435 I2 0,1299 0,1618

I3 0,1797 0,2238 I3 0,0705 0,0878

Pada tabel berikut tertera besar nilai defleksi yang didapatkan dari beban 1 dan 2
serta nilai defleksi maksimum yang didapatkan dari beban 1 dan 2. Untuk mendapatkan
nilai defleksi digunakan rumus DD1 = a . θA, dimana a adalah panjang beban dari ujung
statif dan θA adalah hasil perhitungan dari rumus sebelumnya. Nilai defleksi yang
didapatkan dari beban satu untuk l1, l2, dan l3 secara urut adalah 0,0607; 0,1955; dan
0,1797. Sedangkan untuk beban 2 diperoleh nilai defleksi untuk l1, l2, dan l3 secara urut
yaitu 0,0751; 0,2435; dan 0,2238.
Pada tabel defleksi maksimum didapatkan dengan menggunakan rumus δD =
DD1 – (tD / A), dimana DD1 adalah nilai defleksi dan tD / A adalah nilai dari perhitungan
sebelumnya. Nilai defleksi maksimum yang didapatkan dari beban 1 untuk l1, l2, dan l3
secara urut adalah 0,0493; 0,1299; dan 0,0705. Sedangkan untuk beban 2 diperoleh nilai
defleksi maksimum untuk l1, l2, dan l3 secara urut yaitu 0,0602; 0,1618; dan 0,0878.

4.2.3 Bandingkan antara Hasil Uji Praktikum dengan Hitungan Analitik!


Hasil uji praktikum kali ini merupakan data sekunder yang telah diberikan oleh
asisten praktikum dikarenakan kondisi yang tidak mendukung untuk praktikum secara
langsung. Terdapat beberapa data yang diperoleh dari hasil uji praktikum yang berupa
massa dari beban 1 dan 2 yaitu M1 = 0,216 kg dan M2 = 0,269 kg. Terdapat pula nilai E =
70.109 N/m2, panjang dari plat = 0,59 m, nilai b = 0,035, gravitasi = 9,81 m/s2, nilai h =
0,0007 m, dan I = 1,0004.10-12.
Dari data yang diperoleh didapatkan perhitungan untuk beban 1 dan 2. Pada
beban 1, nilai P1 = 2,119 N yang didapatkan menggunakan rumus P1 = m1 . g. Kemudian
panjang L1, L2, dan L3 yang didapatkan secara urut yaitu 0,147 m; 0,297 m; dan 0,446 m
dan untuk sudut setiap perlakuan yang didapatkan secara urut adalah 1,5°, 2°, dan 1°.
Kemudian didapatkan nilai untuk y1, y2, dan y3 secara urut yaitu 0,327 m, 0,326 m, dan
0,327 m dan didapatkan juga nilai untuk yL1, yL2, dan yL3 secara urut yaitu 0,319 m, 0,315
m, dan 0,32 m. setelah itu didapatkan nilai y0 dari perhitungan (y1 + y2 + y3) / 3 = 0,3267
m. Didapatkan nilai Ra dan Rb, dimana Rb didapatkan dari perhitungan (P1 . L1) - (Rb . L)
dan Ra didapatkan menggunakan rumus P – Rb. Pada perlakuan ¼L didapatkan Ra
sebesar 1,5913 N dan Rb sebesar 0,5277 N. Pada perlakuan ½L didapatkan Ra sebesar
1,0523 N dan Rb sebesar 1,0667 N. Pada perlakuan ¾L didapatkan Ra sebesar 0,5172
N dan Rb sebesar 1,6081 N. Pada beban 1 untuk semua perlakuan besar nilai P sama
yaitu 2,119 N. Untuk beban 2 pada perlakuan ¼L didapatkan Ra sebesar 1,9814 N dan
Rb sebesar 0,6575 N. Pada perlakuan ½L didapatkan Ra sebesar 1,3105 N dan Rb
sebesar 1,3284 N. Pada perlakuan ¾L didapatkan Ra sebesar 0,6441 N dan Rb sebesar
1,9948 N. Pada beban 2 untuk semua perlakuan besar nilai P sama yaitu 2,6389 N.
Didapatkan pula perhitungan analitik yang hasil akhirnya mendapatkan nilai
defleksi dan defleksi maksimum. Untuk perhitungan analitik digunakan untuk menghitung
beban 1 dan 2. Dipergunakan rumus yang sama untuk setiap perlakuan. Untuk beban 1
pada perlakuan L1 (¼) didapatkan nilai M sebesar 0,2344 Nm menggunakan rumus 𝑀 =
𝑃𝑎𝑏 𝑃𝑎𝑏
𝐿
. Kemudian didapatkan nilai A1 sebesar 0,9874 m2 menggunakan rumus 𝐴1 = 2𝐸𝐼
.
𝐿+𝑎
Selanjutnya didapatkan nilai X sebesar 0,2458 m menggunakan rumus X = 3
.
tB
Kemudian didapatkan nilai tB / A sebesar 0,2427 Nm dengan rumus A
= 𝐴1 . 𝑋.
𝑡𝐵+𝑎
selanjutnya didapatkan nilai θA sebesar 0,4114 N menggunakan rumus θA = 𝐿
.
Perhitungan yang telah dilakukan tersebut untuk mendapatkan hasil akhir yaitu nilai
defleksi sebesar 0,0607 yang didapatkan menggunakan rumus 𝐷𝐷1 = a . θA. Setelah
mendapatkan nilai defleksi kemudian dilakukan perhitungan untuk menemukan nilai
𝑎
defleksi maksimum. Didapatkan nilai X sebesar 0,0492 N dengan rumus X = 3.
𝑃𝑎 2 𝑏
Kemudian didapatkan nilai A2 sebesar 0,2319 m2 menggunakan rumus 𝐴2 = 2𝐸𝐼𝐿
.
tD
Selanjutnya didapatkan nilai tD / A sebesar 0,0114 dengan rumus = 𝐴2 . 𝑋. Akhirnya
A
didapatkan nilai defleksi maksimum sebesar 0,0493 Pa menggunakan rumus δD =
𝐷𝐷1 −𝑡𝐷
𝐴
.
Dilanjutkan dengan perlakuan L2 (½) didapatkan nilai M sebesar 0,3125 Nm, nilai
A1 sebesar 1,3166 m2, nilai X sebesar 0,295 m, nilai tB / A sebesar 0,3884 Nm, nilai θA
sebesar 0,6583 N, dan hasil akhir nilai defleksi sebesar 0,1955. Kemudian nilai defleksi
didapatkan dengan perhitungan untuk menemukan nilai defleksi maksimum. Didapatkan
nilai X sebesar 0,099 N, nilai A2 sebesar 0,6628 m2, nilai tD / A sebesar 0,0656, dan
akhirnya didapatkan nilai defleksi maksimum sebesar 0,1299 Pa. Terakhir dilanjutkan
dengan perlakuan L3 (¾) didapatkan nilai M sebesar 0,2307 Nm, nilai A1 sebesar 0,9717
m2, nilai X sebesar 0,2447 m, nilai tB / A sebesar 0,2377 Nm, nilai θA sebesar 0,403 N,
dan hasil akhir nilai defleksi sebesar 0,1797. Kemudian nilai defleksi didapatkan dengan
perhitungan untuk menemukan nilai defleksi maksimum. Didapatkan nilai X sebesar
0,1487 N, nilai A2 sebesar 0,7345 m2, nilai tD / A sebesar 0,1092, dan akhirnya
didapatkan nilai defleksi maksimum sebesar 0,0705 Pa.
Dilakukan pula perhitungan yang sama untuk beban 2 yang menghasilkan nilai
sebagai berikut. Untuk perlakuan L1 (¼) didapatkan nilai M sebesar 0,2913 Nm, nilai A1
sebesar 1,2270 m2, nilai X sebesar 0,2457 m, nilai tB / A sebesar 0,3014 Nm, nilai θA
sebesar 0,5110 N, dan hasil akhir nilai defleksi sebesar 0,0751. Kemudian nilai defleksi
didapatkan dengan perhitungan untuk menemukan nilai defleksi maksimum. Didapatkan
nilai X sebesar 0,049 N, nilai A2 sebesar 0,3057 m2, nilai tD / A sebesar 0,0149, dan
akhirnya didapatkan nilai defleksi maksimum sebesar 0,0602 Pa. Dilanjutkan dengan
perlakuan L2 (½) didapatkan nilai M sebesar 0,3892 Nm, nilai A1 sebesar 1,6396 m2, nilai
X sebesar 0,295 m, nilai tB / A sebesar 0,4837 Nm, nilai θA sebesar 0,8198 N, dan hasil
akhir nilai defleksi sebesar 0,2435. Kemudian nilai defleksi didapatkan dengan
perhitungan untuk menemukan nilai defleksi maksimum. Didapatkan nilai X sebesar
0,099 N, nilai A2 sebesar 0,8254 m2, nilai tD / A sebesar 0,0817, dan akhirnya didapatkan
nilai defleksi maksimum sebesar 0,1618 Pa. Terakhir dilanjutkan dengan perlakuan L3
(¾) didapatkan nilai M sebesar 0,2873 Nm, nilai A1 sebesar 1,2101 m2, nilai X sebesar
0,2447 m, nilai tB / A sebesar 0,2961 Nm, nilai θA sebesar 0,5018 N, dan hasil akhir nilai
defleksi sebesar 0,2238. Kemudian nilai defleksi didapatkan dengan perhitungan untuk
menemukan nilai defleksi maksimum. Didapatkan nilai X sebesar 0,1487 N, nilai A2
sebesar 0,9148 m2, nilai tD / A sebesar 0,1360, dan akhirnya didapatkan nilai defleksi
maksimum sebesar 0,0878 Pa.

4.2.4 Apa yang Menyebabkan Sudut Terbentuk pada saat Praktikum?


Di saat praktikum sudut terbentuk dikarenakan terjadinya defleksi akibat besar gaya
yang diberikan kepada beban. Sudut yang diukur dapat digunakan untuk menghitung
besarnya defleksi seperti yang dilakukan praktikum yang menghasilkan tiga sudut untuk
masing-masing beban. Terbentuknya sudut tersebut dipengaruhi oleh faktor berat beban,
jenis pembebanan, dan jenis plat. Berat jenis pembebanan menentukan sudut yang
dihasilkan, dimana semakin berat suatu pembebanan maka sudut yang dihasilkan juga
semakin besar.

4.2.5 Bagaimana Hubungan Sudut dengan Defleksi?


Hubungan antara sudut dengan defleksi terjadi dikarenakan apabila terjadi suatu
defleksi akan timbul suatu sudut, dimana mereka saling berkaitan. Hubungan antara
sudut dengan defleksi yaitu berbanding lurus, dimana semakin besar defleksi yang terjadi
maka nilai sudut yang dihasilkan juga semakin besar. Hal tersebut juga berhubungan
dengan besarnya gaya yang diterima oleh beban yang menghasilkan besar defleksi dan
sudut.

4.2.6 Sebutkan Aplikasi Defleksi dalam Bidang TEP!


Pada pengaplikasian defleksi di bidang keteknikan pertanian dapat digunakan dalam
menentukan kinerja suatu roda besi pada traktor. Defleksi dipergunakan dalam
menentukan kinerja roda besi bersirip gerak dengan mekanisme sirip berpegas. Dalam
meningkatan kemampuan traksi dan masalh mobilitas traktor di lahan sawah
diperlukannya suatu pengujian dengan beberapa parameter yang dapat di analisis untuk
dapat membuat traktor yang efisien. Dari pengujian tersebut dapat ditentukan bentuk,
ukuran, defleksi maksimum, pegas sirip dan parameter lainnya yang cocok untuk suatu
lahan sawah (Hermawan, 2010).
BAB 5 PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Dilaksanakannya praktikum defleksi dengan metode luas momen dengan tujuan untuk
mengetahui defleksi yang dihasilkan dari suatu pembebanan dengan metode luas momen,
mengetahui teori dari pembebanan dengan menggunakan metode luas momen, mengetahui
dan menggambarkan free body diagram serta momen lentur, memahami pengaruh sudut
terhadap defleksi yang dihasilkan, dan memahami pengaruh jarak tumpuan terhadap
defleksi yang terjadi. Dari praktikum ini dapat dipahami yaitu pengaruh dari besarnya suatu
gaya yang diberikan pada beban akan mengkibatkan hasil dari besarnya nilai defleksi dan
sudut. Didapatkan hasil perhitungan nilai defleksi dan nilai defleksi maksimum dari beban 1
dan 2. Pada beban 1 didapatkan nilai defleksi secara berurutan yaitu; 0,0607; 0,1955;
0,1797, dan didapatkan pula nilai defleksi maksimum secara berurutan yaitu; 0,0493; 0,1299;
0,0705. Pada beban 2 didapatkan nilai defleksi secara berurutan yaitu; 0,0751; 0,2435;
0,2238, dan didapatkan pula nilai defleksi maksimum secara berurutan yaitu; 0,0602; 0,1618;
0,0878. Terdapat pula hubungan antara besar nilai sudut dengan nilai defleksi dimana
semakin besar nilai defleksi yang didapatkan maka besar sudut yang dihasilkan juga
semakin besar, dan begitu pula sebaliknya.

5.2 Kritik dan Saran


Pada praktikum materi defleksi dengan metode luas momen terdapat beberapa hal yang
dapat diperbaiki seperti pada sistem laporan, alangkah lebih baik apabila format tiket masuk
berupa mengerjakan laporan bab 1 dan 2. Hal tersebut dikarenakan, apabila pembuatan
laporan dibuat langsung dari bab 1 akan mempersulit para praktikan. Kemudian untuk
pembuatan video praktikum sendiri, lebih baik apabila tidak ada suara lain yang dapat
mengganggu atau membuat para praktikan kebingungan.
DAFTAR PUSTAKA

Aviani, I., Erceg, N., dan Mešić, V. 2015. Drawing and using free body diagrams: Why it may
be better not to decompose forces. Physical Review Physics Education Research.
11(2): 1-14.
Hermawan, W. 2010. Kinerja Roda Besi Bersirip Gerak Dengan Mekanisme Sirip Berpegas.
Jurnal Keteknikan Pertanian. 24(1): 7-16.
Jiang, Z., Zhao, J., dan Xie, H. 2017. Microforming Technology. London: Academic Press.
Koten, V. K., dan Hasan, D. 2014. Penentuan Hubungan Antara Defleksi Lateral dan Radial
Poros Baja Pada Berbagai Jenis Tumpuan Secara Teoritik. Jurnal Ilmiah Teknik
Mesin Cylinder. 1(1): 57-63.
Mufid, I. 2015. Analisis Dinamik Sudut Defleksi Pada Model Vibrasi Dawai. [Skripsi]. Malang:
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Pane, F. P., Tanudjaja, H., dan Windah, R. S. 2015. Pengujian Kuat Tarik Lentur Beton
dengan Variasi Kuat Tekan Beton. Jurnal Sipil Statik. 3(5): 313-321.
Siagian, C., Dapas, S. O., dan Pandaleke, R. 2017. Pengujian Kuat Lentur Kayu Profil
Tersusun Bentuk Kotak. Jurnal Sipil Statik. 5(2): 95-102.
Souisa, M. 2011. Analisis Modulus Elastisitas Dan Angka Poisson Bahan Dengan Uji Tarik.
Jurnal Barekeng. 5(2): 9-14.
Wiyono, D. R., dan Trisina, W. 2013. Analisis Lendutan Seketika Dan Lendutan Jangka
Panjang Pada Struktur Balok. Jurnal Teknik Sipil. 9(1): 1-83.
LAMPIRAN
PERHITUNGAN DEFLEKSI DENGAN METODE LUAS MOMEN
Data dan pengamatan:
M1 : 0,216 kg
M2 : 0,269 kg
9
E : 70. 10 N/m2
L : 0,59 m
b : 0,035 m
g : 9,81 m/s2
h : 0,0007 m
I : 1/12 b h3 = 1,0004. 10-12

PRAKTIKUM
1. Untuk M1
P1 = m1 . g = 2,119 N
L1 (1/4) = 0,147 m, Sudut = 1,5o
L2 (1/2) = 0,297 m, Sudut = 2o
L3 (3/4) = 0,446 m, Sudut = 1o

y1 = 0,327 m YL1 = 0,319 m


y2 = 0,326 m YL2 = 0,315 m
y3 = 0,327 m YL3= 0,32 m

y0 = (y1 + y2 + y3) / 3
= 0,3267 m

yl1 = (y0 - YL1) = 0,0077 m


yl2 = (y0 - YL2) = 0,0117 m
yl3 = (y0 - YL3) = 0,0067 m

A. L1 : 0,147 m
m1 : 0,216 kg
P1 : 2,119 N

• ∑Mo =0
(P1 . L1) - (Rb . L) =0
Rb = (0,3144) / 0,59 = 0,5277 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 1,5913 N

B. L2 : 0,297 m
m1: 0,216 kg
P1: 2,119 N
• ∑Mo =0
(P1 . L2) - (Rb . L) =0
Rb = 0,629343 / 0,59 = 1,0667 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 1,0523 N

C. C. L3 : 0,446 m
m1 : 0,216 Kg

P1 : 2,119 N

• ∑Mo =0
(P1 . L3) - (Rb . L) =0
Rb = 0,945074 / 0,59 = 1,6018 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 0.5172 N

2. Untuk M2

P2 = m2 . g = 2,6389 N
L1 (1/4) = 0,147 m Sudut = 1,5o
L2 (1/2) = 0,297 m Sudut = 2o
L3 (3/4) = 0,446 m Sudut = 1o

y1 = 0,327 m YL1 = 0,319 m


y2 = 0,326 m YL2 = 0,315 m
y3 = 0,327 m YL3 = 0,32 m

y0 = (y1 + y2 + y3) / 3
=0,3267 m

yl1 = (y0 - YL1) = 0,0077 m


yl2 = (y0 - YL2) = 0,0117 m
yl3 = (y0 - YL3) = 0,0067 m

A. L1 : 0,147 m
m1 : 0,269 kg
P1 : 2,6389 N

• ∑Mo =0
(P1 . L1) - (Rb . L) =0
Rb = 0,6575 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 1,9814 N
B. L2 : 0,297 m
m1 : 0,269 kg
P1 : 2,6389 N

• ∑Mo =0
(P1 . L2) - (Rb . L) =0
Rb = 1,3284 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 1,3105 N

C. L3 : 0,446 m
m2 : 0,269 Kg
P2 : 2,6389 N

• ∑Mo =0
(P1 . L3) - (Rb . L) = 0
Rb = 1,9948 N

• ∑F =P
Ra + Rb =P
Ra = 0,6441 N

ANALITIK
A. m1 : 0,216 Kg
P1 : 2,119 N

▪ L1 (1/4)
𝑃𝑎𝑏
M = 𝐿
= 2,119 . 0,1475. (0,59-0,1475) / (0,59)
= 0,2344 Nm

𝑃𝑎𝑏
A1 = 2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,147) (0,59-0,147) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 0,9874 N

𝐿+𝑎
X = 3
= (0,59 + 0,1475) / 3
= 0,2458 m

tB / A = A1 . X
= 0,9874 . 0,2458
= 0, 2427 Nm

𝑡𝐵+𝑎
θA=
𝐿
= 0,2427 / 0,59 = 0,4114 N
DD1 = a . θ A
= 0,1475 . 0,4114
= 0,0607

Menghuting δ max (δD)

X = a/3
= 0,1475 / 3
= 0, 0492 N

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 =
2𝐸𝐼𝐿

= 2,119 (0,1475)2 (0,59-0,1745) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)


= 0,2319 m2

tD / A = A2 . X
= 0,2319 . 0,0492
= 0,0114

δD = DD1 – tD / A
= 0,0607 – 0,0114
= 0,0493

▪ L2 (1/2)
𝑃𝑎𝑏
M = 𝐿
= 2,119 . 0,297. (0,59-0,297) / (0,59)
= 0,3125 Nm

𝑃𝑎𝑏
A1 = 2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,297) (0,59-0,297) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 1,3166 m2

𝐿
X =2
= 0,59 / 2
= 0,295 m

tB / A = A1 . X
= 1,3166 . 0,295
= 0,3884

𝑡𝐵/𝐴
θA= 𝐿
= 0,3884 / 0,59
= 0,6583 N

DD1 = a . θ A
= 0,297 . 0,6599 = 0,1955
Menghuting δ max (δD)

X = a/3
= 0,297 / 3
= 0,099 m

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 = 2𝐸𝐼𝐿
= 2,119 (0,297)2 (0,59-0,297) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)
= 0,6628 m2

tD / A = A2 . X
= 0,6628 . 0,099
= 0,0656

δD = DD1 – tD / A
= 0,1955 – 0,0656
= 0,1299 Pa

▪ L3 (3/4) = 0,446 m
𝑃𝑎𝑏
M = 𝐿
= 2,119 . 0,446. (0,59-0,446) / (0,59)
= 0,2307 Nm

𝑃𝑎𝑏
A1 = 2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,446) (0,59-0,446) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 0,9717 N

𝐿+𝑏
X = 3
= (0,59 + (0,59 - 0,446)) / 3
= 0,2447 m

tB/A = A1 . X
= 0,9717 . 0,2447
= 0,2377 Nm

𝑡𝐵/𝐴
θA = 𝐿
= 0,2377 / 0,59
= 0,403 N

DD1 = a . ѲA
= 0,446 . 0,5687
= 0,1797
Menghuting δ max (δD)

X = a/3
= 0,446 / 3
= 0,1487 N

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 =
2𝐸𝐼𝐿

= 2,119 (0,446)2 (0,59-0,446) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)


= 0,7345 m2

tD / A = A2 . X

= 0,7345 . 0,1487 = 0,1092

δD = DD1 - tD / A

= 0,1797 – 0,1092
= 0,0705 Pa

B. m1 : 0,269 Kg

P1 : 2,6389 N

▪ L1 (1/4)
𝑃𝑎𝑏
M = 𝐿
= 2,6389 . 0,147 (0,59-0,147) / (0,59)
= 0,2913

𝑃𝑎𝑏
A1 =
2𝐸𝐼

= 2,6389 (0,147) (0,59-0,147) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )


= 1,2270 m2
X = (L+a) / 3
= (0,59 + 0,147) / 3
= 0,2457

tB/A = A1 . X
= 1,227 . 0,2457

= 0,3014 Nm
𝑡𝐵/𝐴
θA= 𝐿
= 0,3014 / 0,59
= 0,5110 N

DD1 = a . ѲA
= 0,147 . 0,5110 = 0,0751
Menghuting δ max (δD)
X = a/3
= 0,147 / 3
= 0, 049 N

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 = 2𝐸𝐼𝐿
= 2,6389 (0,147)2 (0,59-0,147) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)
= 0,3057 m2

tD / A = A2 . X
= 0,3057 . 0,049
= 0,0149

δD = DD1 - tD / A
= 0,0751 – 0,0149
= 0,0602 Pa

▪ L2 (1/2)
𝑃𝑎𝑏
M =
𝐿
= 2,6389 . 0,297 (0,59-0,297) / (0,59)
= 0,3892
𝑃𝑎𝑏
A1 = 2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,297) (0,59-0,297) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 1,6396 m2
𝐿
X =2
= 0,59 / 2
= 0,295

tB/A = A1 . X
= 1,6396 . 0,295
= 0,4837 Nm

𝑡𝐵/𝐴
θA= 𝐿
= 0,4837 / 0,59 = 0,8198 N

DD1 = a . θ A
= 0,297 . 0,8198
= 0,2435
Menghuting δ max (δD)
X =a/3
= 0,297 / 3
= 0,099 N

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 =
2𝐸𝐼𝐿
= 2,6389 (0,297)2 (0,59-0,297) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)
= 0,8254 m2

tD / A = A2 . X
= 0,8254 . 0,099
= 0,0817

δD = DD1 - tD / A
= 0,2435 – 0,0817
= 0,1618

▪ L3 (3/4)
𝑃𝑎𝑏
M =
𝐿
= 2,6389 . 0,446 (0,59-0,446) / (0,59)
= 0,2873

𝑃𝑎𝑏
A1 =
2𝐸𝐼
= 2,6389 (0,446) (0,59-0,446) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 )
= 1,2101 m2

𝐿+𝑏
X = 3
= (0,59 + (0,59 - 0,446) / 3
= 0,2447

tB / A = A1 . X
= 1,2101 . 0,2447
= 0,2961 Nm

𝑡𝐵/𝐴
θA= 𝐿
= 0,2961 / 0,59 = 0,5018 N

DD1 = a . ѲA
= 0,446 . 0,5018 = 0,2238
Menghuting δ max (δD)
X =a/3
= 0,446 / 3
= 0,1487 N

𝑃𝑎 2 𝑏
A2 =
2𝐸𝐼𝐿
= 2,6389 (0,446)2 (0,59-0,446) / (2. 7.1010 . 1,0004.10-12 . 0,59)
= 0,9148 m2

tD / A = A2 . X
= 0,9148 . 0,1487 = 0,1360

δD = DD1 - tD / A
= 0,2238 – 0,136
= 0,0878

You might also like