Professional Documents
Culture Documents
Selamat datang di ruang pembelajaran tutorial online Matakuliah Pengantar Pendidikan. Matakuliah
ini adalah salah satu matakuliah yang harus Anda ikuti agar Anda selaku guru dapat menjalankan
tugas dengan baik. Karena dengan mempelajari matakuliah ini, Anda akan dapat mengetahui
hakekat manusia yang harus menyelenggarakan pendidikan, cara mengintegrasikan landasan dan
asas-asas pendidikan, bagaimana kondisi pendidikan di Indonesia, bagaimana implikasi karakteristik
manusia Indonesia terhadap pendidikan, bagaimana sistem pendidikan nasional Indonesia, dan
inovasi pendidikan yang ada, serta bagaimana inovasi pendidikan di Indonesia dilaksanakan?
Untuk memahami matakuliah Pengantar Pendidikan ini, Anda terlebih dulu harus membaca inisiasi
yang telah disusun berikut ini. Inisiasi ini hanya pendalaman dari sebagian modul Pengantar
Pendidikan yang ada. Untuk lebih mendalami isi materi, Anda diharapkan mengerjakan tugas-tugas
yang telah tersedia dengan cara mendiskusikannya dengan teman Anda.
Selamat belajar.
Last modified: Tuesday, 3 March 2015, 11:18 AM
Inisiasi 1
MATERI INISIASI 1
Inisiasi 2
Inisiasi 3
Yang dimaksud dengan lingkungan pendidikan adalah, segala sesuatu yang ada di luar diri individu
yang mempengaruhi pribadinya. Pribadi individu berkembang melalui interaksi dengan
lingkungannya. Dengan kata lain melalui pengalaman hidup yang berlangsung dalam lingkungan
yang positif individu akan berkembang kepribadiannya. Sebab itu lingkungan tempat individu hidup
merupakan lingkungan pendidikan baginya.
Seperti kita ketahui bersama bahwa pendidikan dapat berlangsung secara informal (keluarga, formal
(sekolah), maupun nonformal (masyarakat.
Pendidikan informal (keluarga, biasanya berlangsung karena rasa tanggung jawab orang tua
terhadap anak. Orang yang berperan sebagai pendidik yang utama di dalam keluarga, adalah ayah
dan ibu (orang tua. Di samping itu anggota keluarga lain (kakak, paman, bibi, kakek, nenek, bahkan
pembantu rumah tangga pun) dapat mempengaruhi atau mendidik anak melalui interaksi atau
pergaulan dengan anak. Pengalaman yang diterima anak pada masa kecil akan menentukan sikap
hidupnya di masa mendatang. Dengan demikian keluarga merupakan peletak dasar pendidikan bagi
anak.
Secara tersirat tujuan pendidikan dalam keluarga pada umumnya adalah, agar anak menjadi pribadi
yang mantap, beragama, bermoral, dan menjadi anggota masyarakat yang baik. Sesuai dengan
sifatnya yang informal, keluarga tidak memiliki kurikulum formal atau kurikulum tertulis. Dari uraian
terdahulu, keluarga mempunyai fungsi dalam pendidikan sebagai berikut: a) sebagai peletak dasar
pendidikan anak, dan b) sebagai persiapan ke arah kehidupan anak dalam masyarakatnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan adanya karakteristik lingkungan pendidikan informal
sebagai berikut: (a) tujuan pendidikannya lebih menekankan pada pengembangan karakter; (b)
peserta didiknya bersifat heterogen; (c) isi pendidikannya tidak terprogram secara formal/tidak ada
kurikulum tertulis; (d) tidak berjenjang; (e) waktu pendidikan tidak terjadwal secara ketat, relatif
lama; (f) cara pelaksanaan pendidikan bersifat wajar; (g) evaluasi pendidikan tidak sistematis dan
insidental; (h) credentials tidak ada dan tidak penting.
Di samping mendapatkan pendidikan di rumah (secara informal), anak tentunya juga mendapatkan
pendidikan di sekolah (secara formal). Sekolah mempunyai tujuan yang jelas yang dituangkan dalam
bentuk kurikulum. Tetapi pada umumnya tujuan sekolah adalah memberikan bekal kemampuan
kepada peserta didik dalam mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat,
warga Negara, makhluk Tuhan, serta mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang
pendidikan berikutnya.
Selain itu sekolah mempunyai fungsi konservasi dan fungsi inovasi. Fungsi konservasi, berarti sekolah
berupaya untuk melestarikan nilai-nilai sosial-budaya yang ada di dalam masyarakat. Sedangkan
fungsi inovasi, berarti sekolah berupaya untuk melakukan pembaharuan di dalam masyarakat.
Secara khusus sekolah mempunyai karakteristik sebagai berikut: (a) secara faktual tujuan
pendidikannya lebih menekankan pada pengembangan intelektual; (b) peserta didiknya bersifat
homogen; (c) isi pendidikannya terprogram secara formal/kurikulumnya tertulis; (d) terstruktur,
berjenjang, dan berkesinambungan; (e) waktu pendidikan terjadwal secara ketat, dan relatif lama; (f)
cara pelaksanaan pendidikan bersifat formal dan artificial; (g) evaluasi pendidikan dilaksanakan
secara sistematis; (h) credentials ada dan penting.
Di lingkungan masyarakat, setiap orang akan memperoleh pengalaman tentang berbagai hal,
misalnya tentang lingkungan alam, tentang hubungan sosial, politik, kebudayaan, dan sebagainya. Di
lingkungan masyarakat ini juga setiap orang akan memperoleh pengaruh yang sifatnya mendidik dari
orang-orang yang berada di sekitarnya, baik dari teman sebaya maupun orang dewasa melalui
interaksi sosial secara langsung atau tatap muka maupun secara tidak langsung.
Masyarakat sebagai lingkungan pendidikan nonformal hendaknya dipahami sebagai lingkungan
pendidikan di luar keluarga dan di luar sekolah. Pendidikan dalam masyarakat (nonformal) dapat
diselenggarakan secara tidak terstruktur dan berjenjang, dapat pula diselenggarakan secara
terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal selain menjadi tanggung jawab pemerintah, juga
menjadi tanggung jawab bersama orang dewasa (masyarakat) yang ada di lingkungan masyarakat
yang bersangkutan. Pendidikan dalam lingkungan masyarakat dapat berfungsi sebagai pengganti,
pelengkap, penambah, dan mungkin juga pengembang pendidikan di lingkungan keluarga dan
sekolah.
Pendidikan nonformal mempunyai karakteristik sebagai berikut: (a) tujuan pendidikannya lebih
bersifat pengembangan keterampilan praktis; (b) peserta didiknya bersifat heterogen; (c) isi
pendidikannya ada yang terprogram secara tertulis , ada pula yang tidak terprogram secara tertulis;
(d) dapat terstruktur, berjenjang, dan berkesinambungan dan dapat pula tidak; (e) waktu pendidikan
terjadwal secara ketat atau tidak terjadwal, lama pendidikannya relative singkat; (f) cara
pelaksanaan pendidikan mungkin bersifat artificial mungkin pula bersifat wajar; (g) evaluasi
pendidikan mungkin dilaksanakan secara sistematis dapat pula tidak sistematis; (h) credentials
mungkin ada dan mungkin pula tidak ada.
Perkembangan keluarga, sekarang tidak dapat lagi memenuhi segala kebutuhan dan aspirasi
pendidikan bagi anak-anaknya, baik menyangkut pengetahuan, sikap, maupun keterampilan untuk
melaksanakan peranannya di dalam masyarakat. Dengan demikian sekolah dan masyarakat
berfungsi sebagai pelengkap pendidikan yang tidak dapat diberikan oleh keluarga. Tetapi tidak
berarti bahwa keluarga dapat melepaskan tanggung jawab pendidikan bagi anak-anaknya. Keluarga
diharapkan bekerja sama dan mendukung kegiatan pendidikan di sekolah dan di masyarakat.
Sekolah mendapat mandat, tugas dan tanggung jawab pendidikan dari orang tua dan masyarakat.
Oleh sebab itu pendidikan di sekolah tidak boleh berjalan sendiri tanpa memperhatikan aspirasi
keluarga dan masyarakat. Dalam melaksanakan pendidikannya sekolah perlu bekerja sama dengan
orang tua peserta didik dan masyarakat. Pada masa sekarang sekolah tidak mampu lagi memberikan
kebutuhan pendidikan bagi peserta didiknya secara menyeluruh, dan juga belum mampu
menampung seluruh anak usia sekolah. Untuk itu pendidikan perlu dilengkapi, ditambah, dan
dikembangkan melalui pendidikan di dalam lingkungan masyarakat.
Dari penjelasan di atas kita dapat melihat hubungan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pendidikan.
Materi inisiasi 1V ini , anda akan membantu sdr untuk memahami konsep tentang kebudayaan dan
pendidikan,karakteristik fisik, lingkungan fisik , dan kemajemukan social budaya Indonesia.
a.Konsep Kebudayaan
Kebudyaan adalah keseluruhan system gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.Contoh, tarian
Jaipongan merupakan wujud kebudayaan sebagai hasil karya, tarian dilakukan pada saat
upacara/hiburan di suatu masyarakat ( sebagai tindakannya), sedangkan tarian itu sendiri
diciptakan berdasarkan idenya .Sementara masyarakat yang menciptakan dan yang melakukannya
harus melalui belajar terlebih dulu
Adanya perbedaan kebudayaan pada dua atau lebih kelompok masyarakat akan menyebabkan
perbedaan kepribadian,karena dipengaruhi oleh pengalaman yang berbeda-beda oleh setiap
anggota kelompok masyarakat yang berbeda kebudayaannya itu melalui hubungannya dengan
kebudayaan mereka masing-masing.
1). Pendidikan merupakan salah satu pranata kebudayaan,karena pranata adalah suatu kelakuan
berpola dari manusia dalam kebudayaannya ( wujud system social).
b.pendidikan berfungsi untuk melestarikan kebudayaan masyarakat dan juga berfungsi dalam
rangka melakukan pengembangan dan atau perubahan kebudayaan masyarakat kearah yang
lebih baik
3). Pendidikan yang diterima anak selama masa anak-anak dan masa muda bersifat menstabilkan
kebudayaan, sedangkan untuk dewasa sering mendorong terjadinya perubahan baik bagi
dirinya maupun kebudayaan.
Bangsa Indonesia terdiri berbagai suku dan dari berbagai suku ini dapat digolongkan ke
dalam 3 ras,yaitu ras Negroid, ras Mongolid, dan ras Vedoid
Lingkungan fisik bangsa Indonesia terdiri atas pegunungan, hutan, perbukitan, sungai, pesisir
pantai, lautan, dataran, rawa-rawa.Ditinjau dari segi topografi lingkungan fisik ini ada yang
berupa lereng yang curam, landai, datar, lembah. Lingkungan fisik pemukiman secara khusus
juga beragam. Keragamannya yaitu antara lain ada yang bermungkim disepanjang jalan, di
tepian sungai, di puncak-puncak bukit, di atas rawa-rawa, lembah-lembah, tepian pantai.
Lingkungan fisik di Indonesia sangat bervariasi dan mengandung kekayaan luar biasa sebagai
sumber daya alam bagi pembangunan yang mendukung bagi pencapaian kemakmuran.
Deskripsi enam unsur kebudayaan universal beberapa suku bangsa yang terdapat di
beberapa daerah di Indonesia, diantaranya pola perkampungan/desa, system kemayarakatan,
system kekerabatan, mata pencaharian hidup, bahasa, kesenian, dan agama/religi.
Inisiasi 5
MATERI INISIASI V
Topik: Implikasi karakteristik manusia Indonesia terhadap pendidikan
Pada materi ini akan dibahas mengenai implikasi karakteristik manusia (masyarakat) Indonesia
terhadap dasar dan akar pendidikan, pengelolaan pendidikan, kurikulum pendidikan, wajib belajar,
gerakan orang tua asuh, dan implikasi karakteristik kebudayaan terhadap praktik pendidikan.
Inisiasi 6
Sistem pendidikan nasional diselenggarakan berdasarkan seperangkat landasan yuridis, antara lain
UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, dan sebagainya. Kegiatan pendidikan diselenggarakan di berbagai satuan pendidikan.
Satuan-satuan pendidikan tersebut terdapat pada tiga jalur pendidikan, yaitu pendidikan informal,
formal, dan nonformal. Dalam sistem pendidikan nasional, terdapat tiga jenjang pendidikan, yaitu
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Selain itu diselenggarakan pula
pendidikan anak usia dini. Adapun jenis pendidikannya terdiri dari pendidikan umum, pendidikan
kejuruan, pendidikan akademik, pendidikan profesi, pendidikan vokasi, pendidikan keagamaan, dan
pendidikan khusus. Selain itu terdapat pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan pendidikan. Pengelolaan pendidikan
anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Sedangkan pengelolaan
satuan pendidikan tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip ekonomi akuntabilitas, jaminan mutu,
dan evaluasi yang transparan. Kegiatan pendidikan dilaksanakan sepanjang hayat melalui
pembelajaran dan/atau cara lain yang dikenal dan diakui masyarakat.
Inisiasi 7
Yang dimaksud dengan inovasi adalah adanya pembaharuan atau perubahan yang ditandai dengan
adanya hal yang baru. Hal baru ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, antara lain upaya untuk
memecahkan masalah yang dihadapi seseorang atau kelompok. Inovasi sebagai suatu ide, gagasan,
praktik, atau objek/benda yang disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang
atau kelompok untuk diadopsi. Sebab itu inovasi pada dasarnya merupakan pemikiran cemerlang
yang bercirikan hal baru ataupun berupa praktik-praktik tertentu ataupun berupa produk dari hasil
olah-pikir dan olah-teknologi yang diterapkan melalui tahapan tertentu. Penerapan hal-hal baru
tersebut diyakini dan dimaksudkan untuk memecahkan persolan yang timbul dan memperbaiki
suatu keadaan tertentu atau proses tertentu yang terjadi di masyarakat.
Dalam bidang pendidikan banyak usaha yang dilakukan untuk kegiatan yang sifatnya pembaharuan
atau inovasi pendidikan. Usaha tersebut dilakukan untuk memecahkan persoalan-persoalan
pendidikan yang dihadapi, khususnya yang berkenaan dengan masalah pemerataan pendidikan,
peningkatan mutu, peningkatan efisiensi dan efektivitas pendidikan, serta relevansi pendidkan.
Hasil karya inovatif, diharapkan dapat memecahkan persoalan yang ada sekaligus sebagai upaya ke
arah perbaikan dan kemajuan di bidang pendidikan itu sendiri.
Ciri utama inovasi adalah memiliki kekhasan, ada unsur kebaruan, dilakukan melalui program yang
terencana, dan bertujuan untuk perbaikan.
Perubahan dalam inovasi dapat berupa penggantian (substitution), perubahan (alternation),
penambahan (addition), penyusunan kembali (restructuring), penghapusan (elimination), dan
penguatan (reinforcement).
Difusi inovasi dimaknakan sebagai penyebarluasan gagasan inovasi melalui suatu proses komunikasi
yang dilakukan dengan menggunakan saluran tertentu dalam suatu rentang waktu tertentu diantara
anggota sistem soial masyarakat.
Ada empat faktor yang mempengaruhi proses difusi inovasi, yaitu 1) esensi inovasi itu sendiri, 2)
saluran komunikasi, 3) waktu dan proses penerimaan, 4) sistem sosial.
Inisiasi 8
Tahapan proses keputusan inovasi, mencakup 1) tahap pengetahuan (knowledge), 2) tahap bujukan
(persuasion), 3) tahap pengambilan keputusan (decision making), 4) tahap implementasi
(implementation), dan 5) tahap konfirmasi (confirmation).
Terdapat 5 jenis kelompok dalam proses adopsi inovasi, yaitu kelompok pembaruan, adopter awal,
mayoritas awal, mayoritas akhir, dan adopter akhir.
Pemimpin yang berpengaruh (opinion leaders) dan agen perubahan merupakan komponen sistem
sosial yang berpengaruh terhadap adopsi inovasi.
Karakter inovasi yang mempercepat adopsi inovasi adalah: a) adanya keuntungan relatif, b) memiliki
kekompakan dan kecepatan, c) memiliki derajad kompleksitas, d) dapat dicobakan, dan e) dapat
diamati.
Tiga hambatan utama dalam adopisi inovasi adalah hambatan yang disebabkan oleh sikap mental,
hambatan budaya, dan hambatan sosial.
Difusi inovasi pendidikan cenderung mengembangkan dimensi demokratis pendidikan. Di samping
itu, inovasi mengarah pada peningkatan seluruh potensi manusia secara utuh dan menyeluruh, serta
menggunakan pendekatan yang lebih kooperatif.
Tahapan adopsi inovasi mencakup tahap design, awarness-interest, evaluation, dan trial.
Penyebarluasan inovasi menuntut adanya struktur sosial kemasyrakatan yang sudah ada dan
struktur sosial yang baru sebagai konsekuensi atau adanya inovasi.
Berikut adalah artikel yang dapat menambah wawasan Anda mengenai inovasi pendidikan, yang
diambil dari internet.
Mobilitas Horizontal bagi Guru Bermutu
Oleh: Suyanto
GURU memiliki peran yang amat penting bagi proses pendidikan. Demikian penting sampai John
Goodlad, Ketua Asosiasi Kepala Sekolah di Amerika Serikat suatu saat berujar, "Manakala guru sudah
masuk ke ruang kelas dan menutup pintu kelas itu, dialah yang akan menentukan apakah proses
belajar hari itu berjalan dengan baik atau tidak, dapat mencapai tujuan atau tidak."
Lebih-lebih di sekolah dasar, guru memiliki peran yang amat penting dalam proses pendidikan bagi
para siswa di usia yang amat menentukan bagi pendewasaan mereka.
Meski banyak pihak mengakui peran penting guru dalam proses pendidikan, guru kita hingga saat ini
belum sepenuhnya mendapatkan perhatian yang layak dilihat dari sisi kesejahteraan dan
peningkatan profesionalisme.
Banyak program pendidikan baru yang inovatif diberlakukan oleh pemerintah dalam waktu paling
tidak lima tahun terakhir ini, seperti broad based education, life skills, manajemen pendidikan
berbasis sekolah, contextual teaching-learning (CTL), evaluasi belajar model portofolio, dan yang
terakhir Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Semua itu kurang atau bahkan tidak
mengikutsertakan guru sebagai variabel penting dalam pelaksanaan program-program itu, padahal
semua program baru itu bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini.
Lantas, bagiamana peran guru kita dalam pembaharuan dan inovasi pendidikan itu? Inilah
persoalannya.
Dengan banyaknya program baru itu, semestinya para guru kita didorong untuk memiliki
profesionalisme yang lebih tinggi. Hal itu juga diikuti kesejahteraan yang lebih memadai. Kenyataan
tidaklah seperti itu. Banyaknya program baru itu justru menambah beban kerja guru.
Mengapa beban? Karena guru belum atau tidak mengerti secara sempurna terhadap berbagai
inovasi pendidikan itu. Akibatnya, mereka berada dalam ketidakmenentuan profesi ketika harus
melakukan program-program inovatif di tempat kerja masing-masing.
Penggagas pembaharuan pendidikan memiliki asumsi, guru dengan serta merta dapat melakukan
apa saja yang menjadi program pembaharuan yang dicanangkan pemerintah. Asumsi inilah yang
tidak benar. Sebab, kenyataannya guru harus mendapatkan retraining yang memadai dan tersistem
untuk dapat melakukan berbagai pembaharuan dalam bidang pendidikan.
Karena itu, ke depan pemerintah perlu melihat kemampuan riil yang dimiliki guru untuk melakukan
atau mengadopsi setiap inovasi di bidang pendidikan.
Profesionalisme
Saat ini kita hidup pada era knowledge based economy. Artinya sistem ekonomi secara global
berjalan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampaknya, negara yang
memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan yang kuat akan menguasai ekonomi.
Mengapa demikian? Karena dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebuah bangsa
akan memiliki daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain. Jika sebuah bangsa memiliki daya
saing yang tinggi, ia dapat dipastikan bisa menguasai dunia secara ekonomi. Negara-negara seperti
Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Korea, Singapura, dan Australia memiliki perekonomian yang jauh
lebih baik dibandingkan dengan perekonomian kita. Sebab, negara-negara tersebut menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Lalu apa implikasinya terhadap pendidikan, terutama guru, di negeri ini? Implikasinya, kita harus
melakukan profesionalisme pada pekerjaan guru. Dengan guru yang memiliki profesionalisme yang
tinggi, pendidikan akan bisa ditingkatkan kualitasnya. Kualitas pendidikan yang baik pada akhirnya
akan meningkatkan daya saing bangsa melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk bisa menjamin terjadinya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa ini mau tidak
mau ke depan harus meningkatkan profesionalisme guru. Jika ini harus dilakukan, kita harus
memperhatikan syarat-syarat terjadinya profesionalisme yang perlu dimiliki para guru kita. Antara
lain, menurut Houle, harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, berdasarkan atas kompetensi
in dividual (bukan atas dasar KKN), memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, dan ada kerja sama dan
kompetisi yang sehat antarsejawat. Selain itu, ada kesadaran profesional yang tinggi, memiliki
prinsip-prinsip etik (kode etik), memiliki sistem sanksi profesi, ada militansi individual, dan memiliki
organisasi profesi.
Dari syarat-syarat yang harus dimiliki guru agar mereka termasuk dalam kategori profesional
tersebut, tentu perlu ada sistem peningkatan pengetahuan bagi guru secara tersistem dan
berkelanjutan. Pendek kata, perlu ada in service training yang baik bagi para guru kita.
Di Singapura, para guru selalu mendapatkan pelatihan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan
baru yang diperlukan oleh guru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Setiap tahun mereka mendapatkan hak untuk memperoleh in service training selama 33 jam. Itulah
sebabnya guru di sana selalu bisa dipertahankan profesionalismenya. Dengan begitu, mutu
pendidikan di "negara kota" itu menduduki peringkat kedua setelah Korea Selatan di antara 12
negara di Asia.
Pengembangan profesionalisme guru-guru di Indonesia ternyata masih jauh ketinggalan dari yang
dilakukan di Singapura. Akibatnya, peringkat kualitas pendidikan kita berada pada urutan ke-12 dari
12 negara di Asia.
Desentralisasi
Pada era desentralisasi seperti saat ini, guru semestinya bisa lebih mendapatkan pemberdayaan baik
dalam arti profesi maupun kesejahteraan. Mengapa begitu? Karena saat ini pendidikan menjadi
urusan pemerintah daerah, sehingga berbagai persoalan yang terkait dengan profesionalisme dan
kesejahteraan guru tentu bisa langsung dipantau oleh pemerintah kabupaten/kota.
Dalam aspek profesionalisme, pemda bisa melakukan tukar-menukar guru dari satu daerah dengan
daerah lain agar terjadi transfer nilai-nilai positif yang diperoleh akibat perbedaan budaya sekolah.
Dengan adanya program tukar-menukar itu, wawasan dan pengetahuan guru tentang berbagai
kuriikulum muatan lokal akan semakin bertambah, sehingga akan memperkaya pengetahuan dan
pengalaman guru. Kalau hal ini dapat terjadi, proses profesionalisme akan bisa terdorong.
Meskipun demikian, kendala yang dihadapi guru selama lima tahun terakhir ini ialah tertutupnya
mobilitas mereka dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini terjadi karena dengan era desentralisasi,
guru tertutup untuk melakukan mobilitas horizontal akibat keterkaitan mereka dengan gaji yang
telah teranggarkan dalam dana anggaran umum (DAU) daerah masing-masing.
Kendala ini sebenarnya sekarang bisa diatasi manakala pemda mau menerapkan Pasal 41 Undang-
undang No 20/ 2003, yang mengatakan, "Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara
lintas daerah." Jika pemda berani menerapkan pasal ini, berarti pemda yang bersangkutan secara
non-monetary telah ikut serta memperhatikan kesejahteraan guru.
Guru yang baik perlu mendapat insentif untuk pindah ke daerah yang mereka kehendaki, sehingga
mereka perlu mendapatkan kesempatan untuk melakukan mobilitas secara horizontal.
Perpindahan guru dari satu daerah ke daerah yang lain juga akan mendorong perbaikan pendidikan
secara tidak langsung akibat dari interaksi antaretnis dalam proses pembelajaran di sekolah. Jika
guru selamanya tidak bisa melakukan mobilitas sosial, justru akan terjadi inbreeding secara etnis.
Selamanya anak-anak Jawa akan diajar oleh guru dari etnis Jawa, begitu pula etnis-etnis lain.
Keadaan ini tidak ikut mendorong terjadinya pendidikan multikultural yang baik. Tegaknya NKRI
memerlukan pemahaman terhadap entitas multikultural di negeri ini. Tukar-menukar dan
perpindahan guru lintas daerah akan mendorong terjadinya pendidikan multikultural secara tidak
langsung.
Dengan terjadinya mobilitas horizontal para guru secara nasional, para siswa akan cepat belajar
memahami budaya etnis lain langsung dari para guru mereka. Ini semua bisa terjadi jika para bupati
dan wali kota berani menerapkan Pasal 41 UU No 20/2003. Semoga begitu.(29)
-Prof Suyanto PhD, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY); alumnus Boston dan Michigan State
University, Amerika Serikat
SUMBER RUJUKAN:
Modul Pengantar Pendidikan (MKDK 4001), karangan Dinn Wahyudin, dkk. Diterbitkan oleh Penerbit
Universitas Terbuka.
Artikel “Mobilitas Horizontal bagi Guru Bermutu” ditulis oleh Prof. Suyanto PhD (UNY), dari internet.