You are on page 1of 36

FORMULASI ORAL BERBASIS

LIPID

Apt. Rani Prabandari, M.Farm.


Prodi Farmasi Program Sarjana
Fakultas Kesehatan Universitas Harapan Bangsa
Introduction
• Oral lipid-based formulation range from simple oil
solutions to complex mixtures of oils, surfactants, co-
surfactants and co-solvents.
• Formulators need to have a good understanding of
gastrointestinal digestion and are increasingly making
use of relevant in vitro tests which can predict the fate
of the formulation after oral administration
• Solid or waxy formulations have the advantage that they
may reduce the incidence of leakage in soft or hard-
gelatin capsule products.
• The Lipid Formulation Classification System (LFCS)
identifies the factors which are likely to affect
performance in vivo
The lipid formulation classification
system

• The lipid formulation classification system (LFCS)


was introduced as a working model in 2000 and
an extra ‘type’ of formulation was added in
2006.
• The main purpose of the LFCS is to enable in
vivo studies to be interpreted more readily, and
subsequently to facilitate the identification of
the most appropriate formulations for specific
drugs, i.e. with reference to their
physicochemical properties
The lipid formulation
classification system

7/21/2020
• SEDDS: Self-emulsifying drug delivery systems 4
• SMEDDS: Self-microemulsifying drug delivery systems
• The particle sizes of dispersions formed by SMEDDS are
lower
than those formed by SEDDS.
• The performance of lipid-based formulations is
governed by their fate in the GIT rather than the
particle size of the initial dispersion
Excipients for lipid formulations
• Factors affecting the choice of excipients for lipid-based
formulations:
• Regulatory issues – irritancy, toxicity, knowledge and experience
• Solvent capacity
• Miscibility
• Morphology at room temperature (i.e. melting point)
• Self-dispersibility and role in promoting self-dispersion of the
formulation
• Digestibility, and fate of digested products
• Capsule compatibility
• Purity, chemical stability
• Cost of goods
• Toxicity is an independent issue, and is important
regarding the choice of surfactants.
• All surfactants are potentially irritant or poorly
tolerated to biological systems.
• Non-ionic surfactants are generally considered to
be acceptable for oral ingestion, and the
emergence of several successful marketed
products has given the industry confidence in lipid-
based products.
• Trace contaminants are an issue with lipid
excipients and surfactants, particularly in relation
to the chemical stability of the dissolved drug
1. Kategori lipid dalam sediaan farmasi
 Kategori utama dari material yang termasuk
lipid untuk aplikasi farmasetik adalah asam-asam
rantai lemak, lemak, garam, alcohol atau amin,
minyak dan malam (wax)
Asam lemak dan turunannya
 Asam lemak, garam, alcohol dan amin sudah
digunakan dalam formulasi farmasetik. Asam lemak
terdapat dalam kosmetik, salap, dan supositoria serta
digunakan pula pada aplikasi penyalutan tablet dan
sebagai pembawa pada produk inhalan. Asam lemak
jenuh merupakan material padat jika panjang rantai
karbon di atas delapan, sedangkan bentuk rantai lebih
panjang tidak jenuh kemungkinan berada dalam
bentuk cair, kecuali bila ikatan rangkap berkonyugasi.
Garam asam lemak digunakan secara luas pada
aplikasi tablet dan di antanya termasuk magnesium,
kalsium, dan aluminium stearat
 Alkohol lemak, termasuk setil dan palmitil alcohol,
digunakan secara luas dalam sediaan salep untuk
krim sebagai emolien atau pemodifikasi emulsi. Amin
lemak lazim digunakan sebagai senyawa precursor
dalam reaksi penggandengan (coupling) untuk
menghasilkan turunan obat lipofilik. Amin lemak
seperti bentuk asam, berbentuk padat pada rantai
panjang dan tidak larut dalam larutan air, sedangkan
aldehida dari senyawa rantai lemak diaplikasikan
untuk peningkat rasa (fragrans dan flavouring).
Bentuk yang sering digunakan dari aldehida lemak ini
adalah bentuk tidak jenuh air
klasifikasi lipid dalam sediaan farmasi

1. Senyawa Lemak Rantai Lurus


a. Asam lemak (fatty acids)
b. Garam asam lemak (fatty acid
salts)
c. Alkohol lemak (fatty alcohols)
d. Amin lemak (fatty amines)
e. Aldehida lemak (fatty akdehide)
2. Minyak dan Malam (oil ad waxes)
3. Fosfolipid
4. Glikolipid
5. Polietilen glikol
6. Lipid netral lain
a. Asam lemak (fatty acids)
 Struktur kerangka dasar kebanyakan bahan lipid sangat
penting dalam formulasi sediaan farmasi, seperti asam
lemak. Banyak sekali asam lemak yang berasal dari sumber
nabati dan hewani berupa asam jenuh atau tidak jenuh
yang bervariasi. Asam lemak jenuh berupa bahan padat
dengan panjang rantai karbon lebih besar dari 8.
 Biasanya suhu leburnya rendah dan berada dalam bentuk
cair jika ikatannya tidak jenuh dan memiliki satu atau lebih
ikatan rangkap. Jika ikatan rangkap terkonjugasi, bahan
dapat mempunyai suhu lebur lebih tinggi dan dapat tetap
berada dalam keadaan padat, seperti asam alpha
eleostearat dan asam 18 rantai karbon dengan 3 ikatan
rangkap yang melebur pada suhu 44ºC.
 Asam lemak ini terdapat dalam sediaan kosmetika dan
salep, supositoria, serta digunakan untuk penyalutan pil
dan sebagai pembawa dalam sediaan inhalan
 Asam lemak jenuh :
- Asam Kaproat - Asam Miristat
- Asam Kaprilat - Asam Palmitat
- Asam Kaprat - Asam Stearat
-Asam Laurat - Asam Arachidat

 Asam lemak tak jenuh :


- Asam Oleat - Asam Linolenat
- Asam Linoleat - Asam Ricinoleat
b. Garam asam lemak (fatty acid salts)

 Asam lemak dapat dititrasi dengan basis


bervalensi 2 dan akan menghasilkan garam
terkait. Walaupun kelarutan dalam air
kemungkinan tidak terganggu secara
drastis, sifat dan antaraksi fisik dapat
sangat berbeda. Digunakan terutama
dalam sediaan tablet, antara lain
magnesium, kalsium dan aluminium
stearat.
c. Alkohol lemak (fatty alcohols)
 Fungsi karboksil dan asam lemak dapat diganti
dengan alkohol yang sesuai untuk menghasilkan
alkohol lemak. Alkohol rantai pendek (etil, propil,
butil) merupakan pelarut yang dikenal baik.
Alkohol lemak rantai panjang jenuh pada
umumnya bersifat tidak larut dalam air. Sebagai
contoh: setil alkohol (palmetil alkohol) digunakan
secara luas dalam salep atau krim sebagai emolien
atau pemodifikasi emulsi, seperti halnya jenis
lakohol lemak lainnya. Alkohol lemak rantai
pendek, seperti butil atau etil alkohol merupakan
pembawa untuk solubilisasi sediaan parenteral
untuk obat-obat yang relatif tidak larut.
d. Amin lemak (fatty amines)

 Walaupun tidak digunakan secara langsung


dalam formulasi sediaan farmasi, amin
lemak biasanya digunakan sebagai
prekursor dalam reaksi pengikatan untuk
menghasilkan turunan obat yang bersifat
lipofilik. Seperti halnya asam lemak, amin
lemak bersifat padat jika memiliki rantai
panjang dan tidak larut dalam media air.
e. Aldehida lemak (fatty akdehide)

 Aldehida dan senyawa lemak sering


digunakan dalam aplikasi fragrans. Dalam
sediaan farmasi hanya digunakan sebagai
perasa, bentuk cair tidak jenuh dan aldehida
lemak banyak digunakan.
2. Minyak dan Malam (oil ad waxes)
 Minyak merupakan ester mono, di, dan trigliserida gliserin
dengan asam lemak. Senyawa ini berbentuk ikatan ester dan
gugusan akhir karboksi asam lemak dengan 3 gugusan hidroksil
dan gliserol. Produk yang dihasilkan dapat bebrentuk cair atau
padat bergantung pada jumlah substitusi asam lemak, panjang
rantai karbon, dan ikatan tidak jenuh. Cairan dinamakan
minyak (oil) dan padat dinamakan malam (wax). Produk
kelompok ini dapat berasal dari alam atau merupakan produk
hasil sintesis.
 Minyak dalam sediaan farmasi berfungsi sebagai pembawa,
untuk solubilisasi dalam sediaan oral atau topikal, untuk
meningkatkan sifat-sifat fisika dan untuk mengontrol disolusi
(matriks malam) sediaan akhir (tablet).
3. Fosfolipid
 Dengan memodifikasi gugusan akhir hidroksil dengan
kepala polar diperoleh bentuk fosfolipid. Nama fosfolipid
diturunkan dari gugusan fosfat yang berikatan dengan satu
ujung hidroksil akhir dari gliserol. Gugusan fosfat
bermuatan ini juga berlaku sebagai jembatan antara
kerangka gliserol dan gugusan kepala selanjutnya.
 Diosil fosfolipid larut dalam sistem pelarut mulai dari
rentang pelarut yang sangat nonpolar, seperti heksan,
sampai pelarut yang sangat polar, seperti etanol. Kelompok
lipid ini mengandung suatu daerah polar sehingga fosfolipid
ini dapat disuspensasikan dalam larutan air karena
kelarutan fosfolipid secara menyeluruh terkait dengan
konformasi agregat bahan dibandingkan dengan hanya
fungsi kimia molekul.
 Kelarutan fosfolipid adalah amififatik, maka
cenderung berfungsi sebagai agen
pengemulsi atau agen pendispersi.
Walaupun sering ditemui dalam sediaan
topical, fosfolipid sudah digunakan dalam
formulasi kapsul oral di samping formulasi
liposom sediaan parenteral.
4. Glikolipid
 Secara klasik, terminologi glikolipid
mengacu pada senyawa yang berasal dari
alam yang tebrentuk dari ikatan moiety
gula pada kerangka gliserida. Definisi lebih
luas, meliputi molekul sintetik yang
mempunyai fungsi suatu gula dan lipid.
Banyak senyawa yang telah disintesis dan
digunakan secara luas dikenal sebagai
surfaktan.
5. Polietilen glikol
 Bermacam-macam poletilen glikol larut
dalam air dan menunjukkan sifat lipofilik,
terutama untuk disolusi obat tidak larut
air. PEG rantai panjang dengan berat
molekul 800- 1000 atau lebih tinggi
berbentuk malam (wax) pada suhu kamar.
Polietilen glikol digunakan dalam formulasi
sediaan farmasi oral, topikal, nasal, dan
injeksi yang membutuhkan salubilisasi atau
penetrasi obat.
6. Lipid netral lain
 Beberapa lipid netral lain bermanfaat
untuk praktek pembuatan sediaan farmasi.
Dalam berbagai formulasi, ketika harus
menggunakan bahan-bahan yang jenuh,
senyawa steroidal, seperti kolesterol dan
ester kolesterol dapat dimanfaatkan untuk
memperluas transisi fasa. Hal tersebut
akan mempermudah proses pengolahan
dan atau emulsifikasi.
2. Lipid dalam sediaan farmasi
 Lipid dapat disediakan dalam bentuk serbuk hasil
liofilisasi atau serbuk kering sebagai cairan atau dalam
bentuk larutan atau tersuspensi dalam pelarutan yang
sama. Serbuk kering berbentuk malam (waxy) dan
bersifat lengket (sticky) sehingga menimbulkan banyak
masalah pada produk. Liofilisitas lipid dapat pula
bersifat higroskopis sehingga menimbulkan masalah
dan kesulitan pada operasi unggun zalir (fluid bed).
 Pembawa untuk solubilisasi dapat dilakukan dengan
cara melarutkannnya di dalam pelarut polar atau
larutan surfakatan
3. Konformasi lipid
 Sifat koligatif dan pensolubilitasi lipid sudah
diketahui sejak awal abad ke dua puluh. Apa yang
dahulu diketahui sebagai kelompok (cluser)
molekul ampifilik (sabun) dalam larutan air,
sekarang sudah diketahui dengan baik sebagai
“misel”. Saat ini solubilisasi miselar telah luas
diaplikasikan untuk berbagai tujuan dalam
formulasi. Pengetahuan tambahan tentang disolusi
obat dan dampak konformasi lipid semakin
meningkatkan dan mendalam melalui “makro” dan
“mikro” emulsi untuk mensolubilisasi obat
 Selain konsep “misel” dan “emulsi”, kombinasi lipid
dan komponen air dapat menghasilkan berbagai
formulasi yang menunjukkan bermacam keadaaan
fisika
4. Sediaan berbasis lipid
 Lipid telah digunakan sebagai pembawa untuk
sediaan berbentuk kapsul, gelatin lunak, kapsul
gelatin keras, sediaan parenteral, dan sediaan
topical.
 Walaupun emulsi lipid oral sudah
digunakan/dikembangkan sejak lama, sistem
penghantaran obat pengemulsian sendiri (self
emulsifying), yang menggunakan pembawa berbasis
lipid/surfaktan, semakin luas digunakan sebagai
pendekatan untuk mensolubilisasi obat tidak larut
dalam air.
Eksipien untuk dispersi solida yang ideal
 Aman, inert, dan tersedia dalam bentuk murni sesuai untuk
digunakan pada manusia.
 Tidak mengalami perubahan/sesuai selama proses
manfaktur atau penyimpanan.
 Mampu menssolubilisasi dosis obat dalam volume tidak
melebihi volume kapsul oral.
 (Lebih disukai) jika menunjukkan aktivitas permukaan
sehingga memnungkinkkan melakukan emulsifikasi sendiri
atau mendisolusi dosis obat secara sempurna.
 Kehandalan dan reprodusibilitas meningkatkan
ketersediaan hayati oral dari obat relative terhadap
formulasi konvensional.
Lanjutan ………
 Stabil secara fisika dan kimia dan kompatibel dengan
bagian terbesar obat eksipien lainnya.
 Nonhigroskopik dan inert terhadap cangkang kapsul
atau komponen kemasan lain.
 Memungkinkan untuk dimanufaktur secara sederhana
dan efisien, dan memudahkan untuk melakukan
peningkatan skala produksi
 Kelarutan obat dalam pembawa
 Pelepasan obat dari disperse solida formulasi
6. Formulasi dengan satu eksipien lipid
(kapsul lunak)
 Formulasi berbasis lipid paling sederhana
mengandung hanya satu eksipien, seperti asam oleat
α tokoferol, minyak jagung, minyak kacang, minyak
wijen, trigliserida rantai sedang, olea mono dan
digliserida rantai sedang, dan digliserida.
 10 formulasi oral, diformulasi dalam bentuk kapsul
lunak. Bahan aktif meliputi : Clomethiazole, Ethyl
ikosapentate, Progesterone, Testosterone
undekanoate, Asam valproat, Calcicitriol ,
Dutasterida, Berbagai suplemen nutrisi
7. Formulasi pelepasan diperlama
(extended release formulation)
 Susunannya dalam bentuk kapsul gelatin
keras. Sekurang-kurangnya ada 3 produk
dengan pelepasan diperlama yang sudah
dikomersikan. Bahan aktif meliputi :
Ibudilast
Tolterodine tartrate dan
Morfin sulfat
Triglycerides

• Triglyceride vegetable oils have many advantages as


the foundation of lipid-based formulations.
• Triglycerides are commonly ingested in food, fully
digested and absorbed, and therefore do not present
any safety issues.
• Triglycerides are highly lipophilic and their solvent
capacity for drugs is commonly a function of the
effective concentration of the ester groups, thus8 on a
weight basis MCT (medium-chain triglycerides)
generally has higher solvent capacity than LCT (long-
chain triglycerides).
• MCT is not subject to oxidation, so MCT is a popular
choice for use in lipid-based products.
Mixed glycerides and polar oils
• The chemical composition of mixed glyceride products
depends on the source of triglyceride starting material as
well as the extent of hydrolysis induced.
• Trace amounts of saturated mono-glycerides sometimes
produce a hazy product and steps have been taken by
some manufacturers to overcome the formulation-
dependent effect.
• Mixed long-chain glycerides are popular excipients. They
are usually much better solvents for drugs than 9
triglycerides, unless the drug is highly lipophilic. They
enhance ability to promote emulsification and lack of
susceptibility to oxidation.
• However there are complications with medium-chain
exicipients in relation to digestion.
Water-insoluble surfactants
• In the context of oral lipid-based formulations it’s referred
to a group of excipients of intermediate HLB (8-12), which

7/21/2020
adsorb strongly at oil-water interfaces, as ‘water-insoluble
surfactants’.
• The constituents of water-insoluble surfactants will have a
finite solubility in water depending on their degree of
ethoxylation, but solubility is generally very low.
• These materials typically are predominantly oleate esters,
such as polyoxyethylene (20) sorbitan trioloeate 10
(polysorbate 85 – ‘Tween 85’) or polyoxyethylene (25)
glyceryl trioleate
(‘Tagat TO’).
• These 2 examples have HLB values between 11 and 11.5
and are particularly useful for formulation of Type II
systems.
Water-soluble surfactants
• The most commonly used surfactants for formulation of
SEDDS or SMEDDS are water-soluble, though by definition

7/21/2020
these materials can only be used in Type III or Type IV
formulations.
• Above their critical micelle concentration (CMC) these
materials dissolve in pure water at low concentrations to
form micellar solutions. This implies an HLB value of
approximately 12 or greater.
11
• The fatty acid components can be either unsaturated or
saturated.
• The popular castor oil derivative Cremophor RH40, is a
typical example of a product with saturated alkyl chains
resulting from hydrogenation of materials derived from a
vegetable oil.
Water-soluble surfactants
• Many materials are synthesized by reacting polyethylene glycol

7/21/2020
(PEG) with hydrolysed vegetable oils. This results in fatty acid
mono and diesters of PEG combined with partial gylcerides and
some free (i.e. unreacted) PEG.
• An alternative method for surfactant synthesis involves reaction
of an alcohol with ethylene oxide to produce alkyl ether
ethoxylates, which are a commonly used class of surfactants for
example in cream formulation (e.g. cetostearyl alcohol
ethoxylate, ‘cetomacrogol’). 12

• Polysorbates are predominantly ether ethoxylates, produced by


reaction of sorbitan esters with ethylene oxide.
• Polysorbate surfactants depend on the fatty acid ester groups for
their amphiphilic character so they are inactivated as surfactants
following digestion to give fatty acids and sorbitan ethoxylates.
Co-solvents

• Several marketed lipid-based products contain


water- soluble cosolvents.
• The most popular materials such as PEG 400,
propylene glycol, ethanol and glycerol, though other
approved cosolvents have been used in
experimental studies.
• At least 3 reasons why cosolvents included in lipid-
based formulations:
1. Ethanol was used in early cyclosporin products at a
low concentration to aid dissolution of the drug 13
during manufacture.
2. Cosolvents could increase the solvent capacity of the
formulation for drugs which dissolve freely in
cosolvents.
3. To aid dispersion of systems which contain a high
proportion of water-soluble surfactants.

You might also like