You are on page 1of 114

KUNCEN

Endah Wahyuningtyas
SEDIKIT KATA PENULIS

Bismillahirahmannirrahiim,

Alhamdulillah tiada kata yang lebih pantas diucapkan selain selaksa syukur kepada Allah
yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan satu lagi tulisannya.
Alhamdulillah.
Tiada pantas penulis berpanjang kata dan penulis hanya mengucapkan selamat membaca,
selamat menikmati tulisan ini. Semoga suka dengan tulisan ini dan semoga tulisan ini
membawa banyak manfaat.

Salam Literasi.

Jazakumullah.
DAFTAR ISI

Judul··································································································· 1
Sedikit Kata Penulis················································································· 2
DAFTAR ISI························································································· 3
BAB 1································································································· 4
BAB 2································································································· 7
BAB 3································································································· 13
BAB 4································································································· 18
BAB 5································································································· 23
BAB 6································································································· 28
BAB 7································································································· 33
BAB 8································································································· 37
BAB 9································································································· 42
BAB 10································································································ 47
BAB 11································································································ 51
BAB 12································································································ 55
BAB 13································································································ 60
BAB 14································································································ 64
BAB 15································································································ 69
BAB 16································································································ 73
BAB 17································································································ 78
BAB 18································································································ 82
BAB 19································································································ 89
BAB 20································································································ 96
BAB 21································································································108
EPILOG·······························································································110
Sedikit Tentang Penulis·············································································112
Bab 1

"Bu Aina, bagaimana ini Bu? Kenapa banyak sekali makanan yang basi?" Teriakan itu
membuat Aina terperanjat dan terkejut. Dia memandang wanita di depannya dengan
keheranan.

"Maksud Bu Tika apa, ya, Bu?" tanya Aina waswas.

"Halah! Jangan sok pura-pura tidak tahu, Bu Aina!" seru wanita di depan Aina itu dengan
marah, "kemarin hampir semua pesanan saya sudah basi, bahkan sejak pagi sudah basi, Bu.
Lontongnya, sayur labunya, sup buahnya, semuanya basi. Seperti masakan yang dimasak
kemarin. Baru dibuka wadahnya saja baunya sudah busuk! Tamu-tamu saya mengejek saya
dan mereka tidak mau makan di rumah saya, jadi makanannya utuh tak tersentuh sampai
sekarang. Tuh, saya kembalikan semua makanannya! Dan karena tidak ada yang makan,
makanya sekarang saya minta ganti rugi!"

Aina membelalak tak percaya. Jantungnya berdebar kencang. Napas Aina agak sedikit
tersengal dan mata Aina pun mulai panas, dia seperti hendak menangis. Terjadi lagi!
Kejadian bulan kemarin sekarang terjadi lagi. Makanan yang dimasak oleh katering milik
Aina selalu basi setelah diantar ke pemesan dan kustomer yang memesan makanan itu akan
marah pada Aina dan meminta ganti rugi pada Aina. Aina beristighfar lirih.

"Cepat kembalikan uang saya, Bu! Saya tidak mau lama-lama di sini. Najis!" teriak wanita
bernama Tika itu.

Aina memejamkan matanya. Sebulir air mata mengalir dengan cepat di pipi Aina. Aina buru-
buru menghapus air mata itu.

"Malah nangis! Mana uangnya? Cepetan!"

Aina beristighfar untuk menahan gejolak amarah di dalam dadanya. Dia buru-buru
mengambil uang di laci mejanya. Tujuh juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Oh, uang
yang diambil Aina adalah uang bayaran Tika kemarin, yang bahkan belum disentuh sama
sekali oleh Aina.

Tika merebut uang yang dibawa Aina dengan kasar. Dia menggerutu panjang pendek.

"Benar kata Bu Ratu, katering di sini nggak layak sekali. Seharusnya saya mendengarkan
mereka dan memilih katering yang lain saja. Malu-maluin!"

Aina lemas ketika melihat Tika berlalu meninggalkannya dengan langkah cepat. Air mata
Aina akhirnya luruh juga dan Aina menyerah pada isak tangisnya.

Aina duduk dengan lemas. Dia memandang ke arah depan dengan pandangan kosong. Aina
merasa begitu sedih, merana sekaligus marah. Karena sudah hampir tiga bulan ini, selalu saja
ada kasus makanan kateringnya yang basi dan dikembalikan, sehingga Aina harus
mengeluarkan ganti rugi.

Aina beristighfar perlahan. Dia memejamkan matanya untuk menenangkan dirinya dan air
mata itu mengalir bertambah deras. Aina sedih sekali.

**

Kegelapan menyapa ketika Maheswara memasuki rumah reyot. Suara pintu kayu usang yang
membuka dan menutup dengan berat, sudah akrab ditelinganya. Maheswara kemudian
berjalan melewati lantai tanah yang becek karena hujan tadi malam.

Maheswara mendesah. Dia merasa bosan dan lelah bekerja di tempat aneh ini. Maheswara
menggerutu panjang pendek, dia menyesal karena menyanggupi membantu pamannya
bekerja di tempat itu.

"Tidak usah menggerutu, Wa! Ayo, cepat bersihkan rumahnya!" teriak pamannya dari satu-
satunya kamar yang ada di rumah kayu itu.

Maheswara merengut dan berjalan ke belakang. Pekerjaan sudah menantinya.


**

Aina menuruni mobilnya dengan ragu. Dia melihat papan nama bertuliskan 'Desa Arum Sari',
desa yang dituju oleh Aina.

Aina tersenyum. Akhirnya setelah berputar-putar dan tersasar beberapa kali, akhirnya Aina
sampai juga pada tempat yang ditujunya. Desa Arum Sari, tempat Makam Gading Rejo
berada. Makam tua yang dianggap sebagai makam Ki Ageng Probo Roto, yang sering
digunakan untuk mencari pesugihan.

Aina mulai melangkah memasuki desa Arum Sari. Jalan Desa Arum Sari masih begitu jelek,
berbatu-batu dan sangat sempit, sehingga mobil Aina hanya bisa di parkir di depan gerbang
desa saja. Aina tidak memedulikan mobilnya, yang penting dia sudah mengunci mobilnya.

Aina berjalan perlahan melewati desa yang terlihat agak gelap itu. Padahal saat itu siang hari,
tetapi entah kenapa jalan di desa itu terlihat agak remang-remang dan singup atau angker.
Aina bergidik, tetapi dia terpaksa menelan rasa takut yang tiba-tiba muncul itu, karena Aina
sedang memiliki sebuah misi yang sangat penting dan harus dikerjakan sekarang juga.

Desa Arum Sari sangat sepi dan lengang, membuat suasana semakin menyeramkan. Aina
menengok ke kanan dan ke kiri untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak sendiri, tetapi
Aina mendapatkan jawaban yang sangat pasti, bahwa dia memang sendirian di jalan itu.
Tidak ada satu orang pun yang terlihat di jalan atau di rumah-rumah penduduk yang berada di
samping jalan yang dilalui Aina.

Aina mengambil telepon genggamnya. Dia memeriksa alamat yang akan ditujunya, yang ada
di dalam teleponnya itu. Desa Arum Sari nomor dua puluh tujuh, rumah cat hijau muda, di
belakang rumah Pak Madio. Alamat yang sulit untuk dicari, apalagi kalau tidak ada orang
seperti ini.

Aina mendesah dan memutuskan untuk mengetuk pintu salah satu rumah yang dilewatinya
dan menanyakan di mana rumah Pak Madio itu. Aina berhenti berjalan dan memilih salah
satu rumah warga untuk bertanya.
Aina pun masuk ke halaman salah satu rumah penduduk, tetapi ketika Aina menginjakkan
kakinya di halaman rumah penduduk itu, Aina melihat kolam yang sangat luas dan tebing
yang curam di depannya.

Aina tercekat. Dia berhenti dan mengerjapkan matanya beberapa kali, memastikan bahwa apa
yang dilihatnya adalah nyata. Aina merinding ketika menyadari bahwa yang dilihatnya itu
memang nyata.

Aina benar-benar melihat sebuah tebing yang curam dengan air terjun kecil pada tebing itu
dan sebuah kolam di bawah tebing itu. Ah, kolam itu nampak begitu bening airnya dan
nampak begitu menggoda. Air bening dan segar itu menggoda Aina untuk menceburkan diri
ke dalamnya.

Aina tersenyum. Dia harus menceburkan dirinya ke dalam kolam itu, rasanya pasti
menyegarkan sekali. Dengan penuh semangat Aina setengah berlari menuju ke kolam itu.
Aina segera memasukkan kakinya ke dalam kolam itu. Rasa dingin segera melingkupi tubuh
Aina. Dingin yang menyegarkan.

Ah, dia harus berenang di dalam kolam itu ....

"Bu Aina! Bu Aina!"

Aina mendongak dan melihat wajah yang sangat dikenalinya. Aina mengerutkan keningnya.

"Siti, kenapa kamu ada di sini?" tanya Aina heran. Siti --asisten Aina-- juga bertambah heran.

"Maksud Bu Aina apa?" tanya Siti. Aina mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia melihat
berkeliling dan baru menyadari bahwa dia berada di kantornya, bukan di Desa Arum Sari.

Aina memandang Siti panik. Aina sangat takut ketika meyakini bahwa dia berada di
kantornya dan ... dan bajunya basah kuyup.

Bukankah tadi dia sudah menceburkan diri ke dalam kolam di Desa Arum Sari?
Bab 2

"Astaghfirullah, Bu! Apa yang terjadi? Kenapa baju ibu basah kuyup?" tanya Siti dengan
keheranan.

"Aku ... aku juga tidak tahu, Ti. Aku tidak tahu ...." Aina berbisik lirih. Wajahnya nampak
sedih.

Siti sangat prihatin dengan atasannya itu. Dia segera membantu Aina berdiri dan berjalan
menuju ke kamar mandi.

"Bu Aina ganti baju dulu, njih, Bu. Kalau perlu ibu pulang dulu dan istirahat di rumah.
Sepertinya ibu kelelahan," kata Siti. Aina menggeleng.

"Tidak, Ti. Aku tidak akan pulang. Aku akan membantu memasak seperti biasanya," kata
Aina lemah.

"Ya, Allah, Bu. Jangan seperti itu. Siti tahu apa yang baru terjadi. Siti tahu kalau pesanan Bu
Tika kemarin dikembalikan, Bu. Siti dan teman-teman sudah menerima masakan itu dan kami
sudah memeriksa makanan itu, semua masakan itu sama sekali tidak basi, Bu. Tadi Siti sudah
mencicipinya," kata Siti, membuat Aina membeliak tak percaya.

"Benarkah, Ti?"

"Njih, Bu. Benar sekali."

Entah kenapa mendengar keterangan Siti itu, tiba-tiba semangat Aina seakan kembali lagi,
sehingga setelah berganti baju, Aina segera menuju ke dapur untuk membuktikan kembali
apa perkataan Siti tadi. Aina benar-benar tak percaya ketika membuktikan sendiri bahwa
makanan dari kateringnya yang dikembalikan Tika, ternyata sama sekali tidak basi dan bau.
Bahkan Aina mencicipi sedikit makanan itu dan rasanya masih enak, seperti kemarin. Aina
bahkan sampai menangis ketika melihat makanannya masih enak seperti biasanya.

"Sabar, ya, Bu Aina," bisik Siti pelan. Aina menoleh dan mengangguk.
"Ya, Ti. Terima kasih, ya, Ti," jawab Aina sambil tersenyum tipis. Air mata menetes di
pipinya perlahan. Akhirnya pertahanan Aina runtuh juga. Aina menangis sedih. Siti dan
teman-temannya memeluk Aina. Beberapa di antara mereka juga menangis seperti Aina.

"Jangan sedih, Bu Aina."


"Iya, Bu Aina. Kami akan selalu membantu Bu Aina."

Ah, kata-kata penyemangat itu malah membuat Aina semakin sedih, terharu dan juga bahagia
karena dia tidak sendiri. Masih banyak orang yang mau menemani dan mendukungnya.

**

Aina terbangun dari tidurnya dengan keringat yang membanjir, napas tersengal dan rasa takut
yang menyelubungi dirinya. Mata Aina terbuka lebar dan pandangannya kosong. Butuh
waktu beberapa saat bagi Aina untuk menyadari apa yang baru saja terjadi.

Aina memejamkan matanya untuk menenangkan dirinya dan bayangan itu muncul dengan
jelas ketika Aina memejamkan matanya. Aina melihat dengan jelas dirinya menceburkan diri
ke dalam kolam di Desa Arum Sari, seperti mimpinya kemarin di kantornya. Hanya saja kali
ini Aina berenang hingga ke tengah kolam yang airnya sangat dingin itu.

Aina bisa merasakan kesegaran air kolam itu. Dingin tapi menyegarkan. Dalam mimpinya
itu, Aina merasa begitu puas dan bahagia bisa berenang sampai jauh sekali dan kemudian
suara itu ... oh, ya ... suara itu! Suara yang terdengar begitu dekat dengan telinga Aina.

"Kamu harus segera menemui Ki Tanjung Kumoro."

Aina yang sedang berenang sangat terkejut sampai nyaris tenggelam ketika mendengar suara
itu. Suara itu seperti berada di samping Aina dan ketika Aina menoleh, Aina melihat seekor
buaya putih yang berenang di sampingnya dan sekali lagi berbisik kepadanya.

"Kamu harus segera menemui Ki Tanjung Kumoro."


Aina ingat tadi dia menjerit keras dan berenang secepat kilat ke tepi kolam, tetapi Aina
merasa bahwa kaki dan tangannya terasa berat sekali untuk berenang. Dia nyaris tidak bisa
bergerak dan kemudian Aina menyadari bahwa dia sebenarnya tidak bisa berenang dan
seketika dia tenggelam dan Aina mendengar buaya putih itu tertawa.

"Manuto karo Bajul Seto, menyango nggon omahe Ki Tanjung Kumoro. Tak tunggu, ya, Cah
Ayu. (Menurutlah dengan Bajul Seto, datanglah ke rumah Ki Tanjung Kumoro. Kutunggu,
ya, Anak Manis.)"

Setelah itu Aina terbangun dan sampai sekarang Aina masih terengah-engah membayangkan
ketika tadi dia berusaha melarikan diri dari buaya putih yang sepertinya bernama Bajul Seto
itu. Aina menyeka keringat di dahinya. Aina merenung. Kenapa dia selalu bermimpi
berkunjung ke Desa Arum Sari? Bahkan Aina belum pernah tahu di mana Desa Arum Sari
itu. Sepertinya Aina harus mencari tahu tentang desa itu. Aina harus bertanya dan meminta
pendapat teman-teman dan orang terdekatnya.

Aina tersenyum. Dia akan mencari tahu tentang Desa Arum Sari, kolam misterius dan Ki
Tanjung Kumoro. Aina merasa sangat bersemangat dan berbunga-bunga, entah kenapa.

**

Maheswara melihat sebuah mobil terparkir di depan rumah pamannya itu. Seperti biasa dia
menyambut seorang pria yang keluar dari mobil warna hitam itu.

Maheswara berbasa-basi seperti biasa. Dia menyediakan semua yang diperlukan tamu itu
sampai pamannya siap menemui tamu itu.

"Ki Tanjung Kumoro?" tanya pria muda yang menjadi tamu mereka pagi itu. Paman
Maheswara mengangguk.

"Njih, leres, Pak. Kawulo Tanjung Kumoro, (Ya, benar, Pak. Saya Tanjung Kumoro,)" jawab
paman Maheswara.

Pria itu tersenyum puas.


"Perkenalkan Ki, saya Bram. Saya minta tolong pada Ki Tanjung Kumoro."

"Njih, Mas. Ada yang bisa saya bantu?"

Pria bernama Bram itu tersenyum.

"Saya ingin mengunjungi Makam Gading Rejo, Ki."

Tanjung Kumoro tersenyum samar. Dia mengangguk.

"Ya, Mas. Saya bantu. Mohon maaf Mas Bram ingin mengunjungi Makam Gading Rejo
untuk kepentingan apa, njih?" tanya Tanjung Kumoro.

Bram agak sungkan dan berdeham beberapa kali sebelum menjawab.

"Saya ingin mendapat berkah untuk ... ehem ... agar saya bisa mengungguli lawan bisnis saya,
Ki."

Tanjung Kumoro terdiam. Wajahnya berpura-pura biasa saja, padahal hatinya bersorak
gembira, karena sebentar lagi dia akan mendapatkan keuntungan dengan cara mudah.

"Njih, Mas. Saya siap membantu. Mas Bram sudah tahu apa saya syaratnya, Mas?" tanya
Tanjung Kumoro.

"Apa saja syaratnya, Ki?"

"Menyiapkan sesaji lengkap, jajan pasar, kembang setaman, dan sebagainya. Nanti bisa kami
siapkan dengan biaya tambahan tentunya."

Bram langsung mengangguk menyetujui.

"Saya ikut saja, Ki. Saya minta tolong Ki Tanjung Kumoro untuk menyiapkan semuanya.
Saya siap membayar berapa pun biayanya," kata Bram dengan penuh kelegaan.
Tanjung Kumoro mengangguk.

"Siap, Mas. Berarti Mas Bram sepekan lagi datang ke sini dan kita siap melakukan ritual di
Makam Gading Rejo."

"Njih, Ki. Pagi, siang atau malam, Ki?"

"Malam, Mas. Tengah malam," jawab Tanjung Kumoro dengan geli. Bram agak sedikit
panik, tetapi dia tetap mengangguk.

"Saya bawa apa, Ki?"

"Tidak perlu membawa apa-apa, Mas," jawab Tanjung Kumoro dengan geli, "tetapi jangan
lupa membawa uang, ya?"

**

"Buaya putih?"

"Njih, Mas Faiz. Sedang viral sekali sekarang."

"Di Desa Arum Sari, ya, Ust?"

"Iya, Mas. Jauh sekali."

"Menarik sekali. Apa yang dilakukan buaya putih itu, Ust?"

"Mencari tumbal dengan menenggelamkan orang yang diincarnya, Mas."

**
Bab 3

Ruangan luas selayak aula itu terlihat sepi. Beberapa orang pria duduk melingkar
mengelilingi seorang pria bermata sipit yang bernama Faiz. Seorang pria bergelung duduk di
samping Faiz sambil menunjukkan beberapa foto pada Faiz.

"Apakah foto ini asli, Ustadz?" tanya Faiz. Pria bergelung itu mengangguk.

"Menurut informasi yang saya dan Mas Naim dapatkan begitu, Mas Faiz. Tetapi tentu saja
kami tidak tahu pasti kebenaran informasi tersebut," jawab pria bergelung itu.

Faiz mengangguk. Dia sendiri adalah seorang ahli IT, dia bisa menganalisa foto itu, tetapi
tentu saja hal itu membutuhkan waktu dan juga membutuhkan bantuan timnya. Faiz sekarang
hanya menerima bahwa foto-foto yang menunjukkan punggung buaya putih yang sedang
berenang di dalam danau itu adalah nyata.

"Konon bagi orang-orang tertentu, perjalanan menuju ke Desa Arum Sari akan berakhir
tragis, Mas. Ada yang melihat tebing dengan air terjun dan danau atau kolam. Biasanya orang
itu merasa ingin masuk ke dalam danau dan kemudian buaya putih itu muncul dan
menenggelamkan orang yang berenang itu." Pria bergelung itu menjelaskan pada Faiz.

Terdengar suara dehaman dari belakang dan semua pria di aula itu menoleh. Mereka melihat
seorang pria berkulit agak gelap dengan rambut panjang dan dikepang rapi, jenggot dan
cambang yang lebat. Pria itu melepas kacamatanya dan tersenyum pada semuanya.

"Ustadz Iqbal, kalau boleh saya bertanya, dari mana kira-kira foto dan cerita itu berasal, Ust?
Apakah dari korban tumbal yang selamat?" tanya pria berambut kepang itu.

Pria bergelung yang bernama Iqbal itu tersenyum.

"Wah, sepertinya Ustadz Faza belum tahu. Korban tumbal yang gagal itu ada di sini, Ust.
Kemarin sudah kami ruqyah, Ust," jawab Iqbal.

Pria berambut panjang berkepang bernama Faza itu mengangguk.


"Berarti orang itu gagal menjadi tumbal, Ust?" tanya Faza. Iqbal mengangguk.

"Ya, benar, Ust. Wanita itu selamat dari cengkeraman buaya putih yang bernama Bajul Seto.
Ketika berenang di danau itu Bajul Seto mengajak sang wanita untuk datang ke rumah
seseorang yang bernama Ki Tanjung Kumoro, tetapi sang wanita itu menolak, sehingga dia
bisa selamat dari Bajul Seto itu."

"Selamat begitu saja, Ust?" tanya Faza, nampaknya dia tidak terlalu puas. Iqbal tersenyum.

"Nanti kita tanya langsung saja dengan orangnya, Ust. Sejak kemarin wanita itu belum bisa
bercerita dengan tuntas," jawab Iqbal. Faza mengangguk.

Faiz berdeham.

"Jadi untuk sementara kita mendengar cerita Mbak Gita dulu, njih, Ust, sebelum kita pergi ke
Desa Arum Sari? Desa Arum Sari itu termasuk dalam kabupaten Karang Legi, kan, Ust?"
tanya Faiz. Iqbal tersenyum dan mengangguk, Faza juga tersenyum. Ya, mau bagaimana
lagi? Sepertinya mereka akan bertemu dengan orang yang menjengkelkan itu lagi. Sepertinya
mereka memang akan bertemu dengan orang ngeyel dan mudah marah itu.

Faiz dan Faza sama-sama menahan tawa mereka. Ah, pasti akan menarik sekali.

**

Aina terpaksa harus mencari informasi di internet, karena tidak ada seorang pun yang tahu
tentang Ki Tanjung Kumoro yang ada di Desa Arum Sari dan Aina mendapat info lengkap di
sebuah situs mistis tentang Ki Tanjung Kumoro itu. Ternyata Ki Tanjung Kumoro adalah
seorang juru kunci atau kuncen di Makam Gading Rejo yang ada di Desa Arum Sari. Sama
persis dengan mimpinya.

Aina merenung. Kenapa dalam mimpinya Aina sudah tahu kalau dia akan menuju ke Makam
Gading Rejo itu? Bahkan dia tahu bahwa makam kuno itu adalah makam seorang bangsawan
bernama Ki Probo Roto. Dari mana Aina tahu semua itu?
Aina mulai merasa agak sedikit ngeri membayangkan bahwa ada sesuatu yang kemungkinan
besar membisikinya, mengkisikinya untuk datang ke makam itu. Tetapi untuk apa Aina harus
datang ke makam itu?

**

"Wa, siapkan semuanya!" teriak Tanjung Kumoro kepada Maheswara.

Maheswara mengangguk dan segera membawa sajen, menyan dan semua perlengkapan ritual
malam itu ke makam Ki Probo Roto. Maheswara segera menyalakan menyan dan menata
sesaji di sekitar makam besar itu.

Kemudian pria muda bernama Bram, yang sepekan lalu datang ke rumah Tanjung Kumoro,
sekarang datang ke Makam Gading Rejo dan duduk bersila di depan makam besar dan bagus
itu. Seperti biasa, Maheswara duduk di ujung makam Ki Probo Roto dan mulai merapalkan
mantra yang sudah dihapalnya.

Maheswara memejamkan matanya untuk berkosentrasi membaca mantra yang digunakan


untuk melancarkan ritual apapun yang dilakukan pamannya di makam itu.

"Mas Ewa! Ayo, semua ritualnya sudah selesai."

Maheswara mengerutkan keningnya. Dia keheranan ketika mendengar suara wanita yang
memanggilnya, padahal sepertinya tidak ada wanita yang ikut dengan ritual mereka malam
itu. Maheswara membuka matanya perlahan dan di melihat seorang wanita yang cantik jelita
memakai kebaya tipis berwarna merah tua yang berdiri di depannya. Wanita itu tersenyum
pada Maheswara. Dia mengulurkan tangannya pada Maheswara.

"Ayu sudah memasak makanan kesukaan Mas Ewa. Ayo, makan dulu."

Maheswara menjengit mendengar ajakan dengan suara sehalus tepung itu. Dia kebingungan
dan agak sedikit takut melihat wanita itu. Maheswara tidak mengenali wanita itu. Dia belum
pernah bertemu dengan wanita itu.
"Mas Ewa kenapa, sih? Kok, aneh gitu? Lupa dengan Ayu?" tanya wanita itu lagi, "Ayu tahu
apa keinginan Mas Ewa dan Ayu akan memenuhi semua keinginan Mas Ewa itu. Makanya,
ayo, ikut Ayu!"

Maheswara semakin takut, dia menggelengkan kepalanya.

"Kamu tahu apa keinginanku?" tanya Maheswara dengan ragu. Wanita cantik bernama Ayu
itu mengangguk.

"Iya, Mas Ewa. Ayu tahu Mas Ewa ingin menjadi seperti Arjuna, kan? Mas Ewa ingin
menjadi lelananging jagad atau pria yang yang banyak disukai wanita, pria yang disukai
banyak pria, iya, kan, Mas Ewa?" tanya Ayu dengan senyum menggoda.

Maheswara terperanjat mendengar perkataan Ayu tadi, karena semuanya benar. Maheswara
atau Ewa memang ingin menjadi seorang pria yang dikenal dan disukai banyak orang.
Maheswara memandang Ayu lekat.

"Kamu siapa?" tanya Maheswara.

"Aku Ayu, Mas. Aku selalu muncul di dalam mimpi Mas Ewa, aku selalu ada di dekat Mas
Ewa, tetapi Mas Ewa tidak bisa melihatku."

Maheswara memandang Ayu sangsi.

"Rumahmu di mana? Apa yang akan kamu lakukan untuk memenuhi keinginanku?" tanya
Maheswara beruntun.

Ayu tersenyum. Dia menarik tangan Maheswara.

"Ayo, Ayu beritahu semua jawabannya di rumah Ayu," kata Ayu menggoda. Maheswara
hanya menurut. Dia pasrah ketika Ayu menarik tangannya dan meminta masuk ke dalam
rumah Ayu di dekat makam besar itu.
Ayu melayani Maheswara selayaknya istri melayani suaminya, membuat Maheswara bingung
dan juga suka. Apalagi ketika melihat senyum Ayu yang benar-benar memikat hatinya.

"Sekarang Ayu beritahu apa yang harus Mas Ewa lakukan, ya ...."

**
Bab 4

"Mas Ewa harus memakai cincin ini dan setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon Mas
Ewa harus mencuci cincin ini dengan darah ayam cemani. Kalau Mas Ewa melakukan semua
ritual itu, maka Mas Ewa pasti akan menjadi lelananging jagad atau pria yang disukai banyak
orang."

Maheswara memandang Ayu tak percaya. Maheswara sudah berpengalaman dengan dunia
ilmu hitam dan percaya bahwa tidak mungkin syaratnya yang diberikan Ayu hanya itu saja,
apalagi dia meminta hal yang tidak sederhana. Maheswara meminta hal yang cukup besar.

"Itu saja?" tanya Maheswara sangsi. Ayu tersenyum genit.

"Ada satu lagi ritual yang harus Mas Ewa lakukan setiap malam tanggal lima belas."

"Apa itu?" tanya Maheswara, hatinya serasa tenggelam. Dia yakin syaratnya pasti berat. Ayu
masih tersenyum menggoda.

"Mas Ewa harus ke rumah Ayu dan tidur di rumah Ayu, seperti yang kita lalukan tadi. Ritual
yang satu itu wajib dilakukan, agar ajian yang Ayu berikan tetap awet dan bertahan lama di
tubuh Mas Ewa," jawab Ayu dengan suara yang menggoda. Maheswara membeliak tak
percaya dan tersenyum simpul. Dia tersipu malu.

"Mau, ya, Mas Ewa?" tanya Ayu. Maheswara tersenyum malu dan mengangguk bahagia.
Ayu tertawa kecil dan mencubit tangan Maheswara genit dan kemudian bayangan Ayu
memudar perlahan, membuat Maheswara terbangun dan membuka matanya.

Yang dilihat Maheswara pertama kali adalah wajah pamannya, Ki Tanjung Kumoro yang
tertawa geli. Dan setelah melihat Maheswara bangun, Ki Tanjung Kumoro segera
memercikkan air ke wajah Maheswara sambil tertawa.

"Tumben kamu tidur, Wa. Capek?" tanya Ki Tanjung. Maheswara buru-buru bangun dan
melihat sekeliling dengan bingung dan heran, karena ternyata hari masih malam dan bahkan
tamu bernama Bram tadi masih ada. Maheswara benar-benar takjub, padahal sepertinya dia
tadi sudah menginap semalaman di rumah Ayu, tetapi ternyata Maheswara masih berada di
makam dalam waktu yang sama sejak sebelum dia tidur tadi.

Maheswara memandang ke arah Ki Tanjung Kumoro dengan wajah bingung.

"Kulo tileme dangu, Lik? (Aku tidurnya lama, Paman?)" tanya Maheswara. Ki Tanjung
Kumoro tertawa.

"Nggak, Wa. Paling lima belas menit," jawab Ki Tanjung Kumoro dengan geli. Maheswara
agak sedikit bingung kenapa paman dan tamunya tertawa.

"Sana cuci muka dulu," kata Ki Tanjung Kumoro. Maheswara menurut, dan ketika dia berdiri
Maheswara menyadari kenapa paman dan tamunya tertawa. Maheswara buru-buru berlari
untuk berganti baju di kamar mandi, karena celananya basah kuyup.

**

"Jauh sekali, Na. Butuh waktu dua belas jam untuk sampai ke Karang Legi. Nanti dari
kotanya kamu masih harus naik kendaraan lagi sampai ke Arum Sari. Paling tidak tiga jam."

Aina terdiam. Dia memandang ibunya dengan ragu.

"Lagipula mau apa ke Arum Sari? Jauh sekali."

Aina masih diam. Dia belum menceritakan kepada ibunya apa sebenarnya yang akan
dilakukannya. Aina tahu, ibunya pasti akan marah besar kalau tahu Aina akan mengunjungi
sebuah makam di Arum Sari.

"Na? Kok diam saja? Mau apa kamu ke Arum Sari?" tanya ibu Aina dengan tegas, sekarang
Sang Ibu terlihat marah.
"Ibu kok jadi curiga, kenapa kamu tiba-tiba ingin ke Arum Sari? Mau apa kamu ke sana?"
tanya ibu Aina dengan kejam. Aina memejamkan mata dan perlahan dia menceritakan
semuanya pada ibunya.

**

Faza memasuki ruang terapi ruqyah dan melihat wanita bernama Gita, yang konon gagal
menjadi tumbal Bajul Seto atau buaya putih. Gita adalah seorang wanita moderen, dengan
jilbab dan baju yang gaul. Dia tersenyum menggoda pada Faza. Tangan Gita melambai pada
Faza.

"Mas, ayo rene, Mas! (Mas, ayo sini, Mas!)" ajak Gita. Dia bangun dari duduknya dan
berjalan ke arah Faza. Hampir semua orang tertawa melihat kejadian itu.

"Jangan! Mbak Gita duduk saja, ya? Nanti saya pasti ke sana," kata Faza. Gita memandang
Faza dengan ragu.

"Nanti bohong! Ustadz-ustadz di sini sukanya bohong sama aku. Bilangnya mau sama aku,
tetapi malah nyiksa aku," gerutu Gita.

"Kamu siapa?" tanya Faza dengan tenang, atau paling tidak mencoba untuk tetap tenang.

"Aku Kirana Hapsari Pancarini, biasa dipanggil Kirana."

"Halah, bohong!"

"Sumpah! Asli! Aku nggak bohong, Mas Faza!"

"La, kok kamu tahu namaku?"

Gita tersenyum penuh makna. Dia maju lagi mendekati Faza.


"Hei, stop!" seru Faza sambil melambaikan tangannya pada Gita, agar Gita menjauh atau
paling tidak menghentikan langkahnya. Gita malah tersenyum menggoda Faza dan Gita
malah semakin mendekati Faza sambil berlari.

"Mas Faza! Ayo, sini dengan Kirana saja!" teriak Gita yang dirasuki jin bernama Kirana. Dia
berhasil mendekati Faza, untunglah Faza segera berkelit dan bersembunyi di belakang ustadz
yang lain.

"Huh! Tuh, kan, Mas Faza juga bohong sama Kirana. Katanya mau sama Kirana ...." Gita
mencebik. Semua orang di ruangan terapi ruqyah itu tertawa.

"Kan, aku sudah bilang, nanti aku akan ke tempatmu. Nah, kalau kamu lari duluan
mendekatiku, ya, berarti aku nggak jadi mau," kata Faza.

Gita mencebik. Dengan terpaksa Gita duduk di tempatnya lagi sambil menggerutu. Setelah
aman, Faza pun mendekati Gita. Wajah Gita berbinar-binar penuh harap.

"Sini! Sini!" bisik Gita. Dia menyuruh Faza duduk di sampingnya.

"Ngaji, ya?" tanya Faza. Gita menjengit.

"Nggak mau! Emoh! Janjinya tadinya nggak ngaji, lho!" teriak Gita. Dia merengut dan
membuang muka.

Faza tertawa kecil dan mulai bertilawah. Awalnya Gita terlihat biasa saja. Dia masih
cemberut dan merengut, tetapi lama kelamaan Gita mendesis dan meringis kesakitan. Gita
mulai mengaduh dan marah-marah pada Faza. Dia mulai menghadap ke arah Faza sambil
menujuk-nunjuk dan menggerutu ke arah Faza.

"Berhenti! Berhenti! Sudah cukup! Jangan ngaji lagi!" teriak Gita sambil menggertakkan
gerahamnya.

Faza diam saja, dia nampak tidak peduli. Kemarahan jin di dalam tubuh Gita memuncak dan
dalam sekejap, Gita menyerang Faza dan menindihnya dengan sekuat tenaga.
**

Pria itu tersenyum geli. Dia menutup telponnya.

"Arum Sari? Kenapa aku belum pernah dengar tentang buaya putih di sana, ya?" kata pria itu
dengan geli. Dia tertawa kecil dan merenung sebentar.

"Ah, ya, kasus ini akan menarik sepertinya. Apalagi kalau ada orang-orang berambut panjang
itu. Ah, pasti akan ada banyak ledakan emosi di sini," gumam pria itu.

Seorang pria muncul dari balik pintu dengan wajah keheranan.

"Kenapa, Fik?"

Pria itu menoleh ke arah pria yang muncul dari balik pintu. Dia tersenyum.

"Nggak papa, Rul. Tadi Faza menelponku dan menceritakan tentang siluman buaya putih di
Arum Sari. Kamu pernah dengar tentang hal itu?"

"Siluman buaya putih?"

"Iya. Biar saja, Rul. Mereka akan ke sini dan menjelaskan semuanya."

**
Bab 5

"Kamu menggangguku terus dengan mantramu itu. Maka aku akan memakanmu. Aku akan
memakanmu sampai habis, sehingga kamu tidak bisa menggangguku lagi!" Gita berteriak-
teriak histeris. Dia mencekik Faza.

Faza berusaha untuk tetap tenang dan melantunkan ayat ruqyah dalam hati. Gita semakin
histeris dan hendak mencekik Faza semakin kuat lagi, tetapi lama kelamaan cekikan Gita
semakin melemah dan Faza menggunakan kesempatan itu untuk mendorong Gita, sehingga
Gita setengah terlempar ke tengah ruangan.

Faza mencebik. Dia benar-benar marah sekarang.

"Merepotkan sekali!" seru Faza. Dia segera memakai sarung tangannya, bertaawudz dan
mendekati Gita.

"Sabar, Za," kata seseorang yang berdiri tidak jauh dari Faza. Faza menoleh dan mengangguk
pada orang itu.

"Insya Allah, Pak," jawab Faza, tetapi wajah Faza terlihat tidak ingin bersabar. Dengan wajah
marah Faza mendekati Gita yang terbaring kesakitan. Dan demi melihat wajah Faza yang
merah, Gita pun langsung berdiri dan hendak melarikan diri.

"Mau apa kamu?" tanya Gita.

"Aku akan memastikan bahwa kamu segera keluar dari tubuh Mbak Gita."

"Aku Gita!"

Faza diam saja, dia tersenyum samar dan tanpa banyak bicara Faza mendekati Gita. Gita
semakin histeris, dia terus berusaha melarikan diri, tetapi dicegah oleh beberapa ustadzah
yang memegangi Gita. Faza segera memegang --setengah mencengkeram-- tengkuk Gita dan
membacakan ayat ruqyah dengan lantang.
"Jangan! Jangan bakar aku, Ust! Aku kapok, Ust!"

Faza diam tak terpengaruh oleh teriakan-teriakan minta ampun dari Gita. Faza benar-benar
muntab dan tak dapat menahan emosinya lagi. Dia menggertakkan rahangnya kuat-kuat untuk
menahan dirinya agar tidak melakukan tindakan kasar pada wanita di depannya.

"Istighfar, Za. Semua kemarahanmu terjadi karena godaan jin itu juga. Kamu percaya hal itu,
kan? Jangan lupa, Za, jin itu adalah pencipta tipu daya nomor satu di dunia ini." Sebuah
usapan halus di bahu Faza membuat Faza terlonjak kaget. Dia memandang ke arah Gita
dengan pandangan tajam dan dingin.

"Istighfar, Za, kalau tidak maka sebentar lagi kamu yang akan diruqyah."

Faza menjengit mendengar bisikan itu. Dia memejamkan matanya dan mengembuskan napas
panjang dan akhirnya melepaskan cengkeramannya pada tengkuk Gita. Gita tersungkur jatuh.
Gita menunduk dan sama sekali tidak berani mendongak. Sepertinya jin yang ada di dalam
tubuh Gita tahu kalau Faza benar-benar marah dan tidak sedang main-main.

"Bagus. Pelan-pelan, Za. Ambil napas dalam-dalam dan istighfar dengan sungguh-sungguh.
Minta ampunan pada Allah karena kamu belum bisa memenej perasaanmu. Kamu sekarang
ketua tim ruqyah. Ujian pertamamu adalah ujian kesabaran. Aku tahu kamu akan sedikit
emosi dan kamu harus bisa mengatur emosimu, itu, Nak."

Faza menoleh dan tersenyum pada seorang pria sepuh yang memberinya nasihat tadi. Pria itu
memiliki wajah yang hampir mirip dengan Faza. Kulitnya gelap dan rambutnya panjang dan
tertata rapi, bedanya pria sepuh itu lebih kecil dibandingkan Faza. Pria itu adalah Fadli, bapak
Faza. Faza mengangguk pada bapaknya.

"Insya Allah, Pak. Maafkan aku yang tidak bisa menahan emosiku," kata Faza. Dia
tersenyum. Fadli membalas senyum itu dengan lembut.

"Sabar, Za."

"Nggih, Pak. Insya Allah."


"Siap meruqyah lagi?"

Faza mengangguk dan mendekati Gita lagi. Faza mulai membacakan ayat ruqyah yang
dimulai dari surah Alfatihah sebanyak tujuh kali. Kemudian dilanjutkan dengan surah
Albaqoroh yang sudah dihafal Faza sejak dulu. Faza membaca runtut ayat demi ayat surah
Albaqoroh. Gita masih terus menunduk. Gita tidak lagi banyak bergerak atau berteriak-teriak.
Kadang Gita hanya mendesis kesakitan, kadang dia sedikit mendongak memandang Faza
penuh kemarahan, tetapi Faza tidak peduli.

Faza terus membacakan surah Albaqoroh hingga mencapai ayat seratus dua. Pada saat Faza
mengulang ayat itu beberapa kali, Gita mulai menggeliat kesakitan. Gita mulai meminta
ampun.

"Ustadz, jangan putus sihir kami! Jangan, Ustadz!" Gita mulai berteriak-teriak dan
menggeram marah.

"Ustadz!" teriak Gita histeris. Dia menutup kedua telinganya.

"Sudah, Ustadz! Sudah! Saya minta ampun, Ust! Saya minta maaf."

"Kamu siapa, Ndhuk?" tanya Fadli yang sekarang duduk di samping Faza.

"Aku Kirana, Ust. Aku tidak bohong," kata Gita sambil bercucuran air mata, "aku disuruh
Bajul Seto untuk menenggelamkan wanita ini ke danau, tetapi aku gagal dan aku belum
sempat keluar dari tubuh wanita ini."

Gita terdiam dan terisak. Faza dan Fadli berpandangan. Beribu tanya terlihat di wajah mereka
berdua dan tanya juga terlihat pada wajah orang-orang yang lain.

"Kenapa kamu gagal menumbalkan wanita ini, Kirana?"

"Dia punya sesuatu. Entah apa aku tidak tahu. Aku tidak kuat melawan kekuatan itu," jawab
Kirana. Dia mendongak memandang Faza dengan sedikit takut.
"Kekuatannya sama seperti kekuatan milik Ustadz tadi," bisik Gita. Faza tersenyum tipis.
"Lalu kenapa kamu tidak bisa keluar dari tubuh wanita itu?" tanya Fadli lagi. Gita menunduk
dalam-dalam. Dia menggeleng pelan. Fadli dan Faza berpandangan, mereka tersenyum geli.

"Kamu takut Bajul Seto akan menghukummu, kan?" tanya Fadli menggoda. Gita sedikit
mendongak dan memandang Fadli dengan kesal. Fadli tertawa terbahak melihat kekesalan
Gita.

"Aku benar, kan?" tanya Fadli lagi. Gita mencebik dan memalingkan mukanya dari Fadli.

"Kamu anak buah dari Bajul Seto?" tanya Faza. Gita melirik Faza dan mengangguk kesal.

"Aku tidak akan bicara lagi!" seru Gita kesal. Faza mengangguk.

"Bagus kalau begitu. Keluar dari tubuh Mbak Gita, ya?" Gita mendelik marah. Dia
menggeleng kuat-kuat, tetapi Faza tak peduli. Dia terus berteriak melawan ayat ruqyah yang
dibacakan Faza tanpa kenal lelah.

"Sudah, Ustadz! Sudah! Aku akan keluar dari tubuh wanita ini," kata Gita lemah, "sekarang
aku kalah, tetapi aku akan membalasmu, Mas Faza. Kita akan bertemu sebentar lagi ...
sebentar lagi!"

Gita tersengal. Wajahnya nampak kesakitan dan Gita pun muntah-muntah. Wajah Gita pucat
pasi dan kemudian Gita tertidur lelap.

Semua bernapas lega setelah Gita tertidur lelap. Sepertinya jin di dalam tubuh Gita sudah
keluar.

Fadli menepuk-menepuk bahu Faza. Mereka tersenyum lega.

"Kamu tidak takut dengan ancaman jin tadi, kan?" tanya Fadli. Faza menggeleng.
"Insya Allah tidak, Pak. Faza malah senang sekali dan tak sabar ingin menemui Kirana lagi,"
jawab Faza. Fadli dan Faza tertawa. Ah, ya, kehidupan mereka sebagai peruqyah sudah
kembali normal seperti dulu.

**
Faza sangat terkejut ketika dia disambut oleh air mata Rosalina, istri Faza, di rumahnya. Faza
sangat terharu melihat Rosalina yang terlihat sangat sedih sambil menggendong anak mereka
yang belum lagi berumur satu tahun.

Faza tersenyum waswas, dia segera menggendong Ezra, anaknya. Rosalina tersenyum di
balik air matanya.

"Kenapa, Ndhuk?" tanya Faza.

"Ustadz jangan pergi-pergi dulu, ya, Ust. Rosalina hamil lagi."

**
Bab 6

Aina diam. Dia tahu sebentar lagi ibunya akan memarahinya, tetapi ternyata tidak terjadi apa-
apa. Ibu Aina diam saja, dia memandang Aina dengan penuh kasih pada Aina.

"Kalau itu memang yang kamu mau, pergilah, Nduk. Ibu tidak bisa melarangmu," kata Ibu
Aina yang bernama Palupi itu dengan lembut.

Aina membeliak tak percaya. Dia memandang ibunya dengan keheranan.

"Tidak apa-apa, Bu?"

Palupi menggelengkan kepalanya. Dia tersenyum.

"Tidak apa, Ndhuk. Pergilah. Pesan ibu hanya satu yaitu jangan terlalu percaya dengan apa
yang kamu lihat, Na. Karena kadang yang kamu lihat belum tentu hal yang nyata. Itu saja,
Na," kata Palupi.

Aina memandang ibunya dengan takjub. Aina sebenarnya ingin bertanya kenapa ibunya
memperbolehkannya pergi ke Arum Sari begitu saja, tetapi Aina mengurungkan niatnya.
Palupi mengangguk dan tersenyum ketika melihat wajah heran Aina.

"Ajaklah Tri bersamamu. Paling tidak untuk menemanimu dan bisa juga untuk
membantumu," kata Palupi. Aina semakin membeliak tak percaya. Wajahnya nampak
berbinar.

"Benarkah, Bu?"

"Iya. Pergilah. Semoga apa yang kamu inginkan akan segera terwujud," jawab Palupi. Dia
memeluk Aina erat. Aina merasa agak aneh dengan tingkah laku ibunya. Dia memeluk
ibunya dengan haru, seakan akan berpisah dengan ibunya.

Ah, Aina merasa ada setitik firasat buruk dalam perpisahan ini.
**
Dua hari kemudian Aina dan Tri --asisten rumah tangga ibunya-- berangkat menuju ke Arum
Sari yang ada di Kabupaten Karang Legi. Aina menaiki bis malam yang akan membawanya
menuju ke Karang Legi.

Di dalam bis Tri langsung tertidur lelap, Aina tersenyum geli. Tak heran, sepertinya Tri
memang kelelahan karena setiap hari Tri memang harus membantu ibunya di rumah. Aina
membuka HP-nya. Dia membuka pesan di HP-nya itu dan untuk kemudian Aina tenggelam
dalam dunianya sendiri.

"Mau ke mana, Mbak?" Aina terlonjak kaget dan melihat seorang wanita setengah baya yang
duduk di depannya, menoleh ke belakang dan bertanya pada Aina. Aina tersenyum ramah.

"Saya mau ke Karang Legi, Bu," jawab Aina sambil tersenyum, "ibu mau ke mana, Bu?"
tanya Aina basabasi.

"Saya juga mau ke Karang Legi. Ke Arum Sari."

Aina melongo dan membeliak tak percaya.

"Arum Sari, Bu? Wah kebetulan sekali, saya juga mau ke Arum Sari, Bu," kata Aina. Ibu
yang ada di depannya tersenyum lebar.

"Wah, sama berarti, Mbak. Arum Sarinya, mana, Mbak?"

Aina tidak bisa menjawab. Dia tidak tahu dia akan mengunjungi Arum Sari sebelah mana
atau nama daerahnya apa. Aina tersenyum malu, dia menggelengkan kepalanya.

"Saya tidak tahu nama derahnya, Bu."

Ibu itu tersenyum.

"Mau ke rumah kuncen Makam Gading Rejo? Ki Tanjung Kumoro, ya?" tanya ibu itu begitu
saja, membuat Aina sekali lagi terlonjak kaget dan kemudian tersipu malu. Sang Ibu tertawa.
"Njih, Bu," jawab Aina lirih. Ibu itu mengangguk.

"Nggak usah malu, Mbak. Nanti saya antarkan," kata ibu itu lagi.

"Benarkah, Bu?"

"Iya, Mbak. Semua orang kenal dengan Ki Tanjung Kumoro, kuncen Makam Gading Rejo,"
jawab sang ibu dengan senyum merekah, "sudah bawa bekalnya, Mbak?"

Aina terlonjak lagi. Dia kebingungan dan menggelengkan kepalanya. Aina menelan ludah
panik.

"Ini pertama kali saya pergi ke Arum Sari, Bu," jawab Aina polos. Sang Ibu tertawa.

"Jangan khawatir, Mbak. Saya membawa sebuntal kecil bunga untuk syarat mengunjungi Ki
Tanjung Kumoro. Ini, Mbak. Dibawa saja," kata Sang Ibu sambil memberikan sebuah
buntalan kertas kecil berwarna putih yang berbau yang sangat harum. Aina menerima
buntalan bunga itu dengan agar ragu.

"Ini ... ini ... untuk saya, Bu?"

"Njih, Mbak. Tidak apa-apa. Biasa, kok, kalau pengunjung pertama biasanya tidak tahu kalau
harus membawa kembang setaman," kata ibu itu sambil tersenyum lebar.

Aina berterima kasih tanpa henti. Sang Ibu tersenyum sambil mengangguk dan mengiyakan
Aina, kemudian Sang Ibu pun minta izin untuk tidur.

Aina mengangguk. Dia terenyak karena lupa menanyakan nama Sang Ibu. Aina tersenyum,
ah, dia masih punya kesempatan. Dia bisa menanyakan nama sang ibu nanti saja. Aina pun
memutuskan untuk tidur saja, karena perjalanannya memang masih sangat panjang.

**
"Mbak Aina! Mbak Aina! Bangun, Mbak."
Aina sangat terkejut dan membuka matanya. Aina sangat terkejut ketika menyadari bahwa bis
yang dinaikinya sudah berhenti di sebuah rumah makan. Tri tersenyum menyambut Aina.

"Istirahat dulu, makan dan ke kamar mandi dulu, Mbak," kata Tri. Aina mengangguk dan
menggeliatkan tubuhnya.

"Ibu yang duduk di depan kita sudah turun, Tri?" tanya Aina.

Tri mengerutkan keningnya, dia nampak keheranan.

"Mbak ... kita duduk di depan sendiri, lo," kata Tri dengan keheranan. Aina menjengit
mendengar jawaban Tri.

Aina menengok ke kanan dan ke kiri dan ternyata jawaban Tri benar. Di depan tempat duduk
mereka tidak ada tempat duduk lagi. Aina menelan ludah. Dia merasakan rasa dingin
merambati punggungnya dan Aina ingat pada buntalan kertas yang diberikan ibu tadi. Aina
langsung membuka tasnya dan menemukan buntalan kertas berbau wangi tadi. Aina
membuka buntalan itu dan melihat aneka rupa bunga yang berbau sangat harum dan terkesan
agak menyeramkan. Entah mengapa.

Tri bergidik.

"Ih! Apa sih, itu Mbak?" tanya Tri sambil terus bergidik. Mereka berpandangan.

"Apa itu, Mbak?" tanya Tri lagi. Aina menggelengkan kepalanya.

"Aku juga tidak tahu, Tri."

**

Pria itu bernama Fiki. Saat ini Fiki tersenyum geli. Ketika melihat orang-orang dari Pesantren
Ruqyah Karang Pandan keluar dari mobil itu di depan Pesantren Ruqyah Karang Legi. Fiki
sedang berhitung dalam hati.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan ... ah, ada yang tidak ikut rupanya,"
gumam Fiki.

Fadli tersenyum pada Fadli. Fiki menyambut Fadli dan mencium tangan Fadli.

"Wah, perjalanan panjang, njih, Pak? Monggo istirahat dulu, Pak," sambut Fiki pada Fadli,
bapak mertuanya. Fadli mengangguk.

"Mana Salma dan anak-anak, Ust?"

Fiki menoleh.

"Sebentar lagi mereka akan ke sini, Pak. Saya tadi sudah bilang kalau bapak akan segera
sampai. Oh, ya, Faza tidak ikut, Pak?" tanya Fiki pada Fadli.

Semua rombongan yang baru datang tertawa membuat Fiki juga ikut tertawa.

"Rosalina hamil lagi, Ust. Sepertinya Faza belum ikut ekspedisi ini," kata seorang pria yang
berambut panjang digelung di belakang kepalanya. Pria itu menyalami Fiki. Mereka
berpelukan.

"Wah, ternyata begitu, ya, Mas Naim?" tanya Fiki. Pria bergelung kecil yang dipanggil Naim
mengangguk.

"Sepertinya Faza tidak ingin ketinggalan dengan Ustadz Fiki," jawab Naim. Semua orang
tertawa. Fiki juga tertawa, dia segera mempersilahkan tamunya masuk ke dalam.

Sayangnya mereka melewatkan sepasang mata yang mengamati mereka dari pucuk pohon di
depan pesantren.

**
Bab 7

Maheswara atau Ewa memakai cincin yang diberikan Ayu padanya. Ah, cincin itu pas sekali
di jari manisnya. Ewa melihat cincin itu berulang kali. Cincin itu begitu sederhana, terbuat
dari emas putih dan sebuah permata warna merah yang tertanam di dalam cincin itu.

Entah kenapa setelah memakai cincin itu, Ewa merasa begitu percaya diri. Dia tersenyum
sendiri di depan cermin di kamar kosannya dan tersenyum geli. Aduh, kenapa dia terlihat
begitu tampan. Ewa mengelus rambutnya dan kilau wajah Ewa terlihat begitu nyata.

Aduh, tampannya!

Ewa tak bisa menghentikan senyumnya. Dia benar-benar terlihat sangat tampan dan
menawan. Ewa yakin, orang-orang pasti akan terpesona pada dirinya.

"Ah, aku akan mencoba pesonaku ini," gumam Ewa sambil tersenyum. Dia segera memakai
jaketnya dan keluar rumahnya. Ewa berniat akan menuju ke sebuah swalayan kecil di depan
kosannya sebelum berangkat ke Arum Sari. Ewa akan membeli kopi dan gula untuk menahan
kantuk nanti malam. Dia tidak ingin tertidur dan mengompol lagi ketika menemani Tanjung
Kumoro melakukan ritual, seperti beberapa waktu yang lalu. Ah, kalau ingat itu, dia sangat
malu.

Ewa terpaksa menghentikan lamunannya karena dia sudah sampai di swalayan depan
kosannya. Ewa masuk dengan langkah berdebar. Ewa menunggu dengan harap-harap cemas
dengan apa yang akan terjadi dan penasaran apakah orang-orang akan terpesona dengan
dirinya atau tidak.

Ewa berusaha melangkah dengan santai di selasar swalayan kecil itu. Dia mencari kopi instan
dan gula untuk bekalnya membantu Tanjung Kumoro nanti malam.

Ewa membungkuk untum mengambil beberapa saset kopi dan gula pasir. Dan ketika dia
berdiri kembali, Ewa melihat beberapa wanita bergerombol dan berbisik-bisik di selasar
samping Ewa. Ketika Ewa melihat dengan penasaran ke arah wanita-wanita itu, para wanita
itu langsung membalikkan tubuh mereka dan berpura-pura sedang melakukan hal lain. Ewa
keheranan, tetapi juga nyaris tertawa geli karena Ewa sadar bahwa sepertinya cincin yang
diberikan Ayu sudah memberikan pengaruhnya.

Dan ketika berada di depan kasir, sekali lagi Ewa dibuat terkejut dengan senyum menggoda
Sang Kasir untuknya. Ewa membalas senyum itu dengan malu.

"Sedikit sekali belanjanya, Mas? Mau ke mana?" tanya kasir itu dengan genit. Ewa agak
terkejut dengan pertanyaan itu. Ewa tersenyum malu.

"Iya, Mbak. Saya hanya beli kopi untuk bergadang nanti malam," jawab Ewa.

"Wah, mau bergadang, ya, Mas? Saya tambahi rokok, ya, Mas? Masnya suka rokok apa?"
tanya kasir itu dengan genit.

Ewa membeliak panik. Dia sengaja tidak membeli rokok, karena memang dia tidak memiliki
uang untuk membeli rokok. Ewa menggeleng.

"Tidak usah, Mbak," jawab Ewa tergesa. Kasir itu tersenyum geli.

"Nggak usah bayar, Mas. Saya kasih, kok. Atau Masnya nggak ngerokok? Saya tambahi
cemilan saja, ya?" tanya kasir itu lagi. Ewa menelan ludah. Hati Ewa bersorak kegirangan.
Sekarang dia benar-benar yakin dan percaya kalau cincin yang dipakainya memang benar-
benar berkhasiat.

"Nggak usah, Mbak. Malah jadi merepotkan Mbaknya," jawab Ewa pura-pura menolak,
sekali lagi kasir itu tersenyum genit.

"Nggak repot, Mas. Tunggu sebentar, ya?" kata kasir itu. Sang kasir itu menghilang dan
kembali lagi ke belakang meja kasir sambil membawa beberapa bungkus rokok, cemilan dan
juga mi instan. Sang Kasir segera memasukkan barang-barang itu ke dalam tas belanjaan
milik Ewa. Ewa membeliak tak percaya melihat apa yang dilakukan kasir itu.

"Boleh minta nomornya, Mas?" tanya kasir itu.


"Nomor apa, Mbak?"

"Nomor HP, Mas. Biar saya isi pulsa atau kuota. Biar nanti Masnya tidak mengantuk ketika
bergadang."

Ewa membeliak tak percaya. Dia terdiam dan mengangguk pasrah. Ah, Ewa tertawa dalam
hati, ketika dia pasrah memberikan nomor HP-nya pada kasir swalayan kecil itu. Ah, Ewa
merasa iba pada kasir itu, tetapi dia sama sekali tidak menolak perhatian berlebihan yang
diberikan kasir itu.

"Ini untuk beli bensin, ya, Mas," kata Sang Kasir sambil menyelipkan selembar uang
berwarna merah di tangan Ewa, ketika dia memberikan kembalian Ewa.

Ewa diam dan membeku di tempatnya. Dia merasa sangat bersalah dan berhutang budi pada
kasir itu. Sehingga Ewa merasa dia harus membalas budi baik Sang Kasir. Ewa
mencondongkan tubuhnya dan berbisik pada Sang Kasir.

"Terima kasih, ya, Mbak. Namanya siapa, Mbak? Nanti malam telepon saya, ya, Mbak?"
tanya Ewa asal.

Kasir itu tersenyum malu. Pipinya merona merah dia mengangguk dengan sepenuh hatinya.

"Saya Kiki, Mas. Ya, nanti pasti saya hubungi," jawab Kiki dengan wajah merah padam
karena malu dan memandang Ewa tanpa kedip sampai Ewa hilang dari pandangannya.

Hati Ewa berkembang hingga seperti akan meledak saking bahagianya. Ewa tersenyum tanpa
henti dan ketika sampai di kosannya, dia bertambah senang, ketika melihat tas belanjaannya
yang penuh dengan kopi, susu, camilan dan mi instan. Ewa merasa kaya raya melihat banyak
makanan yang dimilikinya. Ewa menyimpan makanannya itu dan hanya membawa sedikit
bekal saja.

Ewa membuka HP-nya dan lebih terkejut lagi ketika menyadari bahwa pulsanya sudah
bertambah seratus ribu dan uangnya pun bertambah seratus ribu. Ewa merasa lega dan sangat
bahagia. Dia telah membuktikan bahwa cincin yang dipakainya telah benar-benar
menunjukkan khasiatnya.

[Nah, sekarang percaya, kan kalau aku berkhasiat?]

Ewa terperanjat mendengar bisikan yang terdengar sangat dekat dengan telinganya. Ewa
menoleh ke kanan dan ke kiri, dia sendirian. Tidak ada seorang pun yang berada di dalam
kamar Ewa dan mengajaknya berbicara.

[Tidak usah mencari kemana-mana, Wa. Aku ada di dekatmu.]

Terdengar suara tawa mengejek dari dalam kepala Ewa. Sekali lagi Ewa menoleh ke kanan
dan ke kiri, dan tetap saja Ewa tidak menemukan siapapun di kamarnya.

[Ewa ... Ewa ... kamu memang lugu. Aku adalah cincinmu. Aku adalah Ayu yang kamu
temui kemarin.]

Ewa membeliakkan matanya lebar-lebar. Jantungnya berdebar keras. Ayu!

[Jawablah aku, Wa. Kita bisa berkomunikasi dengan cara ini, Wa.]

Ewa menelan ludah takut. Dia merinding, tetapi juga penasaran dan ingin mencoba apa yang
didengarnya di dalam kepalanya. Ewa berdeham.

"Ayu?"

[Njih, Mas Ewa.]

Ewa terlonjak kaget. Dia sangat senang mendengar jawaban dari dalam kepalanya. Rupanya
dia memang bisa berkomunikasi dengan cara itu.

"Ayu? Ternyata cincin yang kamu berikan memang luar biasa sekali."
[Jelas, dong! Yang kamu dapatkan masih sedikit sekali, Mas Ewa. Sekarang bangunlah, kita
harus ke Arum Sari. Nanti kuberitahu apa yang harus Mas Ewa lakukan.]

Ewa mendengarkan dengan seksama dan segera mematuhi perintah Ayu tanpa banyak tanya
dan dalam waktu kurang dari setengah jam dia sudah berada di jalan raya menuju Arum Sari.

**
Bab 8

Ewa sampai di rumah Tanjung Kumoro menjelang malam. Dia segera membersihkan rumah
gelap itu dan menyiapkan semua perlengkapan untuk ritual malam itu. Ewa menyiapkan
menyan, kembang setaman dan sesaji untuk ritual malam itu.

"Wa, cepat sedikit!" teriak Tanjung Kumoro. Ewa berdecak kesal.

"Ya, sebentar, Paman. Aku sedang berjalan ke makam," jawab Ewa dan terburu-buru
membawa semua perlengkapan itu menuju ke Makam Gading Rejo.

Ewa menyala beberapa lampu lima watt yang ada di sekitar makam itu. Ewa segera menata
sesaji, menyan dan kembang setaman di dekat makam. Dia menyalakan menyan, sehingga
asap putih mulai menyelubungi makam remang-remang itu. Ewa segera menyapu lantai
makam yang sudah dikeramik indah itu. Kemudian Ewa mulai menyiapkan beberapa gelas
kosong untuk digunakan sebagai sesaji. Gelas pertama diisi air putih dari kendi yang berada
di dekat makam. Air yang keluar dari kendi tersebut berwarna agak kehijauan, karena
sepertinya kendi itu sudah agak berlumut. Gelas kedua diisi dua sendok bubuk kopi. Gelas
ketika diisi dua sendok teh. Gelas keempat diisi lima batang rokok. Gelas kelima diisi
dengan tembakau mentah. Semuanya ditata rapi di dalam tampah besar berisi sesaji aneka
jajan pasar yang nampak lezat menggiurkan.

Ewa tersenyum, dia teringat aneka rupa makanan yang disimpannya di kosannya. Ewa geli.
Ah, dia tak sabar ingin segera pulang dan menebar pesonanya lagi dan Ewa akan
mendapatkan banyak uang, makanan dan mungkin juga sedikit cinta. Ewa tersenyum geli
lagi.

Ewa mendengar tawa cekikikan di belakangnya. Ewa terkejut dan buru-buru menoleh dan
melihat dua wanita yang cekikan di belakangnya. Dua wanita itu memakai jaket dan sweater
tebal. Mereka terlihat cantik dengan riasan yang tebal. Ewa terpesona pada kecantikan
mereka berdua, sebagaimana kedua wanita itu juga tertarik pada Ewa.

Ewa tersenyum malu. Dia menyesal hanya memakai jaket kumal berwarna biru tua dan
celana warna hitam. Ewa merasa dia terlihat sangat buruk rupa, tetapi reaksi dua tamu wanita
yang datang malam itu adalah kebalikannya. Dua wanita itu nampak sangat terpesona dan
malu-malu pada Ewa.

Ewa berusaha bersikap biasa saja dan segera mempersilahkan wanita itu masuk ke lokasi
makam yang sudah ditata rapi oleh Ewa. Kedua wanita itu diminta Ewa untuk memakai kain
kotak hitam putih sebagai lapisan rok mereka. Kedua wanita itu menerima kain dari Ewa
sambil tersenyum menggoda.

Ewa hanya tersenyum samar. Dia berusaha menyembunyikan debar di dadanya, karena sekali
lagi terbukti bahwa cincin yang diberikan Ayu terbukti khasiatnya.

**

Ritual malam itu berjalan dengan lancar, bahkan terbilang sangat lancar. Bahkan Ewa
berhasil mendapat dua nomor HP dari dua pengusaha besar di ibu kota yang cantik jelita tadi.
Ewa tersenyum puas. Ewa sekarang benar-benar yakin bahwa cincin itu memang sangat
berkhasiat.

[Sekarang saatnya kita beraksi.]

Ewa membeliak terkejut mendengar bisikan Ayu itu lagi.

"Beraksi? Bukankah kita sudah beraksi tadi?"

Terdengar tawa yang membuat kepala Ewa berdenyut liar.

[Itu, kan hanya hal kecil, Mas Ewa. Sekarang kita lakukan hal yang besar. Tujuan kita yang
sebenarnya.]

Ewa mengerutkan keningnya.

"Hal besar apa?"

[Ckck! Ewa ... Ewa ... kamu masih belum paham juga, Mas?]
Ewa mengembuskan napas panjang. Dia merasa lelah karena Ayu --yang berada di dalam
kepala Ewa-- tidak menerangkan secara jelas apa maunya. Ewa mencebik.

"Maumu apa, Yu? Coba jelaskan yang benar," kata Ewa sebal. Ayu tertawa lagi, sekali lagi
membuat kepala Ewa pusing tak terkira.

[Baiklah, kuberitahu padamu apa sebenarnya tujuan kita ....]

**

"Gita datang ke Arum Sari untuk berkunjung ke rumah saudaranya. Arum Sari bukan tempat
yang asing bagi Gita, Ust, tetapi ketika hari itu Gita merasa bahwa Arum Sari terlihat agak
berbeda. Dan Gita melihat kolam dan air terjun di salah satu rumah penduduk. Entah kenapa
Gita merasa sangat ingin berenang di kolam itu. Gita tidak mengingat semua yang dialaminya
di Arum Sari, karena dia hanya teringat ketika dia hendak tenggelam di kolam itu. Waktu itu
Gita merasa sangat panik dan berusaha berenang ke permukaan kolam, dan kemudian Gita
melihat buaya putih itu ...."

"Foto ini? Apa Gita yang sudah keluar dari kolam kemudian mengambil foto ini? Apa
kolam itu nyata, Ust? Apa ada orang lain yang bisa melihat kolam itu selain orang yang akan
dijadikan tumbal?"

Semua orang terdiam dan memandang ke arah Fiki, yang nampak memeriksa foto yang
dibawa Iqbal itu dengan seksama. Fiki mengembalikan foto itu pada Iqbal dengan senyum
bersalah karena telah memotong cerita Iqbal tentang pengalaman Gita.

"Apakah Gita sudah kembali ke rumahnya, Ust?" tanya Fiki. Semua orang dari pesantren
ruqyah Karang Pandan mengangguk. Fiki ikut mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keningnya berkerut dan kemudian dia tersenyum.

"Ah, saya tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi ada baiknya kita segera mengunjungi Arum Sari
...." Fiki bergumam pelan, kemudian dia menoleh ke arah Iqbal dan tersenyum.
"Maafkan saya telah memotong cerita panjenengan. Monggo dilanjutkan ceritanya, Ust," kata
Fiki sambil tersenyum pada Iqbal.

Iqbal tersenyum dan mengangguk.

"Njih, Ust. Jazakallah," kata Iqbal, dia kemudian melanjutkan ceritanya tentang pengalaman
Gita lagi.

"Gita melihat buaya putih yang mendekatinya. Kata Gita buaya itu tersenyum padanya dan
mengatakan bahwa Gita harus menemui seseorang bernama Ki Tanjung Kumoro dan setelah
itu buaya putih menghilang dan Gita pingsan. Dan ketika bangun, Gita sudah berada di rumah
bidan Arum Sari dengan baju basah kuyup." Iqbal tersenyum.

"Setelah itu Gita mulai mengalami gangguan jin. Gita sering berhalusinasi dan mulai diajak
berbicara dan disuruh melakukan sesuatu oleh sosok yang tak jelas wujudnya dan dia sering
mengalami kerasukan, sehingga Gita datang ke pesantren ruqyah dan kami sudah
meruqyahnya."

Semua terdiam dan menunggu. Iqbal mengangkat bahu dan tertawa geli.

"Ceritanya sudah selesai, Ust," kata Iqbal dengan menahan tawa geli. Semua orang tertawa.

"Jadi?"

"Yah, kami ke sini untuk mengunjungi Arum Sari dan ...."

"Dan mengunjungi Ki Tanjung Kumoro. Ya ... ya ... sepertinya saya pernah bertemu dengan
Ki Tanjung Kumoro ...." Fiki memotong dengan wajah setengah melamun. Fiki tersenyum.
Dia menoleh ke arah seorang pria yang secara fisik menyerupai dirinya. Tinggi, kurus dan
berwajah serius.

"Rul, kita sudah pernah bertemu dengan pria bernama Tanjung Kumoro itu. Dia lebih ngeyel
dibandingkan kita, Rul."
Bab 9

Pria yang dipanggil oleh Fiki menoleh dan mengerutkan keningnya.

"Benarkah? Di mana, Fik?"

"Di sini kok, Rul. Dia pernah kita ruqyah. Tetapi sepertinya memang dia belum ingin
melepaskan jin yang ada di dalam dirinya, sehingga jin itu kembali lagi padanya," jawab Fiki,
"ah, Ustadz Nurul Islam sepertinya lupa," lanjut Fiki sambil tertawa.

"Orangnya seperti apa, Ust?" tanya Iqbal pada Fiki. Fiki tertawa.

"Orangnya tinggi, besar, kulitnya agak gelap dan wajahnya menyerupai orang Timur Tengah.
Wajahnya galak sekali ...." Fiki nyaris tertawa.

"Sebenarnya agak mirip dengan Faza," lanjut Fiki. Dia tertawa kecil, apalagi ketika melihat
Faza terkesiap kaget. Beberapa orang ikut tertawa tertahan.

"Oh ... aku ingat sekarang!" teriak pria yang dipanggil 'Rul' oleh Fiki. Perkataan pria bernama
Nurul Islam itu membuat semua orang terkejut.

"Apakah memang benar mirip saya, Ust?" tanya Faza penasaran. Nurul Islam tertawa. Dia
menggeleng.

"Menurut saya, sih tidak mirip. Hanya mirip bagian berkulit gelap dan tingginya saja, Ustadz
Faza. Tidak usah khawatir," jawab Nurul Islam geli. Faza terlihat bernapas lega. Fiki
terkekeh-kekeh.

"Berarti kamu sudah ingat dengan orang itu, Rul. Dia adalah orang yang cukup
menjengkelkan."

Nurul Islam mengangguk.


"Betul sekali. Kalau tidak salah dia sudah kita ruqyah beberapa kali, tetapi sepertinya
memang dia belum mau melepaskan jin di dalam tubuhnya, seperti katamu tadi, Fik." Mereka
berdua saling mengangguk.

"Mungkin kita perlu mengunjungi orang itu sekali waktu, Rul. Menemani tamu kita ke sana."
Nurul Islam mengangguk.

"Jauhkah Arum Sari dari sini, Ust?" tanya Faza.

"Tidak, Mas Faza. Hanya satu jam dari sini. Mungkin sekitar tiga puluh kilometer dari sini,"
jawab Nurul Islam.

"Bagaimana kalau kita ke sana besok, Ust?"

"Boleh. Kita kunjungi dulu saja rumah Ki Tanjung Kumoro dan kita lihat-lihat keadaan di
sana."

"Ki Tanjung Kumoro itu sebenarnya siapa, Ust?"

Fiki menoleh dan memandang Faiz, pria bermata sipit yang bertanya itu dengan tersenyum.

"Konon Ki Tanjung Kumoro adalah seorang juru kunci atau kuncen di Makam Gading Rejo,
Ust. Makam seorang bangsawan yang dulu membabat alas dan mendirikan Karang Legi.
Namanya Probo Roto. Makam Probo Roto digunakan untuk mencari berkah, mencari
pesugihan, pengasihan atau hal yang lainnya. Dulu penduduk Arum Sari pernah melaporkan
Ki Tanjung Kumoro pada polisi dan membawa Ki Tanjung Kumoro ke pesantren ruqyah,
karena Ki Tanjung Kumoro menimbulkan keresahan dan keributan dengan banyaknya tamu
yang datang ke rumahnya dan membuat warga desa merasa terganggu. Tetapi rupanya hal itu
belum membuat Ki Tanjung Kumoro jera. Hal itu sepertinya malah membuat Ki Tanjung
Kumoro semakin menjadi, terbukti dengan adanya buaya putih di Arum Sari sekarang."
Nurul Islam menggelengkan kepalanya dengan kesal.

"Ada-ada saja," lanjut Nurul Islam. Mereka berpandangan agak bingung, dan kemudian Fiki
memutuskan untuk membahas rencana perjalanan mereka ke Arum Sari.
Ah, Fiki dan Nurul Islam lupa, betapa berbahayanya perjalanan menuju ke Arum Sari.

**

[Masukkan cincin itu ke dalam gelas berisi air putih dari kendi di makam. Setelah lima menit,
ambil cincin itu dan berikan air dalam kendi itu kepada Ki Tanjung Kumoro, Mas Ewa, dan
kita lihat apa yang akan terjadi.]

Ewa terdiam. Dia menelan ludah.

"Benarkah?"

[Coba, yuk, Mas.]

Ewa menelan ludah, dia takut, tetapi juga penasaran dan akhirnya dia melalukan hal yang
dibisikkan Ayu di kepalanya. Ketika Ewa membereskan perlengkapan sesaji tadi malam, Ewa
memasukkan cincin yang dipakainya ke dalam gelas berisi air putih dan melihat apa yang
terjadi. Ternyata air berwarna kehijauan di dalam gelas itu perlahan menjadi bening dan
jernih, terlihat sangat menyegarkan.

Ewa segera mengambil cincinnya dan menyiapkan minuman itu untuk pamannya ketika
menyiapkan sarapan pagi itu. Ki Tanjung Kumoro nampak sangat puas dengan makanan
yang disiapkan Ewa. Tanjung Kumoro memakan makanan itu dengan lahap dan kemudian
meminum air putih yang disediakan Ewa.

Ewa menunggu dengan tegang. Tidak ada yang terjadi, sampai lima menit kemudian, ketika
Ki Tanjung Kumoro mendesis kesakitan. Dia memegangi perutnya dan dalam sekejap Ki
Tanjung Kumoro terjatuh ke lantai. Napas Ki Tanjung Kumoro tersengal dan darah mulai
keluar dari telinga, hidung, dan mulut Ki Tanjung Kumoro. Darah itu berwarna merasa cerah
dan berbusa.

Ewa mundur dengan sangat ketakutan. Ewa tidak menyangka bahwa dia sebenarnya hendak
memusnahkan pamannya sendiri. Ewa panik.
"Aku ... aku ... membuat pamanku meninggal?" tanya Ewa panik. Tubuhnya gemetaran.
[Bercerminlah.]

Ewa kaget dan saking takutnya dia tidak bertanya kenapa dia harus bercermin. Dia hanya
menuruti perintah Ayu dan segera menuju kamarnya untuk bercermin. Betapa kagetnya Ewa
ketika melihat pantulan bayangan di cermin yang memandang ke arahnya.

Ewa menelan ludah panik ketika melihat Ki Tanjung Kumoro memandangnya dari cermin
yang dilihatnya. Ewa menoleh. Tidak ada siapapun di belakangnya. Ewa mulai merinding.
Dia takut kalau hantu Ki Tanjung Kumoro mulai menerornya.

Ewa mencoba hal lain. Dia menggaruk rambutnya dan bayangan di cermin pun melakukan
hal yang sama dengan Ewa. Ewa terdiam. Ewa mengedipkan mata sebelah kirinya dan mata
pada di bayangan di cermin pun mengedipkan mata kanannya.

Ewa tercekat. Apakah dia menjadi Tanjung Kumoro atau ... atau hantu Tanjung Kumoro yang
terus menggodanya? Ewa memejamkan mata. Dia bingung dan lelah memikirkan apa yang
terjadi, sehingga Ewa keluar dari kamarnya dan sangat terkejut ketika menyadari bahwa di
lantai ruang makan sudah tidak ada Ki Tanjung Kumoro lagi. Bahkan noda darah yang tadi
keluar dari tubuh Ki Tanjung Kumoro pun sudah tidak hilang sama sekali.

[Kita berhasil, Mas Ewa!]

"Maksudmu apa?"

[Kita telah menyingkirkan Ki Tanjung Kumoro. Mas Ewa sekarang jadi Ki Tanjung
Kumoro ....]

"Apa? Aku tidak bisa ...."

[Nanti kubantu. Tenang saja, Mas.]

Ewa terdiam. Dia menggigit bibirnya.


"Jadi maksudmu aku sekarang jadi kuncen?" tanya Ewa pelan. Ayu tertawa terkikik.
[Betul sekali.]

"Apa yang harus kulakukan sekarang?"

[Yang harus Mas Ewa lakukan adalah menurut padaku dan mendengarkanku. Sebentar lagi
akan datang tamu kita yang pertama. Bersiaplah!]

Ewa terkesiap mendengar perkataan Ayu tadi. Ewa sekarang menjadi kuncen dan Ewa
menunggu dengan penuh rasa waswas tamu pertamanya. Ketika Ewa mendengar pintu depan
rumahnya diketuk, Ewa terlonjak kaget dan bergegas membukakan pintu rumah pamannya ...
oh, tidak pintu rumahnya ini.

Ewa kemudian melihat wanita paling cantik di dunia ini. Hidungnya kecil dan bangir, mata
wanita itu besar membelalak indah dan yang paling menarik adalah gigi wanita itu. Gigi
wanita gingsul dan gigi itu yang membuat Ewa langsung jatuh cinta pada wanita itu.

[Namanya Aina.]

Ayu tertawa lega. Dia telah membunuh Ki Tanjung Kumoro. Untung dia telah mengamati
ustadz-ustadz di pesantren ruqyah itu, karena Ayu tahu, mereka akan segera ke sini. Ya, ke
sini untuk mencari Tanjung Kumoro.

**
Bab 10

Aina turun dari bis dengan badan lelah dan rasa kantuk yang tak tertahan, tetapi juga dengan
rasa penasaran di hatinya, siapa gerangan wanita yang memberinya bunga tadi. Dan hal itu
membuat Aina semakin ingin menuju ke Arum Sari, sehingga setelah sampai di Karang Legi,
Aina segera memesan taksi online dan melanjutkan perjalanan ke Arum Sari.

Aina dan Tri duduk kelelahan di dalam taksi yang mereka pesan. Aina mengamati jalan yang
mereka lewati. Jalan-jalan panjang yang dinaungi pohon-pohon besar, jadi walaupun udara
sudah mulai panas, tetapi tetap terasa sedikit sejuk. Aina terpesona dengan keindahan Karang
Legi. Kota kecil yang terlihat asri dan indah. Dan yang paling menawan dari Karang Legi
adalah terlihatnya dua buah gunung di sebelah timur kota kecil itu. Kalau tidak salah gunung
yang terlihat itu adalah Gunung Kawitan dan Gunung Tawang. Ah, menurut kabar yang
didapat Aina, dua gunung yang dilihatnya sekarang terkenal agak menyeramkan. Aina
tertawa, walaupun demikian, tetap saja kedua gunung itu terlihat begitu indah.

"Mau ke rumah Ki Tanjung Kumoro, Mbak?" tanya sopir taksi itu pada Aina.

Aina kaget dan tersenyum. Dia mengangguk.

"Njih, Pak," jawab Aina, "bapak tahu rumah Ki Tanjung Kumoro, Pak?"

Sopir itu tersenyum dan mengangguk.

"Kebanyakan orang Karang Legi tahu di mana rumah kuncen terkenal itu, Mbak. Nanti saya
antarkan langsung ke depan rumah Ki Tanjung Kumoro, Mbak."

Aina agak terkesima mendengar jawaban sopir taksi itu. Dia tersenyum dan bahagia, karena
merasa aman, Aina akan terbebas dari mimpi buruknya karena akan diantarkan ke depan
rumah Ki Tanjung Kumoro. Aina mengangguk.

"Terima kasih sekali, Pak. Kebetulan saya baru pertama ke sini, jadi tidak tahu di mana
rumah Ki Tanjung Kumoro."
**

Taksi yang ditumpangi Aina telah memasuki gerbang bertuliskan Desa Arum Sari, setelah
mereka melakukan perjalanan selama satu jam lebih dari Karang Legi. Aina merasa sangat
lega ketika mengetahui jalan di Desa Arum Sari itu berbeda dengan jalan yang dilihatnya
pada mimpinya. Jalan Desa Arum Sari ternyata bagus dan sudah diaspal, membuat perjalanan
mereka sangat nyaman dan tak lama kemudian mereka sampai di depan sebuah rumah kayu
yang cukup besar, dengan halaman yang agak gelap karena karena ada beberapa pohon besar
dan tanaman hias yang tak terawat.

"Sudah sampai, Mbak," kata sopir taksi dengan ramah.

Aina mengangguk dengan jantung berdebar, dia dan Tri keluar dari taksi. Dan kemudian dia
berdiri di depan rumah kayu itu. Aina mengetuk pintu itu perlahan dan tak lama kemudian
pintu itu terbuka lebar.

Napas Aina tersengal. Dia melihat seorang pria yang sangat tampan muncul dari balik pintu.
Pria itu memandang Aina dengan matanya yang tajam dan teduh. Sangat menenangkan. Aina
tersenyum dan pria itu juga tersenyum. Menciptakan dua buah lesung pipi yang menambah
ketampanan pria itu. Aina merasa sangat berdebar tak menentu, apalagi ketika pria itu
menyebut namanya.

"Mbak Aina?"

Aina terlonjak kaget dan mengangguk. Pria itu juga mengangguk.

"Monggo, silahkan masuk."

Aina terserang panik. Dia memandang ke arah Tri dengan ragu. Tri tertawa dan setengah
mendorong tubuh Aina masuk ke dalam rumah Ki Tanjung Kumoro.

**
"Jadi panjenengan adalah Ki Tanjung Kumoro?" tanya wanita bergigi gingsul itu pada Ewa.
Ewa menelan ludah panik dan juga geli, karena ketika mempersilahkan wanita bernama Aina
itu masuk, Ewa hampir saja mengatakan kalau Ki Tanjung Kumoro akan segera keluar dan
menemui Aina. Ewa tersenyum samar. Dia tak bisa menahan gelinya ketika menyadari bahwa
Ewa lah yang menjadi kuncen sekarang.

Ewa mendengarkan cerita Aina dengan hati penuh debar. Entah kenapa dia merasa bahwa
Aina sangat cantik dan melenakan. Ah, sepertinya dia benar-benar jatuh cinta, dan Ewa yakin
cintanya ini bukan karena efek cincin yang diberikan oleh Ayu.

[Beri Aina air dari kendi itu, maka Aina bisa membuat bisnisnya maju lagi. Aina tidak perlu
dibawa ke Makam Gading Rejo, tetapi dua minggu lagi suruh dia ke sini dan kamu bisa lihat
sendiri apa yang terjadi padanya.]

Ewa tidak bisa menjawab perkataan Ayu di kepalanya. Ewa mematuhi semua perintah Ayu,
sehingga setelah Aini selesai bercerita, dia memberikan segelas air yang berasal dari kendi di
makam pada Aina.

"Mbak Aina tidak perlu bermalam di makam. Saya beri air ini untuk diminum setiap malam
menjelang tidur. Dan jangan lupa Mbak Aina ke sini dua minggu lagi. Kita sama-sama lihat
apa yang terjadi," kata Ewa dengan penuh wibawa. Wajah Aina nampak bercahaya dan
berbinar lega. Aina mengucapkan terima kasih dan buru-buru berpamitan pada Ewa.

Ewa mengantarkan Aina pulang dengan naik taksi online yang sudah dipesannya.

[Hanya Aina yang tidak menginap di makam. Orang-orang yang lainnya harus melakukan
ritual di makam, Mas Ewa.]

Ewa diam tak menjawab. Dia masuk ke dalam rumah Ki Tanjung Kumoro dan membersihkan
rumah itu.

[Hari ini banyak orang yang akan datang ke sini untuk meminta bantuan pada Ki Tanjung
Kumoro. Bersiaplah.]
**

Aina terbaring kelelahan. Perjalanan pulang-pergi sehari semalam, membuat tubuh Aina
benar-benar membuat Aina tak berdaya. Dan Aina sudah sampai di rumahnya lagi, dia sudah
lega. Dan Aina sudah meminun air yang diberikan Ki Tanjung Kumoro padanya. Seteguk air
putih kehijauan itu membuatnya mengantuk.

Aina tertawa. Pastinya dia mengantuk karena memang dia kelelahan, bukan karena air putih
itu.

**

"Aina, ayo bangun! Kamu harus mandi dan bersiap-siap!"

Aina terkejut dan terbangun dari tidurnya. Ibunya --Palupi-- segera menarik tangan Aina.
Aina yang masih kebingungan karena baru bangun mengikuti ibunya dengan patuh.

"Mandi dulu, ya. Tunggu di sini dulu. Biar kusiapkan air hangatnya," kata Palupi dan
menyuruh Aina berdiri di depan sebuah pintu yang terbuka lebar.

Aina penasaran dengan pintu itu, dia melihat ke dalam ruangan di balik pintu itu. Ternyata
ruangan itu adalah sebuah dapur kuno yang luas dengan tungku yang sangat banyak di dalam
dapur itu. Aina melihat dua orang pria masuk ke dalam dapur dari pintu belakang dengan
menggendong seseorang.

Aina memicingkan matanya. Dia ingin tahu siapa orang yang digendong dua pria itu.
Untunglah kedua pria itu membaringkan orang yang mereka gendong. Aina melongokkan
kepalanya ke dalam ruangan itu dan berteriak kaget. Dia melihat wajah orang yang mereka
gendong. Orang yang digendong pria itu adalah Aina.

Aina menjerit histeris ketika melihat kedua pria itu memasukkan tubuh yang tadi mereka
gendong tadi, ke dalam sebuah panci besar di atas tungku. Aina menjerit panjang ....

**
Bab 11

"Aina, bangun, Na!"

Aina terkejut dan bangun dari tidurnya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, sebelum
akhirnya menyadari bahwa dia ada di tempat tidurnya. Aina melihat ibunya duduk di
sampingnya dengan senyum lebar dan wajah yang sangat menenangkan.

"Nyebut, Na," bisik Palupi, dia membantu Aina duduk dan kemudian menawarkan segelas air
putih pada Aina. Aina meminum air itu, dan merasakan pahit yang menusuk dirinya.

"Air apa ini, Bu?" tanya Aina, dia mengerutkan keningnya.

"Air dari kendi di Makam Gading Rejo."

Aina melotot ke arah ibunya dengan wajah tak percaya.

"Ibu ... kenapa ibu tahu?" bisik Aina tertahan. Palupi tertawa kecil. Dia mencibir Aina.

"Kamu kira hanya kamu yang pernah ke sana?" tanya Palupi dengan wajah puas dan dia
tertawa terbahak-bahak, semakin lama tawanya semakin keras. Aina menahan napas. Aina
tahu ada yang salah dengan ibunya, tetapi Aina tidak tahu harus berbuat apa.

Tawa Palupi semakin lama semakin keras, bahka bibirnya sampai sobek ke kanan dan ke kiri
tanpa henti. Menciptakan luka berdarah sampai ke telinga Palupi. Aina menjengit. Dia benar-
benar takut ketika sadar bahwa yang dilihatnya bukan ibunya. Pasti yang di depannya ini
bukan ibunya.

Aina mencoba mencari jalan keluar, tetapi dia tidak tahu harus ke mana. Aina dalam posisi
setengah berbaring di tempat tidurnya dan ibunya atau entah mahluk apa yang ada di depan
Aina itu nampak duduk dengan tegak dan sepertinya Aina tidak bisa melewati sosok yang
menyerupai ibunya itu.
Aina memejamkan mata ketakutan. Dia tidak ingin melihat darah yang mengalir tanpa henti
dari wajah ibunya. Aina menggenggam tangannya sendiri dengan gemetar, Aina
memperkirakan apakah dia bisa meninggalkan ibunya yang terus tertawa itu. Aina menutup
telinganya dengan kedua telapak tangannya karena suara tawa ibunya terdengar sangat tidak
manusiawi dan membuat bulu kuduk meremang. Jantung Aina berdebar kencang. Aina sudah
tak tahan lagi.

"Diam! Diam!" teriak Aina tanpa sadar. Napasnya tersengal dan memandang sosok
menyerupai ibunya dengan tajam dan menantang.

"Diam! Siapa yang memperbolehkanmu berteriak-teriak di kamarku? Siapa?" teriak Aina


penuh kemarahan. Keheningan menyapa Aina dan sosok menyerupai Palupi di depan Aina
memudar perlahan. Aina menjerit tertahan.

Oh, apakah apa yang terjadi? Kenapa mimpi Aina sangat buruk?

Aina buru-buru menghapus wajahnya dan kemudian segera bangkit dari tempat tidurnya.
Aina menuju ke kamar mandi untuk membasuh mukanya, tetapi ... tetapi ketika Aina
membuka pintu kamar mandi itu Aina tidak melihat ada kamar mandi di balik pintu itu.

Di balik pintu Aina melihat sebuah ruangan yang luas dan kosong. Aina menelan ludah.
Tanpa disadarinya dia memasuki ruangan itu begitu saja. Aina berdebar keras ketika
menyadari bahwa dia sebenarnya tidak ingin memasuki ruangan itu, tetapi kaki Aina berjalan
sendiri ke dalam ruangan luas dan kosong itu.

Aina memasuki ruangan itu perlahan dan seketika pintu di belakang Aina menutup rapat
dengan suara yang keras. Aina terlonjak kaget. Aina langsung hendak membuka pintu di
belakangnya, tetapi usahanya gagal. Pintu itu seakan terkunci dari luar.

Aina sangat panik. Dia sangat ketakutan. Aina berteriak-teriak minta tolong, tetapi dia sendiri
juga bingung, dia minta tolong pada siapa, karena Aina mulai curiga jangan-jangan dia
berada di alam yang lain, alam yang berbeda dan bukan alam manusia.
"Mbak Aina, kenapa teriak-teriak? Ada tamu, Mbak. Tamunya mau protes karena masakan
kita basi lagi."

Aina tercekat. Dia mendengar suara Siti, asistennya. Aina menoleh dengan ragu dan Aina
menjerit histeris ketika menyadari bahwa sebenarnya dia berada di kantornya, di tempat
usaha kateringnya. Aina melihat Siti berada di belakangnya dengan wajah cemas dan penuh
kerisauan.

"Bu Aina, bagaimana ini?" tanya Siti lagi. Wajahnya nampak panik dan pias.

"Ada apa, Ti?" tanya Aina dengan panik. Entah kenapa dia sangat merasakan ketakutan dan
kerisauan yang dirasakan Siti.

"Ada itu, Bu! Ada itu!" teriak Siti sambil menunjuk ke luar kantor Aina. Betapa terkejutnya
Aina ketika melihat dua pria yang membawa panci besar, seperti yang dilihatnya dalam
mimpinya tadi ... atau kemarin? Atau kapan?

Ah, seketika kerisauan meraja dalam hati Aina. Dia mulai khawatir jangan-jangan sekarang
pun Aina masih berada di dalam alam lain dan belum kembali ke alam manusia.

"Bu Aina, kami minta ganti rugi! Masakan Bu Aina basi semua, bahkan baunya amis sekali,
seperti bau darah!"
"Iya, Bu! Cepat ganti uang kami!"

Aina menelan ludah mendengar teriakan-teriakan itu. Tubuhnya gemetar ketakutan. Kedua
pria itu terus berteriak marah dan kemudian mereka menumpahkan panci yang mereka bawa.
Seketika isi panci berupa cairan berwarna merah tumpah ke mana-mana. Membasahi lantai di
depan kantor Aina ... dan ... dan kemudian ketika cairan merah selayak darah itu seakan
habis, Aina melihat sesuatu menggelinding dari dalam panci itu.

Aina mendelik kaget. Dia menjerit sejadi-jadinya. Aina menjerit sepenuh hati dan jiwanya
ketika melihat sesosok wanita yang menyerupai dirinya --bahkan sama persis dengan
dirinya-- keluar dari panci itu. Sosok Aina yang telah terendam cairan warna merah itu sudah
berwujud sangat mengerikan. Sosok 'Aina' yang dilihat Aina dari dalam kantornya sudah
terkoyak kulit dan ototnya, wajah 'Aina' sudah rusak dan bahkan salah satu mata 'Aina'
terlepas dan meninggalkan lubang yang sangat mengerikan, belum lagi kaki dan tangan sosok
Aina itu sudah sangat rusak dan bahkan sepertinya sudah busuk.

Aina terus berteriak ketakutan. Tubuhnya lemas tak berdaya.

**

Azan subuh berkumandang dari kejauhan. Aina terbangun dengan mendadak. Keringat Aina
bercucuran deras dari tubuh Aina. Aina segera menyalakan lampu baca di dekat tempat
tidurnya. Cahaya temaram menerangi kamar Aina.

Aina melihat sekelilingnya. Jantungnya masih berdebar kencang tak terkira. Napas Aina
tersengal. Mimpi buruk tadi benar-benar membuat Aina tak bisa menahan emosinya. Aina
pun menangis terisak. Rasa takut membuat Aina benar-benar trauma.

Tiba-tiba Aina merasakan bahunya disentuh oleh seseorang dari belakang.

"Kamu kira yang kamu alami tadi dan sekarang ini adalah mimpi, Aina?"

**

"Apa yang terjadi pada Aina?"

[Aina sudah menjadi tumbal kita. Dia tidak akan bisa melarikan diri dari kita.]

Maheswara terdiam. Dia sebenarnya merasa iba pada Aina, yang baru saja dilihatnya pada
cermin di depan Maheswara. Maheswara dari tadi melihat Aina mengalami halusinasi dan
diganggu oleh jin yang dimasukkan ke dalam tubuh Aina oleh Maheswara melalui air putih
dari kendi di Makam Gading Rejo tadi. Maheswara nyaris menangis melihat Aina berteriak,
menangis dan ketakutan.

Diam-diam Maheswara merasa menyesal telah memberi air itu pada Aina dan Maheswara
sangat ingin membantu Aina.
Bab 12

Maheswara atau Ewa menundukkan pandangannya. Dia tidak tega melihat aneka rupa bentuk
jin yang menggoda Aina. Dari cermin di depan Ewa, Ewa bisa melihat Aina nampak tak
menentu, menangis, menjerit, berteriak.

Ah, seandainya Ewa bisa menolong Aina atau paling tidak menghentikan semua gangguan
itu. Ewa memejamkan matanya. Rasa iba dan penyesalan menggumpal di dada Ewa. Ewa
mengembuskan napas panjang dan beranjak dari tempat duduknya.

[Kamu mau ke mana, Mas Ewa?]

"Aku ingin menghentikan semua gangguan itu, Yu. Aku tidak akan membiarkan wanita
bernama Aina itu terus tersiksa."

Ayu tertawa dalam kepala Ewa.

[Kamu bisa melakukan apa? Kamu sendiri yang memberi Aina air itu ....]

"Kamu yang menyuruhku melakukannya!" teriak Ewa memotong Ayu dengan cepat. Ayu
tertawa terbahak.

[Kamu tahu apa konsekuensi seorang kuncen di Gading Rejo?]

Ewa menelan ludah. Dia sudah pernah mendengar cerita Ki Tanjung Kumoro tentang hal itu,
dan Ewa belum siap menerima itu semua. Ayu tertawa lagi. Tawanya penuh ejekan.

[Kamu sudah tahu, kan? Kalau kamu membantu tumbalmu atau kalau kamu memutuskan
untuk tidak lagi menjadi kuncen, maka kamu akan ... maka akan ada yang mengejarmu dan
membunuhmu ... iya, kan? Kamu tahu, kan?]

Ewa mengembuskan napas panjang. Dia menundukkan pandangannya.


[Kamu tahu, kan?]
Ewa masih diam saja. Ayu tertawa.

[Kecuali kalau kamu mau ... mau melakukan satu hal yang mengerikan ....]

Ewa mendongak, seakan Ayu ada di depannya. Ayu tertawa.

[Sudah kuduga. Sudah kuduga kamu benar-benar jatuh cinta pada wanita itu. Baiklah ...
baiklah ... aku tidak bisa mencegah orang jatuh cinta. Mau bagaimana lagi? Kamu benar-
benar ingin menolong Aina dan meninggalkan tempat ini? Kalau kamu meninggalkan tempat
ini, maka kamu tidak akan bisa kembali ke tempat ini lagi dan ... dan yang pasti kamu akan
menerima semua konsekuensinya ....]

"Aku akan menerima semua konsekuensinya!" teriak Ewa dengan wajah gamang. Rasa takut
terselip di hati Ewa. Dia tahu apa konsekuensinya meninggalkan Makam Gading Rejo.

Seketika Ayu mewujud di depan Ewa, membuat Ewa terlonjak kaget.

"Mas Ewa serius?" tanya Ayu dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya terlihat memelas. Ewa
mengangguk ragu karena wajah Ayu terlihat begitu nelangsa. Ewa nyaris memeluk Ayu,
tetapi Ewa menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia tahu apa yang dilihatnya bukanlah hal
yang sebenarnya, dia tahu Ayu sedang menggunakan ajian pengasihan padanya. Ewa terus
menggelengkan kepalanya.

"Mas Ewa tega. Padahal aku sudah membantu Mas Ewa mendapatkan apa yang Mas Ewa
inginkan."

Ayu menggigit bibirnya. Air mata Ayu bercucuran dalam diam. Kali ini Ewa benar-benar
sudah melangkahkan kakinya untuk memeluk Ayu, tetapi entah kenapa Ewa memejamkan
mata dan menundukkan pandangannya.

"Astaghfirullah ...." Ewa berbisik lirih. Dia menggelengkan kepalanya.


"Apa yang kamu katakan?" desis Ayu marah. Dia memandang Ewa dengan penuh
kemarahan.

"Berani kamu menkhianati kami? Padahal aku sudah menjadikanmu kuncen di sini?"

"Aku tidak meminta menjadi kuncen! Aku hanya minta menjadi pria yang disukai banyak
wanita!"

Plak!
Plak!

Ayu menampar Ewa tiga kali. Ewa tersungkur ke lantai. Bibirnya sobek dan berdarah. Ewa
mendongak dan memandang Ayu tak percaya. Mata Ewa penuh kemarahan.

"Manusia penuh keserakahan dan kebodohan. Betapa bodohnya kamu kusuruh melakukan ini
itu dan kamu menuruti semuanya tanpa tanya dan tanpa pikir. Coba ingat, kamu kusuruh
menggoda wanita dan menbunuh pamanmu sendiri ... dan apakah kamu menolakku? Apakah
kamu pernah bertanya padaku kenapa aku menyuruhku melakukan itu semua, kan? Bahkan
kamu melakukan itu semua dengan senang hati." Napas Ayu tersengal. Pipinya merona
merah dan kemarahan yang terlihat jelas pada wajah Ayu, membuat Ewa nyaris tergoda,
membuat Ewa nyaris melupakan semuanya.

Ewa buru-buru beristighfar lagi dan ... dan cincin pemberian Ayu yang dipakai dijari
manisnya terlepas sendiri. Cincin itu menggelinding ke bawah tubuh Ewa dan berputar-putar
liar, sebelum akhirnya cincin itu berhenti di depan kaki kanan Ewa.

Ewa memandang cincin itu tak berkedip. Ewa juga memandang ke arah jari manisnya dengan
teliti, terdapat segores luka di jemari Ewa, yang sepertinya adalah bekas luka ketika cincin
tadi keluar. Ewa mendesis, luka kecil itu sakit sekali dan perlahan darah mengalir dari jari
manisnya itu. Ayu pun memandang cincin itu dengan keheranan dan kemudian kecewa. Ayu
buru-buru mengambil cincin itu dan menangis terisak.

"Mas Ewa menyia-nyiakan kami. Mas Ewa benar-benar jahat!"


Ewa menutup telinganya mendengar teriakan-teriakan Ayu. Ewa juga memejamkan matanya.
Dia tidak ingin melihat kenelangsaan di wajah Ayu. Ewa menggelengkan Ayu dan
meninggalkan Ayu begitu saja, membuat Ayu membeliak kaget dan marah seketika.
"Mas Ewa! Mas Ewa! Mas Ewa mau ke mana? Jangan pergi! Mas Ewa!"

Teriakan Ayu tidak dipedulikan Ewa. Ewa terus berlari meninggalkan rumah pamannya dan
segera meninggalkan Desa Arum Sari. Ewa tidak tahu kalau ada sepasang mata yang
mengamati Ewa dan pemilik mata itu tertawa geli melihat Ewa yang tergesa-gesa
meninggalkan Desa Arum Sari.

Ayu atau mahluk yang mewujud menjadi Ayu tertawa geli. Ah, namanya juga manusia. Sulit
sekali diberitahu.

**

Fiki nyaris tak percaya ketika melihat keramaian di Makam Gading Rejo. Mereka melihat
mobil polisi dan ambulan yang dikelilingi warga desa. Fiki dan rombongan dari Karang
Pandan berpandangan dengan rasa yang tak menentu.

"Apa yang terjadi, ya, Ust?" tanya Naim pasrah. Fiki menggelengkan kepalanya.

"Kata orang, Ki Tanjung Kumoro sudah meninggal, Mas. Tangjung Kumoro dipatuk ular
hingga meninggal. Jasadnya sudah membusuk." Fiki menoleh ke arah Naim dan tersenyum.

"Sepertinya kita belum akan bisa memeriksa rumah ini sebelum polisi selesai memeriksa
rumah Ki Tanjung Kumoro dan diperbolehkan oleh pamong desa. Dengar-dengar banyak
juga yang ingin memeriksa rumah Ki Tanjung Kumoro dan makam Gading Rejo, Mas
Naim," lanjut Fiki.

Naim dan Fiki berpandangan. Ah, Fiki memang selalu begitu. Sepertinya mereka baru sampai
di Arum Sari setengah jam yang lalu dan Fiki sudah mendapatkan informasi sebanyak itu.
Akhirnya mereka menyerah. Sepertinya memang mereka belum bisa melakukan apapun
sekarang. Mereka harus bersabar.
**

Aina terbangun oleh kokokan ayam di kejauhan. Aina membuka matanya dan merasa
waswas. Dia takut akan diserang oleh hal-hal gaib lagi, tetapi sepertinya semua terlihat
normal. Aina menoleh ke kanan dan ke kiri memeriksa kamarnya. Aina buru-buru bangkit
dan menghidupkan lampu kamarnya. Seketika kamar Aina terang benderang dan Aina
bernapas lega.

Dia senang sekali semua hal buruk dan mengerikan yang tadi dialaminya adalah mimpi saja.
Aina mengembuskan napas lega. Aina dikejutkan oleh dering HP-nya. Aina tersenyum ketika
melihat nama ibunya tertera di layar HP. Aina segera menerima panggilan itu.

"Ibu?"

Hening. Hanya terdengar napas terengah.

"Ibu?" panggil Aina dengan sedikit khawatir.

"Aina ... jangan senang dulu, karena bahaya besar sedang menuju ke arahmu!"

**
Bab 13

Aina merapikan jilbabnya. Dia berdiri dengan gamang di depan bangunan besar itu.
Pesantren Ruqyah Karang Pandan.

Ah, menarik sekali. Aina tersenyum. Sebenarnya Aina sering melihat kanal YouTube yang
dimiliki pesantren itu. Aina tertarik dan senang melihat reaksi orang-orang yang kerasukan
dan diruqyah dan sekarang dia berada di depan bangunan itu. Sekelumit rasa takut menelusup
di relung hati Aina yang terdalam. Aina merasa gamang.

"Jangan masuk, Ndhuk. Apa kamu tidak kasihan pada ibu?" Tangan Aina ditarik dari
belakang dan tubuh Aina nyaris terjerembab. Aina menoleh dengan marah dan tidak ada
seorang pun di belakangnya. Kosong.

Aina merasa marah dan juga takut. Dia buru-buru melangkahkan kakinya ke dalam pesantren
dan tubuh Aina ditabrak dari keras dari belakang.

"Aku sudah bilang padamu untuk tidak masuk ke sini, kenapa kamu masih masuk ke sini
juga? Kenapa? Kamu tidak kasihan pada ibumu, Nak?"

Aina menjerit ketika merasakan tekanan pada tubuhnya dan dengusan napas yang terasa
panas di tengkuknya, padahal tidak ada apa-apa, tidak ada siapapun di atas tubuhnya. Aina
berusaha berteriak minta tolong dan berdiri.

Aina melihat beberapa orang mendekatinya. Aina hendak berteriak minta tolong, ketika
seseorang yang tak terlihat membekap mulutnya, sehingga kepala Aina seakan tertarik ke
belakang dengan posisi yang sangat aneh dan menyakitkan. Air mata Aina meleleh. Aina
merasa sakit dan juga takut.

Aina berusaha menggapai orang-orang di sekitarnya. Dia ingin meminta bantuan orang-orang
itu, tetapi ada tangan yang tak terlihat yang mencengkeram tangan Aina dan kemudian tangan
tak kasat mata itu menampar Aina, hingga Aina pingsan tak berdaya.

**
"Astaghfirullah, kasihan sekali dia, Za. Apa dia diikat secara gaib?"

"Mboten ngertos, Bulik. Tapi nggih cobi mawon diruqyah, (Tidak tahu, Bulik. Tapi coba saja
diruqyah), nanti insya Allah pasti ketahuan apa yang terjadi pada wanita ini," kata Faza,
kemudian dia dan buliknya segera mengikuti ustadzah-ustadzah yang membawa Aina ke
dalam ruang terapi ruqyah.

"Dia seperti ditarik ke belakang dan ditampar, kan, Za?"

"Njih, Bulik. Benar sekali. Tadi Faza juga melihat hal itu."

Faza dan Hasna --buliknya-- berpandangan. Mereka merasa bingung dan sedikit panik.

"Kamu membutuhkan tim ruqyah, kan, Za?" tanya Hasna. Faza menelan ludah dan
memandang Hasna agak panik. Dia mengangguk pelan.

"Faza mengkhawatirkan hal lain, Bulik," kata Faza dengan wajah khawatir. Hasna tertawa.

"Aku tidak percaya ada yang membuat Ustadz Faza yang galak ini khawatir," kata Hasna
menggoda. Faza tertawa kecil untuk menutupi kegugupannya, tetapi tetap saja rasa khawatir
itu melingkupi hati Faza, dia hanya menduga sepertinya ada sesuatu yang lain dan besar di
belakang masalah ini.

**

Aina membuka matanya. Dia memandang berkeliling ke arah orang-orang yang ada di
sekelilingnya. Terdengar dengungan orang mengaji di sekeliling Aina. Aina merasakan
kepalanya pusing tak terkira. Dia memijit pelipisnya perlahan. Rasa pusing itu
mencengkeram kepala Aina.

"Makanya jangan masuk ke sini. Sekarang pusing, kan?" Suara ibunya terdengar begitu dekat
dengan Aina. Aina menoleh ke arah sumber suara itu, tetapi tidak ada siapa-siapa di
belakangnya. Dan setelah Aina menoleh ke belakang tadi, ada seorang wanita sepuh
mendekati Aina. Wanita itu tersenyum pada Aina.
"Mbak?" Wanita itu memanggil Aina dengan lembut.

Aina tersenyum, tetapi entah kenapa ketika Aina melihat wanita sepuh itu, Aina merasa
merinding seketika. Dia melihat wajah wanita itu seakan rata tak berindera. Aina tersengal.
Dia menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

"Pergi dari sini, Aina! Dia akan memakanmu! Wanita berwajah rata itu bisa memakanmu.
Pergilah, Aina!"

"Aaahh! Pergi kamu jangan ganggu!" teriak Aina pada wanita sepuh yang adalah Hasna itu,
"pergi kamu! Jangan dekati aku! Jangan ganggu aku!"

Hasna hanya tersenyum. Dia tidak memedulikan teriakan Aina, bahkan Hasna mencengkeram
tengkuk Aina sambil membacakan ayat ruqyah perlahan. Aina menjerit tak terkira. Dia
berteriak minta ampun dan minta tolong dengan keras.

"Jangan! Jangan usir aku! Aku disuruh menemani wanita ini!"

Hasna masih tetap diam dan terus meruqyah Aina. Hasna meminta beberapa ustadzah untuk
membantunya, sehingga proses ruqyah itu berjalan dengan mudah dan tak lama kemudian
Aina muntah-muntah dan lemas seketika. Dia menunjuk ke arah Hasna dengan lemah.

"Kamu menghalangi jalanku melaksanakan tugasku. Aku akan membunuhmu."

Hasna tersenyum samar.

"Boleh saja kamu mengancamku seperti itu ... tetapi lihat saja siapa yang akan mati lebih
dulu," kata Hasna sadis dan tanpa basabasi Hasna langsung menekan dan mengibaskan
punggung Aina, di sepanjang tulang belakang Aina sambil membaca ayat ruqyah dalam
gumaman. Aina menjerit kesakitan.

"Jangan! Jangan, bunuh aku!" Aina terus berteriak dan berusaha melarikan diri dari
cengkeraman Hasna, tetapi Hasna sama sekali tak peduli. Dia terus meruqyah Aina, hingga
Aina muntah lagi dan lemas tak berdaya.
"Mbak?" Hasna memanggil Aina lagi. Aina membuka matanya. Ah, leganya hati Hasna
ketika melihat cahaya mata Aina yang sudah berbeda dengan pandangan Aina tadi. Sekarang
mata Aina sudah bersinar lebih cerah, walaupun masih kebingungan.

Hasna tersenyum pada Aina.

"Mbak?" panggil Hasna lagi. Aina mengangguk pada Hasna.

"Tolong saya, Bu ... tolong saya ... saya takut ...." Suara Aina gemetar. Hasna mengangguk.

"Insya Allah, Mbak. Insya Allah kami bantu. Kalau boleh tahu apa yang sebenarnya terjadi,
Mbak?" tanya Hasna. Aina menangis dan memeluk Hasna dan Aina menyerah dalam
kegelapan.

**

Faza mendekati Hasna. Mereka berpandangan.

"Apakah semua sudah beres, Bulik?"

"Insya Allah, Za. Nanti kalau dia sudah sadar kita akan bertanya pada wanita itu. Siapa
namanya? Apakah ada yang sudah tahu?" tanya Hasna.

Faza dan semua ustadz ustadzah di ruangan itu menggelengkan kepalanya.

"Tadi ketika ditanya nama juga tidak menjawab, Ustadzah."

Tiba-tiba terdengar keributan dari dalam ruang terapi ruqyah, tempat Aina dibaringkan.
Semua menoleh ke arah sumber suara dan kemudian Aina muncul dari balik pintu. Dia sudah
melepas jilbabnya dan rambutnya terurai bebas, menyerupai api yang berkobar.

"Namaku Ayu. Dyah Ayu Suminten! Aku dulu pernah ke sini bersama Gita, dulu namaku
Kirana dan kalian berhasil mengusirku. Sekarang aku tidak akan membiarkan kalian
mengusirku"
Bab 14

Faza memandang ke arah Hasna dengan lemas.

"Masih ada jinnya, Bulik," kata Faza. Hasna mengangguk dan tertawa.

"Tidak apa-apa, Za. Bukankah selalu seperti itu?"

Faza mengangguk dan mendekati wanita yang berdiri di depan mereka. Wanita itu nampak
sedikit menyurut melihat Faza, tetapi dia kemudian berdiri lagi dengan gagah di depan Faza.

"Mau apa kamu?" tanya wanita itu pada Faza dengan berani. Faza tersenyum.

"Aku akan mengeluarkanmu dari tubuh wanita itu. Kasihan dia sudah kelelahan tubuhnya
kamu pakai terus," jawab Faza.

"Nama wanita ini adalah Aina. Aku bisa masuk ke dalam tubuhnya karena dia dulu
mendatangi kuncen Makam Gading Rejo dan meminta bantuan pada kuncen Gading Rejo.
Dan lagipula aku akan membalas dendam pada kalian karena telah mengusirku dulu." Aina
menjengit marah.

Hasna mendekati Aina dan Faza dan meminta wanita bernama Aina itu untuk duduk dengan
nyaman, bahkan Hasna meminta Aina untuk memakai jilbab.

"Nah, sekarang kamu bisa bercerita dengan tenang. Tidak usah balas dendam, kita bisa
selesaikan masalah ini dengan baik." Hasna tersenyum pada Aina. Anehnya Aina juga
tersenyum dengan manis dan sangat sopan. Dia mengangguk pada Hasna dan segera bercerita
kembali.

"Aina mengalami kesulitan. Bisnisnya gagal dan hancur, sepertinya. Kasihan."

Semua diam dan menunggu, tetapi Aina diam saja. Dia nampak menekuri karpet di depannya.
"Lalu apa? Coba cerita yang agak jelas," kata Hasna.
Aina mendongak dan memandang ke arah Hasna.

"Lalu dia datang menemui Ki Tanjung Kumoro dan dia ke sini. Sudah itu saja."

Hasna berdecak kesal.

"Di mana rumah Aina?"

Aina menggeleng.

"Mana kutahu."

Faza sekarang yang mendekati Aina.

"Kamu tidak tahu apa yang terjadi, kan? Kamu hanya tahu garis besarnya saja, kan? Atau
bahkan kamu tidak tahu apa-apa sama sekali. Kamu hanya disuruh untuk mengganggu atau
untuk membunuh Aina, kan?" tanya Faza jengkel. Dia sudah sangat siap untuk membunuh jin
yang ada di dalam tubuh Aina.

Aina menoleh ke arah Faza dan tersenyum. Tangan Aina nyaris meraih Faza, tetapi urung.
Dia hanya tersenyum lagi dan tersipu malu.

"Ah, Ustadz," bisik Aina sambil terkikik dan menutup mulutnya dengan telapak tangannya
dan merona merah.

Hasna tak dapat menahan gelinya. Dia dan beberapa orang tertawa geli. Ah, memang siapa
yang dapat menahan godaan dari pria sesholih, setampan, segagah dan segarang Faza. Hasna
saja merasa kalau dia masih muda, dia pasti akan tergoda dengan Faza. Hasna tertawa lagi
ketika melihat Faza mencebik dan berdecak marah.

"Kenapa? Pengen dibakar?" tanya Faza marah pada Aina. Hasna tertawa semakin keras.

"Sabar, Za. Dia hanya jin yang menggodamu. Jangan terlalu terbawa," bisik Hasna.
Aina mencebik. Dia nyaris bangkit dan berjalan ke arah Faza, seandainya wajah Faza tidak
segalak itu. Aina kembali duduk dengan wajah jengkel dan kesal.

"Aku hanya berusaha membantu Ustadz."

"Kalau mau membantu itu, cerita yang benar! Di mana rumah Aina?" gertak Faza dengan
galak. Aina bergidik mendengar teriakan Faza. Dia menggeleng dan menunjuk ke suatu arah
yang tidak jelas. Faza menggosok tangannya dengan gemas dan memakai sarung tangannya.
Demi melihat Faza memakai sarung tangannya, Aina menjerit minta ampun.

"Jangan, Ust! Jangan! Baik kuberitahu rumah Aina. Kuberitahu rumah wanita ini, tetapi
jangan bakar aku, Ust. Jangan bunuh aku!" teriak Aina sambil menutupi wajahnya dengan
kedua telinganya. Hasna tersenyum.

"Kalau begitu tinggal dijawab saja pertanyaan Ustadz Faza, Mbak. Tidak usah bertele-tele,"
kata Hasna dengan tegas. Aina mengangguk.

"Aina punya bisnis katering di Jalan Hayam Wuruk, Ustadzah. Tetapi sepertinya ada yang iri
dengan kesuksesan Mbak Aina. Ada yang mengirim sihir pada Mbak Aina dan membuat
semua masakan Mbak Aina akan basi kalau dibawa keluar dari rumah katering Mbak Aina,
kalau di dalam rumah itu, makanan Mbak Aina tetap enak dan sama sekali tidak basi." Suara
Aina agak gemetar, dia melirik ke arah Faza dan Hasna dengan agak takut.

"Mbak Aina juga sering bermimpi bertemu dengan sosok buaya putih dan ... dan dia diminta
pergi ke rumah Ki Tanjung Kumoro. Entah untuk apa."

Faza tertawa mengejek.

"Bohong! Bukankah kamu jinnya Ki Tanjung Kumoro itu, kenapa kamu bilang 'entah untuk
apa Mbak Aina di suruh mengunjungi rumah Ki Tanjung Kumoro.' halah! Nggak usah
bohong terus. Berat akibatnya kalau jin bohong pada peruqyah seperti aku," kata Faza dengan
sengit. Dia memandang Aina dengan penuh kebencian.
"Ora sah nesu-nesu wae, Za. Sabar. Kenopo, to kowe ki kawit wingi-wingi, kok nesu-nesu
ora jelas koyo ngono? (Tidak usah marah-marah, Za. Sabar. Kenapa, sih kamu dari kemarin
marah-marah tidak jelas seperti itu?)"

Faza mencebik, bahunya melorot. Dia menoleh dengan malas dan melihat Fadli berdiri
dengan senyumannya di belakang Faza.

"Jangan menyalahgunakan posisimu untuk marah-marah seenaknya seperti ini. Apa kamu
perlu diruqyah juga, ha? Kulihat-lihat kok, kinerja kamu menurun sekarang? Mundur saja!
Biar Hasna yang meruqyah wanita itu! Kurasa aku perlu bicara empat mata denganmu!" seru
Fadli dengan tegas.

Fadli bertubuh pendek dan tubuhnya jauh lebih kecil dibandingkan Faza, tetapi kharisma
Fadli terlihat begitu kuat di depan Faza. Fadli mendongak memandang Faza yang nampak
menunduk dan tidak berani memandang Fadli.

"Pulang!" teriak Fadli, "biar Hasna dan peraqi lain yang menyelesaikan masalah ini!"

Faza melepaskan sarung tangannya dengan marah dan melemparkan sarung tangan itu begitu
saja. Dia berjalan gontai menuju ke belakang ruang terapi ruqyah, menuju ke rumah
bapaknya. Faza tahu Fadli akan memarahinya.

Dugaan Faza tepat. Fadli segera menyusul Faza yang sudah duduk di teras rumah Fadli.
Wajah Faza nampak begitu marah. Tetapi alih-alih memarahi Faza, Fadli malah tersenyum.
Dia duduk di samping Faza dan megelus kepala Faza.

"Apapun yang terjadi dengan rumah tanggamu jangan dibawa ke ruang terapi ruqyah, Nak.
Aku tahu kehamilan Rosalina sangat mengganggumu akhir-akhir ini. Sisihkan semua rasa tak
nyaman itu, Nak. Kuatkan hatimu. Kamu sudah dewasa sekarang. Sangat dewasa. lebih dari
dewasa ...." Fadli terdiam. Dia menyusut air matanya. Ah, Fadli merasa begitu tua. Anak
bungsunya sudah akan memiliki anak lagi. Ah, Allah memberi Fadli kemewahan usia sampai
setua ini.
Faza mendongak kaget, dia terkejut melihat bapaknya menangis. Fadli mengangguk dan
tersenyum.

"Aku tahu kamu pria yang sangat bertanggungjawab pada keluargamu. Jangan marah pada
Rosalina karena dia hamil lagi dan dia berubah jadi manja dan selalu merajuk padamu, Nak.
Rosalina hamil juga karena kamu juga, kan? Peluk Rosalina, Nak. Minta maaf pada istrimu,
ya, Za? Ikhlashkan hatimu seluas-luasnya, Za."

Faza mengerjapkan matanya beberapa kali dan buliran air mata itu mengalir juga. Fadli
menepuk-menepuk bahu Faza. Mereka berpandangan dan berpelukan.

"Kuatkan hatimu, maka istrimu pun akan kuat, Za."

Faza mengangguk. Dia paham maksud Fadli.

**
Bab 15

Ewa mengendarai motornya dengan kencang. Jantungnya berdebar keras. Dia menyesal
karena telah bersedia menjadi seorang kuncen, menggantikan pamannya.

Bagaimana kalau sebenarnya dia tadi membunuh pamannya? Bagaimana kalau dia kemudian
tertangkap dan harus dihukum karena membunuh pamannya? Ah, dulu Ewa memang sangat
sebal dengan pamannya yang selalu cerewet menyuruh Ewa melakukan ini dan itu. Tetapi
waktu itu hanya sebatas sebal saja. Kadang rasa sebal itu juga menghilang dengan sendirinya.
Lagipula pamannya, kan juga menyediakan semua kebutuhan Ewa, kalau Ewa diminta
membantu sampai malam atau bahkan kalau Ewa harus menginap.

Ewa merasakan penyesalan yang amat sangat. Dia menghentikan motornya dan membuka
helmnya untuk meredakan sesak di dadanya. Ewa merasa sedih dan kecewa. Ewa merasakan
penyesalan yang membuatnya nyaris muntah dan pingsan tak berdaya. Degup jantung Ewa
yang sangat kencang, membuat Ewa sangat gugup. Ewa tak bisa tenang dan sangat bingung
harus melakukan apa dulu.

"Kuncen memang berat, tetapi kamu bisa membantu orang lain menyelesaikan masalah
mereka, kan?"

Ewa terperanjat kaget. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak ada siapa-siapa di
sekeliling Ewa. Hanya ada pohon yang tertiup angin.

"Kamu tidak bisa tidak menjadi kuncen menggantikan pamanmu, Mas Ewa. Kamu sudah
membunuh pamanmu. Kami sudah menyelesaikan sisanya. Kamu tinggal menjadi kuncen
saja. Duduk tenang, menerima tamu, melaksanakan semua perintah kami, dan kamu dapat
uang. Mudah, kan?"

Ewa menjengit. Dia mengerutkan keningnya.

"Kamu dapat apanya? Yang pasti kamu juga mendapatkan apa yang kamu inginkan, kan?
Kamu menyuruhku melakukan ini itu pasti juga ada sebabnya, kan? Kalau boleh tahu apa
yang kamu dapatkan sehingga kamu terus menyuruh pamanku dan aku menjadi kuncen
Makam Gading Rejo? Apa?" teriak Ewa frustasi. Rasa sesak di dadanya mulai berubah
menjadi rasa marah yang menggelora.

Terdengar tawa keras. Ewa mendesis karena tawa itu membuat kepala Ewa sakit sekali.

"Kamu tidak tahu apa yang kucari? Ah, lucu sekali ... seorang kuncen tidak tahu apa yang
dicari oleh penguasa makam yang dijaganya."

Tawa itu terus terdengar. Ewa menutup telinganya agar suara tawa itu tidak mengganggu
telinganya. Ewa memejamkan mata mengusir rasa tidak nyaman di telinganya dan juga untuk
mencegahnya melihat sosok entah apa yang tertawa tadi.

"Aku mengambil keimanan mereka. Aku mengambil kepercayaan dari orang-orang yang
datang kepadaku. Mereka tidak lagi percaya kepada Tuhan mereka kalau mereka
mendatangiku. Dan ketahuilah, bahwa energi kepercayaan kepada Tuhan itu besar sekali.
Aku sampai kebanjiran energi kalau ada orang yang meminta bantuan kepadaku. Ah, aku
suka sekali. Makanya aku menyuruhmu atau nantinya menyuruh orang-orang yang lain untuk
menjadi kuncen. Untuk menjadi perantara bagiku untuk mendapatkan energi besar itu." Tawa
lagi. Tawa yang sangat keras dan tidak manusiawi.

"Kalau energi itu sudah kusedot, maka kuberi mereka energi negatif dan biasanya mereka
merasa kurang nyaman dengan energi negatif itu. Biasanya orang-orang akan datang ke sini
lagi untuk meminta bantuan padaku, melalui dirimu. Hmmm ... lezat sekali sebenarnya
hubungan kita, Mas Ewa. Kita berdua bisa menangguk keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi
kamu menolak hubungan kita. Ya, sudah, tidak apa. Kamu akan mendapatkan
konsekuensinya. Kamu sudah siap, kan?"

Ewa mengembuskan napas panjang dan mengangguk. Dia sudah membulatkan tekadnya.

"Insya Allah aku siap," jawab Ewa dengan mantap dan mencoba untuk berdiri tegak,
menghalau kerisauan di dalam hatinya.
Hening. Tidak ada suara lagi. Ewa menelan ludah, dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Aneh
sekali. Keheningan yang dirasakannya sekarang berbeda dengan keheningan yang
dirasakannya tadi. Sekarang memang hening, tetapi hening dan sepi yang normal. Tidak ada
suara manusia, tetapi ada suara kicau burung, suara desau angin dan suara daun yang tertiup
angin.

Ewa mengembuskan napas lega. Dia segera kembali menaki motornya lagi dan kembali ke
Karang Legi. Dia tidak ingin membuang-buang waktu lagi. Ewa ingin segera membantu Aina
yang diganggu oleh mahluk halus.

Ewa memacu motornya lebih cepat lagi. Ewa merasakan angin yang mengelus tubuhnya
semakin kencang. Tiba-tiba Ewa merasa begitu dingin dan bahkan dia mulai menggigil.
Aneh, padahal tadi tidak sedingin ini. Kabut mulai menuruni jalan yang dilalui Ewa.
Pandangan Ewa mulai terganggu. Padahal tadi pandangan Ewa cukup jelas, karena malam itu
langit begitu cerah.

Ewa mendesah, dia segera memperlambat motornya dan mulai memicingkan matanya agar
bisa melihat lebih jelas jalan di depannya dan pada saat itulah Ewa melihat sekilas lampu
kendaraan yang melaju sangat kencang ke arahnya.

Ewa tidak tahu kendaraan apa yang berjalan dengan sangat cepat ke arahnya dan Ewa tidak
bisa menerjemahkan apa yang terjadi pada dirinya, ketika lampu kendaraan itu semakin
mendekatinya dan kemudian menabraknya, hingga membuat terbang tinggi.

Ewa membelalak tak percaya ketika dia melihat jalan-jalan dan pohon terlihat begitu kecil di
bawahnya ....

**

Faza membuka matanya. Dia mendengar gemericik air keran di dapur. Faza segera bangun
dan menyadari bahwa Rosalina dan Ezra --anaknya-- tidak ada di sampingnya.

"Ah, Rosalina pasti sedang membuat susu untuk Ezra," gumam Faza sambil mengucak
matanya. Tetapi sesampainya di dapur, ternyata lampu dapur dalam keadaan mati. Faza harus
menghidupkan lampu dan kemudian mematikan keran yang menyala. Aneh! Di dapur tidak
ada siapa-siapa. Faza segera memeriksa dua kamar tidur di rumahnya dan seperti dugaan
Faza, kamar di rumahnya kosong. Tidak ada Rosalina dan Ezra.

Faza mulai merasa curiga dan khawatir. Faza memeriksa semua bagian rumahnya dan dia
tidak menemukan siapapun di dalam rumahnya. Faza segera keluar dari rumahnya.

"Oh, Astaghfirullah!"

**

Naim mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, tiba-tiba dari arah kanan ada sebuah
motor yang mendahului mobil Naim dan berhenti beberapa ratus meter di depan mobil yang
dikendarai Naim. Naim terpaksa menghentikan mobilnya dengan mendadak. Membuat
orang-orang yang berada di dalam mobil menggerutu marah.

Dari dalam mobil Naim melihat orang --yang ternyata adalah pria-- yang mengendarai motor
itu melepas helmnya. Wajahnya nampak marah. Pria itu mengacungkan tangannya yang
terkepal kepada Naim. Naim menelan ludah. Dia membuka jendela mobilnya dan suara
umpatan pria itu terdengar jelas.

"Yang bener kalau naik mobil! Kalau nggak bisa naik mobil, nggak usah naik mobil!"

Naim menjengit. Dia merasa sangat tersinggung dengan perkataan pria tadi, karena
sepertinya dia mengendarai mobil dengan normal dan biasa saja. Pria tadi semakin
memrovokasi Naim dengan melemparkan helmnya ke mobil yang dikendarai Naim. Helm itu
tepat mengenai kaca mobil di depan Naim.

Naim beristighfar marah. Dia segera membuka pintu mobil dengan berapi-api.

"Naim!"

**
Bab 16

“Naim! Mau ke mana?” teriak Fadli sambil memegangi tangan Naim. Naim menoleh dengan
marah kea rah Fadli.

“Itu, Pak. Ada orang yang hendak menyerang kita!” jawab Naim dengan wajah penuh
kemarahan. Anehnya Fadli memandang Naim dengan tajam. Fadli menggumamkan sesuatu
yang membuat Naim resah.

“Kenapa, Pak?”

“Lihat aku, Im! Setelah itu lihat ke depan. Tidak ada sesuatu pun di depan kita! Kamu
berhenti tiba-tiba dan kemudian beristighfar keras dan seperti akan keluar dari mobil.”

Naim menjengit. Dia menoleh ke depan mobil. Naim terkesiap dan beristighfar perlahan.
Ternyata memang Fadli benar. Tidak ada seorang pun atau sesuatu pun di depan mobil
mereka, yang ada hanya jalan gelap dan kosong. Naim mengusap wajahnya beberapa kali, dia
nampak agak ngeri.

Naim menoleh ke arah Fadli.

“Apa yang terjadi, Pak?”

Fadli tersenyum.

“Harusnya aku yang bertanya padamu apa yang terjadi, Im.”

Mereka berpandangan.

“Tadi tiba-tiba ada sebuah motor yang menyalip mobil ini, Pak. Lalu motor itu berhenti di
depan mobil ini dan memaki-maki aku dan bahkan pengendara motor itu melempar helmya
ke kaca depan mobil ini, Pak,” kata Naim sambil menoleh ke arah kaca depan mobil yang
dinaikinya, yang ternyata masih utuh, padahal tadi sudah terlihat retak dan pecah, “itulah
kenapa aku hendak keluar mobil tadi, Pak,” lanjut Naim.

Fadli mengangguk. Dia nampak agak khawatir.

“Apa menurutmu ini ada hubungannya dengan apa yang terjadi di Arum Sari dan apa yang
kita kerjakan, ya, Im?” tanya Fadli.

Naim terdiam. Dia mengangguk ragu dan samar.

“Sepertinya memang seperti itu, Pak.”

“Njih, Ust. Sepertinya memang semua kejadian ini terjadi karena apa yang sedang kita
lakukan sekarang. Dan seperti biasa, jin yang kita kejar tidak ingin kita mendapatkan apa
yang kita cari,” kata Nurul Ikhlash.

Fadli menoleh ke arah Nurul Ikhlash sambil tersenyum.

“Kita mencari kuncen itu, kan, Ust?” tanya Fadli. Nurul Ikhlash mengangguk.

“Apa Mas Naim sudah mendapatkan informasi terkait masalah kuncen ini?” tanya Nurul
Ikhlash. Naim mengangguk.

“Saya sudah menitip pesan pada Ustadz Fiki untuk mencari informasi tentang kuncen ini.
Saya yakin untuk masalah informasi Ustadz Fiki jauh lebih berkompeten.”

Nurul Ikhlash dan Fadli nyaris tertawa, tetapi menahan diri mereka. Mereka tahu Fiki dan
Naim memang sangat berkompeten pada pencarian informasi. Mereka yakin Fiki atau Naim
pasti akan mendapatkan informasi apapun itu dalam waktu yang cepat.

***

Faza beristighfar beberapa sebelum menyadari bahwa ada sesuatu yang salah pada dirinya.
Eh … bukankah tadi dia melihat sebuah padang rumput di depan rumahnya, padahal
seharusnya dia melihat tembok tinggi di depan rumahnya seperti yang dilihatnya sekarang,
kan? Faza beristighfar lagi. Ada apa gerangan? Apakah ada hubungannya dengan Aina dan
masalah kuncen ini?

Faza merasa ada suatu fakta yang tidak dilihatnya pada kasus ini. Ah, seharusnya dia ikut ke
Arum Sari dan melihat sendiri apa yang terjadi di sana. Walaupun memang kemarin Naim
menatakan bahwa Ki Tanjung Kumoro sudah meninggal dan mereka sama sekali tidak bisa
mendekati rumah Ki Tanjung Kumoro.

Sementara ini Faza tidak bisa melakukan apa pun. Faza harus sabar menunggu kepulangan
rombongan ustadz dari Arum Sari dan mungkin dia bisa bertanya lagi pada Aina tentang
kasus ini. Faza mengembuskan napas panjang dan memutuskan untuk masuk lagi ke dalam
rumahnya. Tetapi Faza tetap tidak bisa tidur dan dia memutuskan untuk berwudhu dan
bertilawah saja.

Tak lama kemudian terdengar keramaian di depan rumahnya. Faza keheranan mendengar
orang-orang menyebut namanya, sehingga Faza buru-buru keluar dari rumahnya.

“Oh!”
“Lho, itu Ustadz Faza.”
“Ustadz dari mana?”

Faza membeliak tak percaya.

“Maksudnya apa, Ust? Saya dari tadi di rumah terus,” jawab Faza dengan kebingungan.
Kemudian dari kerumunan itu muncul Rosalina yang menggendong Ezra, ditemani Yasna,
Ratna dan Faiz. Rosalina menangis terisak dan langsung berlari ke arah Faza. Dia memeluk
Faza erat.

“Ustadz tadi hilang ke mana?” tanya Rosalina dalam isaknya, tak lama kemudian Yasna –ibu
Faza—pun menyusul Rosalina memeluk Faza. Mereka menangis terisak dalam pelukan Faza.
“Kenapa, sih, Na? aku dari tadi di rumah terus, kok. Aku tadi yang cari kamu nggak ada,
sampai aku keluar rumah, tetap nggak ada orang, makanya aku masuk dan tilawah, eh tak
lama kemudian ada ramai-ramai ini,” kata Faza.
Iqbal tersenyum.

“Sepertinya memang ada yang mengganggu kita, Ust. Tadi Mbak Aina juga menghilang,
tetapi kami berhasil menemukan Mbak Aina kembali. Tak lama setelah Mbak Aina ketemu,
Ustadz Faza juga kembali ke rumah Ustadz Faza.” Iqbal tersenyum.

“Entah apa yang terjadi, yang pasti saya yakin bahwa semua gangguan ini ada hubungannya
dengan kasus Mbak Aina.”

“Njih, Ust, benar sekali. Saya juga yakin seperti itu,” kata Faza.

“Kalau boleh saya akan ketemu Mbak Aina sekarang, Ust. Bolehkah?” tanya Faza. Rosalina
dan Yasna langsung mencebik pada Faza.

“Nggak usah aneh-aneh, Za!” seru Yasna.

“Ustadz, awas kalau Ustadz keluar rumah lagi!” desis Rosalina. Iqbal tak dapat menahan
tawanya.

“Mungkin benar kata Mbak Rosalina, Ust. Ustadz Faza isitirahat dulu saja. Besok kita akan
segera menemui Mbak Aina,” kata Iqbal. Faza mengangguk dan tertawa. Kemudian Faza
meminta ibunya dan Rosalina untuk masuk ke dalam rumha, setelah sebelumnya Faza
meminta maaf dan berterima kasih kepada para asatidz yang telah bersusah-susah
mencarinya.

“Apa yang terjadi, Buk?” tanya Faza pada Yasna. Yasna menggelengkan kepalanya dengan
air mata yang masih berlelehan di pipinya..

“Ndhuk, kamu tahu apa yang terjadi?” tanya Faza pada Rosalina. Rosalina mengangguk.
“Awalnya ada Ustadz Iqbal yang datang ke sini dan mencari Ustadz Faza. Ustadz Iqbal
mengatakan bahwa Mbak Aina hilang dan meminta Ustadz Faza ikut membantu mencari
Mbak Aina. Lalu Ustadz keluar rumah dan satu jam kemudian Ustadz Iqbal datang ke sini
mencari Ustadz Faza. Kata Ustadz Iqbal Ustadz Faza izin pulang sebentar, tetapi tidak
kembali lagi ke ruang terapi ruqyah.” Rosalina memeluk lengan Faza, dia menangis terisak.
“Tentu saja Rosa takut, Ustadz, karena Ustadz sama sekali tidak pulang, Ust ….” Rosalina
masih terisak. Faza tersenyum samar. Dia mengelus kepala istrinya.

“Jangan nangis, Na. Allah masih melindungi kita, Ndhuk.”

Rosalina mengangguk. Dia buru-buru menghapus air matanya. Yasna memandang ke arah
Yasna dan Faza.

“Tidur di rumah ibuk saja, ya, Za. Sekalian nemenin ibuk,” kata Yasna. Faza mengangguk.

“Nggih, Buk. Faza juga takut di rumah ini. Biar besok diruqyah dulu saja,” kata Faza.
Rosalina mengangguk dan segera menyiapkan perlengkapan menginap untuk Ezra.

“Ezra biar aku yang gendong, Na,” kata Faza. Rosalina mengangguk dan dia memeluk Faza
lagi. Air matanya bercucuran lagi.

“Ustadz, tadi Rosa takut sekali. Tadi Rosa takut Ustadz Faza tidak ketemu. Kalau Ustadz
sampai tidak ketemu, Rosa harus bagaimana, Ust?” Rosa terisak tak terkira. Faza
memejamkan matanya. Dia tahu betapa takutnya Rosalina tadi. Faza memeluk hangat.

“Isitighfar, Ndhuk. Istighfar. Insya Allah, Allah akan membantu kita. Selalu membantu kita.”

***
Bab 17

Aina merasa agak aneh ketika dia mendengar ketukan di pintu kamarnya. Bukankah tadi
ustadzah sepuh bernama Hasna tadi memintanya untuk beristirahat setelah mereka berhasil
meruqyah Aina tadi? Aina tersenyum. Setelah diruqyah tadi beban di pundak Aina kemudian
hilang dan rasa mualnya pun menghilang begitu saja, menyisakan rasa ringan, rasa nyaman
dan rasa hangat di sekujur tubuhnya.

“Mandi keramas, ya, Mbak Aina, setelah itu makan yang cukup dan beristirahat. Insya Allah
besok pagi pasti sudah enak sekali rasanya,” kata Hasna.

Ah, Aina terpesona dengan ustadzah sepuh itu. Tubuh Hasna tinggi semampai. Wajahnya
memang sudah berkeriput, tetapi kecantikan yang tegas masih terlihat di sana. Kecantikan
yang sepertinya tidak akan hilang begitu saja termakan usia. Kecantikan yang didapatkan
karena akhlak mulia dan ibadah yang teratur. Aina iri pada kecantikan Hasna itu. Besok Aina
akan menanyakan apa resep kecantikan Hasna yang begitu indah itu. Indah dan terlihat awet.

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini agak sedikit keras.

“Aina! Aina! Ini ibu, Na!”

Aina mengerutkan keningnya. Ibu? Kenapa ibunya ke sini dan tidak ada yang memberitahu
Aina?

“Na?” Panggilan itu terdengar lagi. Aina merasa ragu. Jantungnya berdebar kencang dan
kemudian dia teringat pesan Hasna sebelum Hasna meninggalkan kamarnya tadi.

“Mbak, kalau merasa takut, merasa ragu, khawatir atau risau maka beristighfarlah. Istighfar
dan tenangkan hati Mbak Aina, kalau sudah tenang bisa dilanjut dengan membaca Al fatihah
atau ayat ruqyah yang Mbak Aina bisa.” Waktu itu Aina mengangguk mantap dan merasa
yakin bahwa dia bisa mengatasi rasa takutnya. Waktu itu Aina merasa bahwa dia tidak akan
merasa takut, tetapi sepertinya sekarang dugaan itu salah. Sekarang Aina merasa takut dan
gemetaran. Dia tahu bahwa siapapun yang mengetuk pintu kamarnya pastilah bukanlah
orang.
“Aina ini ibu, Ndhuk, tadi Ustadzah Hasna meminta ibu langsung masuk ke kamarmu, Nak.
Tolong bukakan pintunya, ya, Na. Aku rindu padamu, Na. Aku tidak tahu kamu mengalami
gangguan, Na. Maafkan ibu, Na. Maafkan aku, Na. Biarkan ibu masuk, Na.”

Ah, suara memelas Palupi membuat hati Aina meleleh. Dia merasa sangat iba pada ibunya.

“Ibu tahu dari mana aku di sini?” tanya Aina.

“Siti yang memberi tahu ibu, Na.”

Aina terdiam. Dia dulu berangkat ke pesantren ruqyah tanpa memberitahu siapapun dan
bahkan tanpa memberitahu siapapun. Pastilah Siti tidak tahu tidak tahu ke mana dia pergi.

“Na … Siti datang ke rumah ibu untuk mencarimu, Nak. Siti kebingungan karena kamu
sudah lama tidak ke kantor dan untuk sementara kateringmu tutup, Na. Lalu aku dan Siti
mencarimu ….”

“Dari mana ibu tahu aku di sini? Apa mungkin ibu tiba-tiba mendapatkan ide untuk mencari
Aina di sini? Apa ibu sudah melaporkan hilangnya Aina pada polisi? Tidak mungkin, Bu!
Tidak mungkin!”

Napas Aina tersengal. Dia yakin ibunya pasti bukanlah ibunya, melainkan mahluk halus yang
akan mengganggunya. Aina mulai beristighfar dengan keras.

“Mana mungkin aku mahluk halus, Na. Mahluk halus tidak akan mungkin bisa bertahan di
pesantren ini. Mahluk halus pasti akan mati kepanasan di sini.”

Aina terdiam. Hatinya membenarkan perkataan ibunya tadi. Aina mulai resah. Istighfar Aina
mereda dan terhenti sejak tadi.

“Na … Na … tolong buka pintunya. Ibu capek, Ndhuk ….”


Oh! Suara Palupi terdengar memelas. Aina memejamkan matanya, dia benar-benar tidak tega
dan segera membukakan pintu untuk ibunya. Dan ketika pintu terbuka Aina melihat Palupi
menyeringai lebar pada Aina ….

***

Aina berjalan di tanah yang licin dan berlumut. Berkali-kali Aina terpeleset, tetapi Aina
pantang menyerah. Aina terus berjalan, seakan hendak menuju ke suatu tempat yang belum
diketahuinya. Anehnya Aina tidak tahu tempat apa yang akan ditujunya itu, tetapi Aina
merasa dia tahu tempat yang akan ditujunya dan tahu yang akan dilakukannya di tempat itu.

Aina melihat sekelilingnya dengan rasa takut yang mencekam. Gelap dan pohon-pohon tinggi
menaungi Aina. Aina bergidik. Dia menggigil kedinginan. Aina merasa diawasi, tetapi ketika
Aina melihat berkeliling, Aina tidak melihat siapapun di sekelilingnya. Dan Aina merasa
sepertinya sendirian.

Aina melanjutkan langkahnya lagi, kali ini Aina memberanikan diri untuk berjalan di antara
pohon-pohon besar itu. Aina berjalan dalam kegelapan, tetapi Aina tidak peduli, entah kenapa
Aina merasa tempat yang ditujunya tidak jauh lagi. Lamat-lamat Aina mendengar suara
gemericik air … pelan sekali … tetapi lama-lama suara itu tersengar semakin keras dan Aina
merasa begitu berbahagia. Aina tahu, tujuannya tidak akan jauh lagi.

***

Aina melihat sebuah kolam kecil dengan air yang mengalir memalui sebuah bambu berwarna
kuning gading, indah sekali. Sepertinya dari situlah suara gemericik didengar oleh Aina. Aina
tersenyum. Dia merasa begitu lega. Lega dan bahagia. Entah kenapa Aina tahu bahwa dia
akan bertemu dengan entah siapa di kolam itu.

“Aina. Ndhuk Aina?”

Aina memicingkan matanya. Dalam kegelapan itu, Aina nyaris tidak bisa melihat apa-apa,
sehingga Aina maju untuk memastikan siapa yang dilihatnya, ketika tubuh Aina didorong ke
dalam kolam.
Aina berteriak kaget dan seketika tubuhnya basah dan sekejap saja Aina tenggalam ke dalam
kolam itu. Aina berusaha untuk berenang, tetapi bagaikan ada yang menarik kaki Aina ke
dasar kolam.

Aina berusaha beristighfar dan memohon ampun kepada Allah seandainya memang inilah
saat terakhir hidupnya. Aina menangis ketakutan dan panik. Dia tidak ingin mati, tentu saja
dia tidak ingin mati. Tetapi tarikan pada kaki Aina sangat kuat. Aina tak bisa melawan
tarikan itu. Aina pasrah. Dia tidak lagi menangis, dia hanya berharap Allah mengampuni
semua dosanya. Dan ketika napas Aina mulai tersengal, Aina melihat seorang pria yang
terbaring tak berdaya di dasar kolam itu. Di samping pria itu ada seekor buaya putih yang
nampak menjaga sang pria.

Entah kenapa Aina bisa berjalan dan mendekati pria dan buaya putih itu. Aina ingin
menolong pria itu. Tangan Aina terulur hendak meraih pria itu. Anhenya sang buaya putih itu
menggeleng.

“Jangan! Jangan dulu, Na! Sebentar lagi kalian akan bertemu ….”

Oh! Aina terkesiap ketika mendengar suara buaya itu. Buaya itu memiliki suara ibunya.
Buaya itu bersuara layaknya Palupi. Aina mundur perlahan, dia merasa berdebar tak terkira.
Aina merasa takut dan tak percaya.

“Ibu?” panggil Aina tak percaya. Dia memandang buaya putih itu dengan waswas. Buaya itu
seakan tersenyum dan mendekati Aina perlahan. Aina menjengit ketakutan dan seketika
tubuh Aina seakan ditarik ke belakang dengan keras. Dan kegelapan melingkupi Aina
sepenuhnya.

***

Aina membuka matanya dengan berat. Perutnya bergejolak dan ketika Aina melihat bayangan
samar di depannya, Aina tak dapat menahan muntahnya lagi. Dia merasa tak menentu.

“Tolong! Tolong, Mas Ewa!”


****
Bab 18

Ewa membuka matanya. Dia merasa kebingungan ketika melihat sekelilingnya. Ewa
mengerjapkan matanya beberapa kali. Ah, sepertinya di berada di bawah air. Tetapi … tetapi
… bukankah dia tadi ditabrak entah oleh siapa dan tubuhnya melayang tinggi … dan
sekarang dia berada di dasar kolam ini ….

Ewa bangkit dan duduk di dasar kolam itu. Ewa merasa heran kenapa dia bisa bernapas, bisa
melihat dan bisa bergerak dengan leluasa di dasar kolam. Ewa mulai merasa takut kalau-
kalau dia diganggu oleh mahluk halus lagi. Ewa mencoba untuk bangkit, tetapi tidak bisa.
Seakan ada yang memegangi kaki dan tubuhnya. Ewa terus berusaha untuk berdiri, tetapi
tubuh Ewa seakan semakin keras ditekan ke bawah, membuat Ewa merasakan sakit yang
amat sangat. Ewa akhirnya menyerah dan duduk kembali ke dasar kolam.

Ewa mengembuskan napas panjang. Rasa sakit di tubuhnya membuat Ewa seakan hendak
menyerah begitu saja. Ewa meneteskan air mata dan beristighfar perlahan.

“Jangan, Ewa! Jangan ucapkan kata-kata larangan itu ….”

Ewa terperanjat dan menoleh. Dia melihat seekor buaya putih yang seketika berubah menjadi
seorang wanita sepuh yang anggun dan cantik. Wanita itu tersenyum pada Ewa.

“Ewa … kamu lupa padaku?” tanya wanita itu. Ewa mengerutkan keningnya. Lupa?
Sepertinya Ewa belum pernah bertemu dengan wanita itu, bagaimana mungkin Ewa bisa
melupakan wanita itu? Wanita itu tertawa.

“Aku Ayu, aku Palupi, aku Bajul Seto … aku punya banyak nama. Aku punya banyak peran,
salah satunya adalah mengganggu ibu Aina. Aku merasuki ibu Aina dan mengkisiki Aina
agar Aina datang ke sini. Intinya aku adalah seseorang atau sesemahluk yang akan
membuatmu menjadi kuncen di Gading Rejo. Aku sudah cinta padamu sejak dulu … sejak
dulu kamu baru sampai di rumah Tanjung Kumoro. Aku tahu kamu adalah kuncen yang
sejati, Ewa.”
Ewa menjengit. Dia tidak menduga jawaban wanita sepuh itu. Wanita itu tersenyum manis.
Dia mendekati Ewa.

“Kamu sudah tahu kuncen itu apa, kan, Wa? Ayu sudah pernah menjelaksan padamu, kan,
Wa?” tanya wanita itu sambil tersenyum penuh makna. Ewa menelan ludah.

“Ya, saya masih ingat,” jawab Ewa. Dia tidak tahu dia akan memanggil wanita dengan
sebutan apa. Ewa hanya memandang wanita itu dengan keheranan karena sang wanita
sekarang berubah wujud menjadi wanita yang dikenali Ewa. Ewa melihat Ayu yang terlihat
cantik dan sangat muda. Ah, Ewa seakan menjadi sangat tergoda dengan Ayu. Ewa buru-buru
menundukkan pandangannya dan beristighfar pelan. Ayu tertawa.

“Mas Ewa … Mas Ewa … Mas Ewa itu sangat lugu. Mas Ewa itu sebenarnya memiliki jiwa
yang sangat lembut dan luas. Sangat luas dan sangat tak terkira … dan … dan jiwa seperti
itulah yang sangat sesuai menjadi kuncen, menjadi penjaga makam Gading Rejo …
menjagaku, Mas Ewa.”

Ewa tidak bisa berkata banyak. Dia hanya memamandang Ayu dan berististighfar lagi.

“Mas Ewa sudah tahu, kan seperti apa pekerjaan kuncen itu?” tanya Ayu lagi.

Ewa hanya bisa mengangguk. Dia tahu sekali seperti apa kuncen itu. Ewa tahu apa
sebenarnya kuncen itu. Ewa masih ingat bagaimana dulu Tanjung Kumoro menceritakan apa
itu kuncen dan apa saja pekerjaannya.

“Kuncen adalah juru kunci, Wa. Penjaga makam. Kuncen tidak hanya membersihkan,
merawat dan menjaga makam saja, tetapi tugas utamanya adalah untuk melayani tamu yang
datang … dan khusus di Gading Rejo ini, tugas kuncen yang utama adalah untuk melayani
tamu yang datang untuk ngalap atau mencari berkah dan mewujudkan keinginan mereka.
Tugasku adalah untuk menyiapkan semua yang dibutuhkan oleh tamu tersebut. Makanya aku
meminta bantuanmu untuk membantuku menyiapkan semua perlengkapan itu, Wa. Kamu
mau, kan?”
Waktu itu Ewa diam saja. Dia masih ragu dan belum benar-benar paham dengan maksud
pamannya. Tanjung Kumoro tertawa.
“Kamu takut, Wa?”

“Bukannya takut, Man, tetapi aku belum paham. Aku belum mengerti apa maksud, Paman,”
jawab Ewa.

“Belum paham tentang kuncen?”

Ewa mengangguk. Tanjung Kumoro kemudian mengangguk.

“Jadi begini, Wa. Kuncen di sini, di makam Gading Rejo ini, adalah untuk melayani semua
yang diinginkan oleh tamu kita. Tamu yang datang ke sini sebenarnya bukan hanya untuk
mencari berkah, Wa. Itu hanya alasan saja. Mereka berdalih mencari berkah padahal mereka
ke sini untuk mencari pesugihan, untuk membalaskan dendam, untuk menarik perhatian
lawan jenis, untuk mencari jodoh, untuk mencari kesuksesan dalam bisnis …ah, apa saja
yang mereka inginkan bisa terwujud di makam Gading Rejo, Wa ….”

“Bagaimana caranya, Man?”

Tanjung Kumoro tertawa.

“Kamu benar-benar tidak tahu, Wa? Yakin tidak tahu?” tanya Tanjung Kumoro dengan
tertawa mengejek. Ewa menggeleng dan merasa sedikit terhina dengan perlakuan pamannya
itu.

“Kita tentu saja tidak bisa mengabulkan keinginan tamu-tamu itu, Wa. Kita membutuhkan
bantuan dari mahluk lain.” Tanjung Kumoro tertawa melihat ekspresi wajah Ewa yang
keheranan. Tanjung Kumoro mengangguk pada Ewa.

“Iya, Wa. Aku memanggil lelembut yang banyak ada di makam Gading Rejo ini. Mereka
berdatangan dengan sukacita dan mau membantuku tentu saja.”

“Hah? Bagaimana Paman memanggil para lelembut itu, Man?”


Ah, tawa Tanjung Kumoro benar-benar murni dari hatinya yang paling dalam. Ewa benar-
benar masih suci murni dan sangat lugu, membuat Tanjung Kumoro tertawa puas.

“Caranya tidak sesulit yang kamu kira, Wa. Gading Rejo adalah tempat yang wingit, angker,
jadi dengan membakar menyan, menyediakan sesaji dan dengan ajian Pameling aku bisa
memanggil lelembut-lelembut yang ada di sekitar makam. Aku memberi mereka makan dan
meminta mereka untuk membantuku dengan janji aku akan memberi mereka tumbal dan
seperti yang kamu lihat. Bisnisku cukup berhasil, kan? Sampai aku kewalahan dan
memintamu untuk membantuku.”

Tanjung Kumoro memandang ke arah keponakannya dengan pandangan tajam, sekaligus


agak geli. Ah, sepertinya Tanjung Kumoro tidak salah pilih, karena orang yang lugu sangat
mudah dimanipulasi dan dipengaruhi.

“Aku membantu apa, Man?”

Nah, benar, kan? Sepertinya Ewa sudah mau membantu Tanjung Kumoro.

“Tidak sulit, Wa. Kamu hanya kuminta membersihkan rumah ini dan juga makam Gading
Rejo, Wa. Kamu harus menyiapkan sajen setiap pagi dan petang, terutama kalau ada tamu
yang membutuhkan tirakat pada malam hari. Kusarankan kamu menginap di sini saja. Untuk
masalah makanan dan perlengkapan sesaji, sudah ada yang menyiapkan, kamu hanya
meraciknya saja dan membersihkan rumahku saja. Bagaimana? Gampang, kan? Tenang saja,
Wa, kamu akan kugaji, selama kamu melakukan pekerjaanmu dengan baik dan menurut
padaku. Kamu butuh uang, kan, Wa?”

Ewa terdiam dan menelan ludah. Dia memang butuh uang, sangat butuh uang untuk
membayar hutangnya karena hobinya yang suka berjudi dulu, dan hobi itu sangat
merugikannya. Dia mengembuskan napas panjang.

“Aku mau, Man,” jawab Ewa akhirnya. Tanjung Kumoro mengangguk puas, dia telah
berhasil membujuk keponakannya untuk menjadi asistennya.
Dan sepertinya itulah awal kehidupan baru Ewa sebagai seorang asisten kuncen. Dari saat
itulah Ewa tahu seperti apa itu kuncen yang seakan harus siap dua puluh empat jam
menunggu tamu yang datang dan meminta bantuan padanya. Tamu yang datang dengan air
mata, dengan kemarahan, dengan seribu asa, semua diterima oleh Tanjung Kumoro dengan
penuh senyum dan ceria. Sampai Aina datang ke Gading Rejo dan bertemu dengan Ewa.

Ewa memejamkan matanya dan Ayu tertawa.

“Kamu sekarang tahu apa yang menyebabkan kamu ragu, kan? Karena gadis gingsul itu
kamu menjadi ragu menjadi kuncen, kan? Ah, sebentar lagi dia akan ke sini dan akan
kutumbalkan agar kamu mau menjadi kuncen di Gading Rejo dan menjagaku … kamu mau
menjagaku, kan, Mas Ewa?”

Ewa menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia tidak ingin Aina ditumbalkan oleh Ayu atau
mahluk apapun yang ada di depan Ewa.

“Jangan Aina! Jangan tumbalkan Aina!”

“Halah, kamu baru ketemu dengan Aina saja sudah ngomong seperti itu, padahal kamu sudah
tidur denganku dan tidak pernah ngomong seperti itu padaku,” kata Ayu dengan wajah pura-
pura mencebik. Kemudian Ayu menoleh ke belakang dan tersenyum bahagia … tersenyum
samar dan penuh kelicikan …

“Ah, akhirnya …dia datang ke sini … berarti … berarti kembang melati itu masih dibawa
oleh wanita itu ….”

Ewa mendelik ke arah Ayu.

“Apa maksudmu?” teriak Ewa histeris, “kamu sudah membunuh pamanku dan kamu
sekarang hendak membunuh Aina ….”

“Membunuh pamanmu? Bukankah kamu yang membunuh pamanmu? Kamu yang


memberikan gelas berisi racun itu pada pamanmu, kan?”
“Aku tidak tahu kalau di gelas itu ada racunnya.”

“Kenapa kamu tidak cari tahu? Salahmu sendiri kamu tidak cari tahu!”

Ewa terdiam sambil menahan marah. Dia menggertakkan rahangnya kuat-kuat menahan
emosi yang membara. Ayu tertawa terbahak-bahak.

“Manusia memang seperti itu. Di saat terjepit, terdesak oleh masalah, dia tidak peduli dengan
apapun selain menyelesaikan masalah itu dengan cara apapun, dan mereka mendatangi kami,
mereka menangis meratap-ratap kepada kami agar kami membantu. Tetapi di saat mereka
sadar bahwa cara mereka salah dan mereka berdosa karena telah meminta bantuan kepada
kami, mereka pun menyalahkan kami, mereka menganggap kami yang telah menggoda
mereka … ya, salah sendiri mereka mau di goda … kami, kan hanya mau mendapat energi
mereka saja … kamu tahu, Ewa? Bahwa sebenarnya manusia yang menyembah kami …
bahwa manusia yang meminta bantuan kepada kami dan rela melakukan apapun yang kami
suruh, maka kami mendapatkan energi yang sangat besar yang membuat kami semakin kuat,
semakin kenyang dan semakin bersemangat untuk menggoda manusia ….” Ayu tertawa puas,
tetapi kemudian dia diam seketika ketika menoleh ke belakang. Dia tertawa terkekeh-kekeh
dan melirik ke arah Ewa dengan mengejek.

“Dia sudah datang Ewa ….”

Ewa menjengit ketika melihat sosok yang berjalan di dalam air dan mendekatinya. Ewa
terlonjak kaget ketika melihat siapa yang datang.

“Aina! Jangan ke sini, Aina!” teriak Ewa, wajahnya sangat panik. Ayu tertawa mengejek.
Perlahan tubuh Ayu berubah menjadi buaya putih dan mendesis perlahan. Ewa semakin
panik. Ewa semakin histeris berteriak memanggil-manggil Aina, tetapi Aina nampak tidak
melihat Ewa. Aina seperti keheranan melihat Ewa dan buaya putih yang berada di dasar
kolam.

Buaya putih itu perlahan bergerak mendekat ke arah Aina. Ewa seakan melihat buaya putih
itu tersenyum mengancam pada Aina. Buaya itu membalikkan badannya ke arah Ewa.
“Wa, aku akan memakan wanita bergingsul itu … jangan marah, ya, Wa? Kamu hanya
untukku … kamu tidak akan selamat dari kejaran polisi karena telah dituduh membunuh
pamanmu, Wa … aku minta maaf ….” Buaya itu membalikkan tubuhnya ke pada Aina.

Anehnya Aina hendak mendekatkan dirinya pada Ewa. Tangan Aina terulur seakan hendak
menolong Ewa. Buaya itu tertawa dan dia mendekati Aina ….

Tiba-tiba tubuh Aina tersedot ke belakang dengan cepat, entah oleh kekuatan apa. Buaya
putih itu berubah menjadi Ayu lagi, dia menjerit kesakitan dan Ewa merasakan tubuhnya
terlempar lagi ….
Bab 19

“Tolong! Tolong, Mas Ewa!”

Aina terbangun dan langsung duduk dengan keringat bercucuran. Dia memandang berkeliling
dengan mata nyalang. Aina melihat beberap wanita yang sedang bertilawah di sampingnya.
Mereka sama-sama terkejut dan beberapa beristighfar melihat Aina yang nampak agak liar.

“Mbak Aina?”

“Ustadzah? Apa yang terjadi?” Napas Aina tersengal. Dia mulai menangis terisak.

“Ustadzah … Mas Ewa akan dimakan buaya puth itu, Ust!”

Seorang wanita cantik mendekati Aina.

“Istighfar, Mbak. Tenangkan diri dulu, Mbak. Minum dulu, ya?”

Aina mengangguk. Dia menerima gelas berisi air putih yang diberikan kepadanya. Aina
meminum air putih dalam gelas tersebut sampai habis. Rasa segar dan nyaman melingkupi
hati Aina. Kemudian Aina tersenyum dengan tenang.

“Ustadzah … apa yang terjadi pada saya?” tanya Aina. Wanita cantik yang memberi Aina
minuman tadi tersenyum dan duduk di samping Aina.

“Tadi kami hendak memeriksa Mbak Aina karena ada teriakan dari kamar Mbak Aina dan
ternyata pintu kamar Mbak Aina sudah terbuka dan Mbak Aina sudah tidak ada di kamar.
Kami mencari Mbak Aina ke mana-mana. Kami mencari Mbak Aina di sekeliling pesantren,
di pasar, di lapangan, tetapi Mbak Aina tidak ada. Kami hampir lapor ke polisi, Mbak, sampai
seseorang menemukan Mbak Aina di kamar mandi di ruang rawat Mbak Aina, padahal kami
sudah mencari Mbak Aina ke seluruh sudut pesantren … dan ternyata Mbak Aina malah ada
di dalam kamar mandi.”
Mereka berpandangan dengan ketakutan dan kekalutan. Wanita cantik itu beristighfar
beberapa kali.dia menggenggam tangan Aina.

“Sebenarnya apa yang terjadi, Mbak Aina?”

Aina tersenyum. Aina kemudian menceritakan pengalamannya dijemput ibunya dan berjalan
di hutan yang asing, hingga kemudian tercebur ke dalam kolam berisi buaya putih dan Ewa.
Oh, Ewa … Ewa yang tampan dan sangat mengibakan. Aina menangis terisak, dia memeluk
wanita cantik di depannya.

“Ustadzah … Aina sedih, Ustadzah … Mas Ewa akan dijadikan tumbal oleh buaya putih itu
… dan buaya putih itu adalah ibu saya, Ustadzah. Ibu saya yang menjadi buaya itu ibu saya,
Ustadzah!”

Wanita cantik itu mengelus kepala Aina dengan penuh kasih. Dia memeluk erat Aina yang
kemungkinan besar sedang terpengaruh oleh sihir dan ajian entah apa. Wanita itu menoleh
kepada ustadzah-ustadzah yang ada di belakangnya dan meminta para ustadzah itu untuk
memanggil para peruqyah untuk segera datang ke kamar itu dan meruqyah Aina.

Aina masih menangis ketika Faza, Faiz dan beberapa ustadz yang lain datang ke kamar Aina.
Aina memandang mereka dengan penuh kesedihan.

“Ustadz, saya minta tolong … tolong cari Mas Ewa, Ust. Mas Ewa akan dimakan buaya itu!”

Wanita cantik itu menepuk-nepuk bahu Aina.

“Mbak Aina, istighfar dulu, njih? Tenangkan diri dulu .…”

“Ewa itu siapa, Ustadzah Rina?” tanya Faza. Wanita cantik yang memeluk Aina
menggelengkan kepalanya.

“Saya juga kurang paham, Ust. Mbak Aina baru saja sadar, dan kalimat pertama Mbak Aina
adalah meminta agar menolong Mas Ewa, Ust,” jawab wanita cantik bernama Rina itu.
Faza mengangguk dan meminta izin untuk bertanya pada Aina.

“Mbak Aina, Mas Ewa itu siapa?” tanya Faza pelan. Aina menghapus air matanya dan
memandang ke arah Faza.dengan heran.

“Ewa itu asisten Ki Tanjung Kumoro, Ust. Dia yang menyiapkan semua perlengkapan Ki
Tanjung Kumoro. Kami pernah bertemu di Gading Rejo dan sekarang dia ditawan oleh buaya
putih itu, Ust. Saya minta tolong, ya, Ust? Tolong selamatkan Mas Ewa.”

Mereka semua terdiam. Faza mengangguk pelan.

“Nanti akan ada yang datang dari Gading Rejo. Nanti kita tanyakan di mana Mas Ewa
berada, ya, Mbak? Siapa tahu yang Mbak Aina alami tadi hanya ilusi belaka,” jawab Faza.
Aina memandang Faza dengan agak ragu.

“Tetapi kalau belum ada kabar tentang Mas Ewa, nanti kita ke Arum Sari, njih, Ust?” tanya
Aina dengan penuh harap. Faza mengangguk. Dia nyaris tertawa melihat kondisi Aina. Faza
pernah melihat orang dengan kondisi seperti Aina dan sebenarnya Faza tahu bagaimana cara
mengatasi masalah seperti itu.

“Za, jangan dibuat mainan,” bisik Faiz. Faza mengangguk.

“Duduk dulu, ya, Mbak Aina. Tenangkan hati Mbak Aina dulu, njih?” kata Faza dengan
lembut. Faza kemudian memakai sarung tangannya dan menyentuh tengkuk Aina perlahan.
Aina menjerit sejadi-jadinya. Dia menolak sentuhan Faza.

“Jangan, Ust! Jangan saya! Tolong Mas Ewa saja!”

“Sssttt! Aku sedang menolong Mas Ewa dengan cara ini. Mbak Aina manut sama Ustadz,
ya?” kata Faza perlahan.

Aina mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Aina menggigit bibirnya dan kemudian secara
mendadak memeluk Faza sambil menangis terisak.
“Ustadz, aku sama Ustadz saja, Ust. Aku mau menikah dan menjadi istri Ustadz. Ustadz
ganteng sekali ….”

Terdengar decak dari belakang Faza. Semua menoleh ke arah sumber suara.

“Jadi tadi kamu hanya bersembunyi, ya? Aku akan mencari tempat persembunyianmu! Aku
akan membunuhmu sampai kamu benar-benar hancur!” Hasna terlihat dan terdengar sangat
emosi. Dia berkacak pinggang di belakang Faza. Faza yang dari tadi berusaha melepaskan
Aina, langsung berdiri dan membuat Aina jatuh tersungkur.

“Aku tadi sudah keluar. Tetapi karena masih ada bunga melati di rumah Aina, maka aku
masih bisa masuk ke tubuh Aina sesuka hatiku,” kata Aina dengan suara dan gaya yang genit.

Hasna berdecak kesal.

“Ustadzah, tolong siapkan air ruqyah yang banyak, njih? Kita harus segera memandikan
Mbak Aina ….”

“Jangan, Ustadzah! Aku tidak akan kuat ….”

“Kamu siapa, sih? Aku yakin kamu jin dari Gading Rejo, kan?”

“Aku Ayu, Ustadzah.”

“Jangan bohong!”

“Aku tidak bohong, ust. Namaku Ayu. Dyah Ayu Suminten. Aku memang dari Gading Rejo.
Aku suka dengan Ewa sejak dulu. Aku ingin Ewa jadi kekasihku, suamiku dan menjagaku di
Gading Rejo, Ustadzah. Salahkah aku? Lagipula Ewa selalu membantu pamannya dan selalu
membaca mantra pengikat kami, jadi aku dan Ewa sudah terikat erat dengan mantra yang
dibaca Ewa sendiri … aku dan Ewa sudah terkait dan terpaut satu sama lain, Ustadzah.”

Semua terdiam. Mereka berpandangan bingung.


“Ewa itu keponakan Ki Tanjung Kumoro?”

“Njih, Ust.”

“Kamu suka padanya?”

Aina mengangguk.

“Kamu sering mengganggunya lewat mimpi?” tanya Faza.

Aina mencebik.

“Aku tidak mengganggu Mas Ewa, Ust. Aku memberi petunjuk pada Mas Ewa.”

“Apa Ewa tahu apa maksudmu memberitahu Ewa lewat mimpinya?” Aina terdiam, dia
nampak berpikir dan kemudian menggelengkan kepalanya.

“Aku tidak tahu. Sepertinya Ewa memang tidak pernah memerhatikanku, walaupun aku
sering muncul dalam mimpinya, dan bahkan dalam mimpi itu kami saling memadu kasih ….”

“Iya! Iya … aku tahu apa yang kamu lakukan dalam mimpi Ewa,” potong Faza dengan kesal,
Faiz tak dapat menahan tawanya.

“Ayu … apa yang kamu lakukan sebenarnya mengganggu Mbak Aina. Kamu tidak
membantu, tidak memberitahu atau melakukan hal lain selain menganggu Mbak Aina, Dyah
Ayu Suminten,” kata Faza dengan senyum yang ramah, “keluar ya, Ndhuk?”

“Iya, bisa saja aku keluar sekarang atau nanti, tetapi aku tetap bisa masuk ke dalam tubuh
Aina lagi ….”

“Aku akan membakarmu ….”

“Tidak akan bisa! Karena bunga melati itu masih disimpan wanita ini,” jawab Aina dengan
senyum yang aneh, “Ustadz tidak akan bisa menemukan di mana lemari itu di simpan, karena
aku sudah tahu bahwa nanti orang akan mencari melati itu. Aku sudah menyimpan melati itu
di tempat yang rahasia ….” Aina tertawa puas.

Hasna mengangguk.

“Ya, aku tahu, kamu pasti akan bermain rahasia-rahasiaan denganku. Aku tahu … kamu
adalah jin amatir yang suka bermain-main dengan manusia. Tujuanmu mengganggu manusia
hanya menggoda saja, bukan untuk tujuan yang lain. Ya, mungkin kamu sudah berumur
ratusan atau ribuan tahun, tetapi aku –atas izin dan bantuan Allah— Insya Allah bisa
menaklukkanmu. Aku sudah sering melihat jin murahan sepertimu ….”

“Aku bukan jin murahan!” teriak Aina dengan wajah merah padam. Faiz, Faza dan beberapa
peruqyah akhwat yang ada di ruangan itu nyaris tak dapat menahan tawanya. Ah, sepertinya
jin yang menggoda Aina memang hanya jin yang iseng saja.

“Iya, kamu jin murahan! Kamu jin yang bosan dengan Tanjung Kumoro yang mungkin sudah
tua dan kamu mencari mangsa yang lain, yang adalah Ewa … dan kamu merasuki wanita ini
karena kamu tahu wanita ini akan menjadi penghalangmu untuk mendapatkan Ewa. Iya,
kan?” tanya Hasna dengan suara yang tegas dan wajah yang sangat jengkel.

Wajah Aina agak sedikit terkejut melihat kejengkelan Hasna dan tiba-tiba saja Hasna mundur
dan meminta beberapa ustadzah yang ada di situ untuk berkumpul dengannya. Mereka
nampak saling berbisik. Aina memandang mereka dengan penuh kecurigaan. Faza hendak
mendekati Aina dan berniat hendak meruqyah Aina, tetapi Faiz mencegah Faza mendekati
Aina.

“Biarkan saja, Za. Sepertinya ummi pasti punya rencana lainnya, Za.” Faza menoleh ke arah
Faiz dengan agak kesal, tetapi demi melihat kegelian di wajah Faiz, Faza pun jadi ikut
tertawa. Dia mengangguk dan mundur kembali. Faza tahu, pastilah Faiz – yang adalah anak
Hasna—lebih mengetahui Hasna dibandingkan dirinya.

Benar dugaan Fadli, tak lama kemudian Hasna meminta Faza dan Faiz untuk mendekatinya.
“Kurasa … yah … kami rasa bunga melati --atau apapun yang diberitahukan jin tadi—pasti
ada di sini,” kata Hasna. Faiz dan Faza memandang Hasna dengan agak ragu,
“Apa benar, Um? Apa bisa bertahan di pesantren?” tanya Faiz. Hasna tersenyum.

“Iz, kamu ingat pesan abimu dulu? Bahwa sihir memang menggunakan buhul sihir, baik
buhul yang nyata maupun buhul yang gaib. Dan salah satu buhul gaib terbesar dan terberat
adalah hati kita sendiri. Hati kita adalah kunci dari semua buhul sihir yang dikirimkan pada
kita. Jadi walaupun semua buhul sihir itu ditemukan, tetapi hatinya masih merasa ragu, takut
dan condong pada pikiran negatif, pastilah sihirnya belum akan hilang ….” Hasna tersenyum,
sebulir air mata mengalir di pipinya.

“Kalau melihat bahwa tadi ada yang bisa menyusul Aina ke sini, pastilah media sihir itu
dibawa Aina ke sini dan … dan hati Aina cenderung pada masalah ini. Dalam artian, bisa jadi
Aina merasa benar-benar cinta pada Ewa atau Aina merasa khawatir atau risau pada ibunya.”

Mereka berpandangan. Faiz tersenyum bahagia. Dia memeluk ibunya dan mengangguk.

“Njih, Um. siap. Kami akan siap membantu.”

Hasna tersenyum geli.

“Kamu dan ustadz yang lain tidak usah ikut. Biar kami saja para wanita yang melakukan
pekerjaan ini.” Hasna tertawa geli dan kemudian pergi meninggalkan Faiz dan Faza yang
saling berpandangan kebingungan.

Faiz tertawa.

“Biar saja, Za. Malah pekerjaan kita jadi lebih ringan,” kata Faiz. Faza mengangguk dan dia
mendekati Aina.

“Ruqyah?” tanya Faiz, Faza mengangguk. Faiz pun duduk di samping Faza dan ikut
meruqyah Ania dengan Faza.

***
Bab 20

Naim mulai merasa kantuk itu mulai menyerang dirinya. Ah, sebentar lagi mereka akan
sampai ke Karang Pandan, tetapi rasa kantuk itu tak terperi lagi. Akhirnya Naim memutuskan
untuk menepikan mobilnya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan nantinya.

“Kenapa, Im?” tanya Fadli.

“Ngantuk, Pak.”

Fadli mengerutkan keningnya.

“Yakin bukan karena gangguan yang lain?” tanya Fadli. Naim mengangguk dan tertawa geli.

“Nggih, Pak. Insya Allah bukan karena gangguan apa-apa. Aku ngantuk banget.”

Tiba-tiba Fadli –yang duduk didepan—menoleh ke arah Naim dengan pandangan takut.

“Kamu mendengar suara itu, Im?” tanya Fadli panik. Naim mengerutkan keningnya. Dia
nampak bingung. Wajah Fadli semakin pias.

“Benar kamu tidak dengar suara itu, Im?” tanya Fadli lagi.

“Saya mendengarnya, Ust.”

Fadli dan Naim menoleh ke belakang. Nurul Ikhlash mengangguk.

“Suara orang meminta tolong, kan? Saya mendengarnya,” kata Nurul lagi. Fadli
mengangguk.

“Berarti itu suara manusia betulan, kan, Ust?’ tanya Fadli. Nurul Ikhlash mengangguk.
“Sepertinya iya, Ust.”

Mereka berpandangan panik. Naim mulai merasa takut karena sampai sekarang dia belum
mendengar suara apapun, padahal bapak dan Nurul Ikhlash sudah mendengar suara itu.

“Kenapa saya tidak mendengar suara itu, ya, Ust? …. Oh! Oh! ….”

***

Hasna segera memeriksa ruang rawat Aina. Sebuah ruang kecil dengan satu tempat tidur yang
juga kecil dan sebuah meja untuk menyimpan barang-barang pribadi pasien. Rina –wanita
cantik yang tadi memeluk Aina—ikut membantu Hasna memeriksa ruangan itu. Mereka
mengeluarkan baju dan barang-barang Aina dari dalam lemari kecil itu. Rina meletakkan
barang-barang Aina di atas tempat tidur Aina.

“Oh! Ustadzah Hasna, bukankah kemarin dulu Mbak Aina ke sini tanpa membawa apa-apa?”
tanya Rina. Hasna mengerutkan keningnya.

“Apa iya, Ust?”

Rina mengangguk.

“Iya, Ust. Dulu Mbak Aina ke sini pagi-pagi, kalau tidak salah masih dengan baju tidurnya.
Lalu kita meruqyahnya, dan setelah Mbak Aina sadar kalau tidak salah Mbak Aina
menghubungi seseorang untuk membawakan bajunya ke sini,” jawab Rina.

Hasna terdiam. Selama ini dia selalu menjadi ketua peruqyah, sehingga pekerjaan atau
masalah remeh temeh seperti itu selalu dilakukan oleh orang lain. Hasna menelengkan
kepalanya.

“Hari apa orang suruhan Aina ke sini, Ustadzah?”

Rina terdiam dan berusaha mengingat hari apa wanita itu datang ke pesantren.
“Kalau tidak salah dua hari yang lalu, Ust. Hari Selasa berarti,” jawab Rina.

“Oh, begitu, ya? Ustadzah bertemu dengan orang itu, Ust?’ tanya Hasna. Rina mengangguk.
“Njih, Ust. Saya yang mengantarkan wanita itu ke kamar Mbak Aina. Kami berbicara cukup
lama, Ust.”

“Siapa namanya, Ustadzah?”

Rina memandang Hasna dengan panik. Dia menggelengkan kepalanya.

“Saya lupa, Ust.”

***

Fadli menoleh ke arah Naim dengan heran.

“Kenapa, Im?” tanya Fadli pada Naim dengan keheranan. Naim menunjuk ke arah belakang
Fadli. Wajah Naim pucat, tetapi sebelum Fadli menoleh Naim dan Nurul Ikhlash sudah
keluar dari mobil dengan cepat.

Fadli melihat Naim dan Nurul Ikhlash membantu seorang pria yang terbaring di pinggir jalan.
Pria itu terlihat ingin berdiri, tetapi tak kuasa karena tubuhnya yang terluka dan bersimbah
darah. Fadli ngeri melihatnya, tetapi dia ingin tahu apa yang terjadi, sehingga Fadli segera
membuka pintu mobil itu.

Oh! Ternyata udara sangat dingin. Fadli menggigil kedinginan.

“Tolong Aina! Tolong Aina, Mas. Aina tidak bersalah!”

***

Rina memandang Hasna dengan takut. Rina berusaha bertingkah biasa saja, tetapi tidak bisa,
karena Hasna memandang Rina dengan tajam.
“Sudahlah kita bisa lihat CCTV nanti dan mencari tahu ….”

“Kita bisa lihat buku tamu, Ustadzah. Dengan buku tamu itu kita bsia mencari nama ….”
“Oh, ya … benar sekali ….” Mereka berpandangan dan segera berlari keluar ruangan itu.
Rina segera menuju ke ruang resepsionis di bagian depan pesantren dan dengan tergesa
mencari nama tamu yang mengunjungi Aina pada hari Selasa kemarin. Jantung Rina berpacu
dengan kencang, napas Rina tersengal dan tangannya gemetaran. Dia takut kalau nama tamu
itu tidak ketemu dan … dan pencarian mereka akan sia-sia.

Rina beristighfar beberapa kali sampai dia menemukan catatan tamu yang datang pada hari
Selasa dan … oh … tidak ada tamu yang mengunjungi Aina pada hari Selasa itu.

“Cari apa, Ust?” tanya seorang satpam pada Rina. Rina menoleh dengan risau. Dia kemudian
menceritakan apa yang terjadi dan apa yang dicarinya. Satpam itu nampak berpikir.

“Eh, bukannya hari Selasa kemarin itu ada satu tamu yang tidak bisa menulis, sehingga
Ustadzah Rina yang menuliskan nama tamu itu. Kalau tidak salah waktu itu saya bertanya
kepada Ustadzah kenapa nama orang yang dikunjungi tidak ditulis. Ustadzah Rina bilang
tidak apa-apa karena sedang buru-buru. Ingat nggak, Ust?”

Rina membeliak. Dia lupa sama sekali tentang hal itu, tetapi sekarang dia ingat. Oh, ya dia
ingat ketika itu Rina benar-benar terburu-buru karena ada pasien ruqyah yang baru datang
dan Rina harus mengantarkan pasien itu ke ruang terapi ruqyah.

“Wah, benar, Pak. Saya ingat sekarang. Terima kasih, ya, Pak,” kata Rina dan dia langsung
mencari lagi di buku tamu dan segera saja Rina menemukan tulisan tangannya sendiri. Rina
mengangguk. Nama tamu itu adalah Siti.

***

Fadli hanya bisa melihat Naim dan Nurul Ikhlash memasukkan pria muda itu ke dalam mobil
dan kemudian Naim melajukan mobil yang mereka tumpangi dengan sangat cepat menuju ke
Karang Pandan. Mereka harus segera membawa pria muda itu ke rumah sakit.
***

Pagi itu sudah luar biasa suasana di katering milik Aina. Rina dan beberapa ustadzah yang
lain segera masuk dan mencari pegawai yang bernama Siti. Dan mereka mendapat jawaban di
luar dugaan mereka.

“Maksud ibu itu Bu Siti Linawati? Beliau sudah masuk kantor dari tadi,” jawab seorang
pegawai.

“Siti Linawati?”

“Njih, Bu.”

Rina menelan ludah dan akhirnya mengangguk.

“Baiklah, saya akan bertemu dengan Bu Siti Linawati saja,” kata Rina akhirnya.

Kemudian Rina diantarkan ke sebuah ruang kantor di ujung rumah itu dan kemudian Rina
melihat wanita yang memang datang ke pesantren hari Selasa kemarin. Rina berdebar keras,
karena dia harus melakukan semua pesan Hasna padanya tadi. Rina menggigit bibir dan
masuk ke dalam ruang kantor itu dengan senyum ramah.

Wanita yang sedang duduk di balik meja itu mendongak dan keheranan melihat Rina di
depannya. Dia mengerutkan keningnya dan kemudian berusaha berwajah biasa saja. Wanita
bernama Siti itu berdiri dan menyambut Rina dengan ramah.

“Ustadzah?”

Rina mengangguk.

“Bu Siti?”
“Njih, Ust. Saya Siti.”

“Apa benar Bu Siti yang kemarin ke pesantren dan mengantarkan barang-barang milik Mbak
Aina?” tanya Rina. Jantungnya berdebar kencang.
Siti diam, dia tidak langsung menjawab pertanyaan Rina, tetapi Siti memandang Rina dengan
pandangan yang tajam dan penuh penilaian. Siti tersenyum.

“Siapa yang menyuruh Ustadzah ke sini? Apakah Aina yang menyuruh datang ke sini?”
tanya Siti dengan sadis. Rina diam saja. Dia memandang berkeliling dan berusaha mencari
benda yang diberitahukan Hasna padanya.

Rina berusaha untuk berkonsentrasi mencari benda itu. Ah, sepertinya tidak ada ….

“Ustadzah! Kenapa Ustadzah malah melamun, Ust? Apa yang Ustadzah pikirkan? Kenapa
Ustadzah ke sini? Kalau sekiranya tidak penting silahkan untuk keluar saja, Ust!” teriak Siti.

Rina agak terkejut mendengar teriakan Siti, tetapi dia hanya tersenyum pada Siti. Rina
tersenyum penuh percaya diri. Paling tidak dia berusaha untuk percaya diri.

“Ustadzah!” seru Siti.

“Ustadzah ...” panggil seseorang dari belakang Rina.

***

Hasna dan seorang ustadzah membolak balik baju milik Aina. Sepertinya tidak ada apapun
yang mencurigakan. Semua nampak normal. Ada rok, ada atasan, ada jilbab dan pakaian
dalam. Semua sudah dibuka dan dibolak balik oleh Hasna. Dan Hasna tidak menemukan
apapun. Hasna mengembuskan napas panjang. Dia merasa agak kelelahan dan akhirnya
duduk di ranjang ruang rawat itu.

Hasna nampak berpikir-pikir, di mana kira-kira seseorang akan menyembunyikan kuntuman


bunga melati agar tidak diketahui orang lain. Ah, Hasna merasa agak sedikit kelelahan. Dia
berbaring di ranjang itu dan dalam sekejap Hasna terlelap.
Aneh sekali. Hasna bermimpi melihat sebuah kolam di depannya. Bagaimana mungkin
mimpinya sama dengan mimpi Aina. Dalma mimpi itu Hasna merasa dia yakin ada sesuatu di
bantal atau ranjang Aina. Hasna ingin segera bangun dari tidurnya, tetapi dia tidak tahu
caranya dan Hasna mendengar suara tawa.

“Ah, sudah tahu rahasiaku rupanya … Bgauslah! Kalau kamu kumusnahkan maka kamu
tidak akan bisa bangun dan rencanaku ini tidak akan gagal.”

Hasna mencari sumber suara dan dia melihat seorang wanita cantik yang berdiri di atas
pohon. Ah, menarik sekali. Wanita itu nampak puas dan bahagia. Dia memandang Hasna
dengan pandangan mengejek.

“Ayu?” tanya Hasna.

Ayu mengangguk.

“Sudahlah, Ustadzah. Jangan ganggu aku lagi, ya? Aku hanya mencari kuncen di makam
Gading Rejo, seperti yang sudah berjalan bertahun-tahun yang lalu. Jangan ganggu aku, ya?”

Hasna menggeleng.

“Aku akan menggagalkan rencanamu, Ayu. Aku tidak akan membiarkanmu mendapatkan
Ewa ataupun Aina,” kata Hasna dengan lugas. Ayu nampak mencebik dan kemudian Ayu
turun perlahan dari pohon di depan Hasna.

“Bagaimana caranya?” tanya Ayu dengan wajah geli, “kamu tidak akan bisa menemukan ….”

“Aku sudah menemukannya,” kata Hasna, dia membuka telapak tangannya dan terlihat
kuntuman bunga melati yang sudah layu di tangannya. Hasna terkejut sendiri ketika melihat
bunga melati yang ada di tangannya itu. Hasna beristighfar ketika melihat bunga melati itu
terbakar perlahan. Sama sekali tidak menyakitkan Hasna, karena melati itu seakan berubah
menjadi bara dan perlahan menjadi abu yang tertiup angin malam.
Ayu menjengit dan kemudian berteriak histeris. Dia berlari ke arah Hasna dan mencengkeram
Hasna dengan histeris.

“Apa yang kamu lakukan? Apa yang kamu lakukan? Kamu membunuhku!” teriak Ayu.
Hasna mengembuskan napas panjang.

“Kamu itu siapa?” tanya Hasna sinis. Ayu mendesis kesakitan.

“Aku Dyah Ayu Suminten. Aku penguasa di Gading Rejo.”

“Kamu mencari tumbal nyawa manusia, kan?”

Ayu tertawa.

“Kamu tahu?”

“Apalagi yang dicari jin? Aku sudah hafal. Biasanya kalian mencari tumbal, pencari
penyembah, mencari pengabdi ….”

“Ya, betul sekali. Dan kuncen adalah salah satu pintuku untuk mendapatkan banyak pengabdi
dan penyembah. Makanya aku mempertahankan posisi itu … tetapi keputusanku memilih
Ewa ternyata keliru … ternyata Ewa sering beribadah, walaupun memang sering bolongnya,
tetapi tetap saja jiwanya tidak murni dan mengganggu vibrasi negatifku. Dan akhirnya ya
begini ….” Ayu menggeliat kesakitan.

“Aku mencari pengabdi agar aku memiliki kekuatan, sehingga aku bisa bertahan hidup lebih
lama dan ….”

“Kamu mencari makan, kan? Eh, bukan … kamu mencari orang yang akan memberimu
makan setiap hari dan memberimu tumbal. Iya, kan? Itu namanya mengganggu manusia. Itu
namanya jin fasik yang selalu mengganggu kehidupan manusia.”

Ayu terdiam. Perlahan Ayu luruh ke tanah. Air matanya bercucuran.


“Aku sudah melakukan apapun. Aku sudah melakukan semuanya. Aku sudah menjadi buaya,
aku sudah menjadi ibu Aina, aku sudah menjadi wujud ini … tetapi … tetapi kenapa masih
saja bisa dikalahkan?”
“Karena aku meminta bantuan penciptamu dan juga penciptaku. Aku menyerahkan semuanya
pada Allah ….”

“Aahh! Jangan! Jangan sebut nama itu! Sakit! Sakit!” teriak Ayu sambil menutupi telinganya.
Dia menggeliat kesakitan.

“Pergilah! Aku tidak akan mengganggumu lagi kalau kamu tidak mengganggu manusia lagi,
Ayu.”

Ayu menggelengkan kepalanya. Dia bersimpuh dan menangis terisak tanpa henti.

“Aku tidak mau.”

“Kalau tidak mau berarti aku tidak punya pilihan lain. Berarti kamu harus kubakar dan kamu
akan mati, Yu. Aku tidak punya pilihan lain lagi,” kata Hasna. Perlahan Hasna duduk bersila
di depan Ayu dan mulai meruqyah Ayu.

Waktu itu Hasna tidak paham benar dengan apa yang dilakukannya, karena Hasna paham dia
sedang berada di dalam mimpi, tetapi dia tidak habis pikir kenapa dia menuruti semua
kejadian yang ada di dalam mimpi itu. Aneh sekali.

Tetapi Hasna tidak ingin membuang waktu lagi. Dia terus membaca ayat ruqyah dan perlahan
tubuh Ayu berubah wujud menjadi buaya, menjadi wujud wanita tua, menjadi wujud yang
menjijikkan, menjadi wujud yang mengerikan …. Ah, Hasna menundukkan pandangannya
karena tidak ingin terganggu oleh wujud-wujud Ayu. Hasna terus mendaraskan ayat ruqyah
dan tak berapa lama kemudian Ayu menjerit kesakitan.

Hasna ngilu mendengar teriakan itu. Hasna pun mendongak dan melihat Ayu menghilang
berganti dengan sebuah wujud yang nyaris tak bisa dipahaminya. Hasna melihat wujud
sebuah bola besar transparan di depannya. Hasna pernah melihat bulatan bola itu. Dulu.
Ketika Hasna melahirkan Faiz dan Faizah dengan operasi caesar dan Hasna melihat Faiz dan
Faizah terbungkus dalam bulatan yang sama persis dengan apa yang dilihatnya sekarang.
Hasna beristighfar dan bulatan bola transparan itu menggeliat resah.

Ah, bulatan bola transparan itu nampak bergerak liar. Isi dari bulatan itu seakan gelisah dan
seakan hendak keluar dari dalam bulatan transparan itu. Hasna merinding ngeri melihat
bulatan itu. Perlahan Hasna beringsut mundur dan bangkit menjauh, karena Hasna sudah
melihat terbentuknya retahan di bulatan bola itu. Retahan itu semakin lama semakin panjang
dan akhirnya bola itu pecah.

Pecahnya pelan sekali, berawal dari sebuah rembesan air kekuningan yang perlahan keluar
dari bola transparan itu dan kemudian menjadi sebuah banjir air yang membuat bola
transparan itu mengempis, mengeluarkan begitu banyak kepiting transparan dari dalam bola
itu. Hasna berjingkat kaget dan segera bangkit berdiri dan berlari menjauh.

Hii … mengerikan sekali. Kepiting-kepiting itu seakan mendesis marah pada Hasna dan
kepiting-kepiting itu berjalan menuju ke kolam yang ada di depan Hasna. Mereka
menceburkan diri ke dalam kolam itu dan air dalam kolam itu seakan mendidih dan … lama
kelamaan air kolam terdengar gemelutuk dan kemudian air dalam kolam itu meledak keras
….

***

Hasna terbangun.

Terdengar seruan hamdallah di sekeliling Hasna, membuat Hasna terkejut dan kebingungan.

“Ummi?” Hasna tersenyum melihat Faiz berdiri di depannya dengan wajah khawatir. Hasna
mengangguk.

“Aku tahu di mana bunga melati itu,” kata Hasna. Dia bangkit dan mengambil bantal yang
yang ditidurinya.
Dan benar dugaan Hasna setelah dia menyayat bantal itu muncul kuntum bunga melati yang
berbau sangat menyengat wanginya dan jumlahnya banyak sekali. Semua orang beristighfar
kaget.

“Iz, tolong hubungi Ustadz Fiki. Minta beliau untuk memeriksa rumah Ki Tanjung Kumoro
dan juga Desa Arum Sari, ya?”
Faiz mengangguk. Dia segera keluar ruangan yang penuh dengan wanita itu. Hasan
tersenyum kepada semua ustadzah-ustadzah yang mengerumuninya.

“Kita harus meruqyah Mbak Aina sekali lagi dan insya Allah semua akan baik-baik saja,”
kata Hasna. Semua orang mengangguk dan mereka bergantian memeluk Hasna, yang
membuat semua orang kebingungan dan ketakutan karena dari tadi tidak bisa dibangunkan
dari tidurnya.

“Apa yang terjadi, Ustadzah? Kenapa Ustadzah jadi tahu letak bunga melati yang
menyebabkan Mbak Aina digoda jin terus?”

Hasna tersenyum dan menceritakan mimpi anehnya.

***

Rina menelan ludah ketakutan. Sampai sekarang dia belum melihat perhiasan , lukisan atau
tato yang mencurigakan pada tubuh Siti atau pada ruang kerja Siti. Dan ustadzah di
belakangnya menarik-narik baju Rina.

Rina menoleh dengan tidak sabar. Dia berdecak kesal.

“Itu, Ust!” desis ustadzah di belakang Rina. Rina mengikuti arah pandangan para ustadzah …
dan seketika Rina paham. Dia tersenyum dengan penuh percaya diri pada Siti.

Wajah Siti panik, ketika tadi semua orang melihat ke arah sebuah jambangan bunga
berbentuk aneh yang ada di sudut ruangan itu. Menurut Rina bentuk jambangan bunga itu
hampir menyerupai telinga, melengkung agak aneh … tetapi ketika Rina menoleh lagi ke
arah jambangan bunga itu, Rina paham apa bentuk jambangan bunga itu. Bentuk jambangan
itu menyerupai bentuk janin dalam rahim yang bergelung hangat. Rina tersenyum samar.

“Kita mulai saja, Ustadzah,” kata Rina. Para ustadzah di belakang Rina mengangguk. Mereka
mulai mencari posisi dan mulai membaca ayat ruqyah. Siti mendelik tak percaya. Dia
menjengit kaget dan kemudian berteriak histeris.

“Kenapa kalian tahu? Dari mana kalian tahu apa yang kulakukan?”
Rina diam saja, karena sebenarnya Rina tidak tahu apa maksud Siti. Sepertinya tadi Hasna
juga mengerti apa yang dilakukan oleh Siti dan Rina tidak tahu apa-apa.

“Aku benci sekali pada Aina. Benci sekali. Dia cantik, sukses, berhasil dan disukai banyak
orang. Aku tidak ingin hanya dia yang berhasil. Aku juga ingin berhasil dan sukses seperti
Aina.” Siti menangis terisak.

“Semua sihir yang kukirim gagal dan cabar gara-gara kalian. Padahal aku sudah jauh-jauh ke
Gading Rejo dan mematuhi semua yang diminta oleh dedemit di sana. Oh …! Apa yang
kalian lakukan?” Siti menjerti tanpa henti. Dia menangis kesakitan dan tiba-tiba saja
jambangan bunga di sudut ruangan itu meledak dan pecah berkeping-keping, membuat semua
orang menjerit kaget dan segera menjauh dari jambangan bunga itu. Kecuali Siti. Siti malah
mendekati jangan bunga itu dan mengambil serpihan dan pecahan jambangan bunga itu
dengan air mata yang berlelehan di pipinya.

“Kamu pecah, Nak … kamu mati, Nak ….” Siti menangis terisak. Dia mengambil potongan
keramik paling besar dari jambangan itu dan menimang potongan keramik itu, selayak
menimang seorang anak.

“Maafkan ibumu, Nak, maafkan aku, Nak. Aku akan ikut denganmu, Nak. Kita akan selalu
bersama-sama ….” Siti tersenyum dan perlahan menggores lehernya dengan potongan besar
pecahan keramik itu.

Orang-orang menjerit histeris melihat darah yang memancar-mancar dari leher Siti.
Sepertinya mereka terlambat.
***
Bab 21

“Mari kita urai satu persatu.”

Semua orang mengangguk.

“Jadi semua masalah yang dialami Mbak Aina terjadi karena kiriman sihir karyawannya yeng
bernama Siti yang sudah meninggal? Karena bunuh diri?”

“Benar sekali, Mas Naim. Siti merasa iri dengan keberhasilan dan kecantikan Mbak Aina.
Dia mendatangi makam Gading Rejo dan mendapat aneka rupa syarat dari kuncennya.
Kemudian dia mulai mengirim sihir pada Mbak Aina. Hingga bisnis Mbak Aina mulai hancur
dan Mbak Aina malah juga mengunjungi makam Gading Rejo dan dari sinilah masalah mulai
bermunculan.kita semua sudah tahu bahwa Mbak Aina mulai mengalami gangguan jin, Mbak
Aina datang ke sini dan masih diganggu jin juga, sampai kemarin Ummi berhasil menemukan
bunga melati yang menyebabkan Mbak Aina masih terus diganggu jin walaupun Mbak Aina
sudah berada di pesantren.”

Naim mengangguk. Dia memandang ke arah Faza yang selalu mencatat semua kasus yang
mereka hadapi. Naim memandang ke arah Faiz lagi.

“Lalu Ewa?”

“Ewa adalah keponakan Ki Tanjung Kumoro, Ust. Awalnya Ewa menggunakan ajian
pengasihan untuk menarik perhatian banyak orang. Tetapi sepertinya ketika bertemu Mbak
Aina, Ewa benar-benar jatuh cinta pada Mbak Aina. Sehingga ketika ajian pengasihan itu
lepas dari diri Ewa, Ewa tetap suka pada Mbak Aina … dan hal itu mencabarkan keinginan
para jin di Gading Rejo yang ingin menjadikan Ewa sebagai kuncen di Gading Rejo. Dan
karena tekad bulat mereka berdua dan iman yang masih ada di dalam jiwa mereka berdua
walaupun sedikit, mereka berdua bisa selamat dari godaan jin tersebut.”

Semua orang mengangguk paham. Semua memang berujung pada keimanan masing-masing
untuk menghalau semua gangguan jin itu. Fadli berdeham memecah kesunyian.
“Berarti kasus ini sudah selesai, njih?” tanya Fadli.

“Sepertinya sudah, Ust. Alhamdulillah, karena bantuan semua orang dan kesabaran semua
orang, terutama Ustadz Faza yang tidak ikut berekspedisi ke Arum Sari,” kata Nurul Ikhlash.
Semua orang tertawa.

“Alhamdulillah, kami juga mengucapkan jazakumullah, terima kasih sekali kepada semua
pihak yang telah membantu kami. Ustadzah Hasna yang telah membantu memecahkan
masalah ini dengan kecerdasan beliau dan juga ketegasan beliau,” kata Nurul Ikhlash lagi.
Hasna tertawa.

“Ah, Ustadz Nurul Ikhlash, semua tentu saja karena kuasa Allah, Ust. Saya hanya membantu
sedikit saja. Pastinya Mbak Aina dan Mas Ewa memang bertekad untuk tidak mau diganggu
oleh jin, Asatidz semua.” Hasna tersenyum malu.

“Dan kabarnya mereka akan menikah, kan, Ust?” tanya Hasna lagi. Semua orang
mengangguk.

“Alhamdulillah, kalau memang berakhir bahagia tanpa menggunakan sihir apapun.”

“Njih, Ustadzah. Benar sekali.”

Terdengar gumaman pelan di seluruh ruangan itu. Wajah para ustadz ustadzah berwajah
bahagia dan lega, karena mereka telah menyelesaikan satu kasus misterius dengan baik dan
tanpa kejadian buruk apapun.

Alhamdulillah.
Epilog

Faza memandang Naim dengan pandangan bingung. Naim tertawa.

“Kenapa, Za? Masih ada misteri yang belum terungkap?” tanya Naim pada adik bungsunya
itu. Faza tersenyum dan mengangguk.

“Konon Ki Tanjung Kumoro meninggal karena dipatuk ular, kan, Mas. Tubuhnya membiru
dan pucat karena kehabisan oksigen, kan?”

“Iya. Memangnya kenapa?”

Faza nampak agak ragu.

“Aku hanya heran saja, kenapa Ewa sama sekali tidak disebut-sebut oleh polisi, ya, Mas?
Bukankah Ewa yang sehari-hari dengan Ki Tanjung Kusumo?”

Naim terdiam. Dia segera merebut tablet yang digunakan Faza untuk mencatat semua kasus
yang mereka hadapi. Naim membaca tulisan Faza di tablet itu, kemudian Naim mendongak
dan memandang Faza. Wajah Naim nampak bingung.

“Kenapa aku lupa dengan Ewa, ya, Za?” Faza mengangguk.

“Sama, Mas.” Mereka berpandangan. Naim memejamkan matanya.

“Kurasa masih ada misteri yang belum tersingkap, Za. Semoga suatu saat nanti kita bisa
mengungkapkan misteri ini,” kata Naim. Dia menoleh ke arah Faza. Naim tahu adiknya tidak
akan puas kalau masih ada misteri yang tersisa seperti ini. Naim tersenyum geli. Dia
merangkul Faza yang tinggi menjulang di sampingnya.

“Allah yang Maha menentukan, Za. Sabar, ya?” Faza tertawa. Dia mengangguk. Faza tahu
dia setiap kasus pasti ada misteri yang selalu tersisa. Pasti ada fakta yang terlewatkan.
***

“Rumahnya bagus sekali, Mas!” seru Aina. Ewa tersenyum dan mengangguk. Mereka
berpandangan malu. Aina memeluk Ewa.

“Terima kasih, ya, Mas, sudah membelikan rumah yang indah dan besar untukku dan ibuku,”
kata Aina. Ewa hanya mengangguk saja.

“Yuk, masuk. Malu dilihat tetangga,” kata Ewa sambil menggandeng tangan Aina. Aina
mengangguk penuh semangat dan mereka berdua masuk ke dalam rumah besar itu.

Ewa tersenyum samar. Dia bersyukur para ustadz itu belum menemukan melati yang
dibungkus dengan kertas putih bertuliskan rajah yang diberikan oleh Ayu yang menyamar
menjadi seorang warga Desa Arum Sari. Untunglah para ustadzah di pesantren itu hanya
menemukan melati pencipta mimpi di bantal Aina saja dan mereka tidak menemukan kertas
putih yang sempat di simpan Siti –yang membawakan baju Aina ke pesantren—di bagian
saku jaket yang tersampir di kursi yang ada di ruang rawat Aina, yang sepertinya terlewat dan
tidak diperiksa oleh para ustadzah itu.

Ewa membuka pintu rumah itu dengan bahagia. Sekilas Ewa melihat wajah Ayu di dalam
rumah. Ewa tersenyum samar. Ah, sepertinya Ayu sudah tidak sabar lagi ingin segera
mendapatkan tumbalnya …. Bahkan Ayu bersedia mengubah rumah Ki Tanjung Kumoro
menjadi rumah yang bagus bagi pandangan Aina, agar Aina tidak curiga kalau dia sebenarnya
akan ditumbalkan oleh Ewa, suaminya sendiri, agar Ewa bisa bertambah sakti dan bisa
menjadi kuncen yang sukses dan berhasil.

“Wah, bagusnya, rumahnya, Mas! Terima kasih, ya, Mas. Wah, ibu juga sudah ada di sini!”
seru Aina girang, “terima kasih, ya, Mas Ewa?”

Ewa mengangguk. Kemudian Ewa perlahan menutup pintu rumah Ki Tanjung Kumoro dan
kegelapan pun menyapa mereka, menyambut akhir hidup Aina ….

***
Tentang Penulis

Endah Wahyuningtyas adalah penulis spesialis horror. Bukan horror yang ‘horror’ sekali, sih,
tetapi horror yang cukup membuat merinding dan jantung bergejolak sesaat. Kebanyakan
tulisan Endah Wahyuningtyas bersumber dari masih banyaknya kepercayaan masyarakat
pada dunia gaib, dan masih banyaknya masyarakat yang menggunakan kekuatan dari dunia
gaib itu untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dalam kehidupan dan menunjukkan
bahwa hal itu bukanlah hal yang benar.

Endah Wahyuningtyas telah telah berhasil menerbitkan buku fiksi bergenre horror, yaitu
Anak Ketiga (2022), Perhiasan Terkutuk (2022), Antologi berjudul Mereka yang Datang
Dari Masa Lalu (2022) dan Real Sight Stories (2022), Antologi berjudul Rumah
Permohonan (2022) dan antologi berjudul Mencintai Kehilangan (2022). Untuk membaca
lebih banyak tulisan dari Endah Wahyuningtyas bisa langsung mengunjungi halaman
facebooknya di Endah Wahyuningtyas II atau langsung menghubunginya di nomor
085876063264. Ditunggu, ya, Cinta ….

You might also like