You are on page 1of 3

Analisis bagaimana hukumnya membadalkan haji kepada orang lain

dikarenakan sakit atau meninggal dunia?

Dalam persoalan hukum badal haji, Dewan Hisbah Persis menanggapinya


dengan serius, karena tujuan dari jam’iyyah Persis adalah terlaksananya syariat
Islam berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah secara kaffah dalam segala aspek
kehidupan

Menurut Anwarudin, (Ketua Bidang Garapan Haji dan Umroh), ibadah haji
merupakan ibadah yang sangat berkaitan erat dengan prinsip istitha’ah. Dalam
hal ini, istitha’ah yang dimaksud adalah kemampuan seseorang untuk
melaksanakan ibadah haji baik secara finansial maupun secara fisik. Jadi jika ada
orang yanng tidak mampu dari salah satunya, maka orang tersebut belum
dikategorikan sebagai orang yang istitha’ah.

Mengenai persoalan badal haji, Dewan Hisbah membenarkan bahwa peristiwa


itu terjadi dizaman Rasulullah SAW. Akan tetapi Dewan Hisbah Persis tetap
berpegang teguh terhadap prinsip istitha’ah. Meskipun orang tersebut sudah
mampu secara finansial, namun secara fisik dia tidak mampu dikarenakan sakit
parah yang bisa membahayakan bagi dirinya, ataupun orang tersebut sudah
meninggal, maka orang tersebut tidak dikategorikan sebagai orang yang tidak
istitha’ah. Prinsip inipun dipertegas oleh Firman Allah SWT yang artinya:

“padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) makam


(Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari kewajiban haji maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam.” (Q.S Ali Imron:97).
Adapun mengenai hadits-hadits yang menerangkan tentang badal haji, Dewan
Hisbah Persis membenarkan hadits-hadits tersebut adalah hadits shahih. Akan
tetapi, matan hadits-hadits tersebut dianggap bertentangan dengan al-Quran.
Salah satu ayat yang dianggap bertentangan adalah Q.S an-Najm ayat 39 yang
artinya:

“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain


dari apa yang telah diusahakannya.”

Ayat ini dianggap bertentangan karena praktek badal haji yang dijelaskan dalam
hadits dilakukan oleh orang lain, sedangkan dalam ayat ini dijelaskan bahwa
seseorang tidak akan mendapatkan apa-apa selain dari apa yang ia usahakan
sendiri. Jadi jika ada orang yang melakukan praktek badal haji, perbuatan
tersebut merupakan perbuatan yang sia-sia, baik bagi orang yanng dibadalkan,
maupun bagi orang yang membadalkan.

Maka dari itu, Dewan Hisbah Persis dalam sidangnya pada hari jumat tanggal 4
Jumadits Tsaniyah 1421 H/3 september 2000 yang bertempat disumedang,
dengan pertimbangan:

a. Bahwa ibadah haji hanya kepada mereka yang mampu (mustathi’) Q.S Ali-
Imron:97

b. Bahwa setiap manusia hanya akan menerima balasan dari apa yang
diusahakannya sendiri. Q.S an-Najm:39

c. Bahwa hadits-hadits tentang Niyabatul Haj bagi orang tua yang sudah lanjut
usia atau sakit atau wafat dari segi sanadnya shahih.

d. Bahwa hadits-hadits tentang Niyabatul Haj bagi saudara atau keluarga dekat
haditsnya tidak ada ittifaq tentang keshahihannya.
e. Bahwa dalil tentang Niyabatul haj bagi orang lain yang bukan keluarga sama
sekali tidak ditemukan satupun haditsnya.

f. Bahwa tidak ada nadzar untuk suatu kewajiban seperti ibadah haji.

Maka Dewan Hisbah mengambil istinbath:

a. Menghajikan orang lain, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal
tidak disyari’atkan.

b. Seorang anak berangkat haji dengan niat mewakili atau menggantikan orang
tuanya tidak disyariatkan.

c. Seorang anak yang melaksanakan haji termasuk wujud Birrul Walidain.

You might also like