You are on page 1of 10

Analisis Permintaan Bahan Pokok Beras Pada Saat Pandemi Covid-19

Di Indonesia

Dian Isnawati, Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia


Wahyu Lestari, Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia
Alvindo Ichwan Jati, Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia

Abstract:
This study aims to analyze the average percentage of consumption per capita per week, how
much rice is produced in Indonesia, how much is the data on production, harvested area and
productivity of rice, as well as policies implemented by the government. This study uses
secondary data from BPS that has been processed, this study uses quantitative approach
analysis. The results of the study are based on BPS data in September 2019, that the average
consumption of rice is 87.03%. This figure is close to 100%, which means that the consumption
of rice demand is very high. This commodity still uses rice as its main ingredient. Second, the
current state of the COVID-19 pandemic does not cause a significant increase or decrease in
consumption, but the community continues to strive to meet these needs, regardless of the
conditions and methods. Furthermore, during the COVID-19 pandemic, total rice production
decreased, but in early 2021 it had started to increase again. Production of rice stocks has
spread everywhere in Indonesia which is equal to the sum of the rice harvested area and the
total resulting from the productivity of the rice. Lastly, the government's policy during the
COVID-19 pandemic was to tackle the existence of a rice monopoly or rice hoarding.

Keywords: Demand, Consumption, Production, Harvested Area and Productivity of Rice,


COVID-19 Pandemic

Abstrak:
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis presentase rata-rata konsumsi per kapita seminggu,
seberapa besar produksi beras di Indonesia, berapa besar data produksi, luas panen dan
produktivitas padi, serta kebijakan yang dilakukan pemerintah. Penelitian ini menggunakan data
sekunder dari BPS yang sudah diolah, penelitian ini menggunakan analisis pendekatan
kuantitatif. Hasil penelitian adalah berdasarkan data BPS pada September 2019, bahwa rata-rata
konsumsi beras sebesar 87,03%. Angka ini mendekati angka 100%, yang artinya konsumsi
permintaan beras sangat tinggi. Komoditas ini masih menggunakan beras sebagai bahan
pokoknya. Kedua, Kondisi pandemi COVID-19 saat ini tidak menyebabkan kenaikan atau
penurunan konsumsi yang signifikan, tetapi masyarakat tetap mengupayakan untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, bagaimanapun kondisi dan caranya. Selanjutnya, pada saat pandemi
COVID-19 berlangsung total produksi beras mengalami penurunan, namun pada awal tahun
2021 sudah mulai meningkat kembali. Produksi akan stok beras telah memencar dimana saja di
Indonesia yang sudah sama dengan jumlah dari luas panen beras tersebut dan total yang
dihasilkan dari produktivitas beras tersebut. Terakhir, kebijakan yang dilakukan pemerintah
ketika pandemi COVID-19 berlangsung adalah menanggulangi adanya monopoli beras atau
penimbunan beras.
Keywords: Permintaan, Konsumsi, Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi, Pandemi
COVID-19

Email Korespondensi: dianisnawati.2020@student.uny.ac.id

Copyright © 2022, Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation


https://journal.inspirasi.or.id/index.php/nomicpedia
84 Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation
Volume 2 Nomor 1, Maret, 2022

PENDAHULUAN
Macam kebutuhan masyarakat memang beragam, salah satu kebutuahan yang
harus dipenuhi adalah pangan yaitu beras. Seluruh penduduk Indonesia membutuhkan
beras sedangkan penawaran yang terjadi terkadang mengalami fluktuatif. Permintaan
akan beras semakin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hal
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kebijakan yang diambil oleh pemerintah,
kemudian para petani dalam bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan beras untuk
masyarakat Indonesia. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah kondisi pandemi yang
mengharuskan masyarakat beradaptasi dengan keadaan yang baru. Tidak sedikit dari
masyarakat Indonesia yang kehilangan pekerjaannya, sehingga mereka kesulitan untuk
memenuhi kebutuhannya. Pokok pembahasan pada artikel ini adalah menitikberatkan
pada kesejahteraan konsumen yang dalam hal ini terfokus pada menganalisis
permintaan beras setelah dan sebelum pandemi COVID-19.
Kesejahteraan konsumen, produsen serta keamanan stok pangan untuk jangka
panjang merupakan tujuan di sebagian besar negara mengenai kebijaksanaan pertanian
terutama untuk negara yang sedang berkembang (Taufiq et al., 2009). Negara di benua
Asia menghasilkan beras dalam jumlah cukup besar di dunia hal ini dibuktikan dengan
sekitar 90% dari total beras dunia diproduksi oleh petani yang berdomisili di benua asia.
Pada masa pandemi COVID-19 akan terjadi kendala pada jangka pendek yaitu
pendistribusian akan beras akan mengalami kendala, salah satu kendalanya adalah
jumlah permintaan beras yang semakin tinggi dan tidak diimbangi dengan penawaran
yang ada. Permintaan beras di Indonesia akan meningkat dikarenakan masyarakat
Indonesia makanan pokoknya adalah beras. Ketika pandemi COVID-19 melanda tak
sedikit masyarakat menimbun beras sebanyak-banyaknya. Hal ini pasti akan merugikan
masyarakat yang tidak mempunyai daya untuk memenuhi kebutuhan itu. Sehingga akan
menguntungkan kepada beberapa pihak saja. Kepanikan masyarakat akan kekurangan
makanan pokok ini terjadi sehingga menimbulkan permasalahan yaitu meningkatnya
permintaan beras di Indonesia.

Gambar 1. GHI Score Trend (sumber: https://www.globalhungerindex.org/indonesia.html)


Dalam Global Hunger Index 2021, Indonesia menempati urutan ke-73 dari 116
negara dengan data yang cukup untuk menghitung skor GHI 2021. Dengan skor 18,0,
Indonesia memiliki tingkat kelaparan yang sedang. Mengingat makanan pokok
masyarakat Indonesia adalah nasi, sehingga apabila menurut data tersebut dapat kita
simpulkan bahwa untuk jangka waktu dekat, permintaan akan beras sudah dapat

Copyright © 2022, Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation


https://journal.inspirasi.or.id/index.php/nomicpedia
Dian Isnawati, Wahyu Lestari, & Alvindo Ichwan Jati: Analisis Permintaan Bahan 85
Pokok Beras Pada Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia

dipenuhi dengan baik. Namun perlu diperhatikan beras memiliki barang substitusi
berupa jagung, ubi, sagu. Dimana masyarakat Indonesia juga dapat mengonsumsi
makanan tersebut untuk memenuhi kebutuhan primernya.

Gambar 2. Composition Of The GHI (sumber:


https://www.globalhungerindex.org/indonesia.html)
Skor GHI menggabungkan empat komponen indikator yaitu: kekurangan gizi,
busung lapar (kelaparan pada anak), pengerdilan anak, dan kematian anak.
Menggunakan kombinasi indikator tersebut untuk mengukur tingkat kelaparan
masyarakat Indonesia dengan menawarkan beberapa keuntungan. Indikator yang
termasuk dalam formula GHI mencerminkan kekurangan kalori serta gizi buruk.
Indikator kekurangan gizi menangkap situasi gizi penduduk secara keseluruhan,
sedangkan indikator khusus untuk anak-anak mencerminkan status gizi dalam subset
yang sangat rentan dari populasi yang kekurangan energi makanan, protein, dan/atau zat
gizi mikro (vitamin esensial dan mineral) menyebabkan risiko tinggi penyakit,
perkembangan fisik dan kognitif yang buruk, dan kematian. Dengan menggabungkan
beberapa indikator, indeks mengurangi efek kesalahan pengukuran acak.

Gambar 3. Perubahan Harga (sumber: www.bps.go.id)


Berdasarkan data Permintaan pangan (kg/kapita/tahun) sebelum dan sesudah
perubahan harga dan pendapatan terlihat tidak ada perubahan yang sangat signifikan,
hal ini berarti masyarakat berupaya penuh untuk memenuhi kebutuhannya dengan
berbagai cara. Melakukan beberapa uoaya untuk bertahan selama pandemi COVID-19
walaupun dalam rumah tangga mereka mengalami perubahan dalam pendapatan. Dari
latar belakang tersebut penulis tertarik membahas mengenai meningkatnya permintaan
beras di Indonesia pada saat pandemi COVID-19. Untuk menganalisis masalah tersebut,
penulis menarik beberapa rumusan masalah yang sekiranya perlu untuk di bahas
terlebih dahulu. Adapun beberapa rumusan masalah adalah presentase rata-rata
konsumsi per kapita seminggu, seberapa besar produksi beras di Indonesia, berapa besar

Copyright © 2022, Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation


https://journal.inspirasi.or.id/index.php/nomicpedia
86 Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation
Volume 2 Nomor 1, Maret, 2022

data produksi, luas panen dan produktivitas padi, serta kebijakan yang dilakukan
pemerintah.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian dengan pendekatan
kuantitatif dilakukan dengan mengumpulkan data yang berupa angka, atau data yang
berupa kata-kata atau kalimat yang dikonversikan menjadi data yang berbentuk angka.
Data berupa angka tersebut kemudian diolah dan dianalisis untuk mendapatkan suatu
informasi ilmiah di balik angka-angka tersebut. Data yang digunakan adalah data
presentase rata-rata konsumsi per kapita seminggu, seberapa besar produksi beras di
Indonesia, berapa besar data produksi, luas panen dan produktivitas padi. Data tersebut
diperoleh dari BPS yang sudah di olah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Presentase Rata-Rata Konsumsi per Kapita Seminggu Menurut Jenis Makanan
Pangan beras merupakan kebutuhan paling pokok manusia, sehingga ketersediaan
beras bagi masyarakat harus selalu terjamin (Clapp, 2017; Timmer, 2013). Selain itu,
beras merupakan salah satu makanan pokok terpenting di dunia (Fairhurst &
Dobermann, 2002). Pernyataan ini terutama berlaku di Asia, di mana beras merupakan
makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di tingkat menengah ke bawah. Benua
Asia juga merupakan rumah bagi petani yang memproduksi sekitar 90% dari total
produksi beras dunia (Clarete, Adriano, & Esteban, 2013). Peningkatan ketahanan
pangan beras merupakan prioritas utama pembangunan, karena pangan beras merupakan
kebutuhan paling dasar bagi manusia (Clarete et al., 2013; FAO, 2009). Pertumbuhan
penduduk yang semakin meningkat menuntut ketersediaan pangan dari hasil pertanian
yang cukup untuk memperkuat ketahanan pangan di suatu wilayah (Clapp, 2017), hal
ini dikarenakan ketahanan pangan beras memiliki posisi sentral dalam peningkatan
produktivitas dan peningkatan kualitas hidup warga. Beras merupakan pangan utama
untuk rakyat yang ada di Indonesia. Ketahanan pangan sangat mempengaruhi terhadap
komoditas yang baik yaitu beras. Komoditas yang tidak akan pernah diganti oleh jenis
lain karena menjadi pangan utama yang dikonsumsi disebut dengan pangan pokok
(Hessie, 2009). Ketergantungan akan beras masih melanda rakyat di Indonesia.
Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian tercatat bahwa
presentase konsumsi beras (padi-padian) menjadi makanan pokok apabila dibandinkan
dengan yang lain secara total mencapau 60,03%. Ada beberapa contoh tanaman yang
juga menjadi sumber karbohidarat seperti beras yang didapat dari sumber kualitas
terbaik, lokal, maupun impor, jagung basah, ketela pohon, beras ketan, jagung pipilan,
talas dan ketela rambat. Tingginya konsumsi beras menunjukkan bahwa komoditas ini
masih dominan sebagai bahan pangan utama masyarakat Indonesia. Permintaan beras
dipastikan akan terus meningkat.

Copyright © 2022, Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation


https://journal.inspirasi.or.id/index.php/nomicpedia
Dian Isnawati, Wahyu Lestari, & Alvindo Ichwan Jati: Analisis Permintaan Bahan 87
Pokok Beras Pada Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia

Gambar 4. Skor PPH Tahun 2020 (sumber: www.bps.go.id)

Produksi Beras di Indonesia


Peningkatan pendapatan petani akan meningkatkan efisiensi teknis usahatani padi
dengan memungkinkan petani meningkatkan kualitas faktor produksinya. Hasil lebih
lanjut juga menunjukkan bahwa pemberian insentif kepada penduduk usia produktif
untuk bekerja di pertanian padi akan meningkatkan efisiensi teknis serta produktivitas
produksi beras. Peningkatan bantuan pemerintah terutama dalam aspek keuangan juga
akan meningkatkan efisiensi teknis, karena pendampingan akan mengurangi kendala
petani dalam menerapkan input yang lebih baik seperti benih, pupuk, mesin traktor, dan
bahan lainnya dalam usahatani padi.
Dari sisi produksi beras pada tahun 2019 mengalami sedikit produksi jika
dibandingkan pada tahun 2018 terkecuali pada masa panen di bulan April dan Agustus.
Pada bulan Maret mengalami produksi beras terbesar sepanjang tahun 2019 yang terjadi
pada bulan Maret yaitu dengan produksi sebesar 5, 25 juta ton. Pada bulan Desember
mengalami produksi terendah dengan volume produksi sebesar 0, 98 juta ton. Grafik di
bawah ini merupakan gambaran yang jelas dari penjelasan di atas.

Gambar 5. Produksi Beras Indonesia (sumber: www.bps.go.id)


Kondisi total produksi beras ketika pandemi COVID-19 sudah masuk di
Indonesia produksi beras sangat fluktuatif. Pada tahun 2019 hingga tahun 2020 masih
mengalami penurunan. Seiring dengan berjalannya waktu pada tahun 2021 sudah
mengalami kenaikkan walaupun memang masih belum signifikan kenaikkannya,
sehingga penawaran akan beras semakin membaik. Berikut merupakan data terkait total
produksi beras pada tahun 2019-2021.

Copyright © 2022, Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation


https://journal.inspirasi.or.id/index.php/nomicpedia
88 Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation
Volume 2 Nomor 1, Maret, 2022

Gambar 6. Total Produksi Beras 2019-2021(sumber: www.bps.go.id)

Luas Panen Padi Di Indonesia


Realisasi panen padi pada bulan Januari hingga September 2021 sebesar 8,77 juta
hektar, yang memiliki arti bahwa mengalami penurunan sekitar 237,65 ribu hektar (2,64
persen) hal tersbeut apabila dibandingkan pada realisasi pada pada tahun 2020 sebesar
9,01 juta hektar. Sementara itu, potensi panen sepanjang Oktober hingga Desember
2021 sebesar 1,75 juta hektar. Dengan demikian, total luas panen padi pada 2021
diperkirakan mencapai 10,52 juta hektar, atau mengalami penurunan sekitar 141,95 ribu
hektar (1,33 persen) dibandingkan luas panen padi di 2020 yang sebesar 10,66 juta
hektar. Luas panen tertinggi pada 2021 terjadi pada Maret, yaitu sebesar 1,79 juta
hektar, sementara luas panen terendah terjadi pada bulan Januari, yaitu sebesar 0,41 juta
hektar. Sehingga berdasarkan data tersebut sampai akhir tahun masih mengalami
penurunan.

Gambar 7. Luas Panen (www.bps.go.id)


Di Indonesia, luas lahan sawah irigasi sekitar 70% dari totalitas areal produksi
beras, padahal tingkat produksinya sekitar 85% dari total luas areal produksi beras. Saat
ini dan di masa yang akan datang, lahan sawah irigasi semakin langka, akhirnya di Jawa
dan Bali, hal ini disebabkan oleh semakin ketatnya persaingan pemanfaatan lahan dan
air untuk kepentingan non pertanian. Untuk Indonesia, kecenderungan kelangkaan lahan
basah khususnya di Jawa berlangsung terus menerus dan belum ada regulasi atau
tindakan yang efektif yang dapat dilakukan oleh masyarakat setempat untuk
mengendalikan alih fungsi lahan.

Copyright © 2022, Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation


https://journal.inspirasi.or.id/index.php/nomicpedia
Dian Isnawati, Wahyu Lestari, & Alvindo Ichwan Jati: Analisis Permintaan Bahan 89
Pokok Beras Pada Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia

Kebijakan Pemerintah
Kebijakan adalah suatu peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk
dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan (Firdaus et al., 2008). Kebijakan
berguna sebagai alat pemerintah untuk campur tangan dalam mempengaruhi perubahan
secara sektoral dalam masyarakat. Begitu pula, termasuk di dalamnya kebijakan pada
sektor pertanian. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2005 kebijakan
perberasan di Indonesia terbagi menjadi kebijakan harga, kebijakan produksi, kebijakan
distribusi, dan kebijakan impor.
Geografi menunjukkan bahwa Indonesia akan terus menjadi pengimpor beras
bersih di masa mendatang, karena merupakan negara kepulauan tanpa delta sungai
dominan yang menyediakan air berlimpah dan tanah datar yang cocok untuk menanam
padi. Namun pembuat kebijakan tetap enggan menggunakan pasar beras dunia untuk
mencapai tujuan ketahanan pangan domestik setidaknya karena dua alasan. Pertama,
ada kekhawatiran bahwa kebijakan perdagangan negara lain menciptakan harga pasar
dunia yang sangat terdistorsi. Kedua, adanya ketakutan akan volatilitas harga pasar
dunia. Di sini dikemukakan bahwa distorsi di segmen pasar internasional yang relevan
dengan Indonesia relatif kecil, dan bahwa harga beras dunia sekarang jauh lebih stabil
daripada selama krisis pangan dunia tahun 1970-an. Dengan demikian, ketakutan akan
distorsi harga dan volatilitas tampaknya tidak berdasar, dan terlibat sepenuhnya dengan
pasar dunia adalah alternatif yang jauh lebih layak daripada 30 tahun yang lalu.
Kebijakan pemerintah saat ini dalam menjaga ketahanan pangan khususnya HPP
dan HET terkait beras masih belum tepat. Beberapa peraturan pemerintah dinilai tidak
mampu menciptakan keseimbangan antara kelompok tani kecil dan besar. Pemerintah
juga dinilai kurang memahami proses dan seluk beluk produksi beras, sehingga
beberapa regulasi dinilai masih kurang sesuai. Pemerintah dapat melakukan survei
langsung ke lapangan dan mencari referensi solusi yang diusulkan dengan melihat
berbagai kebijakan negara tetangga terkait regulasi beras untuk menentukan kebijakan
yang tepat, seperti mengefektifkan dan melindungi petani, serta mendorong CBP
perbaikan.
Pemerintah melalui Bulog masih bertanggung jawab untuk pengadaan sekitar 6%
dari beras yang dikonsumsi setiap tahun. Beras ini kemudian didistribusikan dengan
harga bersubsidi, terutama melalui program Raskin. Kenaikan harga beberapa
komoditas belakangan ini memunculkan indikasi bahwa pemerintah mungkin
mempertimbangkan peran Bulog yang lebih besar dalam pengelolaan komoditas utama
guna menstabilkan harga. Namun, penelitian lain menyarankan bahwa mungkin perlu
meninjau efektivitas program pengadaan dan distribusi publik saat ini sebelum
memperluasnya lebih lanjut. Bukti dari Cina dan India menunjukkan bahwa sistem
pengadaan dan distribusi publik bisa sangat mahal, tidak efisien, dan tidak terlalu efektif
untuk menstabilkan harga. Di Indonesia, sudah ada bukti kuat tentang inefisiensi dan
buruknya penargetan dalam program Raskin (Bank Dunia 2006). Program pengadaan
dan distribusi publik dapat menjadi komponen yang berguna dari sistem jaminan sosial,
tetapi pemerintah harus mempertimbangkan biaya dari peran yang lebih besar untuk

Copyright © 2022, Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation


https://journal.inspirasi.or.id/index.php/nomicpedia
90 Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation
Volume 2 Nomor 1, Maret, 2022

pengadaan dan distribusi publik dengan biaya mekanisme alternatif untuk mencapai
tujuan yang sama.
Perlunya debat yang terinformasi tentang kebijakan beras. Terlepas dari
banyaknya pekerjaan yang telah dilakukan di bidang ini, sangat sedikit penelitian yang
diterbitkan baru-baru ini tentang kebijakan beras Indonesia, dan banyak dari penelitian
utama berusia hampir satu dekade. Seperti yang dicatat Rosner dan McCulloch, ada
masalah serius dengan data yang tersedia, dan beberapa data yang dikumpulkan
(terutama data harga beras regional) tidak tersedia untuk umum, atau hanya tersedia
dengan jeda yang sangat lama. Hal ini menghambat jenis pengawasan independen
terhadap kebijakan beras yang dapat membantu mengidentifikasi masalah dan
meningkatkan hasil. Perlu adanya diskusi khusus yang hidup tentang kebijakan beras
Indonesia, berdasarkan bukti-bukti yang ada.
Pemerintah Indonesia sejak tahun 2003 menempuh kebijakan non tarif yang
bersifat protektif, disamping kebijakan tarif yang sudah ada, yaitu berupa ketentuan
tentang importansi beras tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras. Beberapa
ketentuan penting adalah: (1) impor beras hanya dapat dilakukan oleh importir yang
telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen Beras (IP Beras) dan importir
yang telah mendapat penunjukan sebagai Importir Terdaftar Beras (IT Beras), (2) impor
beras dilarang dalam masa satu bulan sebelum panen raya, selama panen raya, dan dua
bulan setelah panen raya (ditetapkan oleh Menteri Pertanian), yang berarti impor beras
hanya boleh dilakukan diluar masa-masa yang telah ditetapkan tersebut, (3) pelaksanaan
importasi beras oleh IT Beras hanya dapat dibongkar di pelabuhan tujuan sesuai dengan
persetujuan impor yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri,
dan (4) beras yang diimpor oleh IP Beras hanya boleh digunakan sebagai bahan baku
untuk proses produksi industri yang dimilikinya dan dilarang diperjualbelikan atau
dipindahtangankan. Kombinasi kedua kebijakan defensif tersebut diharapkan dapat
meredam laju impor dan mampu mengangkat harga beras di pasar domestik dan harga
gabah petani (Hadi dan Wiryono, 2005).

KESIMPULAN
Permintaan akan stok beras di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, di
antaranya adalah nilai dari beras tersebut, tingginya tingkat impor beras, jumlah
penduduk yang mengkonsumsi beras tersebut dan juga permintaan dan penawaran akan
beras tersebut (Widodo,dkk., 1992). Untuk menganalisis masalah ini, dapat dilihat dari
beberapa data yang relevan dan di dapat dari sumber yang valid, beberapa data yang
dibutuhkan yang pertama adalah presentase rata-rata konsumsi per kapita seminggu.
Berdasarkan data BPS pada September 2019, bahwa rata-rata konsumsi beras sebesar
87, 03%. Angka ini mendekati angka 100%, yang artinya konsumsi permintaan beras
sangat tinggi. Komoditas ini masih menggunakan beras sebagai bahan pokoknya. Hal
ini yang menyebabkan meningkatnya permintaan beras. Apabila di bandingkan dengan

Copyright © 2022, Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation


https://journal.inspirasi.or.id/index.php/nomicpedia
Dian Isnawati, Wahyu Lestari, & Alvindo Ichwan Jati: Analisis Permintaan Bahan 91
Pokok Beras Pada Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia

kondisi saat pandemi COVID-19 permintaan beras tetap tinggi dan masih menjadi
konsumsi utama masyarakat Indonesia.
Kedua terkait perkembangan konsumsi beras di Indonesia, berdasarkan data BPS
tahun 2019, tercatat bahwa sebesar 6,977 kg presentasi dari konsumsi beras per kapita
per bulan terjadi pada bulan September 2015. Sedangkan, pada bulan September 2019
merupakan angka terkecil jika dibandingkan dari tahun 2015-2019. Tercatat sebesar
6,412 kg per kapita sebulan. Hal ini berarti perkembangan rata-rata konsumsi beras dari
tahun 2015-2019 secara keseluruhan mengalami penurunan. Dengan demikian variabel
ini tidak mempengaruhi terhadap meningkatnya permintaan beras di Indonesia. Namun,
tetap tidak bisa dipungkiri jika beras tetap menjadi makanan pokok orang Indonesia
yang pasti akan dikonsumsi setiap harinya. Kondisi pandemi COVID-19 saat ini tidak
menyebabkan kenaikan atau penurunan konsumsi yang signifikan, tetapi masyarakat
tetap mengupayakan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bagaimanapun kondisi dan
caranya.
Selanjutnya adalah besarnya produksi dari beras di Indonesia tahun 2018-2019.
Menurut data yang bersumber dari BPS, tercatat bahwa pada bulan Maret 2018 produksi
beras di Indonesia meningkat sebesar 5, 25 juta ton. Angka ini merupakan angka
tertinggi. Namun pada bulan Desember 2018 dan 2019 sama sama mengalami
penurunan yaitu hanya sebesar 0,98 juta ton. Dengan demikian dapat disimpulkan
tercatat produksi dari beras di Indonesia dari tahun 2018-2019 cenderung mengalami
penurunan. Hal ini yang mengakibatkan meningkatnya permintaan akan stok beras di
Indonesia. Ketika pandemi COVID-19 berlangsung total produksi beras mengalami
penurunan, namun pada awal tahun 2021 sudah mulai meningkat kembali.
Selanjutnya adalah data produksi, jumlah produktivitas dari padi serta seberapa
luas panen pada tahun 2019. Berdasarkan data BPS, tercatat bahwa total produksi beras
se-Indonesia pada tahun 2019 sebesar 54.604.033 ton, dengan total luas panen sebesar
10.677.877 hektar dan total produktivitas sebesar 51,14 kuintal/hektar. Dengan
demikian, dapat disimpulkan produksi akan stok beras telah memencar dimana saja di
Indonesia yang sudah sama dengan jumlah dari luas panen beras tersebut dan total yang
dihasilkan dari produktivitas beras tersebut. Namun, angka ini seharusnya meningkat
mengingat angka kelahiran yang terus meningkat daripada angka kematian. Karena
setiap anggota keluarga pasti menggunakan beras sebagai makanan pokok. Untuk
Indonesia, kecenderungan kelangkaan lahan basah khususnya di Jawa berlangsung terus
menerus dan belum ada regulasi atau tindakan yang efektif yang dapat dilakukan oleh
masyarakat setempat untuk mengendalikan alih fungsi lahan.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah ketika pandemi COVID-19 berlangsung
adalah menanggulangi adanya monopoli beras atau penimbunan beras. Apabila hal ini
terjadi maka akan banyak yang dirugikan. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 2
Tahun 2005 kebijakan perberasan di Indonesia terbagi menjadi kebijakan harga,
kebijakan produksi, kebijakan distribusi, dan kebijakan impor.

Copyright © 2022, Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation


https://journal.inspirasi.or.id/index.php/nomicpedia
92 Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation
Volume 2 Nomor 1, Maret, 2022

DAFTAR PUSTAKA
Ahman, Eeng dan Yana Rohamana. 2009. Teori Ekonomi Mikro. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia
Bashir, A., & Yuliana, S. (2018). Identifying Factors Influencing Rice Production and
Consumption in Indonesia. 19(2), 172–185.
https://doi.org/10.23917/jep.v19i2.5939
Biro Pusat Statistik (BPS). Beberapa tahun penerbitan. Distribusi Perdagangan
Komoditas Beras Indonesia 2020, Jakarta: BPS
Dawe, D. (2008). Bulletin of Indonesian Economic Studies CAN INDONESIA TRUST
THE WORLD RICE MARKET ? October 2014, 37–41.
https://doi.org/10.1080/00074910802008053
Hayashi, Y. (2020). Excessive Valuation of Social Interaction in Text-Message
Dependency : A Behavioral Economic Demand Analysis. 2.
Heriqbaldi, U., Purwono, R., Haryanto, T., & Primanthi, M. R. (2016). An Analysis of
Technical Efficiency of Rice Production in Indonesia An Analysis of Technical
Efficiency of Rice Production in Indonesia. December 2014.
https://doi.org/10.5539/ass.v11n3p91
Mcculloch, N., & Timmer, C. P. (n.d.). Bulletin of Indonesian Economic Studies RICE
POLICY IN INDONESIA : A SPECIAL ISSUE. October 2014, 37–41.
https://doi.org/10.1080/00074910802001561
Pindyck, S,Robert and Rubinfeld,L,Daniel, 1995. Microeconomic, Third Edition,
Prentice-Hall International, Inc, Yew Jersey
Putong Iskandar, (2003), Pengantar Ekonomi Mikro dan Makro, Ghalia Indonesia.
Rahardja, Prathama.
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi
(Mikroekonomi & Makroekonomi) Edisi Ketiga, Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia
Saliem, H. P., Agustian, A., & Perdana, R. P. (2020). DAN UPAYA PEMENUHAN
PANGAN POKOK PADA ERA PANDEMI COVID-19. 361–379.
Satrio, A. B. (2008). Arif Budi Satrio Pengaruh Luas lahan.. 4(1), 57–69.
Silalahi, N. H., Yudha, R. O., Dwiyanti, E. I., Zulvianita, D., & Feranti, S. N. (2019).
Government policy statements related to rice problems in Indonesia : Review.
1(1), 35–41.
Sukirno, Sadono. 2011. Mikro Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga, Jakarta:
Rajawali Pers
Taufiq, Rostartina, E., & Abukosim. (2009). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stok
Beras Di Sumatera Selatan Taufiq; Eka Rostartina; Abukosim. 7(1), 14–24.

Copyright © 2022, Nomicpedia: Journal of Economics and Business Innovation


https://journal.inspirasi.or.id/index.php/nomicpedia

You might also like