Professional Documents
Culture Documents
Muhammad Masyhuri
Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin (IAIS) Lumajang
JL. Pondok Pesanten Kyai Syarifuddin Wonorejo Lumajang Jatim,Indonesia
E-mail: muhamasyhur@gmail.com
__________________________
Abstract
This research means to study the religious institution’s role to liberate from the problems of ummah in their real life.
Theological study on dimension of liberation here aims to investigate what are Muslim scholars’ opinions on this
issue and how to implement their thought on political reality. This study employs historical description focuses on
historical dynamic of Nahdlatul Ulama (NU) political position and its institution, especially after returning to the
khittah of 1926. This study also analyzes those dynamics in relation to liberation theology. This study shows that
institutional dynamic of NU in politic and its reflection, be it is in accommodatif respond or opposition, related to
its stands between religion and the state is strongly inspired from Sunni political paradigm. However, there have
been some variation related to sociological politic in implementing this Sunni paradigm in reality. Institutionally, the
implementation to reflect liberation theology can be identified as substantialistic, realistic and rationalistic. The root
of liberation on theology in NU can be seen from its emphasis on the issues of peace, pluralism, humanity and
justice. By implementing this liberation of theology, there are some changes in the dynamic of NU history in the
forms of growing number of educational institution, strengthening religious’ roles and positions, increasing
community participation in social, economic and politic without confounding with institutional religious politisation.
Keywords:
Nahdlatul Ulama; social change; politic; liberation theology.
__________________________
Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk melihat peran institusi agama dalam upaya membebaskan umat dari dilema yang
dihadapinya. Kajian teologis dalam dimensi pembebasan ini selain bertujuan untuk melihat bagaimana ijtihad para
ulama dalam merefleksikan doktrin keagamaan atas dilema politik yang terjadi juga melihat bagaimana strategi
yang digunakan dalam mengimplementasikan kedalam realitas politik yang dihadapi. Kajian ini bersifat historis
deskriptif yang terfokus pa da aspek kesejarahan dinamika politk NU, aspek kelembagaan setelah kembali ke
khittah 1926, juga menganalisis dinamika tersebut dengan mengkaitkan konsep teologi pembebasan dalam Islam.
Hasil kajian menunjukkan bahwa dinamisasi kelembagaan NU dalam politik serta refleksinya-baik berbentuk
akomodasi maupun oposisi dalam memaknai hubungan antara agama dan negara- terkait erat dengan paradigma
politik Sunni. Meski dalam kenyataannya, memunculkan varian sosiologis politik yang beragam dalam memaknai
paradigma teologi Sunni tersebut. Namun secara kelembagaan, implementasi refleksi teologi pembebasan yang
terlihat lebih pada bentuk substansialistik, realistik dan rasionalistik. Akar pembebasan secara teologis di NU
terlihat dalam varian ini yang lebih menekankan pada perdamaian, pluralisme, kemanusiaan dan keadilan.
Perubahan yang terjadi dalam dinamika sejarah NU adalah berkembangnya institusi pendidikan, menguatnya peran
dan posisi keagamaan, serta meningkatnya partisipasi masyarakat dalam bidang sosial ekonomi dan politik tanpa
terjebak pada politisasi agama secara kelembagaan.
Kata Kunci:
Nahdlatul Ulama; perubahan sosial; politik; teologi pembebasan.
__________________________
DOI: http://dx.doi.org/10.15575/jw.v1i2.727
Received: March 2016 ; Accepted: August 2016 ; Published: August 2016
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 159
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
dalam memahami dinamika politik organisasi Berkaitan dengan ini, dalam beberapa
ini seperti yang muncul dalam Muktamar dan literatur disebutkan bahwa Nahdlatul Ulama
forum bah}thul masa>il yang sering dikem- (NU) merupakan organisasi Islam terbesar
bangkan dalam tradisi keagamaan di NU. saat ini yang banyak memberikan corak warna
Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang dalam kehidupan beragama dan berbangsa di
saat ini masih menjadi polemik dan perlu lndonesia. Kajian dan penelitian tentang
dikaji adalah bagaimana pengaruh konser- organisasi ini juga telah menarik perhatian
vatisme keagamaan tersebut terhadap dimensi para ilmuwan untuk membincangkan lebih
perpolitikan NU terutama setelah kembali ke dalam. Para ilmuwan tersebut diantaranya
Khit}t}ah 1926. Martin van Bruinessen, Andree Feillard,
Berdasarkan latar belakang tersebut, Sydney Johnes serta Greg Fealey. Kajian-
terdapat sejumlah pertanyaan yang perlu kajian mereka secara umum memfokuskan
dikembangkan dalam pembahasan tentang ini, pada dinamika sosial keagamaan dan politik
diantaranya adalah bagaimana kemudian NU di Nahdlatul Ulama dari sudut pandang
sebagai institusi berpartisipasi dalam teoretisasi sosial. Meskipun demikian, secara
perpolitikan setelah kembali ke Khit}t}ah 1926 umum, kajian mereka tentang NU yang
(1984-2001) apa yang terjadi dalam konstalasi terfokus dalam bingkai 'Teologi Pembebasan'
perpolitikan nasional setelah NU kembali ke masih belum dilakukan secara mendalam.
Khit}t}ah 1926. Serta bagaimana adaptasi Misalkan Greg Fealey yang banyak membahas
kelembagaan yang dilakukan NU dalam tentang Ijtihad Politik ulama NU dalam kurun
menyikapi dinamika politik tersebut? waktu 1952-1957, meskipun ia sedikit
Khususnya adaptasi di bidang doktrin, kepe- membahas tentang doktrin NU yang terkait
mimpinan dan program. Selain itu pertanyaan dengan dinamika politik pada waktu itu,
yang mendasar berkaitan dengan ini adalah namun ia tidak mengkaitkan hal tersebut
bentuk refleksi teologis NU atas dinamika dengan tema teologi pembebasan. 5
perpolitikan tersebut yang dapat dikategorikan Begitu pula dengan kajian yang dilakukan
sebagai dimensi yang sesuai dengan tujuan oleh Martin, ia banyak menulis tentang
keagamaan, sehingga sesuai dengan prinsip- dinamika tradisi keagamaan di NU serta
prinsip yang membebaskan dalam konteks menyinggung hubungan yang telah dilakukan
agama Islam. NU dengan Negara. 6 Sementara Andree
Berdasarkan permasalahan di atas, kajian Feelard dan Sydney Johnes juga banyak
ini berupaya untuk melihat bagaimana membahas dinamika NU pada perkembangan
perspektif teologi pembebasan muncul dari sejarah terutama berkaitan dengan dimensi
dinamika persoalan tersebut. Berkaitan dengan keagamaan dan polit ik. Dari beberapa kajian
ini, hal mendasar tentang perbedaan teologis tersebut, tema-tema tentang teologi pembe-
dalam paradigma teologi pembebasan bermula basan dalam NU masih belum dibahas secara
dari refleksi atas persoalan nyata yang terjadi. khusus bila dihubungkan dengan tema teologi
Teologi pembebasan dipahami sebagai sebuah pembebasan. Sementara di sisi lain, NU
paradigma berteologi yang didasarkan pada sebagai organisasi keagamaan memiliki
dimensi realitas praksis-reflektif teologis, dimensi yang erat dengan aspek-aspek
kemudian melahirkan praksis baru (new- pembebasan yang ditandai dengan dinamisasi
praksis).4 Dalam hal ini, dinamika praksis refleksi teologis atas dinamika praksis.
yang menghasilkan reflektif ajaran agama Diskursus teologi pembebasanan sendiri
akan muncul pada uraian pertanyaan pertama muncul dengan tujuan untuk melihat peran
- partisipasi NU sebagai sebuah institusi agama dalam melakukan upaya pembebasan
setelah kembali ke Khit}t}ah 1926.
5
Greg Fealey, Ijtihad Potitik Ulama NU, 1952-1967
(Yogyakarta: LKiS, 1998).
4 6
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi Kuasa,
Metode, Prakis dan isinya (Yogyakarta: LKiS, 2000). pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1999).
160 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
7 9
Michael Amalados, Michael Amalados, Teologi Stanley Jeyaraja Tambiyah, Buddhism-Betrayed:
Pembebasan (Yogyakarta: Insist Press, 2001), 5-7. Religion-Politic and Violence in Sri Lanka. (Chicago:
8
Enrique Dussel, “a History of the Church in Latin University of Chicago Press, 1990).
America.” In Selected Reading on Liberation Theology, 10
James. C. Scott, Senjatanya Orang-orang yang Kalah
by Kenneth R. Hall, 29. (Yogyakarta: CRCS, 2003). (Jakarta: Obor, 2000).
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 161
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
keseluruhannya. Hal ini didasarkan atas kan seperti adanya keadilan, kesetaraan,
asumsi bahwa dimensi agama seringkali dan membebaskan dari segala bentuk dan
tereduksi oleh kepentingan manusia sehingga simbol penindasan. Agama Islam sendiri,
menjadi statis dan memihak kepada kekuasaan sebagaimana disebutkan Ali Asghar, meru-
yang represif dan otoriter. pakan seperangkat doktrin spiritual dan
Berkaitan dengan tema teologi pembebasan metafisika yang mengikat pemeluknya, memi-
ini, khususnya Islam dan teologi pembebasan liki ritual ibadah, yang membentuk sense of
yang ada di Indonesia, secara spesifik akan identity untuk menjadi pandangan hidup bagi
melihat bagaimana peran NU sebagai institusi penganutnya dalam mencari solusi bagi semua
dalam upayanya merealisasikan tujuan keaga- persoalan di dunia yang dihadapinya. Meski
maannya. Kajian ini menjadi penting karena demikian, dalam perkembangannya, proses
selain dapat melihat peran NU secara kelem- pencarian solusi untuk menemukan kebenaran
bagaan dalam merefleksikan doktrin keaga- dalam hidup tersebut terhambat dengan cara
maannya juga dapat melihat secara dekat pandang yang merubah akan tujuan agama itu
hubungan antara dimensi praksis politik sendiri, karena terpengaruh dengan berbagai
dengan dimensi doktrin teologis yang ada di kepentingan dan kubutuhan duniawi, ditam-
NU terutama setelah kembali ke Khit}t}ah 1926 bah pula doktrin dan ritual agama menjadi
(1984-2001). pelipur lara semata (a sense of symbolic
Selain itu, studi ini juga dapat memahami fulfilment), karena telah mengkristal menjadi
bagaimana refleksi atas doktrin yang terpola dogma yang kaku dan tidak sesuai dengan
dalam praksis baru dalam dinamisasi kelem- konteks yang terjadi.11
bagaan di NU dirumuskan. Sehingga secara Kenyataan ini dalam perkembangannya
teologis, dari studi ini dapat diketahui karakter juga ditambah dengan kurangnya daya kritis
perilaku politik yang dimunculkan oleh para- kalangan intelektual. Dengan menjadikan
digma politik NU - di mana hal tersebut juga agama hanya sebatas obyek kajian metafisika
dapat mengetahui beberapa tipologi refleksi yang abstrak, tidak menyentuh pada dimensi
yang muncul dalam dinamika praksis persoalan eksistensial kemanusiaan yang
politik dalam kurun waktu 1984-2001. dihadapinya. Karena demikian, dalam konteks
ini agama hanya sebatas latihan intelektual
Dengan kesimpulan yang sama, kajian ini
murni yang tidak menjadi wadah dalam
juga bisa melihat rumusan orientasi teologis upayanya untuk mendekatkan dirinya
dalam aspek politik yang diperjuangkan NU, kepada Tuhan, sebaliknya agama menjadi
terutama dalam memaknai hubungan antara pemisah antara dirinya dengan kebutuhan riil
agama, masyarakat dan negara. dalam konteks dinamika sosial yang terus
berubah. Sebagai akibatnya, agama pada
akhirnya menjadi seperangkat ritual ibadah
B. HASIL DAN PEMBAHASAN yang kering (set of dead ritual) bagi
1. Perubahan Sosial dan Dimensi Pembe- penganutnya. Di sisi yang lain, agama menjadi
basan dalam Islam seperangkat konsep atas doktrin yang abstrak
Islam merupakan agama yang membawa dan rumit untuk dapat dipahami. Karena
misi perubahan dari berbagai simbol dan demikian, agama dalam konteks ini menjadi
kondisi manusia yang jahiliyah, terkungkung, sesuatu yang jumud karena tidak menjadi
tertindas, terhegemoni agar menjadi manusia kode etik atau aturan moral yang dinamis.
yang bertauhid, dan merdeka sebagaimana Dalam konteks ini pula agama tidak mampu
yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Misi menjadi pedoman bagi penganutnya sehingga
tauhid merupakan pilar utama dalam peru- kehidupan spiritualitasnya menjadi kering
bahan ini, karena ajaran agama yang telah karena tidak memiliki dimensi makna yang
diinterpretasikan dalam kehidupan nyata akhirnya tidak mampu meyelesaikan pro-
seringkali tidak berkesesuaian dengan maksud
utama dari ajaran agama tersebut diturun- 11
Asghar Ali Engginer, Islam dan Teologi Pembebasan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 8.
162 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 163
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
marjinal dan lemah dari penderitaan, serta beberapa kalangan, perubahan tersebut juga
memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjadi indikator adanya pengaruh dari
menjadi pemimpin. hubungan NU dengan kondisi praksis politik
yang terjadi (Tebuireng 1984). Di mana ada
2. Dinamisasi NU dalam Menghadapi Peru- beberapa kecenderugan yang dapat dilihat
sebagai faktor yang mempengaruhi konstalasi
bahan Sosial
politik NU secara makro, seperti adanya
a. Dinamisasi Kepemimpinan NU: Dari keterkaitan dengan upaya pemerintah
Khalid, Wahid dan Hasyim terhadap penerapan kebijakan unifikasi
Dinamisasi kelembagaan di NU ditandai ideologi ormas kepada Pancasila, serta
dengan munculnya adaptasi struktural kelem- keterkaitan dengan munculnya pandangan
bagaan. Bermula dari kesepakatan pada secara umum bahwa gerakan politik praktis di
Muktamar Situbondo (1984), di mana NU NU dinilai tidak menguntungkan NU baik
secara formal kelembagaan menyatakan tidak secara kelembagaan maupun secara personal.
terkait dengan partai politik manapun. Oleh karenanya, hal tersebut kemudian
Selanjutnya kesepakatan tersebut memiliki memunculkan dorongan dari kalangan muda
konsekuensi kembalinya NU kepada gerakan yang menghendaki perubahan orientasi
sosial keagamaan sebagaimana pada awal gerakan di NU dari gerakan politik praktis ke
NU di dirikan pada tahun 1926. Kesepakatan arah gerakan kultural keagamaan.
Situbondo ditandai dengan munculnya Orientasi kembali ke posisi gerakan
kultural keagamaan berarti memposisikan NU
kepemimpinan baru yang mewakili kalangan
sebagai organisasi keagamaan yang netral,
muda, yakni naiknya Abdurrahman Wahid dengan konsekuensi tidak berfusi dengan PPP
sebagai ketua umum tanfiz}iyah menggantikan sebagaimana periode sebelumnya. Netralitas
K.H Idham Khalid. 15 tersebut juga berarti tidak adanya posisi
Kesepakatan Situbondo tidak merubah struktural dalam partai politik dan NU secara
pola struktur organisasi ini, pemimpin bersamaan. Pengurus NU yang aktif dipartai
tertinggi masih dipegang oleh Syuriah, politik diharuskan memilih salah satu posisi
yang terdiri dari kalangan ulama, sedang- struktural yang dikehendakinya. Pilihan
kan Tanfidziah berfungsi sebagai pelaksana tersebut merupakan langkah serius yang
harian yang melaksanakan ide dan ketetapan dilakukan NU dalam memaknai kesepa-
umum dari Syuriah. KH. Ahmad Shiddiq katan Khit}t}ah 1926 dalam lingkungan NU
dalam muktamar ini menjadi Rais Am di posisi secara kelembagaan. Walaupun pada awal
shuriyah, sedangkan Abdurrahman Wahid mulanya penghapusan dualisme struktural
menempati posisi ketua umum di tanfiz}iyah . bersifat himbauan, namun pada tahap
Beberapa kalangan muda juga mulai muncul selanjutnya PBNU mengeluarkan kebijakan
dari hasil keputusan 'ahl h}alli wa al-aqd dari organisasi berupa SK no 72 /A-II/04-d/XI/85,
Muktamar ini, seperti Mahbub Djunaidi dan 26 Oktober l985. Berdasarkan SK tersebut,
Fahmi Syaifuddin yang menempati posisi dengan jelas bersifat mempertegas Surat
wakil ketua tanfiz}iyah , dan Said Budairi Keputusan pertama yang diinstruksikan untuk
sebagai Bendahara, sedangkan Kiai Sahal memisahkan pengurus NU yang memiliki
Mahfudz dan Tolhah Hasan membantu KH. posisi struktural di partai politik.16
Ahmad Shiddiq di dalam Shuriyah. Dampak langsung dari kebijakan tersebut
Meskipun dari pola struktur organisasi adalah banyaknya politisi NU di daerah-
tersebut tidak berubah, namun yang menarik daerah yang harus rela kehilangan posisi
untuk dilihat adalah perubahan kepemimpinan struktural mereka di partai politik khusunya
tersebut menjadi indikator awal bagi PPP, karena pada waktu itu masih banyak
perubahan orientasi gerakan NU yang akan kalangan NU yang tetap berfusi ke PPP
dilakukan lima tahun kemudian. Bagi sebagaimana sebelum Muktamar Situbondo
15
Keputusan Muktamar NU XXVII, Keputusan
16
Muktamar NU XXVII (Jawa Timur: pengurus NU Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke
Wilayah Jawa Timur, 1984). Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 1992), 214.
164 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 165
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
bagi implementasi program yang telah yang dikeluarkan oleh PBNU kepada
dirumuskan dalam Muktamar Situbondo. Oleh kalangan pengurus hariannya yang
karenanya, konsolidasi internal dan pemilihan menegaskan untuk tidak diperbolehkan
komposisi pengurus yang kohesif dijadikan menjadi calon atau dicalonkan sebagai
prioritas oleh peserta muktamar sebagai upaya anggota legilatif partai kecuali bersedia
memperbaiki program berikutnya. Tim mundur dari kepengurusan NU. Oleh karena
formatur hasil kesepakatan Situbondo itu, pada era 90-an, kondisi politik di
selanjutnya memunculkan komposisi kepengu- Indonesia terutama menjelang pemilu 1992
rusan yang terdiri dari kelompok Abdurrahman dikenal sebagai bentuk buram dari dinamika
Wahid, seperti Gaffar Ramlan, yang dikenal politik NU yang tercermin dari banyaknya
sebagai orang yang dinamis, sekaligus teman kalangan NU yang tergeser di partai politik
lamanya di Jawa Timur yang dipilih sebagai secara structural.21
Sekretaris Jenderalnya. Sementara Ma'ruf Munculnya ketegangan antara NU dengan
Amin, seorang ulama dari Banten terpilih pemerintah dalam periode ini terlihat dari
sebagai Katib shuriyah. Sedangkan Chalid pernyataan Abdurrahman Wahid dalam
Mawardi-sekutu Idham Chalid yang menjadi pertemuan Rapat Akbar dan Istighathah NU
pesaing kubu Abdurrahman Wahid - terpilih di Jakarta pada tahun 1993 yang banyak
sebagai salah satu dari lima wakil ketuanya. mengkritisi beberapa kebijakan pemerintah,
Sementara pada tingkat Shuriyah, dipilih K.H. terutama dalam keterlibatan pemerintah dalam
pembentukan ICMI yang dipandang sarat
Sahal Mahfudz, salah seorang tokoh kyai dari
politis dan bernuansa primordialistis. Bersa-
kalangan LSM di Jawa Tengah, beserta K H.
maan dengan itu, Abdurrahman Wahid juga
Ali Yafie. Sedangkan KH.R. As’ad Syamsul menyatakan secara tegas menolak mendu-
Arifin, terpilih sebagai Mustashar.20 kung pencalonan Suharto sebagai presiden
Berbeda dengan adaptasi kelembagaan dalam pemilu berikutnya. Hal tersebut
setelah Muktamar di Situbondo, menjelang ditambah lagi dengan keterlibatannya sebagai
1990-an, perilaku politik NU mulai ditandai ketua Pokja Forum Demokrasi, di mana hal
dengan adanya ketegangan antara NU dengan tersebut semakin menambah ketegangan yang
Golkar (pemerintah), hal yang selanjutnya terjadi-di mana posisinya sebagai ketua umum
mendorong timbulnya keinginan politisi NU PBNU dipandang bias dan memiliki pengaruh
untuk terlibat secara langsung dalam yang luas.22
perebutan kepemimpinan di PPP, namun Karena munculnya ketegangan antara
dalam perkembangannya, mereka mengalami pemerintah dengan kalangan NU ini, kuatnya
hal yang sama sebagaimana politisi NU yang campur tangan pemerintah dalam proses
ada di Golkar. Sikap politisi NU ini berbeda Muktamar Cipasung (1984) juga mulai
dengan yang dikehendaki oleh kalangan dirasakan oleh beberapa peserta Muktamar.
Hal tersebut terindikasi dengan adanya
struktural NU yang mulai menunjukkan sikap
rencana pemerintah yang menghendaki agar
apolitis baik terhadap PPP maupun Golkar.
kelompok Abdurrahman Wahid tidak terpilih
Terkait dengan perilaku apolitis tersebut kembali sebagai pengurus PBNU pada
mengindikasikan bahwa meskipun menjelang periode berikutnya. Hal tersebut juga terlihat
pemilu 1992 telah muncul gerakan "kembali dalam pernyataan Abdurrahman Wahid dalam
ke kandang" yang dilakukan kalangan politisi menyampaikan pertanggungjawaban kepengu-
NU ke dalam PPP, namun secara rusannya, di mana secara eksplisit menying-
kelembangan, NU tetap menunjukkan sikap gung adanya keterlibatannya pihak luar dalam
netralitas terhadap semua partai politik. Hal
tersebut terlihat pada munculnya surat edaran 21
Saleh Al. Djufri, “Hentikan Karantina Politik Bagi
NU.” In NU Khittah dan Godaan Politik, by Sinansari
20
PBNU, Lajnah Ta’li>f wa al-Nashr. Hasil-hasil Ecip. (Bandung: Mizan, 1994).
22
Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama Krapyak, Greg Barton dan Greg. Fealey, Tradisionalisme
Yogyakarta 1987. (Jakarta: PBNU, Lajnah Ta’li>f wa al- Radikal persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara.
Nashr, 1987). (Yogyakarta: LKiS, 1997).
166 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
23
Fealey, Tradisionalisme Radikal persinggungan
Nahdlatul Ulama-Negara.
24
PBNU, Lajnah Ta’li>f wa al-Nashr. “Hasil Muktamar 25
A. Muqsith Ghazali dan Suwendi. Marzuki Wahid,
XXVIII,.” Lihat Hasil Muktamar XXVIII, PBNU, Lajnah Dinamika NU, perjalanan sosial dari Muktamar
Ta’li>f wa al-Nashr, 1996 untuk lebih jelas terhadap Cipasung (1991) ke Muktamar Kediri (1999). (Jakarta:
hasil rumusan etika berpolitik tersebut. Kompas dan LAKPESDAM, 1999).
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 167
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
turut aktif mendukung deklarasi yang antara partai politik dan NU tetap diber-
dipandang sebagai agenda reformasi. 26 lakukan. Perdebatan atas pembentukan partai
Perubahan dinamika politik di Indonesia tersebut terus mengemuka terutama menjelang
tersebut juga ditandai dengan munculnya Muktamar XXX diselenggarakan. Dalam
beberapa partai politik. Terkait dengan Muktamar XXX di Lirboyo, meskipun telah
fenomena tersebut, PBNU banyak rnenerima muncul perdebatan tentang konsepsi kembali
usulan dari beberapa Cabang NU di daerah ke Khit}t}ah 1926, para peserta tidak banyak
yang menghendaki agar NU terlibat kembali mempersoalkan posisi Abdurrahman Wahid
dalam partai politik. Sementara di sisi lain, yang dipahami tidak bertentangan dengan
juga muncul perdebatan tentang konsist ensi pemaknaan Khit}t}ah, karena sebagian besar
atas keputusan Khit}t}ah sebagai respon dari peserta menyadari bahwa posisi Abdurrahman
usulan pembentukan partai tersebut. Wahid sudah non aktif di PBNU. Begitu pula
Menyikapi hal tersebut, dalam rapat harian dalam laporan pertanggung-jawababannya
yang dihadiri oleh Shuriyah dan Tanfiz}iyah tentang progam yang telah dilakukan, peserta
PBNU pada tanggal 3 Juni 1998, PBNU Muktamar tidak banyak melakukan kritik
membentuk tim lima untuk merespon secara serius sebagaimana dalam Muktamar
fenomena yang terjadi, di mana setelah Cipasung sebelumnya yang diliputi dengan
melakukan beberapa pertemuan, selanjutnya ketegangan dan pertentangan.
tim tersebut menyepakati untuk membentuk Perubahan yang muncul dari hasil
partai politik yang kemudian meyerahkan Muktamar Lirboyo itu adalah terpilihnya
hasil rumusannya kepada Shuriyah dan K.H Sahal Mahfudz sebagai Ra>is ‘A<m dan
Tanfiz}iyah dalam rapat harian pada tanggal K.H. Endin Fachruddin Masturo sebagai
22 Juli 1998. Menindak lanjuti hasil wakilnya, sementara K.H. Hasyim Muzadi
kesepakatan tersebut, pada tangal 23 Juli terpilih sebagai ketua Tanfiz}iyah menggan-
1998, dilakukan deklarasi partai dengan nama tikan Abdurrahman Wahid. Selain perubahan
"Partai Kebangkitan Bangsa".27 kepemimpinan, Muktamar juga memberikan
Dengan munculnya deklarasi yang rekomendasi politik tentang anjuran terhadap
difasilitasi oleh PBNU, beberapa politisi NU warga NU untuk tetap menggunakan hak
lainnya memunculkan kritik di mana dalam politinya secara bebas, kritis dan rasional
perkembangannya telah menimbulkan pro- sesuai dengan prinsip-prinsip yang disepakat i
kontra terhadap keberadaan partai yang dalam Muktamar Krapyak (1987). Selain itu
difasilitasi PBNU. Menyadari hal tersebut, peserta Muktamar juga menyepakati untuk
PBNU mengeluarkan instruksi agar tetap menjadikan NU sebagai organisasi
fungsionaris NU di segala jenjang kepengu- sosial keagamaan, namun demikian, peserta
rusan tidak merangkap jabatan dengan Muktamar juga menghendaki NU untuk tetap
kepengurusan di PKB atau partai politik bersikap kritis terhadap dinamika partai
lainnya. Dari fenomena munculnya PKB yang politik yang sering menggunakan nama
direkomendasikan NU sebagai partai politik- NU. Oleh karenanya dalam periode terben-
nya, secara tidak langsung telah merubah tuk komisi politik yang digunakan untuk
paradigma kalangan NU dalam memaknai mengontrol partai-partai politik yang dianggap
kesepakatan Situbondo, meskipun kebijakan sebagai penyalur aspirasi warga NU. 28
PBNU dengan mempertegas kepengurusan
b. Dinamisasi Doktrin Teologis: Kittah NU
26 26 dan Interpretasinya
Greg Barton, Abdurrahman Wahid, Muslim
Democrat, Indonesian President (Sydney: UNSW,
Dinamisasi kepemimpinan di tubuh NU
2002), 285. secara kelembagaan juga berpengaruh
27
DPW. PKB, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan
28
Bangsa. DPW PKB Jawa Timur, Dokumen deklarasi Sekretariat Jenderal. PBNU, “Hasil Muktamar XXX
Partai Kebangkitan bangsa, hal. 122. (Surabaya: DPW Nahdlatul Ulama.” (Jakarta: Sekretariat Jenderal
PKB Jawa Timur, 1999). PBNU, 2000), 185.
168 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 169
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
partai politik lainnya. Oleh karenanya, hal ini menghindari resiko negatif dari rezim
telah menyebabkan munculnya gerakan Suharto. Sebagaimana periode sebelumnya,
penggembosan di tubuh PPP menjelang maka sikap akomodatif ini juga dipahami
pemilu 1987 - hingga berdampak merosotnya sebagai upaya menghilangkan ketegangan
perolehan suara PPP pada hasil pemilu. 30 yang terjadi antara NU dan pemerintah.
Sikap akomodatif ini terus berlangsung Sebaliknya, sikap oposisi dengan pemerintah
hingga berlangsungnya Muktamar NU di dipahami akan menimbulkan sikap represif
Krapyak Yogyakarta. Dalam Muktamar pemerintah yang muncul dalam bentuk
tersebut tidak dimunculkan perubahan secara kekerasan, sebagaimana yang terjadi pada
signifikan atas interpretasi Khit}t}ah kasus Tanjung Priok dan kasus-kasus lainnya.
sebagaimana yang dibahas pada Muktamar Karena demikian, sesuai dengan prinsip
Situbondo. Untuk mencapai tujuan keaga- ideologi politik Sunni, bentuk-bentuk
maan, peserta Muktamar masih tetap kekerasan dalam segala situasi dan kondisi
memaknai gerakan politik kultural lebih harus selalu dihindari. Sedangkan pada
strategis dan lebih bermanfaat dari pada dimensi pragmatis, perilaku akomodatif
terlibat pada politik praktis. Sebaliknya, dengan pemerintah selain diharapkan akan
beberapa refleksi atas Khit}t}ah mulai memunculkan situasi baru yang mengarah
mengalami pemaknaan secara lebih spesifik, pada tercapainya tujuan-tujuan pragmatis NU
sebagaimana yang terumuskan pada sembilan – seperti adanya orang-orang NU di birokrasi
pokok etika berpolitik dalam NU - yang pemerintahan, mengalirnya dana-dana
mencerminkan batasan-batasan tegas antara bantuan dari pemerintah dalam pendidikan,
wilayah politik praktis dan gerakan kultural. pesantren atau di bidang ekonomi – namun
Secara kelembagaan, periode ini juga juga diharapkan berdampak pada berubahnya
meluncurkan penegasan terhadap imple- pandangan pemerintah terhadap NU yang
mentasi doktrin gerakan kultural yang selama ini dianggap oposisi radikal.
berorientasi ke arah sosial dan keagamaan. Hal Konsistensi untuk tetap Khit}t}ah selama ini
ini ditandai dengan semakin intensifnya bagi NU secara kelembagaan juga diimple-
hubungan yang dilakukan NU dengan Golkar mentasikan dengan menanggapi dinamika
(pemerintah) serta kalangan pengusaha, politik secara apolitis terhadap dinamika
termasuk dari kalangan Cina. Upaya persoalan polit ik praktis. Perilaku yang
melibatkan NU secara kelembagaan dalam dimunculkan kalangan struktural NU terse-
menjalin hubungan kerjasama dengan para but mengindikasikan adanya upaya memper-
pengusaha Cina dalam pendirian BPR, serta kuat konsistensi Khit}t}ah secara kelembagaan.
implementasi program pendidikan dan Disisi lain, sikap apolitis tersebut juga
kesehatan yang berlangsung di beberapa memunculkan ketegangan antara NU dengan
daerah.31 Golkar (pemerintah) di mana kemudian
Secara ideologis dan normatif, sikap banyak berpengaruh pada pola hubungan NU
akomodatif NU terhadap pemerintah dalam secara kelembagaan dengan pemerintah.
periode ini menemukan titik temu dalam Secara teologis, beberapa respon NU,
strategi implementasinya. Meskipun NU sebagaimana yang dikemukakan Abdurrah-
memandang r ezim orde b aru sebagai man Wahid dalam Rapat Akbar dan
pemerintahan dari rezim yang militeristik.32 Istighathah pada tahuan 1993, terlihat
Namun pilihan akomodatif NU terhadap menghendaki adanya bentuk negara yang tetap
pemerintah tetap terlihat dalam sikap politik konsisten pada pancasila, sementara yang
NU yang diupayakan sebagai bentuk dilakukan pemerintah justru sebaliknya, upaya
pemerintah dengan merangkul gerakan politik
30 Islam telah memunculkan dominasi agama
D. F. Anwar, Militer dan Polilik di Indonesia: Sebuah
T'injauan (Jakarta: Masyarakat Indonesia, 1983). atas negara. Dalam hal ini, upaya yang
31
Afan Gaffar, “NU dan PPP Pasca Muktamar .” In dilakukan pemerintah dalam mendukung Islam
NU Khittah dan Godan politik, by S. Simaruasri Ecip politik tersebut dipahami oleh kalangan NU
(Bandung: Mizan, 1994), 64. sebagai bentuk politisasi agama yang
32
Nawaz Mody, B. Indonesia under Suharto. digunakan pemerintah terhadap ormas Islam
(Bangalore: Sterling, 1987).
170 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
sebagai alat legitimasi politik. Oleh karena itu, Abdurrahman Wahid dalam pertemuannya
upaya pemerintah ini secara normatif juga dengan Presiden Suharto.
bertentangan dengan pandangan politik NU – Interpretasi atas doktrin teologi politik NU
di mana dominasi agama tertentu atas agama ini berbeda pada saat Abdurrahman Wahid
yang lain bertentangan dengan filosofi Panca- terpilih menjadi Presiden Indonesia pada tahun
sila yang mendudukkan semua agama dan 1999. Hal ini pula yang terlihat dalam proses
golongan secara sama, sebagaimana yang Muktamar di Lirboyo di mana hasil
telah dibahas dalam Muktamar Situbondo Muktamar tersebut mencerminkan sikap
sebelumnya. akomodatif NU terhadap pemerintahan
Di antara faktor lainnya yang menjadikan Abdurrahman Wahid. Penerimaan tersebut
NU terlihat bersikap responsif dan oposisi secara teologis dapat dipahami karena baik
terhadap pemerintah adalah keterlibatan dari aspek pragmatis, normatif maupun
pemerintah dalam Muktamar Cipasung serta ideologis berkesesuaian dengan paradigma
dukungannya terhadap kelompok Abu Hasan NU mengharuskan bagi kalangan NU untuk
yang dipandang telah menghilangkan ruang berperilaku akomodatif. Hal tersebut terlihat
kebebasan bagi kalangan NU. Campur tangan dari belum banyaknya sikap kritis dan
pemerintah tersebut merupakan salah satu perdebatan di kalangan NU dalam politik
upaya pemerintah dalam melakukan kontrol yang diambil oleh pemerintah. Beberapa isu
terhadap kalangan lslam agar dapat kontroversial yang terkait dengan perilaku
memberikan dukungan secara politis. Pada Abdurrahman Wahid juga sedikit disinggung
saat yang sama, sikap responsif dan oposisi dalam muktamar ini. Namun setelah muktamar
kalangan NU ini juga didasarkan pada diselenggarakan, beberapa isu kontroversial
pemaknaan pragmatis politik, di mana NU yang terkait dengan perilaku Abdurrahman
secara kelembagaan tidak mendapatkan Wahid telah memunculkan kritik dan konflik
tujuan-tujuan pragmatis terutama dalam bentuk dari beberapa politisi yang ada di DPR di
bantuan di bidang ekonomi maupun pen- mana sikap tersebut selanjutnya semakin
didikan yang menurun secara drastis jika terlihat menjelang dilaksanakannya sidang
dibanding pada periode sebelumnya. umum MPR. Munculnya perilaku kritis dan
Meskipun hubungan NU dengan oposisi ini juga menimbulkan pertentangan di
pemerintah cenderung oposisi dalam periode kalangan NU, yakni antara mendukung atau
ini, pada tataran kelembagaan konflik dan tetap konsisten dalam jalur NU Khit}t}ah,
oposisi dengan pemerintah tidak diimplemen- dengan tetap menjadikan NU sebagai
tasikan NU secara radikal. Diantara kebijakan organisasi sosial keagamaan.
NU yang diwujudkan melalui penguatan Munculnya fenomena ini juga
internal kelembagaan dikalangan NU adalah memunculkan perdebatan pada aspek doktrin
melalui upaya membentuk komunikasi antara teologis. Munculnya perilaku akomodatif NU
kalangan NU dengan pemerintah. Meskipun terhadap Abdurrahman Wahid yang terlihat
demikian, upaya ini baru berhasil dua tahun sejak awal kepemimpinannya, semakin
kemudian yakni dalam pertemuan di pondok terlihat pada saat konflik berlangsung, di
pesantren Genggong Probolinggo pada mana kalangan politisi NU menyadari bahwa
tahun 1996. 33 Dari pertemuan di Genggong secara pragmatis dan normatif NU secara
tersebut menunjukkan bahwa oposisi dengan
kelembagaan akan dirugikan. Sementara disisi
pemerintah dalam pandangan teologi politik
NU masih tetap dalam batasan-batasan wajar lain, beberapa kalangan struktural NU tetap
dan tidak bertentangan dengan hukum negara. mendukung konsistensi terhadap Khit}t}ah
Bahkan dalam pertemuan tersebut, pendekatan 1926, meskipun secara pragmatis politik
personal lebih terlihat daripada pendekatan dengan turunnya Abdurrahman Wahid juga
kelembagaan, di mana secara simbolik akan berpengaruh terhadap aspek pragmatis-
keberadaan NU telah terwakili dengan peran me NU secara kelembagaan. Berkaitan dengan
munculnya perdebatan tersebut, PBNU
sendiri, melalui K.H. Hasyim Muzadi beserta
33
Barton, Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat, tokoh NU lainnya lebih banyak melakukan
Indonesian President.
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 171
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
pendekatan personal melalui safari politiknya. NU) melalui bidang pengembangan ekonomi
Dengan didampingi oleh pengurus PBNU masyarakat di beberapa wilayah seperti Lom-
lainnya, safari tersebut bertujuan untuk bok, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah di
meredam kemarahan warga NU yang mulai Jawa. Selain memberikan pelatihan, program
banyak bermunculan dalam bentuk demons- tersebut juga memberikan beberapa proyek
trasi dan ketegangan yang terjadi di lapisan percontohan. Program tersebut juga diarahkan
masyarakat bawah. Karena demikian, kepada beberapa produsen kecil dalam bidang
meskipun dalam perkembangannya Abdurrah- kerajinan, pertanian semi-tradisional, serta
man Wahid pada akhirnya tergusur dari petani tambak. Program lain yang dikem-
kepresidenan, upaya yang dilakukan PBNU bangkan adalah pemberian suntikan modal
dalam melakukan kunjungan ke daerah-daerah kecil (revolving fund) dengan memilih
dan safari politik pada akhirnya dapat teknologi sederhana, dan relatif murah
meredam terjadinya konflik secara besar. (traditional plus) namun memilki manfaat
yang besar.35
c. Dinamisasi Program Praksis NU: dari Program lainnya adalah di bidang
Pemberdayaan ke Advokasi pendidikan yang berupaya meningkatkan
Dinamisasi yang muncul baik dalam bentuk kualitas dan perbaikan manajemen. Dalam
kepemimpinan dan doktrin sebagaimana yang perkembangannya, di bidang ini banyak
diuraikan sebelumnya, juga bekonsekuensi menerima dukungan dari pemerintah,
terhadap perubahan arah pengembangan sebagaimana yang telah dilaporkan dan dikaji
program yang akan dilaksanakan. Terbentuk- oleh beberapa kalangan tentang ini. Berbeda
nya pola kedekatan yang dilakukan di dengan sebelum tahun 1984, di mana banyak
kalangan NU dengan pemerintah setelah madrasah dan pendidikan di kalangan NU
Muktamar NU di Situbondo 1984 telah yang menyembunyikan identis ke-NU-annya
memunculkan hubungan sikap akomodatif NU karena merasa khawatir mendapatkan
secara kelembagaan. Beberapa kalangan perlakuan diskriminatif dari pemerintah,
menyadari bahwa kondisi ini berbeda dengan
namun dalam periode ini, melalui Lembaga
periode sebelumnya, di mana NU dianggap
Pendidikan Maarif (L.P. Ma'arif-NU), telah
rival politik pemerintah yang sering bersikap
oposisi secara radikal. Arah gerakan NU banyak menerima pendaftaran dari beberapa
kemudian mulai menekankan pada aspek madrasah dan sekolahan untuk bergabung
pendidikan, sosial dan kemasyarakatan. secara struktural dengan NU. Upaya NU
Beberapa program yang bersifat pemberdayaan untuk mengembangkan pendidikan ini juga
masyarakat mulai bermunculan, begitu juga dilakukan di pesantren. Bahkan upaya peme-
pembentukan lembaga (lajnah) yang rintah selanjutnya berupaya ingin meng-
menangani program tersebut, seperti muncul- hilangkan pengkotak-kotakan lembaga,
nya Lembaga Pengembagan dan Pemba- pendidikan terutama terhadap pesantren,
ngunan pertanian NU, Lembaga Penga- yakni dengan mendukung lebih banyak materi
rang dan Penterjemah (Lajnah ta'li>f wa al- umum agar lulusan pesantren lebih dapat
Nashr), serta Lembaga Kajian dan Pengem- berintegrasi dengan kalangan akademik dunia
bangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam).34 luar.36
Salah satu rekomendasi penting dari Pengembangan program ini juga
Muktamar Situbondo adalah program berlangsung hingga diselenggarakannya
peningkatan kepedulian sosial (Shu’un al- muktamar di Krapyak Yogyakarta pada tahun
ijtimaiyah), di mana selanjutnya ditindak- 1989. Dalam muktamar tersebut juga dibahas
lanjuti oleh Lembaga Kajian dan Pengem-
bangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam- 35
Keputusan Muktamar NU XXVII. Keputusan
Muktamar NU XXVII, Jawa Timur: pengurus NU
34
Mitsuo Nakamura, Agama dan Perubahan Politik di Wilayah Jawa Timur, 1984.
36
Indonesia: Tradisionalisme Radikal (Surakarta: Andree Feillard, NU vis,-a-vis Negara, Pencarian Isi,
Hapsara, 1982), 23-24. Bentuk dan Makna (Yogyakarta: LKiS, 1999), 305.
172 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 173
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
174 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
mempersoalkan bentuk negara dalam paradig- dimunculkan oleh paradigma integration yang
ma politiknya. Karena demikian, varian-varian berupaya menjadikan agama sebagai tujuan
yang muncul dalam paradigma politik NU, politiknya.
secara teologis lebih pada pilihan Begitu pula dalam varian realistik, di mana
pertimbangan substasialistik, rasionalistik dan melalui pertimbangan kondisi realitas politik
realistik. yang terjadi, akan memposisikan agama
Varian substansialistik, sebagaimana yang secara luwes dan fleksibel, sehingga
telah disinggung dalam pembahasan pemaksaan dalam capaian tujuan keagamaan
sebelumnya, menekankan pada aspek isi tidak terjadi dalam paradigma separation ini.
(mind) daripada bentuk (body), oleh karena- Karena demikian, pandangan pluralisme -
nya secara teologis orientasi politik NU tidak yang memberikan ruang bagi agama lain
memunculkan keharusan terbentuknya negara secara sama dalam negara-akan memunculkan
Islam, namun yang lebih ditekankan adalah perilaku politik yang lebih adil daripada
nilai, norma dan etika dalam negara. Hal yang varian idealis. Hal ini berbeda dengan
sama juga terlihat dalam melakukan refleksi pemaknaan realitas praksis politiknya yang
terhadap praksis polit iknya, di mana pertim- dimunculkan oleh varian idealis yang terlihat
bangan yang dilakukan NU didasarkan pada ahistoris–di mana unsur ideal kegamaan tidak
dimensi realitas praksis yang terjadi–tidak pernah hadir dalam realitas kesejarahannya,
dengan pertimbangan skriptualistik. Karena karena yang terjadi dalam realitas politik tidak
demikian, pertimbangan untung-rugi melalui pernah sesuai dengan tujuan ideal keagamaan,
kalkulasi maslahat dan mudarat merupakan sehingga upaya realisasi aspek ideal
aspek utama dalam orientasi teologis politik keagamaan akan memunculkan penyesuaian
NU. Sementara dalam varian realistis, maka praksis yang didasarkan pada simbol ideal
secara teologis dinamika refleksi politik NU keagamaan.
lebih mendasarkan pada pertimbangan praksis, Sebagaimana yang muncul dalam varian
capaian ideal keagamaan dalam paradigma substansialistik, varian rasionalistik juga lebih
teologis NU diimplementasikan setelah di- memunculkan ruang kebebasan dalam peri-
mensi praksis tidak ditemui aspek mad}arat. laku politiknya. Hal ini terlihat pada pertim-
Berdasarkan paradigma politik ini -yang bangan yang dilakukan dalam memaknai
memunculkan beberapa varian teologis- praksis politik yang didasarkan pada pertim-
rasionalistik, substansialistik dan realistik bangan kontekstual secara rasional. Pertim-
ada beberapa aspek yang dapat dirumuskan bangan untung-rugi yang menekankan pada
terkait dengan paradigma pembebasan aspek mas}lah}at dan mad}arat akan memuncul-
sebagaimana yang dikonsepsikan oleh baik
kan perilaku politik lebih inklusif dan toleran.
Asghar Ali Engineer maupun Ali Syariati -
yang mendasarkan pilar pembebasannya Hal ini berbeda dengan paradigma integration
dalam bingkai pluralisme, humanisme reli- yang memahami praksis dalam bingkai
gious, keadilan, tauhid dan toleransi, tekstual doktrin agama, maka selain memun-
sebagaimana yang telah terurai dalam bab satu culkan perilaku politik yang terkesan kaku
sebelumnya. Berdasarkan pilar pembebasan dan bersifat eksklusif juga memunculkan
tersebut, yang bisa dilihat dalam varian pemaksaan teks doktrin agama terhadap
substansialistik adalah munculnya ruang praksis politik. Dimensi pembebasan lain
kebebasan beragama. Jaminan ini dapat yang dimunculkan dari varian ini, sebagai-
ditelusuri karena varian dari orientasi perilaku mana yang dikemukakan oleh Charless
politik ini hanya melihat agama sebagai nilai, Kimball, bahwa pemunculan orientasi keaga-
etika dan norma, tanpa berupaya menjadikan maan secara realistis akan menghidari
agama sebagai tujuan politik. Karena demi- munculnya korupsi terhadap tujuan keaga-
kian, kebebasan beragama, toleransi dengan maan. Karena pemaksaan idealitas terhadap
menghargai agama lain akan lebih mudah realitas praksis akan mendorong memuculnya
dimunculkan dalam paradigma substan- upaya pemaksaan tujuan idealitas terhadap
sialistik dari pada varian formalistic - yang
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 175
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
praksis politiknya, sehingga, hal ini memun- rah politik NU pada periode 50-an hingga
culkan pemaksaan dimensi idealitas keaga- awal 80-an, telah memunculkan sindrom
maan terhadap praksis - di mana hal ini bere- ketakutan bahwa ranah politik harus dihindari
siko pada terabaikannya dimensi kemanusiaan, secara total. Atas dasar rasionalisasi ini, maka
toleransi serta bertentangan dengan pilar dinamika politik NU yang terjadi di setiap
tauhid, pluralisme sebagaimana yang pemilu menjadi ajang perebutan bagi partai-
dikonsepsikan dalam pilar teologi pembeba- partai politik, karena potensi masa yang
san. Begitu juga dalam memaknai paradigma dimilikinya tidak memiliki jalur yang dapat
keagamaan dalam bingkai substansialis dan mengartikulasi kepentingan NU secara kelem-
rasionalis, selain menghindari munculnya bagaan. Sebaliknya, dalam varian sosiologis
simbol-simbol keagamaan dalam polit ik. Hal politik yang merefleksikan doktrin Khit}t}ah
ini juga menghindari munculnya konflik 1926 sebagai kemunduran bagi NU secara
kepentingan dalam ranah politik atas nama kelembagaan, di mana selanjutnya varian
agama.39 sosiologis politik ini berupaya mengembalikan
NU pada ranah politik, maka yang terlihat
adalah kecenderungan perilaku politik oportu-
C. SIMPULAN nistik. Hal ini bisa disadari karena tujuan
Adanya perdebatan di kalangan NU keagamaan lebih ditekankan pada aspek prag-
terhadap pemaknaan Khit}t}ah 1926 yang terus matis dari pada aspek ideologis dan normatif
berlangsung di setiap dinamisasi kelembagaan- keagamaan. Di sisi lain, bertentangan dengan
nya - yang terindikasi dengan adanya bebera- varian sosiologis sebelumnya - yang terkesan
pa varian sosiologis politik - menunjukkan membebaskan agama dari politisasi agama,
adanya tarik-menarik kepentingan yang kuat maka perilaku politik dalam varian ini selain
yang didasarkan pada perbedaan paradigma
memunculkan simbol-simbol keagamaan
dalam memaknai teologi politik NU. Karena
demikian, evaluasi teologis dalam varian dalam pencapaian tujuan politiknya, juga
sosioiogis politik ini perlu dilihat kembali menimbulkan rentannya korupsi pada peran
agar konstruksi teologi politik NU dapat dan fungsi dari agama.
dirumuskan secara jelas. Disamping itu juga Sementara dalam varian sosiologis politik
dapat dirunut pada level mana varian sosiologi yang menggabungkan kedua paradigma
tersebut sesuai dengan bingkai paradigma diatas, secara historis dinamika politik NU
politik yang membebaskan. cenderung ambivalen - yang masih terlihat
Salah satu varian sosio logis politik NU tidak memberikan batasan ketegasan posisi.
yang sudah dibahas sebelumnya adalah meng- Hal ini dapat ditelusuri dalam realitas
hendaki implementasi Khit}t}ah 1926 dengan dinamika politik yang terjadi, di mana pemi-
pemisahan secara tegas dari keterlibatannya sahan secara struktural terhadap dimensi
dengan wilayah politik apapun. Di antara peri- politik tidak memberikan jaminan bagi NU
laku yang muncul dalam perilaku politik ini secara kelembagaan terbebas dari bias politik.
adalah pemaknaan doktrin ideologis politik Sehingga, fenomena ini terkesan temporal -
NU secara ketat. Meskipun peran dan fungsi yang berlaku di saat tertentu sementara di saat
keagamaan pada varian ini relatif aman dan yang lain cenderung berbeda, tergantung
membebaskan, karena konflik kepentingan sejauh mana subjek politik mempengaruhi dan
yang melibatkan kelembagaan NU tidak mendominasi varian sosiologis politik dalam
menimbulkan bias politik, namun pilihan ini varian ini. Selain masih rentan terhadap
terkesan minimalis - di mana hal tersebut cen- munculnya perdebatan terhadap batasan
derung memilih sesuatu yang baik dari buruk, pemaknaan teologis di antara ketiga wilayah
tidak mencoba memilih sesuatu yang baik dari varian sosiologis politik ini - di mana pada
yang baik. Dominasi kekhawatiran dari seja- setiap varian sosiologis cenderung untuk
saling melakukan dominasi, pada level
39
Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana kepemimpin dalam tradisi NU yang figuristik,
(Bandung: Mizan, 2003), 25-28.
176 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 177
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah
178 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178