You are on page 1of 21

NU DAN PARADIGMA TEOLOGI POLITIK PEMBEBASAN:

REFLEKSI HISTORIS PASCA KHIT}T}AH

Muhammad Masyhuri
Dosen Institut Agama Islam Syarifuddin (IAIS) Lumajang
JL. Pondok Pesanten Kyai Syarifuddin Wonorejo Lumajang Jatim,Indonesia
E-mail: muhamasyhur@gmail.com
__________________________

Abstract
This research means to study the religious institution’s role to liberate from the problems of ummah in their real life.
Theological study on dimension of liberation here aims to investigate what are Muslim scholars’ opinions on this
issue and how to implement their thought on political reality. This study employs historical description focuses on
historical dynamic of Nahdlatul Ulama (NU) political position and its institution, especially after returning to the
khittah of 1926. This study also analyzes those dynamics in relation to liberation theology. This study shows that
institutional dynamic of NU in politic and its reflection, be it is in accommodatif respond or opposition, related to
its stands between religion and the state is strongly inspired from Sunni political paradigm. However, there have
been some variation related to sociological politic in implementing this Sunni paradigm in reality. Institutionally, the
implementation to reflect liberation theology can be identified as substantialistic, realistic and rationalistic. The root
of liberation on theology in NU can be seen from its emphasis on the issues of peace, pluralism, humanity and
justice. By implementing this liberation of theology, there are some changes in the dynamic of NU history in the
forms of growing number of educational institution, strengthening religious’ roles and positions, increasing
community participation in social, economic and politic without confounding with institutional religious politisation.

Keywords:
Nahdlatul Ulama; social change; politic; liberation theology.
__________________________

Abstrak
Kajian ini bertujuan untuk melihat peran institusi agama dalam upaya membebaskan umat dari dilema yang
dihadapinya. Kajian teologis dalam dimensi pembebasan ini selain bertujuan untuk melihat bagaimana ijtihad para
ulama dalam merefleksikan doktrin keagamaan atas dilema politik yang terjadi juga melihat bagaimana strategi
yang digunakan dalam mengimplementasikan kedalam realitas politik yang dihadapi. Kajian ini bersifat historis
deskriptif yang terfokus pa da aspek kesejarahan dinamika politk NU, aspek kelembagaan setelah kembali ke
khittah 1926, juga menganalisis dinamika tersebut dengan mengkaitkan konsep teologi pembebasan dalam Islam.
Hasil kajian menunjukkan bahwa dinamisasi kelembagaan NU dalam politik serta refleksinya-baik berbentuk
akomodasi maupun oposisi dalam memaknai hubungan antara agama dan negara- terkait erat dengan paradigma
politik Sunni. Meski dalam kenyataannya, memunculkan varian sosiologis politik yang beragam dalam memaknai
paradigma teologi Sunni tersebut. Namun secara kelembagaan, implementasi refleksi teologi pembebasan yang
terlihat lebih pada bentuk substansialistik, realistik dan rasionalistik. Akar pembebasan secara teologis di NU
terlihat dalam varian ini yang lebih menekankan pada perdamaian, pluralisme, kemanusiaan dan keadilan.
Perubahan yang terjadi dalam dinamika sejarah NU adalah berkembangnya institusi pendidikan, menguatnya peran
dan posisi keagamaan, serta meningkatnya partisipasi masyarakat dalam bidang sosial ekonomi dan politik tanpa
terjebak pada politisasi agama secara kelembagaan.

Kata Kunci:
Nahdlatul Ulama; perubahan sosial; politik; teologi pembebasan.
__________________________
DOI: http://dx.doi.org/10.15575/jw.v1i2.727
Received: March 2016 ; Accepted: August 2016 ; Published: August 2016
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

A. PENDAHULUAN dekaan. Karena demikian, beberapa kalangan


Nahdlatul Ulama (NU) merupakan orga- memandang ranah refleksi atas doktrin di NU
nisasi sosial keagamaan yang menjadi wadah lebih banyak terealisasikan dalam aspek
bagi kalangan muslim tradisional Indonesia politik -di mana hampir tiga puluh tahun- NU
di mana keberadaanya sering diidentikkan terlibat langsung dalam konstalasi politik.
dengan kelompok konservatif-ortodoks. Namun perubahan terjadi setelah Muktamar
Meskipun demikian, sebagai organisasi Islam ke-28 di Situbondo 1984 diselenggarakan,
terbesar di Indonesia, NU juga dihadapkan di mana NU menegaskan diri untuk kembali
dengan berbagai dinamika persoalan yang ke Khit}t}ah 1926 yang menegaskan untuk
menuntut untuk dapat melakukan adaptasi tidak menjadi bagian dari politik praktis
agar keberlanjutan organisasi ini dapat tetap secara kelembagaan.2
dipertahankan. Proses adaptasi tersebut telah Dalam konteks lain, tradisi dan kebu-
banyak ditulis oleh para sejarawan yang dayaan yang berkembang dikalangan NU juga
menggambarkan bagaimana dinamisasi ter- dipandang banyak kalangan sebagai bentuk
sebut hadir, baik sejak awal berdir inya dari konservatisme-ortodoks yang menge-
hingga perkembangannya. Meskipun para sankan pada antisipasi terhadap perubahan dan
ulama tradisionalis mendasarkan tradisinya mengungkung diri kepada kejumudan terutama
pada pola konservatisme yang terkesan pada tradisi keagamaan. Bentuk-bentuk kon-
jumud dan sulit berubah, namun mereka servatisme tersebut muncul dalam berbagai
tetap merasa perlu mengemukakan bahwa bentuk, seperti halnya dalam pendidikan
NU dimunculkan sebagai wadah perjuangan pesantren, berkembangnya mistik Islam seper-
bagi kelompok masyarakat muslim ti model tarekat yang ada dalam Jam'iyah ahl
tradisional dalam upayanya untuk menye- al-T{ari>qah al-Mu’tabarah al-Nahd}iyah, serta
lesaikan persoalan yang dihadapi umat Islam beberapa bentuk tradisi-tradisi lain yang
di lndonesia. Pengaruh tekanan penjajahan banyak berkembang seperti perayaan dan
kolonial Barat, tekanan negara yang represif, ritual yang terkait dengan kematian (tahlilan-
serta arus modernisasi dan globalisasi yang yasinan, haul, istighathah) yang saat ini tetap
memunculkan perubahan kearah pemba- menjadi tradisi yang di pandang penting oleh
haruan namun disisi lain juga menjadi masyarakat muslim tradisionalis ini. 3
tantangan serius bagi kelompok ini baik Meskipun demikian, dalam dinamika sejarah
dalam aspek ekonomi, kebudayaan serta perpolitikan NU terdapat dinamisasi dan
aspek keagamaan. Untuk kepentingan ini, proses adaptasi yang menunjukkan terhadap
para ulama berupaya melakukan ijtihad upaya pembebasan ini.
politik dengan melakukan interpretasi atas Keberadaan tradisi yang berkembang di
ajaran agama agar dapat terbentuk suatu kalangan NU selain sering diidentikkan
kondisi yang maslahat bagi umat di mana hal dengan konservativisme- yang sangat kental
ini pada akhirnya menjadi bentuk upaya dengan stagnasi dan keterikatannya pada nilai
pembebasan bagi masyarakat Islam di Indone- tradisi lama, namun disisi lain justru
sia secara umum. 1 menjadi paradigma gerakan yang mencer-
Pembaharuan untuk melakukan perubahan minkan munculnya dimensi pembebasan
dan penyesuaian terhadap kondisi tersebut di- yang secara efektif dapat digunakan dalam
tandai dengan munculnya beberapa refleksi mencapai tujuan keagamaan yang ideal. Hal
atas prinsip dan doktrin ajaran keagamaan ini ditandai dengan adanya refleksi atas
yang selama ini mereka yakini. Salah satu doktrin dan norma keagamaan yang digunakan
bentuk refleksi ini adalah munculnya perubah-
an dalam paradigma gerakan kultural ke 2
Mohammad A.S. Hikam, Fiqh Kewarganegaraan,
ranah polit ik praktis pada awal-awal kemer- Intervensi agama-negara terhadap masyarakat Sipil
(Jakarta: PBPMII, 2001), 87.
1 3
Said Agil, NU dan Masalah Kebangsaan (Jakarta: M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan
Pustaka Ciganjur, 1998). (Jakarta: LP3ES, 1987), 17.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 159
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

dalam memahami dinamika politik organisasi Berkaitan dengan ini, dalam beberapa
ini seperti yang muncul dalam Muktamar dan literatur disebutkan bahwa Nahdlatul Ulama
forum bah}thul masa>il yang sering dikem- (NU) merupakan organisasi Islam terbesar
bangkan dalam tradisi keagamaan di NU. saat ini yang banyak memberikan corak warna
Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang dalam kehidupan beragama dan berbangsa di
saat ini masih menjadi polemik dan perlu lndonesia. Kajian dan penelitian tentang
dikaji adalah bagaimana pengaruh konser- organisasi ini juga telah menarik perhatian
vatisme keagamaan tersebut terhadap dimensi para ilmuwan untuk membincangkan lebih
perpolitikan NU terutama setelah kembali ke dalam. Para ilmuwan tersebut diantaranya
Khit}t}ah 1926. Martin van Bruinessen, Andree Feillard,
Berdasarkan latar belakang tersebut, Sydney Johnes serta Greg Fealey. Kajian-
terdapat sejumlah pertanyaan yang perlu kajian mereka secara umum memfokuskan
dikembangkan dalam pembahasan tentang ini, pada dinamika sosial keagamaan dan politik
diantaranya adalah bagaimana kemudian NU di Nahdlatul Ulama dari sudut pandang
sebagai institusi berpartisipasi dalam teoretisasi sosial. Meskipun demikian, secara
perpolitikan setelah kembali ke Khit}t}ah 1926 umum, kajian mereka tentang NU yang
(1984-2001) apa yang terjadi dalam konstalasi terfokus dalam bingkai 'Teologi Pembebasan'
perpolitikan nasional setelah NU kembali ke masih belum dilakukan secara mendalam.
Khit}t}ah 1926. Serta bagaimana adaptasi Misalkan Greg Fealey yang banyak membahas
kelembagaan yang dilakukan NU dalam tentang Ijtihad Politik ulama NU dalam kurun
menyikapi dinamika politik tersebut? waktu 1952-1957, meskipun ia sedikit
Khususnya adaptasi di bidang doktrin, kepe- membahas tentang doktrin NU yang terkait
mimpinan dan program. Selain itu pertanyaan dengan dinamika politik pada waktu itu,
yang mendasar berkaitan dengan ini adalah namun ia tidak mengkaitkan hal tersebut
bentuk refleksi teologis NU atas dinamika dengan tema teologi pembebasan. 5
perpolitikan tersebut yang dapat dikategorikan Begitu pula dengan kajian yang dilakukan
sebagai dimensi yang sesuai dengan tujuan oleh Martin, ia banyak menulis tentang
keagamaan, sehingga sesuai dengan prinsip- dinamika tradisi keagamaan di NU serta
prinsip yang membebaskan dalam konteks menyinggung hubungan yang telah dilakukan
agama Islam. NU dengan Negara. 6 Sementara Andree
Berdasarkan permasalahan di atas, kajian Feelard dan Sydney Johnes juga banyak
ini berupaya untuk melihat bagaimana membahas dinamika NU pada perkembangan
perspektif teologi pembebasan muncul dari sejarah terutama berkaitan dengan dimensi
dinamika persoalan tersebut. Berkaitan dengan keagamaan dan polit ik. Dari beberapa kajian
ini, hal mendasar tentang perbedaan teologis tersebut, tema-tema tentang teologi pembe-
dalam paradigma teologi pembebasan bermula basan dalam NU masih belum dibahas secara
dari refleksi atas persoalan nyata yang terjadi. khusus bila dihubungkan dengan tema teologi
Teologi pembebasan dipahami sebagai sebuah pembebasan. Sementara di sisi lain, NU
paradigma berteologi yang didasarkan pada sebagai organisasi keagamaan memiliki
dimensi realitas praksis-reflektif teologis, dimensi yang erat dengan aspek-aspek
kemudian melahirkan praksis baru (new- pembebasan yang ditandai dengan dinamisasi
praksis).4 Dalam hal ini, dinamika praksis refleksi teologis atas dinamika praksis.
yang menghasilkan reflektif ajaran agama Diskursus teologi pembebasanan sendiri
akan muncul pada uraian pertanyaan pertama muncul dengan tujuan untuk melihat peran
- partisipasi NU sebagai sebuah institusi agama dalam melakukan upaya pembebasan
setelah kembali ke Khit}t}ah 1926.
5
Greg Fealey, Ijtihad Potitik Ulama NU, 1952-1967
(Yogyakarta: LKiS, 1998).
4 6
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi Kuasa,
Metode, Prakis dan isinya (Yogyakarta: LKiS, 2000). pencarian Wacana Baru (Yogyakarta: LKiS, 1999).

160 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

yang dilakukan setiap manusia dalam dinamika Sangha Buddism di Srilanka, di


menghadapi permasalahan yang menyertainya. mana perlunya keterlibatan institusi agama
Wacana pembebasan ini menjadi bagian yang dalam dinamika politik praktis memunculkan
tidak terpisahkan di tiap dinamika sejarah perlawanan bagi kelompok pemerintah
agama manapun termasuk yang arkhais diktator yang merugikan pada sebagian besar
(agama kuno), di mana dua sisi keberpihakan masyarakat, perubahan dari anti-politik
antara penindasan, diskriminasi, ketidakadilan praktis berubah ke wadah politik
dan sisi pembebasan, keadilan menjadi pilihan memunculkan perubahan dalam melihat peran
dari dinamika tiap agama-baik pada aspek, agama dalam dunia praksis.9 Dengan
institusi-organisasi, individu maupun demikian, secara mendasar, peran agama–baik
kelompok masyarakatnya.7 Begitu juga dalam dalam mendukung pembebasan atau melin-
dinamika kesejarahan Islam, bagi kalangan dungi ketidakadilan - selalu mewarnai dinami-
orientalis Barat, Islam sering diidentikkan ka sejarah tiap agama.
dengan pola fundamentalisme dalam Dalam sejarahnya, kajian teologi
menerapkan ajaran keagamaaannya, bahkan pembebasan merupakan studi kritis tentang
juga terorisme, namun dalam fakta fenomena sosial yang telah banyak
kesejarahannya, Islam sangat kental dengan dikembangkan para ilmuwan sosial dalam
dimensi pembebasan, yang menjunjung tinggi mengkaji studi agama dan perubahan sosial.
nilai-nilai kemanusian, keadilan dan Di antara contoh kajian tersebut adalah studi
kesetaraan sebagaimana yang dicontohkan teologi pembebasan yang di kaji oleh Joseph
oleh Nabi Muhammad baik di Makkah M. Wilson dan Berry Man yang berupaya
maupun di Madinah. mengurai hubungan agama dengan revolusi
Dalam konteks modern, beberapa kajian sosial di Amerika Latin. Selain itu juga ada
teologi pembebasan dalam literatur studi tentang Black American theology yang
menyebutkan tentang prinsip atas gerakan dikaji oleh James H. Cone, yang mengurai
pembebasan dalam dinamika perjuangan agar dukungan organisasi keagamaan dalam
sesuai dengan tujuan keagamaan yang melawan ketidakadilan dan otoriter negara.
berpihak kepada keadilan, kesetaraan, dan Studi dengan perspektif ini dalam perkem-
mendasarkan kepada dimensi kemanusiaan. bangannya mulai bermunculan dengan pende-
Kajian tentang ini pada mulanya berkembang katan keadilan sosial dan upaya penghapusan
dalam studi kritis tentang masyarakat Amerika diskriminasi seperti kajian tentang Black
Latin dalam menghadapi tekanan represif baik Moslem theology di Amerika yang dikaji oleh
dari negara maupun kelompok elit yang Crayson Lyod dan James C Scott yang
memihak pada kaum pemodal. Sebagai upaya memfokuskan pada upaya perjuangan petani
perlawanan, pemunculan interpretasi baru atas Muslim dalam melakukan perlawanan dengan
ajaran agama oleh para tokoh agama dari pemilik modal dan kebijakan pemerintah.10
kelompok masyarakat tertindas untuk mengha- Dari beberapa hasil kajian-kajian tersebut,
dapi ketidakadilan pun dilakukan. Melalui secara mendasar studi dalam perspektif
reformasi institusi agama serta reinterpretasi teologi pembebasan melihat peran agama
pada teks kitab suci dalam memunculkan dalam menciptakan perubahan sosial agar
teologi perjuangan juga dikembangkan.8 sesuai dengan dimensi kemanusian. Dengan
Upaya untuk melihat kembali pemahaman maksud yang sama, bagaimana ajaran suatu
atas peran agama agar sesuai dengan dimensi agama dalam melihat dunia sosial yang terjadi
praksis pembebasan juga terlihat dalam agar menjadi solusi bagi manusia secara

7 9
Michael Amalados, Michael Amalados, Teologi Stanley Jeyaraja Tambiyah, Buddhism-Betrayed:
Pembebasan (Yogyakarta: Insist Press, 2001), 5-7. Religion-Politic and Violence in Sri Lanka. (Chicago:
8
Enrique Dussel, “a History of the Church in Latin University of Chicago Press, 1990).
America.” In Selected Reading on Liberation Theology, 10
James. C. Scott, Senjatanya Orang-orang yang Kalah
by Kenneth R. Hall, 29. (Yogyakarta: CRCS, 2003). (Jakarta: Obor, 2000).

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 161
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

keseluruhannya. Hal ini didasarkan atas kan seperti adanya keadilan, kesetaraan,
asumsi bahwa dimensi agama seringkali dan membebaskan dari segala bentuk dan
tereduksi oleh kepentingan manusia sehingga simbol penindasan. Agama Islam sendiri,
menjadi statis dan memihak kepada kekuasaan sebagaimana disebutkan Ali Asghar, meru-
yang represif dan otoriter. pakan seperangkat doktrin spiritual dan
Berkaitan dengan tema teologi pembebasan metafisika yang mengikat pemeluknya, memi-
ini, khususnya Islam dan teologi pembebasan liki ritual ibadah, yang membentuk sense of
yang ada di Indonesia, secara spesifik akan identity untuk menjadi pandangan hidup bagi
melihat bagaimana peran NU sebagai institusi penganutnya dalam mencari solusi bagi semua
dalam upayanya merealisasikan tujuan keaga- persoalan di dunia yang dihadapinya. Meski
maannya. Kajian ini menjadi penting karena demikian, dalam perkembangannya, proses
selain dapat melihat peran NU secara kelem- pencarian solusi untuk menemukan kebenaran
bagaan dalam merefleksikan doktrin keaga- dalam hidup tersebut terhambat dengan cara
maannya juga dapat melihat secara dekat pandang yang merubah akan tujuan agama itu
hubungan antara dimensi praksis politik sendiri, karena terpengaruh dengan berbagai
dengan dimensi doktrin teologis yang ada di kepentingan dan kubutuhan duniawi, ditam-
NU terutama setelah kembali ke Khit}t}ah 1926 bah pula doktrin dan ritual agama menjadi
(1984-2001). pelipur lara semata (a sense of symbolic
Selain itu, studi ini juga dapat memahami fulfilment), karena telah mengkristal menjadi
bagaimana refleksi atas doktrin yang terpola dogma yang kaku dan tidak sesuai dengan
dalam praksis baru dalam dinamisasi kelem- konteks yang terjadi.11
bagaan di NU dirumuskan. Sehingga secara Kenyataan ini dalam perkembangannya
teologis, dari studi ini dapat diketahui karakter juga ditambah dengan kurangnya daya kritis
perilaku politik yang dimunculkan oleh para- kalangan intelektual. Dengan menjadikan
digma politik NU - di mana hal tersebut juga agama hanya sebatas obyek kajian metafisika
dapat mengetahui beberapa tipologi refleksi yang abstrak, tidak menyentuh pada dimensi
yang muncul dalam dinamika praksis persoalan eksistensial kemanusiaan yang
politik dalam kurun waktu 1984-2001. dihadapinya. Karena demikian, dalam konteks
ini agama hanya sebatas latihan intelektual
Dengan kesimpulan yang sama, kajian ini
murni yang tidak menjadi wadah dalam
juga bisa melihat rumusan orientasi teologis upayanya untuk mendekatkan dirinya
dalam aspek politik yang diperjuangkan NU, kepada Tuhan, sebaliknya agama menjadi
terutama dalam memaknai hubungan antara pemisah antara dirinya dengan kebutuhan riil
agama, masyarakat dan negara. dalam konteks dinamika sosial yang terus
berubah. Sebagai akibatnya, agama pada
akhirnya menjadi seperangkat ritual ibadah
B. HASIL DAN PEMBAHASAN yang kering (set of dead ritual) bagi
1. Perubahan Sosial dan Dimensi Pembe- penganutnya. Di sisi yang lain, agama menjadi
basan dalam Islam seperangkat konsep atas doktrin yang abstrak
Islam merupakan agama yang membawa dan rumit untuk dapat dipahami. Karena
misi perubahan dari berbagai simbol dan demikian, agama dalam konteks ini menjadi
kondisi manusia yang jahiliyah, terkungkung, sesuatu yang jumud karena tidak menjadi
tertindas, terhegemoni agar menjadi manusia kode etik atau aturan moral yang dinamis.
yang bertauhid, dan merdeka sebagaimana Dalam konteks ini pula agama tidak mampu
yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Misi menjadi pedoman bagi penganutnya sehingga
tauhid merupakan pilar utama dalam peru- kehidupan spiritualitasnya menjadi kering
bahan ini, karena ajaran agama yang telah karena tidak memiliki dimensi makna yang
diinterpretasikan dalam kehidupan nyata akhirnya tidak mampu meyelesaikan pro-
seringkali tidak berkesesuaian dengan maksud
utama dari ajaran agama tersebut diturun- 11
Asghar Ali Engginer, Islam dan Teologi Pembebasan
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 8.

162 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

blem-problem eksistensial kemanusiaan untuk memperoleh harta benda, 5 H{ifz}u al-


12
yang terjadi. Berkaitan dengan persoalan nafs; kemerdekaan untuk hidup.
dalam keagamaan ini, Asghar menyebutkan Pembebasan yang didasarkan pada dimensi
bila agama tidak dapat berfungsi sebatas men- tauhid juga diartikan oleh Hasan Hanafi ber-
jadi pelipur lara dan hanya sebatas obyek kaitan dengan implikasi terhadap dua tindakan
kajian intelektualitas semata, maka agama mendasar. Tindakan peniadaan yang didasar-
harus mampu bertransformasi untuk melaku- kan pada kalimat “la ilaaha illa Allah” dimak-
kan perubahan sosial. Interpretasi atas ajaran
sudkan pada peniadaan seseorang dari pembe-
agama perlu ditransformasikan ke dalam
basan manusia dari segala bentuk penindasan,
kehidupan nyata agar lebih kontekstual dan
secara aktif mendorong terciptanya perubahan pemaksaan, otoritarianisme, dan kekejaman.
atas tatanan sosial yang up to date. Fungsi Sementara kalimat syahadat kedua “Muham-
agama sebagai legitimasi atas mekanisme mad Rasulullah”, Nabi Muhammad adalah
sosio-political and economy yang mengun- utusan Allah, berimplikasi sebagai sebuah
tungkan status quo, kelas penguasa, dan kelas pernyataan tentang kesempurnaan wahyu yang
sosial perlu dirubah menjadi dimensi tercipta dalam sistem sosial yang bernama
pembebas akan terciptanya kondisi sosial negara. Dengan demikian, mengindahkan ka-
yang membebaskan tersebut. Hal inilah yang limat tauhid, atau syirik, berarti juga tidak
tercermin dalam sejarah awal mula Islam di sekedar menyekutukan Allah saja, namun lebih
mana peran Nabi Muhammad selain mampu dari itu, penguasaan manusia atas manusia
membebaskan masyarakat saat itu dari mitos, yang lain. Dalam skala sosial yang lebih luas,
pemberhalaan dan budaya menindas, tapi juga selama ada kesenjangan antara orang kaya dan
mendorong para pengikutnya untuk mampu orang miskin, adanya golongan penindas dan
membebaskan diri dari ketertindasan dan yang tertindas, maka selama itu pula masya-
keterpinggiran secara sosial dan ekonomi oleh
rakat dihadapkan pada kondisi yang diliputi
para penguasa Quraisy saat itu. Himpitan
kemusyrikan.13
ekonomi karena penindasan dari para rentenir,
kapitalis, dan tekanan represif dari penguasa Hubungan antara masyarakat dan negara
saat itu dapat bebaskan melalui pemahaman dalam Islam tercermin dalam konsep keadi-
dan pengamalan agama Islam yang benar. lan yang menjadi posisi penting menciptakan
Pemahaman tentang ajaran Islam yang hubungan yang kondusif dalam suatu negara.
membebaskan ini didasarkan atas konsep tau- Berkaitan dengan ini, Ibn Taimiyah menye-
hid yang bersifat antropho-sentris, kongkrit butkan bahwa keadilan dalam Islam memiliki
dan menyentuh dimensi kemanusiaan. Pema- posisi sentral karena kehidupan manusia
haman ini berbeda dengan pemahaman teologi akan menjadi lebih baik dan tertata, meski-
yang bersifat abstrak, theosentris, dan meta- pun manusia diliputi oleh perbuatan dosa. Hal
fisik yang kaku dan jumud. Doktrin tauhid la ini juga yang menjadi alasan mengapa negara-
ilaha illa Allah, tiada tuhan selain Allah harus negara yang menjunjung tinggi keadilan dan
menjadi doktrin liberatif yang membebaskan, menerapkannnya menjadi lebih baik meski-
bukan doktrin yang mengkungkung dan stag- pun dipimpin oleh non-muslim. Karena demi-
nan. Dimensi Pembebasan dalam Islam sendi- kian, hal ini juga dapat diartikan bahwa dunia
ri juga berhubungan dengan lima prinsip dasar akan dapat bertahan dengan keadilan meski-
dalam pensyariatan hukum Islam (usus al- pun diiringi kekufuran, sebaliknya tidak dapat
khamsah), lima prinsip dasar tersebut adalah; bertahan dengan tidak adanya keadilan meski
1. H{ifz}u al- di>n; kemerdekaan untuk beragama dengan Islam.14 Dalam agama Islam, keadilan
2. H{ifz}u al-nasl; kemerdekaan untuk mempe- harus diwujudkan di semua aspek kehidupan.
roleh keturunan, 3. H{ifz}u al-aql; kemerdekaan Meskipun demikian, keadilan tidak akan ter-
untuk berfikir, 4. H{ifz}u al-mal; kemerdekaan wujud tanpa adanya pembebasan kelompok
13
Eko Prasetyo, Islam Kiri (Yogyakarta: Insist Press,
2003).
12 14
Asghar, Islam dan Teologi Pembebasan, 9. Prasetyo, Islam Kiri.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 163
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

marjinal dan lemah dari penderitaan, serta beberapa kalangan, perubahan tersebut juga
memberikan kesempatan bagi mereka untuk menjadi indikator adanya pengaruh dari
menjadi pemimpin. hubungan NU dengan kondisi praksis politik
yang terjadi (Tebuireng 1984). Di mana ada
2. Dinamisasi NU dalam Menghadapi Peru- beberapa kecenderugan yang dapat dilihat
sebagai faktor yang mempengaruhi konstalasi
bahan Sosial
politik NU secara makro, seperti adanya
a. Dinamisasi Kepemimpinan NU: Dari keterkaitan dengan upaya pemerintah
Khalid, Wahid dan Hasyim terhadap penerapan kebijakan unifikasi
Dinamisasi kelembagaan di NU ditandai ideologi ormas kepada Pancasila, serta
dengan munculnya adaptasi struktural kelem- keterkaitan dengan munculnya pandangan
bagaan. Bermula dari kesepakatan pada secara umum bahwa gerakan politik praktis di
Muktamar Situbondo (1984), di mana NU NU dinilai tidak menguntungkan NU baik
secara formal kelembagaan menyatakan tidak secara kelembagaan maupun secara personal.
terkait dengan partai politik manapun. Oleh karenanya, hal tersebut kemudian
Selanjutnya kesepakatan tersebut memiliki memunculkan dorongan dari kalangan muda
konsekuensi kembalinya NU kepada gerakan yang menghendaki perubahan orientasi
sosial keagamaan sebagaimana pada awal gerakan di NU dari gerakan politik praktis ke
NU di dirikan pada tahun 1926. Kesepakatan arah gerakan kultural keagamaan.
Situbondo ditandai dengan munculnya Orientasi kembali ke posisi gerakan
kultural keagamaan berarti memposisikan NU
kepemimpinan baru yang mewakili kalangan
sebagai organisasi keagamaan yang netral,
muda, yakni naiknya Abdurrahman Wahid dengan konsekuensi tidak berfusi dengan PPP
sebagai ketua umum tanfiz}iyah menggantikan sebagaimana periode sebelumnya. Netralitas
K.H Idham Khalid. 15 tersebut juga berarti tidak adanya posisi
Kesepakatan Situbondo tidak merubah struktural dalam partai politik dan NU secara
pola struktur organisasi ini, pemimpin bersamaan. Pengurus NU yang aktif dipartai
tertinggi masih dipegang oleh Syuriah, politik diharuskan memilih salah satu posisi
yang terdiri dari kalangan ulama, sedang- struktural yang dikehendakinya. Pilihan
kan Tanfidziah berfungsi sebagai pelaksana tersebut merupakan langkah serius yang
harian yang melaksanakan ide dan ketetapan dilakukan NU dalam memaknai kesepa-
umum dari Syuriah. KH. Ahmad Shiddiq katan Khit}t}ah 1926 dalam lingkungan NU
dalam muktamar ini menjadi Rais Am di posisi secara kelembagaan. Walaupun pada awal
shuriyah, sedangkan Abdurrahman Wahid mulanya penghapusan dualisme struktural
menempati posisi ketua umum di tanfiz}iyah . bersifat himbauan, namun pada tahap
Beberapa kalangan muda juga mulai muncul selanjutnya PBNU mengeluarkan kebijakan
dari hasil keputusan 'ahl h}alli wa al-aqd dari organisasi berupa SK no 72 /A-II/04-d/XI/85,
Muktamar ini, seperti Mahbub Djunaidi dan 26 Oktober l985. Berdasarkan SK tersebut,
Fahmi Syaifuddin yang menempati posisi dengan jelas bersifat mempertegas Surat
wakil ketua tanfiz}iyah , dan Said Budairi Keputusan pertama yang diinstruksikan untuk
sebagai Bendahara, sedangkan Kiai Sahal memisahkan pengurus NU yang memiliki
Mahfudz dan Tolhah Hasan membantu KH. posisi struktural di partai politik.16
Ahmad Shiddiq di dalam Shuriyah. Dampak langsung dari kebijakan tersebut
Meskipun dari pola struktur organisasi adalah banyaknya politisi NU di daerah-
tersebut tidak berubah, namun yang menarik daerah yang harus rela kehilangan posisi
untuk dilihat adalah perubahan kepemimpinan struktural mereka di partai politik khusunya
tersebut menjadi indikator awal bagi PPP, karena pada waktu itu masih banyak
perubahan orientasi gerakan NU yang akan kalangan NU yang tetap berfusi ke PPP
dilakukan lima tahun kemudian. Bagi sebagaimana sebelum Muktamar Situbondo
15
Keputusan Muktamar NU XXVII, Keputusan
16
Muktamar NU XXVII (Jawa Timur: pengurus NU Kacung Marijan, Quo Vadis NU Setelah Kembali ke
Wilayah Jawa Timur, 1984). Khittah 1926 (Jakarta: Erlangga, 1992), 214.

164 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

dilakukan. Banyak kalangan memandang Dari rumusan tersebut mengindikasikan


dampak dari munculnya netralitas NU adalah bahwa refleksi atas doktrin terhadap
munculnya kecenderungan dari pemerintah - gerakan kembali ke Khit}t}ah masih dipandang
terutama dari kalangan Golkar- yang melihat belum memiliki rumusan yang jelas dalam
perilaku tersebut sebagai peluang untuk ranah aplikasinya. Karena demikian, rumusan
mendekati NU secara lebih serius. Kecende- pedoman politik ini dimunculkan sebagai
rungan tersebut didasarkan pada kedekatan upaya untuk rnemperjelas wilayah gerakan
beberapa kalangan Muda dari kelompok politik kultural yang dikehendaki oleh NU
Abdurrahman Wahid yang dipandang memiliki secara kelembagaan dengan wilayah politik
visi yang sama dengan pemerintah, terutama praktis. Selain itu, Muktamar Krapyak juga
terkait dengan Pancasila dan kebijakan memunculkan beberapa kritikan dari beberapa
kembali ke Khit}t}ah sebelum keputusan kalangan NU yang merisaukan hubungan
Muktamar Situbondo dipaparkan. Berdasarkan Abdurrahman Wahid–sebagai ketua PBNU–
kecenderungan tersebut, keberadaan kalangan yang dinilai terlalu dekat dengan Golkar.
Muda NU sebelum naik ke tampuk pimpi- Beberapa kalangan NU menilai bahwa peri-
nan di NU juga telah mendapat dukungan laku Abdurrahman Wahid tersebut tidak
dari pemerintah. 17 sesuai dengan kesepakatan Situbondo. Bahkan
Munculnya perilaku politik akomodatif keterlibatannya dengan kalangan LSM -yang
oleh NU terhadap pemerintah juga memun- sering menjalin hubungan dengan kelompok
culkan permasalahan di kalangan NU. Hal ini nonmuslim dan sering melakukan perilaku
muncul dalam Munas Alim Ulama dan kontroversial, juga telah mendatangkan kritik
Konbes NU di Cilacap pada tahun 1987 di dari kalangan kyai konservatif. Karena
mana sebagian peserta Munas merisaukan demikian, perilaku kontroversial Abdurrah-
adanya fenomena perilaku politik di kalangan man Wahid tersebut selain menimbulkan
konflik internal dikalangan NU juga
ulama yang dipandang bertentangan dengan
menimbulkan permasalahan dalam menentu-
nilai-nilai Islam. Munculnya konflik antar
kan batas-batas pemaknaan Khit}t}ah 1926.
ulama NU dan basis masa pendukungnya yang Atas dasar perilaku tersebut, isu pelengseran
sering terjadi merupakan fenomena yang Abdurrahman Wahid mulai banyak bermun-
berkembang dan merisaukan banyak kalangan. culan terutama sebelum Muktamar Krapyak
Menyikapi hal ini, Munas Alim Ulama di diselenggarakan. Namun sebaliknya, kepu-
Cilacap mulai memunculkan rekomendasi tusan Muktamar Krapyak pada akhirnya tetap
untuk mempertimbangkan pentingnya mendukung Abdurrahman Wahid sebagai
menjaga tali persaudaraan dalam berpolitik, ketua PBNU untuk periode l997-1994. 19
baik persaudaraan antar sesama umat lslam Sebagaimana Muktamar sebelumnya, duet
(ukhuwah islamiyah), antar sesama bangsa Abdurrahman Wahid - K.H. Ahmad Shiddiq
dan, se-tanah air (ukhuwah wat}aniyah) dipandang sebagai kemenangan kelompok
maupun persaudaraan antar sesama manusia muda NU yang dikenal dengan kelompok
(ukhuwah bashariyah). Kesepakatan Munas progresif atas kelompok tua konservatif.
Cilacap tersebut juga ditindaklanjuti dalam Beberapa ide pembaharuan yang dihasilkan
Muktamar ke 28 di Krapyak yang memun- dalam periode sebelumnya mulai mendapat
culkan sembilan rumusan kesepakatan yang respon positif meskipun dalam implementasi
dipandang sebagai pedoman berpolitik bagi program banyak menimbulkan krtitik. Karena
kalangan NU. 18 demikian, peserta Muktamar pada akhirnya
dapat memahami bahwa komposisi kepengu-
rusan pada periode sebelumnya tidak kondusif
17
Martin Van Bruinessen, “Konjungtur Sosial Politik di
Jagad NU Paska Khittah 26.” In Gus Dur dan jelas terhadap hasil rumusan etika berpolitik tersebut.
Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1999). (Jakarta, 1996).
18
PBNU, Lajnah Ta’li>f wa al-Nashr. “Hasil 19
Greg Barton dan Greg Fealey, Tradisionalisme
Muktamar XXVIII,.” Lihat Hasil Muktamar XXVIII, Radikal persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara
Lajnah Ta’li>f wa al-Nashr, PBNU, 1996 untuk lebih (Yogyakarta: LKiS, 1997), 52.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 165
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

bagi implementasi program yang telah yang dikeluarkan oleh PBNU kepada
dirumuskan dalam Muktamar Situbondo. Oleh kalangan pengurus hariannya yang
karenanya, konsolidasi internal dan pemilihan menegaskan untuk tidak diperbolehkan
komposisi pengurus yang kohesif dijadikan menjadi calon atau dicalonkan sebagai
prioritas oleh peserta muktamar sebagai upaya anggota legilatif partai kecuali bersedia
memperbaiki program berikutnya. Tim mundur dari kepengurusan NU. Oleh karena
formatur hasil kesepakatan Situbondo itu, pada era 90-an, kondisi politik di
selanjutnya memunculkan komposisi kepengu- Indonesia terutama menjelang pemilu 1992
rusan yang terdiri dari kelompok Abdurrahman dikenal sebagai bentuk buram dari dinamika
Wahid, seperti Gaffar Ramlan, yang dikenal politik NU yang tercermin dari banyaknya
sebagai orang yang dinamis, sekaligus teman kalangan NU yang tergeser di partai politik
lamanya di Jawa Timur yang dipilih sebagai secara structural.21
Sekretaris Jenderalnya. Sementara Ma'ruf Munculnya ketegangan antara NU dengan
Amin, seorang ulama dari Banten terpilih pemerintah dalam periode ini terlihat dari
sebagai Katib shuriyah. Sedangkan Chalid pernyataan Abdurrahman Wahid dalam
Mawardi-sekutu Idham Chalid yang menjadi pertemuan Rapat Akbar dan Istighathah NU
pesaing kubu Abdurrahman Wahid - terpilih di Jakarta pada tahun 1993 yang banyak
sebagai salah satu dari lima wakil ketuanya. mengkritisi beberapa kebijakan pemerintah,
Sementara pada tingkat Shuriyah, dipilih K.H. terutama dalam keterlibatan pemerintah dalam
pembentukan ICMI yang dipandang sarat
Sahal Mahfudz, salah seorang tokoh kyai dari
politis dan bernuansa primordialistis. Bersa-
kalangan LSM di Jawa Tengah, beserta K H.
maan dengan itu, Abdurrahman Wahid juga
Ali Yafie. Sedangkan KH.R. As’ad Syamsul menyatakan secara tegas menolak mendu-
Arifin, terpilih sebagai Mustashar.20 kung pencalonan Suharto sebagai presiden
Berbeda dengan adaptasi kelembagaan dalam pemilu berikutnya. Hal tersebut
setelah Muktamar di Situbondo, menjelang ditambah lagi dengan keterlibatannya sebagai
1990-an, perilaku politik NU mulai ditandai ketua Pokja Forum Demokrasi, di mana hal
dengan adanya ketegangan antara NU dengan tersebut semakin menambah ketegangan yang
Golkar (pemerintah), hal yang selanjutnya terjadi-di mana posisinya sebagai ketua umum
mendorong timbulnya keinginan politisi NU PBNU dipandang bias dan memiliki pengaruh
untuk terlibat secara langsung dalam yang luas.22
perebutan kepemimpinan di PPP, namun Karena munculnya ketegangan antara
dalam perkembangannya, mereka mengalami pemerintah dengan kalangan NU ini, kuatnya
hal yang sama sebagaimana politisi NU yang campur tangan pemerintah dalam proses
ada di Golkar. Sikap politisi NU ini berbeda Muktamar Cipasung (1984) juga mulai
dengan yang dikehendaki oleh kalangan dirasakan oleh beberapa peserta Muktamar.
Hal tersebut terindikasi dengan adanya
struktural NU yang mulai menunjukkan sikap
rencana pemerintah yang menghendaki agar
apolitis baik terhadap PPP maupun Golkar.
kelompok Abdurrahman Wahid tidak terpilih
Terkait dengan perilaku apolitis tersebut kembali sebagai pengurus PBNU pada
mengindikasikan bahwa meskipun menjelang periode berikutnya. Hal tersebut juga terlihat
pemilu 1992 telah muncul gerakan "kembali dalam pernyataan Abdurrahman Wahid dalam
ke kandang" yang dilakukan kalangan politisi menyampaikan pertanggungjawaban kepengu-
NU ke dalam PPP, namun secara rusannya, di mana secara eksplisit menying-
kelembangan, NU tetap menunjukkan sikap gung adanya keterlibatannya pihak luar dalam
netralitas terhadap semua partai politik. Hal
tersebut terlihat pada munculnya surat edaran 21
Saleh Al. Djufri, “Hentikan Karantina Politik Bagi
NU.” In NU Khittah dan Godaan Politik, by Sinansari
20
PBNU, Lajnah Ta’li>f wa al-Nashr. Hasil-hasil Ecip. (Bandung: Mizan, 1994).
22
Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama Krapyak, Greg Barton dan Greg. Fealey, Tradisionalisme
Yogyakarta 1987. (Jakarta: PBNU, Lajnah Ta’li>f wa al- Radikal persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara.
Nashr, 1987). (Yogyakarta: LKiS, 1997).

166 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

proses Muktamar, oleh karenanya ia keberadaan KPPNU telah menimbulkan


menyatakan bahwa NU memiliki karakter ter- ketegangan di antara kalangan NU dengan
sendiri dalam mengimplementasikan demo- kelompok Abu Hasan, Abdurrahman Wahid
krasi. Meskipun proses Muktamar Cipasung tidak mempermasalahkan secara hukum
banyak dipengaruhi oleh beberapa kepen- keberadaan KPPNU yang dibentuk oleh Abu
tingan-terutama pemerintah, proses Muktamar Hasan. Bahkan dalam perkembangan
pada ahirnya dapat berjalan sesuai keinginan selanjutnya, beberapa nama Kyai yang dican-
dan harapan mayoritas peserta Muktamar.23 tumkan dalam KPPNU mulai memper-
Dinamisasi kepemimpinan hasil Muktamar masalahkan Abu Hasan, di mana hal tersebut
tersebut tetap memunculkan KH. Ilyas menyebabkan keberadaan KPPNU tidak
Ruchyat sebagai Ketua Rais Aam dan pernah dihiraukan oleh kalangan Ulama NU
Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Tanfiz}iyah lainnya.
untuk periode 1994-1999. Meskipun demikian, Ketegangan yang muncul sejak Muktamar
untuk merumuskan kepengurusan periode ini di Cipasung terus berlangsung hingga
juga ditandai dengan alotnya kesepakatan Muktamar di Lirboyo pada tahun 2000.
yang dibentuk oleh tim formatur hasil Namun dalam periode ini, adaptasi kelem-
Muktamar Cipasung. Di antara faktor yang bagaan politik di NU diawali dengan
muncul adalah karena salah seorang dari lima munculnya situasi yang terkait dengan
anggota tim tersebut tidak bersedia untuk semakin memanasnya suhu perpolitikan di
menandatangani-karena usulannya untuk Indonesia secara umum. Situasi tersebut
menjadikan Abu Hasan dalam kepengurusan
diawali dengan munculnya beberapa konflik
PBNU tidak disetujui oleh keempat anggota
tim lainya. Meskipun demikian, kepengurusan dan kekerasan di beberapa daerah. Di antara
PBNU pada ahirnya tetap terbentuk dengan penyebab dari kekacauan politik yang muncul
komposisi tetap menolak memasukkan nama tersebut adalah terkait dengan adanya krisis
Abu Hasan dalam kepengurusan PBNU, di ekonomi di Indonesia, di mana hal tersebut
antara nama yang masuk dalam kepengurusan juga mengakibatkan lengsernya Suharto dari
ini adalah Fahmi Syaifuddin yang menjadi kepresidenan.
salah satu rival utama Abdurrahman Wahid Menyikapi beberapa konflik dan
dalam Muktamar diposisikan menjadi salah kekerasan yang terjadi, NU secara kelemba-
satu ketua di tanfiz}iyah .24 gaan lebih banyak melakukan konsolidasi dan
Beberapa kalangan memandang bahwa dialog antar tokoh-tokoh agama dan masya-
komposisi kepengurusan PBNU periode ini rakat. Melalui pernyataan sikap dan pan-
terdiri dari kalangan yang tidak didukung dangannya terhadap situasi tersebut, PBNU
oleh pemerintah. Hal tersebut terlihat dari menghimbau kepada kalangan NU agar tetap
penolakan Presiden Suharto terhadap menjaga persatuan dan kesatuan Bangsa.25
komposisi kepengurusan hasil Muktamar PBNU juga melakukan konsolidasi di antara
Cipasung sebelumnya. Dari munculnya tokoh-tokoh masyarakat, melalui Ketua PBNU
penolakan pemerintah tersebut, fenomena Abdurrahman Wahid beserta beberapa tokoh
yang muncul kemudian adalah terbentuknya masyarakat dalam pembentukan kelompok
Koordinasi Pengurus Pusat Nahdlatul Ulama Ciganjur, di mana selanjutnya menghasilkan
(KPPNU), yang kemudian dikenal dengan kesepakatan bersama yang dikenal dengan
"PBNU tandingan". KPPNU tersebut dibentuk "Deklarasi Ciganjur". Untuk mendukung hasil
oleh Abu Hasan, salah seorang rival utama kesepakatan tersebut, PBNU juga mengeluar-
Abdurrahman Wahid yang didukung kuat oleh kan surat instruksi yang berisi himbauan
Presiden Suharto (Pemerintah). Meskipun terhadap seluruh lapisan masyarakat NU untuk

23
Fealey, Tradisionalisme Radikal persinggungan
Nahdlatul Ulama-Negara.
24
PBNU, Lajnah Ta’li>f wa al-Nashr. “Hasil Muktamar 25
A. Muqsith Ghazali dan Suwendi. Marzuki Wahid,
XXVIII,.” Lihat Hasil Muktamar XXVIII, PBNU, Lajnah Dinamika NU, perjalanan sosial dari Muktamar
Ta’li>f wa al-Nashr, 1996 untuk lebih jelas terhadap Cipasung (1991) ke Muktamar Kediri (1999). (Jakarta:
hasil rumusan etika berpolitik tersebut. Kompas dan LAKPESDAM, 1999).

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 167
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

turut aktif mendukung deklarasi yang antara partai politik dan NU tetap diber-
dipandang sebagai agenda reformasi. 26 lakukan. Perdebatan atas pembentukan partai
Perubahan dinamika politik di Indonesia tersebut terus mengemuka terutama menjelang
tersebut juga ditandai dengan munculnya Muktamar XXX diselenggarakan. Dalam
beberapa partai politik. Terkait dengan Muktamar XXX di Lirboyo, meskipun telah
fenomena tersebut, PBNU banyak rnenerima muncul perdebatan tentang konsepsi kembali
usulan dari beberapa Cabang NU di daerah ke Khit}t}ah 1926, para peserta tidak banyak
yang menghendaki agar NU terlibat kembali mempersoalkan posisi Abdurrahman Wahid
dalam partai politik. Sementara di sisi lain, yang dipahami tidak bertentangan dengan
juga muncul perdebatan tentang konsist ensi pemaknaan Khit}t}ah, karena sebagian besar
atas keputusan Khit}t}ah sebagai respon dari peserta menyadari bahwa posisi Abdurrahman
usulan pembentukan partai tersebut. Wahid sudah non aktif di PBNU. Begitu pula
Menyikapi hal tersebut, dalam rapat harian dalam laporan pertanggung-jawababannya
yang dihadiri oleh Shuriyah dan Tanfiz}iyah tentang progam yang telah dilakukan, peserta
PBNU pada tanggal 3 Juni 1998, PBNU Muktamar tidak banyak melakukan kritik
membentuk tim lima untuk merespon secara serius sebagaimana dalam Muktamar
fenomena yang terjadi, di mana setelah Cipasung sebelumnya yang diliputi dengan
melakukan beberapa pertemuan, selanjutnya ketegangan dan pertentangan.
tim tersebut menyepakati untuk membentuk Perubahan yang muncul dari hasil
partai politik yang kemudian meyerahkan Muktamar Lirboyo itu adalah terpilihnya
hasil rumusannya kepada Shuriyah dan K.H Sahal Mahfudz sebagai Ra>is ‘A<m dan
Tanfiz}iyah dalam rapat harian pada tanggal K.H. Endin Fachruddin Masturo sebagai
22 Juli 1998. Menindak lanjuti hasil wakilnya, sementara K.H. Hasyim Muzadi
kesepakatan tersebut, pada tangal 23 Juli terpilih sebagai ketua Tanfiz}iyah menggan-
1998, dilakukan deklarasi partai dengan nama tikan Abdurrahman Wahid. Selain perubahan
"Partai Kebangkitan Bangsa".27 kepemimpinan, Muktamar juga memberikan
Dengan munculnya deklarasi yang rekomendasi politik tentang anjuran terhadap
difasilitasi oleh PBNU, beberapa politisi NU warga NU untuk tetap menggunakan hak
lainnya memunculkan kritik di mana dalam politinya secara bebas, kritis dan rasional
perkembangannya telah menimbulkan pro- sesuai dengan prinsip-prinsip yang disepakat i
kontra terhadap keberadaan partai yang dalam Muktamar Krapyak (1987). Selain itu
difasilitasi PBNU. Menyadari hal tersebut, peserta Muktamar juga menyepakati untuk
PBNU mengeluarkan instruksi agar tetap menjadikan NU sebagai organisasi
fungsionaris NU di segala jenjang kepengu- sosial keagamaan, namun demikian, peserta
rusan tidak merangkap jabatan dengan Muktamar juga menghendaki NU untuk tetap
kepengurusan di PKB atau partai politik bersikap kritis terhadap dinamika partai
lainnya. Dari fenomena munculnya PKB yang politik yang sering menggunakan nama
direkomendasikan NU sebagai partai politik- NU. Oleh karenanya dalam periode terben-
nya, secara tidak langsung telah merubah tuk komisi politik yang digunakan untuk
paradigma kalangan NU dalam memaknai mengontrol partai-partai politik yang dianggap
kesepakatan Situbondo, meskipun kebijakan sebagai penyalur aspirasi warga NU. 28
PBNU dengan mempertegas kepengurusan
b. Dinamisasi Doktrin Teologis: Kittah NU
26 26 dan Interpretasinya
Greg Barton, Abdurrahman Wahid, Muslim
Democrat, Indonesian President (Sydney: UNSW,
Dinamisasi kepemimpinan di tubuh NU
2002), 285. secara kelembagaan juga berpengaruh
27
DPW. PKB, Dokumen Deklarasi Partai Kebangkitan
28
Bangsa. DPW PKB Jawa Timur, Dokumen deklarasi Sekretariat Jenderal. PBNU, “Hasil Muktamar XXX
Partai Kebangkitan bangsa, hal. 122. (Surabaya: DPW Nahdlatul Ulama.” (Jakarta: Sekretariat Jenderal
PKB Jawa Timur, 1999). PBNU, 2000), 185.

168 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

terhadap perubahan paradigma dalam Sebagaimana yang dibahas sebelumnya,


merespon perubahan yang terjadi. Hal ini dapat politik sunni menekankan pada prinsip
ditelusuri lebih lanjut pada aspek penafsiran menghindarkan dimensi mad}arat (dampak
doktrin keagamaan yang di perdebatkan oleh negatif). Dalam tinjauan praksis, para politisi
para kyai dan di NU. Beberapa indikator NU menganggap bahwa diskrimansi politik
penting yang dapat dilihat dalam kesepakatan yang terwujud dalam kebijakan de-NU-nisasi
Situbondo misalnya adalah terkait dengan di tubuh internal PPP merupakan alasan
penerimaan NU terhadap Pancasila, dan mendasar dari perubahan orientasi tersebut.
keputusan untuk kembali ke Khit}t}ah 1926
Pada aspek lain, beberapa kalangan NU
yang berimplikasi terhadap terlepasnya NU
dari politik secara formal kelembagaan. Kedua melihat bahwa keberadaan NU di PPP selama
indikator tersebut merupakan faktor penting ini dinilai tidak memiliki aspek mas}lah}at
yang menyebabkan NU bersikap lebih (dimensi positif), sebaliknya, pandangan
akomodatif terhadap pemerintah, di mana pemerintah terhadap NU sebagai rival politik
secara teologis, Pancasila di pandang memiliki secara serius juga dipandang telah merugikan
nilai-nilai mas}lah}ah. Dalam konteks posisi NU secara kelembagaan. Atas dasar
Indonesia, Pancasila berfungsi sebagai mitha>q pemaknaan praksis tersebut, berawal dari
atau kesepakatan antara umat Islam dengan keputusan kembali ke Khit}t}ah 1926 yang
golongan lain sebagaimana yang dimaksudkan selanjutnya memunculkan sikap akomodatif
pada penafsiran Alquran surah Al-ra’d ayat NU terhadap pemerintah, maka perubahan
20. Keberadaan negara Indonesia dalam tersebut merupakan refleksi yang didasarkan
pengertian ini bertujuan untuk mencapai pada upaya menghindari dimensi mad}arat -
persatuan dalam berbangsa dan bernegara, sebagaimana terumuskan dalam kaidah fiqh,
karena demikian, Pancasila juga berfungsi bahwa dar' al-mafa>sid muqaddam 'ala jalb al-
sebagai Kalima>tin Sawa>’in yang menyatukan
seluruh segmen masyarakat Indonesia. Atas
mas}a>lih.
dasar penafsiran seperti itu, maka pada Dalam pemaknaan selanjutnya, secara
kesepakatan Situbondo diputuskan untuk teologis NU menyikapi praksis politik tersebut
menerima Pancasila sebagai ideologi dengan mengalihkan dukungan politik kultu-
organisasi secara kelembagaan. 29 ralnya pada Golkar (pemerintah). Pemaknaan
Penerimaan Pancasila sebagai ideologi NU terhadap realita politik ini dapat ditelusuri
memiliki pengaruh politis cukup signifikan dalam pertemuan Bah}thul Masa>il yang
terutama terhadap pandangan pemerintah dilakukan oleh Pondok Pesantren se-D.I.Y
yang selama ini memposisikan NU sebagai yang menghasilkan keputusan bahwa pada
oposisi radikal. Keinginan pemerintah yang pemilu 1987, Golkar merupakan partai yang
menghendaki seluruh ormas di Indonesia pantas untuk dipilih atas dasar manfaat yang
untuk menjadikan Pancasila sebagai ideologi diperoleh serta atas dasar konsep ketaatan
mendapat respon positif bagi NU, karena pada ulil-amri (D.I.Y. 1987). Meskipun
demikian, refleksi doktrin yang dilakukan NU pertemuan tersebut belum mewakili NU
terhadap penerimaan pancasila juga dipandang secara kelembagaan, Namun hasil keputusan
sebagai penyebab munculnya perilaku
yang dirumuskan banyak mewarnai situasi
akomodatif NU terhadap pemerintah. Perilaku
akomodatif tersebut dapat ditelusuri pada menjelang pemilu 1987 - di mana para poli-
dimensi doktrin politik sunni terutama pada tisi NU banyak menggunakan hasil kepu-
landasan normatifnya (fiqh) yang menurut tusan tersebut sebagai landasan keber-
beberapa kalangan merupakan faktor dominan pihakan mereka kepada Golkar. Dengan
yang mempengaruhi kebijakan akomodasi demikian, sikap akomodatif NU terhadap
dalam periode ini. pemerintah tersebut dipandang sebagai bentuk
dari pemahaman konsep akhaffu al-d}ararain,
yang dimaksudkan bahwa pilihan terhadap
29
Faisal Ismail, ldeologi, Hegemoni dan Otoritas Golkar dipandang lebih efektif dan memiliki
Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Agama dan resiko kecil dari pada pilihan terhadap kedua
Pancasila (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 237.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 169
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

partai politik lainnya. Oleh karenanya, hal ini menghindari resiko negatif dari rezim
telah menyebabkan munculnya gerakan Suharto. Sebagaimana periode sebelumnya,
penggembosan di tubuh PPP menjelang maka sikap akomodatif ini juga dipahami
pemilu 1987 - hingga berdampak merosotnya sebagai upaya menghilangkan ketegangan
perolehan suara PPP pada hasil pemilu. 30 yang terjadi antara NU dan pemerintah.
Sikap akomodatif ini terus berlangsung Sebaliknya, sikap oposisi dengan pemerintah
hingga berlangsungnya Muktamar NU di dipahami akan menimbulkan sikap represif
Krapyak Yogyakarta. Dalam Muktamar pemerintah yang muncul dalam bentuk
tersebut tidak dimunculkan perubahan secara kekerasan, sebagaimana yang terjadi pada
signifikan atas interpretasi Khit}t}ah kasus Tanjung Priok dan kasus-kasus lainnya.
sebagaimana yang dibahas pada Muktamar Karena demikian, sesuai dengan prinsip
Situbondo. Untuk mencapai tujuan keaga- ideologi politik Sunni, bentuk-bentuk
maan, peserta Muktamar masih tetap kekerasan dalam segala situasi dan kondisi
memaknai gerakan politik kultural lebih harus selalu dihindari. Sedangkan pada
strategis dan lebih bermanfaat dari pada dimensi pragmatis, perilaku akomodatif
terlibat pada politik praktis. Sebaliknya, dengan pemerintah selain diharapkan akan
beberapa refleksi atas Khit}t}ah mulai memunculkan situasi baru yang mengarah
mengalami pemaknaan secara lebih spesifik, pada tercapainya tujuan-tujuan pragmatis NU
sebagaimana yang terumuskan pada sembilan – seperti adanya orang-orang NU di birokrasi
pokok etika berpolitik dalam NU - yang pemerintahan, mengalirnya dana-dana
mencerminkan batasan-batasan tegas antara bantuan dari pemerintah dalam pendidikan,
wilayah politik praktis dan gerakan kultural. pesantren atau di bidang ekonomi – namun
Secara kelembagaan, periode ini juga juga diharapkan berdampak pada berubahnya
meluncurkan penegasan terhadap imple- pandangan pemerintah terhadap NU yang
mentasi doktrin gerakan kultural yang selama ini dianggap oposisi radikal.
berorientasi ke arah sosial dan keagamaan. Hal Konsistensi untuk tetap Khit}t}ah selama ini
ini ditandai dengan semakin intensifnya bagi NU secara kelembagaan juga diimple-
hubungan yang dilakukan NU dengan Golkar mentasikan dengan menanggapi dinamika
(pemerintah) serta kalangan pengusaha, politik secara apolitis terhadap dinamika
termasuk dari kalangan Cina. Upaya persoalan polit ik praktis. Perilaku yang
melibatkan NU secara kelembagaan dalam dimunculkan kalangan struktural NU terse-
menjalin hubungan kerjasama dengan para but mengindikasikan adanya upaya memper-
pengusaha Cina dalam pendirian BPR, serta kuat konsistensi Khit}t}ah secara kelembagaan.
implementasi program pendidikan dan Disisi lain, sikap apolitis tersebut juga
kesehatan yang berlangsung di beberapa memunculkan ketegangan antara NU dengan
daerah.31 Golkar (pemerintah) di mana kemudian
Secara ideologis dan normatif, sikap banyak berpengaruh pada pola hubungan NU
akomodatif NU terhadap pemerintah dalam secara kelembagaan dengan pemerintah.
periode ini menemukan titik temu dalam Secara teologis, beberapa respon NU,
strategi implementasinya. Meskipun NU sebagaimana yang dikemukakan Abdurrah-
memandang r ezim orde b aru sebagai man Wahid dalam Rapat Akbar dan
pemerintahan dari rezim yang militeristik.32 Istighathah pada tahuan 1993, terlihat
Namun pilihan akomodatif NU terhadap menghendaki adanya bentuk negara yang tetap
pemerintah tetap terlihat dalam sikap politik konsisten pada pancasila, sementara yang
NU yang diupayakan sebagai bentuk dilakukan pemerintah justru sebaliknya, upaya
pemerintah dengan merangkul gerakan politik
30 Islam telah memunculkan dominasi agama
D. F. Anwar, Militer dan Polilik di Indonesia: Sebuah
T'injauan (Jakarta: Masyarakat Indonesia, 1983). atas negara. Dalam hal ini, upaya yang
31
Afan Gaffar, “NU dan PPP Pasca Muktamar .” In dilakukan pemerintah dalam mendukung Islam
NU Khittah dan Godan politik, by S. Simaruasri Ecip politik tersebut dipahami oleh kalangan NU
(Bandung: Mizan, 1994), 64. sebagai bentuk politisasi agama yang
32
Nawaz Mody, B. Indonesia under Suharto. digunakan pemerintah terhadap ormas Islam
(Bangalore: Sterling, 1987).

170 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

sebagai alat legitimasi politik. Oleh karena itu, Abdurrahman Wahid dalam pertemuannya
upaya pemerintah ini secara normatif juga dengan Presiden Suharto.
bertentangan dengan pandangan politik NU – Interpretasi atas doktrin teologi politik NU
di mana dominasi agama tertentu atas agama ini berbeda pada saat Abdurrahman Wahid
yang lain bertentangan dengan filosofi Panca- terpilih menjadi Presiden Indonesia pada tahun
sila yang mendudukkan semua agama dan 1999. Hal ini pula yang terlihat dalam proses
golongan secara sama, sebagaimana yang Muktamar di Lirboyo di mana hasil
telah dibahas dalam Muktamar Situbondo Muktamar tersebut mencerminkan sikap
sebelumnya. akomodatif NU terhadap pemerintahan
Di antara faktor lainnya yang menjadikan Abdurrahman Wahid. Penerimaan tersebut
NU terlihat bersikap responsif dan oposisi secara teologis dapat dipahami karena baik
terhadap pemerintah adalah keterlibatan dari aspek pragmatis, normatif maupun
pemerintah dalam Muktamar Cipasung serta ideologis berkesesuaian dengan paradigma
dukungannya terhadap kelompok Abu Hasan NU mengharuskan bagi kalangan NU untuk
yang dipandang telah menghilangkan ruang berperilaku akomodatif. Hal tersebut terlihat
kebebasan bagi kalangan NU. Campur tangan dari belum banyaknya sikap kritis dan
pemerintah tersebut merupakan salah satu perdebatan di kalangan NU dalam politik
upaya pemerintah dalam melakukan kontrol yang diambil oleh pemerintah. Beberapa isu
terhadap kalangan lslam agar dapat kontroversial yang terkait dengan perilaku
memberikan dukungan secara politis. Pada Abdurrahman Wahid juga sedikit disinggung
saat yang sama, sikap responsif dan oposisi dalam muktamar ini. Namun setelah muktamar
kalangan NU ini juga didasarkan pada diselenggarakan, beberapa isu kontroversial
pemaknaan pragmatis politik, di mana NU yang terkait dengan perilaku Abdurrahman
secara kelembagaan tidak mendapatkan Wahid telah memunculkan kritik dan konflik
tujuan-tujuan pragmatis terutama dalam bentuk dari beberapa politisi yang ada di DPR di
bantuan di bidang ekonomi maupun pen- mana sikap tersebut selanjutnya semakin
didikan yang menurun secara drastis jika terlihat menjelang dilaksanakannya sidang
dibanding pada periode sebelumnya. umum MPR. Munculnya perilaku kritis dan
Meskipun hubungan NU dengan oposisi ini juga menimbulkan pertentangan di
pemerintah cenderung oposisi dalam periode kalangan NU, yakni antara mendukung atau
ini, pada tataran kelembagaan konflik dan tetap konsisten dalam jalur NU Khit}t}ah,
oposisi dengan pemerintah tidak diimplemen- dengan tetap menjadikan NU sebagai
tasikan NU secara radikal. Diantara kebijakan organisasi sosial keagamaan.
NU yang diwujudkan melalui penguatan Munculnya fenomena ini juga
internal kelembagaan dikalangan NU adalah memunculkan perdebatan pada aspek doktrin
melalui upaya membentuk komunikasi antara teologis. Munculnya perilaku akomodatif NU
kalangan NU dengan pemerintah. Meskipun terhadap Abdurrahman Wahid yang terlihat
demikian, upaya ini baru berhasil dua tahun sejak awal kepemimpinannya, semakin
kemudian yakni dalam pertemuan di pondok terlihat pada saat konflik berlangsung, di
pesantren Genggong Probolinggo pada mana kalangan politisi NU menyadari bahwa
tahun 1996. 33 Dari pertemuan di Genggong secara pragmatis dan normatif NU secara
tersebut menunjukkan bahwa oposisi dengan
kelembagaan akan dirugikan. Sementara disisi
pemerintah dalam pandangan teologi politik
NU masih tetap dalam batasan-batasan wajar lain, beberapa kalangan struktural NU tetap
dan tidak bertentangan dengan hukum negara. mendukung konsistensi terhadap Khit}t}ah
Bahkan dalam pertemuan tersebut, pendekatan 1926, meskipun secara pragmatis politik
personal lebih terlihat daripada pendekatan dengan turunnya Abdurrahman Wahid juga
kelembagaan, di mana secara simbolik akan berpengaruh terhadap aspek pragmatis-
keberadaan NU telah terwakili dengan peran me NU secara kelembagaan. Berkaitan dengan
munculnya perdebatan tersebut, PBNU
sendiri, melalui K.H. Hasyim Muzadi beserta
33
Barton, Abdurrahman Wahid, Muslim Democrat, tokoh NU lainnya lebih banyak melakukan
Indonesian President.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 171
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

pendekatan personal melalui safari politiknya. NU) melalui bidang pengembangan ekonomi
Dengan didampingi oleh pengurus PBNU masyarakat di beberapa wilayah seperti Lom-
lainnya, safari tersebut bertujuan untuk bok, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah di
meredam kemarahan warga NU yang mulai Jawa. Selain memberikan pelatihan, program
banyak bermunculan dalam bentuk demons- tersebut juga memberikan beberapa proyek
trasi dan ketegangan yang terjadi di lapisan percontohan. Program tersebut juga diarahkan
masyarakat bawah. Karena demikian, kepada beberapa produsen kecil dalam bidang
meskipun dalam perkembangannya Abdurrah- kerajinan, pertanian semi-tradisional, serta
man Wahid pada akhirnya tergusur dari petani tambak. Program lain yang dikem-
kepresidenan, upaya yang dilakukan PBNU bangkan adalah pemberian suntikan modal
dalam melakukan kunjungan ke daerah-daerah kecil (revolving fund) dengan memilih
dan safari politik pada akhirnya dapat teknologi sederhana, dan relatif murah
meredam terjadinya konflik secara besar. (traditional plus) namun memilki manfaat
yang besar.35
c. Dinamisasi Program Praksis NU: dari Program lainnya adalah di bidang
Pemberdayaan ke Advokasi pendidikan yang berupaya meningkatkan
Dinamisasi yang muncul baik dalam bentuk kualitas dan perbaikan manajemen. Dalam
kepemimpinan dan doktrin sebagaimana yang perkembangannya, di bidang ini banyak
diuraikan sebelumnya, juga bekonsekuensi menerima dukungan dari pemerintah,
terhadap perubahan arah pengembangan sebagaimana yang telah dilaporkan dan dikaji
program yang akan dilaksanakan. Terbentuk- oleh beberapa kalangan tentang ini. Berbeda
nya pola kedekatan yang dilakukan di dengan sebelum tahun 1984, di mana banyak
kalangan NU dengan pemerintah setelah madrasah dan pendidikan di kalangan NU
Muktamar NU di Situbondo 1984 telah yang menyembunyikan identis ke-NU-annya
memunculkan hubungan sikap akomodatif NU karena merasa khawatir mendapatkan
secara kelembagaan. Beberapa kalangan perlakuan diskriminatif dari pemerintah,
menyadari bahwa kondisi ini berbeda dengan
namun dalam periode ini, melalui Lembaga
periode sebelumnya, di mana NU dianggap
Pendidikan Maarif (L.P. Ma'arif-NU), telah
rival politik pemerintah yang sering bersikap
oposisi secara radikal. Arah gerakan NU banyak menerima pendaftaran dari beberapa
kemudian mulai menekankan pada aspek madrasah dan sekolahan untuk bergabung
pendidikan, sosial dan kemasyarakatan. secara struktural dengan NU. Upaya NU
Beberapa program yang bersifat pemberdayaan untuk mengembangkan pendidikan ini juga
masyarakat mulai bermunculan, begitu juga dilakukan di pesantren. Bahkan upaya peme-
pembentukan lembaga (lajnah) yang rintah selanjutnya berupaya ingin meng-
menangani program tersebut, seperti muncul- hilangkan pengkotak-kotakan lembaga,
nya Lembaga Pengembagan dan Pemba- pendidikan terutama terhadap pesantren,
ngunan pertanian NU, Lembaga Penga- yakni dengan mendukung lebih banyak materi
rang dan Penterjemah (Lajnah ta'li>f wa al- umum agar lulusan pesantren lebih dapat
Nashr), serta Lembaga Kajian dan Pengem- berintegrasi dengan kalangan akademik dunia
bangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam).34 luar.36
Salah satu rekomendasi penting dari Pengembangan program ini juga
Muktamar Situbondo adalah program berlangsung hingga diselenggarakannya
peningkatan kepedulian sosial (Shu’un al- muktamar di Krapyak Yogyakarta pada tahun
ijtimaiyah), di mana selanjutnya ditindak- 1989. Dalam muktamar tersebut juga dibahas
lanjuti oleh Lembaga Kajian dan Pengem-
bangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam- 35
Keputusan Muktamar NU XXVII. Keputusan
Muktamar NU XXVII, Jawa Timur: pengurus NU
34
Mitsuo Nakamura, Agama dan Perubahan Politik di Wilayah Jawa Timur, 1984.
36
Indonesia: Tradisionalisme Radikal (Surakarta: Andree Feillard, NU vis,-a-vis Negara, Pencarian Isi,
Hapsara, 1982), 23-24. Bentuk dan Makna (Yogyakarta: LKiS, 1999), 305.

172 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

beberapa program yang berkaitan dengan Sebagaimana kesepakatan hasil Muktamar


kegiatan sosial keagamaan, dengan tidak di Krapyak, terdapat beberapa kesepakatan
membahas secara khusus tema-tema yang dalam muktamar Cipasung yang juga
terkait dengan politik. Hal ini berbeda dengan merekomendasikan beberapa program yang
muktamar sebelumnya yang sarat dengan lebih mengintensifkan kepada pemberdayaan
perdebatan tentang dinamika politik. Meski- masyarakat. Keputusan yang dipandang baru
pun muktamar Krapyak juga dihadiri beberapa dalam muktamar tersebut adalah adanya
pejabat dari pemerintah, serta beberapa kesepakatan (deklarasi) tentang kepedulian
pemimpin PPP- seperti Ismail Hasan Meta- dan advokasi terhadap lingkungan hidup.
rium dan Matori Abdul Djalil, di mana Sementara rumusan program lainnya adalah
beberapa tokoh tersebut sempat memunculkan terkait dengan melanjutkan aspek pendidikan
pembicaraan secara pribadi dengan dan sosial keagamaan. Meskipun demikian,
Abdurrahman Wahid. Meskipun demikian, hal dalam perkembangannya, beberapa program
tersebut tidak mempengaruhi keputusan NU lebih banyak difokuskan pada konsolidasi
muktamar, di mana sebagian besar peserta internal, di mana konflik antara Abdurrahman
tetap rnenghendaki depolitisasi NU. Dalam Wahid dengan Abu Hasan kemudian ditindak-
muktamar Krapyak juga tetap direkomen- lanjuti dengan munculnya FKPPNU (Forum
dasikan adanya implementasi prograrn- Komunikasi Putera Puteri Pendiri NU) yang
program yang terkait dengan pendidikan, banyak melakukan penggembosan secara
ekonomi dan sosial-kemasyarakatan sebagai- internal di PBNU hasil Muktamar Cipasung.
mana yang ada di periode sebelumnya. Karena demikian, kepungurusan duet
Dalam periode ini, beberapa rekomen- Abdurrahman Wahid - llyas Rukhiyat selan-
dasi hasil muktamar yang menghendaki jutnya difokuskan kepada penggalangan warga
adanya upaya lebih serius terhadap sosial Nahdliyin di lapisan bawah. Penggalangan
kemasyarakatan juga berpengaruh terhadap tersebut banyak dilakukan oleh pengurus
pola hubungan antara NU dengan pemerintah PBNU melalui kunjungan dan ceramah dan
khususnya pada implementasi dan rekomen- istighathah akbar di beberapa daerah secara
dasi muktamar yang kemudian banyak intens. Upaya lainnya adalah melalui pengem-
terwujud dalam berbagai kerjasama yang bangan wawasan di kalangan kelompok
melibatkan pemerintah. Sebagaimana periode strategis NU yang diupayakan dapat memper-
sebelumnya, perbaikan pendidikan juga kuat gerakan kultural keagamaan38
menjadi program prioritas dalam periode ini, Dari dinamika politik tersebut, NU masih
saling pengertian dan kerjasama mulai tetap menunjukkan sikapnya untuk konsisten
dilakukan dalam bentuk modernisasi pendi- terhadap kesepakatan Situbondo, dengan tetap
dikan. Selain itu juga mulai muncul program tidak terlibat dalam politik secara kelem-
yang mengupayakan integrasi pesantren bagaan. Pandangan perilaku politik NU
dengan dunia luar yang diwujudkan dalam tersebut juga terlihat pada Munas Alim Ulama
implementasi program seperti pelaksanaan pada tahun 1997 di Nusa Tenggara Barat, di
BKKBN, sanitasi dan kesehatan, perumusan mana sejak awal munas dilaksanakan,
kembali kurikulum dan sebagainya. Dengan Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa
membaiknya hubungan NU dengan peme- pertemuan tersebut tidak membahas dinamika
rintah tersebut, kalangan pengusaha juga politik secara spesifik. Begitu pula dalam
mulai terlibat dalam upaya pemberdayaan dinamika dan pelaksanaan munas yang
ekonomi dikalangan NU, seperti pendirian dilakukan secara sederhana dan tidak
Bank perkreditan Rakyat (BPR) yang dihadiri oleh para pejabat negara sebagai-
dilakukan atas kerjasama NU dengan mana pertemuan- pertemuan NU sebelumnya.
kalangan Muslim Cina.37 Meskipun demikian, munas di Lombok juga
37 38
Bruinessen, NU Tradisi Relasi Kuasa, pencarian Bruinessen, NU Tradisi Relasi Kuasa, pencarian
Wacana Baru. Wacana Baru.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 173
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

memberikan rekomendasi politik secara perkembangannya Abdurrahman Wahid pada


umum, yakni terkait dengan persoalan KKN akhirnya tergusur dari kepresidenan, upaya
dan orientasi kebijakan pemerintah yang yang dilakukan PBNU dalam melakukan
kurang menyentuh kalangan masyarakat kunjungan ke daerah-daerah dan safari politik
bawah. pada ahirnya dapat meredam terjadinya kon-
Upaya pengembangan program dalam flik secara besar yang mengancam disintegrasi
periode ini juga masih tetap melanjutkan bangsa.
sebagaimana periode-periode sebelumnya.
Dengan tetap menekankan pada aspek sosial 3. Menuju Teologi Politik Pembebasan
keagamaan dan pendidikan. Meskipun Sebagaimana yang telah disinggung dalam
demikian, karena situasi perpolitikan nasional pembahasan sebelumnya, meskipun
yang mulai memanas, terutama menjelang hubungan antara agama dan politik (negara)
tahun 1998 yang banyak ditandai dengan dalam teologi NU memiliki keterkaitan yang
munculnya berbagai kerusuhan sosial dan erat, namun NU secara kelembagaan tetap
konflik SARA, maka upaya NU secara membedakan antara agama dan politik dalam
kelembagaan difokuskan untuk meredam peran dan fungsinya. Beberapa kebijakan
konflik sosial ini. Salah satu contoh dari yang telah dimunculkan NU–terutama
upaya ini adalah munculnya kasus pembu- dengan pemisahan secara struktural kelem-
bagaan dengan partai politik–tetap dimun-
nuhan berantai dalam kasus “Ninja” dibebera
culkan sejak awal kembali ke Khit}t}ah 1926
daerah di Indonesia khususnya di Jawa Timur. hingga periode-periode sesudahnya. Meskipun
Dalam merespon kasus ini, PBNU banyak demikian, refleksi doktrin keagamaan yang
melakukan konsolidasi internal dikalangan NU berkembang di kalangan NU terhadap realitas
dan masyarakat – seperti menyelenggarakan praksis juga telah memunculkan beberapa
beberapa Istighathah Kubro di Bandung, Jawa perdebatan dalam memaknai Khit}t}ah 1926.
Barat. Dalam acara tersebut pengurus PBNU, Berdasarkan dinamika ini, terutama dalam
yang diwakili KH. Ilyas Rukhyat menghimbau periode 1999, kebijakan NU yang mereko-
kepada warga NU untuk tidak terpancing mendasikan partai politik mengindikasikan
dengan adanya fitnah dan isu tersebut. telah menggeser pemaknaan doktrin
Program NU secara kelembagaan dalam keagamaannya semula, di mana tujuan
upaya untuk menjaga perdamaian, kerukunan ideologis dan normatif keagamaan selanjutnya
dan persatuan ini juga terus digalakkan. Hal dipahami kalangan NU tidak hanya melalui
yang sama juga terjadi disaat menjelang pemisahan secara tegas antara aspek
lengsernya Soeharto sebagai Presiden di ideologis-normatif dengan pragmatis politik,
mana banyak terjadi konflik SARA dibe- namun tujuan kelembagaan perlu mempertim-
bangkan tujuan pragmatis politik, meskipun
berapa daerah seperti Ambon, Aceh, Papua
demikian, kedua dimensi tersebut harus
dan beberapa daerah lainnya. Begitupula terpisah secara kelembagaan, agar aspek
disaat Abdurrahman Wahid baru terpilih, ideologis dan normatif keagamaan tidak
namun hampir dua tahun kemudian dileng- terkontaminasi oleh tujuan pragmatis politik.
serkan akibat suasana perpolitikkan nasional Berdasarkan refleksi atas praksis politik
yang terus memanas. Ketua PBNU yang yang dilakukan NU dalam periode 1984-
saat itu dipimpin oleh Hasyim Muzadi beserta 2001 ini, secara teologis, refleksi politik
tokoh NU lainnya lebih banyak melakukan NU secara kelembagaan lebih menghendaki
pendekatan personal melalui safari politik yang paradigma pemisahan (separation) secara
bertujuan untuk meredam kemarahan warga tegas antara politik dengan agama dalam
NU yang mulai banyak bermunculan. Pro- peran dan fungsinya. Kecenderungan ini bisa
kontra dalam bentuk demonstrasi dan dipahami karena NU secara ideologis memiliki
ketegangan yang terjadi dilapisan masyarakat akar pernikiran yang erat dengan teologi
bawah menjadi situasi yang merisaukan semua politik sunni - sebagimana yang telah dikemu-
kalangan. Karena demikian, meskipun dalam kakan oleh baik al-Ghazali maupun al-
Mawardi, di mana kedua tokoh tersebut tidak

174 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

mempersoalkan bentuk negara dalam paradig- dimunculkan oleh paradigma integration yang
ma politiknya. Karena demikian, varian-varian berupaya menjadikan agama sebagai tujuan
yang muncul dalam paradigma politik NU, politiknya.
secara teologis lebih pada pilihan Begitu pula dalam varian realistik, di mana
pertimbangan substasialistik, rasionalistik dan melalui pertimbangan kondisi realitas politik
realistik. yang terjadi, akan memposisikan agama
Varian substansialistik, sebagaimana yang secara luwes dan fleksibel, sehingga
telah disinggung dalam pembahasan pemaksaan dalam capaian tujuan keagamaan
sebelumnya, menekankan pada aspek isi tidak terjadi dalam paradigma separation ini.
(mind) daripada bentuk (body), oleh karena- Karena demikian, pandangan pluralisme -
nya secara teologis orientasi politik NU tidak yang memberikan ruang bagi agama lain
memunculkan keharusan terbentuknya negara secara sama dalam negara-akan memunculkan
Islam, namun yang lebih ditekankan adalah perilaku politik yang lebih adil daripada
nilai, norma dan etika dalam negara. Hal yang varian idealis. Hal ini berbeda dengan
sama juga terlihat dalam melakukan refleksi pemaknaan realitas praksis politiknya yang
terhadap praksis polit iknya, di mana pertim- dimunculkan oleh varian idealis yang terlihat
bangan yang dilakukan NU didasarkan pada ahistoris–di mana unsur ideal kegamaan tidak
dimensi realitas praksis yang terjadi–tidak pernah hadir dalam realitas kesejarahannya,
dengan pertimbangan skriptualistik. Karena karena yang terjadi dalam realitas politik tidak
demikian, pertimbangan untung-rugi melalui pernah sesuai dengan tujuan ideal keagamaan,
kalkulasi maslahat dan mudarat merupakan sehingga upaya realisasi aspek ideal
aspek utama dalam orientasi teologis politik keagamaan akan memunculkan penyesuaian
NU. Sementara dalam varian realistis, maka praksis yang didasarkan pada simbol ideal
secara teologis dinamika refleksi politik NU keagamaan.
lebih mendasarkan pada pertimbangan praksis, Sebagaimana yang muncul dalam varian
capaian ideal keagamaan dalam paradigma substansialistik, varian rasionalistik juga lebih
teologis NU diimplementasikan setelah di- memunculkan ruang kebebasan dalam peri-
mensi praksis tidak ditemui aspek mad}arat. laku politiknya. Hal ini terlihat pada pertim-
Berdasarkan paradigma politik ini -yang bangan yang dilakukan dalam memaknai
memunculkan beberapa varian teologis- praksis politik yang didasarkan pada pertim-
rasionalistik, substansialistik dan realistik bangan kontekstual secara rasional. Pertim-
ada beberapa aspek yang dapat dirumuskan bangan untung-rugi yang menekankan pada
terkait dengan paradigma pembebasan aspek mas}lah}at dan mad}arat akan memuncul-
sebagaimana yang dikonsepsikan oleh baik
kan perilaku politik lebih inklusif dan toleran.
Asghar Ali Engineer maupun Ali Syariati -
yang mendasarkan pilar pembebasannya Hal ini berbeda dengan paradigma integration
dalam bingkai pluralisme, humanisme reli- yang memahami praksis dalam bingkai
gious, keadilan, tauhid dan toleransi, tekstual doktrin agama, maka selain memun-
sebagaimana yang telah terurai dalam bab satu culkan perilaku politik yang terkesan kaku
sebelumnya. Berdasarkan pilar pembebasan dan bersifat eksklusif juga memunculkan
tersebut, yang bisa dilihat dalam varian pemaksaan teks doktrin agama terhadap
substansialistik adalah munculnya ruang praksis politik. Dimensi pembebasan lain
kebebasan beragama. Jaminan ini dapat yang dimunculkan dari varian ini, sebagai-
ditelusuri karena varian dari orientasi perilaku mana yang dikemukakan oleh Charless
politik ini hanya melihat agama sebagai nilai, Kimball, bahwa pemunculan orientasi keaga-
etika dan norma, tanpa berupaya menjadikan maan secara realistis akan menghidari
agama sebagai tujuan politik. Karena demi- munculnya korupsi terhadap tujuan keaga-
kian, kebebasan beragama, toleransi dengan maan. Karena pemaksaan idealitas terhadap
menghargai agama lain akan lebih mudah realitas praksis akan mendorong memuculnya
dimunculkan dalam paradigma substan- upaya pemaksaan tujuan idealitas terhadap
sialistik dari pada varian formalistic - yang

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 175
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

praksis politiknya, sehingga, hal ini memun- rah politik NU pada periode 50-an hingga
culkan pemaksaan dimensi idealitas keaga- awal 80-an, telah memunculkan sindrom
maan terhadap praksis - di mana hal ini bere- ketakutan bahwa ranah politik harus dihindari
siko pada terabaikannya dimensi kemanusiaan, secara total. Atas dasar rasionalisasi ini, maka
toleransi serta bertentangan dengan pilar dinamika politik NU yang terjadi di setiap
tauhid, pluralisme sebagaimana yang pemilu menjadi ajang perebutan bagi partai-
dikonsepsikan dalam pilar teologi pembeba- partai politik, karena potensi masa yang
san. Begitu juga dalam memaknai paradigma dimilikinya tidak memiliki jalur yang dapat
keagamaan dalam bingkai substansialis dan mengartikulasi kepentingan NU secara kelem-
rasionalis, selain menghindari munculnya bagaan. Sebaliknya, dalam varian sosiologis
simbol-simbol keagamaan dalam polit ik. Hal politik yang merefleksikan doktrin Khit}t}ah
ini juga menghindari munculnya konflik 1926 sebagai kemunduran bagi NU secara
kepentingan dalam ranah politik atas nama kelembagaan, di mana selanjutnya varian
agama.39 sosiologis politik ini berupaya mengembalikan
NU pada ranah politik, maka yang terlihat
adalah kecenderungan perilaku politik oportu-
C. SIMPULAN nistik. Hal ini bisa disadari karena tujuan
Adanya perdebatan di kalangan NU keagamaan lebih ditekankan pada aspek prag-
terhadap pemaknaan Khit}t}ah 1926 yang terus matis dari pada aspek ideologis dan normatif
berlangsung di setiap dinamisasi kelembagaan- keagamaan. Di sisi lain, bertentangan dengan
nya - yang terindikasi dengan adanya bebera- varian sosiologis sebelumnya - yang terkesan
pa varian sosiologis politik - menunjukkan membebaskan agama dari politisasi agama,
adanya tarik-menarik kepentingan yang kuat maka perilaku politik dalam varian ini selain
yang didasarkan pada perbedaan paradigma
memunculkan simbol-simbol keagamaan
dalam memaknai teologi politik NU. Karena
demikian, evaluasi teologis dalam varian dalam pencapaian tujuan politiknya, juga
sosioiogis politik ini perlu dilihat kembali menimbulkan rentannya korupsi pada peran
agar konstruksi teologi politik NU dapat dan fungsi dari agama.
dirumuskan secara jelas. Disamping itu juga Sementara dalam varian sosiologis politik
dapat dirunut pada level mana varian sosiologi yang menggabungkan kedua paradigma
tersebut sesuai dengan bingkai paradigma diatas, secara historis dinamika politik NU
politik yang membebaskan. cenderung ambivalen - yang masih terlihat
Salah satu varian sosio logis politik NU tidak memberikan batasan ketegasan posisi.
yang sudah dibahas sebelumnya adalah meng- Hal ini dapat ditelusuri dalam realitas
hendaki implementasi Khit}t}ah 1926 dengan dinamika politik yang terjadi, di mana pemi-
pemisahan secara tegas dari keterlibatannya sahan secara struktural terhadap dimensi
dengan wilayah politik apapun. Di antara peri- politik tidak memberikan jaminan bagi NU
laku yang muncul dalam perilaku politik ini secara kelembagaan terbebas dari bias politik.
adalah pemaknaan doktrin ideologis politik Sehingga, fenomena ini terkesan temporal -
NU secara ketat. Meskipun peran dan fungsi yang berlaku di saat tertentu sementara di saat
keagamaan pada varian ini relatif aman dan yang lain cenderung berbeda, tergantung
membebaskan, karena konflik kepentingan sejauh mana subjek politik mempengaruhi dan
yang melibatkan kelembagaan NU tidak mendominasi varian sosiologis politik dalam
menimbulkan bias politik, namun pilihan ini varian ini. Selain masih rentan terhadap
terkesan minimalis - di mana hal tersebut cen- munculnya perdebatan terhadap batasan
derung memilih sesuatu yang baik dari buruk, pemaknaan teologis di antara ketiga wilayah
tidak mencoba memilih sesuatu yang baik dari varian sosiologis politik ini - di mana pada
yang baik. Dominasi kekhawatiran dari seja- setiap varian sosiologis cenderung untuk
saling melakukan dominasi, pada level
39
Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana kepemimpin dalam tradisi NU yang figuristik,
(Bandung: Mizan, 2003), 25-28.

176 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

juga memunculkan problem terhadap perilaku DAFTAR PUSTAKA


politik dalam masyarakat NU. Kesadaran Asghar, Ali Enginer. Islam dan Teologi
untuk menentukan sikap politik secara bebas Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka
nampak pupus ketika budaya patronase yang Pelajar, 1999.
dimunculkan oleh tokoh sentral NU dalam Anwar. D. F. Militer dan Polilik di Indonesia:
penggunaan fatwa-fatwa politik menjelang Sebuah T'injauan (Jakarta: Masyarakat
pemilu. Meskipun fenomena ini terlihat pada Indonesia, 1983).
varian sosiologis politik yang tidak menghen- Barton, Greg. Abdurrahman Wahid, Muslim
daki Khit}t}ah tanpa politik, namun dari varian Democrat, Indonesian President.
lainnya, pengaruh budaya kepemimpinan ini Sydney: UNSW, 2002.
tidak bisa dibendung di lapisan masyarakat Bruinessen, Martin Van. “Konjungtur Sosial
bawah. Politik di Jagad NU Paska Khittah 26.”
Berdasarkan fenomena dari ketiga varian In Gus Dur dan Masyarakat Sipil.
diatas, dimensi pembebasan nampak terlihat Yogyakarta: LKiS, 1999.
pada varian sosiologis politik yang mendasar- Bruinessen, Martin van. NU Tradisi Relasi
kan pada Khit}t}ah 1926 dengan menandaskan Kuasa, pencarian Wacana Baru.
pemisahan secara jelas di level kelembagaan Yogyakarta: LKiS, 1999.
dari politik praksis, namun disisi yang lain, Djufri, Saleh Al. “Hentikan Karantina Politik
juga muncul dalam varian sosiologis politik Bagi NU.” In NU Khittah dan Godaan
yang selain mendasarkan pada Khit}t}ah 1926 Politik, by Sinansari Ecip. Bandung:
namun tetap menghendaki adanya deal-deal
Mizan, 1994.
politik yang secara historis didasarkan pada
perlunya pertimbangan pragmatis. Meskipun Dussel, Enrique. “a History of the Church in
demikian sisi negatif dan positif dari keduanya Latin America.” In Selected Reading on
bisa terlihat di mana pemisahan tersebut Liberation Theology, by Kenneth R.
menjamin pembebasan agama dari konta- Hall, 29. Yogyakarta: CRCS, 2003.
minasi politik. Atas dasar pertimbangan ini, Fealey, Greg. Ijtihad Potitik Ulama NU, 1952-
maka yang perlu dilakukan NU pada tataran 1967. Yogyakarta: LKiS, 1998.
teologis adalah meminimalisir bias politik pada Fealey, Greg Barton dan Greg.
kelembagaan NU. Ekspansi dimensi pragmatis Tradisionalisme Radikal persinggungan
pada level ideologis dan normatif akan Nahdlatul Ulama-Negara. Yogyakarta:
memunculkan penggunaan infra dan supra LKiS, 1997.
struktur kelembagaan NU - baik pada aspek Feillard, Andree. NU vis,-a-vis Negara,
kepemimpinan dan program kelembagaan - Pencarian Isi, Bentuk dan Makna.
untuk tujuan politik. Meskipun demikian, Yogyakarta: LKiS, 1999.
upaya meminimalisir bias polit ik pada tataran Gaffar, Afan. “NU dan PPP Pasca Muktamar
teologis ini tidak dapat terealisir tanpa adanya .” In NU Khittah dan Godan politik, by
kebijakan praksis pada level kelembagaan,
S. Simaruasri Ecip, 64. Bandung:
terutama pada varian sosiologis yang meng-
Mizan, 1994.
hendaki selain berpijak pada Khit}t}ah juga
kerap rnelakukan kesepakatan-kesepakatan Hikam, Mohammad A.S. Fiqh
politik. Oleh karenannya dalam varian sosio- Kewarganegaraan, Intervensi agama-
logis politik ini, jalur politik yang telah negara terhadap masyarakat Sipil.
ditentukan oleh kelembagaan NU, harus tetap Jakarta: PBPMII, 2001.
dalam koridor partai, bukan melalui NU secara Ismail, Faisal. ldeologi, Hegemoni dan
kelembagaan. Berdasarkan pemaknaan seperti Otoritas Agama: Wacana Ketegangan
ini, peran dan fungsi keagamaan yang Kreatif Agama dan Pancasila.
menekankan pada nilai dan etika dalam politik Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
akan tetap terjaga, dan relatif aman dari Keputusan Muktamar NU XXVII. Keputusan
kontaminasi kepentingan politik praksis yang Muktamar NU XXVII, Jawa Timur:
secara historis lebih merugikan. pengurus NU Wilayah Jawa Timur,

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178 177
Muhammad Masyhuri NU dan Paradigma Teologi Politik Pembebasan:
Refleksi Historis Pasca Khittah

1984. Nitiprawiro, Wahono. Teologi Pembebasan,


Kimball, Charles. Kala Agama Jadi Bencana. Sejarah, Metode, Prakis dan isinya.
Bandung: Mizan, 2003. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Marijan, Kacung. Quo Vadis NU Setelah PBNU. Lajnah Ta’li>f wa al-Nashr. “Hasil
Kembali ke Khittah 1926. Jakarta: Muktamar XXVIII,.” Lihat Hasil
Erlangga, 1992. Muktamar XXVIII, Lajnah Ta’li>f wa al-
Michael Amalados. Michael Amalados, Nashr, PBNU, 1996 untuk lebih jelas
Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Insist terhadap hasil rumusan etika berpolitik
Press, 2001. tersebut. Jakarta, 1996.
Mody, Nawaz. B. Indonesia under Suharto. PBNU, Lajnah Ta’li>f wa al-Nashr. Hasil-hasil
Bangalore: Sterling, 1987. Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama
Nakamura, Mitsuo. Agama dan Perubahan Krapyak, Yogyakarta 1987. Jakarta:
Politik di Indonesia: Tradisionalisme Lajnah Ta’li>f wa al-Nashr, PBNU,
Radikal. Surakarta: Hapsara, 1982. 1987.

178 Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2 (Juli 2016): 158-178

You might also like