You are on page 1of 8

ANALISIS PERBANDINGAN GAYA KOMUNIKASI KEPEMIMPINAN

EKSPATRIAT KOREA
(DI NEGARA LOW CONTEXT DAN HIGH CONTEXT CULTURE)

Ihsyania Afifah dan Velayeti Nurfitriana Ansas


Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra, Universitas Pendidikan Indonesia
ihsyaniii@upi.edu, velaansas@upi.edu

DOI: ….(diisi oleh Jurnal)

ABSTRACT
In order to expand the success of large companies make various efforts. For example, by opening a
branch company in another country or investing in foreign companies. This effort is inseparable from
the role of expatriates who are kept to carry out the main company mission so that it is in line with
the aspired vision. Korea as a country with very rapid industrial progress in the last decade has also
made many branch companies progress in various countries. Destination countries have differences
in various aspects, one of which is culture. Therefore, it is necessary to make various adaptations by
expatriates so that they can carry out leadership as expected. The purpose of this article is to analyze
how the adaptations made by Korean expatriates in presenting company leaders in countries with
the same and different communication styles are based on the dimensions of Kluchkhon &
Strodtbeck. The research method used is qualitative by studying literature of various scientific works
and finally taking two sources of literature as representatives of each communication style that
discusses the leadership style of Korean expatriates in Indonesia and in America. The results of this
study indicate that the country's communication style has a comparable influence with the
communication style of the Korean expatriate home country.

KEYWORDS

Cross cultural communication; leadership style; high context culture; low context culture; expatriate.
ABSTRAK
Dalam rangka memperluas kesuksesan perusahaan-perusahaan besar melakukan berbagai upaya.
Contohnya dengan membuka cabang perusahaannya di negara lain maupun menanamkan modal
di perusahaan asing. Upaya ini tidak terlepas dari peran ekspatriat yang bertugas untuk menjalankan
misi perusahaan utama agar selaras dengan visi yang dicita-citakan. Korea sebagai negara dengan
kemajuan industri yag sangat pesat pada empat dekade terakhir juga banyak mendirikan
perusahaan cabang di berbagai negara. Negara-negara tujuan tersebut memiliki perbedaan dalam
berbagai aspek, salah satunya adalah kebudayaan. Maka dari itu, perlu dilakukan berbagai adaptasi
oleh para ekspatriat agar bisa melakukan kepemimpinan sesuai dengan yang diharapkan. Penulisan
artikel ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana bentuk adaptasi yang dilakukan oleh para
ekspatriat Korea dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin perusahaan di negara yangmana
memiliki gaya komunikasi yang sama dan berbeda dan didasari pada dimensi kebudayaan
Kluchkhon & Strodtbeck. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi literatur
berbagai karya ilmiah dan akhirnya mengambil dua sumber literatur sebagai perwakilan dari masing-
masing gaya komunikasi yang membahas gaya kepemimpinan ekspatriat Korea di Indonesia dan di
Amerika. Hasil dari penelitian ini menunjunjukan bahwa gaya komunikasi negara tujuan memiliki
pengaruh yang sebanding dengan gaya komunikasi negara asal ekspatriat Korea.

KATA KUNCI
Komunikasi lintas budaya; gaya kepemimpinan; high context culture; low context culture; ekspatriat.

1. PENDAHULUAN
Globalisasi memberikan berbagai dampak yang menyebar di segala sektor, tidak terkecuali bisnis.
Perusahaan multinasional dapat dengan mudah mendapat akses melebarkan sayapnya dengan menanam
saham di perusahaan yang berada di negara lain ataupun langsung membuka cabang perusahaan baru. Hal
ini juga dianggap sebagai tolak ukur keberhasilan suatu perusahaan multinasional. Saat ini para pebisnis
dalam rangka mengelola perusahaannya memerlukan perspektif internasional jika berkeinginan untuk
memajukan perusahaannya hingga dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi lagi. Berhasil atau tidaknya
sistem manajemen dalam suatu perusahaan bergantung pada kemampuan kepemimpinan yang dimiliki oleh
pimpinan dalam perusahaan yang bersangkutan. Dalam sebuah organisasi dan manajemen, kepemimpinan
merupakan suatu hal yang sangat penting. Bahkan bisa dikatakan bahwa inti dari manajemen dan organisasi adalah
kepemimpinan itu sendiri. Menurut George R. Terry dalam Thoha (2001, 5) bahwa kepemimpinan itu adalah aktivitas
untuk mempengaruhi orang - orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi.
Korea Selatan yangmana mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat selama empat dekade
mengambil posisi yang lebih positif dengan visi yang lebih luas dengan melaksanakan berbagai diplomasi
global melalui kerjasama yang aktif dengan masyarakat Internasional. Perusahaan Korea telah memiliki
namanya sendiri dan dikenal akan kualitas produk maupun jasa yang dihasilkannya.
Untuk mewujudkan visi perusahaan untuk dapat bersaing di kancah internasional, tidak sedikit
perusahaan yang mengirimkan karyawannya untuk bertugas di perusahaan cabang, tak terkecuali
perusahaan Korea. Ekspatriat adalah seorang karyawan yang bekerja dalam sebuah operasi, yang bukan
merupakan warga yang berasal dari negara dimana operasi tersebut ditempatkan, tetapi karyawan tersebut
merupakan seorang warga negara yang berasal dari negara dimana kantor pusat organisasi bertempat (Mathis dan
Jackson 2006, 14). Ekspatriat yang ditugaskan umumnya ditempatkan pada posisi yang krusial dalam perusahaan.
Para ekspatriat ini ditempatkan pada top level management. Pada lingkup perusahaan yang memiliki karyawan
dengan latar belakang yang berbeda, sangat diperlukan gaya kepemimpinan yang efektif agar dapat
memberikan dampak yang positif bagi perusahaan dan juga kesejahteraan karyawan. Berdasarkan hal
tersebut diperlukan analisis mengenai kepemimpinan lintas budaya. Gaya kepemimpinan merupakan pola sikap
dan perilaku yang ditampilkan dalam proses mempengaruhi orang lain (Matondang 2008, 5). Thoha (2010, 49)
menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang
tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Dari beberapa pendapat mengenai gaya
kepemimpinan, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan merupakan norma atau perilaku pemimpin dalam
memimpin para bawahannya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hofstede, ciri budaya nasional Korea Selatan antara lain 1)
Korea Selatan yang menganggap beberapa orang lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial,
gender, ras, umur, pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang dan lainnya 2) Korea Selatan yang cenderung
menjunjung tinggi konformitas dan keamanan 3) Orang Korea Selatan lebih suka menghindari risiko 4) Orang Korea
Selatan selalu mengikuti peraturan formal dan juga ritual yang berlaku di Korea Selatan 5) di Korea Selatan,
kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan teman yang terdekat 6) Masyarakat Korea Selatan menerima
hubungan kekuasaan yang lebih autokratik dan patrenalistik, bawahan mengenal kekuasaan orang lain melalui
formalitas, misalnya posisi hierarki. Kriteria budaya nasional Korea Selatan yang demikian akan berbeda dengan
budaya nasional Indonesia meskipun beberapa dimensi budaya antar dua negara tersebut memiliki persamaan karena
berada pada payung besar budaya yang sama, yaitu budaya Asia. Terlebih lagi dengan Amerika yang mana
merupakan negara multikultur dengan gaya komunikasi yang berbeda dengan masyarakat Asia pada umumnya.
Pengaruh kebudayaan menimbulkan persoalan penting yang dapat mempengaruhi manajemen sumber daya
manusia global. Kebudayaan dipahami sebagai symbol seperti tradisi, mitos, ritual, bahasa, kepercayaan dan perilaku
serta ekspresi – ekspresi simbolis lainnya yang memberi karakteristik tertentu dan menentukan bentuk perilaku
anggota masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu (Matondang 2010, 25). Menurut Liliweri (2003, 13)
komunikasi lintas budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa
orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Menurut Lumbanraja (2008, 73) kepemimpinan yang
diterapkan dalam situasi percampuran budaya (Cross- cultural leadership) merupakan suatu bentuk interaksi
kepemimpinan antara pemimpin dengan para bawahan dengan latar belakang budaya yang berbeda.
Orang yang berasal dari budaya yang berbeda seringkali mempunyai pendekatan negosiasi yang berbeda.
Tingkat toleransi untuk suatu ketidaksetujuan pun bervariasi. Seseorang harus dapat menumbuhkan hubungan
personal sebagai dasar membangun kepercayaan dalam proses negosiasi. Huang (2010) mengungkapkan “any
cultural ignorance or carelessness on the part of the executive might lead to communication blunder and negotiation
failure.” Negosiator dari budaya yang berbeda mungkin menggunakan teknik pemecahan masalah dan metode
pengambilan keputusan yang berbeda. Jika mempelajari budaya partner sebelum bernegosiasi, akan lebih mudah
untuk dapat memahami pandangan mereka. Menunjukkan sikap yang luwes, hormat, sabar dan sikap bersahabat
akan membawa pengaruh yang baik bagi proses negosiasi yang sedang berjalan, yang pada akhirnya dapat ditemukan
solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Pembahasan tersebut sesuai dengan konsep yang didasari oleh teori
individual dan collectivism. Low context culture terdapat pada orang/penduduk yang menganut budaya individual,
berbeda dengan high context culture. Hal ini menjelaskan mengenai perbedaan konteks budaya tinggi dan konteks
budaya rendah (Gamsriegler, 2005). Budaya konteks tinggi ditandai dengan pola komunikasi yang mayoritas pesan
yang disampaikan bersifat implisit. Pesan yang sebenarnya tersembunyi dalam perilaku non-verbal pembicara seperti:
intonasi suara, gerakan tangan, postur badan, ekspresi wajah, tatapan mata atau bahkan konteks fisik. Pernyataan
verbal yang disampaikan dapat juga berbeda atau bertentangan dengan pesan non-verbal. Konteks budaya rendah
(low context culture) ditandai dengan pesan verbal dan eksplisit, gaya bicara langsung, lugas dan terus-terangan. Pada
budaya konteks rendah mereka mengatakan maksud dan memaksudkan apa yang mereka katakan. Teori ini
mengkategorikan masyarakat melalui banyaknya simbol-simbol ataupun makna yang tersembunyi dalam setiap
interaksi. Semakin banyak simbol atau makna yang tersembunyi maka semakin bersifat high context culture
(Gamsriegler, 2005).
Kepemimpinan lintas budaya harus mampu mempengaruhi suatu kelompok yang berbeda budaya yang
dimiliki oleh seseorang. Dalam manajemen komunikasi lintas budaya, ada beberapa variabel budaya yang harus
diperhatikan dalam proses komunikasi seperti perihal sikap, organisasi sosial, pola berpikir, peranan pihak – pihak
yang berkomunikasi, bahasa dan waktuBerdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini akan membahas
mengenai studi komunikasi lintas budaya dengan fokus perbedaan gaya kepemimpinan ekspatriat Korea di
negara high context culture yaitu Indonesia dan di negara low context culture yaitu Amerika. Penelitian ini
bertujuan untuk menggambarkan seberapa besar pengaruh gaya komunikasi negara asal terhadap gaya
komunikasi negara tujuan para ekspatriat yang ditempatkan di negara lain.
1. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan metode studi literatur dengan sumber data berasal
dari jurnal berjudul STUDI LINTAS BUDAYA KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI INDONESIA (Pada PT. Semarang
Garment) karya Ndaru Risdanti tahun 2013 dan disertasi berjudul HOST ENVIRONMENT, COMMUNICATION, AND
PSYCHOLOGICAL HEALTH: A STUDY OF CROSS-CULTURAL ADAPTATION COMPARING KOREAN
EXPATRIATES IN THE UNITED STATES WITH AMERICAN EXPATRIATES IN SOUTH KOREA karya Yang-soo Kim
tahun 2003. Merode studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data
pustaka, membaca dan mencatat, serta mengelola bahan penelitian (Zed 2008, 3).
Prosedur penelitian ini terdiri dari tiga langkah. Pertama, tahap pengumpulan data yang dilakukan dengan
mecari karya ilmiah terkait sebagai bahan sumber penelitian. Kedua, tahap penyeleksian sumber penelitian menjadi
dua sumber utama kemudian dianalisi sesuai dengan tujuan penelitian. Pada tahap ketiga, peneliti menarik kesimpulan
dari proses analisis yang telah dilakukan.

2. HASIL PENELITIAN
Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan dimensi orientasi nilai. Dimensi ini terdiri dari orientasi sifat manusia, orientasi
sifat orang, oientasi waktu, aktivitas, dan orientasi relasional (Gudykunst dan Kim 1997, 78). Dimensi pertama adalah
orientasi sifat manusia yang terkait dengan sifat bawaan. Dalam dimensi ini, manusia dipandang baik atau jahat atau
campuran antara baik dan jahat yang merupakan pembawaan sejak lahir. Dimensi kedua, orientasi relasi manusia dan
alam. Ada tiga jenis relasi, yaitu takluk, menyelaraskan, dan mengendalikan. Dimensi ketiga, orientasi waktu. Dalam
dimensi ini, kehidupan manusia dapat berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa depan. Orientasi yang kuat
terhadap masa lalu cenderung menonjol pada kelompok budaya yang menempatkan tradisi dalam posisi yang utama,
seperti pemujaan pada leluhur atau yang memberi tekanan lebih pada kohesivitas keluarga. Dimensi keempat,
orientasi aktivitas. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi aktivitas dapat dipandang sebagai doing, being, dan being-
in-becoming. Orientasi doing berfokus pada jenis aktivitas yang memiliki keluaran eksternal yang dapat diukur. Oleh
karena itu aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini terdapat pula orientasi pada capaian hasil. Dimensi kelima,
orientasi relasional. Orientasi relasional terkait dengan dimensi individualisme kolektivisme. Keterkaitan itu adalah
karena cara orang berinteraksi memiliki fokus yang berbeda, yaitu ke arah individualisme atau kolektivisme.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ndaru Risdanti dengan mewawancarai 7 orang karyawan
PT. Semarang Garment dan penelitian oleh Yang-soo Kim dengan mewawancarai 106 ekspatriat Korea di Amerika,
ditampilkan perbedaan gaya komunikasi kepemimpinan ekspatriat Korea di kedua negara dengan gaya komunikasi
yang berbeda seperti terdapat pada tabel berikut:
Gaya Kepemimpinan
No. Dimensi
High Context Low Context
Percaya bahwa manusia memiliki 2 Beranggapan bahwa setiap individu
Karakter dasar karakter. Berusaha untuk hanya memiliki kepribadian yang berbeda-
1.
manusia menampilkan karakter baik dari diri beda. Berusaha untuk memahami
sendiri maupun orang lain. setiap karyawan.
Setiap karyawan memiliki peranan Menekankan tanggung jawab
dan tanggung jawab masing- terhadap tugas masing-masing.
Relasi dan fokus
2. masing tetapi hasil kinerja baik Hasil kinerja baik dan buruk
tanggung jawab
buruknya merupakan hasil kolektif. cenderung dipahami sebagai hasil
perorangan,
Hidup selaras dengan alam. Hidup selaras dengan alam,
Hubungan dengan Berusaha untuk menyesuaikan berusaha untuk menyesuaikan
3.
lingkungan segala sesuatu dengan kondisi segala sesuatu dengan kondisi
lapangan. lapangan.
Mempertimbangkan setiap aspek Mempertimbangan setiap pendapat
dalam mengambil keputusan. individu untuk menghasilkan
4. Aktivitas
keputusan yang baik bagi
semuanya.
Sangat menghargai waktu dan Sangat menghargai waktu dan
menerapkannya dalam aturan menerapkannya dalam aturan
5. Waktu
perusahaan. perusahaan dengan melalui hasil
diskusi.
Lebih memilih ruang pribadi untuk Lebih memilih ruang pribadi untuk
urusan pribadi, juga menggunakan urusan pribadi, juga menggunakan
6. Ruang
ruang bersama untuk urusan ruang bersama untuk urusan
bersama. bersama.
Tabel 1. Hasil analisi perbandingan gaya kepemimpinan ekspatriat Korea di Indonesia dan Amerika
berdasarkan dimensi budaya Kluchkhon & Strodtbeck
3. SIMPULAN
Korea Selatan merupakan negara dengan gaya komunikasi High Context, dimana pesan disampaikan
secara implisit dan banyak menggunakan bahasa non-verbal. Budaya Korea juga menjunjung tinggi nilai
kolektivisme yangmana suatu organisasi yang sudah disebut sebagai suatu kesatuan segala didalamnya
merupakan akibat dan hasil dari kinerja atau perbuatan bersama.
Indonesia sebagai negara yang memiliki gaya komunikasi yang sama dengan Korea menyebabkan
ekspatriat tidak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan gaya kepemimpinan. Segala sesuatu yang dirasa
baik bagi perusahaan tidak perlu dibicarakan atau dirundingkan terlebih dahulu dengan karyawan tetapi
cukup memberikan arahan dan menerapkan aturan dalam melaksanakan setiap peranan karyawan.
Berbeda dengan Indonesia dan Korea, Amerika merupakan negara dengan gaya komunikasi Low
Context, dimana pesan harus disampaikan secara eksplisit dan jelas. Budaya Amerika juga menjunjung
tinggi nilai individualis dikarenakan masyarakatnya yang multikultural. Adanya perbedaan gaya komunikasi
ini menyebabkan ekspatriat Korea mengalami kesulitan untuk melakukan kepemimpinan di Amerika.
Ekspatriat banyak melakukan penyesuain dimana segala sesuatunya harus berdasarkan kondisi dari tiap
individu karyawab. Selain itu, ekspatriat Korea merasa orang Amerika lebih superior dari orang Korea
sehingga pendekatan dengan tiap karyawan sulit dilakukan.
Berdasarkan hasil dari penelitian, dapat disimpulkan bahwa gaya komunikasi dari negara tujuan
memiliki pengaruh yang sebanding dengan gaya komunikasi negara asal. Peran sebagai pemimpin tidak
serta merta menjadikan ekspatriat leluasa untuk melakukan kepemimpinan sesuai dengan pandangan dan
“zona nyaman” mereka sendiri.
Penelitian ini dibatasi pada analisis perbandingan berdasarkan satu teori dimensi budaya saja
sehingga membuka peluang untuk penelitian mendatang yang membahas gaya kepemimpinan ekspatriat
Korea menggunakan indikator yang berbeda.

DAFTAR REFERENSI

Parantesis (P) Daftar Referensi (R)

P: (Thoha 2001, 5) R: Thoha, Miftah. 2001. Kepemimpinan dalam


Manajemen. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
P: (Mathis dan Jackson 2006, 14) R: Mathis, Robert L., & John H. Jackson. 2006. Human
Resource Management. Jakarta : Salemba Empat.
P: (Matondang 2008, 5) R: Matondang, M.H. 2008. Kepemimpinan : Budaya
Organisasi dan Manajemen Strategik. Yogyakarta : Graha
Ilmu.
P: (Thoha 2010, 49) R: Thoha, Miftah. 2010. Pemimpin dan Kepemimpinan.
Jakarta: Raja Grafindo Persada

P: (Liliweri 2003, 13) R: Liliweri, Alo. 2003. Dasar – Dasar Komunikasi


Antarbudaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

P: (Lumbanraja 2008, 73) R: Lumbanraja, Prihatin. 2008. Tantangan bagi


Kepemimpinan Lintas Budaya. Jurnal Manajemen Bisnis 1,
No. 2 [Mei]: 69 – 77.

P: (Huang 2010) R: Huang, Liangguang. 2010. Cross-cultural


Communication in Business Negotiations. International
Journal of Economics and Finance 2, no. 2 [Mei]: 196-199.

P: (Gamsriegler, 2005) R: Gamsriegler, Angela. 2005. High-Context and Low


Context Communication Styles. Studiengang
Informationsberufe: Information & Knowledge Management.

P: (Zed 2008, 3). R: Zed, Mestika. 2008. Metodologi Kepustakaan.


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

P: (Gudykunst dan Kim 1997, 78). R: Gudykunst, Willian B & Young Yun Kim. 1997.
Communicating with Strangers an Approach to
Intercultural Communication Third Edition. New York:
McGraw-Hill.

You might also like