You are on page 1of 15

Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 151

RESEARCH ARTICLE

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
SEBAGAI ANALISIS HAM ATAS REGULASI DAN
PERAN PEMERINTAH DALAM
MENYELESAIKAN KASUS HAM BERAT
MELALUI PROSES REKONSILIASI
Virna Tirtasari Setyowati, Sunny Ummul Firdaus

Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia

 virnats18@gmail.com

ABSTRACT
Legislations are made to protect Indonesian human rights. Although until now there are still many laws and
regulations in Indonesia that threaten the protection of human rights in Indonesia. One of the reasons is because
it is not based on the principles of good governance. The formation of laws and regulations that are formed
should contain solutions for resolving conflicts and resolving community gaps. Such laws and regulations can
guarantee the protection of human rights. Guaranteeing conformity to laws regarding human rights principles
and norms directly requires mechanisms and methodologies that can predict the impact of a legislation product
on the enjoyment of human rights in every individual in society. For this reason, this article will describe a few
opportunities for ideas to formulate a framework for analyzing the impact of human rights on draft laws and
regulations. Even though there are already laws and regulations regarding Human Rights, there are still many
violations that occur, such as gross human rights violations. The government certainly has a responsibility in
resolving cases of gross human rights violations in Indonesia, the resolution of which is through a conciliation
process, although until now it has not been resolved. The resolution of cases of human rights violations requires
political will so that it does not become a burden on history.
Keywords: good regulatory governance, human rights, impact analysis, serious human rights violations,
reconciliation

Peraturan Perundang-undangan dibuat untuk melindungi Hak Asasi Manusia Indonesia.


Meskipun sampai saat ini masih banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
mengancam perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Salah satu penyebabnya karena
tidak didasarkan prinsip good governance. Pembentukan peraturan perundang-undangan
yang dibentuk hendaknya memuat solusi atas penyelesaian konflik dan menyelesaikan
kesenjangan masyarakat. Peraturan perundang-undangan seperti itulah yang dapat menjamin
perlindungan Hak Asasi Manusia. Jaminan kesesuaian atas undang-undang mengenai prinsip
dan norma hak asasi manusia secara langsung membutuhkan mekanisme dan metodologi
yang dapat memprediksi dampak dari suatu produk legislasi terhadap penikmatan hak asasi

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
152 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

manusia dalam setiap individu masyarakat. Untuk itu, artikel ini akan menguraikan sedikit
peluang atas gagasan untuk merumuskan kerangka analisis dampak hak asasi manusia
terhadap rancangan peraturan perundang-undangan. Meskipun sudah ada peraturan undang-
undang mengenai Hak Asasi Manusia, masih banyak pelanggaran yang terjadi, seperti
pelanggaran HAM berat. Pemerintah tentu memiliki tanggung jawab dalam menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang penyelesaiannya melalui proses
rekonsiliasi, meskipun hingga sekarang masih belum terselesaikan. Penyelesaian kasus
pelanggaran hak asasi tersebut memerlukan adanya political will supaya tidak menjadi beban
sejarah.
Kata Kunci: good regulatory governance, hak asasi manusia, analisis dampak, pelanggaran
hak asasi manusia yang serius, rekonsiliasi

INTRODUCTION
Peraturan perundang-undangan terdiri atas beberapa jenis peraturan, dimana setiap
peraturan disusun berdasarkan kekuatan hukumnya ke dalam suatu hierarki. Hierarki
peraturan perundang- undangan adalah penjenjangan atau urutan dari setiap jenis peraturan
perundang- undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang
lebih tinggi. 1 Hierarki mengenai peraturan perundang-undangan terdapat di dalam
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU No.12 Tahun 2011,
antara lain:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawara- tan Rakyat
3. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.2
Pada dekade akhir abad 20 sampai dekade awal abad 21, bangsa-bangsa di dunia tak
terkecuali bangsa Indoensia, mengalami peristiwa berupa peningkatan tuntutan
demokratisasi, desentralisasi, dan globalisasi, dimana tuntutan tersebut berbeda-beda
nuansa seiring dengan perkembangan zaman. Globalisasi yang menyentuh berbagai bidang
kehidupan di seluruh wilayah pemerintahan Negara menuntut reformasi sistem
perekonomian dan pemerintahan termasuk birokrasinya, sehingga memungkinkan interaksi
perekonomian antar daerah dan antar bangsa berlangsung secara lebih efisien. Kunci
keberhasilan dari pembangunan perekonomian adalah daya saing, sedangkan kunci dari
daya saing adalah efisiensi proses pelayanan serta mutu ketepatan dan kepastian suatu
kebijakan publik. Dalam upaya menghadapi berbagai tantangan tersebut, salah satu
prasyarat yang perlu dikembangkan adalah komitmen yang tinggi dalam menjunjung dan
menerapkan nilai luhur peradaban bangsa dengan prinsip Good Governance atau pemerintah

1
Peraturan perundang-undangan Indonesia" 2022, Februari 7. ttps://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_
perundang-undangan_Indonesia
2
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 153

yang baik dalam penuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara, seperti yang
sudah tertulis dalam pembukaan UUD 1945.
Good governance merupakan istilah yang tumbuh dan berkembang sejak lama baik dalam
tataran internasional maupun nasional. 3 Menurut tataran internasional istilah dari good
governance sendiri diperkenalkan oleh Bank Dunia pada tahun 1992. Sejak itu, hampir seluruh
negara dunia berhubungan erat dengan Bank Dunia, termasuk Indonesia harus menerima
konsep “good governance” sebagai pola untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia.
“Governance” sendiri dapat dimaknai dalam 3 hal, yaitu:
1) governance sebagai rangkaian proses pembentukan atau pengambilan suatu kebijakan
dimana melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan;
2) governance sebagai implementasi atau pelaksanaan kewenangan maupun kekuasaan
untuk mengelola urusan negara dalam arti pelaksanaan kebijakan yang sudah diputuskan
3) governance sebagai instrumen negara untuk mendorong terciptanya kesejahteraan di
masyarakat.
Dari penjelasan tersebutlah dapat diketahui bahwa konsep governance dikembangkan
sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap konsep pemerintah karena terlalu
meletakkan pemerintah dalam posisi yang dominan.
Konsep “government” menurut Sri Sumarni mempunyai banyak kelemahan, terutama
pada sisi dominasi atau kedominanan negara dalam meletakkan nasib rakyat pada efektivitas
negara semata.4
Dalam perkembangannya, good governance atau tata kelola pemerintah yang baik
diyakini mampu membuat suatu negara dapat memenuhi tujuan-tujuan pembangunan dan
penegakan supremasi hukum. Tata kelola pemerintahan yang baik akan mewujudkan
penegakan Hak Asasi Manusia yang baik juga.
Faktor yang sangat mempengaruhi penegakan Hak Asasi Manusia adalah peraturan
perundang-undangan. Akan tetapi pada faktanya masih banyak peranturan perundang-
undangan yang mengancam perlindungan Hak Asasi Manusia yang diakibatkan tidak
dilandasi dengn prinsip tata kelola pemerintah yang baik atau Good Governance.
Proses integrasi komitmen terhadap prinsip dan juga norma hak asasi manusia ke
dalam peraturan perundang-undangan itu penting. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang- undangan masih belum
mengatur secara eksplisit mengenai metode/mekanisme pengintegrasian norma dan prinsip
HAM tersebut. Hal ini tentu saja tidak menjelaskan bahwa produk legislasi yang telah
diterbitkan tidak memuat norma dan prinsip hak asasi manusia.
Jaminan kesesuaian atas undang-undang mengenai prinsip dan norma hak asasi
manusia secara langsung membutuhkan mekanisme dan metodologi yang dapat
memprediksi dampak dari suatu produk legislasi terhadap penikmatan hak asasi manusia
dalam setiap individu masyarakat.
Negara merupakan subjek hukum yang utama dalam bab Hak Asasi Manusia karena
negara dalam menjalankan perannya, seperti bertanggung jawab untuk menegakkan,
melindungi, dan memajukan Hak Asasi Manusia tidak akan terhindar dari kelalaian yang

3
Meri Yarni, L. A. (2014). Penguatan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Sebagai Pilar Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum, 121.
4
Sri Sumarni,” Good University Government dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Program Studi
Pendidikan Agama Islam Fakultas-Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta”, hlm. 178.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
154 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

bisa menimbulkan pelanggaran HAM berat. Umumnya pelanggaran HAM berat terjadi di
berbagai negara dunia yang berawal dari konflik bersenjata, kekacauan, kekerasan, pertikaian
politik, dan kejahatan kemanusiaan lainnya.5
Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat dari dulu tidak dapat dihindari, banyak
pelanggaran berat HAM yang telah terjadi, seperti G 30/S-PKI atau pembantaian massal
1965-1970, Kasus penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Tanjung Priok 1984, DOM
Aceh 1989-1998, kekerasan dan konflik komunal 1998-2000, dan lainnya. 6 Banyaknya
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang terjadi membuat pemerintah
memberlakukan UU No.39 Tahun 1999 7tentang Hak Asasi Manusia sebagai implementasi
TAP XVII/MPR/1998. Selanjutnya Bersama dengan DPR mengeluarkan UU No. 26
Tahun 2000 8 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia yang berisi ketentuan prinsip
retroaktif.
Banyaknya kasus HAM berat yang masih belum terselesaikan membuat pemerintah
mengeluarkan gagasan yaitu melalui rekonsiliasi sebagai alternatifnya.
Dari uraian diatas maka dapat kita ambil rumusan masalahnya, antara lain: Apa
hubungan antara pembentukan peraturan perundang-undangan, hak asasi manusia dan tata
kelola pemerintah yang baik? Bagaimana analisis dampak hak asasi manusia sebagai
instrumen teknis dari pendekatan berbasis hak asasi manusia? dan Bagaimana penyelesaian
kasus pelanggaran HAM berat yang sudah terjadi melalui rekonsiliasi?

RESULTS & DISCUSSION


Hubungan Pembentukan Perundang- Undangan, Hak Asasi Manusia, Dan Tata
Kelola Pemerintah Yang Baik

Tata kelola pemerintah yang baik Good Governance adalah penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang kokoh dan bertanggung jawab sesuai dengan prinsip demokrasi dengan
efisiensi pasar, menghindari salah alokasi dana investasi, dan mencegah korupsi baik secara
politik maupun administratif, menerapkan disiplin anggaran, dan menciptakan kerangka
hukum dan politik bagi tumbuhnya kegiatan usaha.
Ada tiga unsur pokok tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu:
1. Unsur pemerintah yang dipercaya menangani administrasi negara pada suatu
periode tertentu.
2. Unsur swasta atau wirausaha yang bergerak dalam pelayanan publik.
3. Unsur warga masyarakat9
Menurut Laode Ida (2002), Good Governance memiliki ciri dan karakteristik sebagai
berikut:

5
Muhammad Igbal, “Analisis Rekonsiliasi Sebagai Solusi Alternatif Penyelesaian Masalah Pelanggaran Hak
Asasi Manusia Berat Masa Lalu”, Fakultas Hukum, UI, 2013, hlm 1.
6
Indriaswati D. Saptaningrum, Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu: Tanggung Jawab
Konstitusional yang Terutang, (Jakarta: 2011), hlm 4.
7
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
8
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
9
Ahmad Jazuli, “Tata Kelola Pemerintahan yang Baik Di Negara Indonesia”
https://mas-alahrom.my.id/pkn/tata-kelola-pemerintahan-yang-baik-di-negara-indonesia/

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 155

1. Terwujudnya interaksi yang baik antara pemerintah, swasta, dan masyarakat,


terutama bekerja sama dalam pengaturan kehidupan sosial politik dan sosio-
ekonomi.
2. Komunikasi, yaitu adanya jaringan multisistem baik pemerintah, swasta, dan
masyarakat yang melakukan sinergi untuk menghasilkan output yang berkualitas.
3. Proses penguatan diri, adanya upaya untuk pembentukan pemerintahan dalam
mengatasi kekacauan kondisi lingkungan dan dinamika masyarakat yang tinggi.
4. Balance of force dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan
ketiga unsur yang ada menciptakan dinamika, kesatuan dalam kompleksitas,
keselarasan, dan kerja sama.
5. Independensi atau kemandirian yakni menciptakan saling ketergantungan yang
dinamis antara pemerintah, swasta, dan masyarakat melalui koordinasi dan
fasilitasi.10
Tata Kelola Pemerintahan yang baik sebagai sebuah konsep ataupun sistem
manajemen pemerintahan memiliki sejumlah prinsip yang dianggap sebagai prinsip utama
yang melandasi good governance, yaitu: asas yang menjamin akses atau kebebasan bagi
setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yaitu
informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil yang dicapai
(Transparansi), bentuk pertanggungjawaban setiap individu maupun organisasi kepada
lembaga publik kepada pihak eksternal yang berkepentingan dengan pengelolaan sumber
daya, dana, dan seluruh unsur kinerja yang diamanatkan kepadanya (Akuntabilitas), dan
prinsip bahwa tiap-tiap orang berhak untuk terlibat pengambilan keputusan dalam setiap
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keter- libatan dalam pengambilan keputusan
dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung (Participation).
Dalam perkembangannya tata kelola pemerintahan yang baik tidak hanya bertujuan
memperbaiki kualitas pelayanan publik dan menekan tingginya tingkat korupsi saja, lebih
dari itu good governance diyakini menjadi salah satu hal yang utama dalam perlindungan Hak
Asasi Manusia. Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia menginformasikan materi tentang
pemerintahan yang baik. Misalnya pengembangan kerangka legislatif, kebijakan, program,
alokasi anggaran, dan tindakan lainnya.11Selain itu, juga menyediakan seperangkat standar
kinerja bagi pihak-pihak tersebut sehingga aktivitas mereka dapat dipertanggung jawabkan.
Pelaksanaan HAM tergantung dengan lingkungan kondusif dan kondisi yang juga memadai.
Tata pemerintahan yang baik secara teoritis bertujuan untuk melindungi hak asasi
manusia, seperti mendorong adanya partisipasi masyarakat dalam suatu pemerintahan,
terutama partisipasi dari kelompok minoritas atau kelompok yang dilindungi, baik dalam
pembentukan supremasi hukum (peraturan perundang- undangan) maupun dalam
perumusan berbagai kebijakan. Hal ini memastikan bahwa setiap peraturan perundang-
undangan dan kebijakan yang diambil menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas,
transparansi, dan partisipasi publik yang luas.
Pembentukan peraturan perundang- undangan adalah sebuah proses pembuatan
peraturan perundang-undangan yang pada dasamya dimulai dari perencanaan, persiapan,

10
Gamal Thabroni, “Tata Kelola Pemerintahan yang Baik: Pengertian, Ciri & Unsur”, 2021 Mei 20
https://serupa.id/tata-kelola-pemerintahan-yang-baik-pengertian-ciri-unsur/
11
UN Office of the High Commissioner for Human Rights, Good Governance Practices for the Protection
of Human Rights, 2007, HR/PUB/07/4, available at: http://www.unhcr.org/refworld/docid/47ea6c842.html.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
156 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan


penyebarluasan. 12

Tabel 1. Ciri-Ciri Lain Tata Kelola Yang Baik Dan Pengertiannya


Ciri tata kelola Pengertiannya
Demokratis Menjalankan tata
pemerintahan secara
terbuka terhadap
kritik dan kontrol
dari rakyat
Komunikatif Tata pemerintahan
selalu mengomuni-
kasikan berbagai
upaya yang
dilakukannya secara
terbuka.
Penguatan diri sendiri Selalu mengevaluasi
dan
menyempurnakan
tata kelola yang
sedang atau akan
dilaksanakan.
Keseimbangan kekuatan Tidak ada satu pun
lembaga atau badan
yang terlalu kuat dan
sepenuhnya
menguasai tata kelola.
Setiap orang harus
saling membantu dan
memotivasi satu sama
lain.
Independensi Tata kelola negara
yang baik tidak
diperbolehkan
memihak salah satu
pihak dan menjamin
kebebasan tata kelola
yang tujuannya untuk
memakmurkan
bangsa
Sumber: Tata Kelola Pemerintahan yang Baik: Pengertian, Ciri & Unsur, 2021 Mei 20

Peraturan perundang-undangan atau kebijakan harus bisa menjamin ter-


selenggaranya perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pembentukan suatu negara
hukum harus dilaksanakan secara ideal yang dalam perspektif tata kelola pemerintahan yang
baik berarti bahwa proses perumusan norma atau aturan hukum harus didasarkan pada
prinsip good governance yang menjamin perlindungan hak asasi manusia. Dengan demikianlah
12
“UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.” 2019 Oktober 20

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 157

hubungan dari pembentukan perundang- undangan, good governance dan hak asasi
manusia.

Analisis Dampak Hak Asasi Manusia Dari Pendekatan Berbasis Ham Atas
Kebijakan Negara

Pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia merupakan hasil pemahaman bahwa


tantangan global dalam permasalahan pembangunan, keamanan, dan perlindungan hak asasi
manusia tidak dapat dipisahkan satu sama lain.13 Pendekatan hak asasi manusia ini lebih
mengarah pada kegiatan yang bersifat atau terkait dengan pembangunan, yang
menyebabkan PBB sebagai organisasi internasional memperhatikan hal tersebut. Untuk itu
pendekatan ini diterapkan pada suatu program, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga
proses evaluasi dan pemantauan program. Pada setiap tahapan tersebut, norma dan prinsip-
prinsip dari Hak Asasi Manusia digunakan sebagai landasan atau tolok ukur utama untuk
menilai keberhasilan suatu program yang dijalankan oleh badan-badan PBB.14
Praktik-praktik pendekatan berbasis hak asasi manusia yang ada mendorong adaptasi
ilmiah, terutama ilmu sosial, dalam hal memberikan dasar ilmiah yang dapat mengukur atau
menilai dampak dari suatu program maupun kegiatan terhadap perlindungan hak asasi
manusia. Menurut salah satu tokoh, yaitu Landman menyebutkan bahwa analisis dampak
tersebut mengacu pada sifat sistematika dari analisis ilmiah sosial dan pekerjaan di bidang
studi pembangunan substantif, pemantauan dan evaluasi, ilmu lingkungan, administrasi
bisnis dan kebijakan publik, sementara dalam banyak hal menanggapi lingkungan
pendanaan baru yang mana pemerintah, organisasi antar pemerintah, dan lembaga donor
ingin mengetahui suatu nilai tambah dari banyaknya kegiatan hak asasi manusia yang mereka
danai.15 Landman juga mencatat bahwa: “tujuan utama dari penilaian dampak hak asasi
manusia adalah untuk menentukan sejauh mana 'seperangkat kegiatan manusia yang
ditargetkan' (Mohr 1995) berdampak pada hak asasi manusia, yang diwakili oleh beberapa
bentuk indikator kualitatif dan kuantitatif .
Dari paparan table diatas, maka dapat dimuat kesimpulan sebagai berikut: pertama,
penilaian dampak ex ante dari program-program yang terkait langsung dengan hak asasi
manusia yang sengaja bertujuan untuk mengubah situasi hak asasi manusia secara positif;
kedua, penilaian dampak ex ante terhadap program tersebut secara tidak langsung berkaitan
dengan hak asasi manusia tetapi dapat mempengaruhi- nya sampai pada tingkat tertentu,
sehingga memiliki implikasi yang tidak diinginkan terhadap perubahan positif dalam situasi
hak asasi manusia; ketiga, penilaian dampak ex post ditujukan pada program-program yang
memiliki tujuan khusus untuk mengubah situasi penikmatan praktis hak asasi manusia; dan
keempat, penilaian dampak ex post pada kegiatan dan kebijakan yang memiliki implikasi
tidak langsung terhadap hak asasi manusia
Pasal 28I Ayat (5) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa
“Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum

13
Report of the Secretary-General of the United Nations, In Larger Freedom: towards Development,
Security and Human Rights for all, 21 March 2005 (A/59/2005).
14
OHCHR, Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to Development
Cooperation, New York and Geneva: 2006, United Nations. (HR/PUB/06/8)
15
Todd Landman, Studying Human Rights, hlm 134

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
158 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan.” 16Dalam jabaran tersebut, hak asasi manusia hanya
dapat dilaksanakan ketika hak tersebut telah dijamin, diatur, dan dituangkan ke dalam
peraturan perundang-undangan. Hak asasi manusia dengan demikian memperoleh
justifikasi konstitusional untuk berubah dari awalnya hak moral menjadi hak legal. 17

Tabel 2 Kategori Penilaian Dampak HAM


Kategori Langsung Tidak
Langsung
Ex Ante Perencanaan yang Kepedulian
dimaksudkan untuk dampak dari
mengubah situasi aktivitas lainnya
Hak Asasi Manusia yang tidak
berhubungan
Ex Post Evaluasi dan Evaluasi dan
penilaian suatu penilaian
kebijakan, strategi, keluaran dari
dan program untuk suatu kebijakan,
mengubah situasi strategi, dan
HAM program yang
tidak ditujukan
untuk
mengubah
situasi Hak
Asasi Manusia
Sumber: Landman, 2006

Analisis ex ante terhadap dampak human rights adalah hal utama yang harus
diperhatikan dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Mengingat
luasnya dimensi dari isi undang-undang, analisis dampak hak asasi manusia dapat terbagi
menjadi dua kuadran ex ante yaitu kuadran I dan II, adalah undang-undang yang berdampak
langsung maupun tidak langsung terhadap HAM.
Secara tradisional, studi doktrinal hukum atau doctrinal study of law dipahami sebagai
bagian dari ilmu hukum atau legal science yang mencoba untuk menghasilkan suatu informasi
yang berkaitan dengan hukum dan mensistematiskan aturan-aturan hukum. 18 Analisis
dampak hak asasi manusia mengambil posisi tentang bagaimana metodologi dalam ilmu-
ilmu sosial dapat diterapkan pada rancangan peraturan, ini bertujuan untuk memberikan
gambaran atau memprediksi hal-hal lain di masa depan. Untuk itu, analisis sosio-hukum

16
Pasal 28I Ayat (5) UUD NRI 1945
17
Kai Moller, From constitutional of Human Rights: Tentang struktur moral hak asasi manusia
internasional. Konstitusionalisme Global
(2014), 3, hal 373-403
18
Aulis Aarnio, Essays on the Doctrinal Study of Law, Law and Philosophy Library Vol. 96, New York:
2011, Springer, hlm. 19. Analisis
doktrinal mendasarkan pada dua sisi dalam sebuah putusan yudisial, yakni antara fact-question dan norm-
question

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 159

telah lama meminjam konsep ilmu politik, terutama mengenai bagaimana lembaga-lembaga
pembentuk hukum terlibat.
Salah satu tokoh, yaitu Walker dalam mengkaji analisis dampak hak asasi manusia
terhadap perjanjian tentang perdagangan atau trade agreement menyatakan bahwa kerangka
pendekatan hak asasi manusia terhadap pembangunan terdiri dari empat elemen, yaitu:
1. hak asasi manusia harus menjadi subjek eksplisit dampak hak asasi manusia. penilaian;
2. proses penilaian dampak harus menghormati hak asasi manusia;
3. penilaian dampak harus terkait pada pengembangan kapasitas negara dan subjek lain
yang berkewajiban untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia;
4. penilaian dampak harus berkaitan dengan mekanisme dan subjek dari hak asasi
manusia, seperti badan perjanjian internasional dan lembaga terkait hak asasi manusia
nasional.19
Walker juga mengidentifikasi lima teknik kualitatif untuk pengumpulan dan analisis
data yang berguna dalam melakukan penilaian dampak hak asasi manusia:
1. pemodelan ekonomi, dimana menggunakan persamaan matematis berdasarkan teori
yang ada untuk memprediksi dampak hukum terhadap perekonomian di masa depan;
2. survey, adalah teknik penilaian yang mengarah pada pengumpulan data-data atau
informasi yang berbentuk kuantitatif dan kualitatif;
3. menggunakan teknik analisis rantai sebab-akibat untuk mengidentifikasi/menggambar-
kan hubungan sebab-akibat yang signifikan antara norma peraturan dan penikmatan
dari hak asasi manusia;20
4. teknik studi kasus partisipatif, yaitu dengan melibatkan individu atau kelompok yang
berpotensi terkena dampak suatu peraturan; 21
5. pendapat dari para ahli, yang sebenarnya cukup sering digunakan, juga merupakan
teknik yang paling tidak formal dan tidak terlalu rumit dalam penilaian dampak.
Analisis dampak hak asasi manusia terhadap rancangan undang-undang dalam sistem
pembentukan peraturan perundang- undangan dapat diwujudkan melalui integrasi lembaga
mulai dari proses perancangan hingga proses harmonisasi pembentukan undang-undang
tersebut. Meskipun belum ada mekanisme yang tetap untuk mengatur hal tersebut, peluang
dapat diciptakan melalui mekanisme internal di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia yang secara teknis bertanggung jawab atas regulasi human rights. Ditjen
human rights dari sisi kelembagaan mempunyai peran penting atau aktif untuk terlibat dengan
mekanisme tersebut dengan dukungan hasil-hasil penelitian yang dapat dilakukan oleh
badan hukum hak asasi manusia yang lainnya. Dengan mekanisme kerja dan keterpaduan
antar lembaga internal Kementerian Hukum dan HAM, transparansi dan akuntabilitas
dapat mencerminkan tingkat potensi yang seharusnya dan dapat terwujud dengan adanya
penilaian dampak hak asasi manusia secara objektif

19
Simon M. Walker, The Future of Human Rights: Impact Assessments of Trade Agreements, School of
Human Rights Research Series, Vol. 35, 2009, Utrecht University,hlm 10-11
20
Gary King, Robert Keohane & Sidney Verba, Designing Social Inquiry: Scientific Inference in
Qualitative Research, New Jersey: 1994, Princeton University Press, hlm. 85-91.
21
Robert K. Yin, Case Study Research: Design and Methods 3rd Edition, London: 2003, Sage Publications

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
160 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

Penyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Yang Sudah Terjadi
Melalui Proses Rekonsiliasi

Pelanggaran HAM berat adalah serangan terhadap hak asasi manusia secara sistematis
atau luas yang dapat menimbulkan korban jiwa, dan menyebabkan kerugian fisik, psikologis,
ekonomi, sosial, dan budaya 22 Menurut standar HAM internasional, terdapat jenis-jenis
pelanggaran HAM berat yang diatur dalam Pasal 5 Statuta Roma Mahkamah Pidana
Internasional (ICC), antara lain:
1. Kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu kejahatan yang meluas dan sistematis yang
ditujukan terhadap penduduk sipil, yang tidak manusiawi dan menimbulkan penderitaan
fisik dan mental. Bentuk tindakannya seperti: pembunuhan, penyiksaan dan hukuman
yang kejam, tidak manusiawi/merendahkan martabat, perbudakan, pemindahan
penduduk paksa, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, dan bentuk
kekerasan seksual lain dengan tingkat yang sama, dan diskriminasi sistematis (ras, etnis
atau jenis kelamin).
2. Kejahatan perang, yaitu pelanggaran hukum perang, baik sipil maupun militer.
Contohnya: menyerang warga sipil dan tenaga medis, pemerkosaan atau bentuk
kekerasan seksual lainnya dengan tingkat yang sama, menyerang orang yang mengibarkan
bendera putih atau tanda menyerah.
3. Genosida, adalah pembantaian secara brutal terhadap suatu sekelompok suku atau
bangsa yang tujuannya adalah untuk menghancurkan seluruh atau sebagian suku bangsa
tersebut. Contohnya adalah pembunuhan anggota kelompok, penyiksaan yang tidak
manusiawi, dengan sengaja menciptakan kondisi kehidupan yang bisa merusak,
mencegah kelahiran, memindahkan anak secara paksa.
4. Agresi, adalah suatu tindakan atau perilaku yang tujuannya menciptakan dan
menyebabkan bahaya atau kesakitan terhadap target sasarannya.
Kualifikasi untuk menyatakan bahwa suatu pelanggaran HAM termasuk kategori berat
ataukah bukan, didasarkan juga pada sifat dari kejahatan, yaitu sistematis (systematic) atau
meluas (widespread).23
Ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indoensia yang masih belum
terpecahkan, antara lain:
1. G30S/PKI Pada Tahun 1965-1966
Latar belakang dari kasus yang terjadi pada tahun 1965-1966 yang biasa kita kenal dengan
G30S/PKI adalah terbunuhnya perwira atau pejabat tinggi angkatan darat yang
dilakukan oleh PKI. Peristiwa ini merupakan salah satu pembunuhan massal terburuk.
Penanganan yang dilakukan adalah menumpas anggota maupun pendukung PKI di
berbagai daerah yang ada di Indonesia.
2. Kasus penembakan misterius pada tahun 1982-1985
Kasus penembakan ini dilatar- belakangi oleh permintaan Soeharto kepada Polisi dan
ABRI untuk melakukan pemberantasan efektif untuk menekan angka kriminalitas. Ketua
Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo mengatakan jumlah
korban penembakan misterius mencapai 10 ribu orang.

22
“Apa itu Pelanggaran HAM berat?” 2021, Oktober 6
https://www.amnesty.id/apa-itu-pelanggaran-ham-berat/
23
Suparman Marzuki, Op.Cit, hlm 50.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 161

3. Peristiwa Talangsari 1989


Latar belakang kasus ini adalah pemimpin komunitas muslim di Talangsari (Warsidi),
menentang adanya pemerintahan orba yang dianggap gagal menyejahterakan rakyat.
Akibatnya atusan warga ditangkap, disiksa, ditahan, dan dituduh makar.
4. Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
Disebabkan oleh keinginan aktivis muda untuk menegakan keadilan dan demokrasi masa
pemerintahan orde baru dengan mengkritisi kebijakan pemerintah. Setelah menunjukkan
sikap kritis mereka terhadap rezim Orba sejumlah aktivis dan mahasiswa dinyatakan
hilang.
5. Kerusuhan Mei 1998
Diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu adanya tragedi yang menewaskan empat
orang mahasiswa Universitas Trisakti dalam demonstrasi 12 Mei 1998 yang
menyebabkan presiden Soeharto lengser dari jabatannya. Sepanjang kerusuhan tanggal
13-15 Mei 1998 di Jakarta, Surakarta, dan Medan, terjadi penjarahan, pembakaran serta
penghancuran toko dan rumah, penganiayaan, pembunuhan, dan kekerasan seksual.
6. Kasus Trisakti, Semanggi I & II pada tahun 1998
Peristiwa Semanggi I tanggal 11-13 November 1998 menelan 17 korban jiwa yang
merupakan warga sipil dan melukai 109 orang. Saat itu, masyarakat melakukan demo
bersama mahasiswa di Jakarta dan kota besar lainnya pada momen Sidang Istimewa
untuk mendesak penghapusan dwifungsi ABRI dan pembersihan pemerintahan dari
orang-orang Orde Baru. Peristiwa Semanggi II 24 September 1999 menewaskan 11
mahasiswa dan melukai 217 orang. Pada saat itu mahasiswa memprotes pengesahan UU
Penanggulangan Keadaan Bahaya yang dianggap memberi kebebasan atau keleluasaam
kepada tentara, yang dinilai telah banyak melakukan pelanggaram terhadap HAM untuk
mengamankan negara dengan pendekatan militer. Berkas penyelidikan kasus Trisakti,
kasus Semanggi I dan II ini dijadikan satu oleh Komnas HAM. Ketiga tragedi tersebut
dianggap berkaitan satu sama lain dalam hal kebijakan pemerintah menghadapi
gelombang demonstrasi menuntut Reformasi.
7. Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2003
Latar belakang kasus Wasior 13 Juni 2001 adalah adanya konflik antar masyarakat yang
menuntut ganti rugi atas hak ulayat yang dirampas dengan perusahaan pemegang hak
pengusaha hutan dan adanya penembakan anggota Brimob dan karyawan dari
perusahaan tersebut. Peristiwa ini menyebabkan empat orang meninggal, satu orang
mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa. Sedangkan kasus
Wamena yang terjadi pada 4 April 2003 mengenai pembobolan markas Kodim yang
dilakukan oleh sekelompok yang tidak dikenal dan telah menewaskan dua orang anggota
Kodim dan satu orang luka berat.24
Dari kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti diatas, ada beberapa kasus yang
dapat diselesaikan melalui Rekonsiliasi. Rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses
pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dalam rangka untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berkategori
berat agar tercipta perdamaian dan persatuan bangsa. 25 Undang-Undang Nomor 27 Tahun

24
“Apa itu Pelanggaran HAM berat?” 2021, Oktober 6
https://www.amnesty.id/apa-itu-pelanggaran-ham-berat/
25
“UU 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi”, 2019, Desember 6

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
162 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi didalamnya mengatur tentang proses
pengungkapan kebenaran; pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi kepada
korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya; dan pertimbangan amnesti.
Kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang dapat diselesaikan melalui proses
rekonsiliasi adalah kasus G30S/PKI pada tahun 1965-1966 dan Kasus penembakan
misterius pada tahun 1982-1985. Untuk bisa menjalankan proses rekonsiliasi dengan tepat,
maka pemrintah harus memperhatikan prinsip-prinsip dari rekonsiliasi, antara lain:
1. Pengungkapan Kebenaran
Kebenaran yang terungkap adalah kebenaran yang bisa menjelaskan keseluruhan
rangkaian cerita secara runtut, sehingga narasi peristiwa dapat direkam kembali, dan pada
akhirnya mendapatkan memori kolektif yang terdistorsi oleh rezim yang berkuasa.
2. Pembetulan Sejarah Kebenaran
Semua kebenaran yang diperoleh pemerintah harus mampu menampung semua
pengaduan dari korban dan sesuai dengan keterangan pelaku sehingga dapat diperoleh
kebenaran baru yang dapat menjadi sejarah baru.
3. Pengakuan dan Pengampunan
Pengakuan itu dilakukan langsung di depan publik, sehingga menjadi peringatan bagi
siapa saja yang mendengarnya. Masyarakat cukup puas dengan pengakuan dan
permintaan maaf yang tulus dari pelaku, sehingga korban dapat mendengar bagaimana
sebenarnya suatu kejahatan terjadi hingga proses bagaimana kejahatan itu terjadi, yang
diakhiri dengan permintaan maaf.
4. Pemenuhan Hak Korban
Pemenuhan hak-hak korban adalah suatu keharusan karena mereka lah yang menderita.
Hak korban diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang meliputi ganti
rugi, restitusi, dan rehabilitasi.26

CONCLUSION
Pembentukan peraturan perundang- undangan merupakan hal paling penting dan
mendasar yang sangat berpengaruh terutama dalam perlindungan dan penegakan Hak Asasi
Manusia. Peraturan perundang-undangan yang baik tentu harus dilandasi dengan prinsip
tata lelola pemerintah yang baik (Good Governance) pula. Ciri-ciri tata kelola pemerintah yang
baik, antara lain:
1. Demokratis
2. Komunikatif
3. Penguatan diri sendiri
4. Keseimbangan kekuatan
5. Independensi
Adapun beberapa hal yang disebut-sebut sebagai prinsip utama dari Good Governance,
yaitu:
1. Transparasi

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-27-2004-komisi-kebenaran-rekonsiliasi
26
Dini Hardianti, “Tanggung Jawab Negara Menyelesaikan Kasus Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu
Melalui Proses Rekonsiliasi di Indonesia”, 2016

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 163

2. Akuntabilitas
3. Participation
Tata kelola pemerintahan yang baik itu tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki
kualitas pelayanan publik dan menekan tingginya tingkat korupsi, akan tetapi good governance
diyakini juga menjadi salah satu hal yang utama dalam perlindungan HAM, seperti
mendorong partisipasi masyarakat baik dalam pembentukan supremasi hukum (peraturan
perundang- undangan) maupun dalam perumusan berbagai kebijakan. Hal inilah yang
memastikan bahwa setiap peraturan perundang- undangan dan/atau kebijakan yang diambil
menerapkan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi publik.
Pembentukan perundang-undangan negara hukum harus dilaksanakan secara ideal
yang dalam perspektif tata kelola pemerintahan yang baik berarti bahwa proses perumusan
norma atau aturan hukum harus didasarkan pada prinsip good governance yang menjamin
perlindungan hak asasi manusia. Itulah kaitan antara pembentukan perundang-undangan,
Good Governance dan HAM.
Indonesia adalah negara hukum yang sebagian peraturannya tidak boleh bertentangan
dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu diperlukan sebuah analisis mengenai dampak
Hak Asasi Manusia dari pendekatan berbasis Hak Asasi Manusia atas kebijakan yang ada.
Tujuan utama dari penilaian dampak hak asasi manusia adalah untuk menentukan
sejauh mana 'seperangkat kegiatan manusia yang ditargetkan' (Mohr 1995) dapat berdampak
pada hak asasi manusia, yang diwakili oleh beberapa bentuk indikator kualitatif dan
kuantitatif.
Adapun penilaian dampak Hak Asasi Manusia dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu
ex ante dan ex post yang dapat disimpulkan, seperti:
1. penilaian ex ante secara langsung dengan hak asasi manusia yang sengaja bertujuan untuk
mengubah situasi hak asasi manusia secara positif.
2. penilaian dampak ex ante secara tidak langsung berkaitan dengan hak asasi manusia tetapi
dapat mempengaruhinya sampai pada tingkat tertentu, sehingga memiliki implikasi yang
tidak diinginkan terhadap perubahan positif dalam situasi hak asasi manusia.
3. ex post secara langsung ditujukan pada kegiatan yang memiliki tujuan khusus untuk
mengubah situasi penikmatan praktis hak asasi manusia.
4. penilaian dampak ex post pada kegiatan dan kebijakan yang memiliki implikasi tidak
langsung terhadap hak asasi manusia.
Analisis dampak hak asasi manusia terhadap rancangan undang-undang dalam sistem
pembentukan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan melalui integrasi lembaga
mulai dari proses perancangan hingga proses harmonisasi pembentukan undang- undang.
Dan dengan mekanisme kerja dan keterpaduan antar lembaga internal Kementerian Hukum
dan HAM, transparansi dan akuntabilitas dapat meningkatkan potensi yang seharusnya dan
dapat terwujud dengan adanya penilaian dampak hak asasi manusia secara objektif.
Meskipun sudah ada peraturan yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia, namun
tetap saja masih ada pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di masa
sekarang, maupun masa lalu. Artikel ini membahas tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia
berat yang sudah terjadi di masa lalu yang melalui proses rekonsiliasi atau pengungkapan
kebenaran.
Dari tulisan diatas, dapat disimpulkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM
berat yang dilakukan dari kasus tersebut yaitu:

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
164 Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022

a. Kasus Tragedi G.30.S/PKI yang terjadi pada tahun 1965-1966 dan Kasus Penembakan
Misterius 1982-1985 dapat diselesaikan melalui rekonsiliasi.
b. Tragedi penghilangan aktivis secara paksa tahun 1997- 1998, Tragedi trisakti Semanggi I
& II pada 1998, Kerusuhan Mei tahun 1998, dan Kasus Talangsari Lampung 1989 dapat
terselesaikan atau dilakukan melalui pengadilan HAM ad hoc.
c. Kasus Wasior, Papua pada tahun 2001-2003 dapat dilakukan pengadilan HAM karena
kasus Wasior terjadi setelah adanya UU No.26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Tahapan rekonsiliasi yang dilakukan oleh pemerintah harus memenuhi empat prinsip
utama dari rekonsiliasi, antara lain:
a) Pengungkapan Kebenaran
b) Pelurusan Sejarah Kebenaran
c) Pengakuan dan Pengampunan
d) Pemenuhan Hak-Hak Korban

REFERENCES

Buku
R. K. Gary King, 1994, Designing Social Inquiry, In Scientific Inference in Qualitative Research,
New Jersey: Princeton University Press.
T. Landman, Studying Human Rights.
U. O. Right, 2007, Good Governance Practices for the Protection of Human Rights,
UNHCR.
R. K. Yin, 2003, Case Study Research, In Design and Methods 3rd Edition, London: Sage
Publication.

Artikel dan Jurnal


Aulis Aarnio, ‘Essays on the Doctrinal Study of Law’, Law and Philosophy Library, Vol. 96, hal
19, 2011.
Dini Hardianti, ‘Tanggung Jawab Negara Menyelesaikan Kasus Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu
Melalui Proses Rekonsiliasi di Indonesia’.
Kai Moller, ‘From constitutional of Human Rights: Tentang struktur moral hak asasi manusia
internasional’, Konstitusionalisme Global (2014).
Yarni, Mery, Penguatan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Sebagai Pilar Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum,
121.
Muhammad Igbal, ‘Analisis Rekonsiliasi Sebagai Solusi Alternatif Penyelesaian Masalah Pelanggaran
Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu’, Fakultas Hukum, UI, 2013.
Indriaswati D. Saptaningrum, 2011, ‘Penyelesaian Pelanggaran HAM di Masa Lalu: Tanggung
Jawab Konstitusional yang Terutang’, Jakarta.
Report of the Secretary-General of the United Nations, 2005, In Larger Freedom: towards
Development, Security and Human Rights for all.

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Souvereignty : Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional | Volume 1, Nomor 1, Year 2022 165

Sri Sumarni, ‘Good University Government dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Program Studi
Pendidikan Agama Islam Fakultas-Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga’, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
OHCHR, 2006, Frequently Asked Questions on A Human Rights-Based Approach to
Development Cooperation, New York and Geneva.
Simon M. Walker, ‘The Future of Human Rights: Impact Assessments of Trade Agreements’,School
of Human Rights Research Series, Vol. 35, hlm 10-11, 2009.

Peraturan Perundang-Undangan dan Instrumen Hukum Internasional


Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Pasal 28I Ayat (5) UUD NRI 1945

Sumber Lainnya
Apa itu Pelanggaran HAM berat? (2021, Oktober 6). Retrieved from amnesty.id:
https://www.amnesty.id/apa-itu-pelanggaran-ham-berat/, diakses pada tanggal 6 Mei
2022
Jazuli, A. (n.d.). Tata Kelola Pemerintahan yang Baik di Negara Indonesia. Retrieved from
https://mas-alahrom.my.id/pkn/tata-kelola-pemerintahan-yang-baik-di-negara-
indonesia/, diakses pada tanggal 2 Mei 2022
Peraturan perundang-undangan Indonesia. (2022, Februari 7). Diambil kembali dari wikipedia:
https://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_perundang-undangan_Indonesia, diakses
pada tanggal 2 Mei 2022
Right, U. O. (2007). Good Governance Practices for the Protection of Human Rights. Retrieved from
UNHCR: http://www.unhcr.org/refworld/docid/47ea6c842.html., diakses pada
tanggal 2 Mei 2022
Thabroni, G. (2021, Mei 20). Tata Kelola Pemerintahan yang Baik: Pengertian, Ciri, & Unsur.
Diambil kembali dari serupa.id: https://serupa.id/tata-kelola-pemerintahan-yang-
baik-pengertian-ciri-unsur/, diakses pada tanggal 2 Mei 2022
UU 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. (2019, Desember 6). Retrieved
from jogloabang.com: https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-27-2004-komisi-
kebenaran-rekonsiliasi, diakses pada tanggal 5 Mei 2022

© Author(s). This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License .
Published by Pusat Studi Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Universitas Sebelas Maret, Indonesia

You might also like