You are on page 1of 50

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah pengelolaan kesehatan yang
diselenggarakan oleh semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling
mendukung guna menjamin tercapainya deraja kesehatan masyarakat seting-tingginya
(Perpres no. 72 tentang Sistem Kesehatan Nasional).

Banyak tantangan yang dihadapi dalam membangun sistem kesehatan yang kuat dan
handal, diantaranya kurangnya tenaga kesehatan, kurangnya koordinasi antar lembaga
dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. SKN yang lemah sangat
berbahaya ketika diperhadapkan dengan kondisi tidak normal (bencana dan krisis
kesehatan). Kebijakan dari SKN ini telah banyak melakukan perubahan, salah satunya
dalam hal perubahan sub sistem upaya kesehatan dan pembiayaan kesehatan. Namun
demikian, permasalahan kesehatan yang terus berkembang menuntut SKN menjadi suatu
tatanan yang kuat dalam pembangunan kesehatan. Penguatan SKN harus mampu
memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat baik dalam kondisi normal dan kondisi tidak
normal.

WHO menjelaskan sistem kesehatan adalah seluruh kegiatan yang dilakukan dengan


tujuan meningkatkan dan memelihara kesehatan warga negara. Indonesia memiliki
Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang merupakan acuan dalam penyusunan dan
pelaksanaan pembangunan kesehatan. Sistem ini diatur melalui Peraturan Presiden
Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional. Yang meliputi Subsistem
upaya kesehatan, Subsistem Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, subsistem
pembiayaan kesehtaan, subsistem sumber daya manusia (SDM), subsistem sediaan
farmasi,alat kesehatan dan makanan , subsistem manajemen, informasi dan regulasi
kesehatan, subsistem pemberdayaan masyarakat.

Dampak krisis ekonomi di Indonesia sampai saat ini meluas ke seluruh bidang
kehidupan, termasuk bidang pelayanan kesehatan. Dilema yang dihadapi pelayanan
kesehatan, disatu pihak pelayanan kesehatan harus menjalankan misi sosial, yakni
merawat dan menolong yang sedang menderita tanpa memandang sosial, ekonomi,
agama dan sebagainya. Namun dipihak lain pelayanan kesehatan harus bertahan secara
ekonomi dalam menghadapi badai krisis tersebut. Oleh sebab itu pelayanan kesehatan
harus melakukan reformasi, reorientasi dan revitalisasi. Reformasi kebijakan
pembangunan kesehatan telah selesai dilakukan sebagaimana telah tertuang dalam Visi,
Misi, Strategi dan Paradigma baru pembangunan kesehatan yang populer dengan sebutan
Indonesia Sehat. Reformasi Sistem Kesehatan Nasional (SKN) telah memberi arah baru
pembangunan kesehatan di Indonesia. (setyawan, 2015)

Kebijakan pembiayaan kesehatan yang mengutamakan pemerataan serta berpihak


kepada masyarakat miskin (equitable and pro poor health policy) akan mendorong
tercapainya akses yang universal. Pada aspek yang lebih luas diyakini bahwa pembiayaan
kesehatan mempunyai kontribusi pada perkembangan sosial dan ekonomi. Pelayanan
kesehatan itu sendiri pada akhir-akhir ini menjadi amat mahal baik pada negara maju
maupun pada negara berkembang. Penggunaan yang berlebihan dari pelayanan kesehatan
dengan teknologi tinggi adalah salah satu penyebab utamanya. (Endra, Febri. 2018) .

Untuk meningkatkan derajat kesehatan suatu masyarakat menurut World Health


Organization (WHO) diperlukan anggaran minimal 5% – 6% dari total APBN suatu
negara, sedangkan untuk mencapai derajat kesehatan yang ideal diperlukan anggaran
15% - 20% dari APBN. Anggaran yang cukup besar tersebut memang diperlukan karena
biaya kesehatan yang cukup tinggi sedangkan kesehatan tetap harus menjadi prioritas
karena merupakan investasi guna meningkatkan derat kesehatan dan produktivitas
warganya.

Biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu berdasarkan Penyedia Pelayanan
Kesehatan (Health Provider), adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
menyelenggarakan upaya kesehatan, biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan
adalah persoalan utama pemerintah ataupun pihak swasta, yakni pihak-pihak yang akan
menyelenggarakan upaya kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan kesehatan
lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi (investment cost) serta seluruh biaya
operasional (operational cost).

B. TUJUAN
Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah

1. Untuk mengetahui pengertian sistem pembiayaan kesehatan


2. Untuk mengetahui tujuan sistem pembiayaan kesehatan
3. Untuk mengetahui strategi pembiayaan kesehatan
4. Untuk mengetahui prinsip pembiayaan kesehatan
5. Untuk mengetahui sumber pembiayaan kesehatan
6. Untuk mengetahui model pembiayaan kesehatan
7. Untuk mengetahui macam – macam pembiayaan kesehatan
8. Untuk mengetahui fungsi pembiayaan kesehatan
9. Untuk mengetahui masalah pokok pembiayaan kesehatan
10. Untuk mengetahui asuransi kesehatan
11. Untuk mengetahui UHC
12. Untuk mengetahui situasi dan kondisi sistem pembiayaan kesehatan di Indonesia
13. Untuk mengetahui malpraktik (maladministrasi ) dalam sistem pembiayaan
kesehatan
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. PENGERTIAN PEMBIAYAAN KESEHATAN


Biaya kesehatan adalah besarnya dan alokasi dana yang harus disediakan untuk
dimanfaatkan dalam upaya kesehatan sesuai dengan kebutuhan perorangan, kelompok
dan masyarakat kesehatan nasional. Pembiayaan kesehatan adalah penataan sumber daya
keuangan yang mengatur penggalia, pengalokasian dan membelanjakan biaya kesehatan
dengan prinsip efisiensim efektif, ekonomis, adil, transparan akuntabel dan berkelanjutan
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Subsistem pembiayaan kesehatan merupakan salah satu bidang ilmu dari ekonomi
kesehatan (health economy). yang dimaksud dengan pembiayaan kesehatan adalah dana
yang harus disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya
kesehatan yang diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyararakat.
Pembiayaan kesehatan yang dialokasikan untuk kesehatan dikatakan baik apabila dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan, jumlahnya mencukupi
dan dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya sehingga tidak terjadi pembengkakan
biaya yang berlebihan.

Berdasarkan pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu
berdasarkan:

1. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider) adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat pengertian
ini bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama
pemerintah dan ataupun pihak swasta, yakni pihak- pihak yang akan
menyelenggarakan upaya kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanan
kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya investasi (investment cost) serta
seluruh biaya operasional (operational cost).
2. Pemakai Jasa Pelayanan (Health consumer) adalah besarnya dana yang harus
disediakan untuk dapat memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan
menjadi persoalan utama para pemakai jasa pelayanan, namun dalam batas-batas
tertentu pemerintah juga turut serta, yakni dalam rangka
terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang
membutuhkannya. Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada
jumlah uang yang harus dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu
upaya kesehatan. Besarnya dana bagi penyedia pelayanagan lebih menunjuk pada
seluruh biaya investasi (investement cost) serta seluruh biaya operasional (operational
cost) yang harus disediakan untuk menyelenggarakan kesehatan.

Berdasarkan pembagian layanan kesehatan, pembiayaan kesehatan dapat dibedakan


atas :

1. Biaya pelayanan kedokteran yaitu biaya yang dimanfaatkan dalam upaya untuk
menyelenggarakan dan atau menggunakan pelayanan kedokteran dengan harapan
untuk mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan penderita.
2. Biaya layanan kesehatan masyarakat, yaitu biaya yang dibutuhkan dalam upaya
utnuk menyelenggaraka dan atau mengggunakan layanan kesehatan masyarakat
dengan tujuan utamanya adalah untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan serta
untuk mencegah penyakit.
B. TUJUAN SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN
Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan berkesinambungan memegang peranan yang
amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai
tujuan penting dari pembangunan kesehatan di suatu negara diantaranya adalah pemerataan
pelayanan kesehatan dan akses (equitable access to health care) dan pelayanan yang
berkualitas (assured quality).sebuah sistem pembiayaan pelayanan kesehatan haruslah
bertujuan untuk :

1. Risk Spreading

Pembiayaan kesehatan harus mampu meratakan besaran resiko biaya sepanjang waktu
sehingga besaran tersebut dapat terjangkau oleh setiap rumah tangga. Artinya sebuah
sistem pembiayaan harus mampu memprediksikan resiko kesakitan individu dan
besarnya pembiayaan dalam jangka waktu tertentu (misalnya satu tahun). Kemudian
besaran tersebut diratakan atau disebarkan dalam tiap bulan sehingga menjadi premi
(iuran, tabungan) bulanan yang harus dibayarkan oleh pemakai jasa kesehatan.

2. Risk pooling

beberapa jenis pelayanan kesehatan (meskipun resiko rendah dan tidak merata) dapat
sangat mahal misalnya hemodialisis, operasi spesialis (jantung koroner) yang tidak
dapat ditanggung oleh tabungan individu (risk spreading). Sistem pembiayaan harus
mampu menghitung dengan mengakumulasikan resiko suatu kesakitan dengan biaya
yang mahal antar individu dalam suatu komunitas sehingga kelompok masyarakat dengan
tingkat kebutuhan rendah (tidak terjangkit sakit, tidak membutuhkan pelayanan
kesehatan) dapat mensubsidi kelompok masyarakat yang membutuhkan pelayanan
kesehatan. Secara sederhana, suatu sistem pembiayaan akan menghitung resiko
terjadinya masalah kesehatan dengan biaya mahal dalam satu komunitas, dan
menghitung besaran biaya tersebut kemudian membaginya kepada setiap individu
anggota komunitas. Sehingga sesuai dengan prinsip solidaritas, besaran biaya pelayanan
kesehatan yang mahal tidak ditanggung dari tabungan individu tapi ditanggung bersama
oleh masyarakat.

3. Connection between ill-health and poverty


karena adanya keterkaitan antara kemiskinan dan kesehatan, suatu sistem pembiayaan
juga harus mampu memastikan bahwa orang miskin juga mampu pelayanan kesehatan
yang layak sesuai standar dan kebutuhan sehingga tidak harus mengeluarkan
pembiayaan yang besarnya tidak proporsional dengan pendapatan. Pada umumnya di
negara miskin dan berkembang hal ini sering terjadi. Orang miskin harus membayar
biaya pelayanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh penghasilan mereka dan juga
memperoleh pelayanan kesehatan di bawah standar. (Endra Budi Setyawan, 2017)
4. Fundamental importance of health
kesehatan merupakan kebutuhan dasar dimana individu tidak dapat menikmati
kehidupan tanpa status kesehatan yang baik.

C. STRATEGI PEMBIAYAAN KESEHATAN


Organisasi kesehatan dunia (WHO) sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan
yang memuat isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada
umumnya adalah dalam area sebagai berikut:

1. Meningkatkan investasi dan pembelanjaan publik dalam bidang kesehatan


2. Mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan penguatan permeliharaan
kesehatan masyarakat miskin
3. Pengembangan skema pembiayaan praupaya termasuk didalamnya asuransi
kesehatan sosial
4. Penggalian dukungan nasional dan internasional
5. Penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional
6. Pengembangan kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada data dan
fakta ilmiah
7. Pemantauan dan evaluasi

Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada beberapa


hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi
pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding), menghilangkan
hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses
pelayanan, peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta
kualitas pelayanan yang memadai dan dapat diterima pengguna jasa.

D. PRINSIP PEMBIAYAAN KESEHATAN


Terdapat 3 unsur pembiayaan pelayanan kesehatan yaitu :

1. Pengumpulan dana (collecting fund)


Pengumpulan dana kesehatan dilakukan untuk membiayai kebutuhan bagi skema
pembiayaan, contohnya pengumpulan dana dari masyarakat, perorangan atau pun
perusahaan
2. Pembayaran dana kesehatan (payment)
Pembayaran dana kesehatan untuk mendapatkan suatu pelayanan kesehatan.
3. Pengelolaan dana kesehatan (managing the flow)
Pengelolaan dana kesehatan dilakukan dengan menggunakan prinsip manajemen
dengan tujuan agar dana tercukupi sesuai kebutuhan untuk pelayanan kesehatan

E. SUMBER BIAYA KESEHATAN


Dokumen normatif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sumber
pembiayaan utama berikut untuk layanan medis(Savastieieva et al., 2022) :

1. Dana Wajib Pajak (Pembiayaan Anggaran)


2. Asuransi Kesehatan Sukarela Penduduk
3. Program Asuransi Sukarela Pengusaha (Swasta Pengeluaran Sektor)
4. Dana Dari Donor Atau Organisasi Non-Pemerintah;
5. pengeluaran langsung individu atau rumah tangga

Sumber biaya kesehatan tidaklah sama antara satu negara dengan negara lain. Secara umum
sumber biaya kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Bersumber dari anggaran pemerintah
Pada sistem ini, biaya dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan sepenuhnya
ditanggung oleh pemerintah. Pelayanannya diberikan secara cuma-cuma oleh
pemerintah sehingga sangat jarang penyelenggaraan pelayanan kesehatan disediakan
oleh pihak swasta. Untuk negara yang kondisi keuangannya belum baik, sistem ini
sulit dilaksanakan karena memerlukan dana yang sangat besar. Contohnya dana dari
pemerintah pusat dan provinsi.
2. Bersumber dari anggaran masyarakat
Dapat berasal dari individual ataupun perusahaan. Sistem ini mengharapkan agar
masyarakat (swasta) berperan aktif secara mandiri dalam penyelenggaraan maupun
pemanfaatannya. Hal ini memberikan dampak adanya pelayanan-pelayanan kesehatan
yang dilakukan oleh pihak swasta, dengan fasilitas dan penggunaan alat-alat
berteknologi tinggi disertai peningkatan biaya pemanfaatan atau penggunaannya oleh
pihak pemakai jasa layanan kesehatan tersebut. Contohnya CSR atau Corporate
Social Reponsibility) dan pengeluaran rumah tangga baik yang dibayarkan tunai atau
melalui sistem asuransi.
3. Bantuan biaya dari dalam dan luar negeri
Sumber pembiayaan kesehatan, khususnya untuk penatalaksanaan penyakit-penyakit
tertentu cukup sering diperoleh dari bantuan biaya pihak lain, misalnya oleh
organisasi sosial ataupun pemerintah negara lain. Misalnya bantuan dana dari luar
negeri untuk penanganan HIV dan virus H5N1 yang diberikan oleh WHO kepada
negara-negara berkembang.
4. Gabungan anggaran pemerintah dan masyarakat
Sistem ini banyak diadopsi oleh negara-negara di dunia karena dapat mengakomodasi
kelemahan-kelemahan yang timbul pada sumber pembiayaan kesehatan sebelumnya.
Tingginya biaya kesehatan yang dibutuhkan ditanggung sebagian oleh pemerintah
dengan menyediakan layanan kesehatan bersubsidi. Sistem ini juga menuntut peran
serta masyarakat dalam memenuhi biaya kesehatan yang dibutuhkan dengan
mengeluarkan biaya tambahan.
Dengan ikut sertanya masyarakat menyelenggarakan pelayanan kesehatan, maka
ditemukan pelayanan kesehatan swasta. Selanjutnya dengan diikutsertakannya
masyarakat membiayai pemanfaatan pelayanan kesehatan, maka pelayanan kesehatan
tidaklah cuma-cuma. Masyarakat diharuskan membayar pelayanan kesehatan yang
dimanfaatkannya. Sekalipun pada saat ini makin banyak saja negara yang
mengikutsertakan masyarakat dalam pembiayaan kesehatan, namun tidak ditemukan
satu negara pun yang pemerintah sepenuhnya tidak ikut serta. Pada negara yang
peranan swastanya sangat dominan pun peranan pemerintah tetap ditemukan. Paling
tidak dalam membiayai upaya kesehatan masyarakat, dan ataupun membiayai
pelayanan kedokteran yang menyangkut kepentingan masyarakat yang kurang
mampu.

F. MODEL PEMBIAYAAN KESEHATAN

1. Direct Payments by Patients


Ciri utama model direct payment adalah setiap individu menanggung secara langsung
besaran biaya pelayanan kesehatan sesuai dengan tingkat penggunaannya. Pada
umumnya sistem ini akan mendorong penggunaan pelayanan kesehatan secara lebih
hati-hati, serta adanya kompetisi antara para provider pelayanan kesehatan untuk
menarik konsumen atau freemarket. Meskipun tampaknya sehat, namun transaksi
kesehatan pada umumnya bersifat tidak seimbang dimana pasien sebagai konsumen
tidak mampu mengenali permasalahan dan kebutuhannya, sehingga tingkat kebutuhan
dan penggunaan jasa lebih banyak diarahkan oleh provider. Sehingga free market
dalam pelayanan kesehatan tidak selalu berakhir dengan peningkatan mutu dan
efisiensi namun dapat mengarah pada penggunaan terapi yang berlebihan.
2. User payments
Dalam model ini, pasien membayar secara langsung biaya pelayanan kesehatan baik
pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta. Perbedaannya dengan model
informal adalah besaran dan mekanisme pembayaran, juga kelompok yang menjadi
pengecualian telah diatur secara formal oleh pemerintah dan provider. Bentuk yang
paling kompleks adalah besaran biaya yang bebeda setiap kunjungan sesuai dengan
jasa pelayanan kesehatan yang diberikan (biasanya terjadi untuk fasilitas pelayanan
kesehatan swasta). Namun model yang umum digunakan adalah ’flat rate’, dimana
besaran biaya per-episode sakit bersifat tetap.
3. Saving based
Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada individu namun tidak terjadi
risk pooling antar individu. Artinya biaya kesehatan langsung, akanditanggung oleh
individu sesuai dengan tingkat penggunaannya, namun individu tersebut mendapatkan
bantuan dalam mengelola pengumpulan dana (saving) dan penggunaannya bilamana
membutuhkan pelayanan kesehatan. Biasanya model ini hanya mampu mencakup
pelayanan kesehatan primer dan akut, bukan pelayanan kesehatan yang bersifat kronis
dan kompleks yang biasanya tidak bisa ditanggung oleh setiap individu meskipun
dengan mekanisme saving. Sehingga model ini tidak dapat dijadikan model dana
tunggal pada suatu negara, harus didukung model lain yang menanggung biaya
kesehatan lain dan pada kelompok yang lebih luas.
4. Informal
Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang dilakukan oleh individu pada
provider kesehatan formal misalnya dokter, bidan tetapi juga pada providerkesehatan
lain misalnya: mantri, dan pengobatan tradisional; tidak dilakukan secara formal atau
tidak diatur besaran, jenis dan mekanisme pembayarannya. Besaran biaya biasanya
timbul dari kesepakatan atau banyak diatur oleh provider dan juga dapat berupa
pembayaran dengan barang. Model ini biasanya muncul pada negara berkembang
dimana belum mempunyai sistem pelayanan kesehatan dan pembiayaan yang mampu
mencakup semua golongan masyarakat dan jenis pelayanan.
5. Insurance Based
Sistem pembiayaan dengan pendekatan asuransi mempunyai perbedaan utama dimana
individu tidak menanggung biaya langsung pelayanan kesehatan. Konsep asuransi
memiliki dua karakteristik khusus yaitu pengalihan resiko kesakitan pada satu
individu pada satu kelompok serta adanya sharing looses secara adil. Secara
sederhana dapat digambarkan bahwa satu kelompok individu mempunyai resiko
kesakitan yang telah diperhitungkan jenis, frekuensi dan besaran biayanya.
Keseluruhan besaran resiko tersebut diperhitungkan dan dibagi antar anggota
kelompok sebagai premi yang harus dibayarkan. Apabila anggota kelompok, maka
keseluruhan biaya pelayanan kesehatan sesuai yang diperhitungkan akan ditanggung
dari dana yang telah dikumpulkan bersama. Besaran premi dan jenis pelayanan yang
ditanggung serta mekanime pembayaran ditentukan oleh organisasi pengelola dana
asuransi.
G. MACAM – MACAM BIAYA KESEHATAN
Biaya kesehatan banyak macamnya karena semuanya tergantung dari jenis dan
kompleksitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan atau dimanfaatkan. Hanya
saja disesuaikan dengan pembagian pelayanan kesehatan, maka biaya kesehatan tersebut
secara umum dapat dibedakan atas 2 macam, yaitu :

1. Biaya pelayanan Kedokteran


Biaya yang dimaksud disini adalah biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan
dan atau memanfaatlan pelayanan kedokteran, yakni yang tujuan utamanya untuk
mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan penderita.
2. Biaya pelayanan kesehatan masyarakat
Biaya yang dimaksudkan adalah biaya yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan dan
aatau memanfaatkan pelayanan kesehatan masyarakat yakni yang tujuan utaanya
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta untuk mencegah penyakit.
Sama halnya dengan biaya kesehatan secara keseluruhan, maka masing- masing biaya
kesehatan ini dapat pula ditinjau dari dua sudut yakni dari sudut penyelenggara
(health provider) dan dari sudut pemakai jasa pelayanan kesehatan (health provider).

H. FUNGSI PEMBIAYAAN KESEHATAN


1. Penggalian dana
a. Penggalian dana untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM). Sumber dana untuk
UKM terutama berasal dari pemerintah baik pusat maupun daerah, melalui pajak
umum, pajak khusus, bantuan dan pinjaman serta berbagai sumber lainnya.
Sumber dana lain untuk upaya kesehatan masyarakat adalah swasta serta
masyarakat. Sumber dari swasta dihimpun dengan menerapkan prinsip public-
private patnership yang didukung dengan pemberian insentif, misalnya keringanan
pajak untuk setiap dana yang disumbangkan. Sumber dana dari masyarakat
dihimpun secara aktif oleh masyarakat sendiri guna membiayai upaya kesehatan
masyarakat, misalnya dalam bentuk dana sehat atau dilakukan secara pasif yakni
menambahkan aspek kesehatan dalam rencana pengeluaran dari dana yang sudah
terkumpul di masyarakat, contohnya dana sosial keagamaan.
b. Penggalian dana untuk Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) berasal dari masing-
masing individu dalam satu kesatuan keluarga. Bagi masyarakat rentan dan
keluarga miskin, sumber dananya berasal dari pemerintah melalui mekanisme
jaminan pemeliharaan kesehatan wajib.
2. Pengalokasian dana
a. Alokasi dana dari pemerintah yakni alokasi dana yang berasal dari pemerintah
untuk UKM dan UKP dilakukan melalui penyusunan anggaran pendapatan dan
belanja baik pusat maupun daerah sekurang-kurangnya 5% dari PDB atau 15%
dari total anggaran pendapatan dan belanja setiap tahunnya.

b. Alokasi dana dari masyarakat yakni alokasi dana dari masyarakat untuk UKM
dilaksanakan berdasarkan asas gotong royong sesuai dengan kemampuan.
Sedangkan untuk UKP dilakukan melalui kepesertaan dalam program jaminan
pemeliharaan kesehatan wajib dan atau sukarela.
3. Pembelanjaan
a. Pembiayaan kesehatan dari pemerintah dan public-private patnership digunakan
untuk membiayai UKM.
b. Pembiayaan kesehatan yang terkumpul dari Dana Sehat dan Dana Sosial
Keagamaan digunakan untuk membiayai UKM dan UKP.
c. Pembelajaan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat rentan dan kesehatan
keluarga miskin dilaksanakan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan wajib.
I. FAKTOR PEMBIAYAAN KESEHATAN

Faktor pembiayaan kesehatan mencakup beberapa askep , yaitu :


1. Kecukupan (adequacy ) dan keberlanjutan pembiayaan kesehatan baik pada tingkat
pusat maupun kabupaten yang dilakukan dala langkah mobilisasi sumber-sumber
pembiayaan, kesinambungan fiscal space dalam anggaran kesehatan nasional serta
peningkatan kolaborasi inter sektoral untuk mendukung pembiayaan kesehatan.
2. Pengurangan biaya out of pocket dan meminimalisir hambatan pembiayaan untuk
memperoleh layanan kesehatan terutama masyarakat yang tidak mampu dan rentan
yang dilakukan melalui promosi pemerataan akses dan pemerataan pembiayaan serta
utilisasi pelayanan, pencapaian universal coverage, penguatan jaminan kesehatan
masyarakat miskin dan rentan.
3. Peningkatan efektivitas dan efisiensi pembiayaan kesehatan yang dilakukan melalui
kesesuaian tujuan kesehatan nasional dengan reformasi pembiayaan yang
diterjemahkan dalam instrumen anggaran operasional dan rencana pembiayaan serta
penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran, pemberi pelayanan kesehatan
serta pengembangan best practice.
J. MASALAH POKOK PEMBIAYAAN KESEHATAN
Adapun berbagai masalah tersebut jika ditinjau dari sudut pembiayaan kesehatan secara
sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kurangnya dana yang tersedia
Di banyak negara, terutama di negara yang sedang berkembang, dana yang disediakan
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan tidaklah memadai. Rendahnya alokasi
anggaran ini berkaitan dengan masih kurangnya kesadaran mengambil keputusan
akan pentingnya arti kesehatan. Kebanyakan dari pengambilan keputusan
menganggap pelayanan kesehatan tidak bersifat produktif melainkan bersifat
konsumtif dan karena itu kurang diprioritaskan.
2. Penyebaran dana yang tidak sesuai
Masalah lain yang dihadapi ialah penyebaran dana tidak sesuai, karena kebanyakan
justru beredar di daerah perkotaan. Padahal jika ditinjau dari penyebaran penduduk,
terutama di negara yang berkembang, kebanyakan tempat tinggal di daerah pedesaan.

3. Pemanfaatan dana yang tidak tepat


Pemanfaatan dana yang tidak tepat juga merupakan satu masalah yang dihadapi dalam
pembiayaan kesehatan ini. Mengejutkan bahwa di banyak negara ternyata
biayapelayanan kedokteran jauh lebih tinggi daripada biaya pelayanan kesehatan
masyarakat. Padahal semua pihak telah mengetahui bahwa pelayanan kedokteran
dipandang kurang efektif daripada pelayanan kesehatan masyarakat.
4. Pengelolaan dana yang kurang sempurna
Seandainya dana yang tersedia amat terbatas, penyebaran dan pemanfaatannya belum
begitu sempurna, namun jika apa yang dimiliki tersebut dapat dikelola dengan baik
dalam batas-batas tertentu, tujuan dari pelayanan kesehatan masih dapat
dicapai.Sayangnya, kehendak yang seperti ini sulit diwujudkan. Penyebab utamanya
ialah karena pengelolaannya belum sempurna, yang terkait tidak hanya dengan
pengetahuan dan ketrampilan yang masih terbatas, tetapi juga ada kaitannya dengan
sikap mental para pengelola.
5. Biaya kesehatan yang makin meningkat
Masalah lain yang dihadapi oleh pembiayaan kesehatan ialah makin meningkatnya
biaya pelayanan kesehatan itu sendiri. Tingginya biaya kesehatan disebabkan oleh
beberapa hal, beberapa yang terpenting diantaranya sebagai berikut:
a. Tingkat inflasi
Apabila terjadi kenaikan harga di masyarakat, maka secara otomatis biaya
investasi dan juga biaya operasional pelayanan kesehatan akan meningkat pula,
yang tentu saja akan dibebankan kepada pengguna jasa.
b. Tingkat permintaan
Pada bidang kesehatan, tingkat permintaan dipengaruhi sedikitnya oleh dua faktor,
yaitu meningkatnya kuantitas penduduk yang memerlukan pelayanan kesehatan,
yang karena jumlahnya lebih atau bertambah banyak, maka biaya yang harus
disediakan meningkat pula. Faktor kedua adalah meningkatnya kualitas penduduk.
Dengan tingkat pendidikan dan penghasilan yang lebih baik, mereka akan
menuntut penyediaan layanan kesehatan yang baik pula dan hal ini membutuhkan
biaya pelayanan kesehatan yang lebih baik dan lebih besar.
c. Kemajuan ilmu dan teknologi Sejalan
dengan adanya kemajuan ilmu dan teknologi dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan (penggunaan peralatan kedokteran yang modern dan canggih)
memberikan konsekuensi tersendiri, yaitu tingginya biaya yang harus dikeluarkan
dalam berinvestasi. Hal ini membawa akibat dibebankannya biaya investasi dan
operasional tersebut pada pemakai jasa pelayanan kesehatan.
d. Perubahan Pola Penyakit
Meningkatnya biaya kesehatan juga dipengaruhi adanya perubahan pola penyakit,
yang bergeser dari penyakit yang sifatnya akut menjadi penyakit yang bersifat
kronis. Dibandingkan dengan berbagai penyakit akut, perawatan berbagai
penyakit kronis ternyata lebih lama. Akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk
perawatan dan penyembuhan penyakit ini akan lebih besar. Hal ini akan sangat
mempengaruhi tingginya biaya kesehatan.
e. Perubahan pola pelayanan kesehatan
Perubahan pola pelayanan kesehatan ini terjadi akibat perkembangan keilmuan
dalam bidang kedokteran sehingga terbentuk spesialisasi dan subspesialisasi yang
menyebabkan pelayanan kesehatan menjadi terkotak-kotak (fragmented health
service) dan satu sama lain seolah tidak berhubungan. Akibatnya sering terjadi
tumpang tindih atau pengulangan metoda pemeriksaan yang sama dan pemberian
obat-obatan yang dilakukan pada seorang pasien, yang tentu berdampak pada
semakin meningkatnya beban biaya yang harus ditanggung oleh pasien selaku
pengguna jasa layanan kesehatan ini. Selain itu, dengan adanya pembagian
spesialisasi dan subspesialisasi tenaga pelayanan kesehatan, menyebabkan hari
perawatan juga akan meningkat.
f. Perubahan Pola Hubungan Dokter-Pasien
Sistem kekeluargaan yang dulu mendasari hubungan dokter-pasien seakan sirna.
Dengan adanya perkembangan spesialisasi dan subspesialisasi serta penggunaan
berbagai peralatan yang ditunjang dengan kemajuan ilmu dan teknologi,
mengakibatkan meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien, hal ini
tentu saja membuat pasien menuntut adanya kepastian pengobatan dan
penyembuhan dari penyakitnya. Hal ini diperberat dengan semakin tingginya
tingkat pendidikan pasien selaku pengguna jasa layanan kesehatan, yang
mendorong semakin kritisnya pemikiran dan pengetahuan mereka tentang masalah
kesehatan. Hal tersebut diatas mendorong para dokter sering melakukan
pemeriksaan yang berlebihan (over utilization), demi kepastian akan tindakan
mereka dalam melakukan pengobatan dan perawatan, dan juga dengan tujuan
mengurangi kemungkinan kesalahan yang dilakukan dalam mendiagnosa penyakit
yang diderita pasiennya. Konsekuensi yang terjadi adalah semakin tingginya biaya
yang dibutuhkan oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
g. Lemahnya mekanisme pengendalian biaya
Kurangnya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan untuk mengatur dan
membatasi pemakaian biaya pelayanan kesehatan menyebabkan pemakaiannya
sering tidak terkendali, yang akhirnya akan membebani penanggung (perusahaan)
dan masyarakat secara keseluruhan.
h. Penyalahgunaan asuransi kesehatan
Asuransi kesehatan (health insurance) sebenamya merupakan salah satu
mekanisme pengendalian biaya kesehatan, sesuai dengan anjuran yang diterapkan
oleh pemerintah. Tetapi jika diterapkan secara tidak tepat sebagaimana yang lazim
ditemukan pada bentuk yang konvensional (third party sistem) dengan sistem
mengganti biaya (reimbursement) justru akan mendorong naiknya biaya
kesehatan.
K. ASURANSI KESEHATAN
Asuransi adalah memastikan seseorang yang menderita sakit akan mendapatkan
pelayanan yang dibutuhkannya tanpaharus mempertimbangkan keadaan ekonominya.
Ada pihak yang menjamin atau menanggung biaya pengobatan atau perawatannya. Pihak
yang menjaminini dalam bahasa Inggris disebut insurer atau dalam UU Asuransi disebut
asuradur. Asuransi merupakan jawaban atas sifat ketidak-pastian (uncertain) dari kejadian
sakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan. Untuk memastikan bahwa kebutuhan
pelayanan kesehatan dapat dibiayai secara memadai, maka seseorang ataukelompok
kecil orang
melakukan transfer risiko kepada pihak lain yang disebut insurer/asuradur, ataupun
badan penyelenggara jaminan.
Menurut pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), asuransi
mempunyai pengertian sebagai berikut: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu
persetujuan dimana penanggung kerugian diri kepada tertanggung, dengan mendapat
premi untuk mengganti kerugian karena kehilangan kerugian atau tidak diperolehnya
suatu keuntungan yang diharapkan, yang dapat diderita karena peristiwa yang tidak
diketahui lebih dahulu.
Dalam dunia asuransi ada 6 (enam) macam prinsip dasar yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Insurable interest
Hak untuk mengasuransikan, yang timbul dari suatu hubungan keuangan, antara
tertanggung dengan yang diasuransikan dan diakui secara hukum.
2. Utmost good faith
Suatu tindakan untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap, semua fakta yang
material (material fact) mengenai sesuatu yang akan diasuransikan baik diminta
maupun tidak. Artinya adalah: penanggung harus dengan jujur menerangkan dengan
jelas segala sesuatu tentang luasnya syarat atau kondisi dari asuransi dan tertanggung
juga harus memberikan keterangan yang jelas dan benar atas obyekatau kepentingan
yangdipertanggungkan
3. Proximate cause
Suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan rantaian kejadian yangmenimbulkan
suatu akibat tanpa adanya intervensi suatu yang mulai dan secara aktif dari sumber
yang baru dan independen.
4. Indemnity
Suatu mekanisme dimana penanggung menyediakan kompensasi finansial dalam
upayanya menempatkan tertanggung dalamposisi keuangan yang ia miliki sesaat
sebelum terjadinya kerugian (KUHD pasal 252,253 dan dipertegas dalam pasal 278).
5. Subrogation
Pengalihan haktuntut dari tertanggung kepada penanggung setelah klaim dibayar.
6. Contribution
Adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya yang sama-sama
menanggung, tetapi tidak harus sama kewajibannya terhadap tertanggung untuk ikut
memberikan indemnity.
Pada umumnya model asuransi mendorong munculnya apa yang disebut sebagai moral
hazard:
a. Pada sisi tertanggung (pasien): adanya kecenderungan untuk memaksimalkan
pelayanan kesehatan karena semua biaya akan ditanggung asuransi, dan
kecenderunganuntuk tidak melakukan tindakan preventif
b. Pada sisi provider: mempunyai kecenderungan untuk memberikan terapi secara
berlebihan untuk memaksimalkan pendapatan. Sehingga beberapa skema asuransi
diatur sedemikian rupa untuk mengurangi terjadinya moral hazard, misalnya
dengan mengatur batasan paket pelayanan, mengatur besarankontribusi sesuai
dengan tingkat resiko tertanggung.
K. UHC
Pengertian UHC yang telah disepakati secara global melalui WHO, Universal Health
Coverage atau Cakupan Kesehatan Semesta adalah seluruh masyarakat memiliki akses
ke pelayanan kesehatan yang mereka butuhkan, kapan saja dan dimana saja mereka
membutuhkannya tanpa kesulitan finansial.Universal coverage dapat diartikan sebagai
“kepesertaan menyeluruh”, dalam arti semua penduduk dicakup menjadi peserta
jaminan kesehatan. Dengan menjadi peserta jaminan kesehatan, diharapkan memiliki
akses terhadap pelayanan kesehatan. UHC juga diharapkan masyarakat mempunyai
akses dalam memperoleh kesehatan,UHC juga berarti bahwa proporsi biaya yang
dikeluarkan secara langsung oleh masyarakar (out of pocket payment) makin kecil
sehingga tidak mengganggu keuangan peserta (financial catastrophic) yang
menyebabkan peserta menjadi miskin. WHO (2010) merumuskan 3 indikator dalam
pencapaian universal coverage, yaitu :
1. Seberapa besar presentase penduduk yang dijamin
2. Seberapa lenhkap pelayanan yang dijamin
3. Seberapa besar proporsi biaya langsung yang masih ditanggung oleh penduduk
(huraerah, 2019).
Sistem pembiayaan kesehatan sangat bervariasi di tiap negara, tergantung pada
pemerintah tiap negara dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan asuransi
kesehatan. Sistem pembiayaan kesehatan tiap negara ini berbeda karena adanya
perbedaan karakteristik penduduk, pemasukan negara, ekonomi dan geografis. Oleh
karena itu, penting bagi Indoneisa belajar dari pengalaman beberapa negara dalam
upaya mencapai pembiayaan kesehatan yakni tercapainya “Universal Health
Coverage”.
BAB III

SITUASI DAN KONDISI NYATA

Bab ini menjelaskan situasi pembiayaan kesehatan Indonesia sejak desentralisasi pada
tahun 2001 sampai dengan pelaksanaan kesehatan nasional polis asuransi (Skema Jaminan
Kesehatan Nasional) pada Januari 2014. Dimulai dengan situasi pembiyaan kesehatan
Indonesia menggunakan perspektif national health accounts, kemuadian pendanaan
kesehatan oleh pemerintah dan individu (out of pocket payments).

Indonesia menghadapi tantangan peningkatan pengeluaran kesehatan di nasional


sebesar 222% selama delapan tahun terakhir Namun, proporsi pengeluaran kesehatan
terhadap PDB tetap di bawah rata-rata di antara negara berpenghasilan rendah hingga
menengah, menyumbang 2,8% dari PDB pada tahun 2014 menurut database WHO (WHO,
2017) atau 3,6% berdasarkan NHA 2014.

Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya kontribusi pemerintah terhadap kesehatan
pembiayaan, dengan porsi publik hanya 37,8% dari total pengeluaran kesehatan, sedangkan
swasta, terutama pembayaran Out Of Pocket (OOP) , berkontribusi 62,2%. Lebih tinggi
Pengeluaran OOP telah mengakibatkan peningkatan risiko bencana kesehatan pengeluaran
untuk rumah tangga. Namun, sejak tahun 2004, anggaran pemerintah untuk kesehatan
meningkat secara signifikan. Peningkatan anggaran kesehatan ini adalah hasil dari pergeseran
kebijakan pembiayaan kesehatan pemerintah untuk lebih focus pada pengurangan risiko
keuangan pengeluaran perawatan kesehatan, terutama untuk rakyat kurang mampu.
Peningkatan anggaran ini juga diamanatkan oleh Undang-Undang Kesehatan (UU
Kesehatan), yang mengatur bahwa alokasi anggaran pemerintah (secara nasional) minimal
5% dari total anggaran pemerintah pusat (APBN); sedangkan untuk APBD alokasinya untuk
kesehatan harus sebesar setidaknya 10%. Berdasarkan persyaratan hukum itu, pemerintah
akan meningkatkan alokasi anggaran untuk pelayanan kesehatan secara nasional sebesar 5%
dari total pemerintah anggaran pada tahun 2016, jumlah yang diperkirakan menjadi 109
triliun Rupiah.
Menyusul penggabungan sejumlah skema pendanaan yang ada, program jaminan
kesehatan nasional (Jaminan Kesehatan Nasional) JKN) dimulai pada Januari 2014, dengan
kontribusi dari anggota dan pemerintah yang tergabung dalam satu implementasi asuransi
kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS Kesehatan). Pengenalan JKN terutama
bertanggung jawab atas peningkatan belanja pemerintah yang berkelanjutan sejak 2014.

Perluasan cakupan secara progresif direncanakan dengan tujuan universal.jaminan


kesehatan pada tahun 2019 dengan paket manfaat yang komprehensif dan biaya pengguna
minimal atau pembayaran bersama. Pembayaran ke penyedia perawatan primer adalah
melalui kapitasi, dan ke penyedia rumah sakit. Gaji pegawai negeri tetap dicakup melalui
alokasi anggaran. Namun alokasi anggaran untuk JKN banyak digunakan untuk pelayanan
kuratif dan kesehatan infrastruktur yang mendukung perawatan medis. Alokasi untuk
kesehatan masyarakat dan pencegahan tetap relatif rendah dibandingkan dengan alokasi yang
lebih tinggi untuk pelayanan kuratif.

Tantangan tetap dalam proporsi pengeluaran OOP yang tinggi, sistem yang kompleks
dari saluran pendanaan dan pembayaran dari nasional ke tingkat subnasional, memperluas
cakupan untuk memasukkan sektor informal, dan memastikan perbaikan dalam penyediaan
layanan untuk memungkinkan pemerataan akses layanan di seluruh wilayah Indonesia.

A. PENGELUARAN KESEHATAN (HEALTH EXPENDITURE)

Perkiraan historis pengeluaran kesehatan nasional di Indonesia telah mengalami


kesalahan dan inkonsistensi yang cukup besar di masa lalu, karena kurangnya pendekatan
sistematis untuk melacak pengeluaran secara komprehensif dan konsisten, ditambah sifat
fragmentaris dari data pengeluaran di masyarakat sektor. Namun, sejak 2007 upaya
bersama oleh Kemenkes dan Universitas Indonesia telah mengembangkan serangkaian
akun kesehatan nasional berbasis pada Sistem Rekening Kesehatan (SHA 1.0)
(Kemenkes, 2008) yang diusulkan oleh OECD (OECD, 2000). Revisi perkiraan ini
dengan menggunakan data baru dan metode menghasilkan perubahan ke atas yang
substansial dalam perkiraan pengeluaran pribadi dan total, yang tercermin dalam
perkiraan yang disajikan di sini. Pada tahun 2009, Indonesia meninjau National Health
Account (NHA) yang dilaporkan sebelumnya seperti yang direkomendasikan dalam SHA
1.0. Dalam ulasan ini perkiraan dari tahun 2005 dan seterusnya direvisi. Sebagian besar
data di bagian ini berasal dari database SHA. Angka-angka disajikan dalam istilah
nominal, tidak disesuaikan dengan inflasi atau tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan.

B. Sumber Pendapatan Dan Arus Keuangan

Pendapatan publik untuk sistem kesehatan dihasilkan dari berbagai sumber, termasuk
pajak umum (langsung dan tidak langsung) dan pendapatan bukan pajak yang
dikumpulkan oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah provinsi/kabupaten,
pinjaman bilateral dan multilateral, serta hibah bilateral dan multilateral kepada
pemerintah. Sumber pembiayaan publik belanja kesehatan di Indonesia meliputi
pendapatan yang dikelola oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten, skema jaminan sosial dan Rest of the World (ROW), yang disalurkan melalui
anggaran pemerintah. Pusat anggaran pemerintah untuk kesehatan terdiri dari anggaran
Kementerian Kesehatan dan kementerian lain (non-Kemenkes),

1. Arus keuangan

Pembiayaan pemerintah pusat untuk kesehatan berasal dari pajak nasional,sumber


daya alam, serta hibah dan pinjaman dari donor eksternal yang termasuk dalam
APBN. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengelola APBN, yang kemudian
disalurkan kepada Kemenkes dan kementerian lainnya. Ada tiga kanal pendanaan
utama untuk dana belanja kesehatan dari Kemenkeu:

a. Pendanaan langsung melalui Kemenkes

Kemenkeu memberikan transfer anggaran langsung ke kementerian tingkat pusat


termasuk Kemenkes. Kemenkes kemudian memberikan transfer anggaran
langsung ke rumah sakit yang dikelola secara terpusat (kelas A) dan ke instansi
Kemenkes pusat (seperti sebagai Lembaga Nasional untuk Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, dan Badan Tenaga Kesehatan Nasional). Selain itu,
Kemenkes menyalurkan dana secara vertikal ke dinas kesehatan provinsi (PHO)
melalui dua mekanisme:
1) pendelegasian wewenang (dalam bentuk Dekonsentrasi – dana Dekon) dan;
2) administrasi bersama (dalam bentuk Tugas Perbantuan – dana TP) serta
kepada dinas kesehatan kabupaten/kota (DHO) melalui mekanisme
administrasi bersama
Melalui mekanisme pendelegasian wewenang, PHO memberikan dukungan
manajemen dan teknis untuk pelaksanaan program di tingkat kabupaten. Dana
yang disalurkan melalui mekanisme administrasi bersama dialokasikan untuk
program-program berikut:
1) program gizi dan KIA;
2) Dukungan dan implementasi manajemen tugas teknis lainnya;
3) Inisiatif Pembiayaan Kesehatan (Pembiayaan Upaya kesehatan); dan
4) program pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan.
b. Pengalihan anggaran umum dari pemerintah pusat ke provinsi dan pemerintah
kabupaten
Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dapat mengalokasikan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) hingga sektor kesehatan. Anggaran APBD
terima dana dari sumber lokal pendapatan asli daerah (PAD), transfer neraca fiskal
dari tingkat nasional ke pemerintah daerah (Dana Perimbangan), dan hibah dan
pinjaman daerah, yang semuanya diatur oleh Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 (UU Nomor 33 Tahun 2004). Pendapatan sumber lokal berasal dari pajak
daerah, retribusi, dan pendapatan yang dihasilkan oleh pengelolaan sumber daya
lokal (hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan) dan lainnya yang sah
sumber pendapatan. Dana keseimbangan fiskal yang berasal dari APBN ditransfer
ke pemerintah provinsi untuk mendukung sistem desentralisasi. Jenis dana yang
ditujukan untuk tujuan keseimbangan fiskal antara lain dana bagi hasil (DBH),
dana alokasi umum (Dana Alokasi Umum/DAU), dan dana alokasi khusus
(DAK).
Anggaran pemerintah daerah juga digunakan untuk mendanai program
jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang telah dibentuk di banyak provinsi dan
kabupaten untuk melengkapi program Jamkesmas, sebelum ditetapkannya sistem
nasional (JKN). Skema Jamkesda pemerintah daerah biasanya mencakup
perawatan kesehatan (sebagian besar perawatan kuratif yang disediakan oleh
fasilitas perawatan primer dan 78 rumah sakit umum tingkat provinsi atau
kabupaten) untuk orang-orang yang belum ditanggung oleh Jamkesmas
(Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014b). Menurut sebuah studi
tahun 2014, ada lebih dari 460 skema Jamkesda yang masih beroperasi, mencakup
sekitar 63 hingga 70 juta penerima manfaat.
c. Dana asuransi kesehatan
Sejak 2014, Indonesia telah memulai implementasi UU No. 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang mengamanatkan pengenalan skema
jaminan kesehatan universal. Pelaksanaannya dimulai dengan menggabungkan
skema asuransi umum yang sudah ada, yaitu Askes, JPK Jamsostek dan
Jamkesmas. Pada tahun 2014, usaha kecil dan kelompok penduduk yang
sebelumnya tidak memiliki jaminan kesehatan dapat mendaftar dalam skema
jaminan kesehatan sosial nasional dengan membayar premi kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan). Namun, hingga awal
2014, banyak kabupaten dan provinsi terus menyediakan skema lokal otonom
yang terorganisir (Jaminan Kesehatan Daerah/Jamkesda).
C. Ikhtisar Skema Pembiayaan Publik
1. Coverage
Sejak mulai beroperasinya BPJS Kesehatan, pada Januari 2014, pemerintah telah
mengidentifikasi pencapaian perawatan kesehatan universal sebagai tujuan utama dari
rencana sektor kesehatan baru. Sebagaimana tertuang dalam Roadmap Menuju
Jaminan Kesehatan Nasional Tahun 2012–2019 (Peta Jalan Menuju JKN 2012–2019),
seluruh warga negara Indonesia secara bertahap akan diikutsertakan sebagai peserta
terdaftar BPJS Kesehatan pada Januari 2019. Tahapannya adalah sebagai berikut:
a. Target perluasan keanggotaan dari tahun 2012 hingga 2014, dengan fokus pada: °
Pengalihan kepesertaan Jamkesmas dari pengurus PPJK-Kemenkes ke BPJS
Kesehatan
1) Pemindahan kepesertaan JPK dari Jamsostek ke BPJS Kesehatan
2) PT Askes (Persero) bertransformasi dari perusahaan swasta menjadi
3) Badan Penyelenggara Negara (BPJS Kesehatan)
4) Pengalihan Kepesertaan TNI/Polri ke BPJS Kesehatan
5) Integrasi Jamkesda yang saat ini dikelola PT Askes ke BPJS Kesehatan
b. Target perluasan keanggotaan dari tahun 2014 hingga 2019, dengan fokus pada:
1) Integrasi sisa Jamkesda ke BPJS Kesehatan
2) Perluasan keanggotaan di antara pekerja formal dari besar,
3) perusahaan menengah dan kecil
4) Perluasan keanggotaan dari pekerja yang dibayar sendiri
BPJS Kesehatan bertanggung jawab untuk menyelenggarakan kesehatan
nasional program asuransi untuk seluruh masyarakat Indonesia, menawarkan satu
paket manfaat tunggal. Seperti dijelaskan sebelumnya, pelaksanaannya akan
dilakukan dalam 80 tahap, sejalan dengan rencana perluasan keanggotaan, termasuk
perluasan kepada orang asing yang bekerja minimal enam bulan di Indonesia.
Peserta yang terdaftar dalam skema jaminan kesehatan nasional (JKN) dibagi
menjadi penerima iuran (Penerima Bantuan Iuran/PBI) dan penerima manfaat bukan
iuran (non-PBI). PBI terdiri dari penduduk miskin yang ditetapkan sesuai dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2013. Keanggotaan non-PBI terdiri dari:
a. pekerja penerima upah dan anggota keluarganya;
b. pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya; dan
c. non-karyawan dan anggota keluarganya.
JKN sangat bergantung pada kontribusi dari karyawan, pengusaha dan
pemerintah. Semua anggota wajib membayar iuran/iuran yang ditentukan oleh
persentase gaji (pekerja tetap) atau jumlah nominal (bukan pekerja yang digaji dan
PBI). Setiap pemberi kerja mengumpulkan iuran dari karyawannya, menambahkan
bagian iuran yang menjadi tanggung jawabnya, dan membayar iuran kepada BPJS
Kesehatan setiap bulan (paling lambat tanggal 10 setiap bulan). Buruh dan bukan
pegawai juga wajib membayar iuran JKN paling lambat tanggal 10 setiap bulannya
kepada BPJS Kesehatan.
Paket manfaat JKN telah diperkenalkan dalam Permenkes 69 Tahun 2013
tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Sampai dengan
Januari 2017, dokumen tersebut telah direvisi sebanyak 3 kali dengan Permenkes 59
Tahun 2014, 52 Tahun 2016 dan 64 Tahun 2016. Dokumen ini menetapkan bahwa
JKN menawarkan paket manfaat dasar komprehensif yang diberikan berdasarkan
indikasi medis, meliputi rawat jalan dan rawat inap di tingkat dasar. sampai tingkat
rumah sakit tersier, dengan pengecualian untuk beberapa jenis perawatan yang
sebagian ditanggung dan tidak tertutup sepenuhnya. Beberapa perlengkapan termasuk
dalam paket manfaat, tetapi dengan batas atas atau nilai atau kuantitas, misalnya:
a. kacamata tertutup, dengan langit-langit atas hingga Rp 150.000 (US$ 15) (untuk
manfaat bangsal kelas 3 ) dan Rp 300.000 (untuk manfaat bangsal kelas 1) untuk
setiap 2 tahun;
b. alat bantu dengar dibatasi maksimal Selisih premi dan manfaat kelas kepesertaan
JKN (Lanjutan) sampai dengan Rp 1.000.000 untuk setiap 5 tahun;
c. alat kesehatan cacat seperti kursi roda, tongkat, dll. dibatasi maksimum hingga Rp
2 500.000 untuk setiap 5 tahun.
Peralatan pada poin (a), (b), dan (c) disediakan oleh rumah sakit yang dikontrak
dan diklaim menggunakan kode INA-CBG tertentu. JKN tidak mencakup:
a. pelayanan yang tidak sesuai dengan protokol,
b. bahan, alat atau prosedur untuk tujuan kosmetik;
c. pemeriksaan umum;
d. perawatan gigi palsu;
e. terapi alternatif (akupunktur, dukun) dan perawatan kuratif lainnya yang belum
terbukti secara ilmiah; dan
f. program fertilisasi in vitro dan infertilitas termasuk pengobatan impotensi.
Penjelasan lebih lanjut mengenai cakupan paket manfaat (termasuk batasannya)
telah diatur dalam Permenkes No. 71 Tahun 2013 yang kemudian direvisi dengan
Permenkes 99 Tahun 2015 (Menkes, 2015d). Pelayanan kesehatan yang tercakup
dalam JKN adalah pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk
kefarmasian dan alat kesehatan yang berkaitan dengan kebutuhan medis.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 40/2012 tentang Pedoman Pelaksanaan
Program Jaminan Kesehatan Masyarakat, secara jelas disebutkan bahwa kebijakan
melarang pembayaran bersama dan tidak ada plafon atas yang akan diterapkan di
bawah BPJS Kesehatan dalam kaitannya dengan pengobatan sesuai dengan pedoman
protokol.
2. Collection (Pengumpulan)
a. Anggaran Pemerintah
Kontribusi anggaran pemerintah untuk pembiayaan kesehatan diberikan di
setiap tingkat pemerintahan: pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten. Pendapatan pemerintah pusat berasal dari tiga sumber:
pajak konsumsi, pajak penghasilan (pribadi dan perusahaan) dan pendapatan
terkait minyak dan gas. Pada tahun 2013, pajak konsumsi (pajak pertambahan
nilai, pajak penjualan barang mewah, dan cukai, sebagian besar untuk tembakau),
menyumbang 34% dari total penerimaan; pajak penghasilan (seperempat pajak
penghasilan pribadi dan tiga perempat pajak penghasilan badan) menyumbang
29%; dan penerimaan terkait minyak dan gas (30% pajak dan 70% penerimaan
bukan pajak) menyumbang 20%.
Pendapatan pemerintah daerah terdiri dari transfer dari pemerintah pusat
ditambah pendapatan daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan
yang diperoleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, dana perimbangan, dan pendapatan
lainnya (Mendagri, 2006). Dana perimbangan adalah pendapatan yang berasal dari
APBN, yang selanjutnya dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk mendanai
kebutuhannya dalam pelaksanaan desentralisasi.
Dana perimbangan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antar pemerintah daerah.
Menurut Undang-Undang, dana perimbangan terdiri atas:
1) dana bagi hasil, yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan ke daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
2) Dana Alokasi Umum (DAU), yaitu dana yang bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan untuk meningkatkan
pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk mendanai kebutuhannya
dalam pelaksanaan desentralisasi; dan
3) Dana Alokasi Khusus (DAK), yaitu dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada badan-badan daerah tertentu dengan tujuan
khusus membantu pendanaan kegiatan khusus yang menjadi urusan daerah dan
sesuai dengan prioritas nasional.
Sebagai dukungan finansial untuk pelaksanaan desentralisasi, dana bagi hasil
dialokasikan kepada pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten
berdasarkan persentase yang telah ditentukan untuk mendanai kebutuhan daerah
mereka. Dana alokasi umum dialokasikan kepada provinsi dan kabupaten untuk
menjamin pemerataan kemampuan keuangan antardaerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Dana tersebut mengacu pada hibah tanpa syarat dari
pemerintah pusat yang dialokasikan dan dihitung berdasarkan pengukuran
kesenjangan fiskal, ditambah dengan alokasi dasar.
Kapasitas pemerintah daerah untuk mengumpulkan PAD sangat bergantung
pada ekonomi lokal, dan dapat menjadi besar di daerah dengan ekonomi yang kuat
(misalnya Jawa-Bali), tetapi sangat kecil (seringkali kurang dari 5% dari total
anggaran) di daerah miskin. daerah. Daerah yang memiliki sumber daya alam juga
mendapat alokasi yang jauh lebih besar melalui alokasi kompensasi dibandingkan
daerah yang tidak memiliki sumber daya alam (khususnya migas).
Sementara pengumpulan pendapatan secara keseluruhan tidak terlalu
regresif, karena kontribusi yang relatif kecil berasal dari pendapatan rumah tangga
atau belanja, alokasi ke pemerintah daerah cenderung regresif, karena mekanisme
saat ini cenderung berpihak pada daerah-daerah dengan ekonomi yang lebih kuat
dan dengan sumber daya alam. Pemerintah secara progresif bergerak menuju
alokasi yang lebih didasarkan pada kapasitas fiskal daerah, dan memberikan dana
tambahan kepada daerah-daerah yang lebih miskin melalui berbagai mekanisme
yang dialokasikan.
b. Kontribusi asuransi kesehatan sosial
Iuran kepada JKN langsung disetorkan ke BPJS Kesehatan melalui berbagai
mekanisme. UU SJSN menyatakan bahwa reksa dana tersebut akan berasal dari
kontribusi secara proporsional dengan tingkat pendapatan/gaji, yang akan
dikumpulkan untuk membiayai ketentuan bila diperlukan. Ini adalah fitur yang
dianggap lebih berkelanjutan karena kontribusi wajib diharapkan pada akhirnya
dapat mengurangi pengeluaran Negara, sementara pada saat yang sama waktu
menjadi lebih murah dari waktu ke waktu karena lebih banyak anggota bergabung
dengan sistem (Sistem Jaminan Sosial Nasional, 2004). Perpres No. 19 Tahun
2016 menyebutkan bahwa iuran PBI dibayarkan oleh pemerintah pusat melalui
Kemenkes kepada BPJS Kesehatan, menggunakan APBN yang ditransfer dari
Kemenkes. Sementara itu, non-PBI harus berkontribusi dengan membayar premi
melalui mekanisme yang berbeda. Anggota non-PBI terdiri dari:
a. pekerja bergaji dan anggota keluarganya;
b. pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarga mereka; dan
c. non-karyawan dan keluarganya anggota
JKN sangat bergantung pada kontribusi dari karyawan, pengusaha dan
pemerintah. Seluruh anggota wajib membayar premi/iuran yang ditentukan oleh
persentase gaji (pekerja bergaji) atau jumlah nominal (bukan pekerja bergaji dan
PBI) sebagaimana dimaksud pada Tabel 3.8. Setiap pemberi kerja mengumpulkan
kontribusi dari karyawannya, menambahkan bagian dari kontribusi itulah
tanggung jawab mereka, dan membayar iuran kepada BPJS Kesehatan setiap
bulannya (paling lambat tanggal 10 setiap bulannya). Pekerja bukan penerima
upah dan non-karyawan juga wajib membayar premi JKN paling lambat tanggal
10 setiap bulannya kepada BPJS Kesehatan.
Hingga Desember 2014, ada sekitar 138 juta anggota yang terdaftar dalam
skema JKN, atau sekitar 55% dari total populasi. Dari jumlah tersebut, hampir
70% adalah anggota bersubsidi, dengan iuran yang dibayarkan oleh pemerintah
pusat (APBN) atau daerah (APBD). Sisanya adalah anggota yang berkontribusi.
Hingga desember 2021, ada sekitar 235 juta anggota yang terdaftar dalam
skema JKN, atau sekitar 86% dari total populasi. Dari populasi tersebut 42.42%
adalah anggota PBI, 25.46% PPU, 17,15 % PBPU BP Pemda, 13,11% PBPU,
1,86% BP.
3. Pooling Of Fund: Alokasi Dari Agen Penagihan Ke Pooling Agensi
Pooling terjadi melalui dua mekanisme: pooling dana pemerintah pusat, dan kemudian
mentransfer dana pooled ke pemerintah provinsi dan kabupaten; dan penghimpunan
dana asuransi sosial melalui BPJS.
a. Penghimpunan dan alokasi dari pusat, provinsi dan kabupaten Pemerintah
Alokasi dana untuk kesehatan di tingkat pusat ditentukan oleh Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Alokasi APBN untuk kesehatan ditetapkan oleh
BAPPENAS melalui konsultasi dengan Kemenkeu dan Kemenkes, dan disetujui
oleh dewan perwakilan rakyat (DPR). Sementara undang-undang Kesehatan (No. 36
Tahun 2009) mengamanatkan alokasi minimal 5% dari total APBN untuk
kesehatan, hal ini belum tercapai, meskipun diusulkan untuk anggaran 2016.
APBN berperan sentral untuk melindungi keselamatan masyarakat dan
sekaligus sebagai motor pengungkit pemulihan ekonomi. Hal ini tercermin dari
enam fokus utama dalam kebijakan APBN 2022 seperti yang disampaikan pada
pidato Presiden RI tanggal 16 Agustus 2021. Pertama, melanjutkan upaya
pengendalian Covid-19 dengan tetap memprioritaskan sektor kesehatan.Anggaran
kesehatan direncanakan sebesar Rp255,3 triliun, atau 9,4% dari belanja negara.
Kemenkes mengalokasikan anggaran kesehatan di tingkat pusat departemen
dan lembaga kesehatan, dan juga mengalokasikan dana untuk kesehatan melalui
mekanisme alokasi yang dialokasikan untuk pemerintah daerah (provinsi dan
kabupaten). Ini termasuk:
1) Dana dekonsentrasi (Dana dekon) berasal dari Negara anggaran yang
dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah; Ini mencakup semua
pendapatan dan pengeluaran yang diperlukan untuk implementasi dekonsentrasi.
Dana ini dialokasikan untuk PHO untuk mendukung peran mereka dalam
mengelola fungsi kesehatan di seluruh kabupaten, dan membangun kapasitas
DHO dalam program prioritas nasional.
2) Dana tugas bantuan (Tugas Perbantuan) berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, dan
mencakup seluruh pendapatan dan belanja yang diperlukan untuk melaksanakan
tugas pendampingan tersebut. Kemenkes menggunakan mekanisme ini untuk
mengalokasikan dana Bantuan Operasional Kesehatan Puskesmas. Dana ini
dialokasikan untuk DHOs, dan selanjutnya disalurkan dari DHOs ke puskesmas.
3) Dana Alokasi Khusus (Dana Alokasi Khusus) dialokasikan langsung ke
pemerintah daerah dan diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur
kesehatan tertentu, seperti pembangunan puskesmas, sub-puskesmas, dan rumah
sakit kabupaten. Berasal dari APBN, dana tersebut dialokasikan ke daerah-
daerah tertentu untuk membiayai berbagai kegiatan daerah sesuai dengan
prioritas nasional, termasuk kesehatan (Republik Indonesia, 2004). Namun
hanya dapat digunakan untuk mendanai kegiatan tertentu yaitu kegiatan fisik,
penelitian, pelatihan dan perjalanan dinas (Pemerintah Indonesia, 2005a). Untuk
bidang kesehatan, khusus Dana alokasi juga dapat digunakan untuk pembiayaan
pelayanan kesehatan primer, rujukan pelayanan sekunder dan tersier, serta
pelayanan kefarmasian (termasuk pengadaan obat generik.
Sumber daya pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) dialokasikan untuk
kesehatan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran
daerah ditentukan oleh Bappeda tingkat daerah melalui konsultasi dengan badan-
badan daerah, dan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Dinas kesehatan provinsi dan kabupaten menyiapkan rencana dan proposal
anggaran, yang sebagian besar didasarkan pada faktor yang sama seperti di tingkat
pusat, yaitu alokasi historis, permintaan dan proposal yang berasal dari proses
perencanaan dari bawah ke atas, dan tanggapan terhadap prioritas lokal yang
teridentifikasi, sering kali ditentukan oleh partai politik yang berkuasa.
Alokasi anggaran APBD untuk kesehatan dibagi menjadi: (a) Tidak Langsung
pengeluaran (Biaya tidak lansung/BTL), untuk gaji pegawai negeri sipil yang
bekerja di fasilitas kesehatan; dan (b) belanja langsung (Biaya langsung/BL), untuk
penyelenggaraan pelayanan dan program kesehatan, dan tunjangan pegawai dalam
pemberian pelayanan. Besaran BTL ditentukan oleh jumlah dan gaji PNS, dan harus
dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan ini. Komponen BTL dapat melebihi 80%
dari total alokasi anggaran, sehingga membatasi alokasi untuk belanja operasional.
b. Alokasi Dana Gabungan Untuk Asuransi Kesehatan Sosial
Menurut UU No. 40/2004 dan UU No. 24/2011, BPJS Kesehatan telah untuk
mengelola dana perwalian tunggal (Dana Amanat), yang dikumpulkan dari
kontribusi/premi dari seluruh penduduk, termasuk pemerintah dana. Dengan dana
perwalian tunggal ini, biaya perawatan kesehatan untuk semua orang sakit diambil
dari satu sumber, tanpa harus memperhatikan besarnya iuran atau gaji setiap peserta
JKN. Seperti yang diamanatkan dalam UU No. 24/2011, BPJS Kesehatan
merupakan badan publik yang bersifat nirlaba, yang bertanggung jawab kepada
Presiden. Alokasi penerimaan dari pemerintah pusat ke BPJS didasarkan tentang
jumlah anggota yang berhak atas iurannya dibayar oleh pemerintah (anggota PBI),
dan premi yang disepakati untuk dibayar oleh pemerintah.
Secara nominal, kontribusi PBI tersebut kemudian dialokasikan ke
kabupaten/kota berdasarkan jumlah anggota PBI di setiap kabupaten. Namun,
pengeluaran Kontribusi PBI didasarkan pada pembayaran kapitasi dan penggantian
pemanfaatan rumah sakit. Dimana akses ke fasilitas rumah sakit dibatasi oleh
ketersediaannya atau hambatan geografis, pemanfaatannya mungkin tidak menyerap
iuran yang dibayarkan oleh pemerintah untuk anggota PBI di suatu wilayah tertentu,
dan dapat menghasilkan transfer iuran PBI yang efektif ke daerah lain dimana
anggota PBI memiliki akses yang lebih besar ke fasilitas rumah sakit.
4. Pembelian Dan Hubungan Pembeli-Penyedia
a. Hubungan antara penyedia publik dan pembeli (pusat dan daerah)
pemerintah)
Dimana penyedia adalah unit anggaran dari tingkat pemerintahan yang
relevan, hubungan itu hierarkis dan ada pertanggungjawaban langsung. Persediaan
dana didasarkan pada anggaran yang disepakati, yang tidak dapat diubah. Dana
diterima harus dibebaskan menurut peraturan keuangan, dan dapat diaudit oleh
badan audit nasional atau regional. Dana yang diberikan melalui mekanisme transfer
(DAK, Tugas Perbantuan, dll.) juga harus dikeluarkan hanya sesuai dengan yang
relevan peraturan mekanisme, dan juga tunduk pada audit oleh lembaga audit.
Masalah muncul dengan seringnya keterlambatan pencairan dana dari
pemerintah kepada penyedia, yang mengakibatkan kekurangan dana dalam bagian
awal tahun keuangan, dan aktivitas yang berlebihan untuk menghabiskan semua
dana yang dianggarkan pada akhir tahun anggaran. Hal ini dapat menyebabkan
pengeluaran yang tidak efisien.
Alokasi anggaran tidak secara formal dikaitkan dengan kinerja dalam hal
output, meskipun kinerjanya buruk dalam hal pengeluaran yang dialokasikan
anggaran (yaitu memiliki dana yang tidak dikeluarkan) dapat menyebabkan
pengurangan anggaran alokasi pada tahun anggaran berikutnya.
Beberapa fasilitas kesehatan, terutama beberapa rumah sakit dan puskesmas,
memiliki memenuhi persyaratan untuk diberikan status semi-otonom Badan
Layanan Umum Daerah (BLUD). Fasilitas dengan status BLUD bukan merupakan
unit anggaran langsung pemerintah daerah (atau nasional) pemerintah dan memiliki
otonomi yang lebih besar dalam mengelola pendapatan yang diperoleh serta alokasi
anggaran. Mereka diharuskan mempersiapkan tahunan rencana bisnis dan telah
disetujui, tetapi memiliki lebih banyak fleksibilitas dalam menggunakan
pendapatan yang diperoleh daripada unit anggaran langsung.
b. Kontrak hubungan antara BPJS Kesehatan dan penyedia layanan kesehatan
Sebagai lembaga tunggal yang mengelola dana gabungan, BPJS Kesehatan
memiliki tanggung jawab untuk membayar biaya perawatan kesehatan kepada
penyedia. Dan sebagai single payer, BPJS Kesehatan memiliki posisi tawar yang
baik terhadap layanan kesehatan penyedia sehubungan dengan biaya tersebut.
Posisi ini dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mengontrol perilaku
penyedia layanan kesehatan dan biaya perawatan kesehatan.
Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016, Pasal 36, menjelaskan tentang
pengaturan/kontrak antara penyelenggara dengan BPJS Kesehatan. BPJS
Kesehatan harus berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat mengenai
pengaturan ini/ kontrak. Fasilitas kesehatan pemerintah/pemerintah daerah berhak
(melalui kredensial) untuk bekerja sama secara wajib dengan BPJS Kesehatan.
Fasilitas kesehatan swasta memenuhi syarat untuk bekerja sama dengan BPJS
Kesehatan. Itu desain kerjasama tersebut adalah kesepakatan tertulis antara fasilitas
dan BPJS Kesehatan. Kualitas fasilitas BPJS Kesehatan yang dikelola oleh undang-
undang Depkes. Perpres tersebut juga mengatur tentang perundingan dan kontrak
fasilitas kesehatan. Model kontrak juga dijelaskan dalam peraturan Kemenkes.
Permenkes No.99 Tahun 2015, dalam Pasal 4-nya menjelaskan tentang kerjasama
fasilitas kesehatan dengan BPJS Kesehatan, dan bentuk kerjasama antara pimpinan
atau pemilik fasilitas kesehatan dengan BPJS Kesehatan. Perjanjian kerjasama
memiliki masa berlaku minimal satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai

kesepakatan bersama.

Proses ini menentukan pemilihan dan retensi jaringan fasilitas kesehatan yang
dapat memberikan pelayanan bermutu kepada peserta JKN. Penunjukan dasar
dalam proses seleksi ini mengacu pada standar tautan kredensial, yang didasarkan
pada jumlah dan distribusi domisili peserta, kebutuhan peserta, kemampuan
perusahaan (dalam hal sumber daya manusia) dan ketersediaan penyedia layanan
kesehatan. Proses seleksi meliputi review dan verifikasi keberadaan fasilitas
kesehatan. Proses verifikasi menyangkut perizinan fasilitas kesehatan.
D. Out-Of-Pocket Payments ( Pembayaran langsung)
Pembayaran OOP merupakan sumber pembiayaan terbesar dalam sistem kesehatan
Indonesia, yang mencakup sekitar 46,9% dari THE, pada tahun 2014. Pembayaran OOP
merupakan proporsi pembayaran tertinggi di antara skema pembiayaan swasta. Secara
umum, area utama pengeluaran untuk pembayaran OOP adalah membayar perawatan
kesehatan kuratif pribadi, termasuk obat-obatan (sekitar 95,6% dari pengeluaran OOP).
Di Indonesia, rata-rata tingkat pengeluaran rumah tangga untuk perawatan kesehatan pada
tahun 2005 adalah sekitar 3,5% dari pendapatannya.
Meskipun terjadi penurunan belanja OOP setelah penerapan awal skema
perlindungan kesehatan pada tahun 2005, pangsa OOP dalam total belanja kesehatan tetap
stabil sepanjang tahun 2010 – 2014. Pada tahun pertama pelaksanaan JKN, yang dimulai
pada Januari 2014, masih belum ada penurunan persentase iuran OOP dibandingkan
tahun-tahun sebelum pelaksanaan JKN. Sebagaimana tercantum dalam dokumen Bank
Dunia (Tandon et al., 2016), hal ini menunjukkan bahwa meskipun cakupan asuransi telah
berkembang dan jumlah pembiayaan publik prabayar untuk kesehatan telah meningkat,
pengeluaran OOP juga secara bersamaan meningkat dengan jumlah yang sama.
Yang menjanjikan, porsi pembayaran OOP cenderung menurun setelah Indonesia
memperkenalkan skema perlindungan kesehatan sosial bagi masyarakat miskin dan
hampir miskin pada tahun 2005, menerapkan Askeskin pada tahun 2005, dan kemudian
Jamkesmas pada tahun 2007. Peningkatan pengeluaran kesehatan masyarakat seperti itu
mengubah masyarakat, total saham swasta dan OOP swasta di Indonesia. Data NHA
menunjukkan bahwa pengeluaran kesehatan swasta merupakan penyumbang terbesar
THE dari tahun 1996 hingga 2004 (rata-rata 58%). Menyusul peningkatan bagian publik
dari kontribusi ke THE, bagian dari OOP pengeluaran turun dan saham swasta THE turun
menjadi 32,8% pada tahun 2006.
1. Cost sharing
Cost sharing dalam kaitannya dengan jaminan kesehatan mengacu pada pemberian
jaminan kesehatan atau pembayaran pihak ketiga yang masih mensyaratkan biaya
pemeliharaan kesehatan yang diterima sebagian ditanggung oleh orang yang
ditanggung (WHO, 2017). Sebelum penerapan JKN, penyedia layanan publik di
puskesmas dan di tingkat rumah sakit memungut retribusi. Biaya pendaftaran di
tingkat puskesmas sangat kecil, demikian juga untuk akomodasi di bangsal umum
(kelas 3) di rumah sakit umum. Namun biaya tambahan dikenakan untuk akomodasi
kelas 2, kelas 1 dan bangsal VIP. Dalam peraturan JKN, pembagian biaya tidak
diperbolehkan. Namun, pembayaran tambahan mungkin diperlukan untuk manfaat
non-medis seperti tingkat yang lebih tinggi dari akomodasi rumah sakit. Misalnya:
Peserta yang menginginkan akomodasi rumah sakit dengan kelas yang lebih tinggi
dapat mengambil Asuransi Kesehatan Sukarela tambahan, atau membayar selisih
biaya kelas.
2. Direct payments

Pembayaran ini dilakukan untuk barang atau jasa yang tidak tercakup dalam bentuk
pembayaran pihak ketiga apa pun. Akun pembayaran langsung untuk yang tertinggi
berbagi di antara pembayaran OOP. Mereka sebagian besar untuk obat-obatan, seperti
yang disebutkan di bagian tentang OOP, baik yang dibeli sendiri, atau untuk obat-
obatan di luar daftar yang disepakati JKN, atau di mana stok tidak tersedia.

Pembayaran langsung juga diperlukan untuk layanan yang tidak tercakup oleh JKN,
seperti disebutkan di atas. Dengan diberlakukannya manfaat komprehensif di bawah
JKN dari tahun 2014, diharapkan porsi pembayaran langsung akan menurun di masa
depan

3. Informal payments

Setiap pembayaran tidak resmi yang dilakukan untuk mendapatkan barang atau jasa
yang dimaksudkan untuk dibiayai sepenuhnya menggunakan pendapatan gabungan
disebut pembayaran informal. Istilah ini juga mengacu pada pembayaran dalam
bentuk barang atau tunai yang dilakukan kepada penyedia individu atau institusional
di luar saluran pembayaran resmi atau pembelian apa pun yang seharusnya
ditanggung oleh sistem pembiayaan kesehatan. Ini termasuk "kontribusi" ke rumah
sakit, pembayaran "amplop" kepada dokter dan nilai persediaan medis yang dibeli
oleh pasien dan obat yang diresepkan yang diperoleh dari apotek swasta yang
sebenarnya merupakan bagian dari layanan yang didanai oleh pemerintah
Meskipun tidak diizinkan dalam sistem kesehatan Indonesia, Pembayaran informal
memang ada meskipun jumlahnya sulit diperkirakan. Mereka dapat dalam berbagai
bentuk termasuk pembayaran kepada penyedia layanan kesehatan yang dilakukan oleh
pasien rawat jalan untuk mempersingkat waktu tunggu atau yang dilakukan oleh
pasien rawat inap untuk menerima layanan sebelumnya (seperti tempat tidur atau
kamar rumah sakit). Bentuk lainnya termasuk pembayaran langsung oleh pasien
kepada penyedia layanan kesehatan untuk obat-obatan atau alat kesehatan tertentu
yang tidak disediakan secara resmi oleh fasilitas tempat mereka bekerja. Tak hanya
pasien, industri farmasi juga terkadang melakukan pembayaran informal kepada
dokter sebagai gratifikasi karena telah meresepkan produk mereka kepada pasien.

D. Mekanisme Pembayaran Pelayanan Kesehatan


1. membayar layanan kesehatan
a. Layanan Kesehatan Masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat didanai melalui beberapa sumber :
1) Central budget (anggaran pusat )
Kemenkes memberikan dana kepada puskesmas untuk:
a) Obat dan vaksin, dukungan pelayanan dasar dan diprioritaskan program
seperti imunisasi, TB, malaria, HIV/AIDS, perawatan ibu, program CDC.
Sebagian dana digunakan untuk Mendukung kegiatan program
penjangkauan, seperti transportasi untuk staf puskesmas. Obat dan vaksin
dari Kemenkes didistribusikan dalam bentuk barang ke PHO, kemudian
PHO mendistribusikannya ke DHO. DHO bertanggung jawab untuk
memastikan bahwa obat dan vaksin diterima oleh puskesmas.
b) Kemenkes juga menyediakan dana untuk biaya operasional kesehatan
(Biaya Operasional Kesehatan – BOK) yang disalurkan ke puskesmas
meskipun Dana Alokasi Khusus ke rekening daerah. Dana tersebut adalah
dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional di puskesmas,
termasuk kegiatan promotif dan preventif. Kemenkes menetapkan bahwa
pada sekurang-kurangnya 60% dari dana tersebut dialokasikan untuk
kegiatan kesehatan dalam rangka mencapai MDGs, dan maksimum 40%
dari dana dialokasikan untuk manajemen dan kegiatan lainnya di
puskesmas.
c) Pembayaran jasa di bawah subsidi bagi masyarakat miskin (Jamkesmas
dan Jampersal) program, menggunakan biaya-untuk-layanan. Dimulai dari
Januari 2014, pembayaran ke puskesmas dilakukan melalui skema
kapitasi dan mencakup pelayanan kesehatan masyarakat (pencegahan dan
promosi) serta perawatan primer/rawat jalan.
2) Local government budget (Anggaran pemerintah daerah )
Pemerintah daerah menyediakan dana untuk:
a) Obat-obatan dan layanan, melalui DHOs.
b) Layanan untuk Jamkesda (perawatan gratis yang didanai pemerintah
daerah program untuk orang miskin), jika tersedia (tidak semua
kabupaten). Ini dana dikelola oleh DHO dan didistribusikan ke puskesmas
dan program kebidanan.
c) Gaji PNS yang ditugaskan di PHO (dari provinsi anggaran), dan DHO dan
puskesmas (dari anggaran kabupaten).
3) Funds from donors/external partners ( Dana dari donatur/mitra eksternal )
Mitra donor/eksternal menyediakan dana ke pusat perawatan kesehatan primer
bagi: Program prioritas khusus seperti HIV / AIDS, TB dan malaria. Sejumlah
besar dukungan diterima dari The Dana Global. Badan Perserikatan Bangsa-
Bangsa seperti WHO dan UNICEF juga memberikan dukungan melalui
Kemenkes
b. Perawatan primer/rawat jalan ( Primary/ambulatory care )
Penyedia layanan perawatan primer di sebagian besar provinsi adalah puskesmas.
beberapa skema asuransi swasta, klinik swasta atau dokter keluarga juga dikontrak
oleh BPJS sebagai penyedia layanan primer. Biasanya mereka dibayar
menggunakan kapitasi atau klaim berdasarkan biaya yang dinegosiasikan jadwal
atau biaya-untuk-layanan. Dokter, spesialis medis, dokter gigi, dan bidan
diizinkan berdasarkan peraturan untuk memiliki praktik pribadi mereka sendiri.
Pembayaran dilakukan berdasarkan jenis pasien, biasanya melalui fee-for-service.
Jaminan Kesehatan Nasional/BPJS Kesehatan Dalam skema JKN, BPJS
Kesehatan membayar penyedia layanan primer yang dikontrak dengan kapitasi
untuk layanan rawat jalan. Namun, layanan kebidanan dan neonatal, seperti
perawatan antenatal, persalinan normal dan layanan untuk program keluarga
berencana tidak dibayar dengan kapitasi tetapi dengan penggantian.
Anggota JKN harus mendaftar ke puskesmas, klinik perawatan primer atau dokter
umum / keluarga setempat dalam waktu tiga bulan setelah menjadi anggota.Jika
mereka tidak puas dengan dokter umum / keluarga mereka, mereka diizinkan
untuk mendaftar ulang dengan yang lain. Mereka tidak diizinkan untuk secara
acak mengakses GP yang berbeda setiap kali mereka mencari perawatan.
Penyedia layanan primer di JKN memiliki peran penting sebagai gatekeeper akses
ke layanan khusus dan rumah sakit. BPJS Kesehatan mengharapkan bahwa Sistem
ini akan mendorong penjaga gerbang untuk meningkatkan kualitas layanan dan
kesejahteraan anggota terdaftar mereka dengan mengurangi frekuensi kunjungan.
Selain itu, penyedia perawatan primer/rawat jalan menerima pembayaran dari:
1) Anggaran pemerintah: pendanaan untuk fasilitas sektor publik (puskesmas),
pembayaran gaji, dan untuk obat-obatan dan persediaan diterima dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah dan nasional, khususnya untuk Program
prioritas seperti kesehatan ibu dan anak, infeksi manajemen penyakit.
2) Pembayaran out-of-pocket: pusat kesehatan masyarakat dan swasta penyedia
menerima pembayaran dari pasien (yang tidak ditanggung oleh skema apa
pun) untuk perawatan kuratif, perawatan antenatal, perawatan persalinan dan
beberapa layanan dasar lainnya menggunakan skema fee-for-service.
3) Pihak ketiga/perusahaan asuransi: layanan kesehatan masyarakat dan lainnya
penyedia perawatan primer dibayar oleh perusahaan asuransi menggunakan
kapitasi dan biaya-untuk-layanan
c. Hospital /inpatient care
1) National Health Insurance/BPJS Health
BPJS kesehatan membayar rumah sakit untuk layanan yang diberikan
anggotanya menggunakan system pembayaran prospektif berbasis Indonesia
case mix based Grup (INA-CBGs). Sistem pembayaran bertujuan untuk
mendorong lebih fokus pada pasien, efisien dan kualitas pelayanan, serta
untuk menghindari overtreatment, undertreatment, bahaya moral dan kejadian
buruk. INA-CBG membayar tarif yang sama untuk baik rumah sakit
pemerintah maupun swasta. Narkoba dan obat-obatan adalah salah satu
komponen dalam sistem pembayaran pembiayaan INA-CBG, yang didasarkan
pada: Paket diagnnostik yang terbagi menjadi 4 wilayah yang ada perbedaan
tariff hingga 7% untuk bahan habis pakai. Paket INA-CBG akan diperbarui
disetiap tahun.
d. Pharmaceutical care (perawatan farmasi )
Untuk JKN pembayaran kapasitas rawat jalan meliputi biaya perbekalan farmasi
menurut daftar obat esensial. Setelah mendapatkan pelayanan kesehatan di rumah
sakit, pasien dapat dirujuk kembali ke fasilitas pelayanan kesehatan primer untuk
mendapatkan obat. perawatan kesehatan primer
penyedia kemudian dapat mengajukan klaim kepada BPJS Kesehatan atas obat
yang diberikan. Untuk pendanaan pihak ketiga, obat diklaim terpisah dari layanan
dibebankan, dan dibayar hanya jika penyedia menggunakan obat yang tercantum
dalam formularium. Untuk pasien OOP, pembayaran dilakukan langsung setelah
pemberian layanan menggunakan fee for service.

A. Pembayaran Tenaga Kesehataan


Secara umum tenaga kesehatan dibayar berdasarkan

1. Instansi tempat mereka bekerja ( Rumah sakit/ puskesmas/ DHO/ Kemenkes,dll)


2. Jenis status profesi kesehatan (dokter/perawat/bidan/ apoteker, dll.)Yang
menentukan pembayaran medis/ biaya yang tercantum pada INA-cbgs atau
kapitasi mekanisme pembayaran
3. Status pekerjaan PNS dibayar tiap bulan dan tunjangan, sementara dokter paruh
waktu dibayar berdasarkan program nasional , pegawai swasta dibayar
berdasarkan kontrak.
Jika petugas kesehatan bekerja sebagai staf lembaga publik (yaitu sebagai pegawai
negeri sipil pembantu), mereka menerima gaji tetap. Staf rumah sakit swasta dibayar
dengan gaji, yang dihitung berdasarkan remunerasi tertentu. sistem yang
dikembangkan oleh manajemen rumah sakit (Kementerian Negara Perencanaan
Pembangunan, 2014b).

Biasanya, untuk setiap pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien, mis.
Pengiriman perawatan, perawatan bedah, pemeriksaan, dll., staf medis (dokter,
spesialis perawat, apoteker, dll) yang bekerja di rumah sakit akan menerima jumlah
insentif. Menurut UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter umum,
dokter spesialis, atau dokter gigi diizinkan untuk melakukan praktik di tidak lebih dari
tiga lokasi/fasilitas yang berbeda dan dikenakan biaya berdasarkan jumlah pasien
yang dirawat. Dokter diperbolehkan bekerja di fasilitas perawatan kesehatan umum di
pagi hari dan di fasilitas swasta di sore hari, misalnya (Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional, 2014b). Sistem pembayaran penyedia dari pembeli pihak
ketiga telah terkena JKN. Penyesuaian dalam pembayaran kepada dokter telah
dilakukan di banyak rumah sakit umum dengan menerapkan skema remunerasi terkait
dengan mekanisme pembayaran JKN. Indonesia kurang berpengalaman dalam
pembayaran sistem kinerja, dengan hanya beberapa proyek percontohan yang
dilaksanakan di provinsi tertentu.

Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Program


Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Menteri Kesehatan Peraturan No.21 Tahun
2016, versi terbaru dari Permenkes Nomor 19 Tahun 2014, tentang Penggunaan
Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Dana Pelayanan Kesehatan dan Biaya
Dukungan Operasional Kesehatan di Penyedia Layanan Kesehatan Primer, alokasi
untuk pembayaran medis jasa minimal 60% dari dana kapitasi, sedangkan selisihnya
adalah digunakan untuk biaya operasional pelayanan kesehatan. Besarnya alokasi
tersebut adalah ditetapkan setiap tahun melalui SK tentang Usulan Kesehatan Daerah
BAB IV

KESIMPULAN

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh
semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin
tercapainya deraja kesehatan masyarakat seting-tingginya.Banyak tantangan yang dihadapi
dalam membangun sistem kesehatan yang kuat dan handal, diantaranya kurangnya tenaga
kesehatan, kurangnya koordinasi antar lembaga dan pembiayaan pelayanan kesehatan yang
tidak memadai.

 Biaya kesehatan adalah besarnya dan alokasi dana yang harus disediakan untuk
dimanfaatkan dalam upaya kesehatan sesuai dengan kebutuhan perorangan, kelompok dan
masyarakat kesehatan nasional. Pembiayaan kesehatan adalah penataan sumber daya
keuangan yang mengatur penggalia, pengalokasian dan membelanjakan biaya kesehatan
dengan prinsip efisiensim efektif, ekonomis, adil, transparan akuntabel dan berkelanjutan
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Subsistem pembiayaan kesehatan merupakan salah satu bidang ilmu dari ekonomi kesehatan
(health economy), yang dimaksud dengan pembiayaan kesehatan adalah dana yang harus
disediakan untuk menyelenggarakan dan atau memanfaatkan berbagai upaya kesehatan yang
diperlukan oleh perorangan, keluarga, kelompok dan masyararakat. Pembiayaan kesehatan
yang dialokasikan untuk kesehatan dikatakan baik apabila dalam penyelenggaraan pelayanan
kesehatan sesuai dengan kebutuhan, jumlahnya mencukupi dan dapat dimanfaatkan sebagai
mana mestinya sehingga tidak terjadi pembengkakan biaya yang berlebihan.
Berdasarkan pengertian ini, maka biaya kesehatan dapat ditinjau dari dua sudut yaitu
berdasarkan: 1. Penyedia Pelayanan Kesehatan (Health Provider) adalah besarnya dana yang
harus disediakan untuk dapat menyelenggarakan upaya kesehatan, maka dilihat pengertian ini
bahwa biaya kesehatan dari sudut penyedia pelayanan adalah persoalan utama pemerintah
dan ataupun pihak swasta, yakni pihak- pihak yang akan menyelenggarakan upaya kesehatan.
Besarnya dana bagi penyedia pelayanan kesehatan lebih menunjuk kepada seluruh biaya
investasi (investment cost) serta seluruh biaya operasional (operational cost). 2. Pemakai Jasa
Pelayanan (Health consumer) adalah besarnya dana yang harus disediakan untuk dapat
memanfaatkan jasa pelayanan. Dalam hal ini biaya kesehatan menjadi persoalan utama para
pemakai jasa pelayanan, namun dalam batas-batas tertentu pemerintah juga turut serta, yakni
dalam rangka terjaminnya pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang
membutuhkannya.

Besarnya dana bagi pemakai jasa pelayanan lebih menunjuk pada jumlah uang yang harus
dikeluarkan (out of pocket) untuk dapat memanfaatkan suatu upaya kesehatan. Besarnya dana
bagi penyedia pelayanagan lebih menunjuk pada seluruh biaya investasi (investement cost)
serta seluruh biaya operasional (operational cost) yang harus disediakan untuk
menyelenggarakan kesehatan.

Berdasarkan pembagian layanan kesehatan, pembiayaan kesehatan dapat dibedakan atas : 1.


Biaya pelayanan kedokteran yaitu biaya yang dimanfaatkan dalam upaya untuk
menyelenggarakan dan atau menggunakan pelayanan kedokteran dengan harapan untuk
mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan penderita. 2. Biaya layanan kesehatan
masyarakat, yaitu biaya yang dibutuhkan dalam upaya utnuk menyelenggaraka dan atau
mengggunakan layanan kesehatan masyarakat dengan tujuan utamanya adalah untuk menjaga
dan meningkatkan kesehatan serta untuk mencegah penyakit.

Adapun tujuan pembiyaan kesehatan adalah Pembiayaan kesehatan yang kuat, stabil dan
berkesinambungan memegang peranan yang amat vital untuk penyelenggaraan pelayanan
kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan penting dari pembangunan kesehatan di
suatu negara diantaranya adalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses (equitable access
to health care) dan pelayanan yang berkualitas (assured quality).
Sebuah sistem pembiayaan pelayanan kesehatan haruslah bertujuan untuk : 1. Risk Spreading
Pembiayaan kesehatan harus mampu meratakan besaran resiko biaya sepanjang waktu
sehingga besaran tersebut dapat terjangkau oleh setiap rumah tangga. 2. Risk pooling
beberapa jenis pelayanan kesehatan (meskipun resiko rendah dan tidak merata) dapat sangat
mahal misalnya hemodialisis, operasi spesialis (jantung koroner) yang tidak dapat ditanggung
oleh tabungan individu (risk spreading). Sistem pembiayaan harus mampu menghitung
dengan mengakumulasikan resiko suatu kesakitan dengan biaya yang mahal antar individu
dalam suatu komunitas sehingga kelompok masyarakat dengan tingkat kebutuhan rendah
(tidak terjangkit sakit, tidak membutuhkan pelayanan kesehatan) dapat mensubsidi kelompok
masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. 3. Connection between ill-health and
poverty karena adanya keterkaitan antara kemiskinan dan kesehatan, suatu sistem
pembiayaan juga harus mampu memastikan bahwa orang miskin juga mampu pelayanan
kesehatan yang layak sesuai standar dan kebutuhan sehingga tidak harus mengeluarkan
pembiayaan yang besarnya tidak proporsional dengan pendapatan. 4. Fundamental
importance of health kesehatan merupakan kebutuhan dasar dimana individu tidak dapat
menikmati kehidupan tanpa status kesehatan yang baik.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) sendiri memberi fokus strategi pembiayaan kesehatan
yang memuat isu-isu pokok, tantangan, tujuan utama kebijakan dan program aksi itu pada
umumnya adalah dalam area sebagai berikut: 1. Meningkatkan investasi dan pembelanjaan
publik dalam bidang kesehatan 2. Mengupayakan pencapaian kepesertaan semesta dan
penguatan permeliharaan kesehatan masyarakat miskin 3. Pengembangan skema pembiayaan
praupaya termasuk didalamnya asuransi kesehatan sosial 4. Penggalian dukungan nasional
dan internasional 5. Penguatan kerangka regulasi dan intervensi fungsional 6. Pengembangan
kebijakan pembiayaan kesehatan yang didasarkan pada data dan fakta ilmiah 7. Pemantauan
dan evaluasi Implementasi strategi pembiayaan kesehatan di suatu negara diarahkan kepada
beberapa hal pokok yakni; kesinambungan pembiayaan program kesehatan prioritas, reduksi
pembiayaan kesehatan secara tunai perorangan (out of pocket funding), menghilangkan
hambatan biaya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pemerataan dalam akses
pelayanan, peningkatan efisiensi dan efektifitas alokasi sumber daya (resources) serta kualitas
pelayanan yang memadai dan dapat diterima pengguna jasa.
Terdapat 3 unsur pembiayaan pelayanan kesehatan yaitu : 1. Pengumpulan dana (collecting
fund) Pengumpulan dana kesehatan dilakukan untuk membiayai kebutuhan bagi skema
pembiayaan.

2. Pembayaran dana kesehatan (payment) Pembayaran dana kesehatan untuk


mendapatkan suatu pelayanan kesehatan. 3. Pengelolaan dana kesehatan (managing
the flow) Pengelolaan dana kesehatan dilakukan dengan menggunakan prinsip
manajemen dengan tujuan agar dana tercukupi sesuai kebutuhan untuk pelayanan
kesehatan.
Dokumen normatif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan sumber
pembiayaan utama berikut untuk layanan medis(Savastieieva et al., 2022) : 1. Dana
Wajib Pajak (Pembiayaan Anggaran) 2. Asuransi Kesehatan Sukarela Penduduk 3.
Program Asuransi Sukarela Pengusaha (Swasta Pengeluaran Sektor) 4. Dana Dari
Donor Atau Organisasi Non-Pemerintah; 5. pengeluaran langsung individu atau
rumah tangga Sumber biaya kesehatan tidaklah sama antara satu negara dengan
negara lain.
Secara umum sumber biaya kesehatan dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Bersumber
dari anggaran pemerintah Pada sistem ini, biaya dan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Pelayanannya diberikan secara
cuma-cuma oleh pemerintah sehingga sangat jarang penyelenggaraan pelayanan
kesehatan disediakan oleh pihak swasta. 2. Bersumber dari anggaran masyarakat
Dapat berasal dari individual ataupun perusahaan. 3. Bantuan biaya dari dalam dan
luar negeri Sumber pembiayaan kesehatan, khususnya untuk penatalaksanaan
penyakit-penyakit tertentu cukup sering diperoleh dari bantuan biaya pihak lain. 4.
Gabungan anggaran pemerintah dan masyarakat Sistem ini banyak diadopsi oleh
negara-negara di dunia karena dapat mengakomodasi kelemahan-kelemahan yang
timbul pada sumber pembiayaan kesehatan sebelumnya. Tingginya biaya kesehatan
yang dibutuhkan ditanggung sebagian oleh pemerintah dengan menyediakan layanan
kesehatan bersubsidi.
Sistem ini juga menuntut peran serta masyarakat dalam memenuhi biaya kesehatan
yang dibutuhkan dengan mengeluarkan biaya tambahan. Dengan ikut sertanya
masyarakat menyelenggarakan pelayanan kesehatan, maka ditemukan pelayanan
kesehatan swasta. Selanjutnya dengan diikutsertakannya masyarakat membiayai
pemanfaatan pelayanan kesehatan, maka pelayanan kesehatan tidaklah cuma-cuma.
Masyarakat diharuskan membayar pelayanan kesehatan yang dimanfaatkannya.
Sekalipun pada saat ini makin banyak saja negara yang mengikutsertakan masyarakat
dalam pembiayaan kesehatan, namun tidak ditemukan satu negara pun yang
pemerintah sepenuhnya tidak ikut serta. Pada negara yang peranan swastanya sangat
dominan pun peranan pemerintah tetap ditemukan. Paling tidak dalam membiayai
upaya kesehatan masyarakat, dan ataupun membiayai pelayanan kedokteran yang
menyangkut kepentingan masyarakat yang kurang mampu.
Adapunjenis model pembiayaan kesehatan antara lain:

1.Direct Payments by Patients Ciri utama model direct payment adalah


setiap individu menanggung secara langsung besaran biaya pelayanan
kesehatan sesuai dengan tingkat penggunaannya. Pada umumnya sistem
ini akan mendorong penggunaan pelayanan kesehatan secara lebih hati-
hati, serta adanya kompetisi antara para provider pelayanan kesehatan
untuk menarik konsumen atau freemarket.

 2. User payments Dalam model ini, pasien membayar secara langsung
biaya pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan pemerintah maupun
swasta. 

3. Saving based Model ini mempunyai karakteristik ‘risk spreding’ pada


individu namun tidak terjadi risk pooling antar individu. Artinya biaya
kesehatan langsung, akanditanggung oleh individu sesuai dengan
tingkat penggunaannya, namun individu tersebut mendapatkan
bantuan dalam mengelola pengumpulan dana (saving) dan
penggunaannya bilamana membutuhkan pelayanan kesehatan.
4. Informal, Ciri utama model ini adalah bahwa pembayaran yang
dilakukan oleh individu pada provider kesehatan formal misalnya
dokter, bidan tetapi juga pada providerkesehatan lain.
5. Insurance Based Sistem pembiayaan dengan pendekatan asuransi
mempunyai perbedaan utama dimana individu tidak menanggung
biaya langsung pelayanan kesehatan.
Biaya kesehatan banyak macamnya karena semuanya tergantung
dari jenis dan kompleksitas pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan dan atau dimanfaatkan. Hanya saja disesuaikan
dengan pembagian pelayanan kesehatan.
Adapun fungsi pembiayaan kesehatan antara lain:
1. Penggalian dana a. Penggalian dana untuk Upaya Kesehatan
Masyarakat (UKM) Sumber dana dari masyarakat dihimpun secara
aktif oleh masyarakat sendiri guna membiayai upaya kesehatan
masyarakat. b.Penggalian dana untuk Upaya Kesehatan Perorangan
(UKP) berasal dari masing- masing individu dalam satu kesatuan
keluarga.
2. Pengalokasian dana a. Alokasi dana dari pemerintah yakni alokasi
dana yang berasal dari pemerintah untuk UKM dan UKP dilakukan
melalui penyusunan anggaran pendapatan dan belanja baik pusat
maupun daerah sekurang-kurangnya 5% dari PDB atau 15% dari
total anggaran pendapatan dan belanja setiap tahunnya. b. Alokasi
dana dari masyarakat yakni alokasi dana dari masyarakat untuk UKM
dilaksanakan berdasarkan asas gotong royong sesuai dengan
kemampuan. Sedangkan untuk UKP dilakukan melalui kepesertaan
dalam
3. Pembelanjaan a. Pembiayaan kesehatan dari pemerintah dan
public-private patnership digunakan untuk membiayai UKM. b.
Pembiayaan kesehatan yang terkumpul dari Dana Sehat dan Dana
Sosial Keagamaan digunakan untuk membiayai UKM dan UKP. c.
Pembelajaan untuk pemeliharaan kesehatan masyarakat rentan dan
kesehatan keluarga miskin dilaksanakan melalui Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan wajib.
Faktor pembiayaan kesehatan mencakup beberapa aspek , yaitu : 1.
Kecukupan (adequacy ) dan keberlanjutan pembiayaan kesehatan
baik pada tingkat pusat maupun kabupaten yang dilakukan dala
langkah mobilisasi sumber-sumber pembiayaan, kesinambungan
fiscal space dalam anggaran kesehatan nasional serta peningkatan
kolaborasi inter sektoral untuk mendukung pembiayaan kesehatan. 2.
Pengurangan biaya out of pocket dan meminimalisir hambatan
pembiayaan untuk memperoleh layanan kesehatan terutama
masyarakat yang tidak mampu dan rentan yang dilakukan melalui
promosi pemerataan akses dan pemerataan pembiayaan serta
utilisasi pelayanan, pencapaian universal coverage, penguatan
jaminan kesehatan masyarakat miskin dan rentan.
DAFTAR PUSTAKA

Budiarsih. (2020). Hukum Dan Sistem Pembiayaan Kesehatan (1st Ed.). Lembaga
Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya.

Endra Budi Setyawan, F. (2017). Sistem Pembiayaan Kesehatan. Saintika Medika,


11(2), 119.
Https://Doi.Org/10.22219/Sm.V11i2.4206

Herlina, & Wahyuni Sari, R. (2022). Pembiayaan Sektor Kesehatan (Nasrudin, Ed.;
1st Ed.).

Pt. Nasya Expanding Management.

Hosizah, & Cahya Maulana, F. (2018). Modul Koding Klinis Dan Reimbursement.
Universitas Esa Unggul.

Laili Rahmiyati, A. (2021). Buku Ajar Konsep Dasar Pembiayaan Dan Penganggaran
Kesehatan (1st Ed.). Ahlimedia Press.

Savastieieva, O. M., Borysova, L. E., Zhuravlova, T. O., & Butenko, V. V. (2022). National
Health Financing Systems Against The Backdrop Of A Global Pandemic: New
Challenges And Prospects. Wiadomości Lekarskie, 75(5), 1390–1394.
Https://Doi.Org/10.36740/Wlek202205228

Wulandari, A., Rahman, F., Sari, A. R., Laily, N., Pujianti, N., Anggraeni, L., Rochmah, T.
N., & Ernawati. (2020). Pembiayaan Dan Penganggaran Kesehatan (A. Rahayu, Ed.;
1st Ed.). Cv. Mine.

Hidayati, Fifi Anisa Nur, & Pramita Sari, Devi. (2021). Perencanaan Pembiayaan
Kesehatan Di Rumah Sakit.
Http://Ojs.Udb.Ac.Id/Index.Php/Sikenas/Article/View/1256/1061.

setyawan, F. e. (2015). Sistem pembiyaan kesehatan . VOLUME 11 NO 2 DESEMBER 2015.

Permenkes No. 2 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus
Nonfisik Bidang Kesehatan Tahun Anggaran 2022 [JDIH BPK RI]

You might also like