You are on page 1of 28

BAGIAN IKK – IKP GELOMBANG XXIX Seminar Akhir IKK-IKP

FAKULTAS KEDOKTERAN 26 Agustus 2022


UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU

Seminar Akhir IKK-IKP Gelombang XXIX


Pajanan HIV Pada Petugas Kesehatan (Bidan) di Puskesmas
Sehat Sentosa

Disusun Oleh:
Muh Yaqub Basri, S.Ked
(20 20 777 14 397)

Pembimbing/Penguji:
drg. Nita Damayanti, M.Kes
dr. Ricky Yuliam, M.Kes

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN KOMUNITAS DAN ILMU
KEDOKTERAN PENCEGAHAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Nama/No. Stambuk : Muh Yaqub Basri, S.Ked (16 20 777 14 397)

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Alkhairaat

Judul : Pajanan HIV Pada Petugas Kesehatan (Bidan) di Puskesmas

Sehat Sentosa

Bagian : IKK-IKP

Ilmu Kesehatan Komunitas Dan Ilmu Kedokteran Pencegahan


Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran
Universitas Alkhairaat

Palu, 26 Agustus 2022

Penguji Mahasiswa

Muh Yaqub Basri, S.Ked

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fasyankes sebagai institusi pelayanan kesehatan merupakan salah satu
tempat kerja yang memiliki risiko terhadap keselamatan dan kesehatan kerja
baik pada SDM Fasyankes, pasien, pendamping pasien, pengunjung, maupun
masyarakat di sekitar lingkungan Fasyankes. Potensi bahaya keselamatan dan
kesehatan kerja di Fasyankes meliputi bahaya fisik, kimia, biologi, ergonomi,
psikososial, dan bahaya kecelakaan kerja.1
Potensi bahaya biologi penularan penyakit seperti virus, bakteri, jamur,
protozoa, parasit merupakan risiko kesehatan kerja yang paling tinggi pada
Fasyankes yang dapat menimbulkan penyakit akibat kerja.1
WHO pada tahun 2000 mencatat kasus infeksi akibat tertusuk jarum suntik
yang terkontaminasi virus diperkirakan mengakibatkan Hepatitis B sebesar
32%, Hepatitis C sebesar 40%, dan HIV sebesar 5% dari seluruh infeksi baru.
Panamerican Health Organization tahun 2017 memperkirakan 8-12% SDM
Fasyankes sensitif terhadap sarung tangan latex.1
Di Indonesia berdasarkan data Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan tahun 1987-2016
terdapat 178 petugas medis yang terkena HIV AIDS. Penelitian yang
dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan pada tahun 1998 menunjukkan bahwa 85% suntikan imunisasi
yang dilakukan oleh petugas kesehatan ternyata tidak aman (satu jarum
dipakai berulang) dan 95% petugas kesehatan mencoba ketajaman jarum
dengan ujung jari.1
Secara prinsip, kejadian HAIs sebenarnya dapat dicegah bila fasilitas pelayanan
kesehatan secara konsisten melaksanakan program PPI. Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi merupakan upaya untuk memastikan perlindungan kepada
setiap orang terhadap kemungkinan tertular infeksi dari sumber masyarakat umum
dan disaat menerima pelayanan kesehatan pada berbagai fasilitas kesehatan. 2

1
1.2 Tujuan
1. Meningkatkan kualitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga
melindungi sumber daya manusia kesehatan, pasien dan masyarakat dari
penyakit infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
2. Mengetahui pengelolaan masalah pada petugas (SDM) Puskesmas yang
terpajan dengan penyakit infeksi HIV dari pasien.
3. Untuk memenuhi tugas akhir dalam kepanitraan klinik IKK-IKP gelombang
XXIX
1.3 Manfaat
1. Memberikan pengetahuan dan manfaat pentingnya meningkatkan kualitas
pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat melindungi SDM
kesehatan, pasien, dan masyarakat dari penyakit infeksi yang terkait dengan
pelayanan kesehatan.
2. Memberikan informasi mengenai langkah pengelolaan masalah pada
petugas (SDM) Puskesmas yang terpajan dengan penyakit infeksi HIV dari
pasien.
3. Sebagai persyaratan dalam penyelesaian stase kepanitraan klinik IKK-IKP
gelombang XXIX FK UNISA Palu

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus yang selanjutnya disingkat HIV adalah
Virus yang menyebabkan Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS).3
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia,
sehingga tubuh tidak mampu lagi melindungi dirinya dari berbagai penyakit
lain yang menyertainya.3,4
Penderita HIV memerlukan pengobatan dengan Antiretroviral (ARV)
untuk menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh agar tidak masuk ke
dalam stadium AIDS, sedangkan penderita AIDS membutuhkan pengobatan
ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik dengan berbagai
komplikasinya.4
2.2 Epidemiologi
Populasi terinfeksi HIV terbesar di dunia adalah di benua Afrika (25,7
juta orang), kemudian di Asia Tenggara (3,8 juta), dan di Amerika (3,5 juta).
Sedangkan yang terendah ada di Pasifik Barat sebanyak 1,9 juta orang.
Tingginya populasi orang terinfeksi HIV di Asia Tenggara mengharuskan
Indonesia untuk lebih waspada terhadap penyebaran dan penularan virus ini.4

Gambar 1. Peta Epidemiologi HIV-AIDS di Dunia


Meskipun cenderung fluktuatif, data kasus HIV AIDS di Indonesia
terus meningkat dari tahun ke tahun. Seperti pada gambar di bawah ini,
terlihat bahwa selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia

3
mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus.
Berdasarkan data WHO tahun 2019, terdapat 78% infeksi HIV baru di
regional Asia Pasifik. Untuk kasus AIDS tertinggi selama sebelas tahun
terakhir pada tahun 2013, yaitu 12.214 kasus.4
Hasil penelitian lain di wilayah Jakarta Timur yang dilakukan oleh Sri
Hudoyo (2004) menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan petugas menerapkan
setiap prosedur tahapan kewasdapaan standar dengan benar hanya 18.3%,
dengan status vaksinasi Hepatitis B pada petugas Puskesmas masih rendah
yaitu 12,5%, dan riwayat pernah tertusuk jarum bekas yaitu 84,2%.1
2.3 Cara penularan
HIV dapat ditularkan melalui pertukaran berbagai cairan tubuh dari orang
yang terinfeksi, seperti darah, ASI (Air Susu Ibu), semen dan cairan vagina.
HIV juga dapat ditularkan dari seorang ibu ke anaknya selama kehamilan dan
persalinan. Orang tidak dapat terinfeksi melalui kontak sehari-hari seperti
mencium, berpelukan, berjabat tangan, atau berbagi benda pribadi, makanan,
atau air. (WHO, 2019)4
1) Melalui hubungan seksual dengan orang yang telah terinfeksi HIV. Risiko
akan semakin besar jika melakukan hubungan seksual dengan banyak atau
berganti-ganti pasangan seks tanpa menggunakan kontrasepsi. Tindakan
seksual dapat berupa seks orang (mulut), vaginal, dan anal (dubur)
2) Menggunakan jarum bersama dengan terkontaminasi HIV seperti alat
suntik, alat tindik, alat tato.
3) Dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dikandungnya, penularan dapat
terjadi selama kehamilan, saat melahirkan dan saat menyusui
4) Melalui transfusi darah dan produk darah lainnya (yang terkontaminasi
HIV), maka perlu pemeriksaan HIV pada darah donor sebelum didonorkan
kepada membutuhkan.5
2.4 Pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI)
Dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan
kesehatan sangat penting bila terlebih dahulu petugas dan pengambil
kebijakan memahami konsep dasar penyakit infeksi. Oleh karena itu perlu

4
disusun pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan
kesehatan agar terwujud pelayanan kesehatan yang bermutu dan dapat
menjadi acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pencegahan
dan pengendalian infeksi di dalam fasilitas pelayanan kesehatan serta dapat
melindungi masyarakat dan mewujudkan patient safety yang pada akhirnya
juga akan berdampak pada efisiensi pada manajemen fasilitas pelayanan
kesehatan dan peningkatan kualitas pelayanan.2
2.5 Ruang Lingkup PPI
Ruang lingkup program PPI meliputi kewaspadaan isolasi, penerapan PPI
terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs) berupa
langkah yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya HAIs (bundles),
surveilans HAIs, pendidikan dan pelatihan serta penggunaan anti mikroba
yang bijak. Disamping itu, dilakukan monitoring melalui Infection Control
Risk Assesment (ICRA), audit dan monitoring lainya secara berkala. Dalam
pelaksanaan PPI, Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Praktik Mandiri wajib
menerapkan seluruh program PPI sedangkan untuk fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, penerapan PPI disesuaikan dengan pelayanan yang di
lakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut.2
2.6 Terminologi HAIs
a. Infeksi : suatu keadaan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen,
dengan/tanpa disertai gejala klinik. Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
(Health Care Associated Infections) yang selanjutnya disingkat HAIs
merupakan infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit
dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dimana ketika masuk tidak ada
infeksi dan tidak dalam masa inkubasi, termasuk infeksi dalam rumah sakit
tapi muncul setelah pasien pulang, juga infeksi karena pekerjaan pada
petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait proses pelayanan
kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. 2
b. Rantai Infeksi: rangkaian yang harus ada untuk menimbulkan infeksi.
Dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi dengan
efektif, perlu dipahami secara cermat rantai infeksi. Kejadian infeksi di

5
fasilitas pelayanan kesehatan dapat disebabkan oleh 6 komponen rantai
penularan, apabila satu mata rantai diputus atau dihilangkan, maka
penularan infeksi dapat dicegah atau dihentikan.2

Gambar 2. Skema Rantai Infeksi


c. Jenis dan Faktor Risiko Terkait Infeksi HAIs
Jenis HAIs yang paling sering terjadi di Fasyankes, terutama rumah
sakit mencakup:2
1) Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
2) Infeksi Aliran Darah (IAD)
3) Infeksi Saluran Kemih (ISK)
4) Infeksi Daerah Operasi (IDO)
Faktor risiko HAIs meliputi:
1) Umur: neonatus dan orang lanjut usia lebih rentan
2) Status imun yang rendah/terganggu (immuno compromised): penderita
dengan penyakit kronik, penderita tumor ganas, gangguan obat-obatan
immunosupresan
3) Gangguan/interupsi barier anatomis:
a) Kateter urin: meningkatkan kejadian infeksi saluran kemih (ISK)
b) Prosedur operasi: dapat menyebabkan infeksi daerah operasi (IDO)
c) Intubasi dan pemakaian ventilator: meningkatkan kejadian VAP
d) Kanula vena dan arteri: Plebitis, IAD
e) Luka bakar dan trauma

6
4) Implantasi benda asing:
a) Pemkaiaan mesh pada operasi hernia
b) Pemakaian implant pada operasi tulang, kontrasepsi, alat pacu
jantung
c) Cerebrosipnal fluid shunt
d) Valvular/vascular prostheses
2.7 Penerapan Kewaspadaan Standar
Penerapan kewaspadaan standar merupakan suatu upaya pencegahan
terhadap penularan infeksi dan paparan bahan kimia dalam perawatan pasien
di Fasyankes. Penerapan kewaspadaan standar ini dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan menteri kesehatan yang mengatur mengenai pencegahan
dan pengendalian infeksi di Fasyankes.1
Ketika HIV/AIDS muncul pada tahun 1985, dibutuhkanlah suatu
pedoman untuk melindungi petugas pelayanan kesehatan dari terinfeksi. Oleh
karena penularannya termasuk Hepatitis C virus adalah melalui darah, maka
disusunlah pedoman yang disebut Kewaspadaan Universal (Universal
Precaution). Sejak diberlakukan dan diterapkan di rumah sakit dan fasilitas
kesehatan lainnya, strategi baru ini telah dapat melindungi petugas pelayanan
kesehatan (penularan dari pasien ke petugas) serta mencegah penularan dari
pasien ke pasien dan dari petugas ke pasien. Individu yang terinfeksi HIV
atau HCV tidak menunjukkan gejala penyakit atau terlihat sebagai layaknya
seseorang yang terinfeksi, maka Kewaspadaan Universal di modifikasi agar
dapat menjangkau seluruh orang (pasien, klien, pengunjung) yang datang ke
fasilitas layanan kesehatan baik yang terinfeksi maupun yang tidak
terinfeksi.2
Kewaspadaan standar yaitu kewaspadaan yang utama, dirancang untuk
diterapkan secara rutin dalam perawatan seluruh pasien di rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik yang telah didiagnosis, diduga
terinfeksi atau kolonisasi. Diterapkan untuk mencegah transmisi silang
sebelum pasien di diagnosis, sebelum adanya hasil pemeriksaan laboratorium
dan setelah pasien didiagnosis.Tenaga kesehatan seperti petugas

7
laboratorium, rumah tangga, CSSD, pembuang sampah dan lainnya juga
berisiko besar terinfeksi. Oleh sebab itu penting sekali pemahaman dan
kepatuhan petugas tersebut untuk juga menerapkan Kewaspadaan Standar
agar tidak terinfeksi. 2,6,7,8
Pada tahun 2007, CDC dan HICPAC merekomendasikan 11 (sebelas)
komponen utama yang harus dilaksanakan dan dipatuhi dalam kewaspadaan
standar, yaitu kebersihan tangan, Alat Pelindung Diri (APD), dekontaminasi
peralatan perawatan pasien, kesehatan lingkungan, pengelolaan limbah,
penatalaksanaan linen, perlindungan kesehatan petugas, penempatan pasien,
hygiene respirasi/etika batuk dan bersin, praktik menyuntik yang aman dan
praktik lumbal pungsi yang aman.2,6,7,8
1) Kebersihan tangan
Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun
dan air mengalir bila tangan jelas kotor atau terkena cairan tubuh, atau
menggunakan alkohol (alcohol-based handrubs)bila tangan tidak tampak
kotor. Kuku petugas harus selalu bersih dan terpotong pendek, tanpa kuku
palsu, tanpa memakai perhiasan cincin. Cuci tangan dengan sabun
biasa/antimikroba dan bilas dengan air mengalir, dilakukan pada saat:2
1) Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien yaitu
darah, cairan tubuh sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, ganti verband,
walaupun telah memakai sarung tangan.
2) Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area lainnya
yang bersih, walaupun pada pasien yang sama.
Indikasi kebersihan tangan
Indikasi kebersihan tangan:
a) Sebelum kontak pasien;
b) Sebelum tindakan aseptik;
c) Setelah kontak darah dan cairan tubuh;
d) Setelah kontak pasien;
e) Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.

8
Gambar 3. Cara Cuci Tangan dengan Sabun

Gambar 4. Cara Cuci Tangan dengan Antiseptik Berbasis Alkohol


2) Alat Pelindung Diri (APD)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD sebagai berikut:

9
1) Alat pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan yang di pakai
petugas untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan
infeksius
2) APD terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat, pelindung
mata (goggle), perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun
pelindung/apron, sandal/sepatu tertutup (Sepatu Boot).
3) Tujuan Pemakaian APD adalah melindungi kulit dan membran mukosa
dari resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak
utuh dan selaput lendir dari pasien ke petugas dan sebaliknya.
4) Indikasi penggunaan APD adalah jika melakukan tindakan yang
memungkinkan tubuh atau membran mukosa terkena atau terpercik darah
atau cairan tubuh atau kemungkinan pasien terkontaminasi dari petugas.
5) Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di lakukan.
6) Tidak dibenarkan menggantung masker di leher, memakai sarung tangan
sambil menulis dan menyentuh permukaan lingkungan.2

Gambar 5. Termasuk Alat Pelindung Diri (APD)


2.8 Perlindungan Kesehatan Petugas
Lakukan pemeriksaan kesehatan berkala terhadap semua petugas baik
tenaga kesehatan maupun tenaga nonkesehatan. Fasyankes harus mempunyai
kebijakan untuk penatalaksanaan akibat tusukan jarum atau benda tajam
bekas pakai pasien, yang berisikan antara lain siapa yang harus dihubungi
saat terjadi kecelakaan dan pemeriksaan serta konsultasi yang dibutuhkan

10
oleh petugas yang bersangkutan. Petugas harus selalu waspada dan hati-hati
dalam bekerja untuk mencegah terjadinya trauma saat menangani jarum,
scalpel dan alat tajam lain yang dipakai setelah prosedur, saat membersihkan
instrumen dan saat membuang jarum. Jangan melakukan penutupan kembali
(recap) jarum yang telah dipakai, memanipulasi dengan tangan, menekuk,
mematahkan atau melepas jarum dari spuit. Buang jarum, spuit, pisau,scalpel,
dan peralatan tajam habis pakai lainnya kedalam wadah khusus yang tahan
tusukan/tidak tembus sebelum dimasukkan ke insenerator. 2,6,7,8
Bila wadah khusus terisi ¾ harus diganti dengan yang baru untuk
menghindari tercecer. Apabila terjadi kecelakaan kerja berupa perlukaan
seperti tertusuk jarum suntik bekas pasien atau terpercik bahan infeksius
maka perlu pengelolaan yang cermat dan tepat serta efektif untuk mencegah
semaksimal mungkin terjadinya infeksi yang tidak diinginkan. 2,6,7,8
Sebagian besar insiden pajanan okupasional adalah infeksi melalui darah
yang terjadi dalam fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes). HIV, hepatitis B
dan hepatitis C adalah patogen melalui darah yang berpotensi paling
berbahaya, dan kemungkinan pajanan terhadap patogen ini merupakan
penyebab utama kecemasan bagi petugas kesehatan di seluruh dunia. Risiko
mendapat infeksi lain yang dihantarkan melalui darah (bloodborne) seperti
hepatitis B dan C jauh lebih tinggi dibandingkan mendapatkan infeksi HIV.
Sehingga tatalaksana pajanan okupasional terhadap penyebab infeksi tidak
terbatas pada PPP HIV saja.1,2,6
2.9 Tatalaksana Pajanan
Tujuan tatalaksana pajanan adalah untuk mengurangi waktu
kontakdengan darah, cairan tubuh, atau jaringan sumber pajanan dan untuk
membersihkan dan melakukan dekontaminasi tempat pajanan.
Tatalaksananya adalah sebagai berikut: 2,6,7
1) Bila tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir dan sabun/cairan
antiseptik sampai bersih
2) Bila darah/cairan tubuh mengenai kulit yang utuh tanpa luka atau tusukan,
cuci dengan sabun dan air mengalir

11
3) Bila darah/cairan tubuh mengenai mulut, ludahkan dan kumurkumur
dengan air beberapa kali.
4) Bila terpecik pada mata, cucilah mata dengan air mengalir (irigasi), dengan
posisi kepala miring kearah mata yang terpercik.
5) Bila darah memercik ke hidung, hembuskan keluar dan bersihkan dengan
air.
6) Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditekan dan dihisap dengan mulut
2.10 Kebijakan dan Pengorganisasian PPI di FKTP
a. Kebijakan
Untuk memastikan program PPI dapat berjalan dengan baik, FKTP perlu
membuat kebijakan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-
undangan.7,10
Kebijakan yang perlu dibuat oleh FKTP, meliputi:
1) SK pembentukan TIM PPI atau kordinator PPI yang dilengkapi dengan
uraian tugas
2) Apabila peraturan internal FKTP yang ada saat ini belum mencakup
program PPI maka ditambahkan program PPI
3) Rencana kegiatan PPI (Rencana lima tahunan dan tahunan)
4) Kerangka acuan kegiatan (melengkapi rencana kegiatan yang telah
disusun)
5) Standar Operasional Prosedur (SOP)
6) Format pencatatan, pelaporan, mengembangkan instrumen pemantauan
(monitoring) terhadap pelaksanaan PPI
Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota berkewajiban membantu,
memfasilitasi dan memonitoring serta melakukan evaluasi terhadap
terlaksananya PPI di FKTP berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Pengorganisasian
Struktur dan Tim PPI, merupakan upaya dalam pelaksanaan program PPI
yang sesuai dengan tujuan, maka penetapan tim PPI atau kordinator PPI
yang merupakan bagian dari struktur organisasi di FKTP dengan tugas,

12
fungsi, kewenangan, dan peran yang jelas dalam Pedoman Teknis PPI di
FKTP Kemenkes RI tahun 2020. Struktur organisasi tim PPI disesuaikan
dengan kebutuhan, beban kerja dan SDM yang dimiliki.6,9
Kordinator PPI dapat bertanggung jawab langsung kepada pimpinan
fasilitas kesehatan atau melalui penanggung jawab mutu.7

Gambar 6. Struktur Organisasi PPI di Puskesmas

13
BAB III
ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH
“Bidan Puskesmas yang Terkonfirmasi Positif HIV Akibat Pajanan Dari
Pasien”
3.1 Identifikasi insiden yang akan dinvestigasi
Insiden:
Ditemukan kasus bidan puskesmas yang terkonfirmasi positif HIV akibat
pajanan dari pasien
TIM:
Ketua: dr. Muh Yaqub Basri
Anggota: 1. Magfira Rusmiadi, S.Kep., Nurse
2. Faradiba Tenri, S.Kep., Nurse
3. Nurul Mufti Adliah, Amd. Kep
Apakah semua area yang terkait sudah terwakili? Ya Tidak
Apakah macam-macam & tingkat pengetahuan yang berbeda, sudah diwakili
dalam tim tersebut? Ya Tidak
Siapa yang menjadi notulen: Faradiba Tenri, S.Kep., Nurse
Tanggal dimulai : Senin, 22 Agustus 2022
Tanggal dilengkapi : Rabu, 24 Agustus 2022

3.2 Kumpulan data dan informasi


a. Obervasi langsung:
Berdasarkan keterangan dari bidan petugas kamar bersalin yang
melakukan shift kerja di sabtu pagi, menjelaskan bahwa bidan X melakukan
suatu tindakan invasif tersebut sebagaimana biasanya dengan menggunakan
handscun non-steril untuk melakukan pengambilan darah rutin sesuai yang
dianjurkan setelah persalinan pada pasien yang terkonfirmasi HIV rekatif saat
pemeriksaan awal sebelum persalinan. Bidan X meletakkan jarum yang
sebelumnya ia gunakan di tepian bed pasien yang selanjutnya tersenggol dan
terjatuh mengenai kakinya, namun bidan X masih enggan melaporkannya
secara langsung oleh karena ia tidak tahu harus membuat pelaporan dan

14
pengaduan, sehingga bidan X hanya memberitahukannya kepada bidan lain
yang menemaninya saat itu ketika hendak akan bergantian shift di siang hari
pukul 14.00 wita waktu Puskesmas Sehat Sentosa.
b. Dokumentasi:
Dokumentasi terlampir dalam format pengumpulan data dan checklist tim
PPI Puskesmas Sehat Sentosa.
c. Interview:
1) Bidan Y (selaku rekan bidan X)
2) Bidan X
3) Kepala Ruangan Kamar Bersalin

3.3 Form Masalah/Care Menagement Problem (CMP)


MASALAH Insturmen/tools
Kurangnya pengetahuan dalam
5 WHY
pengambilan sample darah
Kurangnya pengetahuan pengelolaan
5 WHY
limbah medis
Kelalaian dalam melakukan tindakan 5 WHY
Kurangnya pengetahuan mengenai
5 WHY
pelaporan penyakit akibat kerja
Tabel 1. Care Management Problem

Insiden dapat terjadi saat melakukan tindakan (commission) ataupuan


tidak melakukan tindakan yang seharusnya (ommission). Suatu insiden bisa
terdiri dari beberapa masalah sehingga perlu dilakukan identifikasi masalah
untuk mengetahui serangkaian kejadian yang mengakibatkan insiden.9
Dari kasus ini diketahui terdapat beberapa masalah yang dapat
diidentifikasi untuk selanjutnya dilakukan analisis informasi masalah yang
terlah ditemukan.

15
3.4 Metode 5 WHY (Why-why Chart)
Lebih difokuskan pada pendalaman RCA sehingga investigator yang
menggunakan teknik ini dapat mencari penyebab insiden keselamatan pasien
lebih mendalam. Tujuannya adalah untuk bertanya mengapa? Secara konstan
melalui lapisan penyebab sehingga mengarah ke akar permasalah dari
problem yang teridentifikasi.9
Efek Penyebab
Mengapa petugas dapat terpajan Petugas lalai dalam menaruh jarum
HIV bekas pengambilan darah pasien HIV
Mengapa petugas lalai menaruh
Petugas tidak tahu pengelolaan
jarum bekas pengambilan darah
limbah medis (jarum suntik)
pasie HIV
Mengapa petugas tidak tahu
Petugas belum pernah mengikuti
pengelolaan limbah medis (jarum
pelatihan PPI dan K3 di fasyankes
suntik)
Petugas belum pernah mendapat
Mengapa belum pernah mengikuti
sosialisasi tentang PPI dan K3 di
pelatihan PPI dan K3 di Fasyankes
fasyankes
Petugas merupakan tenaga kesehatan
Mengapa belum mendapatkan
yang baru bekerja dan tidak ada
sosialisasi tentang PPI dan K3 di
petugas laboratorium yang mengajari
fasyankes
cara pengambilan sample darah.

Tabel 2. Why-why Chart dalam mengidentifikasi penyebab akar masalah


Metode ini dilakukan dengan dasar untuk mengidentifikasi penyebab
masalah serta untuk mengidentifikasi gejala (simptom), penyebab terdekat
(proximate cause), faktor-faktor yang berpengaruh (an influencing factor),
dan akar masalah (root cause). 9
Selain itu metode ini digunakan juga untuk melanjutkan pencearian akar
masalah yang sebenarnya, meskipun telah diketahui kemungkinan penyebab.
9

3.5 Analisis tulang ikan


Diagram tulang ikan atau fishbone diagram adalah salah satu metode
untuk menganalisa penyebab dari sebuah masalah atau kondisi. Sering juga
diagram ini disebut dengan diagram sebab-akibat atau cause effect diagram.
Penemunya adalah Professor Kaoru Ishikawa, seorang ilmuwan Jepang yang

16
juga alumni teknik kimia Universitas Tokyo, pada tahun 1943. Sehingga
sering juga disebut dengan diagram Ishikawa.9,10
Pada kasus ini, dapat diketahui terdapat penyebab masalah yang dapat
diidentifikasi sebagai penyebab spesifik timbulnya suatu efek tertentu dari
permasalahan yang ada.

Faktor Faktor
Faktor pasien Staf/petugas VK Faktor Tim
Tugas

Pasien koperatif Kurangnya Kurangnya kordinasi


dan memberikan TIM PPI di fasyankes
Pengetahuan & Tidak
feedback yang
kelelaian saat tersedianya SOP
baik pada petugas
bertugas/bidan pasien HIV di VK Bidan/ petugas
yang terpajan
HIV positif dari
pasie

Kurangnya Kurangnya penerapan


pelatihan PPI & K3 Lingkungan budaya safty di VK
di Fasyankes kerja optimal

Faktor edukasi Faktor FaktorOrganisasi


dan pelatihan Lingkungan &Manajemen
Kerja

Gambar 7. Diagram Fishbone untuk analisis masalah

Fishbone Diagram atau Cause and Effect Diagram ini dipergunakan


untuk:
1) Mengidentifikasi akar penyebab dari suatu permasalahan
2) Mendapatkan ide-ide yang dapat memberikan solusi untuk pemecahaan
suatu masalah
3) Membantu dalam pencarian dan penyelidikan fakta lebih lanjut
Fungsi dasar diagram Fishbone (Tulang Ikan)/ Cause and Effect (Sebab
dan Akibat)/ Ishikawa adalah untuk mengidentifikasi dan mengorganisasi

17
penyebab-penyebab yang mungkin timbul dari suatu efek spesifik dan
kemudian memisahkan akar penyebabnya. Fishbone Diagram sendiri banyak
digunakan untuk membantu mengidentifikasi akar penyebab dari suatu
masalah dan membantu menemukan ide-ide untuk solusi suatu masalah.10
3.6 Rekomendasi dan rencana kerja untuk improvement
Penanggung
Akar masalah Rekomendasi Tindakan Waktu
jawab
Terhitung 4
Penetapan jam pertama
langkah dasar setelah
tatalaksana 1.Penetapan pemenuhan syarat pajanan atau
klinis PPP HIV PPP HIV <72 setelah
Bidan yang kasus 2.Informed concent terpajan atau
terkonfirmasi kecelakaan 3.Melakukan tes HIV apabila telah
(+) HIV akibat 4.Pemberian obat untuk PPP Ketua tim PPI terkonfirmasi
kerja
HIV
pajanan dari 5.Evaluasi laboratorium untuk segera
pasien (PMK No. 27 6.Menjamin pencatatan melakukan
tahun 2017 7.Memberikan follow up dan konseling dan
Tentang dukungan follow up
Pedoman PPI untuk
di Fasyankes) mendapatkan
ART
Membuat SOP
Membuat rapat kordinasi
pengelolaan
dengan kepala puskesmas
pasien HIV di
tentang rancangan SOP pasien
VK dalam
HIV di VK serta memasang
Tidak bentuk
bagan pelaporan kasus KAK Disesuaikan
tersedianya kelengkapan
Komite K3 dengan hasil
SOP pasien administratif
Fasyankes dan rapat
HIV di VK dan/atau bagan
Tim PPI kordinasi
serta SOP PPI
dengan kapus
pelaporan KAK (PMK No. 27
tahun 2017
Tentang
Pedoman PPI
di Fasyankes)
Kurangnya Membuat Melakukan kerjasama lintas Tim PPi dan Sesegera
pelatihan PPI pelatihan sektor yang dinaungi oleh dinas K3 fasyankes mungkin
dan K3 di dalam bentuk kesehatan kota/kabupaten yang disetujui setalah

18
dalam pembuatan pelatihan dan
pendidikan dasar PPI dan K3
seminar/
fasyankes menggunakan
workshop
metode aplikasi “help.me”
tentang dinas pelaporan
dengan intergrasi puskesmas
fasyankes penerapan PPI kesehatan hasil tahunan
yang menyediakan layanan
dan budaya kota/kabupaten tim PPI
pelatihan dengan akses
safety di
online/offline termasuk
fasyankes
konsultasi dan cara pelaporan
KAK/PAK
Tabel 3. Rekomendasi dan rencana kerja
3.7 Protokol PPP HIV & rencana

19
20
21
Gambar 8. Aluran pasca pajanan jarum suntik HIV

22
Rencana Poster

Gambar 9.

Gambar 10.

23
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagimana telah dipaparkan diatas, mencegah bahaya tertusuk jarum suntik


dimulai dengan mengetahui sumbersumber bahaya atau hazard yang melibatkan
dua faktor. Pertama, faktor manusia yang sub-faktornya terdiri dari umur, jenis
kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, pelatihan kewaspadaan universal,
persepsi terhadap resiko NSI, standarisasi dan pelaksanaan (SOP), pengawasan,
reward, jarum suntik safety design, sharps container, APD, kepatuhan
pelaksanaan kewaspadaan universal, tingkat keamanan menyuntik, kewaspadaan
universal, dan post exposure prophylaxis. Kedua, faktor instrumen yang sub-
faktornya terdiri dari semua benda tajam, yang digunakan di tempat pelayanan
kesehatan, seperti jarum hipodemik, jarum jahit luka, dll.
Pentingnya pemahaman K3 dan Pengendalian Pencegahan Infeksi untuk
mencegah penyakit akibat kerja ataupun kecelakaan akibat kerja di tempat
pelayanan kesehatan sehingga kedepannya bisa dilakukan pencegahan mulai dari
perilaku semua pihak yang merupakan golongan utama yang beresiko NSI
(dengan memperhatikan juga pembuatan standar kerja, pemasangan poster K3,
pelatihan kerja, manajemen K3RS, dan safety device). Termasuk pula perilaku
untuk penanganan bagi mereka yang telah terjadi NSI.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. PERMENKES No.52 Tahun 2018 Tentang Keselamatan Dan Kesehatan


Kerja Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
2. PERMENKES No. 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman Pencegahan Dan
Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
3. PERMENKES No. 87 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengobatan
Antiretroviral. 2015. Republika
4. Infodatin Kemenkes RI. Tentang HIV/AIDS. Tahun 2020
5. Kemenkes RI. Panduan Perawatan ODHA untuk Keluarga dan Manyarakat.
Jakarta: 2017
6. Kemenkes RI. Pedoman Teknis Pengendalian Dan Pencegahan Infeksi Tahun
2020. Direktorat Jendaral Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI.
7. Ismara KI, Hosodo A, Prabandani Y, Hariyono W, Mencegah Bahaya
Tertusuk Jarum Suntik (NSI: Prevention). UNY Press. Yogyakart: 2018.
8. Pedoman Kerja Pencegahan dan Pengendalian Infeksi. RSUD Dr. Moewardi
provinsi Jawa Tengah. 2021.
9. Depkes RI. Pedoman Manajerial Pencagahan dan Pengendalian Infeksi di
Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya. Perdalin. Jakarta:
2008.
10. Kepmenkes RI. No. 432/Menkes/SK/2007 Tentang Pedoman Manajemen
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Rumah Sakit.
11. PEMENKES RI. No. 56 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Penyakit Akibat Kerja.
12. PERMENKES RI. No. 66 Tahun 2016 Tentang Kesehatan dan Keselamatan
Kerja di Rumah Sakit.
13. Siregar AU. Penularan Penyakit Terhadap Perawat Akibat Kecelakaan Kerja.
Journal K3RS. 2017.
14. Undang-Undang No. 01 Tahun 1970. Tentang Keselamatan Kerja. Presiden
Republik Indonesia.

25
15. Rooney J J, Vanden Heuvel N L. Root Cause Analysis For Beginners.
Quality Basics. July 2004. Cited on: www.asq.org
16. Peraturan Menteri Ketenaga Kerjaan dan Transmigrasi No. 2 Tahun 1980
Tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan
Keselamatan Kerja.
17. Sutrisno E, Hidayati SM. Tanggungjawab Hukum Klinik Kesehatan Dalam
Pemeriksaan Kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia. Syntax Literate.
September 2017. Vol: 2(9).
18. PERMENKES RI. No. 37. Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Laboratorium Pusat Kesehatan Masyarakat.
19. Apt. Rizki Ardiansyah. Root Cause Analysis. YouTube. Cited on:
https://www.youtube.com/watch?v=A3UGRhkfrPw

26

You might also like