Professional Documents
Culture Documents
BBS - Bu Eng Hu Chap3
BBS - Bu Eng Hu Chap3
By BBS
Bingung juga Lie Yang setelah membaca tulisan itu, apalagi tulisan
terakhir. Belum sempat ia menyelami maksud tulisan itu telinganya sudah
mendengar suara rintihan dari mulut Kwat Lin. Sekuat tenaga Lie Yang
mencoba menyeret tubuhnya mendekati tubuh Kwat Lin.
“Nona Lin, apakah kamu sudah sadarkan diri? Bagaimana keadaanmu
saat ini?” tanya Lie Yang khawatir. Lalu ia mencoba mengangkat kepala Kwat
Lin yang masih merintih-rintih kesakitan.
Dua mata Kwat Lin terbuka pelan-pelan setelah Lie Yang berhasil
memangkunya.
“Ka...u kau masih hidup?!!” tanya Kwat Lin kaget hampir menjerit
ketakutan kalau mulutnya tidak ditutup oleh tangan Lie Yang.
“Jangan banyak bergerak dan bicara, lebih baik coba pulihkan dulu
tenaga baru boleh bicara!” bisik Lie Yang ke telinga Kwat Lin.
Lalu Kwat Lin yang memang penurut mengikuti arahan Lie Yang tanpa
bertanya atau bicara apapun. Kedua matanya terpecam mencoba
mengerahkan sinkang dari tubuhnya. Namun usahanya gagal tanpa
diketahui kenapa dan apa yang terjadi. Selain lemah karena tenaganya habis
juga darahnya terasa panas membara.
Next Chapter: Bie Hun Tok ( 2 )
sebagai penyerahan segala jiwa Kwat Lin dan terasa tergetar. Maklum
urusan pernikahan bagi seorang perempuan yang masih berumur enam
belas tahun seperti Kwat Lin masih sangat tabu. Sehingga sangat malu ia
berkata seperti itu.
Tidak perlu ditanya lagi kenapa Kwat Lin berani menerima begitu saja
pernyataan dari tulisan di dinding itu, bukan lain karena sebenarnya sejak
awal ia juga telah menaruh hati pada Lie Yang, begitu juga sebaliknya. Cinta
tumbuh begitu cepat dan singkat di hati dua pemuda itu, padahal umur
mereka baru belasan tahun. Memang benar apa yang dikatakan para
pujangga, bahwa awal dari munculnya cinta adalah dari mata atau saling
pandang memandang.
Senang sekali hati Lie Yang mendengar pengakuan Kwat Lin yang sudah
tidak sabar ditunggunya. Seperti ada kekuatan dahsyat yang menarik Lie
Yang sehingga tanpa dirasanya ia sudah mengesot ke arah Kwat Lin.
Ditatapnya wajah yang bersemu merah dalam keadaan menunduk karena
malu itu.
“Lin-moi, aku Song Lie Yang bersumpah atas saksi Tuhan Yang Maha
Suci, saat ini juga aku mengaku engkau Yang Swat Lin sebagai istri
tercintaku. Apakah engkau menerima pengakuanku ini?” kata Lie Yang
dengan lantang mengerahkan tenaga yang tersisa.
“Aku Yang Kwat Lin bersaksi kepada Tuhan Yang Maha Suci mengatakan
bahwa mulai detik ini telah menjadi istri dari Song Lie Yang dengan resmi!”
jawab Kwat Lin lantang juga.
“Hahaha...begitu ajaib keadaan kita ini. Aku tidak pernah menyangka
sebelumnya bahwa aku akan mendapatkan istri yang begini cantik dan
menyenangkan sepertimu Lin-moi!” kata Lie Yang tertawa senang. Kwat Lin
hanya tersenyum melihat kelakuan Lie Yang yang seperti anak kecil.
“Aduh...!!!!” tiba-tiba terdengar suara Lie Yang mengaduh kesakitan.
Terasa badannya tiba-tiba saja dijalari hawa panas. Semua tubuhnya tampak
memancarkan hawa panas yang membuat tubuhnya kegerahan. Kwat Lin
tampak kaget dan khawatir melihat Lie Yang mengaduh-ngaduh kesakitan
sampai pemuda ini menggelinjang-ngelinjang seperti cacing kepanasan.
Wajahnya tiba-tiba saja menjadi merah membara.
“Apakah yang sakit Yang-twako? Di mana yang sakit?” tanya Kwat Lin
terisak-isak tidak tega melihat suami barunya mengeliat-liat seperti itu.
“Panas! Panas... mo-moi!” teriak Lie Yang dengan parau.
“Aduh ...!!! Badanku juga tiba-tiba panas! Panas...panas.. aduh...!!” tiba-
tiba Kwat Lin terkulai mengeliat-liat kepanasan seperti Lie Yang.
Dua pemuda yang telah menjadi suami-istri secara ‘kebetulan dan
mendadak’ itu menggelita-liat seperti orang kepanasan. Wajah dua pemuda
itu tampak merah seperti kepiting rebus. Saking tidak tahannya menahan
panas dari dalam tubuhnya, Lie Yang lalu merobek-robek bajunya sehingga
dalam sekejab saja tubuh atasnya sudah telanjang dada. Kwat Lin juga
mengerang-ngerang kepanasan, sampai bajunya juga tanpa diketahuinya
sudah terkoyak-koyak. Sehingga tampak kulitnya yang putih memerah
akibat hawa panas yang berlebihan. Beberapa menit kemudian hawa panas
yang baru menyerang mereka sudah berangsur-angsur menghilang, namun
terjadi keanehan setelah hawa panas ini hilang. Terdengar rintihan halus dari
dua pemuda itu.
Walaupun hawa panas sudah banyak hilang, namun masih menyiksa
dua orang ini. Keajaiban yang baru datang itu adalah mereka merasakan
kekuatan mereka menjadi bertambah sehingga mereka bisa duduk
bersandar dinding. Tanpa sengaja tangan Lie Yang sudah menggenggam
erat tangan Kwat Lin sambil menahan gerah. Lie Yang menoleh ke arah
wajah istrinya yang tampak lebih cantik.
“Bagaimana keadaanmu Lin-moi? Apakah engkau merasakan ada yang
aneh dengan tubuhmu?” tanya Lie Yang terbata-bata.
Kwat Lin hanya menjawab dengan nafasnya yang semakin terdengar
aneh. Nafasnya juga terasa semakin memburu. Ia memejamkan mata ketika
meraskan tangan Kwat Lin meremasnya dan ia juga meremas tangan istrinya
itu. Sekelebat maksud tulisan-tulisan yang ada di dinding berhasil ia pahami.
Ternyata rasa aneh itu adalah keinginan untuk menyalurkan keinginan
biologis yang biasa diperbuat oleh seorang yang sudah menjadi suami-istri.
Racun yang dideritanya kemungkin semacam racun perangsang sehingga
membuat orang terangsang.
Remasan tangan Lie Yang tidak hanya berkutit pada tangan Kwat Lin
istrinya, namun lama kelamaan merambat ke atas. Lalu ia merebahkan tubuh
Kwat Lin yang sedang empas-empis aneh. Kwat Lin menurut sambil
memjamkan matanya. Pikirannya sudah tidak terkontrol lagi. Tiba-tiba ia
merasakan ada benda basah menyentuh bibirnya. Ketika ia membuka mata,
ia melihat bibir Lie Yang sudah mengecup bibirnya. Ia tidak bisa berbuat
apa-apa karena ciuman ini mendatangan rasa nikmat dan lega. Siksaan-
siksaan rasa panasnya sepertinya hilang. Saat ini ia hanya merasakan rasa
nikmat yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Perlahan tapi pasti Lie
Yang sudah membuka semua baju Kwan Lin dan menikmati tubuh istrinya.
Entah berapa lama sudah mereka tenggelam dalam lautan asmara yang
menggelora seperti ombak lautan? Ruangan itu tampak sepi dan gelap,
hanya suara desahan dua pemuda yang baru menikmati malam pertama
saja terdengar menyenangkan. Setelah bermain asmara entah berapa jam,
mereka lalu tertidur pulas tanpa pakaian sama sekali. Rasa lelah karena
melawan racun dan melakukan hubungan jasmaniah membuat mereka
benar-benar kelelahan sampai tertidur pulas.
Next Chapter: Bie Hun Tok ( 3 )
berdiri dalam keadaan tidak berpakaian sama sekali. Baru saja ia mau meraih
bajunya yang ada di dekat tubuh istrinya, Kwat Lin sudah terbangun dengan
sorot mata mengandung kekagetan.
“Aihh. Dasar tidak tahu malu!” tiba-tiba Kwat Lin menjerit sambil
menutup matanya dengan telapak tangannya, ketika melihat tubuh Lie
Yang.
“Hahaha... lihat dirimu sendiri, apakah engkau mau mencela dirimu
sendiri?” jawab Lie Yang tertawa renyah melihat kelakuan Kwat Lin yang
lucu.
Kwat Lin dengan gerakan reflek langsung mengambil bajunya dan
memakai sekenanya dengan risih melihat mata suaminya menatapnya
dengan buas.
Sambil tertawa Lie Yang terus memandangi Kwat Lin. Setelah selesai
memakai baju tiba-tiba saja sorot mata Kwat Lin menjadi tampak beringas.
Ia marah melihat kelakuan Lie Yang seperti itu. Ia menyerang mencoba
memukul ke arah dada Lie Yang.
“Eh, apakah engkau ingin membunuhku sekali lagi seperti kemarin?”
tanya Lie Yang sambil tersenyum.
Seketika tangan Kwat Lin menjadi lemas seperti tidak bertenaga.
Memang sangat kasar sifat Kwat Lin, namun sekasar apapun seseorang,
kalau sudah bisa dijinakkan akan menurut juga.
“Pakai dulu bajumu, kalau tidak aku tidak mau melihatmu barang sedikit
pun!” kata Kwat Lin merajuk. Lalu ia membalikkan badannya menghadap
tembok.
Lie Yang mengambil bajunya dan memakainya. Setelah selesai memakai,
Kwat Lin sudah mau melihatnya. Kali ini Kwat Lin melihat Lie Yang dengan
ngikik, entah apa yang ditertawakannya.
Lie Yang juga ikut tertawa senang melihat Kwat Lin tidak cemberut
marah lagi.
“Panjang sekali terowongan gua ini! Apakah kita salah masuk?” kata
Kwat Lin.
“Entahlah, kita lihat dulu ada apa di ujung terowongan sana! Sepertinya
ada cahaya matahari.”
Lie Yang dan Kwat Lin maju terus menelusuri terowongan yang hanya
mempunyai lebar setengah meter itu, terlalu sempit untuk dilalui oleh dua
orang dengan berjalan berdua, sehingga Kwat Lin hanya bisa berjalan di
belakang Lie Yang.
Berkali-kali terlintas rasa heran sekaligus bangga terhadap Lie Yang. Ia
tidak mengira bahwa suaminya yang lemah tidak bisa silat mempunyai
ketabahan dan keberanian seperti singa. Sedangkan dirinya yang sudah
kenyang malang-melintang di dunia kang-ouw saja merasa ngeri.
Sebenarnya Kwat Lin tidak tahu sosok manusia yang berjenis ‘laki-laki’ kalau
sudah mempunyai tanggung- jawab dan perhitungan mantap, maka
segalanya akan dijalani dengan berani. Apalagi kalau di dalam hati ‘laki-laki’
sudah muncul rasa ingin melindungi seorang yang disayangi, maka medan
apapun tidak akan membuatnya gentar atau takut.
Benar saja, setelah berada di ujung terowongan, mereka lalu membelok
ke kiri dan di sanalah mereka mendapati ruangan yang sangat luas. Sepuluh
lipat luasnya dari ruangan yang pernah mereka tempati sebelumnya.
Ruangan itu mempunyai dua kamar sebesar ruangan di luar. Di ujung
ruangan itu ada dua lorong yang sepertinya menghubungkan ke dunia luar.
Lorong pertama terlihat ada cahaya matahari, sedangkan lorong ke dua
terdengar suara air terjun. Cahaya yang dipantulkan dari lorong pertama
dapat menerangi seluruh ruangan besar ini. Banyak sekali peralatan yang
terdapat di ruangan ini, walaupun terlihat sudah lama tidak disentuh orang.
Setelah memeriksa lorong pertama, Lie Yang mendapatkan bahwa di dalam
lorong itu terdapat ruangan yang luas juga. Cahaya matahari ternyata keluar
dari sela-sela dinding gua yang ada di atas. Tampak terlihat langit yang
begitu indah. Cahaya matahari itu memancar dari sel-sela dinding atas gua
yang hanya sebesar 20 cm dengan panjang sampai belasan meter. Di pojok-
pojok dinding ruangan ini dihuni oleh sarang burung walet, ada puluhan
sarang bergelantungan di tembok-tembok. Sarang-sarang itu dibuat di
celah-celah dinding yang tidak terkena pantulan langsung cahaya matahari.
“Akhirnya kita bisa menemukan makanan yang enak!” kata Lie Yang
girang.
“Mana?” tanya Kwat Lin tidak mengerti.
“Itu! Telur burung-burung itu dapat kita makan, juga air liurnya dapat
kita jadikan sup sarang walet yang dapat menguatkan daya tubuh!” kata Lie
Yang menjelaskan. Kwat Lin menjadi girang juga. Tiba-tiba perutnya
terdengar berkeruyuk.
“Kamu di sini mengambil telur-telur burung itu yang sepertinya baru
mulai musim bertelur, sedangkan aku akan memeriksa lorong ke dua!” kata
Lie Yang dan meninggalkan Kwat Lin yang tampak sedang mencari akal
bagaimana dapat mengambil telur-telur di sarang walet yang jauh dari
jangkauannya.
Di lorong ke dua, tempatnya tida jauh berbeda dengan lorong pertama,
namun di sini terdapat aliran air yang turun dari atas puncak gunung. Aliran
air yang turun melalui celah-celah dinding gua cukup deras sehingga
sampai menggenangi di dadar gua. Lorong ke dua ini bisa dikatakan
sebagai tempat mandi. Di tempat ini banyak ditemui jamur-jamur yang bisa
dimakan. Di beberapa celah dinding gua ini juga dapat ditemui sarang
walet, bahkan lebih banyak dari gua ke dua. Mungkin karena gua ini lebih
gelap dan ada airnya sehingga banyak burung walet lebih senang membuat
sarang di tempat ini.
Setelah puas memeriksa dua gua, ia mencoba memeriksa dua kamar
yang ada di dalam ruangan besar. Satu kamar kosong, tidak ada barang
sedikitpun hanya kursi dari batu dan tempat tidur. Sebaliknya di kamar ke
dua, banyak sekali ditemukan barang-barang, termasuk beberapa setail baju
dari kain kasar yang masih baik. Ada beberapa buku di atas meja di tengah,
sebentar kemudian Lie Yang sudah membuka-buka beberapa lembar dari
lima buku itu. Ternyata buku itu ada buku ilmu silat yang sengaja
ditinggalkan oleh Uh Hou-hoat kepada mereka. Lie Yang hanya sebentar
saja membuka buku-buku itu dan meninggalkannya, karena matanya
melihat tulisan di tembok.
jamur-jamuran. Sedangkan Kwat Lin masih tidak mau keluar dari gua
pertama sejak tadi.
Lie Yang heran sekali, kenapa Kwat Lin tidak juga keluar-keluar padahal
masakannya hampir matang.
Ia meninggalkan masakannya menuju gua pertama untuk melihat apa
yang dilakukan oleh Kwat Lin. Kwat Lin ternyata sedang menangis terisak-
isak di atas batu pinggir gua. Lie Yang benar-benar tidak mengerti kenapa
Kwat Lin menangis, padahal seingatnya ia tidak merasa menyakiti hatinya. Ia
benar-benar tidak mengerti sebenarnya bagaimanakah hati seorang
perempuan.
“Lin-moi, kenapa menangis, kalau aku punya salah engkau boleh
memukulku sampai mampus!”
Kwat Lin diam saja tidak menjawab perkataan Lie Yang. Malahan ia
semakin terisak sedih.
“Ada apakah Lin-moi, kenapa masih menangis? Kalau ada apa-apa bisa
dibicarakan dengan baik-baik!”
“Apa salahku kepadamu, sehingga engkau berani mempermainkanku
dan membohongiku?” isak Kwat Lin.
Lie Yang duduk di sampingnya sambil memegang pundaknya.
“Maafkan aku, Lin-moi. Bukan maksudku untuk membohongimu. Saat
itu ada beberapa hal yang tidak mungkin dapat kujelaskan kepadamu. Kalau
engkau masih penasaran denganku, engkau boleh bertanya dan aku tidak
akan mengelak lagi!”
Kwat Lin melihat wajah Lie Yang dengan sungguh-sungguh seperti ingin
menjenguk hati suaminya.
“Benarkah engkau tidak punya kemampuan apa-apa, sehingga dahulu
sekali pukul saja engkau sudah....?” tanyanya sambil memotong beberapa
perkataannya yang sudah dapat dipahami oleh Lie Yan.
“Hakikatnya kita adalah manusia yang lemah, Lin-moi. Kalau orang bisa
bersilat engkau anggap sebagai orang hebat, maka itu salah. Terus terang
saja, sejak umur sepuluh tahun aku sudah diajari silat oleh seseorang yang
Bie Hun Tok ( 4 ) Pelataran-72
MANUSIA SUCI BU ENG HU
By BBS
“Baiklah kalau begitu, aku percaya padamu. Aku ingin tanya sesuatu
persoalan kepadamu, apakah kamu mau menjawabnya?” kata Kwat Lin.
“Apakah engkau ingin bertanya tentang kenapa aku tidak mau
mempelajari lima ilmu ini, bukan?” kali ini mata kiri Lie Yang berkedip-kedip
seperti biasanya kalau sudah merasakan kesenangan.
Kwat Lin menghela napas berat, entah apa yang ada dipikirannya.
“Memang engkau cacing di dalam perutku sehingga engkau tahu
semua maksudku, sedangkan aku sama sekali tidak mengerti atau paham
maksud dalam hatimu?!” kata Kwat Lin mengakui kebolehan suaminya.
Lie Yang tertawa renyah mendengar nafas berat istrinya. Sepertinya lagi
kesal terhadapnya.
“Kenapa aku tidak mau mempelajari lima ilmu silat ini, karena persoalan
ini berhubungan erat dengan persoalan yang ingin kutanyakan kepada dua
locianpwe itu. Kali ini juga tidak bisa kujawab pertanyaanmu, sayang! Lain
kali engkau akan tahu dengan tersendirinya. Sebenarnya aku masih harus
memperdalam ilmu yang kupelajari dari pengajarku sehingga tidak mungkin
aku mempelajari ilmu yang lainnya. Mungkin hanya itu yang bisa kuberi
tahukan kepadamu. Walaupun begitu engkau jangan khawatir, aku akan
membantumu untuk mempelajari lima kitab ini sampai dapat
menguasainya!”
“Bukalah lima buku itu, aku akan sedikit memberitahumu bagaimana
cara menguasai lima ilmu ini dengan waktu yang sangat singkat!” Lie Yang
menyambung lagi.
Kwat Lin benar-benar tidak mengerti apa maksud suaminya. Namun ia
tetap menurut perintah suaminya.
“Tiga Ilmu ini adalah ilmu silat yang menitik beratkan kepada sinkang
yang minimal sudah mendekati sempurna, sehingga bagi seseorang yang
tidak mempunyai sinkang dan lwekang (tenaga dalam) cukup akan
menyebabkan cidera ketika memaksa mempelajari tiga ilmu ini. Ilmu ini
sebenarnya tidak hanya terdiri dari tiga kitab atau bagian saja, namun terdiri
dari delapan kitab atau bagian yang saling berhubungan antara satu sama
lainnya. Menurutku, lebih baik engkau jangan mempelajari tiga ilmu ini dulu
Ini adalah metode tercepat untuk menguasai semua ilmu yang ditinggalkan
oleh paman Uh dan ayahmu. Sekarang engkau boleh bertanya!” Lie Yang
selesai menerangkan lima buku teori silat ini.
“Sebenarnya aku hanya ingin tahu bagaimana engkau bisa mengetahui
begitu banyak tentang lima ilmu khas Kim-liong-pay ini? Dan apakah tidak
lebih baik saja aku mempelajari tiga ilmu pertama kalau memang dua ilmu
terakhir adalah isinya?”
“Sudah kuduga bahwa engkau akan bertanya soal ini. Sebenarnya aku
secara tidak sengaja mendapatkan pengetahuan ini, ketika aku dahulu
pernah mendapatkan lima teori ini juga. Bahkan aku sudah hapal lima teori
ilmu silat ini, hanya saja aku tidak tahu banyak tentang Kim-liong-pay dan
baru sekarang aku tahu bahwa lima buku yang pernah kubaca itu adalah
ilmu-ilmu khas dari Kim-liong-pay. Untuk pertanyaanmu yang ke dua,
memang sepertinya dua ilmu ini tidak perlu lagi dipelajari, kalau nanti
dipelajari lagi di tiga ilmu induknya. Jangan engkau menyala artikan seperti
itu, dua ilmu ini disamping dapat mempercepat proses menguasai tiga ilmu
induknya, juga dapat engkau jadikan tambahan penguasaan ilmu silatmu.
Perlu engkau ketahui, bahwa tiga ilmu silat pertama dapat menghabiskan
tenaga begitu banyak untuk dapat menggunakannya. Makanya sangat
dianjurkan untuk tidak menggunakannya kecuali bertemu lawan tanding
yang sangat hebat. Sedangkan menguasai dua ilmu terakhir, dapat dijadikan
pegangan untuk melawan lawan yang tidak begitu berbahaya dan juga
untuk melatih gerakan tiga ilmu pertama sehingga benar-benar mendarah
daging. Dan antara dua ilmu terakhir dan tiga ilmu pertama terdapat
perbedaan yang sangat nyata dan jelas ketika engkau mempelajari kedua-
duanya. Untuk hari-hari ini lebih baik engkau melatih dua ilmu terakhir
sambil menambah sinkang dan lwekang dengan banyak bersemadhi. Aku
akan membantumu meningkatkan sinkang dan lwekang dalam tubuhmu
dengan cepat, yaitu lewat pengoperan sinkang dan lwekang dariku.”
Bukan main senangnya Kwat lin mendengar keternagan dari suaminya
ini. “Apakah dengan penyaluran sinkang dan lwekang darimu tidak
membahayakan dan melemahkan sinkang dan lwekangmu sendiri?” tanya
Kwat Lin khawatir.
THIAN-LONG-PAY ( 1 )
Previous Chapter: Bie Hun Tok ( 7 )
Dunia kang-ouw gempar dengan munculnya sebuah partai baru
persilatan. Partai itu disebut Thian-long-pay atau Partai Serigala Langit.
Partai baru ini didirikan oleh datuk sesat dari utara Thian-long-cu. Sudah
kita ketahui bahwa kedatangan Thian-long-cu ke selatan adalah untuk
mencari Giok-ceng dan di sebuah hutan di bawah pegunungan Siong-san ia
dapat menemukan barang yang diinginkan. Di sana ia bertempur melawan
Bi-sianli dan Yang-pangcu sehingga ia kabur melarikan diri karena merasa
kalah dengan Si Topeng Emas dari Kim-liong-pay itu. Sehingga ia tidak
berhasil merebut Giok-ceng dari tangan lawan-lawannya. Kekalahannya
membuatnya benar-benar kecewa dan menaruh dendam kepada setiap
orang yang berada di situ, lebih-lebih Topeng Emas dan Bi-sianli.
Namun kehendak Tuhan tidak bisa ditebak dan kemujuran seseorang
sulit diraba. Begitu juga dengan kondisi Thian-liong-cu yang dalam
pelariannya tanpa sengaja menemukan Giok-ceng di tengah-tengah hutan.
Giok-ceng yang sebelumnya dibawa Kwat Lin tanpa diketahui olehnya
ternyata terjatuh di tengah hutan ketika Kwat Lin dan Lie Yang dilarikan oleh
Uh Hou-hoat. Bukan main senangnya ia mendapatkan barang berharga
yang telah diperebutkan oleh banyak orang ini. Diam-diam ia lalu pulang ke
utara dan mencari banyak pendukung di sana, karena memang
Thian-long-pay ( 1 )Pelataran-83