You are on page 1of 4

Eksposisi Maleakhi 1:6-9

Mimbar REC, 14 Mei 2023


Pdt. Yakub Tri Handoko, Th.M.

Jika Allah mengevaluasi ibadah kita, kira-kira berapa nilai yang akan Dia berikan untuk
kita? Jika Dia memperhitungkan sikap hati dan pemikiran kita, nilai yang tadi apakah akan
bertambah atau justru berkurang? Kita mungkin jarang memikirkan pertanyaan ini. Namun,
kita tampaknya perlu mulai merenungkannya. Bukankah ibadah ditujukan kepada Allah? Jika
demikian, bukankah Dia yang berhak menilai kualitas ibadah kita?
Allah ingin kita bukan hanya beribadah kepada-Nya, tetapi beribadah kepada-Nya
dengan benar. Dia tidak mau menerima ibadah yang sembarangan. Bahkan ibadah yang tidak
benar kadangkala lebih buruk daripada tidak beribadah sama sekali. Allah benci, muak, dan
merasa jijik dengan ibadah yang tidak benar (Yes. 1:11-15; Am. 5:21-23).
Teks kita hari ini menunjukkan kegagalan bangsa Yehuda dalam beribadah kepada
Allah. Mereka tetap rutin beribadah, tetapi ibadah mereka salah. Ibadah dipandang hanya
sebagai sebuah kewajiban. Yang lebih parah, kewajiban ini dianggap sebagai sebuah beban
tambahan. Tidak mengherankan jika mereka beribadah dengan cara yang sembarangan.
Konsep yang rendah terhadap ibadah pada gilirannya akan menghasilkan cara ibadah yang
salah. Konsep yang tidak benar melahirkan cara yang sembarangan.
Posisi 1:6-9 yang berada tepat setelah 1:2-5 mungkin menyiratkan bahwa persoalan di
1:6-9 dipicu oleh kesalahpahaman bangsa Yehuda terhadap kasih Allah. Para imam dan rakyat
Yehuda yang pulang dari pembuangan merasa bahwa mereka kurang dikasihi oleh Allah.
Seperti yang sudah disinggung dalam khotbah sebelumnya, mereka mungkin merasa kondisi
mereka tidak seperti yang mereka harapkan. Dari perasaan kurang disayang oleh TUHAN
akhirnya muncul keengganan dalam beribadah kepada TUHAN.
Situasi di atas tergolong masuk akal. Orang yang merasa kurang dikasihi oleh Allah akan
menganggap ibadah kepada Allah sebagai sebuah beban yang menyusahkan (bdk. Mat. 25:24-
25). Sebaliknya, mereka yang mengalami dan mengamini kasih Allah dalam hidup mereka pasti
akan bergairah dalam beribadah. Mereka ingin mengungkapkan rasa syukur kepada Allah.
Dengan kata lain, mereka yang mengalami segala kebaikan Allah pasti akan memberikan ibadah
yang baik kepada Allah.

Landasan ibadah: relasi yang benar dengan TUHAN (ayat 6)

Maleakhi memulai tegurannya kepada para imam dengan mengingatkan siapa TUHAN
dan siapa bangsa Yehuda. TUHAN adalah bapa dan tuan mereka. Mereka adalah anak -anak
dan hamba.
Poin di atas perlu untuk digarisbawahi. Ibadah yang benar kepada TUHAN bukan
hanya tentang aktivitas gerejawi, melainkan sikap hati. Bukan hanya tentang liturgi, tetapi relasi.
Liturgi tidak akan banyak memiliki arti tanpa relasi yang sejati.
Alkitab berkali-kali mengajarkan bahwa bangsa Israel adalah anak-anak Allah. Ketika
mereka diperbudak di Mesir, TUHAN mengutus Musa untuk menghadap Firaun dan meminta
supaya bangsa Israel dibebaskan karena mereka adalah anak Allah, anak sulung Allah (Kel.
4:22b). TUHAN membela anak-anak-Nya. Ketika bangsa Yehuda berdosa dan dihukum oleh
TUHAN, mereka memohon kemurahan Allah sambil berseru: “Tetapi sekarang, ya TUHAN,
Engkaulah Bapa kami! Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami
sekalian adalah buatan tangan-Mu” (Yes. 64:8). TUHAN mengampuni anak-anak-Nya.
Status sebagai Bapa tidak meniadakan status TUHAN lainnya sebagai Tuan. Relasi
sebagai tuan – hamba ini tidak boleh dipahami dalam konteks perbudakan yang kejam.
Sebaliknya, relasi ini penuh dengan kasih. TUHAN sendiri berkata tentang bangsa Yehuda:
“Tetapi engkau, hai Israel, hamba-Ku, hai Yakub, yang telah Kupilih, keturunan Abraham,
yang Kukasihi; engkau yang telah Kuambil dari ujung-ujung bumi dan yang telah Kupanggil
dari penjuru-penjurunya, Aku berkata kepadamu: ‘Engkau hamba-Ku, Aku telah memilih
engkau dan tidak menolak engkau’” (Yes. 41:8-9).
Status Allah sebagai Bapa dan Tuan seharusnya diketahui oleh bangsa Yehuda, apalagi
oleh para imam. Mereka yang bertugas untuk mengajarkan firman TUHAN kepada rakyat.
Sayangnya, mereka kurang memahami implikasi dari konsep teologis tersebut. Allah yang
mengasihi seharusnya juga menjadi Allah yang dihormati. Kasih-Nya tidak mengaburkan
kehormatan-Nya. Kedekatan-Nya tidak meniadakan kemuliaan-Nya.
Kegagalan bangsa Yehuda untuk melihat implikasi teologis dari relasi ganda di atas
mengajarkan kepada kita bahwa memiliki teologi yang benar bukanlah segala-galanya. Teologi
harus disertai dengan pemahaman tentang implikasi. Tanpa implikasi, teologi akan menjadi
pengetahuan yang berbahaya bagi hati.

Ibadah yang menghina TUHAN (ayat 7-9)

Ketika relasi dengan Allah kurang disyukuri dan dihargai, orang tidak akan melakukan
ibadahnya dengan sepenuh hati. Ibadah menjadi formalitas yang tidak dilakukan dengan
antusias. Sekadar ada. Sekadar dilaksanakan. Itulah yang dilakukan oleh para imam pada jaman
Maleakhi. Mereka mengabaikan sebuah kebenaran bahwa ibadah yang asal-asalan merupakan
ibadah yang menghina TUHAN.
Maleakhi menjelaskan dua wujud ibadah yang menghina Tuhan. Pada masing-masing
wujud ini kita akan melihat bahwa wujud ibadah yang keliru disebabkan oleh konsep tentang
ibadah yang keliru pula. Tindakan yang salah lahir dari konsep yang salah.
Pertama, mempersembahkan roti cemar di atas meja TUHAN (ayat 7). Walaupun kata
Ibrani lehem bisa berarti “roti” (LAI:TB), dalam konteks ini lehem sebaiknya diterjemahkan
“makanan” (semua versi Inggris). Yang dimaksud di sini adalah semua yang dipersembahkan
di altar TUHAN.
Maleakhi tidak menjelaskan lebih konkrit apa yang dimaksud dengan makanan cemar.
Apakah makanan ini cemar karena tidak memenuhi aturan (yang bermasalah adalah
kurbannya) atau karena dipersembahkan tidak sesuai dengan aturan (yang bermasalah adalah
cara mempersembahkannya, bdk. Im. 10:1-3)? Dari sisi konteks, keduanya sama-sama
mungkin. Ayat 7b menunjukkan sumber masalah yang sebenarnya, yaitu anggapan para imam
bahwa meja TUHAN dapat dihinakan. Ayat 8-9 menunjukkan bahwa kurban yang dibawa
memang tidak sesuai aturan. Dua hal ini sangat berkaitan. Para imam diberi tugas untuk
menyeleksi kurban yang dibawa oleh umat (Im. 27:11-12, 14). Jika para imam sendiri tidak
mengakui kekudusan mezbah TUHAN (Mal. 1:7b), mereka juga tidak akan peduli dengan apa
yang dipersembahkan di atasnya (Mal. 1:8; bdk. Yeh. 22:26; Ez. 9:1; 10:15; Neh. 13:4-9, 22, 29-
30). Dengan kata lain, pandangan yang rendah terhadap ibadah melahirkan sikap yang permisif
terhadap kesalahan-kesalahan dalam ibadah.
Kedua, mempersembahkan kurban yang sembarangan (ayat 8-9). Kali ini Maleakhi
menerangkan dengan detail apa yang dimaksud dengan kurban yang sembarangan ini. Binatang
yang dipersembahkan buta, timpang, dan sakit. Menurut aturan Taurat, semua kondisi ini
menjadikan binatang-binatang tersebut tidak pantas dibawa ke mezbah TUHAN (bdk. Im.
22:18-25; Ul. 15:21).
Yang lebih disorot di 1:8-9 sebenarnya bukan pada wujud kurban, melainkan motif di
baliknya. Sekali lagi, kurban yang salah bersumber dari konsep tentang ibadah yang salah.
Kunci kesalahan motif berkaitan dengan kata Ibrani pānâ (lit. “wajah”) yang muncul sebanyak
tiga kali di ayat 8-9. Ayat 8b “menyambut engkau dengan baik” secara hurufiah berarti
“mengangkat wajahmu” (YLT “doth he lift up thy face?”). Ayat 9a “melunakkan hati Allah”
secara hurufiah berarti “memohonkan wajah Allah” (YLT “And now, appease, I pray thee, the
face of God”). Ayat 9b “menyambut…dengan baik” secara hurufiah berarti “mengangkat
wajahmu” (sama dengan ayat 8).
Semua keterangan yang berhubungan dengan wajah ini berbicara tentang satu hal:
perkenanan atau belas kasihan. Dalam tradisi kuno pemberian persembahan kepada pihak yang
lebih berkuasa merupakan ungkapan permohonan untuk mendapatkan perkenanan atau belas
kasihan. Untuk memastikan tujuan ini tercapai, upeti berupa barang-barang terbaik yang
diinginkan oleh pihak penguasa. Memberikan barang yang tidak baik justru akan
mendatangkan hal yang buruk. Apa yang dikehendaki justru dihalangi oleh apa yang diberikan.
Anehnya, bangsa Yehuda melakukan sebuah kesalahan konyol yang sangat fatal.
Dengan majas sarkastik Maleakhi mendorong bangsa Yehuda untuk memohon perkenanan
dan belas kasihan dari Allah tetapi dengan cara memberikan kurban yang jahat di mata-Nya
(ayat 9a). Hasilnya tentu saja dapat ditebak. TUHAN tidak akan berkenan kepada mereka (ayat
9b).
Sama seperti bangsa Yehuda kita semua juga gagal memberikan kurban yang benar.
Tidak ada satupun yang kita bisa lakukan untuk memperoleh perkenanan dan belas kasihan
TUHAN. Kita berkali-kali menghina TUHAN dengan ketidaktaatan kita. Tetapi syukur
kepada Allah! Kristus telah mengasihi kita dan memberikan diri-Nya bagi kita sebagai
“persembahan dan kurban yang harum bagi Allah” (Ef. 5:2). Melalui kurban Kristus yang
sempurna itulah hati kita telah disucikan sehingga “kita dapat beribadah kepada Allah yang
hidup” (Ibr. 9:14).
Sebagai respons terhadap apa yang telah dikerjakan oleh Kristus, kita diundang untuk
memberikan ibadah yang berkenan kepada Allah. Kristus telah membuka jalan masuk kepada
tahta kasih karunia Bapa dengan harga yangf tidak terkira. Sudah sepantasnya kita
meresponinya dengan kesungguhan ibadah kita. Jika memberikan 1,5 jam kepada Allah dengan
sungguh-sungguh saja kita tidak bisa, bagaimana kita bisa memberikan seluruh hidup kita
kepada-Nya? Kiranya pengurbanan Kristus memampukan kita untuk lebih bersungguh-
sungguh dalam ibadah kita. Soli Deo Gloria.

You might also like