You are on page 1of 37

Makalah Keperawatan

PERAWATAN INKONTINENSIA URINE DAN PERAWATAN

INKONTINENSIA FEKAL

Oleh:

Kelompok 7

Sartika Bachmid (841422185)

Fertian Anton Yunus (841422157)

Aprilyani Imran (841422171)

Endro Budiharto (841422164)

Suryanto Suwandi (841422178)

Refli Hasan Djakatara (841422149)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan izin dan
hidayah-nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah tentang “Perawatan
Inkontinensia Urine dan Perawatan Inkontinensia Fekal” ini sehingga para pembaca
dapat memahami dan mengetahui proses perawatan individu dengan inkontinensia
urin dan fekal.
Kami juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampuh mata kuliah
yang terhormat Ibu Ns. Wirda Y. Dulahu, M.Kep yang senantiasa membimbing dan
mengajarkan kepada kami sehigga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk memberikan pengetahuan kepada kita semua
mengenai bagaimana konsep dan manajemen perawatan pasien dengan inkontinensia
urin dan fekal serta standar prosedur operasional dalam tindakan perawatan
inkontinensia urin dan fekal. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini belum bisa
dikatakan sempurna karena terbatasnya pengalaman dan pengetahuan kami. Oleh
karena itu kami memohon kepada para pembaca agar kiranya dapat memberikan
segala bentuk kritikan dan saran yang bersifat membangun dalam perbaikan makalah
ini.
Akhir kata, kami mengharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada para pembaca dan dalam dunia pendidikan. Semoga allah SWT memberikan
balasan yang setimpal kepada kita semua, Amiin ya Rabbal Alamin...

Gorontalo, November 2022

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i

DAFTAR ISI.................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2

1.3 Tujuan.........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3

2.1 Inkontinensia Urin.......................................................................................3

2.2 Inkontinensia Fekal...................................................................................11

2.3 Perawatan Inkontinensia Urin dan Fekal..................................................17

2.4 SOP Perawatan Inkontinensia Urin...........................................................28

2.5 SOP Perawatan Inkontinensia Fekal.........................................................30

BAB III PENUTUP.....................................................................................................33

3.1. Kesimpulan...............................................................................................33

3.2. Saran.........................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................34

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan eliminasi baik eliminasi urin maupun fekal sangat dipengaruhi

oleh beberapa hal seperti usia dan penyakit yang diderita. Inkontinensia urin

merupakan keluhan subjektif individu terhadap masalah kebocoran urin atau

biasa disebut dengan ketidakmampuan individu menahan air kencing (Ismail,

2018). Kondisi ini menyebabkan masalah ketidaknyamanan dan distress pada

individu, inkontinensia urine dapat mengakibatkan masalah kesehatan dan

hubungan sosial pada klien. Prevalensi inkontinensia urin pada perempuan di

dunia berkisar antara 10-58% sedangkan prevalensi IU pada perempuan Asia

adalah 14,6%, dimana sekitar 5,8% berasal dari Indonesia (Ulfiana, 2020).

Selain permasalahan eliminasi urin, individu juga dapat mengalami

permasalahan penurunan fungsi pencernaan seperti terjadinya inkontinensia

fekal atau alvi. Inkontinensia alvi disebabkan oleh penurunan fungsi usus yang

sebelumnya bertugas sebagai penyerap dan pengeluaran feses sekarang telah

menurun fungsinya (Ulfiana, 2020). Tercatat inkontinensia fekal terbanyak

terjadi pada usia lansia dimana di Indonesia sendiri prevalensinya mencapai

22.4% (Kamaryati, 2017).

Masalah inkontinensia urin dan fekal yang tidak di tangani akan menjadi

suatu masalah yang kompleks. Perlu adanya manajemen perawatan

1
inkontinensia urin dan fekal yang komprehensif agar kenyamanan individu

teratasi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam makalah

ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana konsep inkontinensia urin?

2. Bagaimana konsep inkontinensia fekal?

3. Bagaimana manajemen perawatan inkontinensia urin da fekal?

4. Bagaimana SPO perawatan inkontinensia urin dan fekal?

1.3 Tujuan

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas, tujuan dari penulisan makalah

ini adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui dan memahami tentang konsep inkontinensia urin.

2. Mengetahui dan memahami tentang konsep inkontinensia fekal.

3. Mengetahui dan memahami tentang manajemen perawatan inkontinensia

urin da fekal.

4. Mengetahui dan memahami tentang SPO perawatan inkontinensia urin

dan fekal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Inkontinensia Urin

1. Definisi

Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak ter- kendali

sehingga menimbulkan masalah higienis dan sosial (Ulfiana,

2020).Inkontinensia urin sebagai keluhan pasien tentang pengeluaran atau

kebocoran urin atau feses secara tidak sengaja yang memberikan dampak

pada masalah kesehatan dan atau masalah sosial dan secara objektif dapat

teramati (Ismail, 2018).

2. Tipe Inkontinensia Urin

Klasifikasi inkontinensia urin dapat dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu

sebagai berikut.

a. Stress Incontinence adalah pengeluaran urin secara tidak sadar

yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intra abdominal karena

suatu aktivitas seperti batuk, bersin, tertawa atau aktivtas lainnya

(Ulfiana, 2020).

b. Urge Incontinence adalah pengeluaran urin secara tidak sadar,

disertai oleh keinginan berkemih yang kuat. Kondisi ini biasanya

disebabkan oleh kontraksi otot detrusor yang prematur, utamanya

pada kondisi instabilitas detrusor. Instabilitas detrusor pada

umumnya disebabkan oleh gangguan neurologi, meskipun

3
demikian urge incontinence dapat terjadi pada invidu yang tidak

mengalami gangguan neurologi. Urge incontinence merupakan

akibat dari adanya kontraksi prematur pada kandung kemih karena

adanya inflamasi atau iritasi dalam bladder. Inflammasi atau iritasi

ini dapat disebabkan oleh adanya batu, malignansi dan infeksi.

Urge incontinence umumnya terjadi pada lansia (Ulfiana, 2020).

c. Mixed Incontinence merupakan inkontinensia campuran antara

stress dan urge inkontinensia, biasanya terjadi pada wanita tua

(Ulfiana, 2020).

3. Etiologi

Menurut Fadillah (2019), Kelainan klinik yang erat hubungannya

dengan gejala inkontinensia urine antara lain :

a) Kelainan Traktus Urinenarius Bagian Bawah

Infeksi, obstruksi, kontraktiltas kandung kemih yang

berlebihan, defisiensi estrogen,kelemahan sfingter, hipertropi

prostat.

b) Usia

Seiring bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada

anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot

dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan

yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak

dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan)

4
abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun

kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin

berkemih.

c) Kelainan Neurologis

Otak (stroke, alzaimer, demensia multiinfark, parkinson,

multipel sklerosis), medula spinalis (sklerosis servikal atau lumbal,

trauma, multipel sklerosis), dan persarafan perifer (diebetes

neuropati, trauma saraf).

d) Kelainan Sistemik

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab

produksi urin meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang

sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh

penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk

mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur

atau menggunakan substitusi toilet.

e) Kondisi Fungsional

Inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar

panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan

(obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi

vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat

menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan

selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat

5
otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan

penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan

risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar

hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke

atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu

saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya

inkontinensia urine. Faktor resiko yang lain adalah obesitas atau

kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga beresiko

mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin

besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi

perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.

f) Efek Samping Pengobatan

Diuretik, antikolionergik, narkotika, kalsium chanel bloker,

inhibitor kolinestrase.

4. Patofisiologis

Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara

lain fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila

batuk atau bersin. Bisa juga disebabkan oleh kelainan di sekeliling daerah

saluran kencing. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan

kontraksi kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan

pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai

kapasitas berlebihan. Inkontinensia urine dapat timbul akibat hiperrefleksia

6
detrusor pada lesi suprapons dan suprasakral. Ini sering dihubungkan

dengan frekuensi dan bila jaras sensorik masih utuh, akan timbul sensasi

urgensi. Lesi LMN dihubungkan dengan kelemahan sfingter yang dapat

bermanifestasi sebagai stress inkontinens dan ketidakmampuan dari

kontraksi detrusor yang mengakibatkan retensi kronik dengan overflow

(Fadillah, 2019).

5. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala yang dapat dikatakan seseorang mengalami

inkontinensia urin adalah sebagai berikut.

a) Sering Berkemih

Merupakan gejala urinasi yang terjadi lebih sering dari normal

bila di bandingkan dengan pola yang lazim di miliki seseorang

atau lebih sering dari normal yang umumnya di terima, yaitu setiap

3-6 jam sekali (Fadillah, 2019).

b) Frekuensi

Berkemih amat sering, dengan jumlah lebih dari 8 kali dalam

waktu 24 jam (Fadillah, 2019).

c) Nokturia

Malam hari sering bangun lebih dari satu kali untuk berkemih

(Fadillah, 2019).

7
d) Urgensi

Keinginan yang kuat dan tiba-tiba untuk berkemih walaupun

penderita belum lama sudah berkemih dan kandung kemih belum

terisi penuh seperti keadaan normal (Fadillah, 2019).

e) Urge Inkontinensia

Dorongan yang kuat sekali unuk berkemih dan tidak dapat

ditahan sehingga kadang–kadang sebelum sampai ke toilet urine

telah keluar lebih dulu (Fadillah, 2019).

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Urinalisis

Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa


dalam urine (Fadillah, 2019).
b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan
obstruksi pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih (Fadillah, 2019).
c. Cysometry
Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih
dengan mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekanan dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas
(Fadillah, 2019).
d. Urografi Ekskretorik
Urografi ekskretorik bawah kandung kemih dengan mengukur laju
aliran ketika pasien berkemih. Disebut juga pielografi intravena,

8
digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal, ureter dan
kandung kemih (Fadillah, 2019).
e. Kateterisasi Residu Pascakemih
Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih
dan jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien
berkemih (Fadillah, 2019).
f. Laboratorium
Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji
untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria
(Fadillah, 2019).
7. Penatalaksanaan

a. Terapi Farmakologi

1) Antikolinergik

Obat-obatan antikolinergik adalah terapi farmakologi pilihan

pada inkontinensia urine. Antikolinergik dapat mengurangi

kontraksi otot detrusor yang dimediasi asetilkolin, khususnya pada

inkontinensia urgensi. Beberapa obat yang sering kali digunakan

untuk terapi inkontinensia adalah fesoterodine, oksibutinin,

propiverine, solifenacin, tolterodine, darifenacin, dan trospium.

Namun demikian, pemberian obat-obat ini harus dilakukan dengan

hati-hati pada pasien geriatrik karena sering menimbulkan efek

samping dan dapat mengganggu fungsi kognitif (Ulfiana, 2020).

9
2) Agonis Beta 3

Reseptor beta 3 ditemukan pada sel otot halus detrusor.

Mirabegron dapat berfungsi sebagai relaksan otot detrusor, sehingga

dapat memperbaiki inkontinensia urgensi. Obat ini masih tergolong

baru, sehingga penggunaannya masih terus dipelajari. Beberapa

studi menunjukkan bahwa kepatuhan obat terhadap mirabegron

cukup rendah karena efek samping mulut kering yang ditimbulkan

cukup berat (Ulfiana, 2020).

3) Terapi Hormonal

Estrogen memegang peranan dalam inkontinensia urine,

khususnya pada wanita post menopause. Studi menunjukkan bahwa

terapi hormonal dengan estrogen ataupun kombinasi

estrogen/progesterone dapat memperburuk inkontinensia yang

dialami, sehingga tidak direkomendasikan. Namun demikian,

terdapat studi bahwa pemberian estrogen topikal dapat memperbaiki

inkontinensia urgensi dan stress akibat atrofi vagina dan jaringan

penyokong uretra pada wanita post menopause. Pemberian hormon

antidiuretik desmopressin dapat memperbaiki nokturia pada pasien

inkontinensia urine, tetapi tidak direkomendasikan untuk digunakan

dalam jangka panjang. Hal ini karena desmopressin dilaporkan

sering menimbulkan efek samping seperti hiponatreamia, terutama

pada pasien geriatrik (Ulfiana, 2020).

10
4) Tindakan Pembedahan

Tindakan pembedahan pada inkontinensia urine dilakukan

apabila terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi gagal

memberikan perbaikan, atau bila penyebab inkontinensia urine

memerlukan tindakan bedah (Ulfiana, 2020).

b. Terapi Non-farmakologi

1) Bantuan Toileting

2) Bladder Training

3) Latihan Otot Dasar Panggul

4) Diet Cairan

5) Manajemen Lingkungan

2.2 Inkontinensia Fekal

1. Definisi

Inkontinensia fekal merupakan keluarnya feses atau gas secara

involunter atau disebut dengan ketidakmampuan mengendalikan keluarnya

feses atau gas melalui anus (Ulfiana, 2020).

2. Etiologi

Penyebab utama timbulnya inkotinensia alvi/fekal adalah masalah

sembelit, penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti

demensia dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati

diabetik, dan kerusakan sfingter rektum (Ulfiana, 2020).

11
3. Tanda dan Gejala

Secara klinis, inkontinensia alvi/fekal dapat tampak sebagai feses yang

cair atau belum berbentuk dan feses keluar yang sudah berbentuk, sekali

atau dua kali sehari dipakaian atau tempat tidur. Perbedaan penampilan

klinis ini dapat menunjukkan penyebab yang berbeda-beda, antara lain

inkontinensia alvi akibat konstipasi (sulit buang air besar), simtomatik

(berkaitan dengan penyakit usus besar), akibat gangguan saraf pada proses

defekasi (neurogenik), dan akibat hilangnya refleks pada anus (Ulfiana,

2020).

4. Tipe Inkontinensia Fekal

a) Inkontinensia Parsial: Ketidakmampuan untuk mengontrol flatus atau

mencegah pengotoran minor. Inkontinensia mayor adalah

ketidakmampuan untuk mengontrol feses pada konsistensi normal

(Nadya, 2019).

b) Inkontinensia fekal secara umum dihubungkan dengan gangguan fungsi

sfingter anal atau suplai sarafnya, seperti beberapa penyakit

neuromuskular, trauma medula spinalis, dan tumor pada otot sfingter

anal eksternal (Nadya, 2019).

5. Patofisiologis

Fungsi traktus gastrointestinal biasanya masih tetap adekuat sepanjang

hidup. Namun demikian beberapa orang lansia mengalami

ketidaknyamanan akibat motilitas yang melambat. Peristaltic di esophagus

12
kurang efisien pada lansia. Selain itu, sfingter gastroesofagus gagal

berelaksasi, mengakibatkan pengosongan esophagus terlambat.keluhan

utama biasanya berpusat pada perasaan penuh, nyeri ulu hati, dan gangguan

pencernaan. Motalitas gaster juga mnurun, akibatnya terjadi keterlambtan

pengososngan isis lambung. Berkurangnya sekresi asam dan pepsin akan

menurunkan absorsi besi, kansium dan vitamin B12. Absorsi nutrient di

usus halus nampaknya juga berkurang dengan bertambahnya usia namun

masih tetap adekuaT. Fungsi hepar, kandung empedu dan pangkreas tetap

dapat di pertahankan, meski terdapat inefisiensi dalam absorsi dan toleransi

terhadap lemak. Impaksi feses secara akut dan hilangnya kontraksi otot

polos pada sfingter mengakibatkan inkontinensia alvi (Hanifah, 2018).

6. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Hanifah (2018), terdapat pemeriksaan penunjang pada

inkontinensia alvi, yaitu :

a) Anal Manometry : Memeriksa keketatan dari sfingter anal dan

kemampuan sfingter anal dalam merespon sinyal serta sensitivitas

dan fugsi dari rektum. MRI terkadang juga digunakan untuk

mengevaluasi sfingter.

b) Anorectal Ultrasonography : Memeriksa dan mengevaluasi

struktur dari sfingter anal.

13
c) Proctography : Menunjukan berapa banyak feses yang dapat

ditahan oleh rektum, sebaik apa rektum mampu menahannya dan

sebaik mana rektum mampu mengosongkannya.

d) Progtosigmoidoscopy : Melihat kedalam rektum atau kolon untuk

menemukan tandatanda penyakit atau masalah yang dapat

menyebabkan inkontinensia fekal seperti inflamasi, tumor, atau

jaringan parut.

7. Penatalaksanaan

Beberapa terapi dapat dipertimbangkan, antara lain beberapa kategori

sebagai berikut:

a. Terapi farmakologis

Loperamide atau diphenoxylate/atropine dapat memberikan

perbaikan sedang pada gejala-gejala inkontinensia fekal. Beberapa

obat, masingmasing dengan mekanisme kerja yang berbeda, telah

diajukan untuk memperbaiki inkontinensia fekal. Agen-agen

antidiare misalnya loperamide hydrochloride atau

diphenoxylate/atropine sulphate tetap menjadi obat pilihan yang

utama. Suatu studi dengan kontrol plasebo untuk penggunaan

loperamide 4 mg tiga kali sehari telah terbukti mengurangi

frekuensi inkontinensia, memperbaiki urgensi feces dan

meningkatkan waktu transit feces di kolon, juga meningkatkan

14
tekanan sfingter ani istirahat dan mengurangi berat feces (Ulfiana,

2020).

b. Terapi biofeedback

Terapi ini memperbaiki gejala-gejala inkontinensia fekal,

mengembalikan kualitas hidup, dan memperbaiki parameter-

parameter objektif fungsi anorektal. Terapi ini berguna pada

penderita-penderita dengan sfingter yang lemah dan/atau sensasi

rektal yang terganggu. Tujuan terapi biofeedback pada penderita

dengan inkontinensia fekal adalah : untuk memperbaiki kekuatan

otot sfingter ani, untuk memperbaiki koordinasi antara otot

abdomen, gluteal,dan sfingter ani selama berkontraksi secara

volunter dan setelah persepsi rectum, untuk meningkatkan persepsi

sensorik anorektal (Ulfiana, 2020).

c. Sumbat anus, pemadat masa sfingter (sphincter bulkers)

Sumbat anus, terapi pemadatan massa sfingter, atau stimulasi

listrik harus bersifat eksperimental dan memerlukan studi-studi

klinis terkontrol. Sumbat anus sekali pakai yang inovatif telah

dirancang untuk oklusi sementara anal kanal. Alat ini ditempelkan

pada perineum menggunakan perekat dan dapat dengan mudah

diambil. Sayangnya karena berbagai faktor, banyak penderita tidak

mampu mentolerir penggunaan jangka panjang dari alat ini. Alat

ini berguna bagi penderita-penderita dengan gangguan sensasi anal

15
kanal, mereka yang memiliki penyakit neurologis, dan mereka

yang di menjalani perawatan atau mengalami imobilisasi. Pada

beberapa penderita dengan rembesan feces, insersi sumbat anus

yang terbuat dari wol kapas terbukti bermanfaat (Ulfiana, 2020).

d. Bedah

Pembedahan harus dipertimbangkan pada penderita-penderita

tertentu yang gagal ditangani dengan upaya-upaya konservatif atau

terapi biofeedback. Pada sebagian besar penderita dengan

inkontinensia fekal, misalnya setelah trauma obstetrik, repair

sfingter secara overlapping seringkali sudah cukup memadai.

Bagian tunggul otot sfingter yang robek ditautkan. Repair sfingter

secara overlapping sebagaimana dijelaskan oleh Parks dilakukan

dengan membuat incisi melengkung di anterior anal kanal dengan

mobilisasi sfingter ani eksterna, membebaskannya dari jaringan

parut, preservasi jaringan parut untuk menautkan jahitan, dan

overlapping repair menggunakan dua baris jahitan. Jika defek

sfingter ani interna diidentifikasi, maka imbrikasi terpisah dari

sfingter ani interna juga dilakukan. Dilaporkan terjadi perbaikan

gejala pada 70–80% penderita, meskipun satu studi melaporkan

tingkat perbaikan yang lebih rendah. Pada penderita-penderita

dengan inkontinensia akibat sfingter ani yang lemah tetapi utuh,

repair postanal telah dicoba. Keberhasilan jangka panjang dari

16
pendekatan ini memiliki rentang antara 20% dan 58% (Ulfiana,

2020).

2.3 Perawatan Inkontinensia Urin dan Fekal

A. Perawatan Inkontinensia Urin

Menurut Ismail (2018), Manajemen keperawatan untuk mengatasi

inkontinensia urin terdiri dari pengkajian, perubahan perilaku, penggunaan

alat bantuan, modifikasi diet, dan edukasi.

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan bagian pertama untuk mengelola UI, dari

pengkajian kita dapat menyimpulkan penyebab utama UI dan

menejemen yang tepat untuk setiap klien.

a. Riwayat Kesehatan Klien

Pengkajian riwayat kesehatan pada pasien dengan UI

meliputi :

- Keluhan utama terkait dengan perasaan subjektif klien

terhadap masalah saat berkemih, ketidak mampuan

menahan kencing, kebocoran urin, penggunaan

absorbent.

- Storage Lower Urinary Symtoms (LUTS), untuk

mengetahui ini pertanyaan yang harus di jawab klien

adalah berapa kali klien BAK dalam satu hari, berapa

17
lama klien dapat melakuka aktivitas antara waktu

berkemih.

- Riwayat penyakit, operasi, gangguan obstetri dan

ginekologi.

- Obat-obatan yang dikonsumsi

- Kapan UI mulai terjadi, durasi atau lama mengalami UI

- Kondisi yang memicu UI seperti batuk, mengejan,

keinginan berkemih yang kuat.

- Tanda gejala yang menunjukkan kemampuan

penampungan bladder seperti frequency, urgency,

nocturia.

- Tanda gejala pada setiap berkemih seperti

intermittency, pancaran kencing lemah, tetesan urin

pada akhir berkemih, mengejan.

- Riwayat psikologi dan Sosial, dalam pengkajian ini

fungsi seksual juga menjadi unsur yang harus dikaji

pada klien untuk mengetahui kemungkinan kebocoran

uring saat melakukan hubungan seksual.

b. Pengkajian Fisik

- Pengkajian umum dan kemampuan fungsional,

kemampuan fungsional meliputi kemampuan klien

untuk melakukan mobilisasi, kesadaran dan

18
ketangkasan. Metode yang dapat digunakan untuk

menguji klien adalah dengan meminta klien berjalan

dari meja periksa ke tempat tidur, meminta klien

berkemih untuk pemeriksaan spesimen urin.

- Lakukan pengkajian untuk melihat adanya

abnormalitas yang berpengaruh langsung terhadap UI.

- Pengkajian Kekuatan otot pelvis, tujuan pemeriksaan

ini adalah untuk melihat fungsi neuromuskular dan

kemampuan otot dasar panggul yang sangat berperan

saat berkemih. Metode yang digunakan adalah dengan

meminta klien mengkontraksikan dan merilekskan

bagaian otot dasar panggul. Pengkajian ini juga dapat

dilakukan dengan komputer yaitu dengan

elektomyography dan pemeriksaan tekanan dengan

menggunakan Probe yang sensitif dengan memasukkan

probe pada vagina atau rektal dan meminta klien untuk

mengkontraksikan otot dasat panggul kekuatan

normalnya adalah antara 35-42 cm H2O.

- Pengkajian terhadap kulit sekitar perineal untuk

melihat adanya lesi atau ekskoriasi terkait dengan

seringnya kebocoran berkemih.

19
- Pengkajian rektal, pada wanita kepentingan pengkajian

rektal untuk memvalidasi penyebab terjadinya UI yaitu

mengkaji adanya massa atau tumor. Sedangkan pada

laki-laki digital rektal examibation (DRE) berfungsi

untuk mengetahui adanya massa atau pembesaran

prostat.

c. Observasi Kebocoran Urin Secara Langsung

Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta klien untuk

batuk saat bladder dalam keadaan penuh sehingga dapat diamati

terjadinya UI. Kebocoran urin saat batuk dapat diamati pada

saat klien dalam posisi supine atau berdiri.

d. Mengukur Volume Residu Bladder

Pengukuran dilakukan setelah klien berkemih atau Post

Voided Residual (PVR) dengan mengeluarkan sisa urin dengan

menggunakan kateter atau dengan menggunakan scan bladder.

Residu bladder normal adalah kurang dari 50 ml, residu yang

lebih dari 100 ml menunjukkan adanya pengosongan bladder

yang tidak adekuat.

e. Tes Laboratorium

- Urinalysis: Urinalisis merupakan pemeriksaan yang

esensial untuk klien dengan UI. Pemeriksaan bertujuan

untuk mengetahui substansi yang terdapat dalam urin

20
yang dapat berhubungan UI seperti darah, glukosa, pus,

bakteri, protein. Pemeriksaan lain yang harus

disertakan untuk menyingkirkan adanya infeksi saluran

kemih adalah kultur urin.

- Pemeriksaan serum: Pemeriksaan serum darah

diindikasi untuk melihat adanya komplikasi sistemik.

Seperti kemungkinan terjadinya peningkatan BUN dan

Ureum Creatinin pada klien dengan obstruksi dan

memiliki komplikasi hidronefrosis.

f. Pengkajian Lingkungan dan Fasilitas

Pengkajian fasilitas terkait dengan kemudahan klien

mencapai toilet, pencahayaan, kondisi lantai, alat bantu klien

untuk mencapai tempat tidur. Fasilitas yang dapat dikaji adalah

ketersediaan alat bantu UI seperti Absorbent, kateter, padding

dan penggunaan urinal.

2. Intervensi Perilaku

1) Bantuan Toileting (avoiding/toileting asisstance)

a. Jadwal Berkemih

Jadwal direkomendasikan disusun untuk satu hari penuh.

Dengan menggunakan jadwal berkemih klien diharapkan lebih

patuh terhadap waktu berkemih yang telah disepakati. Interval

berkemih pada umumnya setiap 2 jam.

21
b. Latihan Merubah Kebiasaan

Merupakan latihan penyesuaian antara kebiasaan klien

berkemih dengan jadwal yang telah tersusun. Hal-hal yang

disesuaikan antara lain adalah frekuensi, volume, pola kontinen

dan inkontinence. Dengan jadwal dan latihan penyesuaian

diharapkan klien dapat mempunyai pola baru.

c. Prompted Voiding (mengatakan dengan bisikan pada diri sendiri

untuk menahan atau mengatur BAK)

Bisikan untuk BAK dilakukan setiap interval 2 jam.

Tindakan ini direkomendasikan untuk klien yang mengalami

penurunan sensori untuk merasakan regangan pada bladder dan

penurunan rangsangan berkemih. Pada pasien yang mengalami

kelemahan bisikan dilakukan oleh caregiver. Bila klien berhasil

melakukan BAK maka diberi reward berupa umpan balik positif.

2) Bladder Training

Bladder training sangat direkomendasikan pada pasien yang

mengalami Inkontinensia Urge atau overactive Bladder (OAB) dan

bisa juga dilakukan untuk pasien dengan stress inkontinensia.

Latihan yang dilkukan dalam bladder training adalah menunda

berkemih sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan untuk

melatih fungsi bladder dalam menampung urin sesuai ukuran

normal. Terdapat persyaratan untuk klien yang akan menjalani

22
bladder training, klien mampu secara fisik, kognitif dan memiliki

motivasi untuk latihan. Bentuk latihan yang dilakukan adalah klien

harus mematuhi jadwal berkemih yang telah disepakati, selanjutnya

klien diminta untuk menahan keinginan berkemih dengan

melakukan relaksasi atau distraksi sampai dengan interval waktu

yang disepakati selesai (2-3jam). Latihan ini membutuhkan waktu

beberapa bulan sehingga memperlihatkan perubahan pada klien.

3) Latihan Otot Panggul

Latihan otot dasar panggul sangat berpengaruh dalam

memperbaikai stress inkontinensia. Tujuan latihan ini adalah untuk

meningkatkan kekuatan otot periuretra dan otot dasar pelvis. Pasien

yang dapat melakukan latihan ini sebaiknya memiliki beberapa

kriteria seperti: Kondisi anatomi normal dan intact, Tidak terdapat

organ pelvis yang prolaps, Kekuatan dan kontraktilitas otot cukup.

Beberapa alat telah diciptakan untuk meningkatkan kekuatan otot

dasar panggul seperti; vaginal cone, stimulasi electrik, Biofeedback

dan extracorporeal Magnetic Innervation therapy.

3. Intervensi Pengukuran dan Perawatan Dukungan

1) Kateter urin intermiten

Kateter urin intermiten di rekomendasikan pada pasien dengan

UI fungsional, UI Neurogenik atau Reflek, atau klien yang

mengalami penurunan kemampuan kognitif. Tujuan tindakan ini

23
adalah untuk mencegah kerusakan pada otot detrusor sebagai akibat

regangan yang berlebihan. Pengeluaran urin dengan menggunakan

intermitent kateter dilakukan setiap 3-6 jam.

2) Indwelling urinary catheterisation

Indwelling urinary catheter jarang digunakan pada pasien UI.

Indwelling catheter diindikasikan pada : klien yang mengalami

retensi urin dan tidak dapat dikelola, pada klien dengan penyakit

terminal dan parah, pasien yang mengalami ulkus dekubitus stage 3

atau 4 dilakukan sampai luka sembuh, pasien UI yang dirawat

dirumah dan caregiver tidak dapat membantu toileting. Perlu

diperhatikan tanda-tanda ISK pada pasien dengan indwelling kateter.

3) External collection systems

External collection system digunakan oleh klien laki-laki,

secara umum dibagi dua yaitu peralatan kompresi uretra dan

external kateter. Peralatan kompresi uretra menahan urin dengan

melakukan penekanan pada korpus spongiosum, terdapar dua tipe

alat yaitu penile clamp dan inftable compression cuff. Alat ini jarang

digunakan karena adanya risiko iskemia pada penis, prosedur ini

biasanya dilakukan pada pasien yang dapat mengerti dan dapat

menjalankan prosedur pengosongan setiap 3 jam. External catheter

atau komdom kateter merupakan alat yang sering menjadi pilihan

pada klien laki-laki dibanding absorbent dan indwelling kateter.

24
Klien yang menggunakan alat ini harus memiliki kulit penis yang

intact.

4) Perawatan Kulit

Merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan untuk

menurunkan risiko terjadinya kerusakan kulit atau terjadinya ulkus

dekubitus. Metode yang dilkukan pada perawatan kulit: Inspeksi

kebersihan dan tanda kemerahan pada arae perineal, Bersihkan kulit

segara bila terkena bocoran urin atau feses, Gunakan pembersih kulit

dan cream untuk melindungi kulit perineal.

5) Manajemen diet dan cairan

Klien inkontinensia dianjurkan untuk meningkatkan asupan

cairan dan makanan berserat. Klien dianjurkan untuk mengurangi

minuman yang mengandung kafein, minuman karbonasi, jenis

minuman lain yang dapat meningkatkan rangsang berkemih lebih

cepat. Peningkatan makan berserat sangat penting untuk klien guna

mencegah terjadinya konstipasi atau impaksi yang dapat menjadi

faktor predisposisi terjadinya UI karena adanya penekanan pada

bladder dalam jangka waktu lama.

6) Modifikasi Lingkungan

Modifikasi lingkungan lingkungan agar klien dengan mudah

mencapai toilet sehingga tidak terjadi kebocoran. Berikan

pencahayaan yang cukup, lantai yang tidak mudah licin. Sediakan

25
peralatan bantu seperti urinal didekat tempat tidur agar mudah

dijangkau.

4. Intervensi Pendidikan

Tekankan pada klien bahwa UI adalah kondisi yang dapat diatasi

dan dikelola. pendidikan yang diberikan pada klien dan caregiver sangat

spesifik sesuai dengan permaslahan masing-masing klein. Pendidikan

harus melibatkan caregiver dan orang terdekat sehingga klien mendapat

dukungan dalam menjalankan terapi secara disiplin. Pendidikan yang

diberikan pada klien dapat mengurangi dan mencegah terjadinya

gangguan fisik, psikologis, dan kognitif klien.

B. Perawatan Inkontinensia Fekal

Menurut Ulfiana (2020), beberapa perawatan yan dapat diberikan oleh

perawat kepada pasien yang mengalami masalah inkontinensia alvi adalah

sebagai berikut.

1. Melatih kebiasaan defekasi (buang air besar) yang teratur, yang akan

menghasilkan bentuk feses yang normal.

2. Pada waktu tertentu setiap 2 sampai 3 jam letakkan pispot dibawah

pasien.

3. Jika inkontenensia berat diperlukan pakaian dalam yang tahan lembab.

4. Pakailah laken yang dapat dibuang dan dapat meningkatkan

kenyamanan pasien.

26
5. Mengurangi rasa malu perlu dilakukan dukungan semangat dalam

perawatan.

6. Mengubah pola makan, berupa penambahan jumlah serat.

7. Jika hal-hal tersebut tidak membantu, diberikan obat yang

memperlambat kontraksi usus, misalnya loperamid .

8. Melatih otot-otot anus (sfingter) akan meningkatkan ketegangan dan

kekuatannya dan membantu mencegah kekambuhan.

9. Dengan biofeedback, penderita kembali melatih sfingternya dan

meningkatkan kepekaan rektum terhadap keberadaan tinja.

10. Jika keadaan ini menetap, pembedahan dapat membantu proses

penyembuhan. Misalnya jika penyebabnya adalah cedera pada anus atau

kelainan anatomi di anus.

11. Pilihan terakhir adalah kolostomi, yaitu pembuatan lubang di dinding

perut yang dihubungkan dengan usus besar. Anus ditutup (dijahit) dan

penderita membuang fesesnya ke dalam kantong plastik yang

ditempelkan pada lubang tersebut.

27
2.4 SOP Perawatan Inkontinensia Urin

Berdasarkan Standar Prosedur Operasional Keperawatan oleh PPNI, SOP

untuk perawatan inkontinensia urin adalah sebagai berikut.

Perawatan Inkontinensia Urine

Kategori : Fisiologis

Subkategori : Eliminasi

Definisi :

Mengidentifikasi dan merawat pasien yang mengalami perubahan kebiasaan

buang air kecil yang ditandai dengan pengeluaran urine secara involunter (tidak

disadari)

Diagnosis Keperawatan :

- Inkontinensia Urine

- Gangguan Integritas Kulit/Jaringan

Luaran Keperawatan :

- Kontinensia urine membaik

- Integritas kulit dan jaringan meningkat

Prosedur :

1. Identifikasi pasien menggunakan minimal dua identitas (Nama lengka,

tanggal lahir, dan/atau nomor rekam medis).

2. Jelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedur.

3. Identifikasi penyebab inkontinensia urine (seperti disfungsi neurologi,

28
gangguan medullaspinalis, gangguan refleks detrusor, obat-obata, usia,

riwayat operasi, gangguan fungsi kognitif).

4. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan:

a. Sarung tangan bersih

b. Kapas antiseptik (seperti klorheksidin 2%)

c. Air dan sabun

d. Pakaian ganti, jika perlu

e. Linen (seprei, stik laken), jika perlu

f. Bengkok

5. Lakukan kebersihan tangan 6 langkah

6. Pasang sarung tangan

7. Jaga privasi pasien

8. Bebaskan area genitalia dari pakaian

9. Bersihkan area perineum dengan sabun dan air setelah BAK

10. Identifikasi perubahan frekuensi BAK dan karakteristik urine

11. Pasang popok, jika perlu

12. Ganti linen dan pakaian, jika perlu

13. Rapikan pasien dan alat yang digunakan

14. Lepaskan sarung tangan

15. Jadwalkan BAK secara teratur

16. Jadwalkan konsumsi obat diuretik dan hindarkan pemberian di malam

29
hari

17. Anjurkan membatasi konsumsi cairan 2-3 jam sebelum tidur

18. Anjurkan minum minimal 1500cc/hari, jika tidak ada kontraindikasi

19. Anjurkan menghindari kopi, minuman bersoda, teh dan cokelat

20. Ajarkan memantau cairan masuk dan cairan keluar

21. Lakukan kebersihan tangan 6 langkah

22. Dokumentasikan prosedur yang dilakukan dan respons pasien

2.5 SOP Perawatan Inkontinensia Fekal

Berdasarkan Standar Prosedur Operasional Keperawatan oleh PPNI, SOP

untuk perawatan inkontinensia fekal adalah sebagai berikut.

Perawatan Inkontinensia Urine

Kategori : Fisiologis

Subkategori : Eliminasi

Definisi :

Mengidentifikasi dan merawat pasien yang mengalami perubahan kebiasaan

buang air besar yang ditandai dengan pengeluaran feses secara involunter (tidak

disadari)

Diagnosis Keperawatan :

- Inkontinensia Fekal

- Gangguan Integritas Kulit/Jaringan

30
Luaran Keperawatan :

- Kontinensia fekal membaik

- Integritas kulit dan jaringan meningkat

Prosedur :

1. Identifikasi pasien menggunakan minimal dua identitas (Nama lengka,

tanggal lahir, dan/atau nomor rekam medis).

2. Jelaskan tujuan dan langkah-langkah prosedur.

3. Identifikasi penyebab inkontinensia fekal baik fisik maupun psikologis

(seperti gangguan saraf motorik bawah, penurunan tonus otot, gangguan

sfingter rektum, diare kronis, gangguan kognitif, stres berlebihan).

4. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan :

- Sarung tangan bersih

- Air dan sabun

- Pakaian ganti, jika perlu

- Linen (seprei, stik laken), jika perlu

- Bengkok

5. Lakukan kebersihan tangan 6 langkah.

6. Pasang sarung tangan.

7. Jaga privasi pasien.

8. Lepaskan pakaian bawah pasien.

9. Bersihkan area perineum dengan kapas antiseptik.

31
10. Identifikasi perubahan frekuensi defekasi dan karakteristik feses.

11. Pasang popok, jika perlu

12. Ganti linen dan pakaian, jika perlu

13. Rapikan pasien dan alat-alat yang digunakan.

14. Jadwalkan BAB secara teratur.

15. Lepaskan sarung tangan.

16. Lakukan kebersihan tangan 6 langkah.

17. Dokumentasikan prosedur yang dilakukan dan respon pasien.

32
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Inkontinensia urin sebagai keluhan pasien tentang pengeluaran atau kebocoran

urin atau feses secara tidak sengaja yang memberikan dampak pada masalah

kesehatan dan atau masalah sosial dan secara objektif dapat teramati (Ismail,

2018). Perawatan inkontinensia urine dilakukan dengan beberapa intervensi

seperti intervensi perilaku (bantuan toileting, bladder training, dan latihan otot

panggul), intervensi dukungan (kateter urin, perawatan kulit, manajemen cairan,

dan modifikasi lingkungan) serta diberikan intervensi pendidikan kepada pasien

dengan inkontinensia urin. SOP perawatan inkontinensia urin dilakukan oleh

perawat mengikuti SPO yang diterbitkan oleh PPNI.

Inkontinensia fekal merupakan keluarnya feses atau gas secara involunter atau

disebut dengan ketidakmampuan mengendalikan keluarnya feses atau gas

melalui anus (Ulfiana, 2020). Perawatan inkontinensia fekal yang dapat

diberikan yakni melatih kebiasaan defekasi, kolostomi, dan pemberian pispot

pada pasien tirah baring. SOP perawatan inkontinensia fekal dilakukan oleh

perawat mengikuti SPO yang diterbitkan oleh PPNI.

3.2. Saran

Makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam mengembangkan

ilmu keperawatan terlebih ketika seorang menemukan kasus pasien dengan

inkontinensia urin fekal.

33
DAFTAR PUSTAKA

Fadillah, A. 2019. Makalah dan Askep Inkontinensia Urine. Yogyakarta: STIKES


Surya Global
Hanifah, M. 2018. Asuhan Keperawatan Eliminasi Fekal. Yogyakarta: Yayasan
Keperawatan Yogyakarta
Ismail, D.D. 2018. Aspek Keperawatan Pada Inkontinensia Urin. Jurnal Ilmu
Keperawatan Vol. 1, No.1
Kamaryati, N.P. 2017. Pengalaman Lansia dengan Inkontinensia Fekal di Kota
Denpasar, Bali. Jurnal Stikes Borromeus Vol.2 No.1
Nadya, D.A. 2019. Gambaran Gangguan Eliminasi Fekal Pada Pasien Anak dengan
Hirschprung Disease di Ruang Cendana 4 Irna I RSUP Dr. Sardjito.
Yogyakarta: Yayasan Keperawatan Yogyakarta
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2021. Pedoman Standar Prosedur
Operasional Keperawatan. Jakarta: PPNI
Ulfiana, E. 2020. Asuhan Keperawatan Lansia dengan Impotensi, Inkontinensia Urin
dan Fekal. Surabaya: Program Studi S1 Keperawatan Universitas Airlangga

34

You might also like