You are on page 1of 22

RUHUL FAATIHAH 2

Dalam
PEMAHAMAN KANDUNGAN AL QUR’AN

Barang siapa buta di dunia ini, maka di akhirat kelak dia juga akan buta
bahkan lebih buruk lagi

Yuli Saiful Bahri, Kepala MTs. Bali Bina Insani, yusaba2011@gmail.com

In the name of Thy Lord, the Beneficent and the Compassionate,


starting everything, and totally sacrificing into HIM, i tried to write this Al
Fatihah content understanding, at 2nd of Ramadhan 1421 Hijriah or 28th
November 2000 at 02.45, started from Ruhul Fatihah which completed with
I’rob and other knowledgement at October 2008 for this second edition.
In the other point of view we served in this. I’rob and ulama schools of
thought view are shown also.
Tinjauan lainnya

Al-ismu diambil dari lafadz al-sumuww (‫)السم ّو‬mengandung makna al-rif’ah (


‫ )الرفعة‬wal-‘uluww (‫ )العل ّو‬artinya tinggi, tashrifnya “samaa yasmuu
sumuwwan’ ( ‫ )سما يسموسم ّوا‬. Kemudian dibuang wau-nya diganti dengan
hamzah yang disimpan dipermulaan kata menjadi al-ismu (‫)اإلسم‬. Menurut
sebagian pendapat ulama berasal dari lafadz al-simatu mengandung makna
al-‘alamatu artinya ciri, tashrifnya adalah wasima yasimu simatan wa
wasman. Pendapat yang pertama merupakan pendapat yang lebih shahih
karena jamaknya adalah asmaa’un yang asalnya asmaawun diganti wau-
nya dengan hamzah karena berada setelah alif zaidah (alif penambah) dan
tashgir-nya adalah sumayyun asalnya sumaiwun sesuai dengan wazan
fu’ailun diganti wau-nya dengan ya sesuai dengan kaidah ilmu shorof
apabila kumpul wau dan ya huruf yang pertamanya mati, maka diganti
wau-nya dengan ya. Kemudian ya-nya diidgham-kan jadi sumayyun.
Pendapat yang pertama ini adalah madzhab ulama Bishriyyiin (ulama
Bashroh) sedangkan pendapat yang kedua adalah madzhab ulama Kufiyyiin
(ulama Kufah).
I’rab Huruf ba merupakan huruf jar (huruf yg berfungsi menjarkan
isim) yang bergantung terhadap fi’il yang dibuang yang sesuai dengan
keadaannya. Seperti orang yang akan membaca fi’il yang dibuangnya
adalah lafadz Aqro’u musta’iinan (saya akan membaca dengan meminta
pertolongan), orang yang akan menulis fi’il yang dibuangnya adalah aktubu
musta’iinan (saya akan menulis dengan meminta pertolongan) dan yang
lainnya. Di dalam hadits :
‫كل أمر ذي بال اليبدأ فيه ببسم هللا الرحمن الرحيم فهو أبتر‬
Artinya : setiap urusan yang baik yang tidak dimulai dengan basmalah
maka kurang berkah.
Imam al-Qurtubi berkata Bismillah ditulis tanpa alif karena
menganggap cukup dengan ba ilshoq karena banyak dipakainya berbeda
dengan ayat ‫ إق رأ باس م ربك‬maka alif-nya tidak dibuang karena sedikit
dipakainya.
Lafadz ‫ هللا‬nama bagi dzat yang maha suci yaitu dzat Allah yang wajib
wujudnya tiada sekutu bagi-Nya. Sebagian ulama ahli shorof berpendapat
bahwa asalnya lafadz ‫ هللا‬adalah ‫ إله‬tashrifnya adalah “alaha ya’lahu ilaahan
wa ilaahatan” dimasuki alif lam ma’rifat jadi ‫ اإلله‬dibuang hamzah-nya
supaya ringan dibacanya dan lam-nya di-tafhim-kan untuk mengagungkan-
Nya jadi ‫هللا‬. Kedudukan I’rab-nya adalah di-khofad-kan karena sebagai
mudhof ilaih dari lafadz ismi. Ibnu Katsir berkata lafadz Allah adalah nama
bagi Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. Dikatakan bahwa lafadz
Allah adalah nama Yang Agung karena di sifati dengan semua sifat seperti
Firman Allah dalam surat Al-Hasyr ayat 22 sehingga semua nama-nama di
ibaratkan sebagai sifat-sifat Allah. Ibnu Katsir berkata lagi lafadz Allah
adalah nama yang tidak dipakai pada selain-Nya. Menurut Imam Al-
Qurtubi lafadz Allah adalah nama yang paling agung dari nama-nama-Nya
dan lebih mencakup. Lafadz Allah adalah nama bagi yang wujud yang Haq
yang mencakup terhadap semua sifat ketuhanan, yang tersifati dengan
sifat-sifat ketuhanan, yang tunggal dengan wujud yang haqiqi tiada Tuhan
selain Dia Yang Maha Suci. Lafadz Allah adalah nama yang bukan diambil
dari kata yang lain (‘alam murtajal) yang tidak dikatakan kecuali terhadap
yang disembah secara haq. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan
para ulama. Akan tetapi menurut sebagian ulama bahwa lafadz Allah
merupakan nama yang diambil dari kata lain (‘alam manqul) sebagaimana
pendapat ulama ahli shorof yang telah disebutkan diatas. Menurut
pendapat yang shahih lafadz Allah tidak di-mustaq (tidak diambil dari kata
yang lain) yang merupakan isim alam bagi dzat Yang Maha Suci. Tiada yang
menyekutui-Nya, sehingga tidak di-tatsniyah-kan dan tidak di-jamak-kan.
Lafadz Al-Rahmaan dan Al-Rahiim merupakan dua nama dari nama-
nama Allah SWT. Kata Al-Rahman dan Al-Rohiim merupakan shighat
mubalaghoh (sangat atau banyak) tashrifnya adalah : ‫رحم يرحم رحما ورحمة فهو‬
‫( راحم رحمن رحيم‬rohima yarhamu rahman wa rohmatan fahua raahimun
rahmaanun rahiimun). (I’robul Qur’an juz 1 hal 24). Al-Rahman menurut
bahasa berasal dari masdar ‫(الرحمة‬Al-Rohmat) mengandung makna ‫الرق ة‬
‫( والتعطف‬al-riqqoh wal ta’aththuf) yang berarti : kelembutan dan kasih
sayang. (Lisanu Al‘Arob).
Rohmat Menurut istilah adalah: ‫رق ة فى القلب تقتض ى اإلحس ان والتفضل‬
(Riqqotun fi Al-qolbi taqtadli Al ihsan wa Al-tafadldlul). Artinya : Kelembutan
dalam hati yang mendorong untuk berbuat kebaikan. Al-Rohman pada
Allah adalah kelazimannya dari definisi menurut istilah yaitu : ‫( اإلحسان‬Al-
Ihsan) yaitu : berbuat kebaikan, atau ‫( إرادة اإلحس ان‬irodatul Ihsan) yakni :
berkehendak berbuat kebaikan. Jadi sifat Al-rohman adalah ‫كث ير الرحمة‬
(katsiru al-rahmah) artinya : yang banyak berbuat kebaikan dan Al-Rohiim
adalah : ‫( كثير الرحمة بالنعم الدقيقة‬katsiru Al-Rahmat bi al-ni’ami al-daqiiqoh)
artinya : pemberi ni’mat dengan ni’mat-ni’mat yang kecil. (Syarah Kifayatul
Atqiya hal 4-5). Sebagian ulama mendefinisikan Al-Rohman dengan ‫المنعم‬
‫( بجآلئ ل النعم‬Al-mun’im bijalaili al-ni’ami) artinya : Yang memberi ni’mat
dengan ni’mat-ni’mat yang besar seperti bisa melihat, bisa mendengar, bisa
berbicara dll. sedangkan Al-Rohiim didefinisikan dengan ‫(المنعم بدقائق النعم‬Al-
mun’imi bidaqoiqi al-ni’ami) artinya : Pemberi ni’mat dengan ni’mat-ni’mat
yang kecil seperti penglihatan yang tajam, pendengaran yang tajam,
berbicara yang fasih dan lain-lain. I’rab Al-Rahman dan Al-Rahiim dibaca
khofad cirinya kasrah jadi sifat dari lafadz Allah namun lafadz Al-Rahman
bisa juga jadi badal dari lafadz Allah karena lafadz Al-Rohman merupakan
nama-nama Allah yang tidak dipakai kepada selain Allah. Semua Ulama
Ahli Qira’at bersepakat bahwa lafadz Al-Rohman dan Al-Rohiim secara
hukum wajib dibaca kasroh tidak boleh yang lainnya. Akan tetapi menurut
kedudukan ilmu nahwu lafadz Al-Rohman dan Al-Rohiim juga bisa rofa’ dan
bisa nasab. Dibaca rafa’ yang cirinya dhommah kedudukannya sebagai
khobar dari mubtada yang dibuang yaitu lafadz ‫ هو‬sedangkan dibaca nasab
yang cirinya fatah jadi maf’ul dari fi’il yang dibuang yaitu lafadz ‫امدح‬.

Kedudukan Bismillah
Para Ulama bersepakat bahwa sesungguhnya bismillah yang
tercantum dalam surat al-naml adalah bagian dari ayat yaitu di dalam
Firman Allah :
‫إنّه من سليمان وإنّه بسم هّللا ال ّرحمن ال ّرحيم‬
Tetapi para Ulama berbeda pendapat apakah bismillah termasuk dari ayat
fatihah, dan termasuk dari permulaan setiap surat atau bukan ? jawabnya
ada beberapa pendapat
Pertama: Bismillah termasuk ayat dari fatihah dan termasuk dari ayat
setiap surat, pendapat ini adalah madzab Imam Syafi’i
Rahimahullah.
Kedua: Bismillah bukan termasuk dari ayat fatihah dan bukan termasuk
dari ayat surat-surat Al-Qura’an ini adalah madhab imam Malik.
Ketiga: Bismillah merupakan ayat yang menyendiri dari Al-Qur’an,
diturunkan sebagai pemisah antara surat-surat dan bukan
termasuk dari ayat fatihah, pendapat ini adalah madzhab imam
Abu Hanifah Rahimahullah.

Dalil madzhab Syafi’iyyah:


Syafi’iyah mendeskripsikan dalil terhadap madzhabnya dengan sejumlah
dalil yang kami ringkas :
Pertama hadist Ibu Hurairah dari Nabi SAW sesungguhnya ia
berkata:
‫رب العالمين فاقرؤا بسم هّللا ال ّرحمن ال ّرحيم إنّها أم القرآن وأم الكتب والسبع المثانى‬
ّ ‫إذا قرأتم الحمد هّلل‬
‫وبسم ا هّلل ال ّرحمن ال ّرحيم أحد آيتها‬
Artinya : Apabila kamu membaca ‫(الحمد هّلل ربّ العالمين‬fatihah) maka bacalah ‫ال ّرحيم‬
‫ بسم هّللا ال ّرحمن‬karena sesungguhnya fatihah adalah termasuk ummul Qur’an
artinya pokoknya Al-Qur’an, ummul kitab dan sab’ul matsanii artinya tujuh
ayat yang diulang-ulang. Dan bismillah merupakan salah satu dari ayat
fatihah.
Hadits kedua dari Ibnu Abbas ra. Bahwa sesungguhnya Rasulullah
SAW memulai shalatnya dengan membaca ‫بسم هّللا ال ّرحمن ال ّرحيم‬
Hadits ketiga dari Anas ra. Ia ditanya dari pembacaan (fatihahnya)
Rasulullah SAW. Jawabnya “Bahwa pembacaan Rasulullah adalah
dipanjangkan kemudian Anas membaca fatihah yang dimulai dengan
Bismillah.
Hadits keempat dari Anas ra. Ia berkata pada suatu hari Rasulullah
sedang berada diantara kami ketika itu beliau tertidur sebentar kemudian
mengangkatkan kepalanya sambil tersenyum. Kami pun bertanya apa yang
membuat engkau tersenyum Ya Rasulullah? Jawab Nabi : Diturunkan
kepadaku barusan satu surat lalu beliau membaca surat Al-Kautsar yang
dimulai dengan Bismillah. Ulama Syafi’iyyah berkata hadits ini
menunjukkan bahwa sesungguhnya Basmalah merupakan salah satu ayat
dari setiap surat dari surat-surat Al-Qur’an, dengan dalil bahwa Rasulullah
SAW membaca Basmalah dalam surat Al-Kautsar. Kelima mereka
mengambil dalil dengan dalil akal, yaitu sesungguhnya mushaf Imam
(Mushaf Utsmani) ditulis didalamnya Basmalah pada permulaan fatihah
dan permulaan setiap surat dari surat-surat Al-Qur’an, selain Surat
Bara’ah (S. At-Taubah). Ditulis juga pada mushhaf-mushhaf yang disalin
dari Mushhaf Utsmani. Penulisan itu sudah mutawatir serta diketahui.
Mereka tidak menulis dalam Mushhaf sesuatu yang bukan termasuk Al-
Qur’an.dan mereka sangat ketat dalam melarang penulisan selain Al-Qur’an
dalam Mushaf. Sampai-sampai mereka melarang penulisan ta’syiir(ciri yang
menunjukkan sepuluh ayat),nama-nama surat dan dari penulisan titik-titik
(setiap huruf terbagi dua ada yang bertitik seperti `‫ ذ‬dan ‫ خ‬ada juga yang
tidak bertitik seperti ‫ د‬dan ‫ح‬. Adapun apa-apa yang tertera diakhir Mushaf
maka penulisannyapun tidak disesuaikan dengan penulisan Mushaf dan
tintanya tidak sama dengan tinta yang digunakan dalam penulisan Mushaf
karena menjaga Al-Qur’an dari tercampuri sesuatu yang bukan Al-Qur’an.
Maka ketika tertera lafadz basmalah pada surat Fatihah dan permulaan
surat-surat itu menunjukkan bahwa basmalah merupakan ayat setiap
surat.dari surat-surat Al-Qur’an.

Dalil Madzhab Maliki


Ulama Malikiah berpendapat bahwa basmalah bukan termasuk ayat fatihah
dan bukan termasuk dari Al-Qur’an akan tetapi basmalah ditulis untuk
diambil berkahnya dengan dalil-dalil sebagai berikut :
- Pertama hadits dari Siti Aisyah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah memulai
shalat dengan takbir dan membaca dengan ‫( الحمدهلل رب الع المين‬HR.
Muslim).
- Kedua hadits dari Anas ra. Ia berkata : Saya shalat dibelakang Nabi
SAW, Abu Bakar,Umar dan Utsman Mereka memulainya dengan ‫الحمدهلل‬
‫رب الع المين‬. Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan Mereka tidak
menyebutkan bismillah, tidak pada awal pembacaan dan tidak juga pada
akhir pembacaan.
- Ketiga hadits dari Abu Hurairah ra. Ia berkata saya mendengar
rasulullah bersabda : Allah ‘Azza wa Jalla berFirman Shalat (fatihah)
dibagi antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian dan bagi hamba-
Ku (akan mendapatkan) apa yang ia pinta. Apabila hamba itu
mengucapkan ‫ الحمدهلل رب العالمين‬Allah Ta’la berFirman hamba-Ku memuji
kepada-Ku. Apabila hamba itu mengatakan ‫ ال ّرحمن ال ّرحيم‬Allah ta’ala
berFirman hamba-Ku menyanjung kepada-Ku. Dan apabila hamba itu
mengatakan ‫ مال ك ي وم ال دين‬Allah Ta’ala berFirman hamba-Ku
mengagungkan terhadap-Ku dan Dia juga berFirman hamba-Ku
menyerahkan (segala urusan) kepada-Ku. Maka apabila hamba itu
mengatakan ‫ إي اك نعب د وإي اك نس تعين‬Allah Ta’ala berFirman Ini adalah
antara-Ku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku (akan mendapatkan) apa
yang ia pinta. Maka apabila hamba itu mengatakan ‫إهدناالص راط‬
‫والالضالين‬...‫ المستقيم‬Allah berFirman Ini bagi hamba-Ku dan bagi hamba-
Ku (akan mendapatkan) apa yang dipintanya. Mereka berkata Firman
Allah lafadz ‫ قسمت الصالة‬artinya dibagi shalat maksudnya fatihah. Fatihah
dinamai shalat karena shalat tidak shah apabila tidak membaca fatihah.
Kalaulah basmalah termasuk fatihah maka akan disebutkan didalam
hadits qudsi itu.
- Keempat apabila basmalah termasuk sebagian fatihah maka akan terjadi
pengulangan lafadz ‫ ال ّرحمن ال ّرحيم‬yaitu ayat satu dan tiga. Dan itu
merusak terhadap bilaghahnya susunan surat yang agung.
- Kelima Penulisan basmalah pada permulaan surat fungsinya adalah
untuk mengambil berkah dan turut perintah untuk memulai basmalah
dalam segala urusan yang baik. Basmalah walaupun mutawatir
penulisannya pada setiap permulaan surat tetapi tidak mutawatir
adanya basmalah sebagai Al-Qur’an pada setiap permulaan surat.
Imam Al-Qurthubi berpendapat bahwa yang shahih dari semua
pendapat adalah pendapat Imam Malik karena Al-Qur’an tidak ditetapkan
dengan hadits Ahad. Akan tetapi penetapan Al-Qur’an mutawatir yang pasti
yang tidak ada perbedaan. Ibnu al-‘Arabi berkata : Dan cukup bagimu
bahwa basmalah bukan termasuk Al-Qur’an berbeda pendapatnya manusia
dalam basmalah, sedangkan Al-Qur’an tidak di ikhtilafkan. Hadits-hadits
shahih yang tidak ada kecacadannya menunjukkan bahwa basmalah bukan
termasuk ayat fatihah dan bukan yang lainnya kecuali dalam surat an-
naml saja. Kemudian ia berkata lagi sesungguhnya madzhab kami adalah
mengunggulkan pendapat ini dengan perjalanan yang agung yang dapat
diterima akal. Yaitu Sesungguhnya Masjid Nabawi yang ada di Madinah
telah habis beberapa masa dan telah lewat beberapa zaman dari masa
Rasulullah SAW sampai masa Imam Malik. Tiada yang membaca
seorangpun basmalah dimesjid Nabawi karena turut terhadap sunnah. Dan
ini menolak pendapat yang kalian sebutkan, akan tetapi shahabat-
shahabat kami menjadikan sunnah membacanya dalam shalat sunnah.
Dan terhadap shalat sunnah di mahmulkan (ditujukan) hadits-hadits yang
menunjukkan pada pembacaan basmalah.

Dalil Madzhab Hanafiah


Adapun Ulama Hanafi berpendapat bahwa penulisan basmalah dalam
Mushaf menunjukkan bahwa basmalah adalah Al-Qur’an tetapi tidak
menunjukkan bahwa basmalah salah satu ayat dari setiap surat. Hadits-
hadits yang yang menunjukkan tidak dibacanya basmalah beserta fatihah
dengan keras dalam shalat menunjukkan bahwa basmalah bukan
termasuk fatihah. Maka mereka menghukumi bahwa basmalah merupakan
ayat yang sempurna (menyendiri) selain basmalah yang ada pada surat an-
naml diturunkan sebagai pemisah diantara surat. Dalil yang menguatkan
madzhab mereka adalah atsar yang riwayatkan dari shahabat mereka
berkata : Kami tidak mengetahui selesainya surat sehingga diturunkan ‫بسم‬
‫ هّللا ال ّرحمن ال ّرحيم‬. Begitu juga hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Sesungguhnya Rasulullah tidak mengetahui pemisah surat sehingga
diturunkan ‫ بسم هّللا الرّحمن الرّحيم‬.
Imam Abu Bakar Al-Raazi berkata : Telah terjadi perbedaan pendapat
dalam basmalah apakah termasuk ayat fatihah atau tidak. Ahli Qira’at
Kufah berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat fatihah sedangkan ahli
Qira’at Bashrah tidak memasukkan fatihah terhadap ayat fatihah. Imam
Syafi’I berkata Basmalah termasuk ayat fatihah kalau tidak dibaca dalam
shalat maka wajib diulangi lagi shalatnya. Menghikayatkan Syaikhuna Abu
Al-Hasan Al-Kurkhi untuk tidak mengeraskan pembacaan basmalah.
Pendapat ini menunjukkan bahwa basmalah bukan termasuk ayat fatihah.
Madzhab Ashab kami berpendapat bahwa basmalah bukan termasuk ayat
dari permulaan setiap surat, karena tidak dibaca keras dalam shalat dan
juga apabila basmalah bukan termasuk ayat fatihah begitu juga hukumnya
pada surat selain fatihah. Menyangka Imam Syafi’i bahwa basmalah
termasuk ayat dari setiap surat. Dan tidak ada yang mendahuluinya
terhadap pendapat ini seorang pun. Karena perbedaan pendapat antara
ulama salaf (ulama terdahulu) adalah apakah basmalah ayat fatihah atau
bukan. Dan tidak menganggapnya seorangpun bahwa basmalah termasuk
ayat dari surat-surat lain selain surat fatihah. Kemudian ia mengatakan
lagi dalil yang menunjukkan bahwa basmalah bukan termasuk ayat dari
setiap surat adalah hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Sesungguhnya
Beliau bersabda : Surat yang ada di dalam Al-Qur’an yang berjumlah tiga
puluh ayat dan memberi syafa’at terhadap orang yang suka membacanya
sehingga ia diampuni adalah ‫تبارك الذي بيده الملك‬. Sepakat Ahli Qira’at dan
yang lainnya bahwa surat Al-Mulk berjumlah tiga puluh ayat selain
basmalah. Kalaulah termasuk ayat fatihah maka jumlah ayat dalam surat
Al-Mulk berjumlah tiga puluh satu ayat dan itu tidak sesuai dengan sabda
Nabi SAW. Dan menunjukkan pula terhadap pendapat ini adalah
sepakatnya Ahli Qira’at bahwa surat al-Kautsar tiga ayat, surat al-Ikhlas
empat ayat, kalaulah basmalah termasuk ayat dari setiap surat maka
jumlahnya akan lebih.

Tarjih
Sesudah memperlihatkan dalil-dalilnya dan pengambilan dalil setiap
ulama madzhab dari imam-imamnya maka kami berkata Semoga madzhab
Imam Hanafi adalah pendapat yang paling unggul. Pendapatnya adalah
pendapat menengah dari dua pendapat yang saling berlawanan. Ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa basmalah termasuk ayat fatihah dan ayat
setiap surat dan Ulama Malikiyah berpendapat bahwa basmalah bukan
termasuk ayat fatihah dan bukan juga termasuk ayat dari setiap surat.
Firman Allah berbunyi )148:‫ ولكل وحهة هو موليها (البقرة‬artinya : Dan bagi tiap-
tiap ummat ada qiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Akan
tetapi kalau kita perhatikan secara mendalam maka kita akan menemukan
bahwa penulisan basmalah dalam Mushaf dan mutawatirnya penulisan itu
tanpa ada orang yang mengingkarinya serta diketahuinya bahwa shahabat
menghilangkan Mushaf dari sesuatu yang bukan Al-Qur’an menunjukkan
bahwa basmalah termasuk ayat Al-Qur’an akan tetapi tidak menunjukkan
terhadap ayat dari setiap surat atau ayat dari surat fatihah. Melainkan
basmalah termasuk ayat Al-Qur’an yang diturunkan sebagai pemisah
diantara setiap surat. Pendapat ini yang diisyaratkan oleh hadits Ibnu
Abbas yang telah disebutkan bahwasanya Rasulullah tidak mengetahui
pemisah antara surat sehingga diturunkan kepada beliau basmalah. Dan
menguatkan pendapat ini yaitu basmalah bukan termasuk ayat dari
permulaan setiap surat bahwa sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan sesuai
perkataan orang Arab dalam berbicara. Dan orang Arab berkeyakinan
bahwa beragam dalam pembicaraan termasuk dari sebagian perkataan
balaghah apalagi pada permulaan perkataan. Kalaulah basmalah termasuk
ayat dari setiap surat maka permulaan setiap surat berada pada satu
bentuk. Dan ini tidak sesuai sesuatu penjelasan yang mena’jubkan dalam
mu’jizat Al-Qur’an. Pendapat Madzhab Malikiyah bahwa tidak mutawatirnya
keberadaan basmalah sebagai ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa
basmalah bukan ayat Al-Qur’an tidaklah jelas seperti pendapat al-
Jashshosh. Karena tidak mesti dikatakan bahwa pada setiap ayat bahwa itu
adalah Al-Qur’an dan menjadi mutawatir. Akan tetapi cukup memerintah
Rasulullah SAW menulis ayat tersebut dan mutawatir penulisan tersebut
dari Rasulullah SAW. Sedangkan telah sepakat ummat bahwa semua yang
ada didalam Mushaf adalah Al-Qur’an. Maka tentu basmalah merupakan
ayat menyendiri dari ayat-ayat Al-Qur’an, yang diulang-ulang basmalah
pada beberapa tempat, sesuai dengan apa yang ditulis pada permulaan-
permulaan kitab untuk mendapatkan keberkahan dengan nama Allah SWT.
Pendapat inilah yang mententramkan dan menenangkan jiwa. Dan
pendapat ini adalah pendapat yang mengumpulkan diantara nash-nash
yang ada. Wallohu a’lam.

Hukum pembacaan Basmalah dalam Shalat.


Para ulama berbeda pendapat tentang pembacaan basmalah dalam shalat
ada beberapa pendapat
- Pertama pendapat Madzhab Imam Malik Rahimahullah melarang
pembacaan basmalah didalam shalat fardlu baik dibaca nyaring atau
pelan. Tidak pada permulaan fatihah juga tidak pada permulaan surat
selain fatihah. Dan ia membolehkan membacanya dalam shalat sunat.
- Kedua Pendapat Madzhab Imam Abu Hanifah Rohimahulloh bahwa
orang yang shalat boleh membacanya secara pelan beserta fatihah pada
setiap raka’at dari raka’at shalat. Dan apabila membacanya pada setiap
raka’at itu lebih baik.
- Ketiga Pendapat Imam Syafi’i Rohimahulloh wajib bagi orang yang sholat
membaca basmalah. Dan apabila pada sholat yang dibaca nyaring sunat
dinyaringkan dan pada sholat yang pembacaannya pelan sunat
dipelankan.
- Keempat Pendapat Imam Ahmad bin Hanbal ra Basmalah dibaca pelan
dan tidak sunat dinyaringkan.

Adanya perbedaan pendapat adalah dikarenakan berbeda pendapatnya


tentang basmalah apakah termasuk ayat fatihah dan permulaan awal surat
atau tidak? Dan itu telah terdahulu dibicarakan. Di antara sebab yang
lainnya adalah perbedaan pendapat ulama salaf pada bab ini. Ibnul Jauzii
berkata dalam kitab Zaadil Masiir : Ulama telah berselisih pendapat apakah
basmalah termasuk fatihah atau tidak ? Dari imam Ahmad ada dua
riwayat. Adapun ulama yang mengatakan termasuk ayat fatihah. Maka
mereka mewajibkan membaca basmalah dalam shalat. Apabila ia
mengatakan wajib membaca fatihah dalam shalat. Dan ulama yang
mengatakan bukan termasuk ayat fatihah. Maka mereka mengatakan
bahwa membaca basmalah dalam shalat hukumnya sunat. Selain Imam
Malik ia tidak mensunatkan membaca fatihah dalam shalat.
Para ulama berselisih pendapat dalam menyaringkan basmalah dalam
shalat. Sekelompok ulama menukil dari imam Ahmad bahwa menjaharkan
(menyaringkan) basmalah dalam shalat tidak disunatkan. Pendapat ini
termasuk pendapat Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Mas’ud, juga
termasuk madzhab Tsauri,Malik dan Abu Hanifah.
Imam Syafi’I berpendapat bahwa menjaharkan basmalah disunatkan.
Pendapat ini diriwayatkan dari Mu’awiyah, ‘Atho dan Thowus.
‫ الحمد هّلل‬Al-Hamdu adalah memuji dengan yang baik karena keagungan dan
kebesaran. Al-Qurtubi berkata makna Al-hamdu pada kalam Arab adalah
memuji yang sempurna, dan ‫ ال‬listigrakil jinsi (mencakup kepada semua
jenis), Dialah Allah yang maha suci memiliki semua puji, dan pujian yang
mutlak. Memuji adalah lawan dari mencela , memuji lebih umum dari
syukur, karena syukur adalah mengimbangi nikmat perbedaan memuji,
kamu berkata : aku memuji kepada laki-laki karena keperkasaannya, dan
ilmunya, dan kamu berkata aku bersyukur kepadanya terhadap
kebaikannya. Memuji dengan lisan dan bersyukur dengan hati dan lisan
dan semua anggota. Seorang penyair berkata: ”Tiga nikmat dariku berguna
bagimu, tanganku, lisanku dan hati yang terhijab”. Al-Thabari
mengemukakan bahwa sesunggunya memuji dan syukur satu makna
karena sesungguhnya kamu berkata memuji kepada Allah itu syukur. Al-
Qurtubi berkata pendapat yang dikemukakan oleh Al-thabari tidak
disepakati, karena sesungguhnya memuji adalah memuji kepada orang
yang di puji dengan sifatnya dengan tidak didahului oleh kebaikan ,
sedangkan syukur adalah memuji kepada yang dipuji dengan didahului
oleh kebaikan. Dengan demikian Al-Hamdu (memuji) lebih umum dari pada
syukur. (Al-Jaami Liahkam Al-Quran Al-Qurtubi jld 1 hal 122).
‫ ّرب الع المين‬Al-Rabb menurut bahasa : adalah kalimat masdar yang
mengandung makna Al-Tarbiyyah artinya membereskan tingkah keadaan
yang lain dan menjaga urusannya, Al-Harawi berkata : dikatakan kepada
orang yang melakukan, membereskan sesuatu dan membereskannya:
sungguh dia telah mengurusnya.
Di dalam kitab Al-Shahah : ‫رب فالن ولده‬
ّ si pulan mengurus anaknya
dengan sungguh-sungguh, Al-Murabbun adalah jamanya kata Al-Murabbi.
Al-Rabb diambil dari kata Al-Tarbiyyah Dialah Allah Yang Maha Suci dan
Maha Tinggi Yang Mengatur makhluk-Nya dan Yang Mengurus mereka. Al-
Rabb dikatakan kepada beberapa makna yaitu Al-Maalik, Al-Muslih, Al-
Ma’bud, Al-Sayyid, Al-Mutha’. Kamu berkata:
‫ورب الدّار‬
ّ ‫هذا ربّاالبل‬
artinya : yang memiliki unta dan rumah
Kata Rabb tidak boleh dikatakan kepada selain Allah kecuali
diidopatkan, dinyatakan didalam hadist yang mulya :
‫ أطعم ربّك وضىءربّك واليقل أحدكم ربّي وليقل سيّدى وموالى‬: ‫ال يقول احدكم‬
Artinya: Salah seorang kamu jangan berkata rabbuka memberi makan dan
menerangi dan jangan berkata rabbi tapi harus berkata sayyidi dan
maulaya. Al-Rabb adalah al-ma’bud seperti perkataan syai’r: “ Apakah
kepada yang disembah (patung berhala), binatang kancil mengencingi
kepalanya. Sungguh hina orang yang dikencingi binatang kancil”.
Al-Rabb adalah majikan yang dita’ati seperti dalam Firman Allah ‫فيسقى‬
‫ ربّه خمرا‬Artinya…Maka Menyiram Majikannya Dengan Arak……..
Al-Rabb adalah Al-Muslih (orang yang mengislahkan )seperti dalam
syair: Orang yang mengislahkan mendatangkan kebaikan, sesungguhnya
jika ia dipinta kebaikan. ia menambah dan menyempurnakan.
Al-Aalamiin adalah jama’nya kata ‘alamun, al-alam adalah isim jenis
yang tidak ada mufradnya seperti kata Al-Rahtu, dan Al-Anaam. Abu Su’ud
berkata Al-Alam adalah nama kepada sesuatu yang di ketahui seperti Al-
Khatam (cincin) dan Al-Qaalib, Alam di tujukan kepada sesuatu yang
diketahui Sang pencipta Yang Maha Berkah dan Maha Tinggi, Ibnu Al-Juzzi
berkata Al-Alam menurut ahli bahasa Arab adalah nama kepada makhluk
dari permulaan sampai akhir, adapun menurut ahli Mantiq Al-Alam adalah
nama kepada semua keadaan yang baru seperti bintang, langit, bumi, dan
sesuatu yang berada diantara itu, didalam pengambilan kata Al-Alam ada
dua pendapat: Al-Alam diambil dari kata Al-Ilmu pendapat ini memperkuat
kepada pendapat ahli bahasa, Al-Alam diambil dari kata Al-Alamah
pendapat ini memperkuat kepada pendapat ahli Mantiq. Semua yang ada di
seluruh alam ini menunjukan kepada adanya Yang Menciptakan Yang
Mengatur, Yang Maha Bijaksana.
Sebagaimana syair berkata “Maka heran kenapa Allah dimaksiati :
atau kenapa orang yang ingkar, ingkar kepada Allah? “, “dan Allahlah
terhadap semua gerakan : dan diam selamanya yang menyaksikan“ “dan
didalam segala sesuatu padanya terdapat tanda : yang menunjukan bahwa
sesungguhnya Allah adalah Esa”. Ibnu Abbas berkata Rabbul A’lamiin
adalah Rabb Al-Insi Waljinni Walmalaikati. Al-Parra dan Abu Ubaidah
berkata: Al-Alam adalah ungkapan dari yang berakal yaitu ada empat
ummat manusia,jin, malaikat, syaitan.dan hewan-hewan tidak disebut alam
karena kumpulan ini adalah kumpulan khusus yang berakal. Sebagian
Ulama berkata: Setiap golongan dari semua golongan makhluk adalah alam,
maka manusia adalah alam, jin adalah alam, malaikat adalah alam burung
adalah alam tumbuh-tumbuhan adalah alam, benda padat adalah alam,
dikatakan Rabbul A’lamiin karena mencakup kepada semua golongan dari
seluruh alam.
‫ مالك يوم الدين‬yang merajai pada hari pembalasan. Pengertian lafadz Al-
Malik / Al-Maalik pada Allah Yang Maha Luhur dan Maha Suci adalah :
Yang menguasai seluruh raja, yang mempunyai kerajaan, Dia-lah penguasa
di hari Qiyamah, Dia yang mengurus seluruh makhluk dan yang
memilikinya. Menurut Imam Ibnu Katsir, Naafi’, Abu ’Amrin dan Ibnu A’mir,
lafadzz Al-Malik yang terdapat pada ayat di atas dibaca tidak memakai Alif.
Menurut Imam A’shim, Kisai’ dan Ya’qub, lafadzz Al-Maalik dibaca dengan
memakai Alif. Fungsi adanya hari pembalasan dari Dzat Al-Maalik adalah
untuk membedakan antara orang yang berbuat baik dan jahat, orang yang
tha’at dan ma’siat dan orang yang mengikuti aturan dan yang menyalahi
aturan. Sebagaimana Firman Allah SWT :
‫ليجزي الذين أسآؤوا بما عملوا ويجزي الذين أحسنوا بالحسنى‬
Artinya : Supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
jahat terhadap apa yang mereka telah kerjakan dan memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik
(syurga).(QS 53:31). Dan Firman Allah : ‫إن الساعة آتية أكاد أخفيها لتجزى كل نفس بما‬
‫تسعى‬
Artinya : Sesungguhnya hari Qiamat itu akan datang, Aku merahasiakan
(waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia
usahakannya.(QS.20:15).
Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya yang memberi kekuasaan
terhadap orang yang berbuat dzolim pada orang yang didzoliminya
kemudian ia tidak menyiksa orang dzolim tersebut itu bisa dikarenakan
tidak mampu, bodoh, atau ridlo terhadap perbuatan dzolim. Ke tiga sifat ini
mustahil ditujukan kepada Allah. Oleh karena itu orang dzolim tersebut
mesti mendapat siksa, jika tidak disiksa di dunia maka akan mendapatkan
siksa di akhirat itulah yang dimaksud dengan Firman Allah : ‫ مالك يوم الدين‬dan
Firman Allah :
‫فمن يعمل مثقال ذرة خيرايره ومن يعمل مثقال ذرة شرايره‬
artinya : Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarah pun,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barang siapa yang mengerjakan
kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.
(QS:99:6,7).
Diriwayatkan sesungguhnya pada hari Qiamat didatangkan seorang
lelaki, kemudian lelaki itu melihat kepada keadaan dirinya yang tidak
terdapat kebaikan sama sekali dalam catatan amalnya. Terdengarlah suara
yang memanggil : “masuklah ke surga dengan amalmu !”, maka lelaki itu
berkata : ”Ya Allah ! amal apa yang telah aku kerjakan ?”. Allah
menjawabnya : “di suatu malam ketika kamu sedang tidur kamu
membalikan badanmu. Ingatkah saat itu kamu mengucapkan Allah
kemudian tidur lagi dan kamu lupa akan itu. Adapun Aku tidak terkena
ngantuk dan tidur dan Aku tidak lupa itu !” . Dan didatangkan kepada
seorang lelaki lagi timbangan neraca amal, kemudian ditimbang amal baik
dan jeleknya dan didapati amal baiknya ringan. Setelah itu didatangkan
sebuah nampan yang berisi sesuatu yang di lupakan lelaki itu, maka
beratlah timbangan amal baiknya, ternyata di atas nampan itu terdapat
dua kalimah syahadat. Ulama ahli Qira’at berbeda pendapat dalam
membaca lafadz ‫ مالك‬ada yang pakai ”alif dan ada yang tidak pakai ”alif di
samping diriwayatkan dari Rasulullah Ulama ahli Qira’at pun
mengemukakan alasan-alasan. Diantara alasan-alasannya adalah: Alasan
ulama yang membaca Al-Maalik dengan memakai alif adalah :
Sesungguhnya di dalam lafadz Al-Maalik terdapat huruf lebih, maka
membacanya akan mendapatkan pahala yang lebih banyak. Sesungguhnya
di hari Qiamat terdapat banyak raja tetapi di hari itu hanya ada satu
memiliki yang haq hari Qiyamat tidak ada selain Allah. Maalik (yang
memiliki) bisa sebagai raja, bisa juga bukan. Demikian juga Malik (raja)
kadang-kadang memiliki dan kadang-kadang tidak. Masing-masing malik
dan Maalik kadang-kadang terpisah, akan tetapi sifat kepemilikan menjadi
sebab adanya kebebasan dalam menggunakan haknya. Sedangkan sifat
kerajaan tidak demikian. Maka dari itu, lapadz Maalik lebih utama.
Sesungguhnya raja itu merajai rakyatnya dan Maalik memiliki hamba-
hambanya, sedangkan hamba lebih rendah martabatnya dari pada rakyat.
Sifat memaksa yang terdapat dalam kepemilikan lebih banyak dari pada
sifat memaksa yang terdapat dalam sifat raja, dengan demikian Maalik lebih
tinggi dari pada Malik. Sesungguhnya rakyat bisa saja mengeluarkan
dirinya dari menjadi rakyat seorang raja dengan kemauannya sendiri, ada
pun mamluk (yang dimiliki) tidak bisa mengeluarkan dirinya dari
pemiliknya dengan kemauan sendiri, maka menjadi ketetapan bahwa sifat
memaksa yang terdapat pada sifat kepemilikan lebih sempurna dari pada
yang terdapat pada sifat kerajaan. Sesungguhnya wajib bagi raja (Al-Malik )
melindungi rakyat sebagai mana sabda Rasul saw : ‫كلكم راع وكلكم مسئول عن‬
‫ رعيته‬artinya : dan setiap kamu itu pemimpin dan setiap pemimpin akan
ditanya tentang kepemimpinannya. Sedangkan rakyat tidak wajib melayani
rajanya. Adapun abid/ hamba (mamluk) berkewajiban melayani majikannya
(Maalik), dan tidak boleh melakukan suatu perkara kecuali harus ada izin
maalik-nya. Hamba tidak syah memutuskan hukum, jadi imam dan
menjadi saksi tanpa ada izin maalik-nya. Apabila majikannya berniat
bepergian maka hamba terkena hukum bepergian dan apabila diniatkan
bermuqim maka hamba pun terkena hukum bermuqim. Ketahuilah
sesungguhnya turut atau taatnya juga sikap merendahkan diri dari seorang
hamba sahaya kepada majikannya, lebih sempurna dari pada yang terdapat
pada rakyat. Alasan-alasan ini menunjukan sesungguhnya Maalik lebih
sempurna daripada Malik.

Alasan ulama membaca Al-Malik tidak memakai alif adalah :


Sesungguhnya setiap manusia, yang tinggi kedudukannya atau pun yang
rendah, memiliki (Maalik) sesuatu. Adapun yang menguasai (Al-Malik)
kepada sesuatu lebih tinggi kedudukannya dari sekedar memiliki. Maka Al-
Maliku lebih mulia dari pada Al-Maaliku, karena selain memiliki juga
menguasai. Para ulama bersepakat pada Firman Allah (QS114:1,2,)
‫ ق ل أع وذ ب رب الن اس مل ك الن اس‬artinya : “Katakanlah ! aku berlindung kepada
Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia”. Pada ayat ini
diharuskan dengan lafadz Al-Malik, jika keadaan Al-Malik tidak lebih tinggi
dari pada Al-Maaliku maka tidak harus tentu dengan lafadz Al-Malik.
Al-Malik lebih utama karena lebih ringkas. Sesungguhnya Allah sebagai Al-
Maliku mempunyai hukum-hukum dan sebagai Al-Maaliku mempunyai
hukum yang lain. Adapun bagian hukum Allah sebagai Al-Maliku adalah :
Sesungguhnya siasat-siasat itu ada empat bagian : siasat para pemilik,
siasat para raja, siasat para malaikat dan siasat Rajanya seluruh raja.
Siasat para raja lebih kuat dari pada para pemilik karena sesungguhnya
bilamana suatu alam atau keadaan terdiri dari para pemilik maka tidak
akan bisa menandingi kepemilikan rajanya. Apakah kamu tidak melihat
bahwa seorang majikan tidak mempunyai wewenang untuk menegakan
hukum had kepada hamba sahayanya, menurut pendapat Imam Abu
Hanifah, dan para ulama bersepakat bahwa sesungguhnya raja mem-
punyai wewenang menegakan hukum kepada manusia. Adapun siasat para
malaikat berada di atas siasat para raja karena sesungguhnya Seorang Alim
dari para pembesar raja tidak akan mampu menolak siasat seorang
Malaikat pun. Dan siasat raja seluruh raja (Allah A’zza wajalla) berada di
atas siasat seluruh malaikat. Apakah kamu tidak mengetahui Firman Allah
yang artinya : pada hari ketika ruh dan para malaikat berdiri bershaf-shaf,
mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang telah diberi izin kepadanya
oleh Allah Yang Maha Pemurah, dan ia mengucapkan kata yang benar.
(QS78:38) dan Firman Allah : ‫ واليشفعون إال لمن ارتضى‬artinya : dan mereka
tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhoi Allah .
(QS21:28).Wahai para raja janganlah kamu terbuai dengan apa yang
engkau miliki baik harta kekayaan, ataupun kerajaanmu. Karena
sesungguhnya kamu adalah para tawanan pada genggaman kekuasaan
yang Menguasai di hari pembalasan dan wahai seluruh rakyat jika kamu
takut kepada siasat raja, apakah kamu tidak takut kepada siasat Raja
seluruh raja yang menguasai di hari pembalasan. Sesungguhnya Allah raja
yang tidak diserupai oleh seluruh raja karena apabila para raja yang
mensedekahkan hartanya niscaya akan berkurang harta kerajaannya.
Adapun Allah swt tidak akan berkurang sedikit pun apa yang ada di sisi
kerjaan-Nya bilamana memberikan sesuatu pada hamba-Nya, bahkan
akan makin bertambah . Secara jelasnya apabila Allah memberikan
kepadamu seorang anak maka hukum-Nya hanya dihadapkan kepada
seorang anak itu, tetapi jika Allah memberikan kepadamu sepuluh anak,
maka hukum dan taklifnya berlaku pada seluruhnya. Maka menjadi
ketetapan apabila Allah banyak memberi maka akan lebih luas kerajaan-
Nya. Sesungguhnya Allah Maha Sempurna rahmat-Nya. Dalilnya adalah
ayat-ayat yang menjelaskan Allah sebagai Rabb, Rohman dan Rahim.
Sebagaimana firman Allah:
 ‫ هو الرحمن الرحيم هو هللا الذى الإله إالهو الملك‬artinya : Dialah (Allah) Yang Maha
Pemurah Lagi Maha Penyayang , Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (Yang
berhak disembah) selain Dia. Yang Maha Merajai…..dst. (QS:59: 22-23)
Kemudian setelah itu Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Yang Maha
Suci dari berbuat dzolim. Dan menjelaskan Dia-lah Yang Maha
Sejahtera yang selamat hamba-Nya dari di dzolim-Nya (Allah tidak akan
berbuat dholim). Juga menjelaskan bahwa Allah yang Mengaruniakan
keamanan kepada hamba-hamba-Nya dari berbuat dholim-Nya, maka
tetaplah bahwa sesungguhnya Allah sebagai raja tidak akan sempurna
kerajaan-Nya kecuali beserta kesempurnaan Rahmat-Nya seperti
Firman Allah :
‫الملك يومئذ الحق للرحمن‬
artinya : Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan
Yang Maha Pemurah. (QS.25:26). Ketika Allah telah menetapkan kepada
diri-Nya sebagai Raja kemudian mensifati Dirinya dengan Rohman.
Allah bersifat Rohman menunjukan tidak akan hilang apapun dari sisin
Nya karena telah memberi Rahmat. Firman Allah :
‫قل أعوذبرب الناس ملك الناس‬
artinya : Katakanlah aku berlindung kepada Tuhan yang memelihara
manusia. Raja manusia. (QS.114 :1-2). Mula-mula Allah menjelaskan
bahwa Dia yang memelihara manusia kemudian Dia yang merajai
manusia. Semua ayat-ayat ini menunjukan bahwa Raja tidak akan baik
dan sempurna kecuali harus disertai dengan berbuat kebaikan dan
memberi rahmat. Maka wahai seluruh raja perhatikan dan simaklah
ayat-ayat ini dan sayangilah orang-orang miskin dan jangan mencari
martabat di dalam kerjaan yang melebihi kerajaan Allah Ta’ala.
Bahwasanya wajib kepada seluruh rakyat mentaati rajanya dan apabila
menyalahinya akan terjadi kekacauan, keributan di alam dan
kegoncangan, yang demikian itu akan menimbulkan kehancuran alam
dan binasanya mahluk. Apabila anda melihat Bahwa tidak menta’ati
raja majazi (semu) pada akhirnya akan mendatangkan kerusakan alam
dan lenyapnya mahluk. Bagaimana pemikiran anda apabila menyalahi
aturan Raja dari seluruh raja terhadap dampak hilangnya kemaslahatan
dan timbulnya kerusakan-kerusakan? Kesimpulannya bahwa kekufuran
menjadi sebab kerusakan seluruh alam sebagai mana Firman Allah :
‫تكاد السموات ينفطرن منه وتنشق األرض وتخر الجبال هدّا أن دعوا للرحمن ولدا‬
artinya : Hampir- hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi
belah, dan gunung- gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah
yang Maha Pemurah mempunyai anak.(QS19:90-91). Dan Allah
menjelaskan bahwa taat kepadanya menjadi sebab timbulnya
kemaslahatan-kemaslahatan, Allah berfirman artinya: Dan
perintahkanlah kepada kamu dan keluargamu untuk mendirikan shalat
dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta
rizki darimu, Kami lah yang memberi rizki kepadamu. dan akibat (yang
baik ). Itu adalah bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS.20:132). Maka
wahai seluruh rakyat taatlah kepada para raja dan wahai seluruh raja
taatlah kepada Raja seluruh raja sehingga tersusun kemaslahatan-
kemaslahatan alam. Setelah Allah mensifati Dirinya sebagai raja yang
merajai di hari pembalasan, maka tampaklah kesempurnaan keadilan-
Nya di alam raya. Allah berFirman, artinya : dan tidaklah Tuhanmu
yang memelihara ber-buat dlolim kepada hamba-hamba-Nya. Kemudian
Allah menjelaskan keadilan-Nya di dalam Firman :
‫ونضع الموازين القسط ليوم القيامة فال‬
‫تظلم نفس شيئا‬
artinya : Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari qiamat,
maka tiada dirugikan seseorang, barang sedikitpun. (QS21:4.). Maka
dengan ini jelaslah bahwa Allah menjadi Raja yang haq di hari
pembalasan, sebab keadilan-Nya. Jika seorang raja semu adil, maka dia
adalah raja yang hak, dan jika tidak maka dia adalah raja yang bathil.
Dan jika dia raja yang adil dan hak maka muncullah darinya
keberkahan, keadilan, kebaikan, kesenangan di alam. Tetapi jika dia
raja yang dlolim, maka hilanglah kebaikan di alam ini. Adapun bagian
hukum-hukum Allah sebagai Al-Maalik ada empat: Dibaca Al-Maalik
lebih diharapkan dari pada dibaca Al-Malik, karena yang dituntut dari
raja adalah keadilannya dan selamatnya manusia darinya satu persatu.
Adapun Al-Maalik (yang memiliki) seorang hamba meminta dari-Nya
pakaian, makanan, kasih sayang dan pengurusan, maka Allah bagaikan
berfirman “Aku adalah rajamu ! Aku-lah yang memberi makanmu,
bajumu, pahalamu dan surga kepadamu”. Walaupun Al-Malik lebih
kaya dari pada Al-Maalik tetapi sesungguhnya Al-Malik adalah yang
mengharapkanmu dan Al-Maalik kamu mengharapkan kepadanya.
Sedangkan kita semua tidak mempunyai amal taat dan amal kebaikan,
maka Al-Maalik tidak punya harapan meminta dari kita di hari qiamat
macam-macam amal kebaikan dan taat, tetapi Al-Maalik mengharapkan
kita memohon dari-Nya di hari kiamat ampunan dan diberi syurga
hanya karunia-Nya. Maka dengan sebab ini Imam Kisai berkata :
Bacalah Maaliki Yaumiddiin karena bacaan ini menunjukan kepada
keutamaan yang banyak dan rahmat yang luas. Sesungguhnya raja
apabila dihadapkan kepadanya pemilihan tentara, Dia tidak akan
menerimamya, kecuali yang kuat badannya. Adapun yang sakit tentu
ditolaknya dan tidak diberi apa-apa. Sedangkan Al-Maalik jika ada
hamba sahaya-Nya yang sakit maka diobatimya , apabila lemah diberi
pertolongan, apabila tertimpa musibah diselamatkan. Maka pembacaan
Al-Maalik sesuai bagi orang-orang yang berdosa dan miskin. Al-Malik
mempunyai haibah (ditakuti karena keagungannya) dan yang lebih
kuat. Sedangkan Al-Maalik belas-kasih dan kasih-sayang. Kita kepada
belas-kasih dan kasih-sayang sangat membutuhkan sekali, dibanding
kebutuhkan kita kepada haibah dan siasah. (Tafsir Fakhru Al-Raji juz 1
hal : 240-244).
‫ ي وم ال دين‬adalah hari pembalasan dan perhitungan amal yaitu
sesungguhnya Allah SWT yang mengurus/merajai/memiliki pada hari
qiamat seperti mengurusnya pemilik terhadap apa yang dimilikinya.
I’rab ‫ مالك‬menjadi sifat dari lafadz Allah dibaca Khofad karena lafadz
Allah dikhofadkan oleh lam haraf khofad, Maliki terhadap Yaumi
kedudukannya sebagai mudhof dan yaumi sebagai mudhof ilaihi,
hukum mudhof ilaih harus khofad. Yaumi terhadap al-diini juga sebagai
mudhof dan al-diini sebagai mudhof ilaihi. ‫( إي اك نعبد‬hanya kepada-Mu
aku menyembah), Lafadz ‫ نعبد‬maknanya adalah nadzillu (kami hina),
nakhsya’u (kami khusyu) dan nastakikiinu (kami tenang). Karena
‘ubudiyah maknanya adalah Al-Dzillah (hina ) dan Al-Isti’anah (meminta
pertolongan), diambil dari perkataan sebagian ulama yaitu Thoriiqun
Mu’abbadun artinya jalan yang dihinakan yang dipijak oleh kaki
sehingga menjadi suatu yang dihamparkan.
Imam Zamakhsyari berkata Ibadah adalah akhir dari merendahkan
diri dan menghinakan diri. Seperti perkataan tsaubun dzu ‘abadatin artinya
baju yang sangat tebal dan sangat kuat tenunannya. Oleh karena itu tidak
dipakai lafadz Ibadah kecuali kepada Allah, karena Dia yang memberi
nikmat yang paling besar. Oleh karena itu Dia-lah yang berhaq untuk
merendahkan diri kita kepada-Nya. Menurut Imam Al-Raazi Ibadah adalah
ungkapan dari perbuatan yang di lakukan untuk mengagungkan yang lain.

Makna. Hanya kepada Engkau Ya Allah kami menghinakan dan


merendahkan diri dan kami mengkhususkan beribadah Karena engkau
adalah yang berhak untuk diagungkan dan kami tidak menyembah kepada
seorangpun selain Engkau. Yang menunjukkan terhadap pengkhususan
ibadah ini berdasarkan beberapa segi diantaranya : I’rab ‫ إي اك‬merupakan
dhomir munfashil mahal nashab ( berada pada tempat nashab) sebagai
maf’ul dari lafadz ‫ نعبد‬yang didahulukan. Fungsi didahulukan adalah untuk
supaya mengkhususkan ibadah hanya kepada Allah. Dikatakan mahal
nashab mabni fatah karena isim dhomir hukumnya mabni ( kata yang
akhirnya tidak berubah sesuai amil/ yang memerintah). Menurut jumhur
ulama ahli nahwu yang merupakan dlomir munfasilnya adalah lafadz ‫إيا‬
sedangkan kafnya merupakan haraf khithob (haraf yang menunjukkan
orang yang diajak bicara ) tidak ada kedudukan dalam I’rab. Dan menurut
sebagian ulama nahwu yang menjadi dlomirnya adalah kaf nya.
Lafadz ‫نعبد‬ adalah fi’il mudhlori’ yang dirofa’kan ciri rafa’nya
dhommah. Fa’ilnya dhomir mutakallim yang diagungkan yang tersembunyi
yaitu ) ‫نحن‬nahnu(. Asal lafadz nahnu digunakan bagi Mutakallim ma’al ghoir
(pembicara beserta yang lainnya), akan tetapi kalau digunakan bagi seorang
maka mengandung makna mutakallim mu’adzdzim nafsah (pembicara yang
mengagungkan dirinya).
‫( واياك نستعين‬Hanya kepada engkau aku meminta pertolongan)
Tafsir al-isti’anah artinya meminta pertolongan. Imam Farro berkata
A’antuhu I’anatan (saya menolongnya dengan benar-benar menolong)
wasta’antuhu wasta’antu bihi (saya meminta pertolongan terhadapnya).
Didalam do’a dikatakan “Robbi a’inni wala tu’in ‘alayya (Ya Tuhanku
tolonglah aku dan jangan menolong yang menjadi madharat terhadapku).
Dan lafadz rojulun mi’waanun artinya yang banyak memberi pertolongan
terhadap manusia. Didalam hadits yang artinya : Apabila kamu meminta
maka memintalah kepada Allah dan apabila kamu meminta pertolongan
maka meminta pertolonganlah kepada Allah. Makna Kepada-Mu Ya
Tuhanku aku memohon pertolongan untuk dapat melaksanakan keta’atan
dan beribadah kepada-Mu dalam segala urusanku.Tidak ada yang memiliki
kekuasaan untuk menolongku seorangpun kecuali Engkau. Apabila orang
kafir meminta pertolongan kepada selain Engkau. Maka kami tidak
meminta pertolongan kecuali kepada Engkau.
‫إهدنا الصراط المستقيم‬
‫ إه دنا‬: adalah fi’il doa’yang maknanya adalah semoga engkau memberi
petunjuk kepada kami kepada jalan yang lurus dan semoga engkau
memperlihatkan kepada kami terhadap jalan hidayah-Mu yang
menyampaikan kepada rindu dan dekat kepada-Mu. Al-Hidayah menurut
bahasa mengandung makna al-dilalah (menunjukan) seperti Firman Allah
Ta’ala :
‫وأما ثمود فهد ينا هم فاستحبوا العمى علىالهدى‬
Artinya :Dan adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk
tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, (Fushilat
17)dan mengandung makna Al-Irsyad petunjuk baik dan lurus dan
menanamkan keimanan dalam hati seperti Firman Allah:
‫إنّك ال تهدى من احببت ولكنّ هّللا يهدى من يشاء‬
Artinya: Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada
orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya,(Al-Qashash 57). Maka Rasul SAW adalah sebagai Haadin
yang mengandung makna yang menunjukan kepada Allah ‫وإنّك لتهدى إلى‬
‫ص رط ﺍﻠمس تقيم‬ tetapi rasul tidak bisa menyimpan iman dalam hati
manusia, kalimah fi’il lapadz hudaa, muta’adi dengan (ilaa) dan (laam)
seperti Firman Allah ‫ فاهدوهم إلى صراط الجحيم‬dan terkadang muta’adi dengan
sendirinya seperti di sini, ‫الص راط المس تقيم‬
ّ ‫ إه دنا الص راط‬lapadz al-shiraat
mengandung makna al-thariq asalnya al-thariiq memakai siin (al-siraath)
diambil dari kata al-isiraat yang mengandung makna al-ibtila’ (menelan)
dinamakan demikian karena sesungguhnya jalan seperti menelan orang
yang berjalan. Al-Jauhari berkata Al-shiraath, al-siraath, dan Al-Jiraath
adalah al-thariiq (jalan) penyair berkata: aku membawa mereka kepada
jalan yang terang. Al-Qurtubi berkata asal makna shirat dalam bahasa arab
adalah jalan, penyair berkata: Kami memenuhi tanah mereka dengan kuda
sehingga kami meninggalkan mereka lebih hina daripada jalan dan orang
Arab menggunakan shiraat untuk setiap ucapan, pekerjaan, baik yang
bersipat istiqamah atau tidak, dan yang dimaksud shirat disini adalah
agama Islam. Al-Mustaqiim adalah sesuatu yang tidak bengkok didalamnya
dan tidak berbelok, seperti dalam Firman Allah ‫وانّ هذا صراطى مستقيما فاتبعوه اال‬
151 ‫ نع ام‬dan setiap yang tidak ada bengkok di dalamnya di namakan
mustaqiim, dan makna ayatnya adalah semoga engkau ya Allah
meneguhkan terhadap iman dan semoga memberi taufiq kepada amal
shalih dan menjadikan kami dari orang yang menempuh jalan islam yang
dapat menyampaikan kepada syurga-syurga kenikmatan.
‫أنعمت عليهم‬: ni’mat adalah senang,dan sejahtera didalam kehidupan
kamu berkata: ana’mtu a’inahu yaitu aku menggembirakan hatinya dan
ana’mtu a’laihi yaitu aku melebihkan dalam memberikan keutamaan
kepadanya. Asal pada lafadz an’amta muta’adi dengan sendirinya seperti
kamu berkata an’amtuhu (aku menjadikan ia mempunyai ni’mat) tapi
ketika lapadz an’amtu mengandung arti memberi keutamaan maka
dimuta’adikan dengan huruf jar ‫( على‬an’amta a’laihim). Ibnu Abbas berkata:
mereka yang diberi ni’mat itu adalah para nabi, para shiddiqiin, para
syuhada, para shalihiin pendapat ini juga merupakan pendapat jumhur
ulama ahli tafsir, sumber pengambilan mereka adalah Firman Allah :
ّ ‫ومن يطع هللا ورسوله فاالئك مع الذين أ نعم هّللا عليهم من النبيّين والص ّد يقين والشهداء وال‬
‫صالحين‬
)69‫ (النّساا‬. ‫وحسن أولئك رفيقا‬
‫المعضوب عليهم‬Mereka adalah orang-orang Yahudi karena Firman Allah
kepada mereka :
61 ‫ البقرة‬. ‫ ) وباءوا بعضب من هّللا‬dan Firman Allah ‫من لعنه هّللا وغضب عليه وجعل‬
‫( منهم القردة‬Al-Maidah 61).
‫الض الين‬
ّ Al-Dhalal dalam bahasa Arab adalah dari sunnah- sunnah
yang dimaksud dan perjalanan yang benar dan berpaling dari jalan yang
lurus dan dari sebagian makna al-dhalal perkataan mereka ‫ض ّل اللبن فى الماء‬
‫اى غاب‬artinya: telah tiada susu didalam air. Allah berfirman:
) 10 : ‫ وق الوا أء ذ ا ض للنا فى االرض (الس جده‬tidak ada kita semua dengan
mati, didalam bumi kita menjadi tanah.
Seorang penyair berkata : “ Kenapa kamu tidak bertanya maka akan
memberi tahu kepadamu para penghuni rumah dari kelompok yang tidak
ada kemana mereka pergi”. Yang dimaksud dengan ‫ الضالّين‬adalah orang-
orang Nasrani karena Firman Allah kepada mereka) ‫قد ضلّوا من قبل وأضلّوا كثيرا‬
77 ‫ وض لّوا عن س وإ الس بيل (المائ ده‬Artinya: Dan mereka telah menyesatkan
kebanyakan manusia dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. Sebagian
ulama Ahli tafsir berkata yang lebih utama ‫ المغضوب عليهم‬ditujukan kepada
orang yang berbuaat kesalahan pada perbuatan yang dhahir. Mereka itulah
orang-orang yang fasiq dan ‫( الضالّون‬Al-Imran 90 ) ditujukan kepada orang
orang yang salah dalam I’tikad karena sesungguhnya lafadz yang umum
dan kayid-nya berbeda dengan asalnya, dan yang ingkar kepada Sang
pencipta dan orang-orang musyrik lebih jelek agamanya daripada Yahudi
dan Nasrani dan menjauhi dari agama mereka lebih utama, ini adalah
pendapat yang dipilih oleh imam Al-Fakhru. Syaikh Allusi telah menolak dia
karena sesungguhnya tafsir ‫ المغض وب عليهم والض الين‬adalah yahudi dan
nasrani, juga menurut hadits shahih ‫الم أثور فال يعت ّد بخالفه‬Artinya : ucapan
pepatah tidak diperhitungkan perbedaannya.

Hukum Pembacaan Fatihah Dalam Shalat


Para ulama berbeda pendapat tentang masalah hukum pembacaan fatihah
di dalam shalat.
Pendapat pertama pendapat imam Malik, imam Syafi’i dan imam
Ahmad membaca fatihah sebagai syarat shahnya shalat. Tidak shah
shalatnya apabila tidak membaca fatihah bagi orang yang kuasa.
Pendapat kedua pendapat imam Tsauri dan Abu Hanifah yang
menyatakan bahwa shah shalatnya tanpa membaca fatihah hanya dianggap
jelek. Yang diwajibkan hanyalah membaca al-Qur’an paling sedikit tiga ayat
yang pendek-pendek atau satu ayat yang panjang, Dalil pendapat pertama
adalah Hadits ‘Ubadah bin Shamit yaitu sabda Nabi SAW ‫الصالة لمن لم يقرأ‬
‫بفاتحة الكتاب‬: tidak shah shalatnya bagi orang yang tidak membaca fatihah
kitab. Hadits Abu Hurairah bahwasanya Nabi bersabda
‫من صلى صالة لم يقرأ فيها بأم الكتاب فهي خداع فهي خداع فهي خداع غ ير تم ام‬artinya : Barang
siapa yang tidak membaca Ummul Kitab ( fatihah ) maka shalatnya kurang,
maka shalatnya kurang , maka shalatnya kurang tidak sempurna. Hadits
Abu Sa’id Al-Khudri ‫تيس ر‬ ّ ‫ أمرن ا أن نق رأ بفاتح ة الكت اب وم ا‬artinya : Kami
diperintahkan untuk membaca fatihah dan apa-apa yang mudah. Mereka
berkata bahwa atsar-atsar ini menunjukkan wajibnya membaca fatihah
dalam shalat. Karena sabda Nabi SAW ‫الص الة لمن لم يق رأ بفاتح ة الكت اب‬
menunjukkan terhadap tidak shahnya shalat. Begitu juga hadits Abu
Hurairah ‫ فهي خداع‬dikatakan oleh Nabi SAW sampai tiga kali menunjukkan
terhadap kurangnya dan rusaknya shalat.Maka sudah seharusnya
membaca fatihah menjadi syarat shahnya shalat.
Dalil pendapat yang kedua : Imam Tsauri dan Abu Hanifah mengambil dalil
terhadap shahnya shalat tanpa membaca fatihah dengan dalil-dalil Al-Kitab
dan Al-Sunnah diantaranya : Firman Allah surat Al-Muzammil ayat 20 yang
berbunyi : ‫ فاقرأوا ماتيسر من القرءان‬artinya : Maka bacalah apa yang mudah dari
sebagian Al-Qur’an. Mereka berkata ayat ini menunjukkan terhadap
wajibnya membaca apa saja yang mudah dari sebagian Al-Qur’an. Karena
ayat ini memerintahkan membaca di dalam shalat sebagaimana lafadz
sebelumnya yang berbunyi : .....‫إن ربك يعلم أنك تقوم أدنى من ثلثى اليل‬
‫ ف اقرأوا ماتيس ر من الق رءان‬Artinya : Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui
bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam……
Maka bacalah apa yang mudah dari sebagian Al-Qur’an. Semua umat tidak
ada selisih pendapat bahwa ayat ini menerangkan tentang keadaan shalat
di waktu malam. Ayat ini bersifat umum mencakup shalat malam dan yang
lainnya juga mencakup shalat sunat dan shalat fardlu, karena lafadznya
bersifat umum. Hadits Rasulullah riwayat Abu Hurairah bahwasanya
seorang laki-laki masuk ke mesjid kemudian ia shalat, setelah selesai shalat
ia mendatangi Nabi SAW dan mengucapkan salam, maka Nabi SAW
menjawabnya dan berkata : kembali kamu dan shalat lagi karena
sesungguhnya kamu belum shalat. Kemudian laki-laki itu shalat lagi dan
lagi-lagi Nabi SAW pun memerintahkan mengulanginya lagi sampai ia
mengerjakannya tiga kali. Laki-laki itu kemudian berkata: Demi Dzat Yang
mengutus engkau dengan kebenaran saya tidak bisa selain yang saya
lakukan. Maka Nabi SAW bersabda yang artinya: apabila kamu berdiri
melaksanakan shalat, maka sempurnakanlah wudlumu, terus
menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah kemudian bacalah apa yang
mudah bagimu dari Al-Qur’an, (setelah selesai) kemudian ruku’lah sehingga
kamu tuma’ninah, terus mengangkatkan sehingga kamu tegak berdiri dan
sujudlah sehingga kamu tuma’ninah dalam sujud, kemudian kamu
mengangkat dari sujud sehingga kamu tuma’ninah dalam duduk, terus
sujud lagi sehingga tuma’ninah dalam sujud kemudian kamu mengangkat
lagi sehingga berdiri tegak dan kerjakanlah yang tadi dalam shalatmu
seluruhnya. Mereka berkata hadits tadi khususnya lafadz ‫إقرأ ما تيسر معك من‬
‫ القرءان‬menunjukkan pemilihan terhadap laki-laki tadi untuk membaca apa
saja yang mudah dari Al-Qur’an sekaligus memperkuat madzhab kami dan
memperkuat ayat diatas. Adapun hadits ‘Ubadah bin shamit menunjukkan
terhadap tidak sempurna shalatnya bukan tidak shah sehingga makna
hadits tersebut adalah: tidak sempurna shalatnya orang yang tidal
membaca fatihah kitab. Oleh karena itu mereka mengatakan shah
shalatnya beserta makruh. Mereka mengatakan bahwa hadits ini
menyerupai hadits: ‫ الص الة لج ار المس جد إال فى المس جد‬artinya Tidak sempurna
shalatnya bagi tetangga yang dekat dengan mesjid kecuali di mesjid. Jadi
bukan tidak shah. Dan hadits Abu Hurairah khususnya lafadz ‫فهي خداع‬
menurut mereka menunjukkan terhadap madzab kami karena lafadz ‫خداع‬
bermakna yang kurang mengandung arti bahwa shalat itu shah serta
kurang sempurna. Karena kalau shalat itu tidak boleh maka tidak boleh
dinamakan kurang. Sebab kalau ditetapkan nama kurang itu berarti tidak
batalnya shalat. Dikarenakan sesuatu yang batil tidak boleh dinamakan
kurang.
Ini adalah ringkasan dalil dua golongan yang kami sampaikan
kepadamu dengan ringkas. Dan apabila kamu memikirkannya secara
mendalam maka kamu akan melihat bahwa pendapat jumhur (Imam Malik,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad) yang paling kuat dalilnya karena selalu
membacanya Nabi SAW dalam shalat baik shalat fardlu atau shalat sunat
juga para shahabatnya menjadi dalil bahwa shalat tidak shah tanpa
membaca fatihah. Apalagi telah diperkuat dengan hadits-hadits shahih
sedang Nabi diperintahkan untuk menjelaskan terhadap makna-makna al-
Qur’an yang masih bersifat umum. Maka cukup sebagai hujjah wajibnya
fatihah sebagai sabda dan perbuatan Nabi SAW.

PENAMBAHAN
A. Al Fatihah juga merupakan konsep skenario dari dialog termesra
sepanjang sejarah penciptaan, antara seorang hamba yang
menghambakan diri dengan Tuhannya, hal ini sesuai dengan sebuah
hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Muslim, dari A’la bin Abdir
Rahman dari ayahnya Abi Hurairah dari Rasulullah bahwa Allah
berfirman: Bila hambaKU membaca al fatihah maka AKU
menjawabnya langsung “ Alhamdulillahi robbil ‘alamiin dengan:
hambaKU memujiKU, Arohmanirrohiim dengan: hambaKU
menyanjungKU, Maaliki yaumiddiin dengan: hambaKU
memuliakanKU, Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin dengan: ini
merupakan antara AKU dan hambaKU, Ihidinas shirootol mustaqiim,
Shirootolladziina an’amta ‘alaihim, ghoiril magdhuubi ‘alaihim walad
dloolliin dengan: ini untuk hambaKU seperti yang diminta “
B. Dari hadits Qudsi lainnya yang diriwayatkan oleh Thobroni dari
sahabat Ubai bin Ka’ab dalam bukunya al Mu’jamul Ausath: “ Wahai
bani Adam, Aku telah turunkan kepadamu tujuh ayat yang tiga
pertama untukKU, tiga akhir untukmu sedang satu di tengah untuk
kita bersama. Adapun tiga yang untukKU adalah dari Alhamdulillah
hingga Maaliki yaumiddiin, satu untuk kita adalah iyyaaka na’budu
wa iyyaaka nasta’iin, dari pihakmu beribadah, dari pihakKU memberi
pertolongan, yang husus untukmu dari ihdinas shirootol mustaqiim,
hingga walad dloollin “
C. I’rab Fatihah, Menurut Jumhur ulama ahli nahwu:
- Lafadz ‫ ( )الحمد‬dal-nya dirafakan jadi mubtada akan tetapi menurut
sebagian ulama bisa dinasabkan dal-nya menjadi mashdar dari fi’il
yang dibuang taqdirnya adalah ‫ أحمد الحمد‬Bisa juga dikasrahkan dal-
nya disertakan pada kasrah yang ada pada lamnya lafadz ‫لله‬
tetapi
I’rab ini lemah dalam ayat karena menyertakan yang dimu’rabkan
terhadap yang dimabnikan, yang mengakibatkan batalnya hukum
I’rab. Dan ada yang membaca di dlommahkan dal dan lam-nya
dengan menyertakan harkat lam terhadap harkat dal. Lafadz ‫ هلل‬lam-
nya lam haraf jar dan lafadz ‫هللا‬ dijar-kan oleh lam ciri jarnya kasrah.
- Lafadz ‫ رب‬merupakan mashdar tashrifnya adalah ‫رب‬...‫ رب ي‬yang
dijadikan sifat seperti lafadz ‫دل‬..‫ ع‬asalnya adalah ‫ راب‬. Lafadz ‫رب‬
dijarkan karena jadi sifat atau jadi badal dari lafadz Allah. Bisa juga
dibaca nashab jadi maf’ul dari fi’il yang dibuang taqdirnya ‫ أعنى‬atau
sebagai munada dari “ya” haraf nida yang dibuang taqdirnya ‫يا رب‬
‫العالمين‬. Ada juga yang membaca rafa’ jadi khobar dari mubtada yang
dibuang taqdirnya ‫هـو‬. Lafadz ‫ العالمين‬kedudukannya sebagai mudlof
‘ilaih dari lafadz ‫ رب‬dijarkan oleh ‫ رب‬ciri jar-nya “ya” karena
merupakan mulhak jama’ mudzakar salim. Lafadz ‫رحيم‬.‫ الرحمن ال‬bisa
dibaca jar, nashab dan rafa’ sama dengan lafadz ‫ رب‬.
- Lafadz ‫ ملك يوم الد ين‬apabila tidak pakai alif maka jadi sifat dari lafadz
Allah dan apabila pakai alif maka jadi badal. Pada lafadz ‫ملك يوم الد ين‬
ada yang dibuang taqdirnya ‫ملك أمر يوم الد ين‬ atau ‫ملك يوم الد ين‬
‫ األمر‬. ‫ ملك‬bisa juga dibaca nashab dengan mentaqdirkan fi’il
Lafadz
yaitu lafadz‫ اعنى‬dan ada sebagian kaum membolehkan dibaca rafa’
dengan mentaqdirkan lafadz ‫ هو‬. Ada lagi yang membaca ‫مليك يوم الد‬
‫ ين‬dirafa’kan, dinashabkan dan dijarkan lafadz ‫مليك‬-nya. Dan ada
juga yang membaca ‫ك‬ َ َ‫ َمل‬yang merupakan kalimat fi’il (kata kerja yang
disertai waktu), sedangkan lafadz ‫ يوم‬dibaca nashab kedudukannya
sebagai dhorof.
- . ‫تعين‬..‫وإيّاك نس‬
Menurut jumhur ulama lafadz ‫ إيّاك‬dikasrahkan
“hamzah”nya dan “ya”nya bertasydid. Menurut qira’at syad
difatahkan “hamzah”nya ada lagi yang dikasrahkan “hamzah”nya
serta tidak bertasydid “ya”nya dengan alasan haraf illat (ya) berat
dibacanya ketika bertasydid. Menurut Imam Sibawaih ‫ إيّا‬merupakan
isim dlomir sedang “kaf”-nya merupakan haraf khithob (haraf yang
menunjukkan terhadap yang diajak bicara), sedangkan menurut
Imam Kholil “kaf”-nya yang merupakan isim dlomir (kata ganti) dan
‫إيّا‬
disandarkan pada “kaf”. Menurut ulama Kufah ‫ إيّاك‬secara
keseluruhan merupakan isim. Menurut sebagian kaum, huruf “kaf”
merupakan isim dan lafadz ‫ إيّا‬sebagai haraf pembantu saja.
Kedudukan ‫إيّاك‬ sebagai maf’ul (hukum maf’ul adalah nashab) yang
didahulukan dari lafadz ‫ نعبد‬mahal nashab karena kalimat mabni.
- Lafadz ‫ نعبد‬merupakan kalimah fi’il (kata kerja yang disertai waktu)
yang fa’ilnya (subjek) adalah dlomir yang disembunyikan taqdirnya
adalah ‫نعبد نحن‬.
- Lafadz ‫“ وإيّاك‬wau”nya sebagai haraf ‘athaf kedudukan ‫ إيّاك‬sama
sebagai maf’ul (objek).
- Lafadz ‫ نستعين‬merupakan kalimat fi’il, menurut ulama Jumhur
difatahkan “nun”nya yang pertama dan ada yang membaca
dikasrahkan “nun”-nya. Asal lafadz ‫ نستعين‬adalah ‫ن‬ ُ ‫ نَ ْستَع ِْو‬kemudian
dipindahkan harkat “wau” terhadap ‘ain dan “wau-nya diganti dengan
‘ya’ karena sukunnya ‘ya’ dan berada sesudah harokat kasrah.
Fa’ilnya dibuang wajib taqdirnya adalah ‫نستعين نحن‬.
- ‫إهدنا الصراط المستقيم‬
Lafadz ‫إهد‬shighatnya adalah fi’il amar ( kata kerja yang
menunjukkan makna perintah). Menurut ulama Bashrah di
mabnikan, sedangkan menurut ulama Kufah di mu’rabkan. Fa’ilnya
disembunyikan taqdirnya ‫( أنت‬artinya engkau). Lafadz ‫ نا‬sebagai
maf’ul mabni sukun mahal nashab. Lafadz ‫ الص راط‬sebagai maf’ul
kedua dari lafadz ‫إهد‬. Lafadz ‫المستقيم‬ sebagai sifat dari lafadz ‫الصراط‬
di nashabkan, ciri nashabnya fathah. Dalam lafadz ‫الصراط‬ ada yang
membaca dengan ‫ س‬bukan dengan ‫ص‬. Pembacaan dengan ‫س‬
merupakan asal makna yang artinya jalan diganti dengan ‫ ص‬karena
berdekatan dengan ‫ ط‬yang sama-sama merupakan huruf ithbaq
(huruf yang mempunyai sifat ithbaq) yang jumlahnya empat yaitu ,‫ص‬
‫ ط‬,‫ ض‬dan ‫ظ‬. Ada juga yang membaca dengan ‫ ز‬karena ‫ س‬dan ‫ ز‬satu
makhraj dan sama-sama merupakan huruf yang mempunyai sifat
shofir ( suara bersiul yang menyerupai suara burung) yang jumlah
hurufnya ada tiga yaitu ‫ س‬,‫ ز‬dan ‫ ص‬juga ‫ ز‬lebih menyerupai ‫ط‬
karena kedua-duanya merupakan huruf yang mempunyai sifat jahar
(tertahannya nafas ketika mengeluarkan huruf). Dan ada lagi yang
membaca di isymam-kan (lafal campuran dua huruf yaitu ‫ ص‬dan ‫)ز‬.
- ‫ صراط الذين أنعمت عليهم‬..Lafadz‫ صراط‬di nashabkan karena jadi badal dari
lafadz ‫ الصراط‬yang pertama. Lafadz ‫ صراط‬terhadap lafadz ‫ الذين‬sebagai
mudlof dan lafadz ‫ الذين‬sebagai mudlof ilaih mahal jar mabni kasrah.
Lafadz ‫ الذين‬di mabnikan karena menyerupai huruf dalam iftiqornya
(selalu butuh terhadap jumlah / selalu disertai jumlah). Lafadz ‫أنعم‬
merupakan kalimat fi’il dan ‫ ت‬sebagai fa’il mahal rofa’ mabni
fatah.Lafadz ‫ عليهم‬adalah jar majrur, ‫ علي‬haraf jar dan ‫ ه‬yang dijarkan
sedangkan ‫ م‬sebagai ciri jamak mudzakar (menunjukkan lelaki
banyak).
- ..‫ غير المغضوب عليهم وال الضآلين‬Lafadz ‫ غير‬dibaca kasrah jadi badal
dari lafadz ‫ الذين‬atau jadi badal dari ‫ ه‬dan ‫ م‬juga bisa juga jadi sifat
dari lafadz ‫الذين‬.Lafadz ‫ غير‬bisa dibaca nashab kedudukannya bisa
jadi hal dari ‫ ه‬dan ‫ م‬atau sebagai istitsna dari ‫ ه‬dan ‫ م‬bisa juga
jadi maf’ul dari fi’il yang dibuang taqdirnya ‫أعني‬.Lafadz ‫ غير‬terhadap
lafadz ‫المغضوب‬sebagai mudlof dan lafadz ‫ المغضوب‬sebagai mudlof
ilaihi di jarkan oleh mudlof ciri jarnya kasrah sebab isim mufrad.
Lafadz ‫ عليهم‬merupakan jar majrur jadi na’ibul fa’il dari lafadz
‫المغضوب‬.
- Lafadz ‫“ وال الض آلين‬wau”-nya merupakan ‫‘ و‬athaf dan ‫ال‬-nya
menurut ulama Bashrah adalah haraf penambah untuk memperkuat
sedangkan menurut ulama Kufah mengandung makna ‫غير‬. Lafadz
‫ الض آلين‬jadi ma’thuf di’athafkan terhadap lafadz ‫ المغض وب‬I’rabnya
sama yaitu di jarkan ciri jarnya ‫ ي‬karena jamak mudzakar salim.
Ayub membaca ‫ الض آلين‬menggantikan alif yang ada setelah ‫ض‬
dengan ‫ ء‬yang difatahkan.

You might also like