You are on page 1of 10

“Relasi agama dan budaya dalam tradisi siat sarang di desa adat

selat kabupaten karangasem”

Dosen Pengampu:
I Putu Agus Aryatnaya Giri, S.Pd., M.Pd.H

Oleh:
Ni Wayan Nik Suniasih (2011011049)
Ni Wayan Megi Pariantini (2011011053)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA


FAKULTAS DHARMA ACARYA
UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA
DENPASAR
2023
KATA PENGANTAR

Om Swatiyastu,
Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa, maka penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Relasi
Agama Dan Budaya Dalam Tradisi Siat Sarang di Desa Adat Selat Kabupaten
Karangasem” ini selesai tepat pada waktunya.

Dalam penysunan makalah ini kami dapat banyak mendapat bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan hal itu, tak lupa kami
menyampaikan penghargaan serta ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna yang
disebabkan oleh keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki
sehingga kami dengan tangan terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak
untuk memperbaiki tugas berikut di masa mendatang. Namun demikian, kami
berharap semoga makalah ini dapat memberikan sumbangan pemekiran dalam
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Om Santih, Santih, Santih, Om

Karangasem, 8 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................... 2
1.3 Tujuan ................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................ 3
2.1 Konsep Agama dan Budaya ................................................ 3
2.2 Konsep Tradisi Siat Sarang .................................................. 4
2.3 Hubungan Agama dan Budaya dalam Tradisi Siat Sarang ... 5
BAB III PENUTUP ................................................................................. 6
3.1 Kesimpulan ......................................................................... 6
3.2 Saran ................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 7

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Relasi agama dan budaya dalam kehidupan masyarakat sebagai realitas sosial
dalam kehidupan. Agama sebagai realitas ketuhanan dan budaya sebagai realitas
kemanusiaan merupakan dua dimensi yang terimplementasi dalam kegiatan
bermasyarakat. Identitas masyarakat yang pada wilayah yang lebih kecil yang
disebut dengan komunitas, didominasi atas pengaruh adanya relasi agama dan
budaya. Agama dapat menjadi landasan sudut pandang budaya dalam membentuk
sebuah tatanan kehidupan. Kedua dimensi ini dalam konteks kehidupan kadang
menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan sebagai ciri dan identitas sebuah
komunitas atau masyarakat.
Konteks yang lain, di antara agama dan budaya juga dapat terjadi resistensi -
terlepas dari fakta sosial lain sebagai faktor pendamping dan pemicu - yang
berujung timbulnya perseteruan yang melahirkan. Hubungan agama dan budaya
pada dasar dapat dilihat secara komprehensif dalam kehidupan bermasyarakat.
Lahir dan adanya upacara atau kegiatan keagamaan selalu ada nuansa budaya atau
kebudayaan sebagai identitas sebuah masyarakat yang melekat dalam proses
pelaksanaannya. Terjadinya proses akulturasi budaya dan agama dalam satu proses
kegiatan baik yang bersifat keagamaan maupun kebudayaan seperti tradisi siat
sarang, megibungan dan sanghyang dedari.
Kondisi ini erat kaitannya dengan simbol dan nilai yang ada pada agama yang
sering dijadikan landasan filosofis dalam pelaksanaan dan melestarikan tradisi
budaya masyarakat. Simbol-simbol ini sangat erat kaitannya dengan world view
atau padangan hidup pada masyarakat yang memiliki nilai-nilai sakral yang penuh
dengan makna dan arti secara filosofis. Keberadaan sebuah tradisi yang lahir atas
benih adanya relasi agama dan budaya yang sarat akan nilai-nilai etis dan luhur
serta bernuansa kearifan lokal (loca wisdom) dapat difungsikan secara maksimal
dalam proses transfer of value secara estafet dari generasi ke generasi yang ada pada
masyarakat.

1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apakah Yang Dimaksud dengan Agama Dan Budaya ?
1.2.2 Apakah Yang Dimaksud dengan Tadisi Siat Sarang ?
1.2.3 Bagaimanakah Hubungan Agama dan Budaya dalam Tradisi Siat
Sarang?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui Agama dan Budaya.
1.3.2 Untuk mengetahui Tradisi Siat Sarang.
1.3.3 Untuk Mengetahui Hubungan Agama dan Budya dalam Tadisi Siat
Sarang.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Agama dan Budaya


2.1.1 Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama
berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau.
Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam
sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda
berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar
hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya.
Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama tentang moralitas,
nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang
berasal dari katareligio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti
mengikat. Dalam pengertianreligio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana
manusia mengutuhkan hubungannya denganrealitas tertinggi (vertikal) dalam
penyembahan dan hubungan antar sesamanya (horizontal).

2.1.2 Budaya
Secara sederhana, kebudayaan merupakan hasil cipta serta akal budi manusia
untuk memperbaiki, mempermudah, serta meningkatkan kualitas hidup dan
kehidupannya. Atau, kebudayaan adalah keseluruhan kemampuan (pikiran, kata,
dan tindakan) manusia yang digunakan untuk memahami serta berinteraksi dengan
lingkungan dan sesuai situasi dan kondisinya.
Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan,
tindakan dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik manusia dengan belajar. Kebudayaan adalah suatu tata cara hidup
sekelompok manusia yang menyangkut / menghasilkan: 1) Kebiasaan, 2)
Kepercayaan, 3) Keyakinan, 4) Pedoman-pedoman, 5) Mental, 6) Akhlaq, 7)

3
Kejiwaan, 8) Ritual-ritual / Upacara-upacara, 9) Adat, 10) Ikatan, Dan 11)
Kekuatan Spiritual.

2.2 Konsep Tradisi Siat Sarang


Siat sarang yang memiliki dua suku kata siat dan sarang, siat yang artinya
perang, pukul, berkelahi, sarang yang artinya Daun Enau atau jaka yg dianyam dan
dipakai dari Bekas Pembuatan Jaja Uli. Jadi, Tradisi Siat Sarang merupakan
runtutan dari Ngusaba Dodol. Siat Sarang dilakukan menggunakan Sarang yang
dibuat dari daun Enau atau Jaka. Ritual Siat Sarang ini ditandai aksi saling lempar
bersenjatakan sarang. Kedua kelompok pemuda saling serang dan melempar sekuat
tenaga, hingga sarang yang dipakai senjata hancur berantakan. Selain untuk
memuang mala (musuh atau kotoran dalam diri secara niskala), ritaul Siat Sarang
ini juga bermakna untuk menyomiakan (menetralisasi) pengaruh jahat bhuta kala di
areal sekitar.
Tradisi Siat Sarang ini rutin dilaksanakan krama Desa Pakraman Selat
setahun sekali, tiga hari sebelum upacara Usaba Dimel. Ritual Siat Sarang
merupakan satu rangkaian aci petabuhan (upacara pacaruan) dengan kurban godel
(anak sapi) dan anjing blangbungkem (loreng coklat).
Prosesi Siat Sarang sendiri berawal dari rumah masing-masing krama pagi
harinya, di manba mereka ngunggahang (mempersembahkan) satu kemasan tenge
(berisikan kemasan daun gegirang, bambu, gunggung, dan aba) yang dihias
bergambar makhluk bhuta kala. Kemasan itu dipersembahkan di pekarangan rumah
masing-masing.
Menjelang sore, beberapa tenge yang terpasang di pekarangan rumah
dikumpulkan lagi oleh keluarga bersangkutan, lanjut dimasukkan ke dalam sarang.
Nah, sarang tersebut selanjutnya ditempatkan di lebuh (dekat pintu h alaman
rumah). Esensinya, untuk memancing agar kekuatan bhuta kala masuk ke dalam
sarang.
Selanjutnya, sarang dibawa ke Pura Bale Agung untuk mendapatkan labaan
(pemberian kepada makhluk yang lebih rendah tingkatannya) berupa banten
pacaruan, sekaligus menyomiakan sifat-sifat bhuta kala. Setelah dipersembahkan di

4
Pura Bale Agung, maka sarang tersebut diambil kalangan teruna (pemuda) Desa
Pakraman Selat untuk dijadikan sarana perang.
Kalangan teruna yang terlibat dalam ritual Siat Sarang ini mengenakan kain
dengan saput poleng, tanpa busana atas. Mereka terbagi dalam dua kelompok,
masing-masing Selat Kaja dan Selat Kelod. Setiap perserta diingatkan untuk
mampu mengusir sifat-sifat bhuta kala yang melekat di dalam diri.
Musuh-musuh dalam diri yang harus dibuang sebagaimana dimaksudkan Jro
Mangku Mustika, antara lain, Tri Mala, Tri Mala Paksa, Catur Mada (empat
kemabukan), Panca Wisaya (lima jenis racun), Panca Ma (madat, mabuk, mamotoh,
madon, maling), Sad Ripu (enam musuh dalam diri: kama, lobha, krodha, moha,
mada, dan matsarya).
Ritual Siat Sarang juga bermakna mengusir kekuatan Sad Atatayi (enam
pembunuh kejam), Sapta Timira (tujuh macam kegelapan), Asta Dusta, Dasa Mala
(sepuluh kotoran), dan Asuri Sampat (sifat keraksasaan).

2.3 Hubungan Agama dan Budaya dalam Tradisi Siat Sarang


Hubungan agama dan budaya dalam tradisi siat sarang yakni Tradisi siat
sarang berfungsi untuk membuang mala( musuh atau kotoran dalam diri secara
niskala), ritual ini juga bermakna untuk menetralisir pengaruh jahat butha kala di
area sekitar. Hubungan agama dan budaya bisa dilihat dari kepercayaan, keyakinan
dan kebiasaan masyarakat desa adat selat untuk melaksanakan tradisi siat sarang
tersebut. Tradisi ini sudah diyakini dan dilakukan setiap 1 tahun sekali guna
membuang mala atau musuh dalam diri sebelum melaksanakan upacara usaba
dimel atau usaba dalem di desa adat selat. Tradisi ini juga bermakna agar hubungan
antar masyarakat desa adat selat menjadi harmonis dan tetap mematuhi peraturan
agama tentang moralitas dan nilai nilai kehidupan. Serta dimana tardisi seperti ini
diharapkan agara terus lestari dan tanpa mengurangi nila- nilai yang tertuang
didalam tadisi siat sarang ini.

5
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama
berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau.
Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam
sekitarnya tidak kacau. Secara sederhana, kebudayaan merupakan hasil cipta serta
akal budi manusia untuk memperbaiki, mempermudah, serta meningkatkan kualitas
hidup dan kehidupannya. Atau, kebudayaan adalah keseluruhan kemampuan
(pikiran, kata, dan tindakan) manusia yang digunakan untuk memahami serta
berinteraksi dengan lingkungan dan sesuai situasi dan kondisinya.
Siat sarang yang memiliki dua suku kata siat dan sarang, siat yang artinya
perang, pukul, berkelahi, sarang yang artinya Daun Enau atau jaka yg dianyam dan
dipakai dari Bekas Pembuatan Jaja Uli. Jadi, Tradisi Siat Sarang merupakan
runtutan dari Ngusaba Dodol. Siat Sarang dilakukan menggunakan Sarang yang
dibuat dari daun Enau atau Jaka. Ritual Siat Sarang ini ditandai aksi saling lempar
bersenjatakan sarang.
Hubungan agama dan budaya bisa dilihat dari kepercayaan, keyakinan dan
kebiasaan masyarakat desa adat selat untuk melaksanakan tradisi siat sarang
tersebut. Tradisi ini sudah diyakini dan dilakukan setiap 1 tahun sekali guna
membuang mala atau musuh dalam diri sebelum melaksanakan upacara usaba
dimel atau usaba dalem di desa adat selat.

3.2 Saran
Saran dari penulis yaitu diharapkan pemuda serta pemudi di desa adat selat tetap
mempertahankan hubungan agama dan budaya dalam tradisi siat sarang yang telah
diwariskan oleh para leluhur agar hubungan agama dan budaya dalam tradisi ini
semakin erat dan tidak bisa luntur.

6
DAFTAR PUSTAKA

Admin. (2018, februari 16). Tradisi Siat Sarang. Diambil kembali dari paduarsana:
https://paduarsana.com/2018/02/16/tradisi-siat-sarang/
Anonim. (2011, januari 12). BAB 1 Latar belakang masalah. Diambil kembali dari
eprints:
https://eprints.umm.ac.id/80566/2/BAB%201.DISERTASI_SOFYAN%20
ROFI.pdf.p
Damia, I. (2019, desember 19). "Relasi Agama dan Budaya". Diambil kembali dari
Academia:
https://www.academia.edu/41473995/_Relasi_Agama_dan_Budaya_
Muhammad. (2020). HUBUNGAN AGAMA DAN BUDAYA. Substantia: Jurnal
Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 22 nomor 2, 85-95.
Syarif, A. (2016, maret 16). MAKALAH AGAMA DAN BUDAYA. Diambil kembali
dari Academia:
https://www.academia.edu/28841240/MAKALAH_AGAMA_DAN_BUD
AYA
Uij, S. P. (2018, Desember 19). MAKALAH SOSIOLOGI AGAMA " HUBUNGAN
AGAMA DAN KEBUDAYAAN ". Diambil kembali dari Academia:
https://www.academia.edu/37040089/MAKALAH_SOSIOLOGI_AGAM
A_HUBUNGAN_AGAMA_DAN_KEBUDAYAAN_

You might also like