You are on page 1of 14

“Peran Diksa Pariksa Dalam Proses Penobatan Calon Diksita Menjadi Pendeta

Persfektif Sosial Budaya”

Dosen Pengampu : Drs. I Nengah Sumantra, M.Ag

Oleh

Ni Kadek Lisa Mayori (2011011041)


Ni Nengah Aprilia (2011011048)
Ni Wayan Nik Suniasih (2011011049)
Ni Wayan Megi Pariantini (2011011053)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA HINDU

FAKULTAS DHARMA ACARYA

UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA

DENPASAR

2022
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar. Makalah ini berjudul “Peran
Diksa Pariksa Dalam Proses Penobatan Calon Diksita Menjadi Pendeta Persfektif Sosial Budaya”
disusun sebagai bahan tugas pada mata kuliah Studi Kepanditaan I di Prodi Pendidikan Agama
Hindu.
Selama penyusunan makalah ini tidak sedikit hambatan yang kami alami namun hambatan-
hambatan tersebut telah mampu kami lewati berkat bantuan dan masukan yang telah diberikan
kepada saya oleh beberapa pihak yang tidak mungkin kami sebutkan satu persatu. Kami selaku
penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu karena tanpa bantuannya tidak
mungkin makalah ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.

Kami menyadari bawasannya masih banyak kekurangan dari makalah ini, ibarat pepatah
mengatakan "tidak ada gading yang tak retak". Oleh karenanya kami selaku penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai bahan evaluasi dalam menyusun
makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu
pengetahuan. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.

Semarapura, 02 Desember 2022

Penyusun

ii
Daftar Isi

Kata Pengantar...............................................................................................ii

Daftar Isi..........................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan........................................................................................1

1.1 Latar Belakang............................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................2
1.3 Tujuan.........................................................................................................2
BAB II Pembahasan.......................................................................................3

2.1 Diksa...........................................................................................................3

2.2 Peran Diksa Pariksa dalam Proses Penobatan Calon Diksita Menjadi Pendeta

Persfektif Sosial Budaya...................................................................................3

BAB III Penutup.............................................................................................10

3.1 Kesimpulan.................................................................................................10

3.2 Saran...........................................................................................................10

Daftar Pustaka................................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Upacara Madiksa bertujuan meningkatkan kesucian diri secara lahir batin dari seorang
Welaka (orang biasa) menjadi orang suci (Pendeta/Sulinggih), upacara Madiksa termasuk
dalam upacara Rsi Yadnya, sementara Rsi Yadnya sendiri mempunyai pengertian upacara
pengorbanan suci, sebagai perwujudan ungkapan rasa terima kasih kepada para guru atau
Maha Resi yang telah mengajarkan ilmu agama, pengetahuan suci maupun yang memimpin
upacara. Diksa disini merupakan salah satu unsur keimanan dalam agama Hindu disamping
Tata dan Yadnya. Perihal diksa dalam kitab Yayur Weda XX.25 ada disebutkan sebagai
berikut : “Dengan melakukan brata sesorang memperoleh Diksa. Dengan melakukan Diksa
seseorang memperoleh Daksina Dengan Daksina seseorang memperoleh Sraddha Dan
dengan Sraddha seseorang memperoleh Satya”. Diksa bukanlah sekedar merupakan upacara
perubahan status belaka dari Walaka menjadi Sulinggih, melainkan dalam proses upacara
tersebut terkandung makna yang mendalam mengenai hubungan bhatin antara Guru (Nabe)
dengan Sisyanya (calon Diksita). Hal ini terlihat terutama pada saat menerima ajaran suci
Weda dan untuk kemudian menjalankan tugasnya nanti sebagai Guruloka dan
Ngalokapalasraya di masyarakat pada umumnya. Madiksa bisa disebut juga Madwijati.
Seseorang yang sudah menjadi Pendeta/Sulinggih harus melaksanakan amalannya sehingga
kesucian nya benar benar meningkat, juga harus selalu melaksanakan kewajibannya, baik
terhadap diri sendiri maupun orang lain. Rohaniwan atau Pendeta/Sulinggih tergolong
dwijati, yang dalam istilah bahasa Indonesianya di sebut pendeta, kata dwijati berasal dari
bahasa sangsekerta, dwi artinya 2 dan jati berasal dari berakar kata ja yang artinya lahir.
Lahir pertama dari kandungan ibu dan kelahiran kedua dari kaki Sang Guru suci yang disebut
Nabe, jadi Upacara Madiksa ini bermakna seseorang yang dilahirkan kembali untuk di
jadikan pemimpin suci bagi umat Hindu di Bali, Dalam kepercayaan umat Hindu di Bali
mengenal empat tahapan hidup yang disebut Catur Asrama. Adapun Catur Asrama itu terdiri
dari : Brahmacari, masa untuk menuntut ilmu. Grahasata, masa untuk hidup berumah tangga.
Wanaprasta, masa untuk mempelajari ajaran agama secara intensif. Bhisuka Asrama, masa
untuk melepaskannya hidupan duniawi. Pada tahapan Bhisuka Asmara ini, kewajibannya
adalah melayani kepentingan umat secara ritual maupun moral. Menciptakan ketentraman
batin untuk menuju kedamaian.

1
1.1 Rumusan Masalah
1.1.1 Apakah yang dimaksud Diksa?
1.1.2 Bagaimana Peran Diksa Pariksa dalam Proses Penobatan Calon Diksita Menjadi
Pendeta Persfektif Sosial Budaya
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui dan memahami Diksa.
1.2.2 Mengetahui dan memahami Peran Diksa Pariksa dalam Proses Penobatan Calon
Diksita Menjadi Persfektif Sosial Budaya.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Diksa
Kata diksa adalah kata dalam bahasa Sansekerta yang artinya suatu upacara
penerimaan menjadi murid dalam hal kesucian. Dari kata diksa ini muncullah kata diksita
yang artinya diterima menjadi murid dalam hal kesucian. Dalam perkembangannya lebih
lanjut, kata diksa berarti aksara yaitu suatu upacara penyucian diri untuk mencapai tingkatan
dwijati. Diksa dalam Visnu-Yamala didefinisikan sebagai berikut :
DIVYAM JNANAM YATO DADYAT KURYAT PAPASYA SANKSAYAM TASMAT
DIKSETI SA PROKTA DESIKAIS TATVA-KOVIDAIH
Artinya : diksa adalah proses dimana seseorang dapat membangun pengetahuan rohaninya,
dan menghancurkan semua reaksi  yang disebabkan oleh kegiatan  yang berdosa.
Kata dwijati (Sansekerta) berasal dari akar kata ja yang artinya lahir. Dwijati artinya
lahir kedua kalinya. Lahir yang pertama adalah dari kandungan ibu dan lahir yang kedua
adalah dari kaki Dang Hyang Suci yang disebut Nabe. Upacara madiksa mempunyai tujuan
mulia yaitu meningkatkan kesucian diri guna mencapai kesempurnaan dumadi menjadi
manusia. Madiksa adalah suatu klimaks dalam meningkatkan kesucian diri dari tingkatan
ekajati ke dwijati.
2.2 Peran Diksa Pariksa dalam Proses Penobatan Calon Diksita Menjadi Pendeta
Persfektif Sosial Budaya
Apabila seorang walaka ingin meningkatkan dirinya menjadi sulinggih atau
melakukan penyucian diri, maka dia seharusnya menyadari dirinya sudah mulai memasuki
tahapan menuju ke alam kebrahmanan. Seperti diuraikan dalam sloka bahwa seorang
brahmana adalah makhluk yang paling tinggi dihadapan sang pencipta (tuhan). Sedangkan
keinginan menjadi brahmana adaalh suatu hal yang sangat luhur, asal diusahakan dengan cara
yang benar. Menjadi brahmana tidak bisa dicapai dengan cara mengubah nama, meminta
pengakuan orang lain, mengaku-ngaku diri sebagai seorang brahmana, dengan penampilan
pakaian seolah-olah orang suci yaitu dengan cara senantiasa berpakaian putih-putih,
menggelung rambut atau mencukurnya sama sekali, atau dengan hanya berteori tentang weda
dan kebenaran. Tetapi sesungguhnya ia tidak menghayati hakikat dan kebenaran yang
sesungguhnya, maka itu sesungguhnya bukan seorang brahmana.Sesungguhnya untuk
menjadi seorang brahmana adalah sangat sulit, karena memiliki syarat-syarat yang sangat
banyak antara lain : harus mentaati hukum-hukum brahman (tuhan). Hal ini hanya dapat
dilakukan apabila seorang dengan kesadaran dan kedisiplinan yang tinggi ada pada dirinya,
maka kebrahmanan itu baru bisa tercapai. Untuk itulah calon diksita (calon sulinggih),
ataupun seorang pinandita, jro mangku atau jro gede harus memiliki beberapa persyaratan
yang harus ditaati, karena mereka telah memasuki tahapan menuju kebrahmanan.
Jadi seorang calon diksita harus memiliki prilaku dan persyaratan seperti :
 Bersifat sosial Bijaksana, setia pada ucapan (satya wacana), memiliki kesusilaan (orang
mulia) bermoral dan saleh, teguh pendirian, setia adan bakti pada suami atau istri, teguh pada
dharma tanpa noda, keturunan orang baik-baik, pandai dalam ilmu, berjiwa besar, tegas
dalam hal siasat, kuat menahan suka dan duka, setia, hormat terhadap catur guru, suka

3
melaksanakan ajaran dharma, termasuk taat kepada segala sesana atau winaya dan taat pada
segala kewajiban yang menjadi tugasnya, teguh melakukan tapa. Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa dalam rangka mempersiapkan diri untuk mediksa calon diksita harus
menunjukkan prilaku dan perbuatan  yang baik dan benar sesuai dengan ajaran tata susila
agama hindu.
Adapun syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia yang
juga berdasarkan lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu dari segala warga yang telah
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Laki-laki yang sudah kawin dan tidak kawin (Nyukla Brahmacari)
2) Wanita yang sudah kawin atau tidak kawin (kanya)
3) Pasangan suami istri
4) Umur minimal 40 tahun
5) Paham dalam bahasa kawi, sansekerta, indonesia, memiliki pengetahuan umum,
pengalaman intisari ajaran-ajaran agama.
6) Sehat lahir bathin, dan berbudi luhur sesuai dengan sasana
7) Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
8) Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan
9) Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau swasta, kecuali
bertugas untuk hal keagamaan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam rangka mempersiapkan diri untuk mediksa
calon diksita harus menunjukkan prilaku dan perbuatan  yang baik dan benar sesuai dengan
ajaran tata susila agama hindu. Adapun syarat-syarat mediksa yang diputuskan oleh Parisadha
Hindu Dharma Indonesia yang juga berdasarkan lontar Siwa Sasana adalah umat Hindu dari
segala warga yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a) Laki-laki yang sudah kawin dan tidak kawin (Nyukla Brahmacari)
b) Wanita yang sudah kawin atau tidak kawin (kanya)
c) Pasangan suami istri
d) Umur minimal 40 tahun
e) Paham dalam bahasa kawi, sansekerta, indonesia, memiliki pengetahuan umum,
pengalaman intisari ajaran-ajaran agama.
f) Sehat lahir bathin, dan berbudi luhur sesuai dengan sasana
g) Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
h) Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabenya yang akan menyucikan
i) Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri atau swasta, kecuali
bertugas untuk hal keagamaan.
Ketentuan-ketentuan di atas dikelompokkan pada persyaratan formal bagi seorang Sulinggih.
Di bawah ini akan diuraikan persyaratan spiritual seperti yang disebut dalam beberapa
pustaka suci, antara lain:
 Di Bhagawadgita Percakapan Ke IV-19 Disebutkan:
YASYA SARVE SAMARAMBHAH, KAMA SAMKALPA VARJITAH, JNANAGNI
DAGDHA KARMANAM, TAM AHUH PANDITAM BUDHAH
Artinya: Yang bekerja tanpa nafsu dan motif, kerjanya dibakar api ilmu pengetahuan,
dinamakan orang-orang arif, sebagai seorang pandita budiman.

4
Pandita berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi
meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan.
Pandita juga seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini hukum
karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang utama, atau
dengan kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).
Kemudian di Sarasamuscaya sloka ke-40 disebutkan:
SRUTYUKTAH PARAMO DHARMASTATHA SMRTIGATO PARAH, SISTA CARAH
PARAH PROKTAS TRAYO DHARMAH SANATANAH
Artinya: maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti
disebut dharma, demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur, setia pada
kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang
memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Kemudian di Svetavatara Upanisad (6.23) menyebutkan :
YASYA DEVE PARA BHAKTIR YATHA DEVE TATA GURAU
TASYATE KATHITA HY ARTHAH PRAKASANTE MAAT MANAH
Artinya : hanya kepada roh yang mulya (berjiwa besar) yang percaya penuh kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan guru kerohanian segala arti pengetahuan Veda diperlihatkan dengan
sendirinya. Keyakinan kepada Tuhan dan Guru kerohanian merupakan subjek pokok yang
sangat penting. Tuhan memberikan ajaran lewat sadbaNya dan Guru kerohanian memberikan
tuntunan kepada para bhaktanya untuk dapat melaksanakan tugas kewajiban yang telah
ditetapkan (dharma) olehNya- dharman to saksat bhagavat pranitam.
 Orang Yang Tidak Patut Didiksa
Dalam lontar Siwa Sasana disebutkan bahwa orang-orang yang tidak patut didiksa oleh sang
guru (Guru Nabe) adalah :
a. Orang-orang kotor, orang yang wangsenya turun sebagai walaka, cacat tubuhnya, dan
orang yang sangat menderita.
b. Cuntaka Janma, artinya orang hina seperti orang yang dijadikan sesaji, orang yang
diserahkan pada waktu upacara siwa Wadhana, Asti Wadhana, pencuci mayat, orang
pemakan darah, penadah barang kotor, orang yang dihukum penjara.
c. Patita walaka yaitu menyembah orang hina, memakan-makanannya, orang yang
menyembah kepada orang yang cuntaka.
d. Sadigawe berarti turut dengan adah kriya yang berarti segala yang sudra, candala,
mlecha. Sudra berarti orang tanija karma dan wulu-wulu. Banija karma berarti
berdagang (segala yang menjual belikan dagangannya yang tidak baik)
e. Chandala berarti menjagal, melempar, mencungkil  dan memukul.
f. Manusia kuci angga berarti orang cacat tubuhnya seperti orang bungkuk, kerdil, bule
dan belang.
g. Maha duhka berarti orang yang menderita tubuhnya karena sangsara seperti orang
kusta, gila, buta, ayan, tuli, kejang, dan timpang. Sebab tidak akan mendapat pahala,
bahkan mendapat dosa dan sengsaralah kita kalau disembah olehnya.

 Prosedur Administrasi Untuk Melakukan Diksa

5
Disamping syarat-syarat seperti yang tercantum dalam sastra-sastra tentang kawikon, maka
ada beberapa persyaratan yang harus juga dilakukan oleh calon diksita yaitu tentang
persyaratan adminstrasi. Persyaratan ini diatur oleh Majelis Tertinggi Umat Hindu yaitu
Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Adapun prosedur persyaratan administrasi adalah :
a. Calon diksita harus mengajukan permohonan rencana bakal mediksa kepada
Parisadha Hindu Dharma Indonesia setempat, yang mewilayahinya selambat-
lambatnya tiga bulan sebelum hari pediksaan.
b. Permohonan tersebut disertai atau dilampiri dengan surat keterangan : badan sehat,
berkelakuan baik, surat keterangan tentang kecakapan, riwayat hidup, tidak tersangkut
perkara.
c. Permohonan ditembuskan kepada pemerintah setempat untuk dimaklumi.
d. Parisada setempat menerima permohonan itu, secepatnya melakukan penyelidikan
dan testing bersama calon Nabe (diksa pariksa), guna mendapatkan kepastian tentang
terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat di depan.
e. Penyelidikan dan testing (Diksa Pariksa) bila perlu dapat diulang 3 atau 6 bulan
kemudian apabila ternyata permohonan belum memenuhi syarat. Hasil penyelidikan
atau pengetesan itu disampaikan kepada Parisada Pusat dengan tembusan kepada
pemerintah setempat.
f. Parisada yang akan memberi keputusan memberikan pernyataan sikapnya
(mengabulkan atau tidak) selambat-lambatnya dua minggu sebelum hari padiksan,
dengan tembusan ke Parisada Pusat dan pemerintah setempat.
g. Pemohon yang permohonannya ditolak, dapat mengajukan permohonan lagi setelah
berselang tiga bulan kemudian sampai sebanyak tiga kali.
h. Seorang Pendeta atau Sadhaka yang baru didiksa, boleh melakukan Lokapalasraya
setelah mendapat izin dari Nabenya yang disaksikan oleh Parisada yang memberi izin
diksa.
i. Parisada wajib menyiarkan tentang hal Lokapalasraya itu.

 Rangkaian Upacara Pediksan (Upacara Medwijati)


Adapun rangkaian upacara pediksan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Upacara Awal
a. Upacara mejauman
Upacara ini didahului dengan sang Calon Diksita (suami-istri) berkunjung kerumah
calon Nabe dengan membawa upakara-upakara betapa mestinya.
b. Sembah pamitan pada keluarga
Sang calon diksita menyembah orang tua yang masih hidup, paman atau bibi yang
patut disembah, mohon restunya demi keselamatan pada saat dan sesudah Upacara
Diksa.calon Diksita juga minta ijin dan restunya pada sanak saudaranya yang
umurnya lebih muda. Sembah pamitan terhadap orang tua, merupakan sembah
terakhir, karena kemudian sang sulinggih tidak boleh menyembah siapapun yang
masih Walaka.
c. Upacara mapinton
Pertama, upacara mapinton dilakukan kesegara-gunung untuk membersihkan diri atau
asuci laksana, dalam hal ini sekurang-kurangnya ke Kahyangan Tiga.

6
Kedua, upacara mapinton ke Pemerajan Calon Nabe yang langsung dipuput oleh
sulinggih Calon Nabe sendiri. Disamping untuk memohon restunya, upacara ini juga
mengandung makna sebagai perkenalan dan pernyataan secara resmi antara Calon
Diksa dengan Guru Nabe.
2.      Upacara Puncak
a. Upacara amati raga atau penyekeban
Sebelum amati raga, Calon Diksita dilukat oleh Nabe di merajannya Calon Diksita,
dilanjutkan dengan muspa. Selesai upacara itu barulah Calon Diksita melakukan
Amati Raga yaitu melakukan Yoga, memakai busana serba putih, sikap tangan
ngeresep  dan ngeranasika, monabrata serta upawasa, upacara ini berlangsung sehari
penuh yaitu sehari sebelum upacara Diksa.
b. Upacara mandi/masiram
Upacara ini dilaksanakan pada dini hari sekitar pukul 05.00 pagi. Upacara ini
dilakukan oleh Guru saksi. Calon Diksita yang laki dimandikan oleh guru saksi laki-
laki, calon Diksita perempuan oleh Guru saksi perempuan, dibantu oleh sanak
keluarga calon Diksita sendiri. Selesai mandi calon Diksita berpakaian serba putih
(sarwa petak). Lalu diusung ke Pemerajan tempat Calon Diksita melakukan Upacara
Diksa.
3.      Upacara Pokok
Dalam upacara pokok ini sudah disiapkan segala sarana prasarana upacara Pendiksan yang
akan di puput oleh Guru Nabe. Adapun rangkaian upacara tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sulinggih Guru Nabe memuja atau Ngarga.
2. Calon Diksita ada dihadapan sanggar untuk melakukan Upacara mabyakawon,
kemudian dilanjutkan dengan muspa yang dituntun oleh Nabe.
3. Calon Diksita menghadap pada Sang Guru Nabe untuk melakukan upacara matepung
tawar (Atepung tawar), segawu.
4. Calon Diksita memberishkan kaki kanan (wasehijeng ring tengen) Nabe, digosok
dengan kain putih, diasapi tiga kali, digosok dengan minyak (lisahi dening minyak),
kaki tersebut ditaruh diatas ubun-ubun.
5. Selanjutnya menjilat (ngisep) ibu jari kaki kanan Nabe (rasista ndilat mpuning pada
tengen)
6. Anuhun pada : guru nabe napak calon Diksita
7. Di atas ubun-ubun diisi bunga tunjung yang dipotong delapan kali dengan gunting.
8. Sambutang kusa pengaras, yaitu diambilkan daun alang-alang, diusapi badannya dan
dikelilingi tiga kali (inderakna ring sasiranya ping tiga), dijilat dengan lidah tiga kali,
digosokkan pada bahu kanan tiga kali, pada tulang punggung tiga kali (tengah
gigirnya ping tiga), kemudian daun alang-alang ditaruh.
9. Pung-punguning ring wuwunan ping tiga :  yaitu suatu upacara sesajen untuk ubun-
ubun
10. Diambilkan Pancakusika (alang-alang), cincin kalpika dan gunting yang dipercikan
tirta
11. Megunting : rambut calon Diksita digunting lima kali, yang diawali dengan rambut
bagian depan (ring arep), rambut bagian kanan (ring tengen), rambut bagian belakang
(ring wuri), rambut samping kiri (ring kiwa) dan rambut bagian tengah (ring usehan).
12. Ngalap atmanya : jiwanya sisya diambil

7
13. Dahdhi damalaning sasiranya : tubuh beserta kekotorannya dibakar (api gaib)
14. Api pembakar dihentikan (padhemi)
15. Mretha karanani : sisya matirtha, sanghyang atma diturunkan kembali.
16. Guru nabe : kkarosodohanani yaitu mengadakan pemujaan, setelah itu sisya pakaduti
sekar  (disuntingkan bunga didada)
17. Wehana cacatu : wawisik dari guru Nabe, dawutang prastawa : cincin sisya diambil
Nabe, Tutulaka tunjung ring siwadwaranya ping tiga : diusapi bunga ditunjung tiga
kali pada ubun-ubun sisya.
18. Pada padhayadi : guru Nabe memberikan basma sirowista, dipercikan air suci,
Siwambhwa, anecepi, maraup, tiga kali.
19. Nuhun sekah : sisya menjunjung sekah Dewa-Dewi disertai peras dan sesarik.
20. Tatebus : sisya matetebus
21. Guru Nabe nyiratang tirta pada bebanten sesayut , dharma pemulih, pengambeyan,
sekarstaman,  sorohan, penyeneng, jerimpen, bebangkit.
22. Angayab sesayut : sang sisya ngayab atau nganteb sesayut
23. Masirat  : sang sisya mendekat pada Nabe Matirtha (matoya)
24. Majaya-jaya : sang sisya majaya-jaya oleh Guru Nabe dengan Prana Bayu Murti
Bwana
25. Tatabi dupa dipa, sisya ngayab atau natab dupa.
26. Minum air suci : siwambha (sang sisya)
27. Amet tetebus : diberikan tatebus sang sisya, dicium tiga kali kemudian ditaruh di hulu
hati (ring Hrdaya)
28. Wehi wija:  sisya diberi bija dimohon (enguntal) ini berarti pawisik sasimpenan.
29. Wehi sekar : sisya dikasi sekar (bunga)
30. Malabha padhamel : sisya mapadamel
31. Manyembah : terakhir sisya menyembah mapamit pada kaki Guru Nabe (raris
tamwita anikel ri pada nira dhang guru panembahe).
Adapun jenis upakara yang digunakan untuk upacara mediksa adalah sebagai berikut ini :
1.      Ngadegang sanggar surya-sewana, munggah banten :
Catur –rebah mentah-rateng asoroh, Dhaksina-ageng sawra –pat asiki, Pras-ageng kalih
danan, Suci-laksana patang soroh, Dewa-dewi, Siwabawu, Pucukbawu, Siwagotra-siwagotri,
Rayunan-prangkat putih-kuning kalih prangkat, Prayascita-luwih, Sasayut atma-rawuh,
Sasayut sambut-urip, Sasayut pabersihan, Canang-pangeresikan satangkep, Rantasan kalih
pradeg putih-kuning lanang-wadon, Suci-ageng pangaturan asoroh, Rayunan-prani apajeg,
Awar-awar pisang-leger, uduh, peji, ancak, bingin, andong dan kayu-sugih
2.      Upakara ring sor ring harepan surya
Bale pagenian, Suci asoroh, Dhaksina-ageng sarwa-pat asiki, Pras, Ajuman saha dandanania,
Gelar-sanga, Segehan-agung, Tatabuhan arak-berem
3.      Ngadegang sanggar paguru-kraman maring utara marep
Dhaksina alit asiki, Wastra tigasan putih, Suci laksana asoroh, Pras, Ajuman, Rayunan
prangkat asiki
4.      Upacara ring harepan sang adhiguru mapuja

8
Dhaksina-sarad isinia sarwa-kutus asiki, Suci-laksana kakalih saha dandanania, Pras-ageng
kakalih, Ajuman kakalih, Jinah sasantun
5.      Upakara ring harepan Guru Saksi :
Pateh kadi harepan Sang Adiguru, binania kewala tan milu anapak Sang Diniksan.
6.      Upakara pangaskaran, magenah ring harepan Sang Adiguru mapuja :
Sopakaraning padudusan-alit, Dhaksina-ageng sarwa-pat asiki, Suci-ageng asoroh saha
eedania, Pangguruyagan pada niri asiki sang diniksan, Pisang jati pada masiki, Sekah-suhun,
Pajajiwan, Pungu-pungu, Pangerobodan, Pras-pancawara, Ketipat-prastala pada wijina,
Lalang welmingmang-paguntingan pada wijinan, Tetebasan masayut, Cucukan itik putih
asiki, Cucukan ayam sudhamala asiki, Prayascita-lwih asiki, Penyeneng tahenan asiki, Isuh-
isuh, Tepung-tawar, Segawu, Lisdegdeg aprangkat, Padudusan (kadi pralagi), Pasasayutan
asoroh (sakramaning sasayut Sang Sadhaka maka panginderan jangkep), Catur-sari
7.      Upakara mapinton (katur ring Sang Adiguru)
Klasa anyar, Tilam, Wastra sapradeg, Tedung, Rayunan matah (kadi pras-atos panuwuran),
Sedah pucangan sanggraha, Banten pengelukatan mwah malaku tirtha-panglukatan
pamintonan (pajati), Banten pengelemekan asoroh, Dhaksina, Pras, Ajuman, Katipat-bantal,
Sasanganan-kukus barak-putih-selem, Pras-dhaksina-ajuman asoroh (pangajum tirtha
pengelukatan)
8.      Upakara amati raga (ring paturuan)
Tumpeng putih, kuning barak, selem pada madanan, iwak ayam pinanggang anut warnaning
tumpeng, Pras, Sodan, Suci asoroh, Dhaksina-ageng sarwa-pat asiki, Panyeneng, Segehan
anyatur-warna, Tatabuhan tuak, arak, berem, yeh
9.      Upakara pajati (katur ring Kawitan sakabwatan manut kawentenania)
10.  Upakara pakideh ring genah upakara manut kadi pralagi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
9
3.1.1 Kata diksa adalah kata dalam bahasa Sansekerta yang artinya suatu upacara penerimaan
menjadi murid dalam hal kesucian. Dari kata diksa ini muncullah kata diksita yang artinya
diterima menjadi murid dalam hal kesucian.

3.1.2 Dalam rangka mempersiapkan diri untuk mediksa calon diksita harus menunjukkan
prilaku dan perbuatan  yang baik dan benar sesuai dengan ajaran tata susila agama hindu.

3.2 Saran

Dalam penulisan makalah selanjutnya diusahakan agar lebih memperbanyak refrensi yang
dibutuhkan agar informasi atau materi yang disampaikan lebih lengkap dan jelas.

DAFTAR PUSTAKA

Purwita, Drs.IB.Putu.1993.Upacara Mediksa.Denpasar : Upada Sastra.

10
Sastra, Drs.Gde Sara.2005.Pedoman Calon Pandita Dan Dharmaning Sulinggih (Wiku
Sasana). Surabaya : Paramita.
Agastia, I.B.G,dkk.2001.Eksistensi Sadhaka dalam Agama Hindu. Denpasar : PT Pustaka
Manikgeni.

11

You might also like