You are on page 1of 49

PROPOSAL

SRATEGI PENGEMBANGAN PROGRAM PERTANIAN


TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN WAJO

ANDI FATHUR BATARA (P042222019)

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
ABSTRAK

ANDI FATHUR BATARA, Strategi Pengembangan Program Pertanian


Tanaman Pangan di Kabupaten Wajo
Penelitian ini bertujuan(1) Menganalisis tingkat pencapaian program-
program pembangunan pertanian yang telah berjalan dalam meningkatkan
produktifitas tanaman pangan di Kabupaten Wajo.(2) memformulasikan strategi
pengembangan program pertanian tamanan pangan di Kabupaten Wajo.
Penelitian ini dilaksanakan dengan metode studi kasus pada program
pembangunan pertanian yang implementasinya pada tahun 2023 – 2024 di
Kabupaten Wajo. Data primer diperoleh dari wawancara dan rembug warga
sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai instansi. Data ini dianalisis
dengan menggunakan analisis gap untuk menunjukan selisih antara target dan
capaian,akar terjadinya gap ditelusuri sehingga strategi dibangun relevan dengan
permasalahan yang dihadapi.
Pelaksanaan kelima program andalan telah berjalan dengan baik dan
mencapai dampak khususnya di Kabupaten Wajo walaupun demikian beberapa
permasalahan dijumpai selama implementasi program. Permasalahan tersebut
antara lain : (1) kualitas benih yang rendah untuk program bantuan langsung
benih unggul,(2) Kapasitas sumber daya manusia pendamping terbatas untuk
program Sekolah lapangan pengelolaan tanaman terpadu dan unit pengolahan
pupuk organik,(3) cakupan bantuan alsintan yang rasio perbandingan masih
rendah dan (4) jadwal pelaksanaan optal tidak tepat waktu.

Kata kunci : tingkat pencapaian program pembangunan pertanian


ABSTRACT

ANDI FATHUR BATARA, the development strategy of food crop agriculture


program in Wajo regency
The aims of the research are to (1) analyze the archievement level of
agriculture development program that have been run increase food crop
produktivity in wajo regency and (2) formulate the development strategy of food
crop agriculture programs in wajo regency.
The research was conducted in wajo regency by using desriptive
analysis. The data consisted of primary and second data. The primary data were
obtained trough interview, community discusion, and workshop and secondary
data were obtained from releted istitutions. The data were analyzed by using gap
analysis to indicate the difference between the target and archievement. The
causes of the occurence of gap were investigated so that the built strategis are
relevant to the faced problems.
The results reveal that the iplementation of suprior programs has run well
and archieved the target especially in wajo regency altough there are some
problems faced during the iplementation of the programs. The prolems are (1)
the low quality of seed for direct aid program of prime seed,(2) the capacity of
assistant human resources is limited for field school program of intgrated crop
management and the management unit of organic fertilizer, (3) comparison ratio
of the scope of the alsintan aid is still low and (4) the schedule of optal
implementation is not punctual.

Key words : arhievement level of agriculture development program.


DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
ABSTRAK ii
ABSTRACK iii
DAFTAR ISI iv

DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR GRAFIK vii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 4

C. Pertanyaan Penelitian 5

D. Tujuan Penelitian 6

E. Kegunaan Penelitian 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 7
A. Program Pembangunan Pertanian 7

B. Lingkungan Strategis, Permasalahan dan tantangan 13


Program Pembangunan Pertanian dalam Negeri.
1. Dinamika Permintaan Pangan dan Bahan Baku 13
Industri
2. Kelangkaan dan Degradasi Kualitas SDA 15

3. Manajemen Pembangunan 18

C. Permasalahan dalam Pelaksanaan Program 19


Pembangunan Pertanian
D. Tantangan dalam Pembangunan Pertanian 26

E. Strategi dan Kebijakan Pembangunan pertanian 28


F. Teknik Evaluasi Program dan Pengembangan Strategi 34

G. Kerangka Pikir Penelitian 36

BAB III. METODE PENELITIAN 40


A. Rancangan Percobaan 40

B. Waktu dan Lokasi Penelitian 40

C. Jenis dan Sumber Data 41

D. Objek Penelitian 42

E. Metode Pengumpulan Data 43

F. Analisis Data 44
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mayoritas penduduk Kabupaten Wajo menggantungkan hidup dari sektor

pertanian, karenanya revitalisasi pertanian sangat strategis untuk dilaksanakan,

guna memacu pembangunan pedesaan dengan pengembangan kawasan

agropolitan, yaitu mengubah kawasan pedesaan menjadi kota pertanian yang

berkembang dan mampu menghela pembangunan wilayah pedesaan sekitarnya.

Potensi yang dimiliki Kabupaten Wajo yakni sumberdaya alam berupa

hamparan areal pertanian. Pemanfaatan dan pengembangan potensi alam

tersebut menjadi sangat strategis jika dikaitkan dengan fungsi Kabupaten Wajo

sebagai salah satu daerah penghasil padi. Pengembangan sektor pertanian oleh

masyarakat dilakukan secara sporadis dan sangat dipengaruhi informasi pasar

suatu komoditas. Hal ini mengakibatkan suatu komoditas yang dikembangkan

tidak mempertimbangkan kelayakan fisik sehingga input yang diberikan menjadi

tinggi. Akhir dari kondisi ini adalah komoditas yang dikembangkan masyarakat

menjadi tidak menguntungkan.

Permasalahan yang dihadapi petani pada Kabupaten Wajo adanya

kesenjangan produktifitas padi ditingkat petani yang cukup besar, dibanding

dengan potensi yang bisa dicapai petani. Penyebabnya antara


lain petani kesulitan dalam memperoleh benih unggul bersertifikat yang

mempunyai potensi tinggi , penggunaan pupuk yang belum berimbang,

penggunaan pupuk organik yang belum popular. Fakta di lapangan menunjukan

petani dalam usaha budidaya padi belum menerapkan unsur teknologi yang

dianjurkan oleh Dinas Tanaman Pangan Kabupeten Merauke dikarenakan

keterbatasan pengetahuan tentang budidaya padi yang benar. Diharapkan dengan

menerapkan unsur teknologi dapat meningkatkan produktifitas padi, unsur

teknologi yang dianjurkan yaitu penggunaan benih unggul bersertifikat, tanam

sistem legowo, pengolahan tanah sempurna, umur bibit tidak lebih 21 hari,

penggunaan pupuk berimbang dan panen tidak tepat waktu. Alat dan mesin

pertanian (alsintan) terutama Hand traktor, memiliki peran penting dalam

mempercepat proses pengolahan tanah dengan mutu hasil olahan yang lebih

baik sehingga dapat berkontribusi dalam upaya peningkatan intensitas dan

peningkatan produksi. Disisi lain jumlah alsintan yang dimiliki petani terbatas

tidak sebanding dengan luasan areal yang ada.

Program pembangunan dari sektor pertanian untuk mengubah kawasan

pedesaan menjadi lumbung pangan pertanian adalah salah satu program andalan

Pemerintah Daerah Kabupaten Wajo, dimana potensi yang dimiliki Kabupaten

Wajo yakni sumber daya alamberupa hamparan areal pertanian. Kabupaten

Wajo Luas wilayahnya adalah 2.506,19 Km² atau 4,01% dari luas Propinsi

Sulawesi Selatan dengan rincian Penggunaan lahan terdiri dari lahan sawah

86.297 Ha (34,43%) dan lahan kering 164.322 Ha (65,57%).

Pada sisi lain kebutuhan pangan di Kabupaten Wajo meningkat seiring dengan
kebutuhan pangan dan peningkatan jumlah penduduk, selain itu daerah

pemekaran mengandalkan pasokan pangan dari Kabupaten Wajo. Kabupaten

Wajo merupakan sentra produksi tanaman pangan khususnya tanaman pangan

padi untuk wilayah Sulawesi Selatan.

Pemerintah daerah melalui Dinas Tanaman Pangandan Hortikultura

membuat program-program untuk mengembangkan sektor pertanian. Selama 3 (

tiga ) tahun terakhir telah dilaksanakan program-program di bidang pertanian

khususnya untuk peningkatan produktifitas padi di daerah ini adalah sebagai

berikut :

a) Program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU).

b) Program Sekolah Lapangan Pengelola Tanaman Terpadu (SLPTT).

c) Program Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA)

d) Program pengembangan usaha agribisnis pedesaan

e) Program Bantuan Alsintan

f) Program Optimalisasi Lahan;

g) Program Pembukaan Lahan Baru;

h) Program Unit Pengolahan Pupuk Organik.

Dari ke tujuh program ini, lima diantaranya program andalan yakni (a).

program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU); b). program Sekolah

Lapangan Pengelola Tanaman Terpadu (SLPTT); e). program Bantuan Alsintan;

f). program Optimalisasi Lahan dan h). Program Unit Pengolahan Pupuk

Organik.
Pelaksanaan program pembangunan pertanian telah dibuktikan dengan

peningkatan produksi padi pada Tahun 2022 sebesar 30,58% yaitu sebesar

101.161 ton yang sebelumnya pada tahun 2021 produksi sebesar 98.126,17 ton.

Dari data peningkatan produksi tersebut masih terdapat kesenjangan produksi

yang dapat ditingkatkan melalui perbaikan program. Evaluasi ini selanjutnya

dapat dijadikan pijakan untuk pembaharuan strategi kedepan.

Berdasarkan hal diatas, maka penulis bermaksud melakukan penelitian

dengan judul “Strategi Pengembangan Program Pertanian Tanaman Pangan di

Kabupaten Wajo”.

B. Rumusan Masalah

Lima program diatas dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang

ditemui dalam usahatani sebagai berikut :

1. Petani kesulitan dalam memperoleh benih unggul bersertifikat yang

mempuyai tingkat produktifitas tinggi .

2. Rendahnya pengetahuan petani tentang teknik budidaya yang baik.

3. Keterbatasan kepemilikan alat-alat mekanisasi pertanian yang

memadai oleh petani baik alat pengolahan tanah, panen dan pasca

panen.

4. Pemanfaatan lahan pertanian pertanian dikalangan petani yang belum

optimal.
5. Rendahnya kesadaran masyarakat petani dalam menggunakan pupuk

organik yang mempunyai prospek peningkatan produksi dan

produktifitas tanaman pangan dan hortikultura serta ramah lingkungan.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan fokus permasalah diatas, maka dapat dituliskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana pelaksanaan program-program andalan pembangunan

pertanian yang telah berjalan dalam meningkatkan produktifitas

tanaman pangan.

2. Bagaimana strategi pengembangan dari program-program penigkatan

produktivitas tanaman pangan di Kabupaten Wajo .

D. Tujuan Penelitian

Atas dasar kajian tentang kondisi dan analisis terhadap potensi serta

permasalahan yang ada maka disusun suatu konsep perencanaan peningkatan

produksi tanaman pangan padi di Kabupaten Wajo dengan tujuan :


1. Menganalisis tingkat pencapaian program-program pembangunan

pertanian yang telah berjalan dalam meningkatkan produktifitas tanaman

pangan di Kabupaten Wajo.

2. Memformulasikan strategi pengembangan program pertanian tamanan

pangan di Kabupaten Wajo.

E. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pembangunan daerah dalam rangka

peningkatan pendapatan daerah dan sebagai bahan informasi bagi penelitian

selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Program Pembangunan Pertanian

Sektor pertanian telah terus dan terus dituntut berperan dalam

perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB),

perolehan devisa, penyediaan pangan dan bahan baku industri, pengentasan

kemiskinan, penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan

masyarakat. Selain kontribusi langsung, sektor pertanian juga memiliki

kontribusi yang tidak langsung berupa efek pengganda, yaitu keterkaitan input-

output antar industri, konsumsi dan investasi. Dampak tersebut relatif pesat

sehingga sektor pertanian layak dijadikan sebagai sektor andalan dalam

pembangunan ekonomi nasional. (Adisasmita R. 2006)

Pada masa kritis, sektor pertanian terbukti lebih tangguh bertahan dan

mampu pulih lebih cepat dibanding sektor lain, selain berperan sebagai

penyangga pembangunan nasional. Peran tersebut terutama dalam menyediakan

kebutuhan pangan pokok, perolehan devisa, penyediaan lapangan kerja, dan

penaggulangan kemiskinan. Sektor pertanian juga menjadi andalan dalam

pengembangan kegiatan ekonomi pedesaan melalui pengembangan usaha

berbasis pertanian. Dengan pertumbuhan yang terus positif secara konsisten,

sektor pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi

nasional.( Ali, Moh.1997)

Pada periode pemulihan pasca krisis, pembangunan pertanian telah

menunjukkan perkembangan yang signifikan. Secara umum, sektor pertanian


telah mampu melepas diri dari ancaman keterpurukan yang berkepanjangan,

terlepas dari ancaman kontraksi berkelanjutan dan melepascan diri dari

perangkap spiral pertumbuhan rendah dan bahkan

telah berada pada fase percepatan pertumbuhan menuju pertumbuhan berkelanjutan.( Ali,

Moh.1997)

Dalam rangka menjaga kesinambungan program dan

mempertahankan momentum pertumbuhan serta memanfaatkan hasil- hasilnya,

maka perlu disusun rencana program dan kegiatan pembangunan pertanian yang

disatu sisi merupakan kelanjutan dari program sebelumnya. Namun disisi lain

diperlukan pula pemikiran- pemikiran baru untuk menyempurnakan

rancangan program selanjutnya.(Anonimous,2000)

Reformasi pembangunan yang mengarah kepada tata pemerintahan yang

baik (good gavermence), mengharuskan adanya penyesuaian manajemen

pembangunan. Penyesuaian manajemen pembangunan pertanian dilakukan pada

seluruh aspek mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

(Daldjoli,N.1977)

Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem manajemen pembangunan

dilakukan dari top-down planning berusaha menjadi mekanisme perencanaan

yang didasarkan atas dasar keterpaduan (top- down police dan battom-up

planning. Sebelum era desentralisasi, proses perencanaan pembangunan

pertanian dilakukan terpusat, cenderung mekanistis dan kurang pastisipatif.

Dengan mekanisme ini, unit kerja di daerah cenderung sebagai pelaksana

kegiatan yang ditentukan oleh unit


kerja di pusat dan setiap subsektor berjalan masing-masing, sehingga kurang

terkoordinasi.( Ali, Moh.1997)

Setelah desentralisasi. Yaitu sejak tahun 2000, proses penyusunan

program dan anggaran didasarkan kepada kewenangan yang telah ditetapkan

dalam UU Nomor 22 tahun 1999 dan PP Nomor 25 Tahun 2000. Penjabaran

program dan anggaran pembangunan pertanian disusun sesuai dengan peta

kewenangan pemerintah dengan memberikan peluang lebih banyak kepada

partisipasi masyarakat (pemberdayaan masyarakat).(Anonimous,2000)

Pendekatan pembangunan pertanian dilakukan dengan mendorong

partisipasi masyarakat sebesar-sebesarnya. Pada era desentralisasi ini,

departemen Pertanian mengalokasikan antara 70-80% anggaran kepada daerah

melalui pola pendanaan dekonsentrasi. Dana dekonsentrasi sebagaian besar

dialokasikan dalam rangka pemberdayaan masyarakat antara lain melalui pola

Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Kegiatan pembinaan, penyuluhan dan

bimbingan dilakukan oleh Dinas dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

daerah. Bantuan diberikan langsung melalui rekening kelompok dalam rangka

penguatan modal kelompok pelaku agribisnis.

Program utama pembangunan pertanian yang dilaksanakan di Kabupaten

Wajo adalah sebagai berikut :


1. Program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU)

Program Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU) dilaksanakan untuk

mendukung program SLPTT yang bekerjasama dengan PT. sang Hyang Seri

dan PT. Pertani. Program ini dimaksudkan dapat meningkatkan produksi padi

di Kabupaten Wajo.

2. Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT)

Upaya peningkatan produksi padi yang berfokus pada penerapan SLPTT

pada tahun 2023 pada areal seluas 17.550 ha telah berhasil menjadi pemicu

dalam peningkatan produksi padi di Provinsi Sulawesi Selatan sebesar

23,18% dari dari 95.666 ton meningkat menjadi 105.565 ton GKG.

Berdasarkan hasil penerapan SLPTT tahun 2022, maka pada tahun 2023

fokus kegiatan tersebut dilanjutkan dengan target luas areal

15.375 ha dengan sasaran kegiatan di Kabupaten se-provinsi Sulawesi

Selatan dan salah satunya adalah Kabupaten Wajo.

Tujuan peningkatan produksi dan produkstifitas padi melalui kegiatan

SLPTT di Kabupaten Wajo adalah ;


• Menyediakan acuan pelaksana SLPTT padi untuk mendukung kegiatan

peningkatan produkstifitas padi di Kabupaten Wajo.

• Meningkatkan koordinasi dan keterpaduan pelaksanaan peningkatan

produksi melalui kegiatan SLPTT padi antara Kabupaten Wajo.

• Mempercepat penerapan komponen teknologi PTT padi oleh petani

sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam

mengelola usahatani untuk mendukung peningkatan produksi Nasional.

• Meningkatkan produktifitas, produksi dan pendapatan serta

kesejahteraan petani padi.

Kendala yang amat berpengaruh dalam peningkatan produksi pangan,

antara lain dampak fenomena iklim (DFI), khususnya di Kabupaten Wajo

sangat dipengaruhi oleh pengusaan lahan hak ulayat, produksi untuk tanaman

pangan akibat alih fungsi lahan, berkurangnya ketersediaan air irigasi karena

sumber-sumber air yang semakin berkurang dan persaingan penggunaan air

diluar pertanian (industri dan pemukiman) serta laju pertumbuhan penduduk.

3. Program Bantuan Alat dan Mesin Pertanian

Alat dan mesin pertanian (alsintan) merupakan salah satu dari teknologi

mekanisasi pertanian yang dalam proses produksi tanaman pangan berperan

untuk peningkatan produktifitas dan kualitas hasil


pertanian, intensitas pertanaman, kenyamanan kerja, penurunan susut hasil

selama panen dan pasca panen, serta biaya usahatani. Peranan alsintan dalam

peningkatan jumlah fisik dalam bentuk kuantitas per satuan waktu maupun

nilai tambah ekonomi sebagai akibat dari peningkatan kualitas hasil yang

diperoleh.

Alat dan mesin pertanian (alsintan) untuk tanaman pangan sebagaimana

dimaksud dalam peraturan pemerintah RI No. 81 tahun 2011 meliputi alat

dan mesin untuk proses produksi (alsintan penyiapan dan pengolahan lahan,

alat pembenihan, alsin penanaman, alsintan pemupukan, alsintan

pemeliharaan, alsintan perlindungan dan alsintan pemanenan) dan alsin yang

digunakan untuk proses pasca panen (alsintan perontok, alsintan pemipil.

Alsintan perajang, alsintan pembersih, alsintan penyortir, alsintan pengering,

alsintan penggilingan, alsintan penyimpanan dan alsintan

penyimpanan/pengepakan).

4. Program Optimalisasi Lahan

Lahan pertanian adalah salah satu faktor produksi yang sangat penting,

karena lahan merupakan media tumbuh bagi tanaman. Banyak lahan-lahan

pertanian yang sementara tidak diusahakan, apabila ditangani maka lahan

dimaksud dapat menghasilkan produksi yang optimal. Sedangkan

optimalisasi lahan pertanian adalah usaha


peningkatan pemanfaatan sumber daya lahan yang sementara tidak

diusahakan menjadi lahan usahatani yang produkktif, melalui perbaikan fisik

dan kimiawi tanah serta sarana dan prasarana lainnya dalam menunjang

peningkatan areal tanam .

5. Program Unit Pengolahan Pupuk Organik

Program ini disusun untuk mendukung program optimalisasi lahan

pertanian dan diharapkan dapat mengurangi penggunaan pupuk kimia.

Penggunaan pupuk kimia dapat menyebabkan kerusakan struktur tanah.

B. Lingkungan Strategis, Permasalahan dan Tantangan Program


Pembangunan Pertanian Dalam Negeri.

1. Dinamika Permintaan Pangan dan Bahan Baku Industri

Dinamika penduduk Indonesia di tinjau dari kualitas, pasar tenaga

kerja, tingkat pendidikan, mobilitas, dan aspek gender akan sangat

berpengaruh terhadap keragaan pembangunan peranian di masa

mendatang, dalam kaitan ini ada 3 (tiga) aspek yang perlu mendapat

perhatian lebih yaitu : a) meningkatkan permintaan terhadap produk-

produk pertanian, baik dalam jumlah, kualitas, dan keragamannya, b)

meningkatkan ketersediaan tenaga tenaga kerja, dan c) meningkatkan

tekanan permintaan terhadap lahan untuk penggunaan non-pertanian

(pemukiman, tapak industri,


infrastruktur ekonomi). Meningkatnya permintaan terhadap produk-

produk pertanian dapat dipandang sebagai peluang sekaligus sebagai

tantangan pembangunan pertanian.

Meningkatnya permintaan produk-produk pertanian yang

dipandang sebagai peluang dan tantangan bagi pemerintah daerah

Kabupaten Wajo, guna menjawab itu semua telah dilaksanakan berbagai

program unggulan untuk memenuhi permintaan pangan dan bahan baku

industri tingkat daerah maupun Nasional. (Sigoyono. 2002)

Peningkatan produktifitas padi guna peningkatan produksi telah

dilakukan perluasan luas tanam dengan melakukan program optimalisasi

lahan dan pembukaan lahan garapan bagi petani. Dengan dilaksanakan

program optimalisasi lahan dan pembukaan lahan garapan diharapkan

dapat meningkatkan indeks pertanaman di Kabupaten Wajo.

2. Kelangkaan dan Degradasi Kualitas SDA

Ada dua permasalahan yang dihadapi pemerintah berkaitan

dengan masalah konversi lahan. Pertama, sangat timpangnya land rent

antar wilayah (jawa vs luar jawa; kota vs desa; sawah vs lahan kering),

yang menyebabkan konversi lahan pertanian menjadi


terkonsentrasi dijawa, di lahan sawah dan di perkotaan. Kedua, tingginya

laju urbanisasi. Meningkatnya permintaan lahan akibat pertumbuhan

penduduk selain menyebabkan penurunan luas baku lahan pertanian juga

meningkatkan intensitas usaha tani di daerah aliran sungai (DAS) hulu.

Dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan pangan juga

meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan pangan telah dilakukan

intensifikasi dan ekstensifikasi lahan pertanian pangan. Salah satu

dampak dari ekstensifikasi adalah pengundulan lahan. Luas hutan

Indonesia menurun dari 65% dari total daratan pada tahun 1985 menjadi

47% pada tahun 2000. Namun dipulau Jawa, konversi lahan sawah

irigasi menjadi pemukiman dan tanpa industri terus berlangsung dengan

ekselerasi yang makin meningkat. Dampak dari penggundulan hutan

dan koversi lahan tersebut antara lain berubahnya iklim secara global,

erosi, banjir dan kekeringan.

Kabupaten Wajo adalah salah satu Kabupaten yang mempunyai

potensi dikembangkannya pertanian karena memiliki lahan berpotensi

yang sangat luas yaitu seluas 2.491.821,99 ha dan yang baru

dimanfaatkan seluas 38.402.00 ha.

Program peningkatkan luas garapan atau luas tanam di

Kabupaten Wajo telah dilakukan, tetapi bukan tanpa kendala karena hak

ulayat tanah di daerah ini masih sangat kuat sehingga


merupakan faktor penghambat yang sangat krusial, selain daripada itu

faktor lainnya adalah konversi lahan pertanian menjadi pemukiman dan

sistem pengairan yang kurang memadai karena daerah ini juga sangat

mengandalkan air tadah hujan untuk mengari lahan pertanian sehingga

harus mendapat perhatian yang khusus. Guna mensukseskan

peningkatan produktifitas dan produksi tanaman pangan di daerah ini

pemerintah daerah melakukan program optimalisasi lahan dan

pembukaan lahan baru dengan menyelesaikan hak ulayat terhadap

masyarakat lokal. Untuk mendukung optimalisasi lahan, pemerintah

daerah mulai menyusun PERDA untuk larangan pendirian bangunan di

atas lahan produktif pertanian.

Program Unit Pengolahan Pupuk Organik adalah satu program

yang mendukung optimalisasi lahan pertanian di daerah ini, lahan

pertanian di daerah ini perlu ditingkatkan kesuburannya karena lahan

pertanian di daerah ini kandungan haranya diduga sudah menurun

sehingga perlu penyuburan kembali tanahnya. Selain meningkatkan

kesuburan tanah pembangunan program Unit Pengolahan Pupuk

Organik juga diharapakan dapat menurunkan penggunaan pupuk kimia

yang selama ini didatangkan dari luar daerah dan petani membeli

dengan harga yang cukup mahan. Dengan penggunaan pupuk organik

diharapkan juga petani dapat menurunkan biaya produksi


sehingga pemdapatan petani disektor pertania padi dapat meningkat.

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa pengairan lahan pertanian

sangat dipengaruhi oleh iklim atau dengan kata lain mengandalkan air

tadah hujan yang sangat dipengaruhi oleh iklim. Salah satu tahap dalam

usaha tani adalah pengolahan tanah, dimana pengolahan lahan pertanian

akan baik bila terdapat air sehingga mempermudah pengolahan tanah.

Sistem pengolahan tanah di daerah ini biasanya petani menggunakan

bajak sapi dan alat mesin pertanian seperti Traktor roda 2 (dua).

Kepemilikan Traktor roda 2 (dua) ditingkat petani masih sangat rendah

karena harganya yang cukup mahal. Sehingga Dinas Pertanian dan

Hortikultura di daerah ini melakukan program bantuan alat dan mesin

pertanian, strategi yang ditempuh dalam program ini adalah dengan

memberikan modal awal untuk kepemilikan Traktor roda 2 (dua).

3. Manajemen Pembangunan Otonomi Daerah dan Partisipasi


Masyarakat

Otonomi daerah. Seiring dengan pelaksanaan era otonomi

daerah yang telah dimulai sejak tahun 2001, telah terjadi beberapa

perubahan yang berkaitan dengan peran pemerintah pusat dan daerah.

Peran pemerintah yang sangat dominan, saat ini berubah menjadi

fasilitator, stimulator atau promotor pembangunan


pertanian. Pembangunan pertanian pada era otonomi daerah akan lebih

mengandalkan kreativitas rakyat di setiap daerah. Perencanaan dan

pelaksanaan program pembangunan akan lebih banyak dilakukan oleh

pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya akan menangani aspek-aspek

pembangunan pertanian yang tidak efektif dan tidak efesien ditangani

oleh pemerintah daerah atau menangani aspek-aspek pembangunan

pertanian yang menyangkut kepentingan beberapa daerah dan nasional.

Partisipasi masyarakat. Tuntutan jaman menghendaki

pergeseran peran masyarakat yang lebih dominan daripada masyarakat.

Dengan demikian, reformasi total mununtut perlunya segera

melaksanakan rekonstruksi kelembagaan pemerintah publik berdasarkan

prinsip good govermence dengan tiga karakteristik utama, yaitu

kredibilitas, akuntabilitas dan transparansi. Kebijakan pembangunan

dirancang secara transparan dan melalui debat publik, dilaksanakan

secara transparan pula dan diawasi oleh publik, sedangkan pejabat

pelaksana bertanggung jawab penuh atas keberhasilan dari kebijakan

tersebut.

Dengan adanya otonomi daerah meningkatkan peran masyarakat

lokal dalam pembangunan di masing-masing daerah termasuk di daerah

Merauke. Otonomi daerah meningkatkan hak kepemilikan lahan adat

sehingga lahan baru perlu ada


penyelesaian secara adat juga. Hal ini adalah salah satu tantangan dalam

pembukaan lahan baru guna memperluas lahan garapan.

C. Permasalahan dalam Pelaksanaan Program Pembangunan


Pertanian

Pembangunan pertanian dihadapkan kepada sejumlah

permasalahan, yaitu :

1. Keterbatasan dan Penurunan Kapasitas Sumberdaya Pertanian

Pembangunan pertanian dihadapkan kepada permasalahan

permintaan produk pertanian terutama pangan yang semakin meningkat

sejalan dengan meningkatkan pertambahan penduduk, sementara kapasitas

sumberdaya alam peratanian terutama lahan dan air terbatas dan bahkan

semakin menurun. Luas baku lahan pertanian semakin menurun karena

pembukaan lahan pertanian baru sangat lambat sementara konversi

lahan pertanian terus meningkat.

Prioritas kegiatan pemerintah periode 2019-2024 untuk

mengatasi masalah ini antara lain : 1) perluasan sawah/lahan pertanian

baru, dan 2) koordinasi dengan instansi terkait untuk mengurangi laju

konversi.

2. Sistem Alih Teknologi Masih Lemah dan Kurang Tepat Sasaran


Sistem adopsi atau alih teknologi dinilai masih lemah karena

lambatnya diseminasi teknologi baru (invention) dan

pengambangan teknologi yang sudah ada (Innovation) di tingkat

petani. Rendahnya diseminasi teknologi disebabkan oleh beberapa hal.

Sebelum diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, sistem pencapaian

hasil teknologi dilakukan oleh penyuluh melalui proses aplikasi

teknologi di areal percontohan. Pada era desentralisasi, kegiatan

penyuluhan menjadi kewenangan pemerintah daerah dan permasalahan

pada sistem penyampaian teknologi menjadi labih kompleks akibat

kurangnya perhatian pemerintah daerah pada fungsi penyuluhan

pertanian. Institusi penyuluhan dianggap rendah kontribusinya pada

Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hubungan kererkaitan antara peneliti,

penyuluh, dan petani dinilai masih lemah. Oleh karena itu, prioritas

pembangunan pertanian pada tahun 2019-2024 adalah perlu adanya

penataan kembali fokus dan prioritas penelitian serta sitem diseminasi

yang mampu menjawab permasalahan petani disertai dengan revitalisasi

penyuluhan pertanian, pendampingan, pendidikan dan pelatihan bagi

petani.

3. Keterbatasan Akses Terhadap Layanan Usaha Terutama


Permodalan

Akses petani terhadap modal, informasi dan lahan sangat penting

dalam peningkatan kinerja usahatani. Usahatani pertanian


yang sebagian besar adalah petani gurem dan kecil dihadapkan kepeda

keterbatasan akses terhadap layanan usaha, terutama permodalan.

Ketidakmampuan masyarakat perdesaan mengakses permodalan dari

lembaga keuangan formal selama ini disebabkan oleh : 1) keberadaan

lembaga keuangan formal di pedesaan masih sangat terbatas, 2)

prosedur yang berlaku dan persyaratan yang diminta oleh lembaga

keuangan formal yang ada masih dinilai sulit oleh masyarakat pedesaan,

dan 3) petani tidak mampu mangakses kredit dengan aturan dan suku

bunga seperti yang diterapkan pada usaha komersial lain (di luar

agribisnis). Sistem perbankan selama ini bukan mendukung ekonomi

pedesaan khususnya pertanian, bahkan cenderung menghisap modal

(capital drain) dari daerah pedesaan.

4. Rantai Tataniaga Yang Panjang dan Sistem Pemasaran Yang Belum


Adil.

Rantai pemasaran yang panjang berakar dari kondisi

infrastruktur pedesaan yang kurang memadai seperti : ketersediaan

pasar, sarana transportasi dan jalan desa. Sistem pemasaran yang belum

adil terkait dengan keterbatasan modal yang menyebabkan petani banyak

terjebak dalam sistem ijon yang


melemahkan posisi tawar mereka. Upaya pemerintah memberikan jaminan

harga terkendala oleh dana dan kemampuan, sehingga hanya beras dan

gula yang mendapat perlindungan harga dari pemerintah.

Upaya untuk meningkatkan efisiensi rantai pemasaran telah

dilakukan dengan menfasilitasi pembangunan jalan usahatani,

membangun pola kemitraan, pasar lelang, contrac farming, yang

umumnya belum memberikan hasil yang optimal. Kebijakan proteksi

dan promosi yang telah diterapkan selama ini perlu terus ditingkatkan

melalui kegiatan yang lebih konkrit antara lain:

1) penerapan tarif, 2) pemberian subsidi, dan 3) promosi ekspor.

5. Kualitas, Mentalitas, dan Ketrampilan Sumberdaya Petani Rendah

Rendahnya kualitas sumberdaya manusia merupakan kendala

yang serius dalam pembangunan pertanian. Tingkat pendidikan dan

ketrampilan rendah. Selama 10 tahun terakhir kemauan pendidikan

berjalan lambat. Tahun 1992, 50% tenaga kerja di sektor pertanian

tidak tamat SD, 39% tamat SD, sedangkan yang tamat SLTP hanya

8% (BPS, 1993). Tahun 2002, yang tidak tamat SD menjadi 35%,

tamat SD 46% dan tamat SLTP 13% (BPS, 2003). Rendahnya

mentalitas petani antara lain dicirikan oleh usaha pertanian yang

berorientasi jangka pendek, mengejar keuntungan sesaat, serta belum

memiliki wawasan bisnis luas. Selain itu banyak petani menjadi sangat

tergantung pada bantuan/pemberian pemerintah. Keterampilan petani

yang rendah terkait dengan rendahnya pendidikan dan kurang

dikembangkannya kearifan lokal (indigenous knowledge).(Biro Pusat


Statistik.2008)

Selama ini masalah diatas melalui peningkatan kemampuan

SDM petani dan aparat melalui kegiatan pendidikan, pelatihan, dan

penyuluhan. Untuk mendukung kegiatan tersebut sarana yang

digunakan adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di Daerah

seperti Balai Diklat, Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian, dan Sekolah

Pembangunan Pertanian.

6. Kelembagaan Petani dan Posisi Tawar Petani Rendah

Saat ini, keberadaan kelembagaan petani sangat lemah. Kelompok

tani yang banyak dibentuk selama periode 1980-an dalam mengejar

swasembada beras sudah banyak yang tidak berfungsi, mungkin hanya

tinggal nama kelompok. Intensitas dan kualitas pembinaan terhadap

kelompok pasca otonomi daerah jauh berkurang karena sistem

penyuluhan yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah.

Selama ini pengembangan kelembagaan petani umumnya berorientasi

keproyekan. Kelompok tani hanya aktif pada saat proyek masih

berjalan.
Pembentukan kelompok tani seringkali tidak sesuai dengan

kebutuhan petani.

7. Lemahnya Koordinasi Antar Lembaga Terkait dan Birokrasi

Kinerja pembangunan pertanian sangat ditentukan oleh

keterpaduan diantara subsistem pendukungnya, yaitu mulai dari

subsistem hulu (industry agro-input, agro-kimia, agro-otomotif),

subsistem budidaya usahatani (on farm), subsistem hilir (pengolahan

dan pemasaran) dan subsistem pendukung (keuangan, pendidikan, dan

transportasi). Kerkaitan antar subsistem sangat erat namun

penagganannya terkait dengan kebijakan berbagai sektor. Berbagai

kebijakan yang terkait dengan produk pertanian sering tidak harmonis

dari hulu hingga ke hilir, seperti penanganan impor produk pertanian.

8. Kebijakan Makro Ekonomi Yang Belum Berpihak Kepada Petani.

Salah satu faktor penting yang menentukan kelanjutan dan

kemampuan daya saing usaha pertanian adalah adanya kebijakan makro

yang kondusif. Saat ini kebijakan makro ekonomi baik fiskal, moneter,

perdagangan, maupun prioritas dalam pengembangan ekonomi

Nasional dinilai belum kondusif bagi kelanjutan dan kemampuan

dayasaing usaha pertanian.


Kebijakan pemerintah yang belum memihak sektor pertanian

antara lain: 10 penerapan pajak ekspor komoditas pertanian yang tujuan

untuk mendorong industri pengeolahan produk pertanian dalam negeri;

2) kredit perbankan yang disediakan pemerintah, porsi terbesar diserap

oleh pengusaha konglomerat, sisanya adalah untuk koperasi, usaha

kecil menengah termasuk petani; 3) alokasi dana APBD untuk

pembangunan sektor pertanian kurang memadai; 4) beberapa daerah

menarik biaya retribusi yang tinggi termasuk pada komoditas pertanian

sehingga mengurangi daya saing dan menjadi penghambat dalam

investasi di sektor pertanian; 5) pembangunan sarana dan prasarana

lebih besar diperkotaan dibanding dengan pedesaan; dan 6) liberalisasi

perdagangan telah menyebabkan membanjirinya produk pertanian yang

disubsidi berlebih oleh negara maju membuat petani kita tidak mampu

bersaing. Untuk itu diperlukan: a) advokasi kebijakan dengan instansi

terkait, dan b) dukungan legislative dan stakeholders lainnya.

D. Tantangan dalam Pembangunan Pertanian

Tantangan dan permasalahan mendasar pembangunan sektor

pertanian berkaitan dengan sarana prasarana, permodalan, pasar,


teknologi, dan kelembagaan petani, yang masih memerlukan penanganan

yang berkelanjutan disamping munculnya persoalan- persoalan baru.

Walaupun dihadapkan pada berbagai permasalahan dan hambatan, sektor

pertanian telah mampu menunjukkan keberhasilan dan perkembangan yang

menggembirakan.

Khusus untuk masalah lahan pertanian, rendahnya perluasan sawah

irigasi di Indonesia antara lain disebabkan oleh derasnya konversi lahan

sawah beririgasi sejak lebih dari dua dasawarsa terakhir khususnya di

pulau Jawa. Antara tahun 1978 – 1998, misalnya konversi lahan sawah

irigasi adalah sebesar satu juta ha. Padahal kenyataannya sawah

irigasi masih tetap merupakan sumberdaya lahan yang

terpenting dalam mendukung produksi padi. Pangsa areal panen sawah

masih memberikan kontribusi sebesar sekitar 90 persen sedangkan pangsa

produksi berkisar 95 persen. Bila terjadi penurunan luas sawah irigasi yang

tidak terkendali maka akan mengakibatkan turunnya kapasitas lahan sawah

untuk memproduksi padi. Lebih dari itu jika proses degradasi kualitas

jaringan irigasi terus berlanjut maka eksistensi lahan tersebut

sebagai sawah sulit dipertahankan. Yang segera akan terjadi

adalah alih fungsi lahan sawah tersebut ke penggunaan lain (pertanian lahan

kering ataupun di peruntukan non pertanian).


Data empiris menunjukkan bahwa untuk mencapai pertumbuhan

produksi padi sawah 4,78 % (Tahun 2003-2007), dibutuhkan pertumbuhan

luas lahan sawah sebesar 2,47 %. Hal ini menunjukkan penambahan luas

lahan sawah masih sangat dibutuhkan dalam peningkatan produksi padi. Hal

ini dapat dilihat dari anggaran yang cukup besar dalam pembangunan

pertanian, dimana selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian

yang terbesar adalah untuk sarana dan prasarana (infrastruktur) yaitu 10,5%

dan yang kedua adalah bantuan permodalan sebesar 8,5%. Urutan

berikutnya adalah penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan

(1,6%), dan pendidikan dan latihan (1,3%).

Tidak hanya dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam kebijakan

insentif harga juga dilakukan seperti pada kebijakan insentif harga yang

dapat dilihat dari peninjauan HPP setiap tahun. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa bila terjadi kenaikan HPP gabah sebesar 10% akan

mendorong peningkatan harga beras sebesar 8,1%. Peningkatan harga beras

10% akan meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1%. Peningkatan

harga beras 10% meningkatkan inflasi 0,52%. Inilah tantangan secara

makro dalam perekonomian nasional bagaimana disatu sisi dapat

meningkatkan harga untuk kepentingan petani namun dipihak lain ada

sebagian masyarakat merasa dirugikan. Walaupun demikian keberhasilan

pembangunan pertanian bisa mengakibatkan jumlah rumah tangga


petani khususnya rumah tangga petani padi dan palawija meningkat

sebesar 4,06%.

Beberapa kebijakan pokok yang memberikan kontribusi terhadap

pencapaian produksi pangan tersebut adalah:

(a) Pengawalan Dan Bantuan Sarana Produksi: benih/bibit unggul, pupuk,

alat mesin pertanian, obat hewan; (b) Bantuan Permodalan: fasilitas Kredit

Ketahanan Pangan dan Energi, (C) Perbaikan Infrastruktur Pertanian:

perluasan Areal, Tata Air Mikro, jalan usaha tani, embung, pengembangan

irigasi air tanah; (d) Fasilitasi Pengembangan Pasar dan Peningkatan Mutu

Produk; (e) Inovasi dan Percepatan Diseminasi Teknologi; (f)

Pendampingan dan pengawalan intensif: SL PHT, SL PHP, SL Iklim,

penyuluh, tokoh masyarakat, aparat; (g) Penyediaan Dana Tanggap Darurat;

dan (h) Koordinasi Intensif Pusat - Daerah.

E. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Pertanian

Strategi adalah cara yang dilakukan untuk mencapai sasaran atau

tujuan yang telah ditetapkan. Sebagai langkah pelaksanaannya diperlukan

perumusan serangkaian kebijakan. Strategi untuk seluruh pembangunan

adalah mewujudkan keadilan dan kemakmuran, sedangkan kebijakan untuk

pembangunan sektoral adalah mengatasi berbagai hambatan dan kedala

yang dihadapi.
Perbedaan strategi dengan kebijakan hanya terletak dalam ruang

lingkup. Strategi merupakan siasat memenangkan suatu peperangan,

sedangkan kebijakan merupakan siasat untuk memenangkan suatu

pertempuran.

Tujuan akhir pembangunan pertanian adalah terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui sistem pertanian industrial. Secara

operasional pencapaian tujuan tersebut ditempuh melalui tahapan- tahapan

pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek.

Kebijakan dan program pembangunan pertanian jangka panjang dijabarkan

dalam rencana pembangunan jangka menengah lima tahunan dan

selanjutnya dijabarkan lebih lanjut ke dalam rencana pembangunan

pertanian tahunan.

Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan, Departemen

Pertanian telah menyusun Cetak Biru (Blue Print) Pembangunan Pertanian

Jangka Panjang (20015 - 2045), Jangka Menengah (2019-2024) dan tahunan.

Adapun sasaran jangka panjang pembangunan pertanian, adalah : (1)

Terwujudnya sistem pertanian industrial yang berdayasaing; (2) Mantapnya

ketahanan pangan secara mandiri; (3) Terciptanya kesempatan kerja bagi

masyarakat pertanian serta (4) Terhapusnya kemiskinan di sektor pertanian

dan tercapainya pendapatan petani US$2500 /kapita /tahun .(Soekartawi

.1986).
Tujuan jangka menengah pembangunan pertanian (2019-2024) adalah :

(1) membangun SDM aparatur profesional, petani mandiri, dan

kelembagaan pertanian yang kokoh; (2) meningkatkan pemanfaatan

sumberdaya pertanian secara berkelanjutan; (3) memantapkan ketahanan

dan keamanan pangan (4) meningkatkan daya saing dan nilai tambah

produk pertanian (5) menumbuh-

kembangkan usaha pertanian yang akan memacu aktivitas ekonomi

pedesaan; dan (6) membangun sistem manajemen pembangunan pertanian

yang berpihak kepada petani.

Untuk pencapaian tujuan tersebut pemerintah menyusun strategi,

kebijakan dan mengimplementasikan berbagai program/kegiatan

pembangunan pertanian, baik lintas subsektor maupun program subsektor.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-

2024, ada tiga kebijakan utama yang diimplementasikan Departemen

Pertanian, yaitu:

(1) Peningkatan Produksi Pangan dan Akses Rumah Tangga Terhadap

Pangan; (2) Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Produk Pertanian; (3)

Perluasan Kesempatan Kerja dan Diversifikasi Ekonomi Pedesaan.

(Soehardjo A dan Dahlan Patong.1982)

Selanjutnya, dalam implementasi kebijakan-kebijakan tersebut ada

dua strategi besar yang ditempuh Departemen Pertanian. Pertama,

memperkokoh fondasi pembangunan pertanian melalui Panca Yasa,

ditempuh dengan strategi : (1) Penyediaan/perbaikan


infrastruktur; (2) Penguatan kelembagaan; (3) Perbaikan sistem penyuluhan;

(4) Penanganan pembiayaan pertanian; (5) Fasilitasi pemasaran hasil

pertanian. Kedua, melakukan Akselerasi pembangunan pertanian, yang

ditempuh melalui strategi, yaitu: a) melibatkan partisipasi berbagai

komponen masyarakat, b) penempatan satu desa – satu penyuluh, c) sinergis

seluruh potensi sumberdaya, d) fokus komoditas, e) perencanaan berdasarkan

master plan dan road map, f) penguatan Sistem Monitoring dan Data Base.

Dengan beragamnya jenis komoditas pertanian yang tumbuh di

Indonesia, diperlukan strategi yang tepat dalam menentukan pilihan

komoditas yang prioritas untuk dikembangkan. Prioritas penanganan

difokuskan pada komoditas pertanian yang secara nasional dapat

memberikan dampak nyata dan dirasakan hasilnya oleh petani, maupun

masyarakat konsumen. Sehubungan itu, telah dirumuskan lima komoditas

pangan utama yang diprioritaskan dengan sasaran akhir sebagai berikut: (a)

padi dengan sasaran swasembada berkelanjutan; (b) jagung dengan sasaran

swasembada tahun 2007- 2008; (c) kedele dengan sasaran swasembada

tahun 2015; (d) gula dengan sasaran swasembada tahun 2009; dan (e)

daging sapi dengan sasaran mencapai kecukupan tahun 2010.

Strategi kebijaksanaan pembangunan pedesaan diarahkan kepada:


1. Pembangunan kelembagaan yang dapat mempercepat proses

modernisasi perekonomian masyarakat pedesaan melalui pengembangan

agribisnis, jaringan kerja dan jaminan pemasaran.

2. Peningkatan investasi dalam pengembangan sumber daya mausia yang

dapat mendorong produkstifitas, kewiraswastaan dan ketahanan sosial

masyarakat pedesaan.

3. Peningkatan ketersediaan pelayanan prasarana dan sarana pedesaan

untuk mendukung proses produksi, pengolahan, pemasaran dan

pelayanan sosial masyarakat.

4. Peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengolahan lahan untuk

menopang kegiatan usaha ekonomi masyarakat pedesaan secara

berkelanjutan.

5. Peningkatan kemampuan organisasi pemerintah dan lembaga- lembaga

masyarakat pedesaan untuk mendukung pengembangan agribisnis dan

pemberdayaan petani dan nelayan.

6. Penciptaan iklim sosial yang memberi kesempatan masyarakat pedesaan

untuk berpastisipasi dalam pembangunan, pengawasan terhadap jalannya

pemerintahan dipedesaan.

Pendekatan pembangunan pada umumnya dan pembangunan

pedesaan pada khususnya pada masa orde baru (sampai tahun 1997) adalah

sentralistik. Kewenangan perencanaan pembangunan sepenuhnya berada

pada pemerintah pusat; pemerintah daerah tidak dilibatkan. Akibat

pelaksanaan pembangunan adalah lamban karena


kelemahan birokrasi yang terlalu panjang dan tumpang tindih akibat lainnya

tidak jarang rencana-rencana pembangunan yang telah disusun dan

dilaksanakan ternyata tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh

masyarakat, karena daerah tidak diikut sertakan dalam penyusunan rencana.

Pada umumnya strategi pembangunan yang dilaksanakan

mendasarkan pada doktrin ”competitive adventage” (keunggulan

komparatif. Pendekatan ini didukung oleh ketersediaan sumber daya

unggulan dalam jumlah yang besar, dengan demikian daya saing yang kuat

yaitu mampu memproduksi dengan tingkat biaya produksi yang rendah.

Stretegi pembangunan yang mengandalkan pada potensi sumber daya alam

dalam jumlah yang besar dapat dikatakan melaksanakan Natural Resource

Based Development.

Strategi pembangunan pertanian dan pedesaan di Indonesia

mengalami perubahan pendekatan yang menarik, sehingga secara sederhana

bias dipetakan ke dalam tiga fase yang khas (distinct). Pada 25 tahun

pertama sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, pembangunan pedesaan lebih

banyak menempuh pendekatan pemenuhan basic-needs approach.

Pembangunan pangan dan pertanian pedesaan ditandai juga oleh

introduksi teknologi produksi pertanian yang kemudian dikenal sebagai

bagian dari revolusi hijau (pengenalan varietas unggul, pupuk


buatan, mekanisme pertanian, irigasi teknis, dan intensifikasi

pertanian missal). Pembangunan pedesaan pada saat ini mampu

mengangkat harkat-martabat penduduk desa meski juga memberikan

dampak kurang baik pada tata perilaku dan kehidupan pedesaan secara

signifikan.

F. Teknik Evaluasi Program dan Pengembangan Strategi

Pembedaan program pemberdayaan dari program-program yang

bersifat top-down maupun crash program sekalipun untuk menanggulangi

kemiskinan beriplementasi kepada kebutuhan metodologi evaluasi yang

khas, yang berbeda dari metodologi untuk kedua sifat program sebelumnya

(Greene, 1994). Hampir seluruh evaluasi terhadap kebijakan dan program

yang bersifat top down dan ad hoc itu beperspektif sentralistis, hanya

mengkaji terhadap hamabatan terhadap kebijakan dan program, serta

memnandang dari sudut pemerintah (Soedjadmoko, 1984).

Evaluasi yang bersifat khas terhadap program pemberdayaan

diperlukan agar proses pembangunan dapat difokuskan dngan lebih pasti

menjadi pengembangan diri (Sajogyo, 1996), yang ditandai oleh gerakan

masyarakat dalam rangka pemberdayaan diri. Untuk mengetahii kemajuan

pelaksanaan kegiatan terhadap tujuan program perencaan, pelaksaan dan

pemanfaatan kegiatan, maka dibutuhkan evaluasi program secara sistematis

terhadap aturan normative dan hasil (outcome) riil.


Evaluasi yang bersifat insidentil ini diperlukan, mengingat sitem

informasi yang biasa digunakan secara rutin sebagaimana tercakup dalam

registrasi, monitoring dan pelaporan program bukanlah suatu hal yang ideal

secara empiris (Verhagen, 1996). Pelaporan rutin memiliki kendala karena

berpeluang besar dalam menghasilkan ketidakakuratan pengisian formulir,

sebagai akibat dari rendahknya mutu manusia yang mengisinya. Evaluasi

juga terhambat oleh kelalaian mengevaluasi kerja aparat pemerintah dan

dari lembaga donor sendiri, kesulitan hasil evaluasi kepada pemerintah,

evaluator dipandang sebagai bagian dari pemerintah (wahab, 1990)

Program-program pemberdayaan menekannkan pentingkan

pembangunan berdasarkan konteks lokasi masing-masing. Metode

digunakan, dengan demikian, perlu peka knteks lokasi maupun proses-

proses social. Hal ini sejalan dengan prinsip analisis kualitatif berparadigma

interpretivisme, yang membutuhkan konteks untuk menggambarkan secara

mendalam perbuatan pihak yang dievaluasi dalam kegiatan program

pemberdayaan.

Program pemberdayaan mengupayakan terwujudnya gerakan

kemandirian dan keberdayaan masyarakat. Disini dibutuhkan metode yang

peka stratifikasi dan peka tranformasi, yaitu strategi-strategi partisipatif,

contohnya PRA (Participation Rural Appraisal), PLA (Participation

Learning and Action) dan Kajian Bersama (co-oprerative Inquiry)

(Shaw, 1999).
G. Kerangka Pikir Penelitian

Pembangunan sektor pertanian selama ini masih tetap sebagai

program utama pembangunan di tingkat Nasional maupun Daerah. Hal ini

disebabkan karena sektor pertanian adalah satu-satunya sektor yang bertahan

bahkan meningkat saat Indonesia dilanda krisis moneter.

Program andalan selama 3 ( tiga ) tahun terakhir ini yang dibuat

untuk membangun sektor pertanian khususnya di Kabupaten Wajo terutama

untuk tanaman pangan padi terdapat 5 ( lima ) program andalan/utama yang

dilaksanakan, program andalan tersebut yaitu sebagai berikut a). Program

Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU), bantuan benih yang diberikan

kepada petani adalah benih yang bersertifikat dan varietas unggul yang

sudah dikaji kelayakannya sesuai daerah ini. b). Program Sekolah Lapangan

Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT), program ini dilaksanakan dengan

tujuan adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia petani yang ada di

pusat pengembangan tanaman pangan padi dan program ini didukung

dengan program BLBU. c). program Bantuan Alat dan Mesin Pertanian

(Alsintan), mengingat keterbatasan modal petani yang ada didaerah ini,

maka Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura membuat program bantuan

kepada petani agar dapat memiliki alat dan mesin pertanian seperti
mesin Hand traktor, Power threser dan Pompa air; d). program Optimalisasi

Lahan, kegiatan ini dilakukan guna menghadapi konversi lahan pertanian

menjadi pemukiman dan industri e). serta program Unit Pengolahan Pupuk

Organik.

Program pembangunan pertanian dalam arti luas meliputi pertanian

tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan menghadapi

permasalahan yang relatif sama. Data statistik (Wajo dalam Angka 2022)

terlihat bahwa permasalahan yang ada lambat laun menurunkan produksi

pada masing-masing sub sektor. Peningkatan produktifitas padi di

Kabupaten Wajo guna memenuhi kebutuhan pangan padi masyarakat

setempat bahkan dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional maupun

internasional. Peningkatan produktifitas padi memerlukan strategi yang

tepat agar dapat membangun kota merauke menjadi lumbung pangan

nasional bahkan Internasional. Pembentukan strategi peningkatan

produktifitas padi di Kabupaten Wajo dapat dilakukan dengan cara

mengidentifikasi faktor- faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi

peningkatan produktifitas padi. Secara sederhana, kerangka pemikiran ini

disajikan dalam bentuk bagan seperti disajikan pada Gambar 1.


-
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

deskriptif (penelitian survei) sedangkan metodenya adalah deskriptif

analitis. Data yang diperoleh akan dipaparkan secara deskriptif.

Metode penelitian survei adalah usaha pengamatan untuk

mendapatkan keterangan-keterangan yang jelas terhadap suatu masalah

tertentu dalam suatu penelitian. Penelitian dilakukan secara meluas dan

berusaha mencari hasil yang segera dapat dipergunakan untuk menentukan

tindakan yang mengklasifikasikan dan pengukuran yang akan diukur adalah

fakta yang akan merumuskan dan melukiskan apa yang terjadi (Ali,

1997:5).

B. Waktu dan lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 ( dua ) bulan yaitu pada bulan

Maret sampai dengan Bulan April 2024. Pengambilan data dilakukan

diwilayah Kabupaten Wajo yang terdiri atas 5 kecamatan yaitu; Kecamatan

Tempe, Kecamatan Sabangparu, Kecamatan Belawa, Kecamatan

Tanasitolo, Kecamatan Pammana. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan

dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Secara administrasi mempunyai luas wilayah seluas 1.042 km2,

sehingga sangat potensi untuk pengembangan sentra produksi padi

dan letaknya tidak jauh dengan pusat andmistrasi daerah.

xliii
2. Merupakan sentra produksi tanaman pangan padi.

3. Sebagian besar merupakan daerah yang memiliki sarana dan prasarana

pertanian yang cukup banyak.

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder.

Data diperoleh dari berbagai sumber, di antaranya :

1. Data primer, diperoleh langsung dari wawancara objek peneliti

antara lain dari petani padi, penyuluh pertanian, pengambil

kebijakan.

2. Data sekunder, diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten Wajo,

Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, Badan Pusat Statistik

dan instansi terkait lainnya yang meliputi kondisi sarana prasarana

pertanian dan kondisi pertanian.

xliv
D. Objek Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek

yang menjadi kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono,

2002:75).

Nazir (1988:3) mengatakan populasi adalah berkenaan dengan data,

bukan orang atau bendanya. Kemudian populasi adalah totalitas semua nilai

yang mungkin, baik hasil menghitung ataupun pengukuran kuantitatif maupun

kualitatif dari pada karakteristik tertentu mengenai sekumpulan objek yang

lengkap. Jadi populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu

wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu yang mempunyai kaitan

dengan masalah yang diteliti.

Populasi dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian yaitu

populasi pelaksana program pembangunan sektor pertanian yaitu pengambil

kebijakan serta penyuluh pertanian sebanyak 9 orang dan penerima lima

program andalan program pembangunan sektor pertanian di Kabupaten

Wajo sebanyak 1900 Orang. Sampel untuk pengambilan kebijakan dan

penyuluh sebanyak sembilan(9) orang masing-masing enam (6) orang

penyuluh pertanian lapangan dan tiga

(3) orang pengambil kebijakan.

Sampel untuk populasi petani penerima lima program prioritas

pembangunan sektor pertanian diambil dengan menggunakan metode acak

(simple samling random), yaitu populasi mempunyai kesempatan

xlv
yang sama untuk dijadikan sampel penelitian. Untuk menghitung jumlah

sampel yang dapat mewakili populasi menggunakan rumus Slovin dalam

Umar (1999:161) yang menggunakan nilai kritis sebesar 0,1.

Rumus n = N = 1900 = 100 orang petani 1


+ N (e2) 1 + 1900 (0,12)

Keterangan
N : populasi
e : tingkat kelonggaran

program yang akan menjadi objek kajian adalah

1. Program Bantuan Langsung Benih Unggul

2. Program Sekolah Lapangan Tanaman terpadu

3. Program Bantuan Alat Mesin Pertanian

4. Program Optimalisasi Lahan

5. Program Unit Pengolaan Pupuk Organik

E. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam studi ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara, rembug warga

maupun lokakarya sedangkan data sekunder merupakan data pendukung,

diperoleh dari berbagai instansi dan lembaga yang terkait dengan studi ini,

dimana data sekunder ini diperuntukkan menjelaskan kondisi-kondisi umum

daerah studi, dengan kedalaman data yang diakomodir dari tingkat

kampung.

xlvi
Sejalan dengan permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu

strategi pengembangan kawasan pertanian tanaman padi di Kabupaten

Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan, sehingga untuk memperoleh data yang

diinginkan dan sesuai dengan tujuan penelitian maka pengambilan sampel

akan dikerjakan memakai teknik pengambilan sampel dengan metode

purposive sampling.

Pengambilan sampel yang dilakukan dengan menggunakan metode

purposive sampling artinya pengambilan sampel atau penentuan sampel

oleh peneliti menggunakan pertimbangan- pertimbangan tertentu (ketua

kelompok tani, sekretaris dan bendahara) dan dengan tujuan tertentu sesuai

dengan arah dan tujuan penelitian.

F. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis dengan

mengunakan analisis gap. Analisis gap digunakan untuk menganalisis gap

dan tingkat capaian pelalaksaan program, menemukan akar permasalahan

atau penyebab terjadinya gap dalam pelaksanaan program, serta mengenali

isu strategis sebagai landasan pengembangan strategi.

Setiap gap yang diidentifikasi antara target dan capaian dari

setiap program akan diprofil, setiap gap teridentifikasi akan ditelusuri

penyebebnya melalui wawancara terhadap kedua jenis sampel di atas

berdasarkan permasalahan yang ditemukan, alternatif-alternatif,

xlvii
strategi kemudian dibagi atau menelaah melalui penguatan program yang

ada atau pengembangan program-program baru.kehilangan hasil. Pada sabit

biasa mengalami penurunan sedangkan pada sabit gerigi mengalami

peningkatan hal ini disebabkan pengetahuan petani memotong padi dengan

sabit gerigi dapat menurunkan kehilangan hasil.


DAFTAR PUSTAKA

Anonimous.2000. Pedoman Sekolah Lapangan Tanam Terpadu.


Depertemen pertanian jakarta. Jakarta
Adisasmita R. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Ali, Moh. 1997. Penelitian Kependidikan Prosedur dan Strategi. Tarsito.
Bandung.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosdur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Cetakan ke 8, Rineka Cipta. Yogyakarta.
Biro Pusat Statistik. 2008. Statistik Sosial Kabupaten Wajo. Biro Pusat
Statistik Kabupaten Wajo. Sulawesi Selatan
Daldjoli, N. 1977. Penduduk, Lingkungan dan Masa Depan. Penerbit
Alumni, Bandung.
Dinas Tanaman Pangandan Hortikultura. 2008. Laporan Tahunan Pertanian.
Dinas Tanaman Pangandan Hortikultura Kabupaten
Wajo.Sulawesi Selatan.
Handari, Nuwawi dan Hartini Handari. 1995. Ilmu Administrasi. Galia
Indonesia.
Nazir, Moh. 1988. Metodologi Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Riduwan.
2008. Metode dan Teknik Penyusunan Tesis. Alfabeta.
Bandung.
Soehardjo A. dan Dahlan Patong. 1982. Sendi-sendi Usahatani.
Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Soejadmoko, 1984. Etik dalam Perumusan Strategi Penelitian Ilmu-Ilmu
Sosial.’dalam A. Kristyanto, ed. Metodologi Penelitian Pedesaan:
Koreksi dan Pembenaran. Rajawali Press. Jakarta.
Soekartawi. 1986. Ilmu Usahatani. UI-Press. Jakarta.
Sigoyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. ALFABETA. Bandung.
Wahab, SA. 1990. Pengantar Analisis Kebijakan Negaya. Rineka Cipta,
Jakarta.

You might also like