You are on page 1of 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Jantung
Jantung merupakan organ muskular berongga yang bentunya mirip piramida
dan terletak didalam pericardium di mediastinum. Perikardium melekat pada
sternum dan bagian mediastinal kanan dan kiri. banyak hubungan ke struktur
sekitarnya untuk menjaga kantung perikardial tetap berada di dalam toraks dan
dengan demikian membantu menjaga jantung tetap dalam posisinya Jantung
mempunyai ventrikel kanan dan kiri sebagai ruang pompa utama. Pada bagian
atrium sebagai mengantarkan darah ke ventrikel masing-masing (Lilly, 2016).
Jantung mempunyai 3 permukaan: facies stemocostalis (anterior), facies
diaphragmatika (inferior), dan basis cordis (posterior), jantung juga mempunyai
apex yang arahnya ke bawah, depan dan kekiri (Snell, 2015).
Empat katup utama di jantung normal mengarahkan aliran darah ke arah
depan dan mencegah kebocoran ke belakang. Katup atrio ventrikular (AV)
(trikuspid dan mitral) memisahkan atrium dan ventrikel, sedangkan katup semilunar
(pulmonal dan aorta) memisahkan ventrikel dari arteri besar (Semua katup jantung
kita menempel pada jantung brous kerangka, yang terdiri dari jaringan ikat padat.
Kerangka jantung memiliki fungsi sebagai perlekatan atau otot ventrikel dan atrium
(Lilly et al., 2016) Jantung memiliki berat sekitar 7-15 ons (200-425 gram) kira-
kira sebesar dari satu keplan tangan manusia. Jantung setiap harinya mampu
memompa sampai 100.000 kali dan dapat memompa darah sampai 7.571 liter yang
akan di edarkan ke seluruh tubuh melalui aorta (Fikriana, 2018).

Gambar 2.1 Bagian Bagian Jantung (Fikriana, 2018)

4
5

2.2 Tinjauan Infark Miokard Akut


2.2.1 Definisi Infark Miokard Akut
Infark miokard merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di
seluruh dunia karena adanya aterosklerosis yang tidak stabil (Thygesen et al.,
2007). Infark miokard disebabkan oleh adanya obstruksi akut arteri koroner.
Umumnya, obstruksi ini terjadi karena aliran darah sudah terganggu oleh kehadiran
plak aterosklerosis di arteri koroner. Aterosklerosis adalah proses peradangan
kronis pada dinding bagian dalam arteri sedang dan berukuran besar dan melibatkan
sel endotel vaskular, monosit, makrofag, limfosit T, sel otot polos pembuluh darah,
lipid, dan trombosit. Lesi aterosklerotik dimulai sebagai penebalan dalam dinding
arteri koroner (Saleh & Ambrose, 2018). Jika plak aterosklerosis ini pecah maka
akan menimbulkan agregasi platelet sehingga terbentuk oklusi trombotik hingga
menyebabkan nekrosis yang signifikan pada miokardium dan dapat berkembang
menjadi aritmia dan kematian jantung secara mendadak (Gusti et al., 2018).
Infark miokardial atau serangan jantung adalah gangguan aliran darah
secara tiba-tiba ke otot jantung atau miokardium yang disebabkan oleh
penyumbatan arteri koroner atau pendarahan dari pembuluh koroner yang rusak.
Jaringan yang disediakan oleh salah satu yang terkena sering rusak. karena jaringan
miokard tidak meregenerasi, jaringan yang rusak diganti dengan non-kontraktil
jaringan fibrosis, yang menjadi bekas luka permanen pada dinding jantung (Susan,
2014).
2.2.2 Epidemiologi Infark Miokard Akut
Menurut American Collage of Cardiology Penyakit kardiovaskular tetap
menjadi penyebab utama kematian di Amerika Serikat, bertanggung jawab atas
840.768 kematian (635.260 jantung) pada tahun 2016 dari 2006 hingga 2016, angka
kematian AS akibat penyakit kardiovaskular menurun sebesar 18,6% dan dari
penyakit jantung koroner sebesar 31,8%.
Menurut data dari WHO tahun 2004 terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%)
kematian terjadi akibat penyakit ini di seluruh dunia. Infark Miokard Akut
merupakan bagian dari Penyakit Jantung Koroner yang belakangan ini merupakan
salah satu jenis penyakit jantung yang sangat penting karena di derita oleh jutaan
orang dan merupakan penyebab kematian utama di beberapa negara (Muhammad
6

& Ardhianto, 2015). Angka ini diperkirakan meningkat hingga 11 juta orang pada
tahun 2020. Di Indonesia, kasus Infark Miokard semakin sering ditemukan
karena pesatnya perubahan gaya hidup. Meski belum ada data epidemiologis pasti,
angka kesakitan/kematiannya terlihat cenderung meningkat. Hasil Survei
Kesehatan Nasional tahun 2005 menunjukkan tiga dari 1.000 penduduk
Indonesia menderita Infark Miokard (PERKI 2015).
Jakarta kardiovaskular study pada tahun 2008 memperlihatkan prevalensi
infark miokard pada wanita sebesar 4,1 % pada pria sebesar 7,6 % data keseluruhan
5,29%. Kemudian terjadi peningkatan pada tahun 2000 sebanyak 1,2% peningkatan
selama tujuh tahun 4,09% rata-rata 0,6 % peningkatan pertahunnya (Fentia &
Mulyadi, 2015).
2.2.3 Etiologi Infark Miokard Akut
Penyebab infark miokard akut adalah penurunan aliran darah koroner.
Pasokan oksigen yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen, sehingga
terjadi iskemia jantung aliran darah koroner yang menurun bersifat multifaktorial.
Plak aterosklerotik secara klasik pecah yang dapat menyebabkan trombosis,
berkontribusi pada penurunan aliran darah di koroner secara akut. Etiologi lain dari
penurunan oksigenasi / iskemia miokard termasuk emboli arteri koroner, yang
terjadi pada 2,9% pasien, iskemia yang diinduksi kokain, diseksi koroner, dan
vasospasme koroner (Mechanic et al., 2020).
Aterosklerosis terjadi adanya aliran trubulen menyebabkan kerusakan lokal
pada intim, plak tersebut menonjol ke dalam lumen kaya akan kolestrol dan
mempunyai inti lipid yang dilapisi oleh selubung fibrosa bila selubung fibrosa
rupture (Neal, 2006). Terjadinya rupture dari plak akan mengaktivasi platelet yang
akan menyebabkan agregasi dan meningkatkan pembentukan trombin yang pada
akhirnya akan membentuk trombus yang dapat menyumbat pembuluh darah,
sehingga kebutuhan oksigen tidak terpenuhi yang akan menyebabkan angina tidak
stabil, Infark miokard atau stroke. Ketidak seimbangan antara kebutuhan oksigen
dan pemakaian oksigen miokard akan menimbulkan keluhan angina. Berkurangnya
oksigen secara absolut akan menyebabkan keluhan angina saat istirahat (angina
pektoris tidak stabil) dan bila disertai dengan nekrosis miokard yang mendadak
disebut infark miokard akut. Sementara itu, berkurangnya pasokan oksigen yang
7

relatif akan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard dan


menimbulkan keluhan hanya pada saat beraktivitas (angina pektoris stabil), tanpa
disertai nekrosis miokard (Halim & Adji, 2018).
2.2.4 Patofisiologi Infark Miokard Akut
Infark miokard akut didefinisikan dalam patologi sebagai kematian sel
miokard karena iskemia yang berkepanjangan. Setelah terjadinya iskemia
sedangkan kematian sel histologis tidak langsung terjadi, tetapi membutuhkan
periode waktu yang terbatas untuk berkembang menjadi plak - sedikitnya 20 menit
(Thygesen et al., 2020).
Plak aterosklerosis dalam pembuluh darah koroner akan terjadinya
penyempitan lumen pembuluh darah, plak aterosklerosis dilapisi oleh fibrosa tipis
sehingga sangat rentan rupture (Kurnia, 2020). Ruptur aterosklerotik menyebabkan
inflamasi monosit dan makrofag, pembentukan trombus, dan agregasi trombosit.
Sehingga dapat menyebabkan penurunan pengiriman oksigen melalui arteri koroner
yang akan mengakibatkan penurunan oksigenasi ke miokardium (Mechanic et al.,
2020). Thrombus yang menyumbat pembuluh darah koroner baik parsial maupun
total yang mengakibatkan kematian sel miokard. Nekrosis mulai berkembang
sekitar 15-30 menit setelah oklusi korener pada subendokardium daerah nekrotik
meluas kearah luar epikardium selama 3-6 jam setelahnya, antara 4 sampai 12 jam
setelah kematian sel dimula, miokardium yang mengalami infark mulai mengalami
koagulasi nekrosis yaitu suatu proses yang ditandai dengan adanya pembengkakan
sel, kerusakan organel, serta denaturasi protein. Setelah sekitar 18 jam neutrophil
(limfosit fagositik) memasuki infark, meningkatnya jumlah neutrofilsekitar 5 hari
dan kemudian menurun. Setelah 3-4 hari jaringan granulasi muncul ditepi zona
infark yang terdiri dari makrofak,fibroblas yang menyusun jaringan luka serta
kapiler baru. Saat jaringan granulasi bermigrasi kedalam menuju pusat infark
selama beberapa minggu, jaringan nekrotik akan di cerna oleh makrofag. Setelah 2-
3 bulan, infark telah sembuh meninggalkan wilayah non-kontrak di dinding
ventrikel yang menipis, mengeras dan berwarna abu-abu pucat (Aaronson, 2013).
8

Gambar 2.2 Patofisilogi IMA (Aaronson, 2013)

2.2.5 Manifestai Klinis Infark Miokard Akut


Kejadian IMA pada sekitar kurang lebih 50% pasien didahului dengan
serangan angina pektoris yang menimbulkan gejala nyeri dada. Akan tetapi pada
sebagian kecil 20% hingga 30% pasien IMA tidak memunculkan gejala nyeri dada
sehingga disebut Silent Acute Miokard Infarct (Muhammad & Ardhianto, 2015).
Nyeri dada yang terjadi pada IMA terasa berat seperti diperas, di daerah dada dan
atau epigastrium yang dapat menjalar ke lengan, kadang ke abdomen, punggung,
rahang bawah dan leher. Nyeri dada lebih dari 20 menit dan terus menerus, biasanya
timbul saat istirahat (Karuniawati et al., 2014).
Sebagian besar penderita infark miokard tampak cemas dan gelisah.
Seringkali ekstremitas tampak pucat disertai keringat dingin. Sekitar seperempat
pasien infark anterior dapat dijumpai manifestasi takikardi pada keadaan berat bisa
didapati irama gallop (bunyi jantung S3 dan S4) (Wahyudi & Gani, 2019).
9

2.2.6 Klasifikasi Infark Miokard Akut


Infark Miokard diklasifikasikan berdasarkan perbedaan patologis, klinis,
dan prognostik yang diusulkan di klasifikasikan menjadi 5 yaitu :
2.2.6.1 Tipe 1 (Infark Moikard Spontan)
MI tipe 1 adalah kejadian yang berhubungan dengan atherothrombosis,
termasuk pecahnya plak, ulserasi, fisura, erosi, atau diseksi, dengan mengakibatkan
trombus koroner di satu atau lebih coroner arteri. Kebanyakan pasien dengan
elevasi MI segmen ST (STEMI) dan banyak dengan elevasi MI segmen non-ST
(NSTEMI) masuk ST-segment Elevation Myocardial Infarction (Morrow, 2017).

Gambar 2.3 Infark Miokard Tipe 1 (Denmark et al., 2019)

a. STEMI
Infark miokard akut elevasi-ST (STEMI) adalah kejadian di mana
iskemia miokard transmural menyebabkan cedera miokard atau nekrosis
oleh karena oklusi trombosis total secara akut pada arteri coroner.
diakibatkan oleh rupturnya plak aterosklerosis yang mengakibatkan oklusi
total pada arteri koroner dan disertai dengan tanda dan gejala klinis iskemi
miokard seperti munculnya nyeri dada, adanya J point yang persistent,
adanya elevasi segmen ST serta meningkatnya biomarker kematian sel
miokardium yaitu troponin (cTn) (Priasmoro et al., 2017). Hal ini yang
menyebabkan kematian mendadak, sehingga merupakan suatu kegawat
daruratan yang membutuhkan tindakan medis secepatnya.
10

Gambar 2.4 Oklusi Total Pada STEMI (Morrow,2017)

b. NSTEMI
Sedangkan Penyebab dari NSTEMI ini ketidak seimbangan
penurunan darah secara tiba-tiba akibat trombosit coroner yang non oklousif
pada plak yang sudah ada, obstruksi dinamik (Spasme coroner /
vasokontriksi), obstruksi mekanik yang progresif serta inflamasi atau
infeksi. Serta ketidak seimbangan permintaan oksigen ke miokardium
terutama akibat penyempitan arteri coroner yang akan menyebabkan
iskemik local. Iskemik yang sementara akan menyebabkan reversible pada
tingkat sel jaringan. Terapi yang digunaan untuk menangani NSTEMI ini
antitrombotik dan revaskularisasi koroner ( Zaenal, 2017).

Gambar 2.5 Oklusi Parsial Arteri Koroner pada NSTEMI (Morrow, 2017)

2.2.6.2 Tipe 2 (Infark Miokard Sekunder Ketidak Seimbangan Iskemik)


Infark Miokard Akut tipe 2 didefinisikan sebagai IMA yang terjadi sebagai
akibat dari ketidak seimbangan antara suplai oksigen miokard dan permintaan, yang
dikontribusikan oleh kondisi lainnya dari CAD. Tipe 2 MI dapat terjadi di
pengaturan stabil yang mendasari aterosklerosis koroner itu ketidak cocokan
pasokan-permintaan kebutuhan oksigen miokard atau berkurangnya pengiriman
oksigen. Hal ini paling sering terjadi karena adanya penyakit arteri koroner, yang
11

membatasi peningkatan perfusi koroner pada kasus anemia berat, aritmia yang
signifikan, dan penyebab stres lainnya (Morrow, 2017).

Gambar 2.6 Infark Miokard Akut Tipe 2 (Denmark et al., 2019)

2.2.6.3 Tipe 3 (Kematian Jantung Disebabkan Oleh Infark Miokard)


Pada pasien sesekali yang memiliki gejala khas iskemia miokard tetapi nilai
cTnnya belum meningkat karena pasien meninggal sebelum nilai diukur atau yang
terserang kematian mendadak dengan bukti MI melalui otopsi (Bernard et al.,
2018).
Pendeteksian biomarker jantung dalam darah sangat penting untuk
menegakkan diagnosis infark miokard. Namun, pasien dapat mengetahui dari
iskemia / infark miokard, termasuk perubahan EKG iskemik atau fibrilasi ventrikel,
dan meninggal sebelum dilakukan pengukuran nilai enzim pada jantung. mungkin
untuk mendapatkan darah untuk penentuan biomarker jantung ataupun pasien
mungkin meninggal setelah timbulnya gejala atau sebelum terjadi peningkatan nilai
biomarker (Denmark et al., 2019).
2.2.6.4 Tipe 4 (Infark Miokard Yang Berhubungan Dengan Prosedur
Revaskularisasi)
Cedera atau infark miokard periprocedural dapat terjadi selama
revaskularisasi mekanis, baik dengan intervensi koroner perkutan (tipe 4) atau arteri
coroner bypass graft (CABG) (tipe 5). MI yang terkait dengan PCI lebih jauh
diklasifikasikan sebagai MI periprocedural (tipe 4a) dan trombosis stent (tipe 4b).
PCI dan MI terkait CABG adalah dengan ditentukan oleh ambang tertentu di atas
12

URL dalam hubungannya dengan adanya iskemia, hilangnya miokardium, atau


komplikasi klinis yang jelas (Morrow, 2017).
Iskemia dapat dikenali dari perubahan elektrokardiogram, temuan pada
prosedur pencitraan, atau sebagai akibat dari komplikasi terkait prosedur yang
menyebabkan aliran darah koroner berkurang. Pemilihan titik potong biomarker ini
didasarkan pada asumsi bahwa nilai cTn pra-prosedural memiliki baseline normal.
Pada pasien dengan peningkatan nilai pra-prosedural yang tingkat cTnnya stabil
(variasi ≤20%) atau menurun, nilai pasca-prosedur harus naik> 20% tetapi tetap
harus lebih dari 5 atau 10 kali URL (Morrow, 2017).
2.2.6.5 Tipe 5 (Infark Miokard dengan Cangkok Bypass Arteri Koroner )
Banyak faktor yang dapat menyebabkan cedera miokard prosedural selama
prosedur CABG diantaranya terkait dengan kardiak, luasnya cedera traumatis
miokardium, serta potensi cedera iskemik. Cedera atau infark miokard
periprocedural dapat terjadi selama revaskularisasi mekanis coronary artery bypass
graft (CABG) (tipe 5). Infark miokard yang berhubungan dengan CABG adanya
peningkatan nilai biomarker jantung 10 kali lebih besar dari pasien dengan
nilai-nilai dasar CTN normal, dengan peningkatan biomarker nilai jantung > 10x
URL persentil ke-99 pada pasien dengan nilai normal dasar cTn (≤ URL persentil
ke-99 (Denmark et al., 2019; Thygesen et al., 2012).
2.2.7 Faktor Resiko Infark Miokard Akut
Beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi Infark Miokard Akut
salah satunya dapat dimodifikasi (dapat diobati) dan lainnya tidak dapat
dimodifikasi (tidak bisa diubah) antara lain : (Rathore et al., 2018).
2.2.7.1 Faktor Resiko Tidak Dapat Dimodifikasi
a. Faktor Usia
Usia rata-rata untuk laki-laki yang memiliki serangan jantung
pertama akibat Infark Miokard Akut adalah usia 65,8 tahun sedangkan usia
rata-rata untuk perempuan adalah 70,4 tahun. Risiko terjadinya IMA
meningkat setelah umur >40 tahun pada laki-laki yaitu 49% dan
perempuan 32%, meskipun kejadian IMA bagi perempuan lebih lambat
10-20 tahun dari pada laki-laki (Susilo, 2015).
13

b. Jenis Kelamin
Pria cenderung mengalami serangan jantung lebih awal daripada
wanita. Tingkat serangan jantung wanita meningkat setelah menopause
tetapi tidak sama dengan tingkat pria. Meski begitu, penyakit jantung
merupakan penyebab utama kematian baik bagi pria maupun wanita, Hal
ini disebabkan karena hormon estrogen memiliki efek proteksi terhadap
terjadinya arterosklerosis (Susilo, 2015).
c. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dari infark miokard merupakan faktor risiko
independen untuk IMA. Beberapa varian genetik dikaitkan dengan
peningkatan risiko IMA dan riwayat keluarga AMI. Pasien Infark Miokard
Akut yang memeliki prevalensi keluarga akan meningkat menjadi
terjadinya IMA dua kali lipat (Shah & Kelly, 2016).
2.2.7.2 Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi
a. Merokok
Merokok dianggap sebagai faktor resiko kuat dari Infark miokard.
Merokok menyebabkan STEMI lebih awal terutama pada pasien yang lebih
sehat (Rathore et al., 2018). Merokok dapat menyebabkan inflamasi
pembuluh darah yang berakibat pada penyempitan pembuluh darah,
mengurangi aliran darah serta suplai oksigen ke organ termasuk jantung
yang dapat menyebabkan infark miokard. Merokok dapat menyebabkan
thrombosis coroner, pembentukan plak koroner dan destabilisasi plak,
aktivasi trombosis, kerusakan endotel serta spasme pembuluh darah
koroner melalui peningkatan pengeluaran katekolamin (Prihandani, 2019).
b. Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol dikaitkan dengan peningkatan akut risiko infark
miokard dalam satu jam berikutnya antara orang yang biasanya tidak minum
alkohol setiap hari. Alkohol mengganggu pengaturan eksitasi atau
inhibisi di otak, sehingga mengkonsumsi alkohol dapat mengakibatkan
terjadinya disinhibisi, ataksia dan sedasi. Efek farmakologis etanol
meliputi pengaruhnya pada proses timbulnya penyakit kardiovaskular
(Tritama, 2015).
14

c. Dyslipidemia
Dislipidemia, faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, secara
umum didefinisikan sebagai kadar kolesterol total, LDL, trigliserida.
Peningkatan kadar trigliserida dan partikel LDL padat dan kecil bertindak
sebagai faktor risiko predisposisi untuk infark miokard. Kadar kolesterol
total yang tinggi, LDL dan kadar HDL yang rendah merupakan faktor risiko
utama untuk penyakit aterosklerosis koroner (Rathore et al., 2018).
d. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan faktor risiko mapan untuk penyakit
kardiovaskular. Orang dengan diabetes mellitus tipe 2 memiliki morbiditas
dan kardiovaskular yang lebih tinggi kematian dan dipengaruhi oleh
kardiovaskular secara tidak proporsional dibandingkan dengan subjek non-
diabetes. Diabetes tipe 2 merupakan faktor risiko yang sama dengan
penyakit arteri koroner, seperti usia, hipertensi, dislipidemia,
obesitas,ketidak aktifan fisik dan stres, peningkatan prevalensi diabetes
secara tidak langsung berimplikasi pada peningkatan risiko penyakit arteri
koroner juga. Diabetes meningkatkan risiko penyakit jantung koroner
sebanyak dua sampai empat kali. Penderita diabetes menanggung risiko
aterosklerotik yang lebih besar penyakit vaskular di jantung serta di
vaskularisasi lainnya (Rathore et al., 2018).
Diabetes meningkatkan faktor risiko infark miokard dengan
meningkatkan laju perkembangan aterosklerotik dan mempengaruhi profil
lipid dan memfasilitasi pembentukan plak aterosklerotik. Diabetes juga
merupakan faktor risiko terjadinya kasus infark miokard fatalitas: yaitu
infark miokard lebih sering berakibat fatal pada penderita diabetes
dibandingkan dengan infark miokard pada mereka yang tidak menderita
diabetes (Rathore et al., 2018).
e. Hipertensi
Hipertensi meningkatkan risiko dari infark miokard dan semakin
tinggi tekanan, itu lebih besar risikonya. Ini adalah faktor risiko utama
penyebab aterosklerosis pada pembuluh darah coroner dengan
memperkeras arteri dan mendorong terbentuknya bekuan darah dan
15

aneurisme yang mengakibatkan serangan jantung atau infark miokard.


Hipertensi dan infark miokard sangat erat kaitannya (Qodir, 2016) .
Tekanan darah tinggi menyebabkan tekanan pada jantung dan
sirkulasi meningkat.Tekanan darah tinggi pada pembuluh nadi akan
merusak dinding pembuluh nadi dan merangsang timbulnya ateroma.
Jantung juga harus bekerja lebih keras untuk memompa darah yang
bertekanan tinggi tanpa suplai oksigen yang mencukupi akibatnya terjadi
hipertropi ventrikel terjadi di latasi dan payah jantung dengan semakin
terancam oleh semakin parahnya aterosklerosis koroner, hal ini
meningkatkan kemungkinan terkena Serangan angina atau serangan
infark miokard akut (Rathore et al., 2018).
f. Obesitas
Peningkatan berat badan secara langsung berhubungan dengan
kejadian miokard infark. Infark sangat ditingkatkan oleh obesitas ekstrim
karena merupakan faktor risiko infark miokard. Kegemukan dan obesitas
dapat mempengaruhi kesehatan, dan obesitas seseorang perlu dikendalikan
untuk mencegah IMA kelebihan berat badan merupakan salah satu faktor
resiko independent Infark Miokard Akut (Rathore et al., 2018).
Kelebihan berat badan dapat meningkatkan beban kerja jantung dan
kebutuhan akan oksigen. Besarnya suplai oksigen dengan kebutuhan akan
oksigen haruslah seimbang. Pengurangan suplai oksigen atau peningkatan
kebutuhan oksigen dapat mengganggu keseimbangan ini dan
membahayakan fungsi miokardium (Haryuni, 2015).
g. Stress
Kecemasan yang meningkat dapat meningkatkan resiko dari
serangan jantung dan stroke, Mekanisme patofisiologi stres emosional akut
masih belum jelas, tetapi di asumsikan terkait dengan stres hemodinamik di
arteri koroner dan pecahnya plak aterosklerosis, dengan akibatnya
thrombosis (Rathore et al., 2018).
h. Asam Urat
Penderita asam urat memiliki peningkatan risiko infark miokard.
Pada penderita asam urat, terjadi respon inflamasi terkait dengan asam urat
16

dan perkembangan aterosklerosis, yang mengarah ke akut koroner kejadian


seperti angina atau infark miokard (Rathore et al., 2018).
2.2.8 Komplikasi Infark Miokard Akut
2.2.8.1 Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik merupakan salah satu komplikasi umum dari Infark
Miokard Akut Penyebab terjadinya syok kardiogenik termasuk ruptur septum
ventrikel, pecahnya otot kapiler, dan dinding jantung (Bajaj, 2015). Syok
kardiogenik disebabkan oleh hilangnya jaringan miokard yang secara ekstensif dan
ditandai dengan tekanan sistolik <90 mmHg dan tekanan pengisian pusat > 20
mmHg atau indeks jantung <1,8 L / menit (Bernard, 2013).
Pasien yang mengalami syok kardiogenek terkait dengan IMA berada pada
risiko sangat tinggi kematian di rumah sakit dengan data dari register yang
mendokumentasikan kematian berkisar dari 45%-60%. Uji syok menunjukkan
secara definitif bahwa pasien yang lebih muda dari 75 tahun dengan syok infaksi
miokard yang menjalani PCI (Precutaneus coronary intervention) memiliki
mortalitas yang lebih rendah dibandingkan pada pasien yang dirawat secara
konservatif dengan terapi medis, termasuk trombolisis (Allen, 2010).
2.2.8.2 Gagal Jantung
Gagal jantung terjadi di sebagian besar rumah sakit penerimaan di antara
orang-orang yang lebih tua dengan umur > dari 65 tahun yang mempunyai
prognosis yang buruk.1 Meskipun meliputi etiologinya berbagai kondisi, penyakit
jantung koroner (PJK), 2 khususnya, infark miokard akut (IMA), 3 penyebab yang
mendasari terjadinya Gagal jantung setelah IMA (Sulo et al., 2016).
Gagal jantung akut sering terjadi setelah infark miokard akut dengan elevasi
segmen ST (STEMI) Banyak ujiklinis menunjukkan bahwa pasien dengan bukti
klinis gagal jantung atau dengan adanya disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah
IMA memiliki prognosis yang buruk. Infark miokard mengganggu fungsi
miokardium karena menyebabkan menurunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan
abnormalita gerakan dinding jantung, dan menguba daya kembang ruang
jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel, terutama ventrikel
kiri,maka besar volume sekuncup berkurang sehingga volume sisa ventrikel
meningkat. Hal ini akan meningkatkan tekanan jantung (Dewi et al., 2017).
17

2.2.8.3 Aritmia
Menurut asbir 2020 Aritmia merupakan gagungan kecepatan dari proses
depolarisasi, repolarisasi, atau bisa keduanya. Gangguan otomatis berupa
percepatan atau perlambatan pada nodus sinus, misalnya pada sinus akikardi
maupun sinus bradikardi (Asbir, 2020).
Infark miokard akut menyebabkan gangguan elektrofisiologis yang semula
-80 mV menjadi -60mV dan penurunan dari kecepatan konduksi sehingga akan
menimbulkan aritmia. Aritmia yang timbul pada pasien IMA biasanya ventricular
fibrilasi atau aritmia ventricular maglina yang paling banyak menyebabakan
kematian pada pasien IMA (Aditya, 2018).
2.2.8.4 Aneurisma Ventrikel
Aneurisma dibentuk oleh penonjolan tebal dinding ventrikel yang sering
mengenai permukaan posterior atau diafragma dari pada dinding apical atau lateral.
Sebaliknya, aneurisma ventrikel dibentuk oleh pecahnya dinding ventrikel, yang
terdapat di perikardium dan sekitarnya. Infark miokard inferior dan anterior terjadi
dengan frekuensi yang hampir sama (Sattar, 2020).
Gambaran EKG kedua jenis aneurisma ini berupa elevasi segmen-ST
persisten dan gelombang Q patologis yang muncul mengikuti episode IMA
sebelumnya. Elevasi segmen-ST biasanya terbatas pada sadapan I, aVL, dan V1
– V6, dipengaruhi oleh lokasi tersering aneurisma (Banjuradja, 2017)
2.2.8.5 Perikarditis
Peradangan perikardial setelah infark miokard dapat terlihat akut setelah 3
hingga 10 hari setelah terjadinya infark miokard transmural, disebut perikarditis
per-infark atau inflamasi yang dimediasi imun setelah 1 hingga 8 minggu disebut
sebagai sindrom infark pasca miokard. Nyeri perikarditis dapat disalah artikan
sebagai akibat angina pasca infark atau infark rekuren. Sifat khas nyeri pada
penderita pericarditis ini sangat khas (Sondhi et al., 2017). Temuan khas pada
auskultasi jantung adalah pericardial friction rub (pada 85% kasus). Bunyi ini
terjadi akibat friksi kedua lapisan perikardium yang mengalami inflamasi,
terdengar seperti suara goresan bernada tinggi (Willim & Supit, 2019)
18

2.3 Pemeriksaan Penunjang Infark Miokard Akut


Pemeriksaan diagnostik utama pada pasien Infark Miokard Akut (IMA)
adalah EKG serta pemeriksaan enzim jantung (Muttaqin, 2009).

2.3.1 Pemeriksaan Elektrokardiogram Infark Miokard Akut


Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai elektrofisiologi
jantung dengan melalui pembacaan dari wakatu ke waktu, dengan memantau
perkembangan serta resolusi suatu Infark Miokard Akut (Muttaqin, 2009).
Perubahan EKG pada Infark Miokard Akut (IMA) pada segmen ST dan gelombang
T diakibatkan karena iskemia dan akan menghilang sesudah jangka waktu tertentu.
Infark miokard akut sering dikaitkan dengan perubahan dinamis dalam
bentuk gelombang EKG dan akuisisi EKG serial dapat memberikan informasi
penting, terutama jika EKG pada presentasi awal non-diagnostik. Merekam
beberapa EKG standar dengan posisi elektroda tetap di Interval 15-30 menit untuk
awal 1 - 2 jam, atau penggunaan kontinu perekaman EKG 12-lead berbantuan
komputer (jika tersedia) untuk dideteksi perubahan EKG dinamis, wajar untuk
pasien dengan persisten atau gejala berulang atau EKG non-diagnostik awal
(Denmark et al., 2019).

Gambar 2.7 EKG pada NSTEMI dan STEMI (Morrow,2017)

2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium Infark Miokard Akut


Pemeriksaan enzim pada jantung dalam plasma merupakan bagian dari
profil diagnostic yang meliputi gejala, riwayat, dan elektrokardiogram untuk
mendiagnosis infark miokardium (Muttaqin, 2009). Tes troponin jantung
sensitivitas tinggi (cTn). Kadar serum troponin jantung IM mulai meningkat 3
sampai 4 jam setelah onset ketidaknyamanan, puncaknya antara 18 dan 36 jam dan
kemudian menurun secara perlahan sehingga memungkinkan deteksi hingga 14 hari
setelah infark miokard besar. dengan demikian, pengukurannya dapat membantu
19

untuk mendeteksi infark miokard selama hampir 2 minggu setelah kejadian tersebut
terjadi (Lilly, 2011).
Tes ini secara substansial telah mengubah cara evaluasi infark miokard
berlangsung, meskipun kriteria klinis untuk infark miokard tidak berubah. Ini masih
ditentukan oleh cedera miokard yang dideteksi oleh biomarker jantung abnormal
dalam pengaturan iskemia miokard akut. Namun, peningkatan sensitivitas uji cTn
telah mengungkap fakta bahwa ada sejumlah besar keadaan di mana cedera miokard
dapat muncul sebagai suatu entitas dengan sendirinya tanpa adanya penyakit
jantung iskemik akut (Allans et al., 2018). Peningkatan kadar troponin selain dari
akibat STEMI dan NSTEMI ada bebrapa faktor yang mempengaruhi yaitu :
1. Takiaritmia atau bradiaritmia
2. Mikokarditis
3. Dissecting aneurysm
4. Emboli paru
5. Gangguan ginjal akut dan kronik
6. Stroke atau perdarahan subarachnoid
7. Penyakit kritis terutama pada sepsis
2.3.3 Kreatinin Kinase pada Infark Miokard Akut
Kreatinin kinase ditemukan di jantung, otot rangka, otak, dan banyak organ
lainnya, konsentrasi serum enzim dapat meningkat setelah cedera pada salah satu
jaringan ini. CK-MB terdapat di jantung CK-MB juga membuat 1% sampai 3% dari
kreatinin kinase di otot rangka. Peningkatan CK-MB sangat menandakan cedera
miokard. Diagnosis MI dengan peningkatan CK-MB adalah umum untuk
menghitung rasio CK-MB total kreatinin kinase. Rasio biasanya> 2,5% dalam
keadaan cedera miokard dan kurang dari itu ketika peningkatan CK-MB dari
sumber lain tingkat serume CK-MB mulai naik 3 hingga 8 jam setelah infark
memuncak pada 24 jam dan kembali ke normal dalam 48 hingga 72 jam (Lilly,
2011).
Untuk mendokumentasikan karakteristik naik turunnya konsentrasi CK-
MB, sampel darah harus diambil setiap 4 sampai 8 jam. Meskipun CK-MB tidak
sensitif atau spesifik untuk jantung sebagai biomarker seperti cTn, konsentrasi
darahnya menurun lebih cepat daripada cTn, yang menjadikannya biomarker
20

pilihan untuk mengevaluasi dugaan infark yang berulang pada pasien yang
mengalami nyeri dada berulang dalam beberapa hari setelah terjadi infark miokard
(DiPiro, 2015).

Gambar 2. 8 Waktu Timbulnya Berbagai Jenis Marka Jantung (Bernard, 2013)

2.4 Penatalaksanaan Terapi Infark Miokard Akut


Terapi yang diberikan pada pasien IMA bertujuan untuk meminimalisir
infark yang terjadi, mencegah komplikasi, menghambat progresivitas iskemia
miokardium, dan mencegah kematian. Upaya utama yang dilakukan setelah
serangan IMA adalah melancarkan kembali aliran darah pembuluh darah koroner
yang tersumbat dengan terapi reperfusi, sehingga dapat kembali menyeimbangkan
antara kebutuhan dan suplai oksigen miokardium sehingga akan meminimalkan
infark yang terjadi dan fungsi miokardium dapat dipertahankan. Terapi reperfusi
yang dilakukan pada pasien IMA dapat berupa Percutaneous Coronary
Intervention (PCI) atau dengan menggunakan fibrinolitik. Namun pemilihan terapi
tersebut sangat bergantung pada lamanya waktu sejak onset dari simptom sampai
memperoleh terapi reperfusi, kontraindikasi dan efek samping perdarahan pada
pasien serta lamanya waktu yang diperlukan untuk merujuk pasien menuju sarana
kesehatan yang mampu melaksanakan PCI (Parung et al., 2015).
Apabila saat dilakukan rujuk ke RS Total waktu saat terjadinya iskemik harus
dipertahankan 120 menit tetapi idealnya selama 60 menit sehingga diberikan PCI
selama 90 menit atau kurang serta PCI lebih aman di banding dengan fibrinolisis
(Reed et al., 2017). Apabila diperlukan waktu > 120 menit, maka harus segera
21

diberikan terapi reperfusi dengan fibrinolitik dalam waktu ˂ 30 menit untuk pasien
dengan onset iskemia antara 12-24 jam (Parung et al., 2015).
Fibrinolitik dibagi menjadi non-fibrin dan fibrin. Kelompok non-fibrin adalah
Streptokinase dan Urokinase; sedangkan yang spesifik Alteplase, Tenecteplase, dan
Reteplase itu fibrinolitik yang direkomendasikan untuk STEMI oleh PERKI adalah
Streptokinase, Alteplase, dan Tenecteplase (Novrianti et al., 2020).
Pada dasarnya banyak pilihan dalam penatalaksanaan infark miokard.
Penatalaksanaan yang konvensional adalah dengan tirah baring, pemberian
oksigen, pengobatan terhadap aritmia yang terjadi, penggunaan obat –obatan
trombolitik untuk menghancurkan oklusi yang terjadi (Wahyudi & Gani, 2019).
2.5 Terapi Farmakologi Infark Miokard Akut
Standart terapi medis dan rekomendasi untuk perawatan awal dari pasien
NSTEMI dan STEMI berfokus kepada penanganan gejala awal, pengurangan
cedera iskemik dan kebutuhan oksigen miokard, dan penggunaan agen antiplatelet
yang dipandu dengan waktu angiografi koroner invasive (Harrington et al., 2018).
2.5.1 Terapi NSTEMI
Manajemen terapi pada NSTEMI bertujuan menghilangkan iskemia dan
mencegah berulangnya iskemia yang lebih jelek. Hal ini dapat dicapai dengan
pemberian terapi anti iskemia, antiplatelet dan antitrombin. Pembedaan risiko akan
membantu menetapkan pasien untuk tindakan konservatif atau invasif dini (Halim
& Adji, 2018). Non-ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) dapat diberikan
terapi obat-obatan atau juga bisa dengan prosedur revaskularisasi dengan
Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA) keuntungan dari
penggunan in lebih baik dari pada diberi metode operasi Bypass (Zainal, 2017).
Menurut ACC/AHA pengobatan awal mencakup : oksigen intranasal (jika
saturasi oksigen <90%), SL NTG (terapi IV untuk pasien tertentu), Aspirin,
penyekat β oral (terapi IV opsional), serta antikoagulan (UFH, Enoxaparin,
Fondaparinux, atau Bivalirubin). Morfin juga diberikan pada pasien dengan angina
refrakter diberikan saat pasien masih dalam keadaan darurat (DiPiro, 2009).
Enoxaparin, UFH, Fondaparinux, atau Bivalirudin untuk strategi invasif dini;
Enoxaparin atau Fondaparinux lebih disukai jika tidak ada angiografi / PCI yang
direncanakan tetapi UFH dapat diterima; Fondaparinux lebih disukai jika berisiko
22

tinggi untuk pendarahan; Antikoagulan pilihan UFH untuk pasien yang menjalani
CABG. Pada pasien tidak mungkin menjalani CABG. Mungkin memerlukan dosis
tambahan IV. Membutuhkan bolus UFH tambahan untuk PCI. Untuk tanda dan
gejala iskemia berulang. Enoxaparin SC atau UFH dapat dilanjutkan dengan dosis
yang lebih rendah untuk profilaksi tromboemboli vena (DiPiro, 2009).

NSTEMI

Oksigen (jika saturasi ≤ 90%), SL NTG, Aspirin, IV Nitrogliserin,


Morfin Sulfat, antikoagulan (seperti IV UFH, Enoxaparin, atau IV
Bivalirudin), Clopidogrel, β-blocker

PCI (< 12 jam pada PCI tertunda → > 12 jam Tidak dilakukan PCI
pasien berisiko tinggi) (pada pasien berisiko
rendah)
β-blocker, Statin, ACE
Abciximab atau
eptifibatide → dimulai Inhibitor atau ARB
β-blocker, Statin, ACE
saat PCI untuk pasien Inhibitor, NTG,
penerima UFH, antikoagulan
Enoxaparin Penderita berisiko tinggi
atau sedang

Stress Test
β-blocker, Statin, ACE
Inhibitor atau ARB Eptifibatide atau
Tirofiban → sebelum
dan saat PCI NTG, Abciximab, Eptifibatide
antikoagulan (dengan UFH atau
Dilanjutkan pemberian
Abciximab (12 jam), Enoxaparin) atau
Eptifibatide (24 jam), Bivalirudin saat PCI
NTG, antikoagulan

Gambar 2.9 Algoritma Terapi IMA dengan NSTEMI (DiPiro, 2009)

2.5.2 Terapi STEMI


Manajemen terapi STEMI adalah untuk memulihkan aliran darah miokard,
untuk menyelamatkan jantung, dan untuk mengurangitingkat kematian. Bisa jadi
reperfusi arteri coroner dilakukan dengan pemberian intervensi PCI atau fibrinolitik
tidak hanya dengan pemberian PCI atau fibrinolitik pada pasien STEMI juga di
23

berikan terapi pendukung untuk menjaga kondisi pembuluh darah setelah


pemberian reperfusi antara lain: Antitrombotik agen dengan tujuan untuk
memperkuat kondisi arteri setelah terapi perfusi dan mengurani potensi
pembentukan thrombus di pembuluh darah (Novrianti et al., 2020).
American College of Cardiology Foundation / Pedoman American Heart
Association (ACCF / AHA) merekomendasikan bahwa semua pasien dengan
STEMI dan tanpa kontraindikasi diberikan oksigen intranasal (jika saturasi oksigen
rendah), sublingual (SL), Nitrogliserin (NTG), Aspirin, P2Y12 platelet inhibitor,
dan antikoagulasi dengan Bivalirudin, Unfractionated heparin (UFH), atau
Enoxaparin (DiPiro, 2015).

STEMI

Oksigen (Jika saturasi O2 < 90%) SL


NTG, Aspirin, Morphine, Sulfativ
NTG

Gejala < 12 jam Gejala > 12 jam

Terapi referfusi

Statin dengan intensitas tinggi

PCI Fibrinolisis PCI atau CAGB


atau pemberian
Clopidogrel, Prasugrel, Clopidogrel , Fibrinolitik
atau Ticagrelor Statin

Bivalirudin, Heparin IV UFH dan SC


dengan penghambat Enoxaparin
reseptor GP IIb/IIIa

β-Blocker, ACE inhibitor / ARB), Eplerenone atau Spironolakton

Gambar 2.10 Algoritma Terapi IMA dengan STEMI (DiPiro, 2015)


24

2.5.3 Terapi Oksigen


Pemberian terapi oksigen ini adalah ketika terjadi penurunan aliran darah
pada jantung, pemberian oksigen akan meningkatkan tekanan perfusi koroner
sehingga meningkatkan oksigenasi pada jaringan jantung yang mengalami
iskemik atau memperbaiki ketidak seimbangan oksigen di jantung (Rachmawati,
2017).
Pemberian terapi ini juga merupakan alah satu tindakan untuk mencegah
perluasan Infark Miokard Akut dan nyeri dada adalah terapi oksigenasi. Terapi
oksigen bertujuan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan tetap adekuat dan
dapat menurunkan kinerja miokard akibat kekurangan suplai oksigen
(Widyaresmi, 2018). Saturasi oksigen adalah presentasi hemoglobin yang
berikatan dengan oksigen dalam arteri, saturasi oksigen normal adalah antara
95 – 100 %. Pada neonatus dengan gangguan sistem pernafasan akan mengalami
perubahan pada oksigenasinya (Andarmoyo,2012).
2.5.4 Nitrat
Terapi golongan nitrat untuk mengobati angina, keuntungan terapi nitrat
terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan berkurangnya preload dan
volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi oksigen miokardium
berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang
normal maupun yang mengalami aterosklerosis (PERKI, 2015). Nitrogliserin
mempunyai efek vasodilatasi koroner dan perifer yang mengakibatkan penurunan
kebutuhan oksigen miokard dan meningkatkan penghantaran oksigen ke miokard.
Untuk menghilangkan nyeri yang dihubungkan dengan iskemia dapat diberikan
nitrogliserin di bawah lidah setiap 5 menit sampai 3 dosis (Halim & Adji, 2018).
Pemberian golongan nitrat saja diindikasikan pada fase akut untuk
mengatasi hipertensi atau kegagalan jantung atau untuk menghilangkan gejala
anginanya. Manfaat pemberian nitrat dalam jangka panjang belum jelas, nitrat tidak
diberikan di luar 48 jam pertama, keculai terdapat angina atau kegagalan ventrikel
(Bernard, 2013).
Obat pertama kali melepaskan ion nitrit (NO2-) merupakan proses yang
membutuhkan tiol jaringan. Di dalam sel, NO2- diubah menjadi nitrat oksida (NO)
yang kemudian mengaktivasi guanilat siklase yang menyebbakan peningkatan
25

konsentrasi guanosisn monofosfat siklik (cGMP) intraseluler pada sel otot polos
vaskuler. cGMP menyebabkan relaksasi secara cepat tidak jelas, tetapi hal tersebut
akhirnya menyebabkan defosforilisasi myosin rantai pendek kemungkinan dengan
menurunkan konsentrasi ion Ca2+ bebas dalam sitosol (Neal, 2006).

Table II.1 Obat Golongan Nitrat (PERKI,2015)

Golongan obat nitrat Dosis


Isosorbide dinitrat (ISDN) Sublingual 2,5-15 mg (onset 5 menit)
Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Intravena 1,25-5 mg/jam
Isosorbid 5 monotrate Oral 2x20 mg/hari
Oral (slow release) 120-40 mg/hari
Nitroglycerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg -1,5 mg
(Trinitrit, TNT,Glyceryl trinitrat) Intravena 5-200 mcg/menit

2.5.5 Terapi Analgesik


Morfin saat ini digunakan dan direkomendasikan untuk pengobatan nyeri
dada selama infark miokard, infark miokard berulang dan gagal jantung tampaknya
lebih sering bila Morfin digunakan sebelumnya PCI (Bonin et al., 2018).
Pasien dengan hipersensitivitas Morfin tidak bisa diberikan analgesik
golongan Morfin (Thygesen et al., 2012). Untuk infark miokard, BNF
merekomendasikan 5 sampai 10 mg dapat diberikan melalui injeksi intravena
dengan kecepatan 1 untuk 2 permadani / menit diikuti dengan 5 sampai 10 mg jika
perlu, untuk pasien manula atau pasien yang lemah diberikan setengah dari dosis
ini (Martindale, 2014).
Efek samping yang terjadi saat pemberian Morfin salah satunya mual,
muntah, sembelit. Mual dan muntah yang terjadi sebagai efek samping Morfin,
disebabkan oleh akibat Morfin menstimulasi pada pusat muntah di bagian otak
medulla oblongata. Ketika pusat muntah menerima rangsangan impuls afferen
dari CTZ dimana melalui stimulasi langsung maupun tidak pada saluran
pencernaan (Annisa et al., 2020).
2.5.6 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang diperlukan dalam
terapi STEMI ketika PCI primer tidak dapat tepat waktu dilakukan. Pemberian
fibrinolitik dapat mencegah 30 kematian per 1000 pasien yang dirawat dalam enam
jam setelah gejala awal. Terapi harus diberikan dalam 12 jam gejala awal jika PCI
26

primer tidak mungkin dilakukan dalam 120 menit setelah diagnosis STEMI dan bila
ada tidak ada kontraindikasi. Idealnya diberikan dalam waktu 30 menit setelah
timbulnya gejala (Novrianti et al., 2020).
Obat fibrinolitik digunakan secara luas pada infark miokard untuk
melisiskan trombi yang menghambat arteri koroner. Obat ini diberikan secara infus
intravena dan menyebabkan referfusi pada sekitar 50% arteri, bila diberikan dalam
3 jam. Streptokinase adalah litik yang bukan spesifik fibrin dan tidak mempunyai
aktivitas enzimatik intrinsik sehingga harus membentuk kompleks dengan
plasminogen. Streptokinase (dan Urokinase) menurunkan fibrinogen dalam
sirkulasi sehingga menghasilkan keadaan lisis yang sistemik. Apabila obat
trombolitik khususnya Streptokinase digunakan bersama Aspirin oral akan
menurunkan mortalitas (Halim & Adji, 2018).
Alteplase merupakan aktivator plasminogen tipe jaringan pada manusia,
yang dihasilkan oleh teknologi DNA rekombinan. Alteplase tidak menyebabkan
reaksi alergi dan dapat digunakan pada pasien dimana infeksi streptokokus yang
baru terjadi atau penggunaan streptokinase yaitu pasien yang mungkin mengalami
kegagalan reperfusi karena efek antibodi penetralisisasi atau pasien yang
mempunyai resiko anafilaksis. Alteplase Ini memiliki waktu paruh awal 4 hingga
5menit dan waktu paruh terminal sekitar 40 menit (Neal, 2006).
Rateplase (rPA) agen khusus fibrin hanya bolus dan Tenecteplase adalah
mutan jaringan plasminogen activator (tPA) yang mencapai patensi pembuluh
darah agen khusus non-fibrin (Streptokinase dan Urokinase) dan manfaat mortalitas
yang serupa tetapi dengan perdarahan sistemik yang lebih sedikit dibandingkan
infus Tpa (Bernard, 2013).

Table II.2 Obat Golongan Fibrinolitik (PERKI, 2015)

Golongan fibrinolitik Dosis


Streptokinase 1,5 um over 30-60 min IV
Alteplase 15 mg IV bolus
Reteplase 10 unit IV bolus
Tenecteplase 30 mg jika < 60 kg, 35 mg jika 60-
<70 kg, 40 mg jika bb 70 -<80 kg, 45
mg jika BB 80 - < 90 kg, 50 mg - >
90 kg.
27

2.5.7 Calcium Channel Blocker (CCB)


Pemberian CCB digunakan untuk meredakan gejala iskemik pada pasien
yang memiliki kontraindikasi terhadap β-blocker. Nifedipin dan Amplodipin
mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node
atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA
(PERKI, 2015).
CCB bekerja secara langsung sebagai vasodilator koroner. Efek yang
bermanfaat disebabkan karena penurunan kebutuhan oksigen miokard dan
memperbaiki aliran darah ke miokard. Tidak semua penyekat kanal kalsium bekerja
dengan cara yang sama dan harus diperhatikan dalam menentukan jenis yang
dipilih. Penyekat kanal kalsium dapat digunakan untuk mengontrol keluhan yang
berhubungan dengan iskemia pada pasien yang tidak berespon atau tidak toleransi
terhadap nitrat dan penyekat (kelas I dengan tingkat bukti B) (Halim & Adji, 2018).
Verapramil bekerja dengan memblok kanal kalsium tipe L dan mempunyai
efek khusus yang sangat kuat pada AVN, dimana kondisi seluruhnya tergantung
pada spike kalsium. Verapramil juga menghambat Ca2+ selama fase plateu dari
potensial aksi sehingga mempunyai efek inotropik negative. Verapramil dan
diltiazem menekan nodus sinus yang menyebabkan bradikardia yang ringan.
Verapramil terikat terutama oleh (DiPiro, 2015).
Verapamil dan diltiazem akan menyebabkan kontraindikasi pada pasien
dengan bradikardia dan penyakit konduksi yang sudah ada sebelumnya. Verapamil
dan Diltiazem harus digunakan dengan hati-hati dalam kombinasi dengan obat lain
yang menekan konduksi nodus AV (misalnya, penyekat β dan Digoxin) (Marie,
2019).
Nifedipin mempunyai pelepasan yang cepat, hal ini harus dihindari karena
telah menunjukkan aktivasi simpatis refleks, takikardia, dan memperburuk iskemia
miokard.
Table II.3 Obat Golongan CCB (PERKI,2015)
Penghambat kanal kalsium Dosis
Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis
Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis
Nifedipine (Long acting) 30-90 mg/hari
Amplodipine 5-10 g/hari
28

2.5.8 Antiplatelet
Antiplatelet menjadi salah satu obat penting untuk pencegahan sekunder
pada pasien pasien yang menderita penyempitan pembuluh darah koroner (Firdaus,
2016). Obat antiplatelet mengurangi agregasi platelet dan thrombosis arteri, pada
arteri dengan atheroma plak yang kemungkinan rupture yang mempunyai banyak
lemak yang di selubungi oleh fibrosa tipis. Rupturnya selubung fibrosa membuat
kolagen subendotel terpapar sehingga mengaktifasi platelet dan menyebabkan
agregasi (Martindale, 2014).
Hal yang harus diperhatikan pada pemberian antiplatelet yaitu memastikan
obat dikonsumsi sesudah makan dan memperhatikan tanda-tanda gastritis atau feses
yang menjadi hitam. Hindari penggunaan dua macam antiplatelet (Dual anti
platelet) tanpa indikasi kecuali untuk pasien-pasien PJK pasca pemasangan stent
yang diberikan dua macam antiplatelet selama 1 tahun (Firdaus, 2016).
Table II.4 Obat Golongan Antiplatelet (ACC/AHA, 2008)

Terapi antiplatelet Dosis


Aspirin / Asetosal 165-325 mg load before procedure
81-325 mg daily maintenance dose
81 mg daily is the preferred
maintenance dose
Clopidogrel 600 mg
Prasugrel 60 mg
Ticagrelor 180 mg

a. Aspirin
Aspirin bekerja menghambat acetyl cyclooxygenase (COX-1) dalam
platelet secara menetap sehingga mencegah pembentukan thromboxane A2
dan menurunkan agregasi platelet. Sejumlah penelitian menunjukkan efek
yang bermanfaat dari aspirin pada pasien sindroma koroner akut. Aspirin
mempunyai efektivitas terbatas terbatas pada 10-20% pasien yang
menggunakan Aspirin tetap mengalami kekambuhan kejadian vascular.
Penelitian yang dilakukan oleh Eikelboom dan Hengki pada tahun 2003
menunjukkan bahwa Aspirin gagal mencegah lebih dari 81% kejadian
kekambuhan vascular yang serius pada pasien berisiko tinggi meskipun
telah memakai aspirin (Yunita et al., 2015).
29

b. Clopidogrel
Pasien yang menjalani PCI primer diberikan golongan reseptor inhibitor
P2Y12 seperti Clopidogrel, Prasugrel atau Ticagrelor. Clopidogrel
mengurangi agregasi dengan menghambat efek ADP pada platelet secara
irreversibel, Clopidogrel mempunyai efek sinergis bila diberikan bersama
Aspirin (DiPiro, 2015). Clopidogrel secara kompetitif dan irreversibel
menghambat adenosine diphospate (ADP) P2Y12 reseptor. Adenosine
diphosphate yang berikatan dengan P2Y12 reseptor menginduksi perubahan
ukuran platelet dan melemahkan agregasi platelet sementara (Firdaus,
2016).
Pemberian dengan dosis 300 mg secara peroral untuk fibrinolisis atau
tidak reperfusi untuk pasien <75 tahun. Dosis 600 mg dapat digunakan jika
dimulai 24 jam setelah fibrinolisis (Bernard, 2013). Clopidogrel peroral 75
mg/hari ditambah Aspirin pada pasien IMA yang menerima terapi
fibrinolitik. Apabila Clopidogrel diberikan dosis 75 mg diberikan dalam
dosis tunggal dan dikonsumsi jangka panjang dengan pantauan klinik tiap
3-6 bulan sebagai maintenance dose (Firdaus, 2016). Clopidogrel
mengurangi agregasi dengan menghambat efek ADP pada platelet secara
ireversibel. Clopidogrel akan mempunyai efek sinergis apabila
pemberiannya bersamaan dengan Aspirin, Aspirin mempunyai efek
antiplatelet yang relative lemah bila di berikan sendiri. Onset dari
Clopidogrel terjadi dalam 2 jam setelah pemberian dosis 600 mg sedangkan
dosis 300 mg akan mencapai onset dalam 6 jam (Marie et al., 2019).
c. Prasugrel
Prasugrel memegang peranan penting dalam pengobatan penderita
dengan STEMI. Prasugrel merupakan golongan baru thienopyridine
(prodrug) generasi ke-3 yang permulaan kerjanya lebih cepat dan
penghambatan plateletnya lebih kuat dibandingkan Clopidogrel oleh karena
kurangnya ketergantungan Prasugrel terhadap sitokrom P450 (Bernard,
2013). Onset dari Prasugrel dicapai dalam 1–1,5 jam setelah pemebrian oral
dengan dosis 60 mg (Marie et al., 2019). Prasugrel harus dihentikan
30

setidaknya 7 hari ketika pasien direncanakan pembererian CAGB kecuali


revaskularisasi urgensi melebihi risiko pendarahan (Rampengan, 2015).
d. Ticagrelol
Ticagrelol salah satu golongan antiplatelet non-thienopyridine dari
cyclopentyl triazolopyrimidinines dengan mekanisme kerja yang berikatan
pada reseptor P2Y12 yang mengakibatkan adanya sifat ikatan yang
reversible pada Ticagrelol. Pemberian Ticagrerol dilakukan tanpa
memandang strategi pengobatan awal, pemberian Ticagrelol juga dilakukan
pada pasien yang sudah mendapat terapi Clopidogrel tetapi apabila
diberikan terapi Ticaglerol maka terapi Clopidogrel dihentikan. Ticagrelol
direkomendasikan untuk semua pasien dengan resiko kejadian iskemik
sedang hingga tinggi misalnya pada peningkatan troponin dengan dosis
loding 180 mg dilanjutkan 90 mg dua kali sehari (PERKI, 2015).
Ticagrelol memiliki onset of action 30 menit setelah pemberian oral
serta mempunyai duration of action hingga 3-4 hari. Metabolisme
Ticagrelol terutama terjadi di hati oleh sitokrom P450 enzim CYP3A4 untuk
eliminasi metabolitnya melalui sekresi billier.Ticagrelol mempunyai waktu
paruh 7 jam sedangkan metabolitnya mempunyai waktu paruh 9 jam
(Medikamen, 2013).
2.5.9 Antikoagulan
a. Heparin
Heparin diberikan secara subkutan atau infus intravena untuk
mengurangi thrombosis vena pada pasien infark miokard. Efek
antikoagulannya membutuhkan keberadaan antitrombin III suatu inhibitor
protease dalam darah yang membentuk kompleks dengan thrombin,
komplek heparin-antitrombin III juga menghambat faktor Xa dan beberapa
faktor lainnya (Neal, 2006).
Pedoman yang merekomendasikan bolus awal 60–70 IU / kg hingga
maksimum 5000 IU, diikuti dengan infus 12-15 IU / kg / jam. Penggunaan
antikoagulasi parenteral tambahan sebelum maupun sesudah fibrinolysis di
ST-elevasi ACS dengan pemberian antikoagulasi sampai diberikannya
31

revaskularisasi, pemberian koagulan setidaknya selama 48 saat ditanagani


secara medis (Onwordi et al., 2018).
b. Warfarin
Terapi antikoagulan harus dimulai dalam keadaan darurat kemudian
dilanjutkan selama 48 jam atau lebih pada pasien tertentu yang akan
menerima antikoagulasi Warfarin setelah infark miokard. Warfarin aktif
diberikan secara oral, Warfarin memblok karboksilasi ˠ yang tergantung
vitamin K dari resido glutamate menyebabkan produksi faktor VII, IX, X
dan prototrombin (II) yang termodifikasi. Pemberian Warfarin secara oral
di absorbsi dengan baik, sedangkan awitan efek antikoagulan akan tertunda
selama 2-3 hari, Warfarin mempunyai waktu paruh yang panjang sekitar 40
jam dan dapat membutuhkan waktu sampai 5 hari agar prototrombin
kembali normal setelah pemberian terapi (Neal, 2006). Penggunaan
antikoagulasi oral secara rutin setelah infark miokard akut pada pasien tanpa
indikasi lain biasanya tidak dianjurkan, meskipun Warfarin mungkin
digunakan pada pasien yang tidak dapat menggunakan obat antiplatelet.
c. Enoxaparin
Enoksaparin disarankan diberikan pada pasien dengan risiko
pendarahan rendah apabila Fondaparinuk tidak tersedia.
Table II.5 Golongan Antikoagulan (ACC/AHA, 2008)

Antikoagulan Dosis
UFH Bolus IV 60 U / kg (maksimum5000 U), diikuti
(unfractionated dengan infus 12 U / kg / jam (maksimum 1000 U)
heparin) pada awalnya, disesuaikan untuk mempertahankan
aPTT pada 1,5 hingga 2,0 kali kontrol (sekitar 50
hingga 70 detik) selama 48 jam.
Enoxaparin Jika usia > 75 thn dosis 0,75 mg/kg subkutan selama
12 jam (maksimum 75mg untuk dua dosis pertama)
Jika usia < 75 tahun dosis 30 mg IV bolus 1mg/kg
dalam 15 menit
Fondaparinux Dosis awal 2,5 mg IV, kemudian 2,5 mg subkutan
setiap hari
2.5.10 Statin
Statin adalah penghambat 3-hidroksi- 3-metilglutaryl-koenzim A (HMG-
CoA) reduktase, penentu laju menggunakan enzim untuk sintesis kolesterol.
Mereka mengurangi kolesterol dengan merangsang peningkatan kepadatan rendah
32

lipoprotein reseptor pada membran hepatosit, dengan demikian meningkatkan


pembersihan LDL dari sirkulasi, serta statin efektif untuk pencegahan primer dan
Sekunder pada pasien IMA dengan konsentrasi kolestrol tinggi yang telah
dianjukan untuk pasien penderita infark miokard. Efek utamanya adalah
mengurangi kolesterol LDL, tetapi Statin juga dapat mengurangi trigliserida sampai
batas tertentu dan meningkatkan kolesterol-lipoprotein densitas tinggi (HDL).
Statin merupakan obat paling efektif menurunkan lipid (Martindale, 2014).
a. Simvastatin
Simvastatin menginduksi reseptor LDL hepar sehingga meningkatkan
masukan kolesterol LDL ke hepar. Absorbsi Simvastatin yang telah
dilakukan uji pada hewan di dapatkan absorbs rata-rata 80% dari dosis oral,
setelah pemberian secara oral mencapai substansial lebih tinggi dihati dari
pada pada jaringan, kerena Simvastatin mengalami metabolism lintas
pertama (Simatupang, 2017).
b. Atorvastatin
Atorvastatin digunakan untuk mengurangi kadar kolesterol LDL,dan
trigliserilida, dan untuk meningkatkan kadar kolesterol HDL pada
pengobatan hyperlipidemia. Efek Atorvastatin lebih poten dibandingkan
dengan simvastatin, penurunan kadar kolesterol oleh Atorvastatin sekitar 5-
20% lebih rendah dibanding dengan simvastatin (Simatupang, 2017).
2.5.11 Golongan Beta-bloker
Beta-blocker merupakan golongan obat yang bekerja melalui mekanisme
penghambatan reseptor reseptor beta adrenergik di beberapa organ seperti jantung,
pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas dan hati. Menurut Frederix & Mcintosh
(2017) dalam European Society of Cardiology, beta-blocker merupakan pengobatan
lini pertama untuk mengendalikan denyut jantung dan mengurangi atau mencegah
timbulnya gejala pada gangguan kardiovaskuler arteri koroner stabil. Adapun pada
kondisi post miokard infark, beta-blocker mampu mengurangi resiko kematian
sebesar 20-25% (Novrianti et al., 2020).
Manfaat pemberian obat golongan beta-blocker pada pasien infark miokard
diantaranya mengurangi resiko jangka pendek dari reinfark dan resiko jangka
panjang dari kematian, Selain itu pada infark miokard beta-blocker membantu
33

mencegah remodeling dan menurunkan resiko fibrilasi ventrikel (Sari, 2020). Beta-
bloker mempunyai kelemahan atau efek samping seperti tangan dingin dan fatigue,
semua golongan beta-bloker menurunkan tekanan darah (Neal, 2006).
Propranolol dapat bekerja cepat dan mempunyai keampuhan yang sangat
besar dalam menurunkan frekuensi denyut jantung. Propanolol mekanisme kerja β-
bloker non selektif (antiaritmia), memblok secara kompetitif respon terhadap
stimulasi α-bloker dan β- bloker adrenergik yang akan menghasilkan penurunan
denyut jantung (Sari, 2020).

Table II.6 Golongan Beta-bloker (PERKI, 2015)


Golongan Betabloker Selektivitas Dosis untuk angina
Atenolol β1 50 – 200 mg/hari
Bisoprolol β1 10 mg/hari
Carvediol α dan β 2x6,25 mg/hari,
titrasi sampai
maksimum 2,25
mg/hari
Metoprolol β1 50-200 mg/hari
Propranolol Non selektif 2x20-80 mg/hari

2.5.12 ACE-Inhibitor
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) dapat mengurangi
remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pasca infark miokard yang
disertai dengan gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung.
ACE-Inhibitor dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang kecuali ada
kontra indikasi pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% serta pasien
yang mempunyai diabetes mellitus, hipertensi atau penyakit gagal ginjal (PERKI,
2015).
Inhibitor ACE misalnya kaptopril dapat menurunkan beban jantung serta
pada uji klinis telah menunjukkan bahwa ACE inhibitor menurunkan gejala,
memperlambat progresi penyakit. Dilatasi vena menurunkan tekanan preload serta
dilatasi ateriol afterload. Pengurangan tonus vascular menurunkan kerja serta
kebutuhan oksigen pada gagal jantung misalnya Captopril, Enalapril (Neal, 2006).
Captopril digunakan sebagai profilaksis pada pasien yang mempunyai disfungsi
ventrikel kiri simtomatik atau asimtomatik yang bertujuan untuk meningkatkan
kelangsungan hidup dan mengurangi terjadinya infark berulang. Captopril
34

mempunyai absorbsi cepat apabila diberikan secara oral serta memiliki


bioavailabilitas sampai 75 % konsentrasi puncak dalam plasma terjadi dalam 1 jam,
sebagian besar Captopril di eliminasi dalam urin, 40-50% sebagai Captopril dan
sisanya sebagai dimer kaptopril disulfide dan kaptopril sistein disulfide. Waktu
paruh pada Captopril 2 hingga 3 jam tetapi peningkatan ini pada gangguan ginjal
(Martindale, 2014).
Ramipril yang diberikan secara oral diserap dengan cepat (puncak
konsentrasi dalam 1 jam; tingkat tetapi tidak sejauh penyerapan oral (50% -60%)
apabila di sertai dengan makanan. Ramipril dimetabolisme menjadi Ramiprilat oleh
hati esterase dan metabolit tidak aktif yang diekskresikan terutama oleh ginjal
(Brunton, 2018).
Lisinopril adalah analog lisin enalaprilat, Lisinopril lebih poten dibanding
Enalaprilat, Lisinopril diabsorbsi secra berlahan sekitar 30% bioavailabilitas tidak
dipengaruhi oleh makanan, Lisinopril mencapai kadar puncak dalam 7 jam
(Brunton, 2018).
Table II.7 Golongan ACE Inhibitor (PERKI,2015)

ACE inhibitor Dosis


Captopril 2-3 x 6,25 – 50 mg
Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam dosis 1 atau 2
dosis
Lisinopril 2,5 – 20 mg/hari dalam 1 dosis
Enalapril 5-20g/hari dalam 1 atau 2 dosis
2.5.13 Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
ACEI/ARB telah menjadi salah satu pengobatan IMA mempunyai efek
jangka pendek dan jangka panjang. Namun, dalam uji klinis menunjukkan manfaat
dengan Beta-bloker dan ACEI/ARB di IMA sebelum dilakukan PCI untuk STEMI
serta manajemen invasive untuk NSTEMI (Sim et al., 2020). ARB dapat diberikan
pada pasien dengan intoleransi ACE-I, dengan memilih agen dan dosis yang telah
terbukti efikasinya. Golongan ARB menghambat secara langsung reseptor
angiotensin yang lebih selektif yaitu AT1 (PERKI, 2015).
Valsartan Kadar plasma puncak terjadi 2-4 jam setelah pemberian oral;
makanan secara nyata menurunkan penyerapan; t plasma ½ sekitar 9 jam. Valsartan
dibersihkan dari sirkulasi oleh hati (~ 70% dari pembersihan total), dan ketidak
cukupan hati akan mengurangi pembersihan (Brunton, 2018).
35

Table II. 8 Golongan ARB (DiPiro et al., 2011)

Obat golongan ARB Dosis


Candesartan 32 mg sehari sekali secara oral
Valsartan 160mg 2x sehari secara oral
2.6 Tinjauan Obat Asetosal
Asetosal merupakan antiplatelet yang digunakan untuk terapi kardiovaskular,
stroke, rheumatoid artritis, serta gout. Terapi asetosal digunakan untuk mencegah
agregasi trombosit dan thrombosis lebih lanjut pada arteri yang mengalami infark.
Aspirin mengurangi kematian sekitar 50% dibandingkan dengan tanpa terapi
antiplatelet pada pasien dengan NSTEMI (PERKI, 2015).
a. Struktur Asetosal

Gambar 2.11 Struktur Asetosal (Martindale, 2014)

b. Dosis
Dosis permulaan 160-325 mg/hari/oral dan diteruskan dengan dosis harian 75-
162 mg/hari/oral (DiPiro, 2015). Meskipun aman, aspirin dihubungkan dengan
meningkatnya perdarahan intrakranial dan gastrointestinal. Data penelitian dari
CURE (the Clopidogrel in Unstable Angina to PreventReccurrent Events) dan
BRAVO menunjukkan angka perdarahan yang kecil pada dosis aspirin yang rendah
(75-100 mg) dibandingkan dosis 200-325 mg (Halim & Adji, 2018). Pengulangan
dosis aspirin dapat menghasilkan efek kumulatif pada fungsi platelet (Brunton,
2018).
c. Farmakodinamik
Aspirin adalah obat antiplatelet yang menghambat siklooksigenase atau COX.
Enzim COX-1 juga merupakan kunci enzim dalam pembentukan tromboksan A2
(TXA2). TXA2 tromboksan menyebabkan penggumpalan trombosit di atas
robekan pembuluh untuk memperbaiki ketika pembuluh darah rusak atau sakit.
36

Agregasi trombosit menghasilkan bekuan yang menghentikan pendarahan dan


membantu perbaikan pembuluh darah yang rusak. Aspirin menghambat COX-1,
oleh karena itu TXA2, sehingga mengurangi kemampuan trombosit untuk
menumpuk. Dalam proses pemblokiran COX, gugus asetil pada aspirin dihidrolisis
dan kemudian diikat ke gugus alkohol serin sebagai ester. Ini memiliki efek
memblokir saluran di enzim dan asam arakidonat tidak dapat masuk ke situs aktif
enzim dan diubah menjadi prostaglandin (Gasparyan et al., 2008).

Gambar 2.12 Mekanisme Kerja Aspirin (Gasparyan et al., 2008)


d. Farmakokinetik
Aspirin diabsorpsi secara cepat di saluran pencernaan bagian atas terutama di
bagian pertama duodenum namun mempunyai bioavailabilitas yang rendah akibat
first pass effect metabolisme dan hidrolisis menjadi salisilat di dinding usus
(Siswanto et al., 2016). Kadar plasma memuncak 30 hingga 40 menit setelahnya
Gambar 2.13 Mekanisme Kerja Aspirin (Gasparyan et al., 2008)
pemberian aspirin, dan penghambatan fungsi platelet terbukti dalam 1 jam.
Sebaliknya, untuk mencapai kadar plasma memebutuhkan waktu 3 sampai 4 jam
Aspirin dalam bentuk tablet memliki bioavailabilitas 40-50 % dari berbagai
pemberian dosis (Eikelboom et al., 2012).
Konsentrasi aspirin dalam plasma mempunyai waktu paruh antara 15 sampai
20 menit, Aspirin menghambat agregasi platelet melalui jalur agregasi tromboxan,
blokade dilakukan dengan menginhibisi enzim siklooksigenase-1 (COX-1) melalui
37

proses asetilasi, yang akan menghasilkan berkurangnya produksi tromboxan A2,


derivate prostaglandin serta promotoragregasi platelet. Rentang rata-rata trombosit
manusia adalah 10 hari yang berrati 10% sampai 20% dari trombosit yang
bersikulasi diganti setiap hari (Eikelboom et al., 2012).
e. Efek Samping
Efek samping aspirin misalnya rasa tidak enak di perut, mual, dan
perdarahan saluran cerna biasanya dapat dihindarkan bila dosis per hari tidak
lebih dari 325 mg. Penggunaan bersama antasid atau antagonist Hz dapat
mengurangi efek tersebut Obat ini dapat mengganggu hemostasis pada tindakan
operasi dan bila diberikan bersama heparin atau antikoagulan oral dapat
meningkatkan risiko perdarahan. Efek samping lain dari penggunaan Aspirin
adalah gangguan pada saluran pencernaan. Adanya gugus asam karboksilat pada
Aspirin memberikan efek samping pada pencernaan. Selain itu penghambatan dari
COX menyebabkan turunnya prostaglandin yang mengakibatkan turunnya aliran
darah mikrovaskuler, menurunkan sekresi mukus dan meningkatkan sekresi asam
lambung. Efek samping Aspirin dapat meningkatkan agregasi platelet serta
gangguan pada saluran pernafasan (Rahmadanita, 2020).
f. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap aspirin atau NSAID lain. Ulkus peptikum, penyakit
hemoragik, gangguan koagulasi (misalnya hemofilia, trombositopenia), asam urat.
gangguan hati dan ginjal berat. Anak-anak <16 tahun dan sedang dalam proses
pemulihan dari infeksi virus. Kehamilan (dosis> 100 mg setiap hari selama
trimester ke-3) dan menyusui. Penggunaan bersamaan dengan NSAID dan
methotrexate lainnya (MIMS, 2021).
g. Interaksi Obat
Aspirin dapat meningkatan risiko perdarahan gastrointestinal dan ulserasi
apabila digunakan bersama kortikosteroid. Pemberian Aspirin bersama
antikoagulan Kumarin (misalnya Heparin, Warfarin, Fenindione) dapat
meningkatan risiko perdarahan dan dapat menggantikan warfarin dari tempat
berikatan dengan protein, menyebabkan perpanjangan waktu prothrombin.
Mengurangi pengikatan fenitoin dan valproat ke albumin serum yang menyebabkan
peningkatan konsentrasi obat bebas. Mengurangi efek urikosurik (misalnya
38

Probenesid, Sulfinpyrazone). Mengganggu ekskresi litium dan digoksin ke ginjal.


Adapun yang berpotensi fatal yaitu: Peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal
dan ulserasi dengan NSAID lain (MIMS, 2021).
h. Bentuk Sediaan
Table II.9 Sediaan Golongan Antiplatelet Di Indonesia (MIMS, 2021)
Nama obat/ pabrik Jenis sediaan Dosis
Aspilet (Darya-varia) Tablet kunyah 80 mg 1x/hari
Astika (Ikapharmindo) Tablet salut enterik 100 mg/hari
Cardio aspirin Tablet salut enterik 100 mg-300 mg/hari
Farmasal (Fahrenheit) Tablet salut enterik 100 mg 1tab/hari
Miniaspi 80 Tablet salut enterik 80 -160 mg/hari
(Mersifarma TM)
Proxime (Sanbe) Tablet Maksimum 300
mg/hari
Thrombo aspilet Tablet salut enterik 80 mg 1-2 tab 1x
(Darya-Varia) sehari

2.7 Terapi Non-Farmakologi Infark Miokard Akut


2.7.1 Terapi Non- Farmakologi STEMI
Untuk pasien dengan STEMI yang muncul dalam waktu 12 jam
setelah onset gejala, pilihan pengobatan reperfusi adalah reperfusi dini
dengan PCI primer dari infark arteri dalam waktu 90 menit sejak kontak
pertama (DiPiro, 2015).
2.7.2 Terapi Non-Farmakologi NSTEMI
Untuk pasien dengan NSTEMI ACS, pedoman praktik
merekomendasikan angiografi coroner dengan PCI atau revaskularisasi
bedah bypass arteri coroner sebagai pengobatan dini untuk pasien yang
berisiko tinggi; pendekatan seperti itu juga dapat dipertimbangkan pasien
yang tidak berisiko tinggi (DiPiro, 2015).

You might also like