You are on page 1of 8

PERADILAN ISLAM PADA MASA PENJAJAHAN BELANDA,

JEPANG, DAN KEMERDEKAAN

Ahmad Abbas Ar Rosyid


UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
arrosyidabbas@gmail.com
Fauzal Akbar Wirajaya
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
akbarfauzal62@gmail.com
Vebya Yuwa Ayu Mashanda
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
vebyaa.yuwaa@gmail.com

Abstract
This article contains about Islamic justice during the colonial period. Islam had entered
Indonesia long before the arrival of the colonialists. However, at the beginning of its arrival,
Islam was still not very well known and was still unable to exist with the religion that existed
beforehand. Over time, an Islamic empire was established which led to the development of
Islam until it became the religion with the most followers in Indonesia today. However, in the
course of Indonesian history, colonialism occurred for more than three and a half centuries.
This has had a major impact on the development of Islamic justice and existing laws in
Indonesia. What kind of big impact did they bring? Did Islamic justice still exist when there
was colonialism? and Did Islamic justice develop at that time? As for the results of the study
it can be concluded that the Dutch and Japanese colonialism had a significant impact. Remain
firm with its existence and do not waver even though under colonial domination. Followed by
the independence period, which was shown by the issuance of Law no. 7 of 1989 concerning
religious courts and reaffirming the position of Islamic courts in Indonesia.
Keywords: Law, Justice, Colonialism, History

Abstrak
Tulisan ini memuat tentang peradilan islam pada masa penjajahan. Islam sudah masuk ke
Indonesia jauh sebelum datangnya para penjajah. Namun, pada awal masuknya, islam masih
belum terlalu di kenal dan masih kalah eksis dengan agama yang ada terlebih dahulu. Seiring
berjalannya waktu, berdirilah kerajaan islam yang berujung pada berkembangnya islam
sampai menjadi agama dengan pemeluk terbanyak di Indonesia saat ini. Namun, dalam
perjalanan histori Indonesia, terjadi penjajahan yang terjadi selama lebih dari tiga setengah
abad. Hal ini, berdampak besar pada perkembangan peradilan islam dan hukum hukum yang
ada di Indonesia. Dampak besar seperti apa yang mereka bawa? Apakah peradilan islam
masih eksis ketika adanya penjajahan tersebut? dan Apakah peradilan islam berkembang pada
masa itu? Adapun hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa penjajahan Belanda dan Jepang
membawa dampak yang cukup signifikan. Tetap kokoh dengan eksistensinya dan tidak goyah
meski di rundung penjajahan. Di lanjut dengan masa kemerdekaan, dimana di tunjukkan
dengan keluarnya UU no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama dan mempertegas kembali
kedudukan peradilan islam di Indonesia.
Kata kunci: Hukum; Peradilan; Penjajahan; Sejarah

PENDAHULUAN
Membahas perkembangan Peradilan Agama di Indonesia memerlukan beberapa latar
belakang hukum Islam dan populasi Muslim di negara ini. Sebagai perangkat hukum
tersendiri yang telah dianut oleh umat Islam di Indonesia sejak lama, hukum Islam menjadi
pedoman bagi Peradilan Agama. Hukum Islam adalah sistem hukum pilihan di negara-negara
Islam kuno. Snouck Hurgronje, dalam bukunya De Islam in Nederlansch-Indie, mencatat
bahwa kemunculan kerajaan-kerajaan Islam seperti Mataram, Banten, dan Cirebon pada abad
ke-16 memperlambat laju perpindahan agama Islam di wilayah tersebut. Untuk sistem hukum
Islam yang utuh, dibentuklah Majelis Syara' dan Peradilan Serambi.
Sejak masa penjajahan Belanda, Pengadilan Agama di Indonesia yang pada saat ini
disebut Pengadilan Agama telah hadir di berbagai pelosok Nusantara. Sebenarnya, para
sejarahwan peradilan menegaskan bahwa pengadilan agama telah ada di Indonesia sejak
Islam masuk ke negara ini (melalui tahkim) dan telah bertahan melalui berbagai tahap
perkembangan negara. Di Indonesia, hukum Islam diadministrasikan di pengadilan agama,
yang dapat dilihat dalam berbagai cara. Secara hukum, hukum Islam (di bidang perkawinan,
waris, wasiat, hibah, wakaf, dan sodaqoh) berlaku di pengadilan di lingkungan pengadilan
agama; Secara historis, pengadilan agama merupakan salah satu mata rantai yang
berkesinambungan dalam mata rantai pengadilan agama sejak zaman Nabi; secara sosiologis,
pengadilan agama didukung dan dikembangkan oleh negara Islam yang koersif; dan terakhir,
secara filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan
keadilan.
Masih ada sistem peradilan agama yang kuat, meskipun masih ada prasangka terhadap
masyarakat adat dan upaya untuk merampingkan Pengadilan Agama melalui persyaratan
hukum baru. Namun, jika terus seperti ini, peradilan agama di Indonesia akan terpinggirkan
dan akhirnya disingkirkan. Untuk itu, artikel ini akan mencoba melakukan survei sejarah
singkat tentang keadilan agama di Indonesia, meliputi evolusi konsep tersebut dari masa
Kesultanan Islam melalui era penjajahan Jepang dan Belanda hingga saat ini.
.
PEMBAHASAN
A. Peradilan Islam pada Masa Penjajahan
a). Peradilan Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Pada tahun 1760, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) organisasi yang
merupakan gabungan dari perusahaan dagang Hindia Belanda yang merapat kapalnya di
pelabuhan Banten, Jawa Barat pada tahun 1596, dengan tujuan berdagang yang kemudian
berubah menjadi menguasai Pulau-pulau di Indonesia kemudian mendapat ringkasan kitab
undang-undang untuk dijadikan pedoman bagi pengadilan yang berada di wilayah hukumnya
dalam mengatasi sengketa di kalangan umat Islam. Buku ini dikenal dengan Kompendium
Freijer, (diterbitkan pada 25 Mei 1760), yang merupakan rangkuman hukum perkawinan dan
waris Islam yang disusun oleh D. W. Freijer atas permintaan pemerintah VOC dan mendapat
koreksi dan penyempurnaan dari para pembesar dan ulama Muslim. Keputusan pemerintah
VOC untuk memberlakukan beberapa aspek syariat Islam dikarenakan sebelumnya hukum
Belanda yang diberlakukan di kota Jakarta dan sekitarnya tidak dapat dilaksanakan, sehingga
akhirnya VOC harus memperhatikan hukum yang telah berlaku. telah dihayati dan dilakukan
oleh masyarakat adat dalam kehidupan sehari-hari (Living law).
Hukum keluarga Islam (perkawinan dan pewarisan) termasuk dalam undang-undang ini,
tetapi kekuasaan lembaga Islam yang diciptakan oleh Raja atau Sultan Islam digantikan oleh
pengadilan buatan Belanda.1
Selama ini, L.W.C. Van Den Breg mengembangkan doktrin yang dikenal dengan
“Reception in complexu” (Penerimaan hukum Islam secara utuh). Ada beberapa bukti yang
mendukung teori Receptio in Complexu yakni:
1. Menurut Statu Batavia tahun 1642, umat Islam setempat yang berselisih tentang
warisan akan diputuskan melalui hukum Islam.
2. Aturan serupa, Resolutie der Indische Regering, diterbitkan oleh VOC pada tahun
1760.
3. Pasal 13 Stbl.No.22, yang dikeluarkan pada tahun 1820, mewajibkan Bupati untuk
mengutamakan urusan Islam dan memastikan bahwa pemuka agama memiliki
kebebasan untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan adat Jawa mengenai
perkawinan, pewarisan
4. Bagi masyarakat kolonial atau pribumi, ketentuan yang tercantum dalam staatsblad
1882 Nomor 152 yang ditulis oleh Van den Berg memperbolehkan mereka untuk
mengikuti hukum agama yang mereka yakini karena berhubungan dengan
masyarakatnya.
5. Pengadilan agama yang disebut Priesterraad didirikan melalui Stbl.No.152 tahun
1882, dengan yurisdiksi untuk menyelesaikan sengketa antara umat Islam sesuai
dengan hukum Islam, dan topik serupa lainnya.
6. Pasal 75 RR (regeeringsreglement) antara lain menyatakan: “Oleh hakim Indonesia
itu hendaklah diberlakukan undang- undang agama (godsdienstige wetten) dan
kebiasaan penduduk Indonesia itu.” Ketentuan ini sudah ada sejak tahun 1855. Pada
masa itu, dibentuk Pengadilan Agama berdampingan dengan Pengadilan Negeri,
setelah kompilasi hukum Islam telah disusun dalam sebuah buku.
Cornelis Van Vollenhoven dan Christian Snouck Hurgronje menentang doktrin receptio in
complexu, dengan alasan bahwa hukum Islam harus diterapkan jika sesuai dengan adat
istiadat setempat. Jadi, dalam kerangka teoretis ini, hukum Islam perlu diterima oleh hukum
1
M. Daud. Ali (Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia (Jakarta : Risalah, 1984) h.12
adat sebelum berlaku. Karena hukum waris Islam belum diadopsi atau bertentangan dengan
hukum adat, maka dihipotesiskan tidak dapat dilaksanakan. Komunitas Muslim diatur oleh
hukum adat.
Cornelis van Vollenhoven (1874–1933) dan Christian Snouck Hurgronje (1857–1936)
mengusulkan gagasan ini. Menurut sistem ilmu hukum adat di Indonesia, Cornelis Van
Vollenhoven adalah pendiri dan pencetusnya. Christian Snouck Hurgronje, sementara itu,
adalah sarjana hukum Islam dan Ph.D. dalam sastra Semit.
Pasal 134 IS (Indische Staatregeling), yang mengkodifikasi Teori Receptie, diterbitkan
dalam Stbl 1929: 212 dan berbunyi sebagai berikut:
“Bagi orang-orang pribumi, kalau hukum mereka menghendaki, diberlakukan hukum
Islam selama hukum itu telah diterima oleh masyarakat hukum adat”. Bagian ini sering
dijuluki pasal receptive.
Ide-ide Christian Snouck Hurgronje adalah faktor utama dalam fakta bahwa masalah
agama dan politik saling terkait secara rumit. Menurutnya Islam berbahaya, sehingga
kemanapun pandangan progresif ini datang, harus dibendung dan diawasi secara ketat.
Mengingat hukum adat belum sepenuhnya menganut apa yang ada dalam hukum Islam
mengenai pembagian hak waris, hal ini menyebabkan dicabutnya hak Pengadilan Agama
untuk menangani penyelesaian hukum waris tahun 1937 dengan 4 stbl tahun 1937 no. 116.
Beberapa bukti bahwa pemerintah Belanda benar-benar berusaha untuk menghentikan
pemberlakuan syariat Islam di Indonesia adalah sebagai berikut:
a) Dalam bidang hukum pidana, kita sama sekali tidak memasukkan hudud atau
qishas. Sejak Januari 1919 (Staatsblad 1915 No. 732), hukum pidana yang berlaku
di negeri Belanda diambil langsung dari Wetboek van Strafrect.
b) Ajaran Islam tentang hal tersebut telah dilenyapkan dari ranah penyelenggaraan
pemerintahan. Dilarang menerapkan pengetahuan tentang ajaran agama Al-Qur'an
atau analisis hadits pada pemerintahan atau penyelenggaraan negara.
c) Membatasi ruang lingkup perundang-undangan muamalah pada masalah
perkawinan dan waris. Upaya dilakukan untuk menghindari penerapan prinsip ini
secara khusus pada warisan Islam. Langkah-langkah yang dilakukan dalam hal ini
antara lain: 1) dibandingkan dengan Pengadilan Agama yang mengadili perkara
waris di Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan, 2). Mendirikan Pengadilan
Warisan. Perizinan Pengecekan Soal Landraad, Hitung 3). Jika hukum adat
setempat tidak diketahui, maka sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dengan
menggunakan hukum Islam.
Teori receptie mendalilkan bahwa penjajahan Indonesia akan berjalan mulus dan
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda akan menghadapi beberapa tantangan jika penduduk
lokal memiliki latar belakang budaya yang mirip dengan pendatang Eropa. Itu sebabnya
pemerintah Belanda mendatangi orang-orang yang akan mengembalikan Hukum Adat dan
mencoba memenangkan mereka agar mau bekerja dengan mereka. Kekuatan moral umat
Islam Indonesia sesungguhnya terletak pada dedikasinya terhadap ajaran Islam, meskipun
hukum Islam saat ini sedang mengalami keruntuhan sebagai rekayasa Belanda (menurut
Receptio).
Jika mempelajari sejarah kolonialisme Belanda, maka akan diketahui bahwa pemerintah
kolonial Belanda secara aktif berusaha menghapus syariat Islam dari Indonesia untuk
mempertahankan kekuasaannya sendiri. Akibatnya, dilakukan pengawasan yang ketat
terhadap keberadaan hukum Islam dan tuntutannya, dengan tujuan untuk memperkecil segala
kemungkinan dan pada akhirnya segala sesuatu yang menguntungkan Islam. Lebih dari itu,
jelas bahwa wilayah hukum perdata, dan bahkan di dalam wilayah itu, hanya wilayah-
wilayah yang menyangkut hukum keluarga, perkawinan, dan pewarisan, merupakan bagian
dari hukum Islam yang benar-benar diberlakukan.
b). Peradilan Islam pada Masa Penjajahan Jepang
Pemerintah Jepang mengeluarkan sejumlah arahan setelah Jenderal Ter Poorten
menyerahkan diri tanpa syarat kepada komandan militer Jepang untuk Selatan pada tanggal 8
Maret 1942. Salah satunya adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1942, yang menyatakan
dengan tegas bahwa pemerintah Jepang kini melaksanakan semua kewenangan yang dimiliki
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Persyaratan tambahan ini mempengaruhi kedudukan
akhir dari penegakan hukum Islam seperti yang ada selama kekuasaan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Kependudukan Jepang tetap teguh dalam upayanya
untuk memenangkan dukungan penduduk Muslim Indonesia. Di antaranya adalah:
1. Sumpah Panglima Militer Jepang untuk menjaga dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas di pulau tersebut.
2. Rakyat Indonesia mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam).
3. Memungkinkan terbentuknya kelompok-kelompok payung Islam seperti
Muhammadiyah dan NU.
4. Pada bulan Oktober 1943, mereka merestui pembentukan Majelis Syura
Muslimin Indonesia (Masyumi).
5. Mendukung pembentukan PETA dengan mendukung pembentukan Hizbullah
sebagai tentara cadangan.
6. Dalam upaya memenuhi keinginan para pemimpin Islam, pada bulan Januari
1944, Soepomo, seorang ahli hukum adat, diminta untuk menyampaikan
laporan tentang pemulihan yuridiksi. Namun, upaya itu kemudian
"dimentahkan" oleh Soepomo, mengutip kerumitannya sebagai
pembenarannya untuk mengesampingkannya sama sekali dan melihatnya
hingga kemerdekaan Indonesia.
Dengan kata lain, tiga lembaga sosial didirikan oleh pemerintah Jepang yang
membantu umat Islam di Indonesia pada era pemerintahan kekaisaran.
a. Shumubu, khususnya Kantor Urusan Agama yang didirikan pada tanggal 1
Oktober 1943 dan dipimpin oleh Hoesein Djayadiningrat untuk menggantikan
Kantor Urusan Pribumi yang berlaku sejak pendudukan Belanda.
b. Dalam rangka mengembangkan Persatuan Umat Islam di Indonesia dan untuk
meningkatkan kerjasama Umat Islam dalam upaya perang Jepang, MIAI
dibubarkan pada bulan Oktober 1943 dan digantikan oleh Masyumi, (Majelis
Syura Umat Islam Indonesia).
c. Zainul Arifin memimpin kelompok bersenjata pemuda Muslim Hizbullah
(Partai Allah atau Pasukan Allah). Tentara Nasional Indonesia dapat ditelusuri
akarnya kembali ke kelompok ini.
Itu satu-satunya aspek positif, tapi intinya hukum Islam di Indonesia tidak banyak
berubah akibat pendudukan Jepang. Meskipun demikian, para pemimpin agama Islam lebih
diuntungkan oleh pendudukan Jepang daripada Belanda dalam hal membuka cara-cara baru
dalam menangani urusan agama. Menurut Abikusno Tjokrosujoso, kebijakan pemerintah
Belanda telah mencederai harkat Islam di tengah masyarakat. Dalam Islam, tidak ada
pemimpin agama yang terlatih atau pengadilan agama. Inisiatif politik yang dilakukan oleh
Belanda mereduksi status Islam. Militer Jepang dengan cepat mengetahui bahwa Islam adalah
kekuatan politik yang kuat di Indonesia.
B. Peradilan Islam pada masa Kemerdekaan
Para pemimpin Islam Indonesia belajar banyak selama pendudukan Jepang, tetapi negara
itu akhirnya berubah haluan setelah mengambil langkah-langkah strategis yang kurang ideal
untuk memenangkan perang, yang membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia. Mereka
mulai mengagumi dan mendukung para pemimpin nasionalis Indonesia. Dalam skenario ini,
nampaknya Jepang memiliki keyakinan terhadap kelompok nasionalis sebagai pemimpin
masa depan Indonesia. Ini menjelaskan mengapa pihak nasionalis diberikan kendali atas
berbagai lembaga dan komisi pemerintah seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan
BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai). Sebelum Mei 1945, hanya 11 dari 62 anggota panitia
yang mewakili organisasi Islam. Menurut Ramly Hutabarat, ini membuktikan bahwa
BPUPKI “Bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun
Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar anggota badan ini cukup respresentif
mewakili berbagai golongan dalam masyarakat Indonesia”.2
Piagam Jakarta merupakan hasil diskusi panjang di BPUPKI tentang dasar negara. Dalam
Piagam Jakarta, frase kompromi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi sangat penting. Kalimat
tersebut, menurut Muhammad Yamin, menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat,
tetapi bukan sebagai negara sekuler atau negara Islam.
Konsep ini menimbulkan anggapan bahwa kerangka hukum penegakan syariat Islam
harus ditetapkan bagi pemeluknya. Namun, pada tanggal 18 Agustus 1945, ketika PPKI
hendak meratifikasi Piagam Jakarta versi kompromistis, tidak juga ditetapkan. Alasan di balik
itu diselimuti misteri. Mohammad Hatta, menurut semua laporan, menyuarakan penentangan
terhadap umat Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengaku mengetahui hal itu pada sore hari
tanggal 17 Agustus 1945 dari seorang perwira angkatan laut Jepang. Namun hal ini dibantah

2
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam
Pembinaan Hukum Nasional, ( Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005 )h. 85.
oleh Letnan Kolonel Shegeta Nishijima, satu-satunya komandan angkatan laut Jepang yang
pernah ditemui Hatta. Ia secara khusus menyebut Latuharhary sebagai orang yang
menyuarakan penentangan. Karena Latuharhary dan Maramis, tokoh Kristen lain dari
Indonesia Timur, menyetujui rumusan kompromi dalam sidang BPUPKI, maka beratnya
tuntutan ini perlu dipertanyakan.
Pada akhirnya, selama periode ini, posisi hukum Islam menjadi tidak jelas. Menurut Isa
Ashary, "peristiwa sejarah yang menarik perhatian ini dirasakan oleh umat Islam sebagai
permainan ajaib", yang masih diselimuti kabut rahasia dan di mana keadaan pengepungan
politik dilakukan terhadap prinsip-prinsip umat Islam.

KESIMPULAN
Peradilan islam pada masa penjajahan tetap boleh di berlakukan pada zaman belanda.
Karena pada saat itu, hukum yang di cetuskan oleh pemerintah VOC tidak berjalan lancar.
Mereka tetap membolehkan hukum syari'at sebagai acuan utama. Namun ada beberapa tokoh
Belanda yang menentang dengan alasan, islam berbahaya, sehingga kemanapun pandangan
progresif ini datang, harus dibendung dan diawasi secara ketat. Mengingat hukum adat belum
sepenuhnya menganut apa yang ada dalam hukum Islam mengenai pembagian hak waris, hal
ini menyebabkan dicabutnya hak Pengadilan Agama untuk menangani penyelesaian hukum
waris tahun 1937 dengan 4 stbl tahun 1937 no. 116. Pada penjajahan Jepang, pribumi di
fasilitasi organisasi buatan Jepang seperti Masyumi, juga merestui pembentukan NU dan
Muhammadiyah. Penduduk islam pada masa penjajahan Jepang, lebih di untungkan dari pada
ketika penjajahan Belanda. Hal ini karena, Jepang membuka cara baru dalam menangani
urusan agama, sehingga Peradilan islam di Indonesia semakin berkembang. Pada masa
kemerdekaan, banyak pergolakan terjadi antara tokoh nasionalis dan agamis. Terutama dalam
perumusan dasar negara, yang di tentang oleh nasionalis. Yang menyuarakan ketidak se
tujuannya terhadapa sila pertama yang berbunyi “Negara berdasarkan atas Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
REFERENSI

M. Daud. Ali (Kedudukan Hukum Islam dan Sistem Hukum di Indonesia (Jakarta :
Risalah, 1984) h.12

Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia


dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, ( Jakarta : Pusat Studi
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2005 )h. 85.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Hukum Islam, Ed. I: Jakarta: Pressindo, 1995.

Bisri, Hasan, Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, t.th.

Hasyim, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Bandung: Al-


Ma’arif, 1989.

Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3S, 1985.

Supomo, Sejarah Politik Hukum Adat, Jakarta: Pradya Paramita, 1982.

Supardin, Materi Hukum Islam, Cet. I; Makassar: Alauddin University Press, 2011

Mahmassani, Sebhi, Dr., Filsafal Hukum Dalam Islam (Ralsafatul Tasrii fit islam)
Terjemahan Ahmad Sudjono.

Noeh, Zaini Ahmad, H., Sebuah Perspektif Sejarah lembaga islam di Indonesia.
Bandung: Al Maarif, 1980.

Noeh, Delliar, Dr., Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900- 1942 Jakarta LP3ES,
1985.

Radhie, Teuku Mohammad. Peranan Hukum Islam Dalam Pembinaan Hukum


Nasional. Yogyakarta: Bina Usaha, 1983.

Halim, Abdul. 2000. Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada

Zainal Abidin Abu Bakar, Pengaruh Hukum Islam Dalam Sistem Hukum di
Indonesia, dalam Jurnal dua Bulanan Mimbar Hukum, No. 9, Tahun IV 1993

You might also like