Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
In Sumatra, cocoa is generally managed by farmers through an agroforestry system approach with various types of
protective plants. But lately many farmers have switched to the monoculture system by cutting down protective trees
to increase cocoa production. The results of this study answer the hypothesis that the productivity of cocoa managed
in simple agroforestry produces higher yields compared to non-agroforestry and complex agroforestry. The research
was conducted in Sontang, Pasaman Regency, West Sumatra from July to November 2018. This study aims to compare
cocoa production and plant diversity in various garden management systems. The study was conducted in 36 cocoa
plantations by making plots measuring 20m x 20m in each plantation. Production data is taken 6 times on a
predetermined plot. Diversity is calculated by identifying all species of plants in the cocoa farm. The highest yields of
cocoa are produced in simple agroforestry systems (596 kg/ha) followed by non-agroforestry systems (400 kg/ha) and
complex agroforestry (397 kg/ha). From the results of the study it can be concluded that the simple agroforestry
garden management system provides a higher production and level of beneficial plant diversity compared to the other
two systems. So that this system can be recommended to cocoa farmers as a reference in the sustainable management
of cocoa farms.
ABSTRAK
Di Sumatera, kakao pada umumnya dikelola petani melaui pendekatan sistem agroforestri dengan berbagai jenis
tanaman pelindung. Namun belakangan ini banyak petani yang beralih ke sistem monokultur dengan menebang pohon
pelindung agar produksi kakao meningkat. Hasil penelitian ini menjawab hipotesis bahwa produktivitas kakao yang
dikelola secara agroforestri sederhana memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan non-agroforestri dan
agroforestri komplek. Penelitian dilaksanakan di Sontang, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat dari bulan Juli sampai
dengan November 2018. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan produksi kakao dan keanekaragaman
tanaman dalam berbagai sistem pengelolaan kebun. Penelitian dilakukan pada 36 kebun kakao dengan membuat plot
berukuran 20m x 20m di setiap kebun. Data produksi diambil selama 6 kali pada plot yang sudah ditentukan.
Keanekaragaman dihitung dengan mengidentifikasi semua spesies tanaman di dalam kebun kakao. Hasil kakao paling
tinggi dihasilkan pada sistem agroforestri sederhana (596 kg/ha) diikuti dengan sistem non-agroforestri (400 kg/ha)
dan agroforestri komplek (397 kg/ha). Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa sistem pengelolaan kebun secara
agroforestri sederhana memberikan produksi dan tingkat keanekaragaman tanaman bermanfaat yang lebih tinggi
dibandingkan kedua sistem yang lainnya. Sehingga sistem ini dapat direkomendasikan kepada petani kakao sebagai
acuan dalam pengelolaan kebun kakao secara berkelanjutan.
52
Produktivitas Kakao dan Keanekaragaman Tanaman ...... (Sumilia, Nasrez Akhir, dan Zulfadly Syarif)
(agroforestri komplek, sederhana dan non masuk ke tajuk tanaman kakao antara
agroforestri). 30-40%).
2. Sistem agroforestri sederhana:
C. Metode Penelitian persentasi kanopi antara 40-50%
Penelitian ini dilakukan dengan (intensitas cahaya matahari yang
menggunakan metode survei secara masuk ke tajuk tanaman kakao antara
komparatif. Pelaksanaan survei dimulai dari 50-60%)
observasi lapangan (kebun kakao agroforestri 3. Sistem non-agroforestri: persentase
dengan berbagai sistem), pengambilan titik kanopi 10-20% (intensitas cahaya
koordinat kebun, penentuan plot dan sample matahari yang masuk ke tajuk tanaman
pengamatan serta pemilihan petani kakao kakao antara 80-90%).
yang dijadikan subjek dalam penelitian ini.
Penentuan plot pengamatan dan pemilihan D. Pengumpulan dan Analisis Data
petani kakao dilakukan secara random Pengamatan dilakukan pada setiap
sampling. sample kebun, dimana masing-masing sistem
Survei pendahuluan dilakukan untuk dipilih 12 kebun pengamatan, dengan
melihat kriteria kebun yang dijadikan sebagai demikian total kebun pengamatan sebanyak
sample penelitian. Kebun kakao yang dipilih 36 kebun. Pengamatan dilakukan dengan
adalah kebun yang dikelola secara membuat plot pada setiap kebun dengan
agroforestri oleh petani kakao yang sudah ukuran 20 x 20 m (400 m2). Tanaman yang
mendapatkan pelatihan teknis dari diamati adalah semua tanaman bermanfaat
Swisscontact, dan juga kebun kakao yang yang ada di dalam plot pengamatan, baik
sudah memenuhi standar sertifikasi kakao pohon, pancang dan tiang. Lokasi (plot)
UTZ. Kebun kakao yang dipilih adalah kebun pengamatan ditentukan dengan pertimbangan
yang tanaman kakaonya sudah berproduksi tingkat perkembangan agroforestri (AF)
yaitu berkisar antara 7-15 tahun. Survei awal berbasis kakao yang ditemui. Agroforestri
dilakukan terhadap 60 kebun kakao yang kakao yang dijadikan lokasi pengambilan
kemudian dikumpulkan dan diklasifikasikan sampel produksi dan keanekaragaman
menjadi 3 sistem agroforestri kakao yaitu tanaman adalah agroforestri multistrata
sistem agroforestri komplek (high shade), (komplek) dan agroforestri sederhana, serta
sistem agroforestri kakao sederhana tingkat tutupan tajuk tanaman penyusun di
(simple shade) serta non-agroforestri (low dalamnya (Suryanto et al. 2005). Parameter
shade). pengamatan dalam penelitian ini antara lain
Dari hasil identifikasi berdasarkan adalah:
survei yang telah dilakukan terdapat 3 tipe a. Keanekaragaman jenis tanaman, dihitung
kombinasi tanaman penaung pada masing- dengan mendata semua jenis tanaman
masing sistem pengelolaan kebun. Tingkat selain kakao yang yang ada dalam plot
naungan ditentukan dengan mengukur pengamatan.
persentase kanopi dari setiap tipe kebun b. Basal area, dihitung dengan mengukur
dengan menggunakan alat densiometer, DBH ± 150 cm dari permukaan tanah
sehingga dengan adanya persentase terhadap semua tanaman yang ada dalam
kanopi dapat ditentukan masing-masing plot sampel, baik tanaman kakao maupun
tipe kebun seperti dibawah ini: tanaman penaung.
1. Sistem agroforestri komplek: c. Produktivitas, ditentukan dengan
persentase kanopi antara 60-70% menghitung semua jumlah buah sehat
(intensitas cahaya matahari yang yang sudah siap dipanen pada setiap
53
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 2 No. 2., Desember 2019 (Hal. 51-62)
tanaman kakao yang ada dalam setiap unit 3. Indeks kekayaan jenis (Indeks of Species
sampel seluas 400 m2. Data produksi Richness) Margalef; Indek kekayaan
kakao dilakukan pada saat musim panen Margalef membagi jumlah spesies dengan
raya antara bulan Agustus-Oktober 2018 fungsi logarima natural yang
(musim panen raya kakao di Kabupaten mengindikasikan bahwa pertambahan
Pasaman). Buah kakao yang sudah jumlah spesies berbanding terbalik
dipanen ditimbang untuk memperoleh dengan pertambahan jumlah individu
berat segar biji kakao, kemudian dijemur (Wahyudi, 2011). Indeks Margalef
sesuai standar perlakuan budidaya sampai dihitung dengan menggunakan rumus
kering sempurna. Biji kakao yang sudah sebagai berikut:
kering ditimbang untuk memperoleh berat
kering. Jumlah biji kakao per 100 gram M = (S-1)/ln N
akan dihitung setelah biji kering
sempurna. Keterangan:
Masing-masing variabel M: Indeks Margalef
pengamatan dianalisa dengan S: Jumlah total spesies yang diamati
menggunakan rumus seperti tertera di N: adalah jumlah total individu seluruh
bawah ini: spesies dalam sampel
1. Indek keanekaragaman jenis tanaman ln: Logaritma natural
dengan menggunakan rumus indeks
diversitas dari Shannon-Wiener (S m i t h 4. Basal area; Basal area merupakan suatu
d a n W i l son , 1 9 9 6 ; S p e l l e r b e r g luasan areal dekat permukaan tanah yang
d a n Fedor, 2003). (Kent & Paddy, ditempati oleh tanaman. Untuk pohon,
1992) basal area dapat diduga dengan mengukur
diameter batang (Kusuma, 1997).
𝑁
H’ = -∑𝑖=1(𝑝𝑖 )(ln 𝑝𝑖)
BA(m)2 = pi* DBH (cm)2 /40000
Keterangan:
H’ = Shannon Wiener Indeks
N = Jumlah total spesies ke-i Keterangan:
BA : Basal Area
Pi = Nilai proporsi dari spesies ke-i
pi : 3,14
DBH : diameter at breast height
Kriteria tingkat keanekaragaman jenis
(diameter batang)
tanaman adalah tergolong tinggi bila H’ >
3,5, sedang bila H’ = 1,5 – 3,5 dan rendah
5. Produktivitas
bila H’ < 1,5
Data variabel produksi dianalisis
2. Kerapatan setiap jenis tanaman; dengan menggunakan uji F, dan apabila
Kerapatan tanaman dan rata-rata jarak terdapat perbedaan yang nyata antar sistem
antar tanaman (tanaman kakao dan maka dilakukan uji lanjut dengan
tanaman penaung) penyusun agroforestri menggunakan uji Tukey pada tingkat
ditentukan dengan rumus sebagai berikut: signifikansi p = 0,01
(Mawazin & Subiakto, 2013). Untuk mengetahui hubungan
produktivitas kakao dengan keanekaragaman
Kerapatan (K) tanaman maka dilakukan korelasi antara
∑ 𝑝𝑜ℎ𝑜𝑛 𝑑𝑖𝑡𝑒𝑚𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑑𝑖 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑝𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ variabel komponen hasil (jumlah biji/100 gr,
= Luas petak Contoh populasi kakao/ha, basal area pohon
54
Produktivitas Kakao dan Keanekaragaman Tanaman ...... (Sumilia, Nasrez Akhir, dan Zulfadly Syarif)
pelindung, basal area kakao dan persentase dikelola dengan sistem agroforestri
kanopi) dengan hasil (produksi). sederhana, dan kebun kakao yang dikelola
dengan sistem non-agroforestri.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Keanekaragaman tanaman dihitung dengan
menginventarisir semua jenis tanaman yang
A. Hasil mempunyai nilai ekonomi maupun manfaat
1. Keanekaragaman Tanaman dalam bagi masyarakat yang ada di dalam kebun
sistem Pengelolaan Kebun Kakao kakao kemudian juga dihitung indeks
keanekaragaman dan indeks kekayaan
Dalam penelitian ini,
spesiesnya, dengan demikian dapat diketahui
keanekaragaman tanaman dihitung dalam 3
tingkat keanekaragaman dari masing-masing
sistem pengelolalan kebun kakao, yaitu
sistem pengelolaan kebun kakao.
kebun kakao yang dikelola dengan sistem
agroforestri komplek, kebun kakao yang
55
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 2 No. 2., Desember 2019 (Hal. 51-62)
56
Produktivitas Kakao dan Keanekaragaman Tanaman ...... (Sumilia, Nasrez Akhir, dan Zulfadly Syarif)
500 30
28
450 27
25
400
350
20 20
Total individu
Total spesies
300
250 15
438
200
348 10
150
100 181 5
50
0 0
AF.Komplek AF.Sederhana Non.AF
4.06
3.23
2.03
1.95
1.51
Gambar 2. Indek keanekaragaman dan kekayaan jenis tanaman dalam kebun kakao
Figure 2. Plant Diversity index and species richness on cocoa farm
57
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 2 No. 2., Desember 2019 (Hal. 51-62)
AF komplek
Variabel pengamatan AF sederhana
No (complex Non-AF
(observed variable) (simple agroforestry)
agroforestry)
1 Berat biji kering kakao (kg/ha/tahun) 397,03 b 596,39 a 400,45 b
Jumlah biji kakao per 100 gr (bean
2 count) 95,00 a 83,00 b 93,00 a
3 Jumlah pohon kakao (ha) 820,83 a 689,58 ab 614,58 b
4 Jumlah pohon kakao (plot) 32,83 a 27,58 ab 24,58 b
5 Jumlah pohon pelindung (plot) 15,00 a 11,91 a 6,58 a
6 Basal area kakao (plot/m2) 5,09 a 3,22 b 3,39 b
7 Stand basal area kakao (ha/m2) 127,37 a 80,50 b 84,75 b
8 Basal area pelindung (plot/m2) 4,39 a 2,06 b 0,18 b
Keterangan (Remark): nilai pada baris yang sama dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata (Tes Tukey pada p <
0.01) (Value in the same line with the same letter are not significantly different ( Tukey test at
p < 0.01))
* : tidak signifikan (non significant), **: signifikan pada (significant at) p < 0,05
596,39
400,45
397,07
Gambar 3. Histogram produktivitas kakao pada berbagai sistem pengelolaan kebun kakao
Figure 3. Histogram of cocoa productivity on various farm management system
58
3. Korelasi antara Komponen Hasil Koefisien korelasi antara variabel
terhadap Hasil (Produksi) Kakao / Ha komponen produksi dengan produksi
disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4. Korelasi antar variabel jumlah biji (JB), persentase kanopi (% Kanopi), basal area pohon pelindung (BAP),
stand basal area kakao (SBAK), populasi kakao/ha (PK) dengan hasil kakao (Produksi/ha)
Table 4. Correlation between production variable and cocoa yield; number of beans, canopy percentage, stand basal
area, cocoa density, yield/ha
beberapa tanaman habitus herba seperti lainnya yaitu 820,83 batang per/ ha tanaman
pepaya (Carica papaya L), pisang (Musa kakao, dan 15 batang pohon pelindung/plot.
paradisiaca) serta beberapa tanaman habitus Produktivitas kakao juga lebih rendah yaitu
perdu seperti kelor (Moringa oleifera) dan 397,03 kg/ha, sehingga tanaman lebih rapat
gliricidia (Gliricidia sepium). Setiarno yang akan berpengaruh terhadap persaingan
(1998) menyatakan bahwa suatu daerah yang unsur hara dan kebutuhan cahaya yang
didominasi jenis-jenis tertentu maka daerah dibutuhkan oleh tanaman kakao. Jika jarak
tersebut memiliki keragaman jenis yang tanaman terlalu rapat atau populasi terlalu
rendah dan di dalam komunitas terjadi tinggi, kompetisi antar individu juga diikuti
interaksi antar jenis yang rendah. dengan penurunan hasil panen per hektar.
Indek kekayaan jenis tergantung pada Sebaliknya pada sistem non-
banyaknya jumlah spesies yang ditemukan agroforestri dengan jumlah populasi tanaman
dalam suatu kawasan/ekosistem. Gambar 1 kakao dan pelindung yang sedikit juga
menunjukkan jumlah spesies tanaman memberikan hasil produksi kakao yang
tertinggi didominasi oleh sistem agroforestri rendah (400,45 kg/ha), hal ini karena pada
komplek sebanyak 28 spesies, kemudian sistem tersebut kebun kakao mendapatkan
diikuti oleh sistem agroforestri sederhana cahaya matahari penuh sepanjang hari,
sebanyak 27 spesies dan terakhir sebanyak 20 sementara tanaman kakao yang sudah
spesies pada sistem non-agroforestri. memasuki umur produktif menghendaki
Semakin tinggi jumlah spesies dalam suatu cahaya yang optimum dalam melangsungkan
ekosistem maka semakin tinggi pula indek proses metabolismenya yaitu sekitar 50-60 %
kekayaan jenis dari tanaman tersebut. Hal ini (Sugito, 2009). Dalam penelitian ini
terlihat pada Gambar 2 dimana indek dilakukan pengukuran tingkat penutupan
kekayan jenis tanaman paling tinggi terdapat tajuk (kanopi) tanaman pelindung terhadap
pada sistem agroforestri komplek sebesar tanaman kakao, sehingga dapat diketahui
4,24 dan di dalam sistem agroforestri persentase cahaya yang diterima oleh tajuk
sederhana sebesar 4,06, sementara dalam tanaman kakao. Penurunan produksi kakao
sistem non-agroforestri sebesar 3,23. salah satunya berhubungan erat dengan
tingkat naungan (persentase penutupan
2. Produktivitas Kakao dalam Berbagai kanopi).
Sistem Pengelolaan Kebun Kakao Korelasi antara variabel yang
Produktivitas kakao tertinggi terdapat tercantum dalam Tabel 4 menunjukkan
pada sistem agroforestri sederhana 596,39 bahwa hampir semua variabel komponen
kg/ha dengan populasi tanaman 690 hasil berkorelasi negatif nyata terhadap hasil,
batang/ha, kemudian diikuti oleh sistem non- hal tersebut menunjukkan bahwa adanya
agroforestri 400,46 kg/ha dengan populasi hubungan linear yang negatif sehingga
tanaman 615 batang/ ha dan produksi yang dengan meningkatnya suatu variabel akan
paling rendah pada sistem agroforestri diikuti dengan penurunan hasil secara linear.
komplek 397,03 kg/ha dengan populasi Variabel komponen hasil yang
tanaman 821 batang/ha seperti yang tersaji berkorelasi negatif nyata terhadap hasil
pada Tabel 2. (produksi) adalah jumlah biji kakao/100 gr,
Tanaman kakao yang dikelola dengan basal area pohon pelindung, populasi
sistem agroforestri komplek memiliki rata- kakao/ha dan stand basal area tanaman
rata populasi tanaman lebih tinggi, baik kakao. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
tanaman kakao maupun tanaman pelindung semakin besar nilai yang dimiliki oleh
dibandingkan dengan kedua sistem yang variabel komponen hasil tersebut akan selalu
60
Produktivitas Kakao dan Keanekaragaman Tanaman ...... (Sumilia, Nasrez Akhir, dan Zulfadly Syarif)
diikuti dengan menurunnya hasil yang pada penurunan hasil kakao. Pada Tabel 3
diperoleh. dapat dilihat bahwa jumlah biji/100 gr paling
Pada Tabel 4 di atas dapat dilihat tinggi sebesar 95 biji yaitu pada sistem
bahwa variabel stand basal area kakao agroforestri komplek, kemudian diikuti
(SBAK) berkorelasi negatif terhadap hasil dengan sistem non-agroforestri sebanyak 93
(produksi) dengan nilai koefisien korelasi biji/100 gram. Hal ini disebabkan karena
sebesar -0,313; artinya semakin besar nilai dalam sistem agroforestri kompleks populasi
stand basal area kakao akan diikuti dengan tanaman kakao/ha terlalu rapat (820
menurunnya hasil (produksi) kakao. Korelasi pohon/ha) sehingga terjadinya persaingan
negatif menunjukkan adanya suatu arah yang antar tanaman dalam memperoleh unsur hara
berlawanan antara variabel-variabel tersebut. yang mengakibatkan biji yang dihasilkan
Variabel stand basal area kakao (SBAK) tidak maksimal, kebanyakan biji yang
dihutung dengan mengukur diameter batang dihasilkan kecil dan kempes karena
kakao setinggi dada (DBH, diameter at kurangnya suplai unsur hara ke biji. Dalam
breast height). Semakin besar diameter sistem agroforestri komplek persentase
batang tanaman kakao berhubungan dengan tutupan kanopi juga tinggi yaitu 65,97%
umur tanaman tersebut, dimana semakin (Tabel 2), dengan demikian cahaya yang
besar diameter maka menunjukan umur masuk hanya sekitar 34%, sehingga dengan
tanaman semakin tua. rendahnya penyinaran yang diterima dapat
Pada penelitian ini ditemukan bahwa menghambat proses fotosintesis, khususnya
tanaman kakao yang terdapat pada sistem pada daun dilapisan bawah yang tidak
agroforestri kompleks memiliki diameter terkena penyinaran sama sekali.
batang yang lebih besar, sehingga diikuti pula
dengan tingginya nilai stand basal area kakao IV. KESIMPULAN DAN SARAN
pada sistem tersebut yaitu sebesar 127,37
m2/ha (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan A. Kesimpulan
bahwa umur tanaman kakao pada sistem 1. Produktivitas kakao tertinggi diperoleh
agroforestri komplek sudah tua dan pada sistem agroforestri sederhana
memasuki umur tanaman yang sudah tidak
dengan hasil sebanyak 596,39
produktif sehingga menyebabkan penurunan kg/ha/tahun.
hasil (produksi) kakao. Tanaman kakao
2. Indek keanekaragaman tanaman tertinggi
dalam sistem agroforestri kompleks harus
sebanyak 2,03 terdapat pada sistem
dilakukan tindakan peremajaan dengan agroforestri komplek, sementara indek
menerapkan teknik sambung samping untuk kekayaan jenis tertinggi sebesar 4,24
meningkatkan kembali produktivitas kakao terdapat pada sistem agroforestri
dengan menggunakan klon-klon unggul yang sederhana.
memiliki potensi hasil yang tinggi dan juga
resistan terhadap hama dan penyakit serta B. Saran
mampu beradaptasi dengan iklim mikro 1. Petani sebaiknya menerapkan sistem
setempat. agroforestri sederhana dalam
Variabel jumlah biji/100gr (JB) pengelolaan kebun kakao, karena selain
seperti terlihat pada Tabel 3 juga dapat mempertahankan produksi kakao,
menunjukkan korelasi negatif nyata terhadap sistem tersebut juga menyediakan
hasil (produksi) dengan nilai koefisien
layanan jasa lingkungan (ecosystem
korelasi sebesar -0,478, artinya semakin service) terhadap tanaman kakao.
banyak jumlah biji/100 gr akan berakibat Tanaman pelindung dan tanaman lain
61
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 2 No. 2., Desember 2019 (Hal. 51-62)
yang ada di bawah vegetasi kakao dapat Kesuma (1997). Keanekaragaman tanaman dan
memberikan manfaat bagi petani baik struktur vegetasi dalam berbagai sistem
pengelolaan kebun kakao. Tropicultura
sebagai sumber pendapatan, makanan, 26:33–38
obat-obatan dan lain-lain.
Mahrizal. (2013). Keanekaragaman dan Komposisi
2. Peneliti menyarankan agar dilakukan
Jenis Permudaan Alam Hutan Rawa Gambut
penelitian lebih dalam lagi tentang sistem Bekas Tebangan di Riau. Ethiopia.Biol.
agroforestri, karena pada umumnya Fertil.Soil, 44, 653–659.
sistem pengelolaan kebun yang Mawazin, & Subiakto, A. (2013). Keanekaragaman
diterapkan oleh petani adalah sistem dan Komposisi Jenis Permudaan Alam Hutan
agroforestri. Kajian tentang serapan Rawa Gambut Bekas Tebangan di Riau.
karbon (sequestrasi) dalam sistem Indonesian Forest Rehabilitation Journal,
agroforestri perlu dikaji lebih lanjut, 1(1), 59–73.
karena hal tersebut merupakan salah satu Setiarno. 1998. Inventarisasi Vegetasi Tumbuhan
strategi dalam mitigasi pengurangan efek Bawah dalam Hubungannya denagan
gas rumah kaca. Pendugaan Sifat Habitat Bonita Tanah di
Daerah Hutan Jati Cikampek, KPH
Purwakarta, Jawa Barat.Bogor.
UCAPAN TERIMA KASIH Smith, J. J. (1996). Using ANTHOPAC 3.5 and a
Spreadsheet to Compute a Free-List Salience
Ucapan terima kasih penulis Index. Cultural Anthropology Methods 5:1–
3. DOI:10.1177/1525822X9300500301.
sampaikan kepada Bapak Nasrez Akhir dan
Bapak Zulfadly Syarif selaku dosen Sugito, Y. (2009). Ekologi Tanaman. Malang: UB
pembimbing I dan II yang telah membantu Press.
dalam mengoreksi dan memberikan Suryanto, H., D.K. Hairiah, N. Wijayanto, Sunaryo,
masukan terhadap tesis saya. Terimakasih dan M. Noordwijk. 2005. Peran Agroforestri
pada Skala Plot: Analisis Komponen
juga saya ucapkan kepada Lembaga
Agroforestri sebagai Kunci Keberhasilan
Swisscontact Indonesia dan staf atau Kegagalan Pemanfaatan Lahan
lapangannya yang telah membantu saya Indonesia. World Agroforestry Centre
dalam pengambilan data di lapangan dan (ICRAF), Southeast Asia Regional Office. P0
juga pemilihan lokasi kebun penelitian. Box 161 Bogor, Indonesia.
Wahyudi. (2011). Pertumbuhan Tanaman dan
Tegakan Tinggal pada Sistem TPTI Intensif.
DAFTAR PUSTAKA Institut Pertanian Bogor.
Wahyudi. (2013). Pengaruh kerapatan pohon penaung
Hairiah, K. (2010). Mitigasi perubahan iklim
agroforestri kopi untuk mempertahankan terhadap daya hasil kakao. Pelita
cadangan karbon lanskap. Prosiding Seminar Perkebunan, 7(3), 68–73.
Kakao 2010, Bali(4-5 Oktober 2010), 1–31. Widianto. (2003). Agroekosistem Permasalahan
Lingkungan Pertanian. Jakarta: Raja
International Tropical Timber Organisation (ITTO).
2002. guidelines for the restoration, Grafindo Persada.
management and rehabilitation of degraded
and secondary tropical forests
Kartikasari.,2013. Budidaya dan Pasca Panen Kakao.
Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
Kent, M., & Paddy, C. (1992). Vegetation Description
and Analysis: a Practical Approach. London:
Belhaven Press.
62