You are on page 1of 17

i

HUKUM SEBAGAI SUATU SISTEM NORMA

DI SUSUN OLEH :
Nama Kelompok : 1 (satu)
Anggota : Fahri Ramadani (D1A020176)
Fikri Hadi Pratama (D1A020186)
Julvan Purnama Rohman (D1A020251)
Nia Maharani (D1A019608)
Mata Kuliah : Ilmu Perundang-Undangan
Kelas : A2
Dosen Pengampu : Abdul Khair, SH., MH.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
2022
ii

Daftar Isi
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.....................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................2
C. TUJUAN.........................................................................................................................................2
BAB II.........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Sistem Pertanggaan Hukum.............................................................................................................3
B. Jenis-jenis norma dilihat dari sifatnya..............................................................................................5
C. Struktur dan unsur norma................................................................................................................7
D. Norma dalam peraturan perundang-undangan.................................................................................8
E. Sistem pertanggungjawaban norma hukum.....................................................................................9
BAB III......................................................................................................................................................13
PENUTUP.................................................................................................................................................13
Kesimpulan............................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................15
1

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan
manusia yang lain untuk menjalankan kehidupan. Manusia mengembangkan sarana bersifat
immateril yang menjadi perekat dalam hidup bermasyarakat. Sarana itu muncul dari dalam
diri manusia itu sendiri, yaitu cinta kasih dan kebersamaan, bahkan dua hal itulah yang
menlandasi kehidupan bermasyarakat yan disebut sebagai moral. Dengan begini, moral
menimbulkan pranata-pranata pada manusia.

Hukum tidak lepas dari kehidupan manusia. Maka untuk mmbicarakan hukum kita tidak
dapat lepas membicarakannya dari kehidupan manusia. Secara harfiah, norma berarti aturan,
kaidah, patokan, dan ukuran hukum. Maka secara umum, Norma merupakan aturan,
pedoman atau petunjuk bagi seseorang untuk berbuat dan bertingkah laku sebagaimana
mestinya, sebagaimana seharusnya terhadap sesama manusia dalam lingkungan suatu
masyarakat tertentu. Norma merupakan ukuran yang melandasi seseorang untuk bergaul
dengan orang lainnya ataupun dengan lingkungan sekitarnya. Norma berasal dari bahasa
Latin, yang dalam bahasa Arab disebut kaidah, sedangkan dalam bahasa Indonesia
umumnya.

Aturan-aturan tersebutlah yang menjadi acuan seseorang individu, untuk mengarahkan


bagaimana dia bertingkah laku dan bersikap. Tetapi, kemudian bagaimana mungkin untuk
mengukur tindakan-tindakan atau tingkah laku tersebut sehingga bisa dikatakan sebuah
norma itu telah sesuai dengan apa yang seharusnya. Dengan demikian, disinilah norma
terbagi-bagi dan berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Antara lain adalah Norma agama,
norma kesusilaan, norma kesopanan, dan norma hukum

Pada masyarakat primitif, kebiasaan diidentikkan dengan hukum. Sebagai norma sosial,
hukum merupakan suatu produk budaya yang hadir pada masyarakat dengan budaya apa
2

pun. Malinovski menegaskan pada suatu masyarakat primitif, hukum timbul dari kebutuhan
masyarakat. Hukum bereksistensi sebagai hasil kerja sama suatu masyarakat, dimana
merupakan modus survival bagi manusia, hukum merupakan sesuatu yang inheren dengan
kehidupan masyarakat.

Slogan-slogan Ubi Sociates Ibi Ius, Fiat Jutitia Ruat Caelum, dan lain-lainya menegaskan
bahwa dalam masyarakat yang paling sederhana sekalipun keberadaan norma hukum
sebagai suatu pranata sosial secara nyata telah menjadi qonditio sine quanon bagi
keberlangsungan masyarakat tersebut sebagai suatu entitas.

Hukum tidak sama dengan kebiasaan. Jika hukum hadir pada masyarakat dalam bentuk
budaya apapun dan inheren dalam kehidupan masyarakat, kebiasaan itu sesuatu yang acap
kali dilakukan berulang-ulang yang dapat berupa ritual penting, menimbulkan reaksi bila
terjadi pelanggaran, dan kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan apabila masyarakat
menerima sebagai aturan yang harus dilakukan.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sistem pertanggaan dalam hukum sebagai suatu sistem norma?
2. Apa saja jenis – jenis noma dilihat dari sifatnya?
3. Bagaimana bentuk norma sebagai peraturan perundang-undangan dalam hukum sebagai
suatu sistem norma?
4. Bagaimana norma hukum sebagai suatu sistem yang memiliki struktur dan unsur
norma?
5. Bagaimana sistem pertanggungjawaban norma?

C. TUJUAN
1. Mengetahui bagaimana sistem pertanggaan dalam hukum sebagai suatu sistem norma
2. Mengetahui apa saja jenis – jenis noma dilihat dari sifatnya
3. Mengetahui bagaimana bentuk norma sebagai peraturan perundang-undangan dalam
hukum sebagai suatu sistem norma
4. Mengetahui bagaimana norma hukum sebagai suatu sistem yang memiliki struktur dan
unsur norma
5. Mengetahui bagaimana sistem pertanggungjawaban norma
3

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sistem Pertanggaan Hukum

Dalam lingkup hukum, untuk memahami sistem yang bekerja, maka pendapat dari Lawrence
M. Friedman dapat dijadikan batasan, yaitu sistem hukum dapat dibagi ke dalam tiga
komponen atau fungsi, yaitu komponen struktural, komponen substansi dan komponen
budaya hukum. Ketiga komponen tersebut dalam suatu sistem hukum saling berhubungan
dan saling tergantung

Pada komponen struktural akan dijelaskan tentang bagian-bagian sistem hukum yang
berfungsi dalam suatu mekanisme kelembagaan, yaitu lembagalembaga pembuat undang-
undang, pengadilan dan lembaga-lembaga lain yang memiliki wewenang sebagai penegak
dan penerap hukum. Hubungan antara lembaga tersebut terdapat pada UUD 1945 dan
amandemennya.

Komponen substansi berisikan hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum. Hasil nyata
ini dapat berwujud in concerto (kaidah hukum individual) dan in abstraco (kaidah hukum
umum). Disebut kaidah hukum individual karena kaidah-kaidah tersebut berlakunya hanya
ditujukan pada pihak-pihak atau individu-individu tertentu saja, contohnya

1. Putusan yang ditetapkan oleh pengadilan, misalnya seseorang diputuskan dihukum


selama 5 tahun karena telah melakukan pembunuhan.
2. Keputusan (bestuur) yang dikeluarkan oleh pemerintah, misalnya seseorang yang diberi
izin untuk melakukan impor bahan makanan atau seseorang yang diberi izin untuk
mengemudikan kendaraan bermotor (diberi SIM).
3. Panggilan yang dilakukan oleh Kepolisian, yaitu seseorang yang dipanggil untuk
keperluan memberi keterangan kepada polisi.
4. Persetujuan dalam suatu perjanjian, misalnya seseorang yang akan menyerahkan haknya
(dalam bentuk jual beli atau sewa), atau seseorang yang harus menyerahkan
kewajibannya (dalam membayar sewa atau piutang).
4

Pada kaidah hukum yang in-abstraco, merupakan kaidah umum yang bersifat abstrak
karena berlakunya kaidah semacam itu tidak ditujukan kepada individu-individu tertentu
tetapi kaidah ini ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaidah umum
tersebut. Kaidah ini dapat dibaca pada perumusan berbagai UU yang ada.

Dari contoh kedua kaidah tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum inabstraco adalah
menyangkut aturan-aturan hukum baik yang berupa UU atau bentuknya yang lain.
Sedangkan hukum in-concreto adalah keputusan atau putusan dalam kasus-kasus konkret
yang mempunyai kekuatan mengikat karena sah menurut hukum.

Komponen ketiga yaitu komponen budaya hukum. Sikap-sikap publik atau para warga
masyarakat beserta nilai–nilai yang dipegangnya sangat berpengaruh terhadap
pendayagunaan pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa. Sikap-sikap dan nilai-
nilai yang dipegang oleh warga masyarakat tersebut disebut budaya hukum, sehingga
budaya hukum diartikan sebagai keseluruhan nilai-nilai sosial yang berhubungan dengan
hukum beserta sikap-sikap yang mempengaruhi hukum.

Dalam setiap sistem hukum akan selalu kita jumpai satu kesatuan yang dinamakan kaidah
hukum, dari sini akan dapat dikenali beberapa sikap yang diwajibkan, diperbolehkan atau
dilarang dalam berbagai situasi yang berbeda. Berbagai kaidah hukum masih banyak
ditemukan dalam bentuk yang tidak tertulis. Dalam masyarakat yang masih tradisional,
sering kali kaidah hukum bercampur atau hampir tak terbedakan dengan kaidah-kaidah
lainnya seperti kebiasaan, kepercayaan atau tradisi. Di samping kaidah hukum dapat
dijumpai dalam bentuk yang tertulis dan tak tertulis, kaidah hukum juga sering ditemukan
dalam keadaan yang tersebar tak terkumpulkan dalam suatu bentuk dan koleksi tertentu.

Berbagai kaidah hukum yang tersebar tersebut nampak terpisah-pisah dan berdiri sendiri
dan tak menunjukkan saling hubungan satu dengan lain. Kalau keadaan seperti itu, dapatlah
dikatakan sebagai suatu sistem yang sudah tentu harus menampakkan adanya kesatuan
(entity) yang menjadi ciri dari suatu sistem Bagian-bagian (berbagai kaidah hukum yang
ada) yang tampaknya terlepas dan berdiri sendiri itu sebenarnya merupakan kesatuan yang
ada tali pengikatnya. Kesatuan tersebut diikat oleh beberapa pengertian yang lebih umum
sifatnya dan yang mengandung suatu tuntutan etis berupa asas-asas hukum. Jadi asas-asas
5

hukum yang bersifat umum dengan tuntutan etisnya itulah yang merupakan tali pengikat
sehingga menjadi suatu kesatuan yang terpadu.

Adanya kesatuan atau kebulatan dari berbagai kaidah hukum yang nampaknya terlepas dan
berdiri sendiri itu dapat pula dijelaskan dengan menggunakan kerangka teori dari Hans
Kelsen. Menurut Kelsen, bahwa sistem hukum itu merupakan suatu sistem per-tangga-an
(bertingkat-tingkat) kaidah artinya, suatu keadaan hukum yang tingkatnya lebih rendah
haruslah mempunyai dasar atau pegangan pada kaidah hukum yang lebih tinggi sifatnya.
Setiap kaidah hukum haruslah mencerminkan sistem pertanggaan ini dan yang akhirnya
kaidah hukum tertinggi yang dinamakan konstitusi itupun harus bersumber pada suatu
norma dasar yang disebut grundnorm. Teori dari Hans Kelsen ini dinamakan stufenbau
teori.

Alasan lain yang dapat mendukung bahwa hukum itu sebagai suatu sistem adalah kenyataan
bahwa sistem hukum tidak hanya sekumpulan aturan–aturan yang tidak mempunyai
sistematika atau ikatan kesatuan, akan tetapi aturan–aturan tersebut disatukan oleh masalah
keabsahan, aturan ini dianggap sah apabila berasal dari sumber yang sama sehingga tercipta
pola kesatuan.

B. Jenis-jenis norma dilihat dari sifatnya

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, norma hukum memiliki sifat antara
lain:

a. Imperatif, yaitu perintah yang secara apriori harus ditaati baik berupa suruhan maupun
larangan;

b. Fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat atau wajib dipatuhi.

Sifat imperatif dalam norma hukum biasa disebut dengan memaksa (dwingenrecht),
sedangkan yang bersifat fakultatif dibedakan antara norma hukum mengatur (regelendrecht)
dan norma hukum yang menambah (aanvullendrecht). Terkadang terdapat pula norma
hukum yang bersifat campuran atau yang sekaligus memaksa dan mengatur.
6

Norma hukum dapat pula dibedakan antara yang bersifat umum dan abstrak dan yang
bersifat konkret dan individual. Norma hukum bersifat abstrak karena ditujukan kepada
semua subjek yang terkait tanpa menunjuk atau mengaitkan dengan subjek konkret, pihak
dan individu tertentu. Sedangkan norma hukum yang konkret dan individual ditujukan
kepada orang tertenu, pihak atau subjek-subjek hukum tertentu atau peristiwa dan keadaan-
keadaan tertentu.

Maria Farida mengemukakan ada beberapa kategori norma hukum dengan melihat bentuk
dan sifatnya, yaitu:

a. Norma hukum umum dan norma hukum individual.


Norma hukum umum adalah suatu norma hukum yang ditujukan untuk orang banyak
(addressatnya) umum dan tidak tertentu. Sedangkan norma hukum individual adalah
norma hukum yang ditujukan pada seseorang, beberapa orang atau banyak orang yang
telah tertentu.
b. Norma hukum abstrak dan norma hukum konkret.
Norma hukum abstrak adalah suatu norma hukum yang melihat pada perbuatan
seseorang yang tidak ada batasnya dalam arti tidak konkret. Sedangkan norma hukum
konkret adalah suatu norma hukum yang melihat perbuatan seseorang itu secara lebih
nyata (konkret).
c. Norma hukum yang terus-menerus dan norma hukum yang sekali-selesai.
Norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig) adalah norma hukum yang
berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi dapat berlaku kapan saja secara terus
menerus, sampai peraturan itu dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru.
Sedangkan norma hukum yang berlaku sekali-selesai (einmalig) adalah norma hukum
yang berlakunya hanya satu kali saja dan setelah itu selesai, jadi sifatnya hanya
menetapkan saja sehingga dengan adanya penetapan itu norma hukum tersebut selesai.
d. Norma hukum tunggal dan norma hukum berpasangan.
Norma hukum tunggal adalah norma hukum yang berdiri sendiri dan tidak diikuti oleh
suatu norma hukum lainnya jadi isinya hanya merupakan suatu suruhan tentang
bagaimana seseorang hendaknya bertindak atau bertingkah laku. Sedangkan norma
7

hukum berpasangan terbagi menjadi dua yaitu norma hukum primer yang berisi
aturan/patokan bagaimana cara seseorang harus berperilaku di dalam masyarakat dan
norma hukum sekunder yang berisi tata cara penanggulangannya apabila norma hukum
primer tidak dipenuhi atau tidak dipatuhi.

C. Struktur dan unsur norma


Dalam membahas masalah struktur norma kita dihadapkan pada teori yang dikemukan oleh
Benyamin Akzin yang ditulis dalam bukunya yang diberi judul Law, State, and International
Legal Order. Benyamin Akzin mengemukakan bahwa pembentukan norma-norma hukum
publik itu berbeda dengan pembentukan norma-norma hukum privat karena apabila kita lihat
struktur norma (Norm Structure), maka hukum publik itu berada di atas hukum privat,
sedangkan apabila dilihat dari struktur lembaga (Institutional Structure), maka Publik
Authoritis terletak di atas population.

Dalam hal pembentukannya, norma-norma hukum public dibentuk oleh lembaga-lembaga


negara (penguasa negara, wakil-wakil rakyat) atau disebut juga suprasturktur sehingga
dalam hal ini terlihat jelas bahwa norma-norma hukum yang diciptakan oleh lembaga-
lembaga negara ini mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada norma-norma hukum
yang dibentuk oleh masyarakat atau disebut juga infrastruktur.

Oleh karena norma-norma hukum publik dibentuk oleh lembaga-lembaga negara,


sebenarnya pembentukannya harus dilakukan secara berhati-hati, sebab norma-norma
hukum publik ini harus dapat memenuhi kehendak serta keinginan masyarakat, jadi berbeda
dengan pembentukannya norma-norma hukum privat. Norma-norma hukum privat itu
biasanya selalu sesuai dengan kehendak/keinginan masyarakat oleh karena hukum privat ini
dibentuk oleh masyarakat yang bersangkutan dengan perjanjian-perjanjian atau transaksi-
transaksi yang bersifat perdata sehingga masyarakat dapat merasakan sendiri apakah norma
hukum itu sesuai atau tidak dengan kehendak atau keinginan masyarakat.

Sebuah norma, termasuk norma hukum mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a) cara
keharusan berperilaku (operator norma); b) seorang atau sekelompok orang (subyek norma);
c) perilaku yang dirumuskan (obyek norma); dan d) syarat-syaratnya (kondisi norma).
8

D. Norma dalam peraturan perundang-undangan


Norma sendiri adalah aturan, ketentuan, tatanan, atau kaidah yang dipakai sebagai panduan,
pengendali tingkah laku (pemerintah dan masyarakat), atau sebagai tolok ukur untuk menilai
atau memperbandingkan sesuatu. Sedangkan Peraturan Perundang-undangan adalah
peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Norma di dalam Peraturan Perundang-undangan dimuat dalam rumusan Pasal atau Pasal dan
ayat. Beberapa norma di dalam Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :

a. Norma tingkah laku (gedrags normen)


Norma tingkah laku dapat dibagi menjadi 4 antara lain :
 Larangan (verbod) yang artinya jangan melakukan sesuatu,untuk ketentuan ini
digunakan kata “dilarang”
 Perintah (gebod) yang artinya harus melakukan sesuatu, untuk ketentuan ini
digunakan kata “wajib” dan “harus”
 Izin yang artinya boleh melakukan sesuatu (toestemming), untuk ketentuan ini
digunakan kata ”dapat”
 Pembebasan dari suatu perintah (vrijstelling), biasanya digunakan kata “kecuali”
(apabila dirumuskan dalam Pasal tanpa ayat) atau “dalam hal” (apabila dirumuskan
dalam Pasal yang memiliki ayat). Contoh, jika dirumuskan dalam pasal tanpa ayat :
Surat panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal... harus disampaikan kepada
yang bersangkutan sendiri, kecuali jika yang bersangkutan tidak ada ditempat, surat
panggilan dapat disampaikan kepada keluarganya. Jika dirumuskan dalam pasal
yang memiliki ayat : bunyi ayat (1) Surat panggilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal... harus disampaikan kepada yang bersangkutan sendiri; bunyi ayat (2) Dalam
hal yang bersangkutan tidak ada ditempat, surat panggilan dapat disampaikan
kepada keluarganya.
Keempat aturan tingkah laku tersebut ditujukan baik untuk Pemerintah maupun untuk
masyarakat. Pembagian di atas dapat digambarkan sebagai berikut :
9

Gebod Verbod

Toestemming Vrijstelling

b. Norma kewenangan (bevoegdheids normen)


Norma kewenangan dapat dibagi menjadi 3 yaitu,
 Berwenang (gebonden bevoegdheid)
 Tidak berwenang (onbevoegdheid)
 Dapat tetapi tidak perlu melakukan (kan maar niet hoetf – discretionarie
bevoegheid). Contoh, Menteri dapat menolak permohonan izin usaha di bidang
pengangkutan.
c. Norma penetapan (bepalende normen)
Norma penetapan misalnya, kapan mulai berlakunya suatu peraturan perundang-
undangan, penentuan tempat kedudukan suatu lembaga dan sebagainya.

E. Sistem pertanggungjawaban norma hukum


Dalam hukum Administrasi negara dikenal dua bentuk pertanggungjawaban oleh lembaga
negara atau pemerintah yaitu Pertanggungjawaban Yuridis dan Politis.

Sebelum mengulas apa itu pertanggungjawaban yuridis dan politis, kita harus mengerti
terlebih dahulu pengertian pertanggung jawaban. Menurut Kamus Bahasa Indonesia
Pertanggunjawaban berasal dari kata “Tanggung jawab”, berarti keadaan wajib menanggung
segala sesuatunya (Kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan
sebagainya).

Sedangkan menurut Kamus hukum ada dua istilah yang menunjukkan Pertanggungjawaban
yaitu Liability dan Resposibility. Liability bersifat komprehensif yang meliputi hal-hal
sebagai berikut :

1. Kondisi tunduk pada kewajiban secara aktual atau potensial.


2. Kondisi bertanggung jawab terhadap hal yang aktual seperti kerugian, ancaman,
kejahatan, biaya atau beban.
10

3. Kondisi menciptakan tugas untuk melaksanakan UU dengan segera maupun yang akan
datang.

Responsibility mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu :

1. Hal yang dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban termasuk putusan, keterampilan,


kemampuan dan kecakapan.
2. Kewajiban bertanggung jawab atas UU yang dilaksanakan serta memperbaiki dan
memberi ganti rugi atas kerusakan atau apapun yang telah ditimbulkan.

Istilah Liability menunjukkan pertanggungjawaban hukum sedangkan responsibilty


menunjukan pertanggungjawaban politik.

Berdasarkan Pasal 1365 KUHPer bahwa Pengertian Pertanggungjawaban Hukum adalah


Setiap tindakan melawan hukum oleh subjek hukum yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain mengharuskan adanya pertanggungjawaban bagi subjek hukum yang
bersangkutan merupakan prinsip dalam pergaulan hukum.

Pertanggungjawaban hukum ini dapat dilakukan baik itu melawan hukum maupun tidak
melawan hukum. Bila tidak melawan hukum maka pertanggung jawaban hukumnya sesuai
dengan hukum administrasi yaitu pertanggung jawaban administrasi misalnya akuntabilitas
program, kinerja dan lainya. Tetapi bila melawan hukum maka pertnggung jawab dilakukan
bila ada unsur perbuatan melawan hukum. Menurut Arrest 1919 ada beberapa unsur
perbuatan melawan hukum yaitu : Melanggar hak orang lain; Bertentanagan dengan
kewajiban hukum dari si pembuat; Bertentangan dengan kesusilaan; dan Bertentangan
dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang orang
lain.

Dalam hukum administrasi negara bahwa responsibilty merupakan bentuk


pertanggungjawaban politik. Sedangkan menurut Darwin yang dikutip M.Makhfudz bahwa
Responsibility adalah salah satu tipe pertanggung jawaban publik disamping akuntabilitas
dan responsivitas. Dalam ensiklopedi Administrasi, responsibility adalah “Keharusan
seseorang untuk melaksanakan secara selayaknya apa yang telah diwajibkan kepadanya. Ini
berarti menurut Arifin P Soeria Atmadja bahwa pertanggung jawaban memiliki makna
11

bahwa meskipun seseorang memilki kekebebasan dalam melaksanakan suatu tugas yang
dibebankan kepadanya tetapi ia tidak dapat membebaskan diri dari hasil atau akibat
kebebasan perbuatannya, dan ia dapat dituntut untuk melaksanakan secara layak apa yang
diwajibkan kepadanya. Menurut J.B.J.M. ten Berge bahwa pertanggungjawaban politik
merupakan salah satu prinsip demokrasi yaitu organ-organ pemerintah dalam menjalankan
fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik yaitu kepada lembaga perwakilan.

Dari pernyataan Arifin dan Berge dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa suatu
pertanggungjawaban politik harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut yaitu :

1. Adanya tugas yang dibebankan;


2. Adanya akibat dari perbuatan;
3. Dilaksanakan dengan kebebasan;
4. Dituntut melakasanakan kewajiban secara layak;
5. Adanya organ-organ Pemerintah;
6. Lembaga negara menjalankan fungsinya;
7. Adanya keterlibatan lembaga perwakilan.

Sedangkan Responsibilitas menurut Friedrich dan Darwin merupakan konsep yang


berkenaan dengan standar Profesional dan kompetensi teknis yang dimilki oleh
administrator dalam melaksanakan tugasnya. Artinya Birokrasi publik dikatakan baik bila
mereka melaksanakan tugas dengan secara efektif dan efisien dengan segala sumber daya.
Sedangkan menurut Brautingan dikutip oleh Nisjar bahwa akuntabilitas politik adalah
berkaitan dengan sistem politik dan sistem Pemilu. Sistem multi partai dinilai lebih
menjamin akuntabilitas politik pemerintah.

Menurut Carino, Plano, Yango, Jabra bahwa akuntabilitas politik sama dengan
akuntabilitas manajerial, dimana fokusnya adalah :

1. Adanya efisiensi dan ekonomis penggunaan dana publik, properti, tenaga kerja dan
sumber lainya;
2. Pejabat publik harus bertanggung jawab bukan sekedar mematuhi;
3. Menghindari pemborosan dan pengeluaran yang tidak perlu untuk mendorong
penggunaan sumber daya secara tepat.
12

Berdasarkan pendapat para ahli maka pertanggungjawaban politik adalah Suatu kewajiban
yang harus dilaksanakan dengan prinsip profesionalisme dan kompetensi teknis dimana
dilaksanakan oleh lembaga negara dengan prinsip kebebasan dengan bertanggung jawab
sehingga tercapai hasil yang layak, efektif dan efisien untuk kepentingan umum.

Pertanggungjawaban politik harus sesuai dengan tujuan ilmu politik yaitu Usaha untuk
menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga,
untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis. Dan menurut
Peter H. Merki bahwa politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu
tatanan sosial yang baik dan berkeadilan. Dengan demikian bahwa tujuan pertanggung
jawaban politik harus menciptakan tatanan sosial yang baik, harmonis serta berkeadilan.
13

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Hukum tidak lepas dari kehidupan manusia. Maka untuk mmbicarakan hukum kita tidak
dapat lepas membicarakannya dari kehidupan manusia. Secara harfiah, norma berarti aturan,
kaidah, patokan, dan ukuran hukum. Maka secara umum, Norma merupakan aturan, pedoman
atau petunjuk bagi seseorang untuk berbuat dan bertingkah laku sebagaimana mestinya,
sebagaimana seharusnya terhadap sesama manusia dalam lingkungan suatu masyarakat tertentu.
Norma merupakan ukuran yang melandasi seseorang untuk bergaul dengan orang lainnya
ataupun dengan lingkungan sekitarnya. Norma berasal dari bahasa Latin, yang dalam bahasa
Arab disebut kaidah, sedangkan dalam bahasa Indonesia umumnya.

Aturan-aturan tersebutlah yang menjadi acuan seseorang individu, untuk mengarahkan


bagaimana dia bertingkah laku dan bersikap. Tetapi, kemudian bagaimana mungkin untuk
mengukur tindakan-tindakan atau tingkah laku tersebut sehingga bisa dikatakan sebuah norma
itu telah sesuai dengan apa yang seharusnya. Dengan demikian, disinilah norma terbagi-bagi dan
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Antara lain adalah Norma agama, norma kesusilaan,
norma kesopanan, dan norma hukum

Dalam penjelasan terkait hukum sebagai suatu sistem norma terdapat beberapa hal yang
menjadi unsur penting di dalam nya yaitu, Sistem pertanggaan hukum, jenis-jenis norma
berdasarkan sifatnya, struktur dan unsur norma, norma dalam peraturan perundang-undangan,
dan sistem pertanggungjawaban norma.
14

DAFTAR PUSTAKA

Arifin P. Soeria Atmadja, Mekanisme Pertanggungjawaban Keuangan Negara, Jakarta:


Gramedia, 1986.
Harsanto Nursadi, Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Universitas Terbuka, 2008
Hendry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Fifth Edition, (USA : St Paul Minn, West
Publishing Co., 1979).
Jimmly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
M. Makhfudz, Hukum Administarasi Negara, Jakarta: Graha Ilmu, 2013.
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan I: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,2013.
Peter H Merki, Continuity and Change, New York Harper and Row, 1967.
Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaidah Hukum, Bandung: Alumni, 1982.
Ridwan HR, Hukum Adminitrasi Negara, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2014.
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2002
WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta , 1976.
15

You might also like